OLEH:
PPDS 1
dr. Opik Jamaludin
PEMBIMBING
dr. Badhrul Munir, Sp.S
1. PENDAHULUAN
Refleks adalah jawaban terhadap suatu perangsangan. Ini merupakan mekanisme
respon-stimulus bersifat tidak disadari sehingga bernilai objektif dalam pemeriksaan.
Gerakan yang timbul dinamakan gerakan reflektorik Adanya gerakan reflektorik ini
menunjukkan adanya hubungan antara daerah yang dirangsang dan otot yang bergerak secara
reflektorik. Hubungan inilah yang dimanfaatkan dalam pemeriksaan refleks sebagai
pemeriksaan refleks (Lumbantobing, 2010; Waxman, 2003)
Pemeriksaan reflek merupakan pemeriksaan yang objektif karena merupakan respon
sensorik yang tidak disadari dan sulit untuk direkayasa. Selain itu, pemeriksaan reflek juga
tidak memerlukan perhatian, kooperasi, atau inteligensi pasien sehingga bisa dilakukan pada
hampir semua pasien. Namun, tetap memerlukan evaluasi dan temuan klinis lainnya
(Campbell, 2013).
Refleks neurologik bergantung pada suatu lengkung refleks yang terdiri atas jalur aferen
yang dicetuskan oleh reseptor dan sistem eferen yang mengaktivasi organ efektor. Terdapat 2
komponen yang terlibat dalam suatu refleks, yaitu komponen segmental dan komponen
suprasegmental. Komponen segmental merupakan pusat refleks lokal pada medulla spinalis
atau batang otak dan hubungan antara aferen dan eferennya. Komponen suprasegmental
merupakan jalur desenden sentral yang mengontrol, memodulasi dan meregulasi aktivitas
segmental. Penyakit pada jalur suprasegmental dapat meningkatkan aktivitas beberapa
refleks, menurunkan aktivitas lainnya dan menyebabkan timbulnya refleks yang pada orang
normal tidak muncul. Respon refleks dapat berupa motorik, sensorik atau otonom (Campbell,
2013).
Stimulus diterima oleh reseptor yang merupakan akhir sensori pada kulit, membran
mukosa, otot, tendon, periosteum atau refleks khusus pada retina, koklea, apparatus
vestibular, mukosa olfaktorius, bulbus gustatorius atau organ dalam. Stimulasi reseptor akan
menginisiasi sepanjang jalur aferen menuju sistem saraf pusat dan terjadi sinap pada reflek
pusat yang mengaktivasi jalur eferen. Neuron eferen mentransmisikan impuls ke efektor
berupa sel, otot, kelenjar dan pembuluh darah lalu memberikan respon. Gangguan fungsi
pada sebagian lengkung reflek baik pada reseptor, jaras aferen, reflek sentral, jaras eferen,
maupun efektor, akan merusak lengkung reflek sehingga menyebabkan menurun atau
hilangnya refleks (Campbell, 2013).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan refleks, diantaranya adalah :
Pemberian stimulus harus cepat, langsung, tak nyeri; Penderita dalam posisi menyenangkan
dan santai; Keadaan tonus otot: sedikit kontraksi. Ini berhubung reaksi dan refleks tergantung
pada keadaan tonus otot; Letak ekstremitas dalam keadaan simetris; Reaksi refleks dapat
dilihat atau dirasakan dengan meletakkan tangan diatas otot yang bersangkutan; dan Respon
refleks selalu dibandingkan dengan sisi yang lain (Campbell, 2013; Sidharta, 2010).
2. JENIS-JENIS REFLEKS
Beberapa peran refleks yang secara tidak disadari selalu bekerja dalam aktivitas
keseharian kita, diantaranya adalah refleks dalam regulasi panjang otot (refleks
monosinaptik), refleks yang memediasi respons protektif dan hindar (refleks polisinaptik),
dan refleks-refleks terkait regulasi panjang dan tegangan otot. Adapun dalam praktik sehari-
hari, refleks dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : (1) Refleks superficial, (2) Refleks tendon
dalam, (3) Refleks patologis.
Gambar 2.2 Refleks monosinaptik dengan inhibisi polisinaptik pada otot-otot antagonis (Baehr, 2005)
Sirkuit regulasi ini dapat diperiksa keutuhannya dengan ketukan cepat pada tendon otot,
misalnya tendon patella untuk mencetuskan reflek quadriseps femoris (refleks patella).
