Disusun oleh
Nama: Wulan Puspita
Nrp: 1812017
Matkul:Ekonomi Mikro
Jurusan: Akuntasi
Angkatan:2018/2019
Dosen: H.ZAINAL SYAMSU,SE.MM
STIE PONTIANAK
2019
Petani garam di Jepara. (Foto: Wikha Setiawan/detikcom)
Penulis 'Hikayat Si Induk Bumbu', Misri Gozan mengatakan salah satu faktornya
adalah cara produksi garam di Indonesia yakni di pulau Jawa dan Madura masih
tradisional. Sehingga jika terjadi hujan, para penambak garam gagal panen.
"Di Indonesia lebih banyak produksi garam secara tradisional dan nyaris tanpa
teknologi. Selain itu faktor alam mempengaruhi produksi garam," kata Misri dalam
diskusi dan bedah bukunya di Resto Bebek Bengil, Menteng, Jakarta Pusat,
Kamis (22/2/2017).
Dia menjelaskan garam tak hanya penyedap rasa belaka. Namun juga
perubahan fundamental dalam cara pembuatan garam di negeri ini. Petani garam
mengalirkan air ke ladang, lalu mengandalkan panas matahari untuk
mengucapkan air laut yang akan membentuk kristal garam."Cara ini sudah
dipakai lebih dari 500 tahun. Cara membuat garam Indonesia itu rendah secara
kualitas dan kuantitas, lalu kalah saing dari garam luar negeri. Kualitas garam
dalam negeri sama sekali belum bisa memenuhi standar kebutuhan industri," ujar
dia.Sementara itu, Ekonom Universitas Indonesia Faizal Basri yang juga sebagai
penulis buku 'Hikayat Si Induk Bumbu' ini menilai panjang pantai sebuah negara
belum tentu penghasil garam terbanyak."Salah satu negara produsen garam yang
paling besar adalah Cina. Padahal dia bukan negara yang garis pantainya masuk
10 besar di dunia, justru Indonesia garis pantainya jauh lebih panjang," kata
Faizal.Selain itu, lanjutnya, ada India sebagai negara yang produksi garamnya
India juga mengimpor," ujar dia. Pemerintah harus segera membuat program yang
realistis untuk meningkatkan produksi dan kualitas garam lokal. Dengan demikian,
"Kalau tanggapan saya, tidak ada kartel. Sebab, justru mereka (industri) saling
berkompetisi. Mereka semua kehabisan stok garam, bagaimana bisa kartel?" ujar
dia.Menurut, kelangkaan garam yang terjadi disebabkan oleh gagal panen petani garam
lokal dan lambatnya respons pemerintah dalam mengantisipasi menipiskan stok garam
di dalam negeri. Pemerintah baru mengeluarkan izin impor garam saat stok sudah
semakin kritis.
"Hal biasa itu, kalau terjadi kegagalan program (pemerintah) maka cenderung
cari objek lain untuk disalahkan," kata dia.Sementara itu, Sekretaris Jenderal AIPGI
Cucu Sutara menyatakan, saat ini kebutuhan garam industri lebih dari 3 juta ton dan
garam konsumsi sekitar 780 ribu ton per tahun. Sehingga, total kebutuhan garam di
dalam negeri secara total antara 4,1 juta ton-4,3 juta ton per tahun."Ini kalau industri
tumbuh bagus, kebutuhan bisa naik 5-10 persen tiap tahun. Sekarang untuk CAP (chlor
alkali plant) itu 2,3 juta ton, aneka pangan 450 ribu ton, penyamakan kulit 200 ribu ton,
farmasi 300 ribu ton, pengasinan 100 ribu ton dan lain-lain," tandas dia.
Kelangkaan dan mahalnya harga garam turut menjadi sorotan utama pemerintah. Kendala impor
garam ditengarai menjadi sebab dari persoalan ini.
Pemerintah pun telah melakukan rapat koordinasi terkait hal ini. Menurut Menteri Perdagangan
Enggartiasto Lukita, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pun untuk sementara
memberikan mandat terkait impor garam industri ke Kementerian Perdagangan.
"Dengan surat itu kewenangan untuk rekomendasi dialihkan ke Kemendag, sambil menunggu
Kementerian KKP menyatakan rekomendasi itu diserahkan ke Kemendag untuk impor garam
industri," kata Enggar saat ditemui awak media di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta,
Senin (31/7/2017).
Peraturan Menteri Perdagangan 125/2015 tentang Ketentuan Impor Garam, khususnya klasifikasi
garam juga turut menjadi perhatian pemerintah. Pada aturan ini, pemerintah mengklasifikasikan
garam industri dan konsumsi sesuai kandungan Natrium Chlorida (NaCl).
