Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH TENTANG KONFLIK

DAN
PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA
Makalah ini disusun guna memenuhi
Tugas Mata Kuliah
MEDIASI HUKUM KELUARGA

Disusun Oleh Kelompok 4 :


Nova Rahmah Agitha Ginting ( 0201182087)
Anggi Febrian ( 0201182090)
Khairul Akbar Tanjung ( 0201182091)
Insar Murah Rezky Ritonga ( 0201182124)

AHKWALUSYAKSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi Wabarakatuh


Puji dan syukur kita ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
nikmat umur, nikmat kesehatan dan kesempatan, sehingga pada hari ini kita masih
menjalankan aktivitas seperti biasanya, semoga aktivitas yang kita laksanakan bernilai ibadah
disisi Allah SWT. Amin.
Sholawat bermutiarakan salam kita hadiahkan kepada Baginda Rasulullah
Muhammad SAW, kepada keluarga dan para sahabatnya, yang telah membawa kita dari
zaman kebodohan ke zaman yang dipenuhi dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam penyelesaikan tugas makalah MEDIASI HUKUM KELUARGA ini yang berjudul
“KONFLIK DAN PENYELESAIAN SENGKETA”. Kami juga membuka kritik dan juga
saran apabila pada makalah yang kami buat ini terdapat kekurangan dan kesalahan, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Medan, 04 Desember 2020

Penuliss
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................3
a. Definisi Konflik....................................................................................................................
b. Manusia dan Konflik Sosial.................................................................................................
c. Karesteristik Konflik Keluarga............................................................................................
d. Konflik Orang Tua-Anak.....................................................................................................
e. Resolusi Konflik...................................................................................................................
f. Beberapa Jenis Alternatif Penyelesaian sengketa
e. Analisis.................................................................................................................................
BAB III PENUTUP................................................................................................................
Kesimpulan.............................................................................................................................
Saran........................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN
KONFLIK DAN PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA
a. Definisi Konflik
Dalam kepustakaan maupun dalam percakapan sehari-hari, sering ditemukan istilah-
istilah konflik. Konflik merupakan pengindonesian kosakata conflict dalam bahasa inggris.
Selain istilah konflict, bahasa indonesia juga mengenal istilah sengketa yang di dalam bahasa
inggris diterjemahkan dalam dispute. Dalam dua kata yang artinya hampir sama dalam
bahasa indonesia, tetapi memiliki terjemahan yang berbeda dalam bahasa inggris,
bagaimanakah penjelasan secara konseptualnya.
Sebagian sarjana berpendapat bahwa secara konseptualnya tidak terdapat perbedaannya
antara konflik dan sengketa, akan tetapi sebagian sarjana berpendapat bahwa istilah konflik
dapat di bedakan dengan istilah sengketa. Pertama, istilah konflik mengandung pengertian
yang lebih luas dari sengketa karena konflik mencakup perselisihan-perselisihan yang bersifat
laten dan perselisihan-perselisihan yang telah mengemuka. Kedua, konflik merujuk pada
perselisihan-perselisihan yang para pihaknya sudah maupun belum terindifikasi atau blom
dapat di indentifikasikan secara jelas.
Tapi apa itu konflik? Konflik adalah suatu proses sosial antara dua orang atau dua
kelompok, atau lebih salah satu pihaknya berupaya menyingkarkan yang lain dengan
menghancurkan atau membuatnya tak berdaya.
Dari segi definisi, Soerjono Soekanto mengunkapkan bahwa konflik merepukan
pertentangan untuk berusaha memenuhi tujuan dengan jalan menentang pihak lawan.
Sedangkan menurut Lewis A. Coser dalam bukunya The Functions of Sosial Conflict, konflik
adalah perjuangan nilai atau tuntutan atas status. Konflik merupakan bagian yang akan selalu
ada dalam masyarakat. Konflik akan hilang jika masyarakat hilang. Jadi bisa di bilang
sebenarnya kita tidak usah bingung ada atau tidak adanya konflik sebab keduanya itu serupa
hubungan antara kompetisi dan kooeperasi.
b. Manusia dan Konflik Sosial
Manusia adalah makhluk sosial(zoon politikon), yaitu makhluk yang tidak dapat
melepaskan diri dari berhubungan atau berinteraksi dengan manusia yang lain untuk
memenuhi kebutuhan hidup, baik jasmani maupun rohani. Dalam melaksanakan aktivitas
hubungan sosial antarmanusia tentu saja akan terdapat dinamika berupa persamaan maupun
perbedaan. Persamaan tentu saja akan menambah eratnya relasi antarmanusia. Adapun
perbedaan akan melahirkan benih-benih konflik antarmanusia.
Bentuk perbedaan baik pendapat maupun kepentingan adalah hal yang lumrah terjadi
dalam kehidupan sehari-hari. Perbedaan-perbedaan yang terjadi antarmanusia sebenarnya
adalah hal yang sangat manusiawi. Mengingat manusia secara kodrati satu sama lain secara
fisik dan psikis adalah entitas yang berbeda. Konflik yang terjadi dalam dalam kehidupan
sehari-hari adalah hal biasa. Hal biasa tersebut menjadi luar biasa apabila tidak bisa
diselesaikan melalui saluran dan mekanisme yang tepat dan ideal.
Konflik nkecil atau ringan bisa dilihat dari hal-hal misalnya antar-tetangga yang tidak
akur bahkan sampai tidak saling tegur sapa karena ada masalah yang belum terselesaikan.
Konflik kelas berat bisa melibatkan konflik antarnegara yang akibatnhya bahkan bisa sampai
perang antarnegara. Pada masa lalu bahkan koflik antar kepala negara bisa menajam menjadi
konflik antarnegara kemudian meluas menjadi perang dunia.
Menurut Joni Emirzon, konflik adalah adanya pertentangan atau ketidaksesuaian
antara pihak yang akan dan sedang mengadakan hubungan kerjasama.1 Dalam pengertian
lain, konflik bisa dimaknai sebagai suatu kondisi dimana pihak yang satu menghendaki agar
pihak lain berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan yang diinginkan. Tetapi pihak lain
menolak keinginan tersebut. Masih terkait deengan status manusia sebagai makhluk sosial.
Keberadaan konflik antarmanusia juga mengilhami lahirnya keinginan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan konflik atau perselisihan di antara mereka.
Di Indonesia sejak dahulu dikenal lembaga musyawarah yang berisi aktivitas
perundingan untuk membahas dan menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi dalam
masyarakat. Hal ini ingin dicapai dalam musyawarah adalah penyelesaian persoalan-
persoalan yang terjadi secara kekeluargaan.
Masalah- masalah yang dihadapi masyarakat umumnya akan diselesaikan melalui
mekanisme musyawarah. Tetapi pelaksanaan musyawarah tidak menjamin akan membawa
penyelesaian sengketa yang ada. Adakalanya musyawarah yang sudah dilaksanakan tidak
berhasil menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang mendamaikan para pihak yang
bersengketa.
Agar beragam kepentingan bisa ditata dan menjaga supaya perbedaan kepentingan
tidak mengarah pada kekacauan, maka manusia menciptakan mekanisme tata tertib berupa
mengadakan ketentuan-ketentuan atau kaidah hukum yang harus ditaati oleh setiap anggota
masyarakat agar tertib bermasyarakat bisa tetap terjaga. 2 Artikulasi beragam kepentingan
yang berkembang dalam masyarakat adalah sebuah keniscayaan.
Karena itulah dalam konteks kehidupan bernegara kita terdapat lembaga peradilan
yang berfungsi sebagai alat negara yang bertugas menerima, memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara yang masuk3. Dalam konteks status negara kita sebagai negara hukum
(rechtstaat), amaka sudah selayaknya apabila hukum diletakkan dalam level tertinggi dalam
konteks penyelesaian segala masalah yang memang masuk kewilayah hukum.
Perkara yang masuk dan diselesaikan melalui mekanisme peradilan lazimnya
dinamakan jalur litigasi. Jalur litigasi merupakan proses yang paling dikenal dan diminati
oleh masyarakat pencari keadilan di Indonesia. Jalur ini dijadikan tumpuan harapan
masyarakat agar mereka bisa menyelesaikan sengketa secara adil menurut hukum yang
berlaku. Penyelesaian sengketa yang diudambakan oleh masyarakat tengtunya, yaitu
peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4
ayat 2 Undang- Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

