Anda di halaman 1dari 34

TUGAS NEURO ANATOMI DAN PEMERIKSAAN FISIK

REFLEKS FISIOLOGIS DAN REFLEKS PATOLOGIS

OLEH:
PPDS 1
dr. Opik Jamaludin

PEMBIMBING
dr. Badhrul Munir, Sp.S

LABORATORIUM ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT UMUM.DR.SAIFUL ANWAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2014
REFLEKS

1. PENDAHULUAN
Refleks adalah jawaban terhadap suatu perangsangan. Ini merupakan mekanisme
respon-stimulus bersifat tidak disadari sehingga bernilai objektif dalam pemeriksaan.
Gerakan yang timbul dinamakan gerakan reflektorik Adanya gerakan reflektorik ini
menunjukkan adanya hubungan antara daerah yang dirangsang dan otot yang bergerak secara
reflektorik. Hubungan inilah yang dimanfaatkan dalam pemeriksaan refleks sebagai
pemeriksaan refleks (Lumbantobing, 2010; Waxman, 2003)
Pemeriksaan reflek merupakan pemeriksaan yang objektif karena merupakan respon
sensorik yang tidak disadari dan sulit untuk direkayasa. Selain itu, pemeriksaan reflek juga
tidak memerlukan perhatian, kooperasi, atau inteligensi pasien sehingga bisa dilakukan pada
hampir semua pasien. Namun, tetap memerlukan evaluasi dan temuan klinis lainnya
(Campbell, 2013).
Refleks neurologik bergantung pada suatu lengkung refleks yang terdiri atas jalur aferen
yang dicetuskan oleh reseptor dan sistem eferen yang mengaktivasi organ efektor. Terdapat 2
komponen yang terlibat dalam suatu refleks, yaitu komponen segmental dan komponen
suprasegmental. Komponen segmental merupakan pusat refleks lokal pada medulla spinalis
atau batang otak dan hubungan antara aferen dan eferennya. Komponen suprasegmental
merupakan jalur desenden sentral yang mengontrol, memodulasi dan meregulasi aktivitas
segmental. Penyakit pada jalur suprasegmental dapat meningkatkan aktivitas beberapa
refleks, menurunkan aktivitas lainnya dan menyebabkan timbulnya refleks yang pada orang
normal tidak muncul. Respon refleks dapat berupa motorik, sensorik atau otonom (Campbell,
2013).
Stimulus diterima oleh reseptor yang merupakan akhir sensori pada kulit, membran
mukosa, otot, tendon, periosteum atau refleks khusus pada retina, koklea, apparatus
vestibular, mukosa olfaktorius, bulbus gustatorius atau organ dalam. Stimulasi reseptor akan
menginisiasi sepanjang jalur aferen menuju sistem saraf pusat dan terjadi sinap pada reflek
pusat yang mengaktivasi jalur eferen. Neuron eferen mentransmisikan impuls ke efektor
berupa sel, otot, kelenjar dan pembuluh darah lalu memberikan respon. Gangguan fungsi
pada sebagian lengkung reflek baik pada reseptor, jaras aferen, reflek sentral, jaras eferen,
maupun efektor, akan merusak lengkung reflek sehingga menyebabkan menurun atau
hilangnya refleks (Campbell, 2013).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan refleks, diantaranya adalah :
Pemberian stimulus harus cepat, langsung, tak nyeri; Penderita dalam posisi menyenangkan
dan santai; Keadaan tonus otot: sedikit kontraksi. Ini berhubung reaksi dan refleks tergantung
pada keadaan tonus otot; Letak ekstremitas dalam keadaan simetris; Reaksi refleks dapat
dilihat atau dirasakan dengan meletakkan tangan diatas otot yang bersangkutan; dan Respon
refleks selalu dibandingkan dengan sisi yang lain (Campbell, 2013; Sidharta, 2010).

2. JENIS-JENIS REFLEKS
Beberapa peran refleks yang secara tidak disadari selalu bekerja dalam aktivitas
keseharian kita, diantaranya adalah refleks dalam regulasi panjang otot (refleks
monosinaptik), refleks yang memediasi respons protektif dan hindar (refleks polisinaptik),
dan refleks-refleks terkait regulasi panjang dan tegangan otot. Adapun dalam praktik sehari-
hari, refleks dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : (1) Refleks superficial, (2) Refleks tendon
dalam, (3) Refleks patologis.

2.1. Refleks Monosinaptik


Serabut aferen dari spindle otot masuk ke medulla spinalis, lalu membentuk banyak
cabang terminal dan bersinaps langsung dengan neuron di substansia grisea kornu anterior
(sel motorik kornu anterius). Neurit eferen keluar dari medulla spinalis melalui radiks
anterior menuju otot rangka. Sehingga lengkung reflek monosinaptik ini terbentuk dari otot-
medula spinalis-otot, tersusun dari neuron sensorik aferen dan neuron motorik eferen.
Disebut refleks monosinaptik sederhana karena lengkung refleks dimulai dan berakhir pada
otot yang sama. Lengkung reflek ini menjadi dasar neuroanatomi untuk regulasi panjang otot
(Baehr, 2005).
Reflek monosinaptik juga memiliki komponen polisinaptik, karena tidak hanya
menimbulkan kontraksi otot yang bersangkutan juga menyebabkan relaksasi otot
antagonisnya. Inhibisi sel-sel otot yang menimbulkan relaksasi merupakan proses polisinaptik
yang timbul melalui interneuron di substansia grisea medula spinalis. Apabila hal ini tidak
terjadi, tegangan pada otot antagonisnya akan melawan kontraksi otot agonis (Baehr, 2005).
Gambar 2.1. Refleks monosinaptik (Baehr, 2005)

Gambar 2.2 Refleks monosinaptik dengan inhibisi polisinaptik pada otot-otot antagonis (Baehr, 2005)

2.2. Refleks Polisinaptik


Lengkung reflek polisinaptik (refleks fleksor polisinaptik) merupakan suatu reflek
protektif dan hindar yang dimediasi oleh banyak interneuron (polisinaptik). Sebagai contoh,
saat seseorang menyentuh benda panas, maka stimulus panas di reseptor kulit (nosiseptior)
akan berjalan melewati serabut aferen ke substansia gelatinosa medula spinalis, kemudian
dihantarkan melalui sinaps ke dalam berbagai jenis sel yang dimiliki oleh aparatus neuronal
intrinsik medula spinalis (interneuron, neuron asosiasi, dan neuron komisural). Beberapa sel
tersebut (terutama neuron asosiasi) memproyeksikan prosesusnya ke berbagai level spinal, ke
atas maupun ke bawah, yang disebut fasikulus propius. Setelah melewati beberapa sinap,
impuls eksitatorik akhirnya mencapai neuron motorik dan berjalan sepanjang akson eferen ke
radiks nervus spinalis, saraf perifer, dan otot, menimbulkan kontraksi otot yang menghindari
stimulus. Sehingga tangan akan ditarik dengan cepat sebelum terasa nyeri (Baehr, 2005).

Gambar 2.3 Neuron intrinsik dan hubungan polisinaptik di medula spinalis

2.3. Refleks terkait regulasi panjang dan tegangan otot


Masing-masing otot memiliki dua sistem servo-kontrol (umpan balik) yaitu :
 Sistem kontrol untuk panjang, yaitu serabut kantong inti (nuclear bag fiber) spindel otot
berfungsi sebagai reseptor panjang.
 Sistem kontrol untuk tegangan, yaitu organ tendon Golgi dan serabut rantai inti (nuclear
chain fiber) spindel otot berfungsi sebagai reseptor tegangan.
Spindle otot adalah reseptor untuk regangan (panjang) dan tegangan. Kedua modalitas
ini dideteksi oleh dua jenis serabut intrafusal yang berbeda (serabut kantong inti dan serabut
rantai inti). Spindel otot umumnya terdiri dari 2 serabut kantong inti dan 4-5 serabut rantai
inti. Di bagian tengah serabut kantong inti, serabut otot intrafusal membentuk kantong yang
berisi 50 nuklei yang diselubungi jaringan saraf sensorik (ujung anulospiral atau primer).
Ujung spiral ini sangat sensitive terhadap regangan (panjang). Adapun serabut rantai inti
mendeteksi keadaan regangan otot yang persisten (reseptor tegangan) (Baehr, 2005).
Serabut otot ekstrafusal memiliki panjang tertentu saat istirahat yang selalu
dipertahankan konstan, bila otot diregangkan melebihi panjang ini, spindel otot akan ikut
teregang. Hal ini mencetuskan potensial aksi di ujung anulospiral dan berjalan di serabut
aferen, kemudian dihantarkan melewati sinaps ke neuron motorik di kornu anterius medulla
spinalis. Neuron motorik yang tereksitasi akan memberikan impuls yang berjalan di dalam
serabut eferen α1 ke serabut otot ekstrafusal yang bekerja, menyebabkan otot berkontraksi
kembali ke panjang sebelumnya (Baehr, 2005).

