Anda di halaman 1dari 11

2.

1 Mekanisme Gerak Refleks


2.1.1 Pengertian Gerak Refleks
Refleks adalah respons otomatis terhadap stimulus tertentu yang menjalar pada rute yang
disebut lengkung refleks. Sebagian besar proses tubuh involunter (misalnya, denyut jantung,
pernapasan, aktivitas pencernaan, dan pengaturan suhu) dan respons somatis (misalnya, sentakan
akibat suatu stimulus nyeri atau sentakan pada lutut) merupakan kerja refleks.[2]

2.1.2 Lengkung Refleks


Unit dasar aktivitas refleks terpadu adalah lengkung refleks. Lengkung refleks ini
terdiri atas alat indra, neuron aferen, satu sinaps atau lebih yang umumnya terdapat di pusat
integrasi sentral, neuron eferen, dan efektor. Pada mamalia, hubungan (sninaps) antara neuron
somatik aferen dan eferen biasanya terdapat di otak atau medulla spinalis. Serat neuron aferen
masuk susunan saraf pusat melalui radiks dorsalis medulla spinalis atau melalui nervus kranialis,
sedangkan badan selnya akan terdapat di ganglion dorsalis atau di ganglion-ganglion homolog
nervi kranialis. Serat neuron eferen keluar melalui radiks ventralis atau melalui nervus cranial
yang sesuai. Kenyataan radiks dorsalis medulla spinalis bersifat sensorik dan radiks ventralis
bersifat motorik dikenal sebagai hukum Bell-Magendie. [1]
Semua lengkung (jalur refleks) terdiri dari komponen yang sama.
1. Reseptor adalah ujung distal dendrit, yang menerima stimulus.
2. Jalur aferen melintas sepanjang sebuah neuron sensorik sampai ke otak atau medulla
spinalis.
3. Bagian pusat adalah sisi sinaps, yang berlangsung dalam substansi abu-abu SSP. Impuls
dapat ditransmisi, diulang rutenya atau dihambat pada bagian ini.
4. Jalur eferen melintas disepanjang akson neuron motorik sampai ke efektor, yang akan
merespons impuls eferen sehingga menghasilkan aksi yang khas.
5. Efektor dapat berupa otot rangka, otot jantung, atau otot polos, atau kelenjar yang
merespon. [2]

Gb.1 Lengkung Refleks

2.1.3 Sifat Umum Refleks


1. Rangsangan Adekuat
Rangsangan yang memicu terjadinya refleks umumnya sangat tepat (presisi).
Rangsangan ini dinamakan rangsangan adekuat untuk refleks tersebut. Suatu contoh yang jelas
adalah refleks menggaruk pada anjing. Refleks spinal ini timsbul akibat rangsangan yang
adekuat melalui rangsangan raba linier multiple, yang misalnya karena terdapat serangga yang
merayap di kulit. Respons yang timbul adalah garukan hebat pada daerah yang terangsang
(sementara itu, ketepatan gerakan kaki yang menggaruk ke tempat yang teriritasi itu merupakan
contoh sinyal local yang baik). Bila rangsangan raba multiple itu terpisah jauh atau tidak dalam
satu garis, rangsangan yang adekuat tidak akan timbul dan tidak terjadi garukan. Lalat merayap,
tetapi juga dapat melompat dari satu tempat ke tempat lain. Lompatan ini memisahkan
rangsangan raba tersebut sehingga tidak terbentuk rangsangan adekuat untuk refleks menggaruk.
[1]