1
Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase),
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, h.21
2
Iskandar Oeripkartawinata, Perdamaian Dalam Perkara Perdata, Pro Justitia, Nomor ke-13 Maret 1981, h.977
3
Wildan Suyuthi, Kode Etik, Etika Profesi dan Tnggungjawab, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2004.
H.2
Selain jalur litigasi, dalam ranah penyelesaian sengketa juga dikenal jalur nonlitigasi
antar lain negosiasi, mediasi, konsoliasi, dan arbitrase. Dalam tataran wacana semenjak
beberapa tahun terakhir memang beberapa lembaga tersebut diatas cukup ramai dibicarakan
khususnya dalam berbagai seminar maupun bahan diskusi ilmiah diberbagai universitas.
Tetapi sampai saat ini kebanyakan masyarakat umum khususnya yang sedang bersengketa
masih belum menganggap penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagai sebuah pilihan
yang menarik.
Penyebabnya adalah karena dikalangan masyarakat pada umumnya jalur penyelesaian
nonlitigasi belum begitu dikenal secara mendalam. Kalaupun ada yang mengenal hal tersebut
tidak terlalu mendalam dan belum mampu mengubah pandangan bahwa jalur litigasi adalah
jalur yang lebih sering dipilih karena secara institusional jalur litigasi adalah lembaga yang
disediakan oleh negara. Keberadaan negara dibelakang institusi litigasi adalah faktor yang
sangat penting bagi masyarakat berkaitan dengan pandangan yang banyak dipercayai oleh
masyarakat kita, yaitu segala yang berhubungan dengan negara lebih kuat dan terjamin.
Selama berada dekade terakhir jalur litigasi adalah jalur yang lebih dikenal dalam
praktik hukum. Jadi meskipun jalur nonlitigasi sudah cukup lama tetapi hal tersebut masih
beredar dikalangan tertentu misalnya kaum intelektual dan praktisi hukum. Yang lebih
banyak menjadi pilihan adalah proses persidangan yang didalamnya ada proses pembuktian
dan berakhir dengan sebuah putusan hakim.
Untuk bisa dikatakan sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang baik, maka ada
beberapa prasyarat yang harus dipenuhi, antara lain:
1. Harus efisien dari segi waktu.
2. Hemat biasa.
3. Bisa diakses para pihak dengan mudah.
4. Melindungi hak- hak para pihak yang bersengketa.
5. Bisa menghasilkan putusan yang adil dan jujur.
6. Badan atau orang yang menjadi alternatif penyelesaian sengketa harus terpercaya dimata
masyarakat dan pihak yang bersengketa.
7. Putusan harus bersifat final dan mengikat.
8. Putusan harus mudah dieksekusi.
9. Putusan harus sesuai dengan perasaan keadilan dari komunitas dimana penyelesaian
sengketa alternatif tersebut dilaksanakan.4

c. Karesteristik Konflik Keluarga


Keluarga merupakan salah satu unit sosial yang hubungan antara anggotanya terdapat
saling ketergantungan yang tinggi. Oleh karena itu konflik dalam keluarga merupakan suatu
keniscayaan. Konflik dalam keluarga merupakan suatu keniscayaan. Konflik dalam keluarga
dapat terjadi karena adanya perilaku oposisi atau ketidaksetujuan antara anggota keluarga
sibling, konflik orang tua-anak dan konflik pasangan. Walaupun demikian jenis konflik yang
lain dapat muncul, misalnya menantu-mertua, dengan saudara ipar dan paman/bibi. Faktor
yang membedakan konflik di dalam keluarga dengan kelompok sosial yang lain adalah