Gambar. Sirkuit regulasi panjang


otot (Baehr, 2005)

Gambar 2.4. Sirkuit regulasi


tegangan otot (Baehr, 2005)

Sirkuit regulasi ini dapat diperiksa keutuhannya dengan ketukan cepat pada tendon otot,
misalnya tendon patella untuk mencetuskan reflek quadriseps femoris (refleks patella).
Regangan otot yang terbentuk mengaktifkan lengkung reflek monosinaptik. Reflek otot
intrinsik ini mampu menentukan lokalisasi pada neurologi klinis karena lengkung reflek
untuk otot tertentu hanya menempati satu atau dua segmen radikuler medula spinalis yang
berdekatan, dengan demikian temuan reflek yang abnormal memungkinkan untuk
menentukan level segmen lesi radikuler atau lesi spinalis yang mendasarinya (Baehr, 2005).
Setiap otot memiliki derajat ketegangan (tonus) termasuk dalam keadaan istirahat. Pada
pemeriksaan klinis neurologis, menilai tonus otot dengan mengevaluasi tahanan terhadap
gerakan pasif pada anggota gerak (misalnya dengan gerakan flexi dan extensi). Kehilangan
tonus otot secara total dapat dihasilkan akibat transeksi semua radiks anterior atau transeksi
pada semua radiks posterior. Dengan demikian tonus pada saat istirahat bukan merupakan
sifat otot itu sendiri tetapi dipertahankan oleh lengkung refleks (Baehr, 2005).

Gambar 2.5. Reflek-reflek otot intrinsik


yang paling penting (Baehr, 2005)

2.4. Refleks Tendon Dalam


Refleks dalam dikenal juga sebagai deep tendon reflex atau refleks regang otot
merupakan reflek sederhana dengan neuron reseptor di spindel otot dan memiliki koneksi
langsung dengan alfa motor neuron di sistem saraf pusat yang mengirim axon kembali ke otot
tersebut. Refleks dalam berarti refleks yang bangkit sebagai jawaban atas perangsaan
terhadap otot, dapat dilakukan dengan pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum.
Reflek tendon dalam yang normal menghasilkan kontraksi hanya pada otot yang tendonnya
diberikan rangsang regangan dan otot agonis dari otot tersebut (otot dengan aksi yang sama)
dan disertai inhibisi otot antagonis (Campbell, 2013)
Refleks tendon dalam merupakan mekanisme umpan balik dalam mempertahankan
tonus otot yang sesuai. Refleks tendon bergantung kepada reseptor sensoris spesifik (spindel
otot), serabut aferen memanjang dari reseptor melalui dorsal root menuju medulla spinalis,
ada dua tipe lower motor neuron (alfa dan gamma motor neuron) yang berproyeksi kembali
ke otot, dan interneuron inhibisi (sel Renshaw) (Waxman, 2003).
Serabut otot ekstrafusal bertanggung jawab pada kontraksi otot. Serabut ini diinervasi
oleh neuron kornu anterius yang dikenal dengan alfa motor neuron. Saat alfa motor neuron
tereksitasi, akan mencetuskan potensial aksi, melalui akson di ventral root dan saraf perifer,
menuju motor end-plate, dan menghasilkan efek eksitasi dan menyebabkan kontraksi otot.
Akson dari alfa motor neuron berdiameter 12-20 µm dan mentransmisikan potensial aksi
dengan kecepatan 70-120 meter/detik (Waxman, 2003).
Serabut otot intrafusal mendapatkan inervasi dari gamma motor neuron, berukuran
kecil, berada di kornu anterior. Gamma motor neuron memiliki akson kecil berdiameter 3-6
µm, menyusun 25-30% serabut di ventral root. Stimulus pada gamma motor neuron akan
mengeksitasi serabut otot intrafusal menyebabkan secara tidak langsung kontraksi otot. Hal
ini terjadi karena ukuran serabut akson yang kecil, sehingga saat tereksitasi akan
meningkatkan tegangan spindel otot yang akan meningkatkan sensitivitas terhadap regangan
otot. Gamma motor neuron diregulasi oleh jaras desenden dari otak dengan memodulasi batas
ambang untuk refleks regangan (Waxman, 2003).
Interneuron yang berlokasi di kornu anterior berproyeksi ke alfa motor neuron dan
bersifat inhibisi. Sel Renshaw menerima input eksitasi melalu jalur kolateral, yang
merupakan cabang dari alfa motor neuron. Sel tersebut merupakan bagian dari sirkuit umpan
balik yang mencegah terjadi overaktivitas di alfa motor neuron (Waxman, 2003).
Organ tendon golgi, sebagai reseptor kedua, berada di dalam tendon otot. Reseptor
regangan tersebut bersama dengan serabut otot ekstrafusal diaktifkan oleh regangan atau
kontraksi otot. Kelompok aferen 1b dari organ tendon melalui dorsal root menuju grey matter
medulla spinalis. Di sini, berakhir pada interneuron yang menginhibisi alfa motor neuron
yang menginervasi otot agonist, lalu memediasi refleks inverse regang. Pengaturan umpan
balik ini agar mencegah overaktivitas di alfa motor neuron (Waxman, 2003).
Apabila serabut alfa motor neuron rusak di ventral root atau saraf perifer terputus atau
cedera resistensi otot untuk meregang akan berkurang. Otot menjadi lemah dan flaksid dan
tonus berkurang. Pemeriksaan refleks tendon dalam mampu memberikan informasi untuk
menunjang diagnostic. Hilangnya semua refleks tendon dalam, sebagai contoh, dapat
diperkirakan adanya polineuropati (contoh, sindrom Guillain Barre), sedangkan hilang
atau berkurang sebagian refleks tendon dalam (contoh, hilangnya refleks patella satu
sisi) diperkirakan adanya cedera pada serabut saraf aferen atau eferen di root yang
menyusun lengkung refleks (Waxman, 2003)
Otot ekstensor besar yang menjaga tubuh tegap dan konstan dengan koaktivasi alfa dan
gamma motor neuron. Transeksi medulla spinalis akut dapat mengurangi tonus otot di
bawah level dari lesi, mengindikasikan bahwa akson supraspinal desenden memodulasi
alfa dan gamma motor neuron. Pada fase kronik, akan terdapat hiperaktif pada refleks
tendon dalam di bawah level lesi, menghasilkan spastisitas. Kondisi ini merupakan hasil
dari hilangnya jaras desenden yang mempengaruhi proses modulasi. Pada beberapa
pasien, peningkatan tonus ekstensi pada ekstremitas bawah ini membuktikan adanya kaki-
kaku dengan jalan spastic setelah kerusakan sistem kortikospinal (misal, setelah stroke)
(Waxman, 2003)

Gambar 2.6. Skema stretch reflex dan inverse stretch reflex (Waxman, 2003).

Menurun atau menghilangnya refleks dalam merupakan indikasi adanya gangguan pada
lengkung refleks, sehingga tujuan utama dilakukan pemeriksaan refleks dalam adalah untuk
membedakan apakah gangguan berasal dari upper motor neuron ataukah lower motor neuron.
Bila lesi UMN, maka cenderung akan terjadi hiper-refleksia, namun sebaliknya, lesi LMN
akan menyebabkan hipo-refleksia. Adanya clonus atau rigiditas otot (paralisis spastik) juga
dapat menunjang diagnosis gangguan UMN. Sedangkan paralisis flaccid lebih sering muncul
pada LMN.

