Anda di halaman 1dari 3

Mendag Akui Tren Impor Gula Industri Terus Naik, Ini Sebabnya

Reporter: 

Larissa Huda
Editor: 

Ali Akhmad Noor Hidayat

11 Januari 2019 06:25 WIB

Petani tebu dari berbagai daerah di Indonesia menaburkan gula import saat aksi demo didepan istana negara,
28 Agustus 2017. Petani tersebut menuntut harga gula yang merosot tajam rata-rata Rp 9.000-9.500/kg, jauh
dibandingkan tahun 2016 yang rata-rata Rp 11.000-11.500/kg. TEMPO/Rizki Putra

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan


permintaan impor gula industri memang terus meningkat setiap tahunnya. Menurut
dia, peningkatan volume impor gula industri dipicu oleh permintaan dari industri
yang juga tumbuh. Namun, ia memastikan setiap kebijakan impor selalu didasari
oleh kebutuhan industri dalam negeri. Menurut dia, produksi dalam negeri selain
kuantitasnya tidak memenuhi kebutuhan, kualitasnya pun tidak bisa diterima oleh
industri.

“Semakin lama, tuntutan masyarakat itu, mulai dari kesehatan dan lainnya,
menuntut kualitas gula yang lebih tinggi," kata Enggar, Kamis 10 Januari 2019.

Enggar menuturkan kadar gula dalam negeri tidak sesuai dengan kebutuhan
industri makanan dan minuman. Pasalnya, kata dia, berdasarkan standar
internasional, kadar gula Indonesia memiliki tingkat International Commission for
Uniform Methods of Sugar Analysis (ICUMSA) yang tinggi. Sementara, yang
dibutuhkan untuk industri makanan dan minuman harus dalam level rendah. "Coca
Cola tidak mungkin mau terima hasil gula yang diproduksi gula tebu dalam negeri
yang ICUMSA-nya tinggi. ICUMSA gula di Indonesia tertinggi di dunia, (gula) yang
warna coklat itu," ujar Enggartiasto.

Tidak hanya industri internasional, bahkan Enggar menilai gula produksi dalam
negeri juga tidak bisa diterima industri domestik. Ia mencontohkan produsen Dodol
Garut kerap mengalami kerugian setiap kali menggunakan gula dalam negeri.
"Gampang bulukan kalau pakai yang itu (gula produksi dalam negeri), kalau kata
pabrik Dodol Garut," ujarnya.

Tren kenaikan volume gula industri juga dipicu semakin berkembangnya industri
makanan dalam negeri. Ia mencontohkan perusahaan Mayora, Wings, dan
Indofood sedang tumbuh. Hal ini berdampak pada kenaikan permintaan impor gula
industri. Dalam hitungannya, kata Enggar, kebutuhan gula impor untuk industri
mencapai 2,8 juta ton pada tahun ini. Angka itu turun dibandingkan tahun 2018
sebanyak 3,6 juta ton. Adapun total produksi gula dalam dalam negeri hanya 2,1
juta ton, baik konsumsi atau pun industri, pada tahun lalu.

“Sekian banyak pabrik yang ditutup, dari mana lagi kita dapat gula kalau
bukan impor? Jadi, jumlah produksi gula dalam negeri tidak mencukup
kebutuhan baik itu untuk konsumsi maupun industri," kata dia.

Pelaksana tugas Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian


Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono, mengatakan kebutuhan gula
industri masih besar, khususnya untuk industri makanan dan minuman
yang digenjot untuk terus tumbuh, bahkan untuk ekspor. Sejauh ini, kata
dia, produksi gula dalam negeri hanya cukup untuk kebutuhan konsumsi.
Untuk tahun ini, kebutuhan impor gula untuk industri sebetulnya mencapai
3,6 juta ton. Namun, Achmad menuturkan kementerian akan meminta
ekspor gula industri hanya 2,8 juta ton, lebih rendah dari tahun lalu.

Menurut dia, pemerintah berupaya menekan volume impor. Salah satunya


dengan menggenjot investasi di bidang industri gula yang terintegrasi
dengan kebun. Selama ini, kata dia, sudah ada tiga komitmen dari
investor untuk berinvestasi di sektor ini. Hal ini diharapkan bisa
mewujudkan swasembada nantinya. “Pabrik gula terintegrasi yang selesai
baru satu dari tiga yang saat ini sedang melakukan investasi,” kata dia.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia


(GAPMMI) Adhi Lukman menuturkan untuk industri memang ada
ketentuan penggunaan gula kristal rafinasi. Karena produksi dalam negeri
tidak memadai, industri terpaksan impor gula mentah untuk diolah jadi
gula kristal rafinasi. Tahun lalu, permintaan industri sekitar 3,5 juta ton
dan yang terealisasi sekitar 3,2 juta ton. Tahun industri mengajukan
adanya pertumbuhan industri sekitar lima persen. Artinya akan ada
kenaikan kebutuhan impor gula industri.

Namun, karena ada sisa pasokan tahun lalu, Adhi menuturkan pemerintah
sementara hanya memberikan izin kuota 2,8 juta ton. Menurut dia, angka
tersebut masih akan terus dievaluasi oleh pemerintah apakah akan cukup
atau tidak. "Pemerintah berjanji bahwa permintaan industri akan tetap
dipenuhi sepanjang permintaannya memang ada," kata Adhi.

Soal kualitas gula, Adhi menuturkan standar ICUMSA yang dibutuhkan


oleh industri itu di bawah 45. Satuan itu untuk mengatur kemurnian,
hingga kadar warna. Menurut Adhi, semakin tinggi ICUMSA semakin
buruk kualitasnya. Sementara, ICUMSA gula  dalam negeri nilai di atas
70. Artinya produksi dalam negeri tidak memenuhi standar industri.
“Selama ini kami raw sugarnya impor, kemudian diolah di sini jadi gula
rafinasi," tutur Adhi.

Adhi berharap pemerintah terus mendorong industri gula agar industri


makanan dan minuman bisa menggunakan gula dalam negeri. Adapun
pabrik yang sedang dibangun dinilai belum mampu memenuhi kebutuhan
dalam negeri, khususnya industri. Itu pun, kata dia, dampak dari
pembangunan pabrik itu baru dirasakan pada 2020. "Pemerintah juga
harus mempertimbangkan pabrik gula yang sudah tua untuk direvitalisasi,
misalnya merger atau bangun baru sehingga hasilkan gula berdaya
saing," kata dia.

Selain itu, Adhi menilai sebaiknya tidak ada definisi gula kristal putih
(GKP) maupun gula kristal rafinasi (GKR). Pasalnya, kata dia, dengan
adanya definisi GKP GKR ini sngat merepotkan industri. Ia khawatir
pembedaan definisi ini akan menimbulkan asumsi yang buruk, entah itu
adanya rembesan atau kebocoran. Yang penting, kata dia, ada satu jenis
gula tapi dibedakan berdasarkan tingkatnya. Dengan begitu, kata dia,
konsumen pun juga bisa memilihi kualitas gula yang diperlukan.

“Tidak perlu dibedakan gula konsumsi atau produksi karena akan


menambah upaya pengawasan yang seharusnya tidak perlu,” kata dia.

Anda mungkin juga menyukai