4
Munir Fuady,Arbitrase Nasional:Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
h.34.
karesteristik hubungan di dalam keluarga yang menyangkut tiga aspek, yaitu
intensitas,kompleksitas, dan durasi.
Pada umumnya hubungan antara anggota keluarga merupakan jenis hubungan yang
sangat dekat atau memiliki intensitas yang sangat tinggi. Keterikatan antara pasangan, orang
tua-anak, atau sesama saudara berada dalam tingkat tertinggi dalam hal kelekatan, afeksi
maupun komitmen. Ketika masalah yang serius muncul dalam sifat hubungan yang demikian,
perasaan positif yang selama ini di bangun secara mendalam dapat berubah menjadi perasaan
negatif yang mendalam juga. Pengkhianatan terhadap hubungan kasih sayang, berupa
perselingkuhan atau perundangan seksual terhadap anak, dapat menimbulkan kebencian yang
mendalam sedalam cinta yang tumbuh sebelum terjadinya pengkhianatan.
Benci tapi rindu merupakan ungkapan yang mewakili bagaimana pelik atau komplekny
hubungan dalam keluarga. Seorang istri yang sudah mengalami KDRT dan melaporkan
suaminya ke kantor polisi, bahkan masih mau setia mengunjungi suaminya di dalam panjara
dengan membawakanya makanan. Atau seorang anak masih tetap memilih tinggal dengan
orang tua yang melakukan kekerasan dari pada tempat yang lain. Hal ini di karenakan ikatan
emosi yang positif lebih besar dari pada penderitaan yang muncul karena konflik.
Hubungan dalam keluarga merupakan hubungan yang bersifat kekal. Orang tua akan tetap
menjadi orang tua, demikian juga saudara. Tidak ada istilah mantan orang tua atau mantan
saudara. Oleh karena itu dampak yang di rasakan dari konflik keluarga sering kali bersifat
jangka panjang. Bahkan seandaiannya konflik di berhentikan dengan mengakhiri hubungan,
misalnya berupa perceraian atau minggat dari rumah, sisa-sisa dampak psikologis dari konflik
tetap membekas.
Konflik dalam keluarga lebih sering dan mendalam bila dibandingkan dengan konflk
dalan konteks sosial yang lain ( Sillars dkk, 2004). Misalnya penelitian Adam dan Laursen
(2001) menemukan bahwa konflik dengan orang tua lebih sering di alami remaja bila
dibanding dengan sebaya. Penelitian lainnya (Rafacli,1997) mengungkapkan bahwa konflik
dengan sibling meningkat seiring meningkatnya jumlah kontak. Selain itu, jumlah waktu
yang dihabiskan bersama lebih signifikan memprediksi konflik sibling dibandingkan dengan
faktor usia, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga dan variabel yang lain.
Oleh karena sifat konflik yang normatif, artinya tidak bisa dielakkan maka vatilitas
hubungan dalam keluarga sangan tergantung dalam respon masing-masing terhadap konflik.
Frekuensi konflik mencerminkan kualitas hubungan, artinya hubungan yang berkualitas
frekuensi konflik lebih sedikit. kualitas hubungan dapat memengaruhi cara individu dalam
membingkai persoalan konflik. Suatu topik konflik seperti prilaku tidak mengerjakan tugas
dapat berubah menjadi konflik yang mendalam, apabila di bingkai dengan karesteristik
kepribadian, seperti sikap tidak bertanggung jawab. Walaupun demikian banyak keluarga
yang mengalami konflik, namun dapat berfungsi dengan baik. salah satu faktor yang penting
yang membuat keluarga yang berfungsi dengan baik adalah karena konflik tersebut dapat di
selesaikan, tidak di biarkan atau di anggap hilang seiringnya waktu. Seperti di ungkap Rueter
dan Conger (1995), keluarga yang memiliki interaksi hangat menggunakan pemecahan
masalah yang konstruktif, adapun keluarga yang interaksi bermusuhan menggunakan
pemecahan masalah yang destruktif.
d. Konflik Orang Tua-Anak
Secara naluriah orang tua akan menganggap anaknya sebagai bagian paling penting
dalam hidupnya. Dalam posisi tersebut orang tua akan berusaha mencapai kebahagian dan
kesejahteraan anak. Dengan persepektif demikian seharusnya konflik orang tua-anak
tidak akan terjadi, karena orang tua akan senantiasa berkorban untuk anaknya. Namun
dalam hubungan orang tua-anak sering kali juga mengandung persepektif kekuasaan dn
kewenangan. Selain terdapat aspek ketanggapan dalam merespons kebutuhan anak, juga
dapat aspek tuntutan yang mencerminkan harapan orang tua terhadap sikap dan prilaku
anak. Akhirnya hubungan orang tua-anak pun biasanya diwarnai dengan berbagai
perbedaan dan konflik. Sumber utama konflik pada umumnya adalah ketidak cocokan
antara persepektif anak dan persepektif orang tua
1. Konflik pada masa kanak-kanak
Penelusuran terhadap konflik orang tua-anak sudah di mulai sejak anak berupa
janin di dalam kandungan. Walaupn ibu mengandung janin dan selalu bersedia
berkorban untuk janin yang di kandungnya, ternyata tidak selalu memiliki
kepentingan yang sama dengan sang janin. Penelitian Haig (1993) memaparkan
adanya konflik genetik dalam proses kehamilan. Selama sembilan bulan
kehamilan, tubuh ibu akan menyediakan segala kebutuhan nutrisi bagi janin,
namun perkembangan janin berlangsung sesuai kebutuhannya.
Ketika bayi sudah lahir dan mengalami perkembangan di luar tubuh ibunya,
salah satu konflik yang permulaan muncul dalam hubungan orang tua-anak adalah
konflik pada penyapihan, biaanya ketika anak berusia satu tahun. Proses
penyapihan mulai di alami oleh anak karena kehamilan bayi berikutnya, atau
karena anak dianggap sudah berada pada usia yang sudah cukup untuk mulai
mengalami perpisahan sementara dengan ibunya.
2. Konflik pada masa remaja
Pada umumnya remaja di anggap sebagai masa yang paling sulit dalam tahap
perkembangan individu, para psikolog selama ini memberi label masa remaja
sebagai massa strom and stress, untuk menggambarkan masa yang penuh
bergejolak dan tekanan. Istilah strom and stress bermula dari psikologi
Amerika, yang menganggap bahwa stom and stress merupakan fenomena
universal pada masa remaja dan bersifat normatif, fenomena tersebut terjadi
karena remaja menjalani proses evolusi menuju kedewasaan. Setelah
memasuki dewasa ibarat badai akan berlalu dan langit menjadi cerah kembali
(zhou,2006), pandangan hall tersebut selaras dengan ppaham psikonolitik yang
menganggap bahwa masa remaja merupakan masa pertarungan antara id, yaitu
hasrat untuk mencari kesengan seksual dan super ego, yaitu tuntutan untuk
mematuhi norma dan moral sosial. Pergolakan yang di alami pada masa
remaja merupakan rfleksi dari konflik internal dan ketidak keseimbangan
fisikis.
Konflik remaja dengan orang tua merupakan salah satu hal yang banyak
mengandung perhatian pada peneliti. Area pada perhatian umumnya adalah
frekuensi terjadinya konflik, topik yang menjadi konflik dan cara yang di
gunakan untuk melakukan resolusi konflik. Beberapa penelitian menunjukkan
pola kurvanier pada intensitas konflik orang tua-anak, yaitu meningkat pada
remaja awal, sampai puncaknya remaja tengah dan menurun pada remaja akhir
(Motemayor,1983). Sementara beberapa penelitian lain mengungkapkan
kecendrungan menurun secara linier dengan intensitas konflik lebih tinggi
terjadi pada remaja awal da menurun di remaja akhir ( Allison& Schultz,2004;
Laursen, Coy, & Collins, 1998)
e. Resolusi Konflik
Oleh karena konflik merupakan asek normatif dalam suatu hubungan, maka