Lesi lower motor neuron


Lower motor neuron berisi badan sel di gray matter kolumna anterior medulla spinalis
atau batang otak dengan aksonnya yang menuju motor end plate suatu otot. Lower motor
neuron merupakan ujung dari suatu jaras karena beberapa impuls yang sampai di otot ini
berasal dari jaras kortikospinal, rubrospinal, olivospinal, vestibulospinal, retikulospinal dan
traktus tektospinal sebagai neuron refleks intersegmental atau intrasegmental.
Lesi pada lower motor neuron dapat berlokasi pada sel di gray matter kolumna anterior
medulla spinalis atau batang otak atau pada aksonnya, yang menuju ventral root dari saraf
spinalis atau saraf kranialis. Lesi dapat disebabkan oleh trauma, infeksi (poliomyelitis yang
dapat menyebabkan lesi lower motor neuron murni), kelainan pembuluh darah, proses
degenerasi, neoplasma, atau malformasi congenital. Lesi lower motor neuron ini ditandai oleh
paralisis flaksid, atrofi otot (degenerasi serabut otot), berkurang atau bahkan menghilangnya
refleks tendon dalam (hiporefleks atau arefleks) dan hilangnya refleks patologis. Fasikulasi
dan fibrilasi mungkin dapat ditemukan (Waxman, 2003).

Lesi upper motor neuron


Kerusakan pada hemisfer serebri atau white matter kolumna lateral medulla spinalis
dapat menimbulkan tanda-tanda lesi upper motor neuron, diantaranya adalah : paralisis
spastic atau paresis (kelemahan) pada otot yang terkena, sedikit atau tidak ditemukan atrofi
otot (sering karena otot tidak digunakan), refleks tendon dalam hiperaktif, berkurang atau
menghilangnya refleks superficial, dan munculnya refleks patologis terutama pada refleks
plantar fleksi (tanda Babinski) (Waxman, 2003).
Lesi upper motor neuron sering ditemukan pada pasien stroke (kerusakan pada upper
motor neuron di korteks), dan infeksi atau tumor yang merusak neuron-neuron di otak atau
jaras desenden di medulla spinalis. Jaras kortikospinal, rubrospinal, dan retikulospinal sangat
berdekatan dan sering overlap dengan white matter kolumna lateral medulla spinalis.
Sehingga pada gangguan traktus kortikospinal sering disertai gangguan traktus lainnya
sehingga dapat ditemukan spastisitas dan hiperefleks (Waxman, 2003).
Gambar 2.7. Jaras motorik upper motor neuron dan lower motor neuron (Waxman, 2003)

Pemeriksaan refleks tendon dalam


Sebelum pemeriksaan refleks, harus dipastikan bahwa posisi pasien nyaman, relaks, dan
mudah diposisikan. Untuk membantu relaksasi pasien dan mengalihkan perhatian pasien bisa
melalui percakapan ringan. Bagian tubuh yang diperiksa harus pada posisi yang optimal
untuk timbulnya respon. Agar lebih mudah membandingkan reflek pada kedua sisi, posisi
tubuh pasien hendaknya simetris. Selama pemeriksaan reflek, pasien seharusnya pada posisi
kepala lurus, karena melihat pemeriksaan akan mengganggu/mempengaruhi hasil
pemeriksaan, terutama pada reflek pada lengan. Reflek tendon dalam yang biasa diperiksa
adalah reflek bisep, trisep, brachioradialis, lutut (quadrisep), dan achiles (Campbell, 2013)
Tabel 2.1 Reflek tendon dalam yang biasa diperiksa (Campbell, 2013)
Level
Reflek Nervus perifer
segmental
Bisep C5-C6 Musculocutaneus
Trisep C7-C8 Radial
Brachioradialis C5-C6 Radial
Quadrisep L3-L4 Femoral
Achiles S1 Sciatic

2.4.1 Refleks Ekstrimitas Atas


Reflek yang paling penting adalah reflek bisep, trisep, brachioradialis, dan finger flexor.
1. Reflek bisep (BPR) : Lengkung reflek ini melalui n. Muskulokutaneus yang pusatnya
pada C5-C6.
 Pemeriksaan BPR saat duduk: mempersilahkan pasien duduk dengan sikap lengan
setengah ditekuk di sendi siku, letakkan tangan di lipat paha, atau lengan bawah
pasien diletakkan pada lengan bawah pemeriksa dengan ibu jari pemeriksa meraba
tendon bisep. Stimulasi: ketukan palu refleks pada ibu jari pemeriksa yang
ditempatkan pada tendon otot bisep tersebut. Respon: fleksi lengan di sendi siku
 Pemeriksaan BPR saat tiduran: mempersilahkan pasien tidur terlentang dengan sikap
lengan setengah ditekuk di sendi siku, letakkan tangan di lipat paha, atau lengan
bawah pasien diletakkan pada lengan bawah pemeriksa dengan ibu jari pemeriksa
meraba tendon bisep. Stimulasi: ketukan palu refleks pada ibu jari pemeriksa yang
ditempatkan pada tendon otot bisep tersebut. Respon: fleksi lengan di sendi siku.

Gambar 2.8 Pemeriksaan reflek bisep (BPR)


2. Refleks trisep (Tricep pess reflex-TPR) : lengkung refleks ini melalui aferen n. radialis,
pusat di C7-C8 dan eferen n. radialis.
 Pemeriksaan TPR saat duduk: mempersilahkan pasien duduk, pemeriksa mengangkat
siku pasien, lengan tergantung. Stimulasi: ketukan palu refleks pada tendon otot
trisep langsung (sedikit di atas insersi otot tricep pada prosesus olecranon tulang
ulnaris). Respon: ekstensi lengan bawah di sendi siku
 Pemeriksaan TPR saat tiduran: mempersilahkan pasien tidur terlentang, dengan sikap
lengan setengah ditekuk di sendi siku, letakkan tangan di lipat paha pasien.
Stimulasi: ketukan palu refleks pada tendon otot trisep langsung. Respon: ekstensi
lengan bawah di sendi siku

Gambar 2.9. Pemeriksaan TPR (Campbell, 2013)


3. Reflek brachioradialis (Refleks supinator atau refleks periosteal radial)
Lengkung refleks ini melalui aferen n. radialis, pusat di C5-C6, dan eferen di n.
radialis. Pemeriksaan dengan lengan bawah diflexikan serta dipronasikan sedikit.
Kemudian diketok pada prosesus stiloideus radius. Respon: fleksi dan supinasi lengan
bawah

Gambar 2.10. Refleks brakhioradialis (Campbell, 2013)


4. Reflek finger flexor (Tanda Wartenberg)
Lengkung reflek ini melalui n. Medianus dan n. Ulnaris yang pusatnya pada C6-
Th1. Pemeriksaan dilakukan dengan tangan pasien yang ditumpukan pada dasar yang
agak keras disupinasikan dan jari-jari difleksikan sedikit. Telunjuk pemeriksa
ditempatkan menyilang pada permukaan volar phalang jari-jari. Kemudian telunjuk
pemeriksa diketok. Pada keadaan normal, jari-jari pasien akan berfleksi ringan demikian
juga falang distal ibu jari. Pada lesi piramidal, fleksi jari-jari lebih kuat. Nilai
patologiknya lebih bermakna jika terdapat asimetri antara jari kanan dan kiri. Tanda
Hofman Tromner merupakan variasi dari respon refleks ini.
Gambar 2.11. Reflek finger flexor

5. Refleks scapulohumeral
Lengkung refleks melalui n. scapula dorsalis dengan pusat di C4-C5. Pemeriksaan
dilakukan dengan mengetok pada batas vertebral dari scapula akan menyebabkan
retraksi pada scapula melalui otot rhomboideus.
6. Refleks deltoid
Lengkung refleks melalui n. aksilaris dengan pusat di C5-C6. Pemeriksaan dengan
mengetuk pada insersi otot deltoid pada perbatasan atas dan sepertiga tengah aspek
lateral humerus, respon berupa abduksi ringan lengan atas.
7. Refleks pectoralis
Refleks ini dimediasi oleh n. Pectoralis media dan lateral (C5-T1). Pemeriksaan
dilakukan dengan lengan pasien pada posisi pertengahan antara abduksi dan adduksi, jari
pemeriksa diletakkan diatas tendon otot pektoralis mayor di dekat insersinya pada
tuberositas humerus. Stimulus: jari pemeriksa diketuk palu refleks. Respon: adduksi
internal rotasi ringan pada bahu. Pada orang normal biasanya tidak terlihat. Pada pasien
myelopathy spondilosis cervical, reflek pectoralis yang hiperaktif mengindikasikan
adanya kompresi pada medulla spinalis setinggi C2-C3 dan/atau C3-C4.