Regangan otot yang terbentuk mengaktifkan lengkung reflek monosinaptik. Reflek otot
intrinsik ini mampu menentukan lokalisasi pada neurologi klinis karena lengkung reflek
untuk otot tertentu hanya menempati satu atau dua segmen radikuler medula spinalis yang
berdekatan, dengan demikian temuan reflek yang abnormal memungkinkan untuk
menentukan level segmen lesi radikuler atau lesi spinalis yang mendasarinya (Baehr, 2005).
Setiap otot memiliki derajat ketegangan (tonus) termasuk dalam keadaan istirahat. Pada
pemeriksaan klinis neurologis, menilai tonus otot dengan mengevaluasi tahanan terhadap
gerakan pasif pada anggota gerak (misalnya dengan gerakan flexi dan extensi). Kehilangan
tonus otot secara total dapat dihasilkan akibat transeksi semua radiks anterior atau transeksi
pada semua radiks posterior. Dengan demikian tonus pada saat istirahat bukan merupakan
sifat otot itu sendiri tetapi dipertahankan oleh lengkung refleks (Baehr, 2005).
Gambar 2.6. Skema stretch reflex dan inverse stretch reflex (Waxman, 2003).
Menurun atau menghilangnya refleks dalam merupakan indikasi adanya gangguan pada
lengkung refleks, sehingga tujuan utama dilakukan pemeriksaan refleks dalam adalah untuk
membedakan apakah gangguan berasal dari upper motor neuron ataukah lower motor neuron.
Bila lesi UMN, maka cenderung akan terjadi hiper-refleksia, namun sebaliknya, lesi LMN
akan menyebabkan hipo-refleksia. Adanya clonus atau rigiditas otot (paralisis spastik) juga
dapat menunjang diagnosis gangguan UMN. Sedangkan paralisis flaccid lebih sering muncul
pada LMN.
5. Refleks scapulohumeral
Lengkung refleks melalui n. scapula dorsalis dengan pusat di C4-C5. Pemeriksaan
dilakukan dengan mengetok pada batas vertebral dari scapula akan menyebabkan
retraksi pada scapula melalui otot rhomboideus.
6. Refleks deltoid
Lengkung refleks melalui n. aksilaris dengan pusat di C5-C6. Pemeriksaan dengan
mengetuk pada insersi otot deltoid pada perbatasan atas dan sepertiga tengah aspek
lateral humerus, respon berupa abduksi ringan lengan atas.
7. Refleks pectoralis
Refleks ini dimediasi oleh n. Pectoralis media dan lateral (C5-T1). Pemeriksaan
dilakukan dengan lengan pasien pada posisi pertengahan antara abduksi dan adduksi, jari
pemeriksa diletakkan diatas tendon otot pektoralis mayor di dekat insersinya pada
tuberositas humerus. Stimulus: jari pemeriksa diketuk palu refleks. Respon: adduksi
internal rotasi ringan pada bahu. Pada orang normal biasanya tidak terlihat. Pada pasien
myelopathy spondilosis cervical, reflek pectoralis yang hiperaktif mengindikasikan
adanya kompresi pada medulla spinalis setinggi C2-C3 dan/atau C3-C4.
3. Refleks adduktor.
Refleks ini dimediasi oleh n.obturator dengan pusat di L2-L4. Pemeriksaan
dilakukan dengan paha abduksi ringan, lalu pengetukan pada epikondilus mediale femur
dekat dengan tuberkel adductor atau kondilus medial tibia akan menyebabkan kontraksi
otot adduktor pada paha.
4. Refleks hamstring internal (hamstring medial, semimembranosus, dan semitendinosus
atau tibiofemoral posterior)
Refleks ini dimediasi oleh n.skiatik dengan pusat di L5. Pengetukan pada tendon
semitendinosus dan semimembranosus sedikit diatas insersinya pada tibia. Pemeriksaan
dapat dilakukan pada posisi duduk atau berbaring dengan kaki abduksi dan sedikit
rotasi eksternal. Jari pemeriksa diletakkan di atas tendon pada posterior medial lutut,
dan pengetukan pada jari di atas tendon tersebut menghasilkan respon fleksi lutut.
Penting untuk evaluasi radikulopathy pada L5.