keberadaan konflik tida otomatis berdampak negatif terhadap hubungan maupun individu
yang terlibat dalam hubungan. Konflik baru akan berdampak negatif bila tidak terkelola
dengan baik. konflik dalam keluarga yang tidak terkelola dengan efektif akan menjadi
gejala atau faktor yang menyumbang akibat yang negatif pada individu maupun keluarga
secara keseluruhan. menurut Rubin (1994) pengelolaan konflik sosial dapat di lakukan
dengan beberapa cara, yaitu: penguasaan ( domination, ketika salah satu pihak berupaya
memaksakan kehendaknya baik dilakukan secara fisik maupun psikologis), penyerahan (
capitulition, ketika salah satu pihak secara pihak menyerahkan kemengan terhadap pihak
lain), pengacuhan (inaction, ketika salah satu pihak tidak melakukan apa-apa sehingga
cendrung membiarkan terjadinya konflik), penarikan diri (withdrawal, ketika salah salah
satu pihak menarik diri dari keterlibatan dari konflik), tawar menawar (negotiaton, ketika
pihak-pihak berkonflik saling tukar bergagasan dan melakukan tawar menawar untuk
menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan masing masing pihak), dan campur
tangan pihak ketiga ( third-party intervention, ketik ada pihak yang tidak terlibat konflik
menjadi penengah untuk menghasilkan persetujuan pada pihak-pihak yang berkonflik).
Dari berbagai cara tersebut hanya negosiasi dan pelibatan menengah yang merupakan
cara penanganan konflik yang bersifat konstruktif.
Pada dasarnya pengelolaan konflik dan intraksi antarpribadi dapat di bedakan menjadi
dua, yaitu secara konstruktif atau secara destruktif. Pengelolaan konflik secara destruktif
dapat terjadi karena hal sebagai berikut:
1) Persepsi negatif terhadap konflik. Individu yang menganggap konflik
sebagai hal yang negatifakan cendrung menghindari konflik atau
menggunakan penyelesaian semu terhadap konflik. Individu yang demikian
biasanya sering gagal mengenali pokok masalah yang menjadi sumber konflik,
karena perhatiannya sudah berfokus pada konflik sebagai problem.
2) Perasaan marah. Sebagaimana konflik merupakan aspek normatif dalam
suatu hubungan, marah sebenarnya juga merupakan hal yang alamiah
dirasakan individu yang terlibat konflik. Mengumbar atau memendam marah
sama buruknya bagi kesehatan hubungan atau mental individu. Oleh karena
itu, rasa marah harus dipahami sebagai gejala yang harus diatasi dan dapat di
ubah. Perasaan marah harus di kendalikan dengan kehati-hatian dan
kesabaran.
3) Penyelesaian oleh waktu. Sebagai upaya menghindari munculnya perasaan
negatif dalam menghadi konflik, misalnya marah, sedih, takut, sering kali
individu memilih menghabiskan masalah yang menjadi sumber konflik.
Harapanya adalah masalah tersebut akan selesai dengan sendirinya oleh
berjalannya waktu.
cara orang tua menyelesaikan konflik dengan anak dapat menjadi model bagi anak
dalam menyelesaikan konflik pada berbagai situasi. Sayangnya, sering kali orang tua dan
anak tidak menggunakan metode yang sistematis dalam menyelesaikan perbedaan (Riesch,
Gray, Hoeffs, Keenan, Ertl dan Matshion, 2003). Respons remaja terhadap konflik dengan
orang tua biasanya adalah berupaya menhindari konflik adapun responnya orang tua berupa
sikap mempertahankan otoritas sebagai orang tua.
Dari berbagai penelitian dan sesi konselng keluarga, para peneliti dan trapis
mengenali adanya gaya, resolusi konflik yang umumnya digunakan individu dalam
mengelola konflik. Harriet Goldhor Lerner sebagaimana di kutip oleh Olsom dan Olson
(2000), membedakan cara individu menyelesaikan konflik dalam lima macam, yaitu pemburu
( pursuer adalah individu yang berusaha membangun ikatan yang lebih dekat), penghindar (
distancer adalah individu yang cendrung mengambil jarak secara emosi), pecundang (
underfunctioner adalah individu yang gagal menunjukan kompetensi atau aspirasinya),
penakhuk (overfunctioner adalah individu yang cendrung mengambil alih dan merasa lebih
tahu yang terbaik dari pihak lain), dan pengutuk ( blamer, adalah individu yang selalu
menyalahkan orang lain atau keadaan)
Individu dengan ciri pemburu akan selalu berusaha meningkatkan kualitas relasinya
dengan orang-orang terdekanya. Ketika terjadi konflik dalam interaksi, maka akan dengan
sadar menghadapi konflik tersebut, berusaha mencari pokok masalah yang menimbulkan
konflik, berdiskusi untuk memahami perspektif masing-masing, kemudian melakukan
negosiasi untuk mencapai kompromi yang saling menguntungkan. Dalam hal ini konflik di
maknai secara positif dan di kelola secara konstruktif. Berbeda dengan individu dengan
karesteristik penghindar yang akan memilih menarik diri dari kancah konflik, tidak memiliki
keseduan untuk berunding, dan biasanya cendrung untuk memilih untuk membiarkan waktu
yang akan menyelesaikan masalah. Cara pengelola yang demikian haya akan seolah-seolah
menunjukan tidak ada peselisihan, namun sesengguhnya membiarkan konflik terpendam
yang beresiko menimbulkan gejala depresi.
Indiviu dengan ciri pengutuk akan menjadikan konflik sebagai ancah peperangan,
mengumbar marah, bahkan sering kali mengungkit-ungkit masalah lain yang tidak relevan
dengan pokok masalah yang menjadi penyebab perseisihan. Individu yang demikian
cendrung tidak mau mengakui kesalahannya, selalu membela diri, dan menimpakan
kesalahannya pada pihak lain atau keadaan. Sedikit berbeda dengan ciri penakluk yang akan
menghadapi konflik dengan unjuk kekuasaan, berupaya mendominasi dan mengedepankan
egonya. Baik pengutuk maupun penakhluk akan menghadapi konflik dengan pertikaian dan
pertengkaran yang beresiko memunculkan prilaku egoisnya.
Dalam upaya menhindari pertengkaran, individu dengan ciri pecundang akan memilih
untuk selalu mengalah dan menuruti apa yang menjadi kemauan pihak lain. Pengelolaan
konflik yang demikian memang dapat menghindarkan pertikaian, namun tidak bersifat
konstruktif karena tidak mampu mengembangkan kepribadian positif pada masing-masinh
pihak. Dalam taraf tertentu cara ini dapat mempertahankan hubungan dari situasi yang buruk,
namun hanya bersifat stagnan dan tidak mampu meningkatkan kualitas hubungan.
Senada dengan Lerner, Kurdek (1994) mengajukan empat macam gaya resolusi
konflik, yaitu penyelesaian masalah secara positif ( positeve problem solving;misalnya
melakukan perundingan dan negosiasi), pertikaian ( conflict engagement; misalnya
melakukan kekerasan, marah, selalu membela diri, menyerang dan lepas kontrol), penarikan
diri ( withdrawal; misalnya mendiamkan, menutup diri, menolak berunding, dan menjaga
jarak dari konflik), dan tunduk ( complience; misalnya selalu mengalah)
Konflik orang tua-anak selain berupa konflik dalam meregulasi perilaku dapat pula
terjadi dalam tanah yang lebih subtil, yaitu konflik nilai. Dalam menghadapi situasi konflik
nilai orang tua dan anak, Natrajan (2005) mengajukan empat tahapan penyelesaian, yaitu:
1. Menentukan nilai yang berkonflik ( apa yang dianggap penting orang tua, apa yang di
anggap penting anak)
2. Mencoba melakukan kompromi ( masing-masing nilai dipertahankan tetapi dikurangi
kadarnya)
3. Mempertimbangkan lagi nilai apa yang palin penting
4. Mencari alternatif lain untuk tetap terpenuhinya masing-masing nilai.