Gambar 2.12. Reflek pectoralis (Campbell, 2013)

8. Refleks latissimus dorsi


Reflek ini dimediasi oleh n.thoracodorsal (C6-C8). Pemeriksaan dengan pasien
telungkup dan lengan di posisikan abduksi dan ekternal rotasi ringan, jari pemeriksa
diletakkan pada tendon latissimus dorsi dekat insersinya pada intertubercular groove
tulang humerus dan kemudian diketuk dengan palu refleks akan menyebabkan abduksi
dan rotasi internal ringan bahu.
9. Reflek clavicula
Pemeriksaan refleks dengan Clavikula lateral diketuk menyebabkan kontraksi
sekelompok otot lengan atas. Dibandingkan kanan dan kiri. Normal respon sama di
kedua sisi. Bermanfaat dalam membandingkan aktivitas refleks pada kedua sisi
ekstremitas atas.
10. Reflek pronator (Refleks carpometacarpal / carpophalangeal Bachterew)
Pemeriksaan dilakukan dengan siku semifleksi dan lengan bawah semipronasi,
diketok pada permukaan volar radius distal atau bagian dorsal processus styloid ulna
akan menyebabkan supinasi diikuti pronasi lengan bawah. Otot yang terlibat pronator
teres dan pronator quadratus. Refleks ini bisa meningkat pada lesi jaras kortikospinal
awal.
11. Refleks ekstensi pergelangan tangan (Wrist extension reflex)
Refleks ini dimediasi oleh n. Radialis dengan pusat di C6-C8. Pemeriksaan
dilakukan dengan lengan bawah pronasi dan pergelangan tangan tergantung, pengetukan
pada tendon ekstensor akan menyebabkan kontraksi otot ekstensor dan ekstensi
pergelangan tangan.
12. Refleks fleksi pergelangan tangan (Wrist flexion reflex).
Refleks ini diinervasi oleh n. medianus dan n. ulnaris dengan pusat di C6-T1.
Pemeriksaan dilakukan dengan tangan supinasi dan jari-jari sedikit fleksi, diketok pada
tendon fleksor pergelangan tangan pada bagian volar terjadi kontraksi otot –otot fleksor
tangan dan jari.
13. Refleks ibu jari (thumb reflex)
Pengetukan pada tendon flexor pollicis longus diatas quadratus pronator diikuti
fleksi falang distal dari ibu jari.

2.4.2 Refleks Badan (trunkal refleks) (Campbell, 2013)


Reflek dari otot badan dihasilkan sangat minimal atau tidak muncul sama sekali pada
individu yang normal.
1. Reflek costal periosteal
Refleks ini diinervasi oleh n. Intercostal atas dengan pusat di T5-T9. Pemeriksaan
dilakukan dengan pengetukan pada batas bawah tulang iga, tulang rawan costae, atau
prosesus xiphoideus menyebabkan kontraksi otot-otot abdominal atas dan pergerakan
ringan umbilikus kerah sumber stimulasi.
2. Reflek otot perut (refleks perut dalam)
Refleks ini diinervasi oleh n. interkosta, n.illioinguinal, dan n.illiohipogastrik
dengan pusat di divisi anterior T5-T12. Pemeriksaan dilakukan dengan pasien
berbaring, lalu dinding perut pasien ditekan sedikit dengan jari telunjuk atau dengan
penggaris, kemudian diketok cepat dengan palu refleks, maka otot dinding perut akan
berkontraksi, pusar akan bergerak ke arah otot yang berkontraksi. Normal kontraksi otot
ringan, pada penggeli reaksi ini dapat kuat. Nilai klinis jika dinilai bersama dengan
reflek superfisial dinding perut. Bila refleks dalam dinding perut meningkat sedang
refleks superfisial negatif, menunjukkan adanya lesi piramidal.
3. Refleks iliaca
Refleks ini diinervasi oleh n.intercostal bawah dengan pusat di T10-T12.
Pemeriksaan dilakukan dengan pengetukan pada puncak iliaca yang akan menyebabkan
kontraksi otot abdomen bawah.
4. Refleks symphysis pubis
Refleks ini diinervasi oleh n.intercostal bawah, ilioinguinal, iliohypogastric
dengan pusat di T11-T12 dan segmen lumbal atas. Pengetukan pada symphisis pubis
akan menyebabkan kontraksi otot abdominal dan pergerakan umbilikus ke bawah.
Apabila didapatkan spastisitas, pengetukan pada simfisis ini akan menyebabkan adduksi
pada kedua tungkai.
5. Reflek punggung
Refleks ini diinnervasi oleh n. Thorasic, lumbar, dan sacaral. Pemeriksaan
dilakukan dengan posisi pasien dalam keadaan tengkurap, lalu dilakukan pengetukan
pada area sacral dan lumbal akan menyebabkan kontraksi m. Erector spina.
2.4.3. Refleks ekstremitas bawah
1. Refleks patella (Knee pess reflex- KPR)
Refleks ini dimediasi oleh n. femoralis dengan pusat di L2-L4. Pengetukan pada
tendon patella akan menyebabkan ekstensi pada lutut disertai kontraksi otot kuadrisep
femoris. Ada dua cara pemeriksaan :
 Pemeriksaan KPR saat duduk: mempersilahkan pasien duduk dengan sikap kedua
kakinya digantung. Stimulasi: ketukan palu refleks pada tendon patella. Respon:
tungkai bawah berekstensi
 Pemeriksaan KPR saat tiduran: Mempersilahkan pasien tidur terlentang dengan sikap
pemeriksa mengangkat lutut pada poplitea sehingga lutut sedikit fleksi dengan
tangan pemeriksa di bawahnya. Stimulasi: ketukan palu refleks pada tendon patella.
Respon tungkai bawah berekstensi

Gambar 2.13. Reflek patella (KPR) (Campbell, 2013)

2. Reflek achiles (Achilles pess reflex-APR)


Refleks ini dimediasi oleh n.tibialis dengan pusat di S1. Pengetukan pada tendon
achiles (sedikit di atas insersinya pada calcaneus) akan menyebabkan kontraksi otot
m.crural posterior, m.gastroknemius, m.soleus dan m.plantaris sehingga mengakibatkan
fleksi pergelangan kaki. Terdapat dua cara pemeriksaan refleks achiles, yaitu :
 Pemeriksaan APR saat duduk: mempersilahkan pasien duduk dengan sikap kedua
kakinya digantung, pemeriksa mendorsofleksikan kaki pasien maksimal. Stimulasi:
ketukan palu refleks pada tendon achiles. Respon: plantar fleksi kaki
 Pemeriksaan APR saat tiduran: mempersilahkan pasien tidur terlentang dengan sikap
pergelangan kaki diletakkan diatas tungkai bawah seberangnya. Stimulasi: ketukan
palu refleks pada tendon achiles. Respon: plantar fleksi kaki
Gambar 2.14. Reflek achiles (APR) (Campbell, 2013).

