Anda di halaman 1dari 6

RI 

boleh memiliki lebih dari 95.000 kilometer garis pantai, akan tetapi
negara kepulauan ini masih harus mengimpor garam dari negara
lain dalam kisaran 1,5 - 2 juta ton setiap tahunnya untuk memenuhi
kebutuhan nasional mencapai 3,2 - 3,5 juta ton.

Impor garam juga seringkali menjadi polemik di republik ini, seperti


yang terjadi sekarang. Kisruh kali ini dipicu perbedaan data
rekomendasi impor, di mana Kementerian Kelautan dan Perikanan
menyatakan impor cukup 2,13 juta ton sementara Kementerian
Perindustrian meminta hingga 3,7 juta ton.

Terkait dengan impor ini, Tim Riset CNBC Indonesia menguraikan


faktor-faktor yang berkontribusi membuat industri garam nasional
harus bersusah payah untuk dapat menjadi tuan rumah di negeri
sendiri. 

Tingginya kebutuhan garam nasional yang melebihi


kemampuan produksi otomatis mengakibatkan defisit, dan memaksa
Indonesia selalu mengimpor garam secara masif selama bertahun-
tahun. Defisit terbesar periode 2011-2015 ada pada tahun 2013,
yakni sebesar 2,48 juta ton. Pada tahun 2015, Indonesia berhasil
memangkas defisit menjadi 0,91 juta ton. Pada periode tersebut,
impor garam (garam konsumsi dan produksi) dapat ditekan menjadi
hanya 1,86 juta ton, atau menurun 18,06% dibandingkan 2014 yang
mengimpor 2,27 juta ton. Namun demikian, perbaikan tersebut tidak
bertahan lama. Hanya dalam selang setahun defisit kembali
melambung tinggi, setelah produksi garam hancur habis-habisan
pada tahun 2016 akibat Indonesia diserang La Nina yang
menyebabkan petambak garam tidak mendapat sinar matahari yang
cukup mengingat sepanjang tahun itu RI juga dilanda musim
kemarau basah
Namun, kondisi cuaca ekstrim pada 2016 tentu saja tidak selalu
terjadi di setiap tahun, sehingga cuaca tidak dapat dijadikan
alasan tunggal mengapa produksi garam Indonesia selalu minim dari
tahun ke tahun. 

1
Produksi garam di Indonesia umumnya dilakukan dengan
menguapkan air laut di atas lahan luas menggunakan energi panas
matahari (solar evaporation). Dikutip dari Badan Pengkajian dan
Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan
(Kemendag), faktor-faktor desain lokasi area produksi garam yang
menentukan adalah “air laut” sebagai bahan baku, “tanah” sebagai
faktor sarana utama, dan “iklim” sebagai faktor sumber tenaga. 

Sayangnya, dengan menggunakan metode solar evaporation secara


tradisional, faktor-faktor yang berpengaruh pada kualitas dan
kuantitas garam itu justru menjadi kendala dalam proses produksi,
karena:

 Di Indonesia, air laut banyak yang bercampur dengan air


tawar karena sebagian besar laut menjadi muara bagi aliran
sunga tawar. Di samping itu, air laut juga sering tercemar
dengan polutan tertentu.
 Curah hujan di area produksi garam pada musim kemarau
berkisar 100 - 300 mm per musim dengan tingkat kelembaban
60% - 80%. Hal ini mengakibatkan kualitas garam rendah. Di
negara produsen garam besar seperti Australia, curah hujan
pada musim kemarauh hanya 10 - 100 mm per musim dengan
tingkat kelembaban 30 - 40%.
 Musim kemarau dengan paparan panas tinggi di Indonesia
berlangsung relatif pendek hanya 3 - 4 bulan per tahun.
Sementara itu, di Australia dan China panjang paparan sinar
matahari dapat mencapai 11 bulan per tahun.

 Pesisir yang landai, tanah tak poros/tembus, dan laut yang


tenang dengan variasi pasang surut tak terlalu besar tidak
dimiliki oleh seluruh wilayah pesisir Indonesia, sehingga, pada
2015 hanya ada sembilan provinsi yang memiliki tambak
garam. 

Karena sejumlah faktor di atas, garam rakyat yang diproduksi di


Indonesia hanya memiliki kandungan NaCl sebesar 81%-96%,
sehingga masih belum mampu untuk memenuhi kebutuhan garam
nasional, khususnya garam industri yang mensyaratkan kualitas
garam memiliki kandungan NaCl minimal sebesar 97%. Direktur

2
Kawasan Iptek Garam Universitas Trunojoyo Madura, Makhfud
Efendy, pun turut mengkonfirmasi bahwa iklim tropis dan garis
pantai terpanjang kedua di dunia bukan keunggulan komparatif
Indonesia untuk produksi garam. Berbagai keuntungan kondisi alam
telah membuat produksi garam dengan teknik penguapan air laut di
negara-negara subtropis lebih baik dibandingkan di Indonesia.

Produksi dan produktivitas garam nasional selama periode 2011-


2014 mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Selama periode
tersebut, produktivitas garam tertinggi terjadi pada tahun 2011 yang
mencapai 91,7 ton/ha dengan masa produksi 4,8 bulan, sementara
masa produksi tercepat terjadi pada tahun 2013 yaitu selama dua
bulan namun memiliki produktivitas yang rendah yaitu hanya
mencapai 39,6 ton/ha.

Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, fluktuasi baik dari


sisi produksi, produktivitas, maupun masa panen garam nasional
disebabkan oleh teknik produksi dan peralatan yang digunakan
masih sangat tradisional, serta bergantung pada musim.

Adapun di luar musim produksi, petani garam sebagian besar


melakukan usaha lain misalnya budidaya tambak udang. Selain itu,
produksi garam di Indonesia sebagian besar merupakan hasil dari
tambak rakyat dengan luas tempat produksi rata-rata sebesar 0,5-3
hektar dengan lokasi yang terpencar-pencar.  Padahal, untuk
mengembangkan garam dalam skala besar yang terintegrasi dan
efisien, dibutuhkan satu kesatuan lahan datar cukup luas berkisar
4.000 ha - 6.000 ha sehingga mendapatkan manfaat dari skala
ekonomi. Dengan melihat kondisi di atas, produktivitas garam dapat
dinilai belum optimal dan masih relatif rendah dibandingkan dengan
negara produsen garam laut lainnya, seperti Australia yang mampu
meproduksi garam dengan produktivitas 350 ton/ha.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim dan Kemanusiaan Abdul


Halim menilai Pemerintah Indonesia tidak maksimal dalam
menangani kegagalan produk garam nasional.

3
Pemerintah, jelasnya, minim melibatkan teknologi guna peningkatan
produksi dan produktivitas garam rakyat. Intervensi teknologi dapat
dilakukan misalnya dengan lebih banyak menggunakan teknologi
prisma dan geomembran. Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan
Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Tekonologi (BPPT)
Eniya Listiani Dewi juga turut menambahkan bahwa salah satu
langkah yang bisa dilakukan untuk menggenjot produktivitas dan
kualitas garam nasional adalah dengan melaksanakan integrasi
lahan dan program di satu area.

Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Tekonologi (BPPT) Eniya


Listiani Dewi juga turut menambahkan bahwa salah satu langkah yang bisa
dilakukan untuk menggenjot produktivitas dan kualitas garam nasional
adalah dengan melaksanakan integrasi lahan dan program di satu area.

Untuk kebutuhan tersebut, dia menghitung bahwa lahan yang dibutuhkan


minimal seluas 400 hektar dan bisa dilaksanakan hingga optimum di lahan
5.000 hektar. Di atas lahan seluas itu, proses produksi akan dilakukan di
empat area: area penampungan air laut, area untuk penguapan atau
evaporasi, area hasil evaporasi ditampung menjadi air tua, dan area
rekristalisasi.

Dengan adanya konsep seperti itu, Eniya mengklaim bahwa Indonesia


sebenarnya sudah siap melaksanakan industrialisasi pada komoditas
garam. Namun, berdasarkan kajian BPPT, untuk sementara proses tersebut
baru cocok dilaksanakan di kawasan Indonesia Timur seperti Nusa
Tenggara Timur.
 

Kendala di sektor hilir atau niaga dan regulasi impor ternyata juga
berkontribusi pada rendahnya produksi garam nasional.

4
Tren impor garam merepresentasikan ketidakmampuan pemerintah
mengelola tata niaga garam nasional yang lebih baik, terutama
perlindungan terhadap petani garam dari para kartel garam. Kasus
dugaan penyalahgunaan izin impor yang menyeret nama Direktur
Utama PT Garam (Persero) Achmad Boediono seolah
mengonfirmasi ada yang tidak beres dalam pengaturan importasi
garam dan perlindungan terhadap petambak garam di Indonesia.
Boediono sendiri setelah ditangkap pada pertengahan 2017,
kemudian ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan
penyalahgunaan izin importasi distribusi garam sebanyak 75.000
ton.

Keputusan untuk melaksanakan impor garam industri pada awal


2018 ini juga sangat disayangkan Kesatuan Nelayan Tradisional
Indonesia (KNTI), yang berpendapat bahwa kebijakan impor garam
setiap tahun menjadi penanda bahwa Pemerintah tidak serius dalam
memperbaiki tata kelola garam.

Ketua Departemen Pendidikan dan Penguatan Jaringan KNTI


Misbachul Munir mengatakan kuota impor yang diputuskan
pemerintah selalu berlebihan. Padahal, pada saat yang sama,
petambak garam nasional melaksanakan panen raya. Alhasil,
kondisi itu membuat produksi garam nasional mengalami
kelumpuhan. Munir pun mengatakan, akibat kuota berlebih yang
selalu berulang setiap tahun, para petambak garam merasakan
dampak negatifnya dan pada akhirnya secara perlahan banyak di
antara petambak kemudian berlaih profesi menjadi buruh

5
kasar.  Menurut KNTI,  selama ini petambak garam tradisional lokal
mengalami pemiskinan dengan harga jual yang rendah di pasaran,
dimana PT Garam membeli garam konsumsi dari petambak lokal
dengan harga standar KW 3 yaitu Rp 200 – 250/kg, standar KW 2
Rp 450/kg, dan standar KW 1 Rp 650-700/kg. Dengan harga
tersebut, petambak tidak memperoleh keuntungan yang optimal,
bahkan tidak bisa menutupi biaya produksi. Merujuk pada data
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), jumlah petani
tambak garam di Indonesia

memang menurun drastis yakni dari 30.688 jiwa pada 2012 menjadi
21.050 jiwa pada 2016.  Adanya selisih kebijakan impor garam
antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kelautan dan
Perikanan juga mengindikasikan data stok dan produksi garam
nasional yang tidak valid antar instansi.

Anda mungkin juga menyukai