Selain melakukan konflik internal keluarga, orang tua juga berperan sebagai mediator
bagi anak dalam menghadapi dunia sosial yang lebih luas. menurut Parke dan Bhavnagri
( disitasi Padilla-Walker& Thompson, 2005), dalam menghadapi lingkungan eksternal orang
tua menjadi mediator dalam hal kontak personal di luar keluarga seperti tempat perawatan
anak, sekolah, pertetanggaan, dan komunitas. Selain itu, orang tua juga membantu anak untuk
menghadapi nilai-nilai yang dipromosikan oleh individu maupun berbagai agen di luar
rumah.
Dalam pengasuhan orang tua menggunakan berbagai strategis ketika menyosialisasikan
anak dalam menghadapi situasi konflik nilai strategis tersebut bervariasi tergantung pada
konteks situasi yang di hadapi, atau potensi pelanggaran yang di akibatkan jika anak
bertindak tidak konsisten dengan nilai yang di tanamkan. Menurut hasil penelitian Padila
Walker dan Thompson (2005), terdapat empat strategis yang di gunakan oleh orang tua ketika
mengdapi pesan yang menimbulkan konflik, yakni:
1. Cocooning, yaitu melindungi anak dari pengaruh masyarakat luas dengan
membatasi akses anak terhadap nilai-nilai lternatif, atau kemampuan untuk
berprilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai orang tua. Cocooning terbagi
menjadi dua level, yakni soned cocooning dan controlled cocooning. Pada
reasoned cocooning, orang tua persuasif melindungi anak dari pengaruh luar,
memperkuat nilai-nilai keluarga pada anak, dan memberikan penjelasan yang
logis terhadap nilai-nilai yang di tanamkan. Pada controlled cocooning, orang tua
memaksa anak untuk disiplin dan patuh tanpa memberikan penjelasan atau dasar
rasional terhadap larangan-larangan yang di berikan.
2. Pre-arming, orang tua mengantisipasi konflik nilai dan menyiapkan anak untuk
menghadapinya guna melawan dunia yang lebih luas.
3. Compromise, memberikan kesempatan pada anak untuk terpapar konflik nilai,
namun tetap mempertahankan elemen nilai keluarga dan kontrol sebagai orang
tua.
4. Deference, orang tua mengalah demi kebutuhan anak dan membiarkan anak
mengambil keputasan sendiri, meskipun hal tersebut bertentang nilai-nilai
keluarga.
Secara garis besar konflik orang tua anak sesungguhnya dapat berfungsi sebagai
media penanaman nilai. Dapat dikatakan demikian karena dalam menangani konflik dengan
anak, orang tua berkesempatan mengungkapkan harapan-harapannya atau menyampaikan
pesan-pesan moral, fungsi ini dapat berlangsung dan berhasil mendorong anak
menginternalisasikan nilai yang di sampaikan apabila konflik di kelola secara konstruktif.
 Konflik di definisikan sebagai peristiwa yang mencakup pertentangan
(oposisi) atau ketidak setujuan. Konflik antarpribadi dapat bermanfaat atau
merugikan tergantung pada strategi yang di gunakan untuk mengelolanya.
Konflik antarpribadi yang di kelola secara konstruktif justru dapat
memperkukuh hubungan, namun sebaliknya konflik yang tidak di kelola dapat
merusak hubungan dan memunculkan emosi negatif.
 Konflik dalam keluarga lebih sering terjadi dan bersifat mendalam bila di
bandingkan dengan konflik dalam konteks sosial lain. Prevalensi konflik
dalam keluarga berturut-turut adalah konflik antar saudara, konflik orang tua-
anak, dan konflik pasangan. Frekuensi kemunculan konflik dalam keluarga
mencirmankan kualitas dalam hubungan keluarga.
 Pada umumnya, sumber utama konflik orang tua-anak adalah ketidak
kecocokan antara perspektif anak dan perspektif orang tua. Para ahli
menelurusi konflik orang tua-anak sejak janin dalam kandungan, masa bayi,
masa kanak-kanak, sampai masa remaja. Intensitas konflik orang tua-anak
meningkat pada masa remaja awal, mencapai punjaknya pada remaja tengah,
dan menurun pada remaja akhir.
 Orang tua menggunakan strategi tertentu dalam menghadapi konflik dengan
anak, di antaraya melindungi, mengantisipasi, berkompromi, dan mengalah.
Pengelolaan konflik orang tua-anak yang bersifat konstruktif berdampak
positif, sedangkan yang destruktif berdampak negatif pada perkembangan
remaja. Pengelolaan konflik yang konstruktif mendukung proses internalisasi
nilai oleh anaknya.