3. Refleks adduktor.
Refleks ini dimediasi oleh n.obturator dengan pusat di L2-L4. Pemeriksaan
dilakukan dengan paha abduksi ringan, lalu pengetukan pada epikondilus mediale femur
dekat dengan tuberkel adductor atau kondilus medial tibia akan menyebabkan kontraksi
otot adduktor pada paha.
4. Refleks hamstring internal (hamstring medial, semimembranosus, dan semitendinosus
atau tibiofemoral posterior)
Refleks ini dimediasi oleh n.skiatik dengan pusat di L5. Pengetukan pada tendon
semitendinosus dan semimembranosus sedikit diatas insersinya pada tibia. Pemeriksaan
dapat dilakukan pada posisi duduk atau berbaring dengan kaki abduksi dan sedikit
rotasi eksternal. Jari pemeriksa diletakkan di atas tendon pada posterior medial lutut,
dan pengetukan pada jari di atas tendon tersebut menghasilkan respon fleksi lutut.
Penting untuk evaluasi radikulopathy pada L5.
5. Reflek hamstring eksternal
Refleks ini diinervasi oleh n.skiatik terutama cabang dari S1. Pemeriksaan dapat
dilakukan pada posisi duduk, berbaring dengan kaki fleksi sedang, jari pemeriksa
ditempatkan di atas tendon pada lateral posterior lutut, lalu jari tersebut diketuk, akan
menyebabkan fleksi lutut. Pemeriksaan refleks ini dapat membantu mengetahui
penyebab hilangnya refleks patella apakah karena neuropati perifer atau radikulopati.
Pada neuropathy refleks akan dipertahankan, sedangkan pada radikulopathy refleks
akan ditekan.
Gambar 2.15. Reflek hamstring eksternal (Campbell, 2013)

6. Refleks tensor fascia lata


Refleks ini dimediasi oleh n.gluteus superior dengan pusat di L4-S1. Pengetukan
pada fascia lata dekat SIAS. Respon abduksi ringan pada tungkai.
7. Reflek glutea
Refleks ini dimediasi oleh n.gluteus inferior dengan pusat di L5-S2. Pasien dalam
posisi berbaring dengan fleksi sedang pada paha ipsilateral (atau dapat juga posisi
pronasi). Pengetukan pada bagian bawah sacrum atau posterior dari iliaka dekat dengan
asal m.gluteus maksimus akan menyebabkan kontraksi dan ekstensi paha (abduksi
ringan dan rotasi medial pangkal paha).
8. Refleks ekstensor hallucis longus
Refleks ini dimediasi oleh n. peroneal dalam dengan pusat di L5. Dengan
menggunakan jari, pemeriksa menekan ke bawah pada permukaan dorsal ibu jari kaki.
Pengetukan pada jari dapat menghasilkan ekstensi ibu jari kaki. Refleks ini tidak
muncul pada kasus radikulopati L5.
9. Refleks tibialis posterior
Refleks ini dimediasi oleh n.tibialis dengan pusat di L5-S1. Pengetukan pada
tendon tibialis posterior di atas dan belakang meleolus medial. Pemeriksaan dilakukan
dengan pasien posisi telungkup dan kaki sedikit fleksi pada lutut.
10. Refleks peroneal (tibialis anterior)
Refleks ini dimediasi oleh n.peroneal superficial dan dalam dengan pusat di L4-
S1. Dengan kaki pasien plantar fleksi, pemeriksa menekan jari dengan kuat tepatnya
ujung distal tulang metatarsal jari I dan II. Pengetukan cepat pada jari ini akan diikuti
oleh gerakan eversi dan dorsofleksi pada kaki.
2.5. Refleks Superfisial (Campbell, 2013)
Reflek superfisial ialah gerakan reflektorik yang biasanya muncul sebagai respon atas
pemberian stimulus pada kulit atau membran mukosa. Berbeda dengan refleks tendon dalam,
refleks superfisial tidak saja memiliki lengkung refleks yang segmental, juga memilki
komponen supraspinal juga. Oleh karena itu refleks superfisial dapat menurun atau hilang
bila terdapat lesi di lengkung refleks segmentalnya atau bila komponen supraspinal
mengalami kerusakan (Sidharta, 2010; Campbell, 2013).
Reflek superficial adalah polisinaptik dan refleks tendon dalam adalah monosinaptik.
Refleks superfisial memiliki respon yang relatif lamban, dengan latensi lebih lama, dan
mudah lelah. Penggunaan refleks superfisial pada lesi traktur piramidalis ditandai dengan
kombinasi peningkatan refleks tendon dalam dan penurunan atau tidak adanya refleks
superfisial. Refleks superfisial yang sering digunakan adalah abdominal dan cremaster
(Campbell, 2013).

2.5.1 Pada ekstremitas atas


a. Refleks telapak tangan (Palmar reflex).
Refleks ini diinervasi oleh n. medianus dan n.ulnaris dengan pusat pada C6-T1.
Pukulan lembut pada telapak tangan akan diikuti oleh fleksi jari-jari tangan atau penutupan
tangan. Refleks ini minimal atau bahkan tidak ada pada orang normal. Jika respon sangat
kuat dinamakan refleks menggenggam (grasping).
b. Refleks scapula atau interscapula.
Menggores kulit di atas area scapula atau interscapular menyebabkan kontraksi otot
scapula dengan retraksi dan kadang-kadang elevasi scapula, dapat disertai dengan adduksi
dan rotasi eksternal lengan. Refleks ini ada hubungannya dengan refleks tendon dalam
scapulohumeral karena inervasi neuron yang sama melalui n. scapula dorsalis dengan
pusat di C4-C5.
2.5.2 Reflek superfisial pada abdomen
Kontraksi otot abdominal, dibangkitkan dengan pukulan ringan atau goresan pada
dinding anterior abdomen, penggoresan dilakukan dari samping menuju ke garis tengah
perut pada setiap segmen sesuai pembagian 4 kuadran abdomen yaitu : epigastrik,
supraumbilikus, umbilicus dan infraumbilikus. Umbilicus setinggi T10 sebagai patokan,
respon dibagi menjadi refleks upper abdominal dan lower abdominal. Menggores pada
tiap-tiap kuadran diikuti tertariknya umbilikus. Respon pada dinding perut kuadran atas
(supraumbilical reflexes) dimediasi oleh n. intercostal (T7-T10) dan kuadran bawah
(infraumbilical or suprapubic reflexes) oleh n. intercostal, iliohypogastric, and ilioinguinal
(T10-segmen upper lumbar). Pada pemeriksaan Reflek Bechterew's hypogastric, memukul
kulit pada permukaan dalam paha menyebabkan kontraksi otot homolateral lower
abdominal (Campbell, 2013; Sidharta, 2010).
Respon kuat pada orang muda yang memiliki tonus otot perut bagus, sedangkan pada
obesitas, orang normal dengan tonus otot perut kurang, perumpuan yang telah melahirkan
bisa menurun atau tidak muncul. Refleks superfisial akan sulit dinilai pada individu yang
mudah geli, pada gangguan abdominal akut, distensi perut atau distensi kandung kemih,
post operasi abdominal. Respon melemah pada anak-anak dan orang tua (Campbell, 2013)

Gambar 2.16. Reflek superfisial pada abdomen (Campbell, 2013).

2.5.3 Refleks superfisial pada ekstremitas bawah


a. Refleks kremaster.
Refleks ini diinervasi oleh n.genitofemoral dan n.ilioinguinal dengan pusat di L1-
L2. Reflek ini dibangkitkan dengan memukul atau menggores ringan atau mencubit
kulit pada atas bagian medial paha. Respon berupa kontraksi otot cremaster disertai
elevasi cepat testis homolateral. Reflek ini bisa menghilang pada orang tua, hidrocele,
orchitis atau epididymitis.
b. Reflek gluteal.
Refleks ini diinervasi oleh n. gluteal inferior dengan pusat di L4-S2, dan kulit
diinnervasi oleh cabang cutaneus rami posterior saraf lumbal dan sacral. Kontraksi otot
gluteus akibat pukulan, goresan atau tusukan pada kulit pantat.
c. Refleks plantar
Refleks ini dinnervasi oleh n.tibialis dengan pusat di L4-S2. Pemeriksaan dengan
ketukan atau goresan pada plantar dari tumit ke depan yang normal akan diikuti oleh
fleksi kaki dan ibu jari. Patologi variasi refleks plantar adalah Babinski sign. Refleks
plantar melemah dengan kontraksi memanjang menggambarkan adanya lesi pada lobus
frontalis dan lesi ekstrapiramidal.