5. Reflek hamstring eksternal
Refleks ini diinervasi oleh n.skiatik terutama cabang dari S1. Pemeriksaan dapat
dilakukan pada posisi duduk, berbaring dengan kaki fleksi sedang, jari pemeriksa
ditempatkan di atas tendon pada lateral posterior lutut, lalu jari tersebut diketuk, akan
menyebabkan fleksi lutut. Pemeriksaan refleks ini dapat membantu mengetahui
penyebab hilangnya refleks patella apakah karena neuropati perifer atau radikulopati.
Pada neuropathy refleks akan dipertahankan, sedangkan pada radikulopathy refleks
akan ditekan.
Gambar 2.15. Reflek hamstring eksternal (Campbell, 2013)
h. Rossolimo’s sign: diperiksa dengan menepuk telapak kaki (di bagian cekung) respon:
fleksi jari-jari kaki
Gambar 2.21
Pemeriksaan tanda
Rosolimo
i. Refleks Bing
Dimunculkan dengan memberikan rangsang tusuk pada kulit yang menutupi
metatarsal ke-5. Respon seperti pada tanda Babinski.
j. Refleks Bechterew
Cara : mengetuk tengah telapak kaki atau tumit. Respon : plantar fleksi
k. Klonus patella
Pemeriksa memegang patella pasien diantara ibu jari dan telunjuknya, lalu secara
cepat dan tiba-tiba menggerakkannya ke bawah dan menahan tekanan pada akhir gerakan.
Respon berupa gerakan cepat patella ke atas dan ke bawah
l. Ankle clonus
Cara: mendorsofleksikan telapak kaki secara manual dan cepat sementara tungkai
bawah dipegang di fossa popliteal. Respon: fleksi dan ekstensi cepat dari telapak kaki,
berlangsung terus menerus
Salah satu tanda hiperaktivitas reflek adalah kontraksi otot yang memiliki aksi
berbeda dengan tendon yang diberi regangan (contoh: kontraksi dari adductor femur saat
mengetes reflek patella atau kontraksi otot fleksor jari saat mengetes reflek brachio-
radialis). Hal tersebut dinamakan penyebaran reflek secara patologis.
Hampir semua grade reflek (kecuali bila ada clonus) dapat berarti normal. Adanya
reflek asimetri merupakan kunci utama dalam menentukan normal/tidak normal. Gejala-
gejala yang ditunjukkan pasien juga mungkin dapat membantu untuk menentukan sisi
mana yang normal (sisi mana yang lebih/kurang aktif). Penurunan refleks
mengindikasikan kemungkinan adanya lesi pada lengkung refleks. Lesi dapat terjadi pada
serat saraf sensoris, namun juga dapat terjadi pada gray matter medulla spinalis ataupun
serabut saraf motorik. Serabut saraf motoris (sel kornu anterior dan axon motoris yang
berjalan melalui radiks ventralis dan nervus perifer) disebut lower motor neuron. Lesi
LMN akan menyebabkan reflek dalam menurun. Sedangkan traktus descenden dari cortex
cerebri dan brainstem disebut upper motor neuron (UMN). Lesi UMN akan menyebabkan
peningkatan reflek medulla spinalis karena akan terjadi penurunan inhibisi tonik di
segmen spinalis.
Lesi pada cerebellum dan basal ganglia tidak terkait dengan perubahan yang
konsisten pada reflek tendon dalam. Destruksi sebagian besar hemisfer cerebellum pada
manusia akan menyebabkan refleks tendon dalam berupa pendulum. Reflek sangat tidak
terkontrol sehingga contohnya, pada saat mengetes reflek patella, maka kaki akan
terayun-ayun seperti pendulum. Pada orang normal, otot antagonis seharusnya akan
menghentikan reflek hampir seketika. Namun, hal tersebut (pendullar reflex) bukan
merupakan tanda utama penyakit cerebellum dan masih banyak tanda lesi cerebellar lain
yang lebih spesifik. Sedangkan lesi basal ganglia biasanya tidak terkait dengan perubahan
reflek, sehingga seringkali reflek tetap normal.
Baehr M, Frotscher M. 2005. Duus’ Topical Diagnosis in Neurology. 4th edition. Stuttgart:
Georg Thieme Verlag.
Campbell, WW. 2006. DeJong’s The neurologic Examination. 6th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Lumbantobing SM. 2011. Neurologi Klinik : Pemeriksaan Fisik dan Mental. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta.
Sidharta P. 2010. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Penerbit Dian Rakyat. Jakarta
Waxman SG. 2010. Clinical Neuroanatomy. 26th edition. New York: McGraw-Hill
Companies, Inc.