f. Beberapa Jenis Alternatif Penyelesaian Sengketa


1.Aarbitrase
Arbitrase adalah institusi penyelesaian sengketa alternatif yang paling populer dan
paling luas digunakan masyarakat dibanding dengan institusi penyelesaian sengketa yang
lain. Karakteristik Institusi Arbitrase sangat mirip dengan lembaga peradilan yaitudalam hal
prosedur yang dipakai, kekuatan putusan,keterikatan dengan hukum yang berlaku atau
dengan aturan main yang ada. Pokok pokok acara prosedur penyelesaian sengketa lewat
arbitrase adalah:
 Commencement.
 Pleriminary meeting
 Pleadings (point of claims, points of defence and counter claim, and points of reply
and defense to counter claim).
 Hearing,dan
 Award.
Landasan hukum arbitrase di indonesia adalah pasal 377 HIR.5 Pasal tersebut mengatur
bahwa “jika orang indonesia dan timur asing hendak menyuruh memutuskan persesilihannya
oleh juru pemisah, maka dalam hal itu mereka wajib menuruti peraturan mengadili perkara
bagi bangsa Eropa”.berdasarkan ketentuan tersebut, maka golongan bumiputra menggunakan
lembaga arbitrase. Syaratnya adalah mengikuti semua ketentuan tentang arbitrase yang
berlaku bagi bangsa Eropa sebagaimana yang di atur dalam Rv pasal 615 s/d 651.6
Beberapa kelebihan atau krakteristik positif dari lembaga arbitrase adalah:
1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak.
2. Dapat dihindari kelambatan yang di akibatkan karena hal prosedural dan
administratif.
3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, pengalaman, serta latar blakang yang cukup mengenai masalah yang
di sengketakan, jujur, dan adil.
4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya
serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase.
5. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui
tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat di laksanakan.

2. Negosiasi
Negosiasi adalah suatu proses tawar menawar atau pembicaraan untuk mencapai suatu
kesepakatan terhadap masalah tertentu yang terjadi di antara para pihak.7 Menurut fisher dan
Ury negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang di rancang untuk mencapai kesepakan
pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentigan yang sama maupun berbeda beda. 8
Negosiasi merupakan saran bagi pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk mendiskusikan
penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga menengah yang tak berwenang mengambil
keputusan (mediasi) maupun pihak ketiga pengambil keputusan (arbitrase dan litigasi).
Negosiasi dilakukan baik karena telah ada sengketa di antara para pihak maupun
hanya karena ada kata sepakat disebabkan belum pernah dibicarakan masalah tersebut.
Negosiasi dilaksanakan oleh seorang negosiator, negosiasi merupakan “the deliberation,
discussion, or conference upon the terms of a proposed agreement, the act of setting or
arranging the terms and condition of a bargain, sale, or other business transaction”.9
Negosiasi bisa dilaksanakan oleh siapa saja, baik pihak yang memerlukan negosiasi
untuk tujuan tertentu. Bisa juga dilakukan oleh seorang profesional negosiator yang
melakukan negosiasi atas dasar surat kuasa untuk melakukan negosiasi untuk dan tasa nama
prinsipalnya.

3. Konsiliasi
5
M. Yahya Harahap, arbitrase,sinar Grafika, jakarta, 2003, h. 2.
6
Basuki Rekso Wibowo, Pengaturan Arbitrase Di Indonesia (hands out), h. 18.
7
Munir Fuady, Op.cit, h.42.
8
M. Zaidun, mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (Bahan Perkuliahan di Universitas Airlangga), h. 5.
9
Munir Fuady, Op. Cit., h.52.
Konsiliasi adalah salah satu jenis alternatif penyelesaian sengketa yang melibatkan
pihak ketiga yang netral dan tidak memihak. Pihak ketiga tersebut adalah konsiliator.
Tugasnya adalah untuk melakukan komunikasi diantara para pihak sendiri. Dengan demikian,
pihak konsiliator hanya melakukan tindakan- tindakan seperti mengatur waktu dan
menentukan empat, mengarahkan subjek pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak ke
pihak yang lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan secara langsung oleh pihak
yang bersengketa. Konsiliasi bersifat sukarela dan arah putusan yang dihasilkan sepenuhnya
terletak ditangan para pihak yang bersengketa.10

4. Pencari Fakta
Penvcarian Fakta (factfinding) oleh pencari fakta sudah banyak digunakan dalam
praktik sehari-hari. Pihak pencari fakta tersebut dapat berbentuk: pencari fakta tunggal, tim
pencari fakta sepihak, tim pencari fakta gabungan, tim pencari fakta tripartite. Meskipun
tugas utamanya adalah mencari fakta, tetapi tim pencari fakta biasanya juga mempunyai
kewenangan untuk memberikan rekomendasi penyelesaian masalah. Tugas umum pencari
fakta adalah; mengumpulkan fakta, memverifikasi fakta, meninterpetasi fakta, melakukan
wawancara dan hearing, menarik kesimpulan tertentu, memberikan rekomendasi,
mempublikasi).11
5.Ombudsman
Ombudsman merupakan seorang pejabat publik yang diangkat untuk menginvestigasi
kegiatan dari badan- badan pemerintah yang dapat merugikan hak-hak dari individu. Untuk
unsur- unsur yang melekat dalam lembaga Ombudsman adalah:
 Ombudsman adalah seotrang yang diangkat oleh parlemen yang tidak berpihak dan
independen, biasanya diamanatkan oleh konstitusi dari negara tersebut, yang akan
mensupervisi administrasi pemerintahan negara.
 Ombudsman menampun g keluhan- keluhan dari masyarakat berkenaan dengan
administrasi pemerintahan yang tidak adil.
 Ombudsman mempunyai kewenangan untuk melakukan kritik, investigasi dan
publikasi terhadap kegiatan administrasi pemerintahan, tetapi bukan ungtuk
membatalkan atau menyatakan batal kegiatan tersebut.12

Contoh lembaga ombudsman yang sudah bisa berfungsi secara efektif adalah
Commonwealth Ombudsman di Australia. Peran lembaga Ombudsman Commonwealth
antara lain konsiliasi dan mediasi. Bidang- bidang yang ditangani Commonwealth
Ombudsman antara lain adalah perpajakan, perumahan, tanah, administrasi, dan lain-lain.13
Di Indonesia kita juga mempunyai lembaga Ombudsman Republik Indonesia,
lembaga tersebut mempunyai kewenangan untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan
10
Munir Fuady, Op. Cit., h.52.