Gambar 2.17. Refleks plantar (Campbell, 2013)


d. Refleks superfisial anal
Refleks ini diinnervasi oleh n. Hemoroid interna inferior dengan pusat di S2-S5.
Adanya kontraksi spincter eksternal akibat ketukan atau tusukan pada kulit atau
membran mukosa regio perianal. Refleks ini penting pada kecurigaan lesi cauda equina
atau conus medularis.
e. Refleks Bulbocavernosus (BCR)
Stimulus pada glans penis atau clitoris mengakibatkan kontraksi pada spinchter
anal. Respon paling bagus dengan palpasi jari pada rectum. BCR bermanfaat untuk
pemeriksaan lesi cauda equina, lower sacral roots, dan conus medullaris.

2.6. Refleks Patologis


Reflek patologi merupakan respon yang secara umum tidak ditemukan pada orang
sehat, kecuali pada bayi dan anak kecil. Kebanyakan berupa gerakan reflektorik defensive
atau postural yang pada orang dewasa yang sehat terkelola dan ditekan oleh aktivitas susunan
pyramidal. Reflex superficial ataupun reflex dalam normalnya dikontrol atau diinhibisi oleh
cortex motoris dan traktus piramidalis. Bila kontrol ini menurun atau terjadi diskontinuitas,
maka akan muncul beberapa respon primitif akibat stimuli tertentu. Respon-respon primitive
ini merupakan kondisi patologis pada orang dewasa, namun dapat normal pada bayi hingga
usia 6 bulan (atau bahkan hingga 2 tahun untuk reflek tertentu, seperti reflek Babinski). Anak
kecil umur antara 4-6 tahun masih belum memiliki susunan piramidalnya belum sempurna,
maka gerakan reflektorik yang dinilai sebagai refleks patologis pada dewasa, tidak selamanya
patologis pada anak-anak (Campbell, 2013; Sidharta, 2010).
Refleks patologis yang sering diperiksa untuk mengetahui lesi pada upper motor
neuron dapat dikelompokkan secara anatomis sebagai berikut:
2.6.1 Refleks patologis ekstremitas bawah
a. Tanda Babinski (Babinski sign) :
Pemeriksaan refleks patologis utama yang signifikan dapat menunjukkan adanya
gangguan sistem kortikospinal dari korteks motorik hingga jalur desenden. Cara :
menggores permukaan plantar kaki mulai dari tumit hingga ibu jari, di mulai dari sisi
lateral dan menyapu hingga ke sisi medial sesuai garis lengkung kaki. Respon berupa
ekstensi (dorsofleksi) jari-jari kaki, terutama ibu jari dengan empat jari lainnya bergerak
menyebar seperti kipas (fanning).

Gambar 2.18. refleks babinski


b. Tanda Chaddock
Cara: menggores kulit bagian dorsum pedis dimulai dari bagian bawah malleolus
lateralis menyusuri tumit mengarah ke jari-jari kaki. Respon: sama seperti pada Babinski.

Gambar 2.19. Arah goresan pemeriksaan Chaddock


c. Refleks Gordon
Dengan cara meremas/memencet otot betis dengan keras. Respon: ekstensi ibu jari
kaki dan fanning (plantar fleksi)
d. Tanda Oppenheim
Dengan cara menyeret buku jari menyusuri ke arah bawah pada permukaan
antromedial tibia dari regio infrapatella ke arah pergelangan kaki. Respon yang muncul
umumnya pelan dan sering baru muncul di akhir stimulasi, respon yang muncul sama
seperti pada Babinski.
e. Refleks Gonda (Allen)
Cara: penekukan (plantar fleksi) maksimal ke bawah mendadak pada jari 2,3 atau 4.
Respon: ekstensi ibu jari kaki dan fanning (plantar fleksi).
f. Tanda Stransky
Dengan cara abduksi mendadak pada jari ke-5. Respon seperti Babinski yakni
ekstensi ibu jari kaki dan fanning (plantar fleksi)
g. Refleks Schaefer
Diperiksa dengan memencet tendon Achilles akan menimbulkan respon berupa
ekstensi ibu jari kaki dan fanning (plantar fleksi)

Gambar 2.20. Beberapa


pemeriksaan refleks
patologis

h. Rossolimo’s sign: diperiksa dengan menepuk telapak kaki (di bagian cekung)  respon:
fleksi jari-jari kaki

Gambar 2.21
Pemeriksaan tanda
Rosolimo

i. Refleks Bing
Dimunculkan dengan memberikan rangsang tusuk pada kulit yang menutupi
metatarsal ke-5. Respon seperti pada tanda Babinski.
j. Refleks Bechterew
Cara : mengetuk tengah telapak kaki atau tumit. Respon : plantar fleksi
k. Klonus patella
Pemeriksa memegang patella pasien diantara ibu jari dan telunjuknya, lalu secara
cepat dan tiba-tiba menggerakkannya ke bawah dan menahan tekanan pada akhir gerakan.
Respon berupa gerakan cepat patella ke atas dan ke bawah
l. Ankle clonus
Cara: mendorsofleksikan telapak kaki secara manual dan cepat sementara tungkai
bawah dipegang di fossa popliteal. Respon: fleksi dan ekstensi cepat dari telapak kaki,
berlangsung terus menerus

Gambar 2.22. Pemeriksaan klonus pada pergelangan kaki


2.6.2 Ekstremitas atas
a. Tanda Hoffman
Cara : tangan pasien rileks dengan dorsofleksi pada pergelangan tangan dan jari-jari
sebagian fleksi, lalu dengan satu tangan pemeriksa memegang jari tengah pasien dengan
posisi ekstensi sedang diantara jari telunjuk – ibu jari pemeriksa atau antara telunjuk dan
jari tengah. Lalu pemeriksa dengan ibu jari dan telunjuknya menjentikan ujung kuku jari
tengah pasien dengan cepat dan langsung dilepaskan. Respon: gerak clawing (mencakar)
dari ibu jari dan jari-jari lain

Gambar 2.23 pemeriksaan tanda Hoffmann


b. Tanda Tromner
Cara: memberikan tepukan tajam atau mencolek-colek di permukaan palmar atau
bagian ujung jari jari tengah. Respon : jari telunjuk, terutama ibu jari dan jari-jari lainnya
fleksi setiap kali ujung jari tengah itu tercolek.

Gambar 2.24 pemeriksaan tanda Tromner


c. Tanda Leri
Cara: lengan diluruskan dengan bagian ventralnya menghadap ke atas, tangan pasien
ditekuk secara maksimal di pergelangan tangan oleh pemeriksa. Respon : pada orang sehat
lengan bawah akan menekuk di sendi siku, jika sususan pyramidal mengalami kerusakan
gerakan fleksi siku tidak bangkit.
d. Tanda Mayer
Cara : lengan pasien dipegang oleh pemeriksa lalu menekukkan jari ke-3 atau 4 pasien
secara maksimal ke arah telapak tangan. Respon : pada orang sehat ibu jari akan adduksi
dan beroposisi, namun pada kerusakan sistem pyramidal, maka ibu jari tidak akan
beroposisi dan adduksi
e. Refleks adductor ibu jari Marie-Foix
Cara : mengetuk telapak tangan pada regio hipotenar atau pada sisi ulna. Respon :
adduksi dan fleksi ibu jari, beberapa disertai fleksi jari yang berdekatan.
f. Refleks Foxe
Dengan menjepit/mencubit region hipotenar, akan menimbulkan respon seperti pada
Marie-Foix
g. Tanda Oppenheim lengan
Dengan menggosok permukaan eksternal dari lengan bawah akan menimbulkan
respon seperti pada Marie-Foix
h. Tanda Schaefer lengan
Dengan mencubit/menjepit tendon fleksor pada pergelangan tangan akan
menimbulkan respon seperti pada Marie-Foix
i. Tanda fleksi Gordon pada lengan
Dengan meremas otot lengan bawah akan menimbulkan respon seperti pada Marie-
Foix
j. Refleks Grewel pronasi-abduksi
Lengan pasien setengah difleksikan di siku dengan lengan bawahnya dalam posisi
antara pronasi dan supinasi, tangan pasien secara maksimal dan mendadak dipronasikan
oleh pemeriksa. Respon : pada orang sehat timbul gerakan abduksi lengan atas, jika
terdapat lesi sistem pyramidal gerakan tersebut tidak muncul.

