Reporter:
Larissa Huda
Editor:
Petani tebu dari berbagai daerah di Indonesia menaburkan gula import saat aksi demo didepan istana negara,
28 Agustus 2017. Petani tersebut menuntut harga gula yang merosot tajam rata-rata Rp 9.000-9.500/kg, jauh
dibandingkan tahun 2016 yang rata-rata Rp 11.000-11.500/kg. TEMPO/Rizki Putra
“Semakin lama, tuntutan masyarakat itu, mulai dari kesehatan dan lainnya,
menuntut kualitas gula yang lebih tinggi," kata Enggar, Kamis 10 Januari 2019.
Enggar menuturkan kadar gula dalam negeri tidak sesuai dengan kebutuhan
industri makanan dan minuman. Pasalnya, kata dia, berdasarkan standar
internasional, kadar gula Indonesia memiliki tingkat International Commission for
Uniform Methods of Sugar Analysis (ICUMSA) yang tinggi. Sementara, yang
dibutuhkan untuk industri makanan dan minuman harus dalam level rendah. "Coca
Cola tidak mungkin mau terima hasil gula yang diproduksi gula tebu dalam negeri
yang ICUMSA-nya tinggi. ICUMSA gula di Indonesia tertinggi di dunia, (gula) yang
warna coklat itu," ujar Enggartiasto.
Tidak hanya industri internasional, bahkan Enggar menilai gula produksi dalam
negeri juga tidak bisa diterima industri domestik. Ia mencontohkan produsen Dodol
Garut kerap mengalami kerugian setiap kali menggunakan gula dalam negeri.
"Gampang bulukan kalau pakai yang itu (gula produksi dalam negeri), kalau kata
pabrik Dodol Garut," ujarnya.
Tren kenaikan volume gula industri juga dipicu semakin berkembangnya industri
makanan dalam negeri. Ia mencontohkan perusahaan Mayora, Wings, dan
Indofood sedang tumbuh. Hal ini berdampak pada kenaikan permintaan impor gula
industri. Dalam hitungannya, kata Enggar, kebutuhan gula impor untuk industri
mencapai 2,8 juta ton pada tahun ini. Angka itu turun dibandingkan tahun 2018
sebanyak 3,6 juta ton. Adapun total produksi gula dalam dalam negeri hanya 2,1
juta ton, baik konsumsi atau pun industri, pada tahun lalu.
“Sekian banyak pabrik yang ditutup, dari mana lagi kita dapat gula kalau
bukan impor? Jadi, jumlah produksi gula dalam negeri tidak mencukup
kebutuhan baik itu untuk konsumsi maupun industri," kata dia.
Namun, karena ada sisa pasokan tahun lalu, Adhi menuturkan pemerintah
sementara hanya memberikan izin kuota 2,8 juta ton. Menurut dia, angka
tersebut masih akan terus dievaluasi oleh pemerintah apakah akan cukup
atau tidak. "Pemerintah berjanji bahwa permintaan industri akan tetap
dipenuhi sepanjang permintaannya memang ada," kata Adhi.
Selain itu, Adhi menilai sebaiknya tidak ada definisi gula kristal putih
(GKP) maupun gula kristal rafinasi (GKR). Pasalnya, kata dia, dengan
adanya definisi GKP GKR ini sngat merepotkan industri. Ia khawatir
pembedaan definisi ini akan menimbulkan asumsi yang buruk, entah itu
adanya rembesan atau kebocoran. Yang penting, kata dia, ada satu jenis
gula tapi dibedakan berdasarkan tingkatnya. Dengan begitu, kata dia,
konsumen pun juga bisa memilihi kualitas gula yang diperlukan.