Garam konsumsi dipatok dengan kadar NaCI 94,7% hingga 97%. Sementara itu, garam
konsumsi dipatok dengan kadar NaCI di atas 97%.
"Garam ini dibagi dua, 94%-97% NaCl untuk konsumsi . Untuk industri 97% ke atas. Setiap
peraturan yang membagi-bagi seperti ini maka ada potensi terjadi dispute. Saya dan Bu menteri
KKP bersama-sama kita kan melaporkan, menyiapkan suatu ketentuan kalau jenis garam 90%
NaCl minimum 94% NaCl ke atas, sama saja. Karena 97% ke atas itu lebih murni," ujarnya.
Pemerintah pun siap untuk untuk kembali melakukan impor garam mulai minggu ini. Impor
garam ini dilakukan untuk mencukupi kebutuhan garam di Indonesia.
Jadi hari Jumat yang lalu saya undang bareskrim, Dirjen KPP dan Dirjen Perdagangan Luar
Negeri yang menyatakan bangsa kami siap rekomendasi untuk impor garam konsumsi kepada PT
Garam sebear 75 ribu ton. Kalau begitu supaya tidak ada sesuatu, Direksi PT Garam kita
panggil," ujar Enggar.
Sementara itu, Enggar mengatakan bahwa impor garam industri tetap dilakukan sesuai
kebutuhan. Artinya, tak ada kuota terkait impor ini.
Enggar pun menekankan bahwa untuk impor garam konsumsi masih dibutuhkan rekomendasi
dari Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Sebab, Kementerian Kelautan dan
Perikanan lebih mengetahui kebutuhan secara nasional.
"Sekarang yang garam konsumsi itu tetap harus ada rekomendasi dari Menteri KKP dan tetap
masih PT garam yang impor . Kenapa? Karena menteri teknis tentu lebih tahu dan lebih paham
ada keseimbangan dari produksi dalam negeri dan kemudian kalau terjadi kekurangan maka
diperlukan izin impor itu," ujarnya.
Sebelumnya, saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan pekan lalu, Menteri Perdagangan
Enggartiasto Lukita mengatakan bahwa alur impor garam industri sebelumnya harus
memperoleh rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Nantinya,
rekomendasi tidak lagi diperlukan dari KKP.
"Tapi pada saat bersamaan, kita rapat di Kantor Wapres, disepakati bahwa rekomendasi KKP
diserahkan kepada Menteri Perdagangan," kata Enggar.
Namun, Enggar menekankan bahwa tak ada revisi Permendag Nomor 125/M-DAG/PER/12/2015
tentang Ketentuan Impor Garam. Pasalnya, masih terdapat UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.
"Tidak ada direvisi, kan ada UU lebih tinggi dari Permen. Tetapi di UU itu belum ada Permen
yang sebagai turunan dari Undang-Undang maka diberlakukan ketentuan yang termasuk di
dalam Permendag 125 yang isisnya silahkan lakukan impor garam," jelasnya.
Selain persoalan garam, pemerintah juga tengah menyelesaikan persoalan beras. Harga beras pun
diharapkan dapat stabil sehingga tak lagi berdampak negatif pada petani hingga konsumen.
Harga Garam Mahal, RI Siap Impor dari Australia
Waduh! Langka dan Mahal, Pengusaha Garam Terancam Bangkrut
"Karena pada dasarnya petani itu dia sudah diijon lebih dulu banyak sekali. Di kampung saya
sudah ada itu. Itulah yang mengijon atas nama petani, apakah ada relevansinya kenaikan itu
dengan itu belum tentu, ada laporan dari anggota perpadi di daerah saya beli Rp4.000 yang besar
ini beli Rp4.100, ada lagi yang nawar 4.200," ujarnya.
Namun, pemerintah akan tetap menerapkan aturan berkeadilan. Dengan begitu, tak pada petani
hingga ke tingkat pedagang yang dirugikan.
Kementerian Perdagangan menekankan bahwa tidak akan mengeluarkan aturan secara sepihak
terkait standar beras. Pemerintah nantinya akan melakukan dialog terkait hal ini.
Pedagang pun tak perlu khawatir jika membeli beras di atas harga acuan. Namun, pemerintah
masih menetapkan batas atas harga beras medium pada level Rp9.500 per kilogram (kg).
"Rp3700, Rp3900 boleh. Beli dari petani atau pengepul itu Rp4100 silakan enggak ada soal.
Saya hanya ada harga acuan Rp9500, masih berlaku untuk beras medium, dan beras medium kita
juga sudah pengertian yang sama di situ. Sementara pakai harga acuan itu dulu, sekarang harga
sudah stabil. Pasokan sudah stabil, tidak usah ada kekhawatiran mengenai penjualan mengenai
itu, silakan berjalan seperti biasa," tukasnya.