2.7 Refleks patologis penanda regresi


Merupakan gerakan reflektorik yang bangkit secara fisiologik pada bayi tidak lagi
dijumpai pada anak-anak yang sudah besar, namun apabila kembali muncul pada orang
dewasa menunjukkan kemunduran fungsi susunan saraf pusat. Umumnya dijumpai pada
orang-orang dengan demensia berat, proses desak ruang intrakranial, paralisis
pseudobulbaris, dan sebagian penderita dengan sindroma post-stroke (Sidharta, 2010;
Campbell, 2013).
a. Refleks menetek : stimulus berupa sentuhan pada bibir. Respon berupa gerakan bibir, lidah
dan rahang bawah seolah-olah menetek
b. Snout refleks : memberikan stimulus berupa perkusi jari telunjuk pada bibir atas. Respon
berupa bibir atas dan bawah menjungur atau kontraksi otot-otot di sekitar bibir atau bawah
hidung
c. Refleks memegang : stimulus berupa penekanan atau penempatan jari pemeriksa pada
telapak tangan pasien. Respon berupa tangan pasien akan mengepal berupaya
menggenggam
d. Refleks palmomental : stimulus berupa goresan dengan ujung pensil atau ujung gagang
palu refleks pada kulit telapak tangan pasien bagian tenar. Respon berupa kontraksi
m.mentalis dan orbikularis oris ipsilateral
e. Refleks leher tonik : memutar kepala ke arah samping, maka respon berupa lengan dan
tungkai yang dihadapi menjadi hipertoni dan bersikap dalam ekstensi, sedangkan lengan
dan tungkai di balik wajah menjadi hipertonik dalam sikap fleksi

3. ANALISA PEMERIKSAAN FISIK


3.1 Analisis Pemeriksaan Refleks Tendon Dalam
Refleks tendon dalam yang paling bermakna untuk diagnosis klinik adalah refleks
biceps, refleks triseps, refleks brachioradialis, refleks patella, dan refleks Achilles. Refleks
tersebut bisa saja tidak muncul meskipun tidak ada penyakit sistem saraf. Akurasi
pemeriksaan tergantung pada pengalaman dari pemeriksa. Tidak ada standart khusus dan
berbagai variasi normal pemeriksaan refleks. Bisa jadi normal pada seseorang tapi bernilai
meningkat/menurun pada individu lain. Namun pada keadaan normal refleks bagian kanan
dan kiri harus sama. Adapun abnormalitas refleks tendon dalam dapat berupa :
 Refleks hipoaktif
Dikatakan hipoaktif apabila respon yang muncul lemah atau bahkan tidak ada.
Kadang diperlukan peningkatan stimulus dan berulang-ulang untuk membangkitkan
refleks tersebut. Refleks hipoaktif dapat terjadi karena disfungsi komponen pada lengkung
refleks. Refleks tidak muncul atau lemah pada gangguan neurologi di mana terjadi
spastisitas, rigiditas, dengan kontraktur dan adanya penyakit pada persendian yang
ditandai dengan inflamasi, kontraktur, dan ankylosis. Hiporefleksia juga berhubungan
dengan hilangnya motilitas pada sendi atau adanya nyeri akibat pergerakan sendi.
Gangguan neurologis yang menyebabkan hiporefleks/arefleksia adalah:
- Myasthenia gravis, refleks akan terganggu pada stadium lanjut (derajat kerusakan telah
berat)
- Periodik paralisis, refleks tendon dalam tidak muncul selama serangan
- Myopathy, penurunan refleks akibat atropi dan kelemahan.
- Muscular dystrophy, penurunan refleks proximal muncul lebih awal, refleks distal
menetap sampai akhir stadium penyakit
- Koma, narcosis, sedasi kuat, tidur dalam, refleks tendon dalam sering tidak muncul
- Bloking saraf, caudal anastesia, spinal anestesi, refleks tendon dalam tidak ada
- Lesi medula spinalis, refleks tendon dalam tidak muncul saat spinal shock namun akan
muncul kembali menjadi hipereflek setelah 3-4 minggu.
 Refleks hiperaktif (hiperefleks)
Hipereflex ditandai dengan penurunan ambang refleks, penurunan latensi waktu
antara perkusi dan kontraksi refleks, peningkatan kekuatan range of movement,
pemanjangan kontraksi reflek, perluasan area refleksogenik (zona provokasi refleks), dan
penyebaran respon reflek (Campbell, 2013).
Hipereflek dari refleks tendon dalam disebabkan adanya lesi pada korticospinal
atau sistem pyramidal. Spasticitas dan hipereflek berhubungan dengan keterlibatan
struktur pada jalur motor descenden setingkat cortical, subcortical, midbrain, and
brainstem. Hiperefleks disebabkan karena penurunan ambang reflek akibat meningkatnya
eksitabilitas pada lower motor neuron yang berhubungan dengan kerusakan struktur
terkait. Suatu lesi di manapun di sistem pyramidal atau terkait komponen lower motor
neuron, dari korteks motorik hingga sedikit di atas segmen asal dari lengkung refleks
akan menghasilkan suatu hiperefleks dan spastisitas (Campbell, 2013)
Karakteristik postur pada hemiplegic adalah fleksi ekstremitas atas dengan
kelemahan lebih jelas pada otot ekstensor, dan ekstensi ekstremitas bawah dengan
kelemahan lebih tampak pada otot fleksor. Hal ini menyebabkan refleks fleksor akan
meningkat pada ekstremitas atas, dan refleks ekstensor pada ekstremitas bawah
(Campbell, 2013).
Refleks diberi grading secara semi-kuantitatif. Nilai respon atas pengetukan tendon
didasarkan atas kecepatan gerakan reflektorik yang bangkit, amplitudonya dan lamanya
suatu kontraksi berlangsung. Penderajatan hasil tersebut ialah sebagai berikut, Nilai 0
menandakan tidak adanya respon sama sekali bahkan setelah diberikan bantuan. Bantuan
yang diberikan berupa kontraksi isometrik maksimal dari otot yang menggerakkan bagian
tubuh tersebut, contohnya dengan mengatupkan rahang, mendorong tangan atau kaki
bersamaan, atau saling mengunci jari-jari di kedua tangan dan menariknya (Jendrassik
maneuver). Maneuver ini mungkin dapat meningkatkan reflek melalui dua mekanisme:
dengan mengalihkan perhatian pasien (agar tidak mensupresi reflek secara sadar) dan
dengan menurunkan jumlah inhibisi descenden. Nilai +1 menunjukkan respon yang
lambat, terdepresi, atau tersuprasi, sedangkan istilah trace diartikan sebagai respon yang
sangat sedikit, bahkan sulit terdeteksi. Reflek normal bernilai +2. Reflek yang meningkat
lebih dari normal diberi grade +3, sedangkan +4 berarti reflek hiperaktif dan terdapat
clonus. Clonus merupakan respon reflek yang berulang, biasanya ritmis, dan
dipertahankan dalam waktu yang bervariasi akibat stimulasi berupa peregangan tendon
secara manual.Clonus ini mungkin dipertahankan selama tendon teregang manual atau
baru berhenti setelah beberapa hentakan meskipun tendon sudah tidak diregangkan. Pada
kondisi ini, penting untuk menghitung berapa hentakan yang terjadi.