11
Munir Fuady, Arbitrase Nasional: Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Penerbit Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003, h.54.
12
Munir Fuady, ibid, h.58.
13
WWW.Kompas.com Dikunjungi tanggal 15 November 2004
publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, termasuk
yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD, dan Badan Hukum Milik Negara. Lembaga ini
dibentuk berdasarkan UU No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Tugas dan wewenang Ombudsman Republik Indonesia antara lain adalah menerima
pengaduan mengenai maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, melakukan
pemeriksaan substansi laporan, menindaklanjuti laporan yang tercakup dalam ruanglingkup
wewenang, melakukan investigasi terhadap dugaan maladministrasi, melakukan koordinasi
dengan lembaga negara lainnya, membangun jaringan kerja, melakukan upaya pencegahan
maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
6.Small Claim Court
Pengadilan kasus kecil (small calim court) adalah model pengadilan dalam sistem
peradilan biasa tetapi dengan memakai prosedur dan pembuktian sederhana, untuk kasus-
kasus yang klaimnya kecil dan biasa tanpa memakai jasa pengacara. Tentu saja untuk kasus
kecil tidak mungkin mengikuti prosedur pengadilan yang biasa, yang cukup rumit, panjang
dan berbelit- belit. Karena biaya dan waktu yang diperlukan untuk itu tidak sebanding dengan
besarnya kasus atau klaim dalam kasus tersebut. Umtuk kitu diperlukan suatu peradilan
dengan prosedur khusus, yaitu prosedur yang sederhana atau sumir.14
Di Indonesia pengadilan kasus kecil atau samll calam court diterapkan dalam bentuk
gugatan sederhana yang di inisiasi oleh Mahkamah Agung melalui Perma No. 2 Tahun 2015
Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana atau lebih dikenal dengan “gugatan
sederhana”. Yang biasa diselesaikan melalui mekanisme gugatan sederhana adalah perkara
perdata yang berkarakter wanprestasi dan perbuatan melawan hukum dengan nilai dibawah
200 juta serta melibatkan hanya pihak penggugat (satu orang) dan tergugat (satu orang) saja.
Karena karakter sengketa menyangkut substansi yang tidak terlalu rumit, maka waktu
penyelesaian gugatan sederhana dari pembacaan gugatan sampai dengan putusan juga cukup
singkat, yaitu maksimal 25 hari kerja saja.
Didalam Pasal 14 Perma 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan
Sederhana dinyatakan bahwa Hakim wajib berperan aktif melakukan hal- hal antara lain,
yaitu:
a. Memberikan penjelasan mengenai acara gugatan sederhana secara berimbang
kepada para pihak
b. Mengupayakan penyelesaian perkara secara damai termasuk menyarankan kepada
para pihak untuk melakukan perdamaian diluar persidangan.
c. Menjelaskan upaya hukum yang dapat ditempuh para pihak.
Perdamaian yang dilaksanakan dalam Gugatan Sederhana adalah tidak terikat dengan
prosedur mediasi dipengadilan sebagaimana diatur Perma No.1 Tahun 2016.