Gambar 3.1 Jendrasik manuver (Campbell, 2013)

Salah satu tanda hiperaktivitas reflek adalah kontraksi otot yang memiliki aksi
berbeda dengan tendon yang diberi regangan (contoh: kontraksi dari adductor femur saat
mengetes reflek patella atau kontraksi otot fleksor jari saat mengetes reflek brachio-
radialis). Hal tersebut dinamakan penyebaran reflek secara patologis.
Hampir semua grade reflek (kecuali bila ada clonus) dapat berarti normal. Adanya
reflek asimetri merupakan kunci utama dalam menentukan normal/tidak normal. Gejala-
gejala yang ditunjukkan pasien juga mungkin dapat membantu untuk menentukan sisi
mana yang normal (sisi mana yang lebih/kurang aktif). Penurunan refleks
mengindikasikan kemungkinan adanya lesi pada lengkung refleks. Lesi dapat terjadi pada
serat saraf sensoris, namun juga dapat terjadi pada gray matter medulla spinalis ataupun
serabut saraf motorik. Serabut saraf motoris (sel kornu anterior dan axon motoris yang
berjalan melalui radiks ventralis dan nervus perifer) disebut lower motor neuron. Lesi
LMN akan menyebabkan reflek dalam menurun. Sedangkan traktus descenden dari cortex
cerebri dan brainstem disebut upper motor neuron (UMN). Lesi UMN akan menyebabkan
peningkatan reflek medulla spinalis karena akan terjadi penurunan inhibisi tonik di
segmen spinalis.
Lesi pada cerebellum dan basal ganglia tidak terkait dengan perubahan yang
konsisten pada reflek tendon dalam. Destruksi sebagian besar hemisfer cerebellum pada
manusia akan menyebabkan refleks tendon dalam berupa pendulum. Reflek sangat tidak
terkontrol sehingga contohnya, pada saat mengetes reflek patella, maka kaki akan
terayun-ayun seperti pendulum. Pada orang normal, otot antagonis seharusnya akan
menghentikan reflek hampir seketika. Namun, hal tersebut (pendullar reflex) bukan
merupakan tanda utama penyakit cerebellum dan masih banyak tanda lesi cerebellar lain
yang lebih spesifik. Sedangkan lesi basal ganglia biasanya tidak terkait dengan perubahan
reflek, sehingga seringkali reflek tetap normal.

3.2 Analisa pemeriksaan reflek superfisial


Seperti halnya refleks tendon dalam, refleks superfisial juga akan terganggu dengan
adanya ganguan pada lengkung refleks. Jadi adanya lesi sepanjang traktus kortikospinal
akan menyebabkan kelemahan atau hilangnya reflek superfisial. Perubahan refleks terjadi
pada kontralateral lesi di atas decussasio pyramidalis, dan ipsilateral bila dibawahnya.
Jadi lesi pada traktus kortikospinal menyebabkan meningkatnya refleks tendon dalam
dan hilangnya refleks superfisial.
Refleks superfisial ini tidak ada pada bayi baru lahir (infant) dan baru muncul
secara fisiologis sekitar 6 bulan hingga umur 1 tahun. Munculnya refleks ini terkait proses
mielinisasi traktus kortikospinal.
Kadang-kadang refleks superfisial meningkat pada pasien parkinsonism, gangguan
ekstrapiramidal, juga pada kecemasan. Refleks superfisial ini normal pada lesi cerebellar.

3.3 Analisis Pemeriksaan Reflek Patologi


Seperti telah disebutkan sebelumnya, refleks superficial ataupun refleks tendon
dalam normalnya dikontrol atau diinhibisi oleh korteks motoris dan traktus piramidalis.
Bila kontrol ini menurun atau terjadi diskontinuitas, maka akan muncul beberapa respon
primitif akibat stimuli tertentu. Jadi gangguan pada upper motor neuron ini akan
menimbulkan refleks patologis. Refleks patologis terbagi dua yakni refleks primitif, yang
merupakan frontal release sign (FRS) akibat gangguan pada lobus frontalis dan refleks
patologi akibat gangguan sistem piramidalis (sehingga menimbulkan pengaruh
ekstrapiramidal berlebihan). Sebagai contoh, refleks Babinski dapat ditemukan pada
pasien dengan lesi pada traktus piramidalis di mana reflek ini muncul sebagai perluasan
patologis dari reflek fleksi yang disebut defense reflex. Refleks seperti Oppenheim,
Gordon, dan Schaefer juga dapat muncul pada kondisi gangguan traktus piramidalis.
Berikut ini adalah masing-masing gangguan yang menimbulkan perubahan refleks di
setiap level (Campbell, 2013) :
 Otot: refleks dalam akan terdepresi sesuai tingkat kelemahan otot
 Neuromuscular junction: refleks tendon dalam akan terdepresi sesuai tingkat
kelemahan
 Nervus perifer: refleks dalam akan terdepresi, biasanya dengan depresi yang jauh
lebih tinggi intensitasnya bila dibandingkan dengan kelemahan yang ada (biasanya
minimal). Hal ini disebabkan karena aferen lengkung refleks akan terkena paling awal
pada kasus neuropathy
 Radiks saraf: refleks dalam yang diperantarai oleh radiks yang bersangkutan akan
mengalami penurunan sesuai tingkat kerusakan radiks. Refleks superfisial jarang
terdepresi karena banyak sekali jaras yang terlibat yang saling overlap. Namun, bila
kerusakan sangat berat dan luas, maka dapat terjadi sejumlah depresi refleks superfisial
sesuai hilangnya sensoris di dermatom radiks tersebut
 Medulla spinalis dan batang otak : reflek dalam yang sesuai tingkat lesi akan
mengalami hipoaktivitas, sedangkan reflek dalam yang berada di bawah level lesi akan
mengalami hiperaktivitas.
 Serebelum : gejala klasik yang terjadi adalah refleks dalam mengalami hipoaktivitas
dan terjadi refleks pendular, namun hal tersebut tidak selalu muncul.
 Ganglia basal : tidak ada perubahan yang konsisten pada refleks dalam maupun
refleks superficial. Dapat muncul beberapa refleks primitif (seperti: glabellar, oculo-
cephalic, grasp, dan feeding reflex) yang diakibatkan oleh disfungsi cerebral difus
 Korteks serebri: lesi yang mengenai korteks motoris unilateral akan menyebabkan
pola kelemahan UMN (refleks tendon dalam hiperaktif dan terjadi supresi refleks
superficial) di sisi kontralateral. Dan mungkin dapat disertai dengan adanya respon
Babinski. Sedangkan pada lesi bilateral, akan terjadi abnormalitas yang sama secara
bilateral, dan dapat disertai beberapa reflek primitif karena hilangnya inhibisi kortikal.
Dengan kerusakan korteks motoris bilateral (terutama sistem kortikobulbar mengalami
kerusakan sangat berat), maka terjadi kerusakan pada komplek kontrol inhibisi
ekspresi emosional.

Tabel 3.1. Refleks dengan kelainan neurologis terkait (Campbell, 2013)


Topis / Tipe Refleks tendon Refleks Refleks
Gerakan
Lesi dalam Superfisial Patologis
Neuromuscular normal /
Normal tidak ada Normal
junction berkurang
Umumnya
normal, dapat
Otot berkurang Normal Tidak ada Normal
karena
kelemahan
normal, atau
berkurang
berkurang hingga hilang
Nervus perifer hingga tergantung tidak ada Normal
menghilang distribusi
saraf yang
terkena
Traktus
Hiperaktif
kortikospinal berkurang Patologis,
(terutama
(sindroma hingga ada terkait gerakan
kecepatan atau
upper motor menghilang yang ada
respon)
neuron)
normal, dapat
normal, atau Normal,
sistem sedikit
sedikit tidak ada terkait tidak
ekstrapiramidal meningkat atau
meningkat ada gerakan
berkurang
serebelum pendular Normal Tidak ada Normal
normal atau
meningkat normal atau normal atau
psikogenik tidak ada
(terutama jeda meningkat tidak jelas
respon)
DAFTAR PUSTAKA

Baehr M, Frotscher M. 2005. Duus’ Topical Diagnosis in Neurology. 4th edition. Stuttgart:
Georg Thieme Verlag.

Campbell, WW. 2006. DeJong’s The neurologic Examination. 6th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.

Lumbantobing SM. 2011. Neurologi Klinik : Pemeriksaan Fisik dan Mental. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta.

Sidharta P. 2010. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Penerbit Dian Rakyat. Jakarta

Waxman SG. 2010. Clinical Neuroanatomy. 26th edition. New York: McGraw-Hill
Companies, Inc.

Anda mungkin juga menyukai