7.Musyawarah
Di Indonesia terdapat lembaga penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang sifatnya
asli dari budaya Indonesia, yaitu musyawarah. Pada masa lalu lembaga musyawarah bisa
14
Munir Fuady, ibid., h.58.
dilakukan secara antar perorangan. Bisa juga dilakukan melalui lembaga adat yang diakui
sebagai tempat penyelesaian sengketa. Sampai saat ini masih cukup banyak lembaga adat
yang mempunyai fungsi efektif menyelesaikan sengketa masyarakat. Lembaga tersebut
berfungsi sebagai lembaga Alternative dispute resolution tradisional. Diantarnya adalah
lembaga-lembaga adat yang ada di Jawa Timur, Jogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Sumater
Barat, Papua, Aceh, dan beberapa daerah lainnya.
Pelaksanaan musyawarah untuk menyelesaikan masalah tertentu dilaksanakan dan
dihadiri oleh para pihak yang bermasalah/ bersengketa dan dihadiri oleh ketua adat yang
bertindak selaku pihak yang yang memimpin jalannya musyawarah adat. Apabila sengketa
yang dihadapi adalah sengketa yang sifatnya terkait dengan hukum adat maka
penyelesaiannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum adat. Apabila sengketa yang
dihadapi sifatnya umum dan tidak terdapat karakter adat maka penyelesaiannya bisa
dilakukan sesuai dengan substansi sengketa serta hasil permusyawaratan. Musyawarah adalah
lembaga penyelesaian sengketa tertua yang tumbuh dan berkembang di Nusantara. Pada
zaman kerajaan atau kesultanan dipenjuru Nusantara hampir semua kerajaan aytau kesultanan
mempunyai lembaga permusyawaratan resmi yang bertugas menyelesaikan segala bentuk
masalah yang terjadi, baik masalah kenegaraan maupun masalah sosial yang terjadi dalam
masyarakat.
Sampai saat ini lembaga musyawarah masih hidup, diakui serta digunakan untuk
menyelesaikan masalah yang terjadi dalam masyarakat. Pada zaman modern seperti sekarang
nushyawarah digunakan untuk menyelesaikan masalah yang terkait dengan hukum, misalnya
masalah perdata dan masalah pidana. Dalam masalah terkait sengketa perdata hampir semua
jenis bisa diselesaikan dalam musyawarah. Adapun terkait pidana yang bisa diselesaikan
dalam musyawarah hanya pada masalah- masalah yang sifatnya rungan saja. Kategori
masalah (pidana) ringan yang bisa dimusyawarahkan, yaitu ringan kadar perbuatan, ringan
akibat bagi korban dan para pihak bersedia menyelesaikan dalam forum musyawarah.
g. Analisis
Konflik adalah suatu proses sosial antara dua orang atau dua kelompok, atau lebih salah
satu pihaknya berupaya menyingkarkan yang lain dengan menghancurkan atau membuatnya
tak berdaya.
Dari segi definisi, Soerjono Soekanto mengunkapkan bahwa konflik merepukan
pertentangan untuk berusaha memenuhi tujuan dengan jalan menentang pihak lawan.
Sedangkan menurut Lewis A. Coser dalam bukunya The Functions of Sosial Conflict, konflik
adalah perjuangan nilai atau tuntutan atas status. Konflik merupakan bagian yang akan selalu
ada dalam masyarakat. Konflik akan hilang jika masyarakat hilang. Jadi bisa di bilang
sebenarnya kita tidak usah bingung ada atau tidak adanya konflik sebab keduanya itu serupa
hubungan antara kompetisi dan kooeperasi. Konflik di definisikan sebagai peristiwa yang
mencakup pertentangan (oposisi) atau ketidak setujuan. Konflik antarpribadi dapat
bermanfaat atau merugikan tergantung pada strategi yang di gunakan untuk mengelolanya.
Konflik antarpribadi yang di kelola secara konstruktif justru dapat memperkukuh hubungan,
namun sebaliknya konflik yang tidak di kelola dapat merusak hubungan dan memunculkan
emosi negatif.
Konflik dalam keluarga lebih sering terjadi dan bersifat mendalam bila di bandingkan
dengan konflik dalam konteks sosial lain. Prevalensi konflik dalam keluarga berturut-turut
adalah konflik antar saudara, konflik orang tua-anak, dan konflik pasangan. Frekuensi
kemunculan konflik dalam keluarga mencirmankan kualitas dalam hubungan keluarga.
Pada umumnya, sumber utama konflik orang tua-anak adalah ketidak kecocokan antara
perspektif anak dan perspektif orang tua. Para ahli menelurusi konflik orang tua-anak sejak
janin dalam kandungan, masa bayi, masa kanak-kanak, sampai masa remaja. Intensitas
konflik orang tua-anak meningkat pada masa remaja awal, mencapai punjaknya pada remaja
tengah, dan menurun pada remaja akhir.
Orang tua menggunakan strategi tertentu dalam menghadapi konflik dengan anak, di
antaraya melindungi, mengantisipasi, berkompromi, dan mengalah. Pengelolaan konflik
orang tua-anak yang bersifat konstruktif berdampak positif, sedangkan yang destruktif
berdampak negatif pada perkembangan remaja. Pengelolaan konflik yang konstruktif
mendukung proses internalisasi nilai oleh anaknya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Konflik adalah suatu proses sosial antara dua orang atau dua kelompok, atau lebih salah
satu pihaknya berupaya menyingkarkan yang lain dengan menghancurkan atau membuatnya
tak berdaya.
Untuk bisa dikatakan sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang baik, maka ada
beberapa prasyarat yang harus dipenuhi, antara lain:
1. Harus efisien dari segi waktu.
2. Hemat biasa.
3. Bisa diakses para pihak dengan mudah.
4. Melindungi hak- hak para pihak yang bersengketa.
5. Bisa menghasilkan putusan yang adil dan jujur.
6. Badan atau orang yang menjadi alternatif penyelesaian sengketa harus terpercaya
dimata masyarakat dan pihak yang bersengketa.
7. Putusan harus bersifat final dan mengikat.
8. Putusan harus mudah dieksekusi.
9. Putusan harus sesuai dengan perasaan keadilan dari komunitas dimana
penyelesaian sengketa alternatif tersebut dilaksanakan.
Dalam pengasuhan orang tua menggunakan berbagai strategis ketika
menyosialisasikan anak dalam menghadapi situasi konflik nilai strategis tersebut bervariasi
tergantung pada konteks situasi yang di hadapi, atau potensi pelanggaran yang di akibatkan
jika anak bertindak tidak konsisten dengan nilai yang di tanamkan. Menurut hasil penelitian
Padila Walker dan Thompson (2005), terdapat empat strategis yang di gunakan oleh orang
tua ketika mengdapi pesan yang menimbulkan konflik, yakni:
1. Cocooning, yaitu melindungi anak dari pengaruh masyarakat luas dengan
membatasi akses anak terhadap nilai-nilai lternatif, atau kemampuan untuk
berprilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai orang tua. Cocooning terbagi
menjadi dua level, yakni soned cocooning dan controlled cocooning. Pada
reasoned cocooning, orang tua persuasif melindungi anak dari pengaruh luar,
memperkuat nilai-nilai keluarga pada anak, dan memberikan penjelasan yang
logis terhadap nilai-nilai yang di tanamkan. Pada controlled cocooning, orang tua
memaksa anak untuk disiplin dan patuh tanpa memberikan penjelasan atau dasar
rasional terhadap larangan-larangan yang di berikan.
2. Pre-arming, orang tua mengantisipasi konflik nilai dan menyiapkan anak untuk
menghadapinya guna melawan dunia yang lebih luas.
3. Compromise, memberikan kesempatan pada anak untuk terpapar konflik nilai,
namun tetap mempertahankan elemen nilai keluarga dan kontrol sebagai orang
tua.
4. Deference, orang tua mengalah demi kebutuhan anak dan membiarkan anak
mengambil keputasan sendiri, meskipun hal tersebut bertentang nilai-nilai
keluarga
B. Saran
Demikian yang dapat kami papaarkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan kami atau refensi
yang berhubungan dengan judul makalah ini. Maka dari itu kritik dan saran dari pembaca
sangat kami harapkan, semoga makalah ini berguna bagi penulis, khususnya dari pembaca
DAFTAR PUSTAKA
Maskur Hidayat. Strategi & Taktik Mediasi Berdassarkan Perma No:1 Tahun 2016 tentang
Produser Mediasi di Pengadilan, Jakarta: Kencana, 2016
Nita Trilana. Alternativie Dspute Reselution, Yogyakarta: Cv Hikam Media Utama, 2019
Prawirohamidjo, Soetojo Dan Martalena Pohan. Hukum Perikatan. Jakarta:Bina Ilmu. 1984.
Rahmadi, Takdir. Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat. Jakarta:
Rajawali Pers. 2011.
Suyuthi, Wildan. Kode Etik, Etika Profesi Dan Tanggun Jawab Hakim, Mahkamah Agung
Republik Indonesia. 2004.
Rahmadi, Takdir. Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan
Sri Lestari. Psikologi keluarga

Anda mungkin juga menyukai