2. Jalur Bersama Akhir


Neuron motorik yang mempersarafi serabut ekstrafusal otot rangka merupakan
bagian eferen dari berbagai lengkung refleks. Seluruh pengaruh persarafan yang memengaruhi
kontraksi otot pada akhirnya akan tersalur melalui lengkung refleks ke otot tersebut, dank arena
itu dinamakan jalur bersama akhir (final common path). Sejumlah besar masukan impuls
bertemu di tempat tersebut. Memang, permukaan neuron motorik dan dendritnya rata-rata
menampung sekitar 10.000 simpul sinaps. Sedikitnya terdapat lima masukan dari segmen spinal
yang sama untuk neuron motorik spinal tertentu. Di samping yang umumnya dipancarkan
melalui interneuron, dari berbagai bagian medulla spinalis lain dan traktus descendens yang
panjang dan multipel dari otak. Seluruh jaras ini berkumpul dan menentukan aktivitas jalur
bersama akhir. [1]
3. Berbagai Keadaan Eksitasi dan Inhibisi Sentral
Istilah keadaan eksitasi sentral dan keadaan inhibisi sentral digunakan untuk
menggambarkan keadaan berkepanjangan yang memperlihatkan pengaruh eksitasi mengalahkan
pengaruh inhibisi atau sebaliknya. Bila keadaan eksitasi sentral kuat, impuls eksitasi tidak saja
menyebar ke berbagai daerah somatic medulla spinalis melainkan juga ke daerah otonom. Pada
orang yang mengalami paraplegia kronis, misalnya, rangsangan noksius yang lemah dapat
menimbulkan refleks kencing, defekasi, berkeringat, dan tekanan darah yang fluktuatif. [1]
1.

Habituasi dan Sensitisasi Respon Refleks

Kenyataan bahwa respon refleks bersifat stereotipik tidak menghilangkan


kemungkinan bahwa respons tersebut dapat berubah melalui pengalaman. [1]

2.1.4 Proses Terjadinya Gerak Refleks

Aktivitas di lengkung reflex dimulai di reseptor sensorik, berupa potensial reseptor yang
besarnya sebanding dengan kuat rangsang. Potensial reseptor membangkitkan potensial aksi
yang bersifat gagal atau tuntas disaraf aferen. Jumlah potensial aksi sebanding dengan besarnya
potensial generator. Di sistem saraf pusat terjadi respons bertahap berupa potensial pascasinaps
eksitatorik dan potensial pasca sianaps inhibitorik yang kemudian bangkit di saraf tertaut-taut
sinaps. Respon yang kemudian bangkit di saraf eferen adalah respon yang bersifat gagal atau
tuntas. Bila potensial aksi ini mencapai efektor, akan terbangkit lagi respons bertahap. Di efektor
yang berupa otot polos, responnya akan bergabung untuk kemudian mencetuskan potensial aksi
di otot polos. Tetapi bila efektornya berupa otot rangka, respons bertahap tersebut selalu cukup
besar untuk mencetuskan potensial aksi yang mampu menimbulkan kontraksi otot.
Perlu ditekankan bahwa hubungan antara neuron aferen dan eferen biasanya terdapat di
susunan saraf pusat, dan aktivitas di lengkung reflex merupakan aktivitas yang termodifikasi
oleh berbagai rangsangan yang terkumpul (konvergen) di neuron eferen. [1]

2.2 Macam-macam Gerak Refleks


Gerak refleks terdiri dari 2 macam, yaitu refleks fisiologis dan refleks patologis.
2.2.1

Refleks Fisiologis

1. a.

Refleks Somatik.

Berdasarkan jumlah neuron yang terlibat dibagi menjadi:


1. 1.

Refleks Monosinaptik (refleks renggang)

Lengkung reflex yang paling sederhana, mempunyai sinaps tunggal diantara neuron aferen dan
eferen. Hanya ada satu sinaps yang terjadi antaraneuron sensorik dan neuron motorik.
Bila otot rangka dengan persyarafan yang utuh direnggangkan, otot ini akan berkontraksi.
Respons seperti ini disebut refleks renggang. Rangsangan yang menimbulkan efek regang
adalah regangan pada otot, dan responnya adalah kontraksi otot yang diregangkan tersebut. Alat
indranya adalah kumparan otot. Impuls yang tercetus di kumparan otot dihantarkan ke SSP
(Sistem Saraf Pusat) melalui serabut saraf sensorik penghantar cepat. Impuls kemudian secara
langsung akan diteruskan ke neuron motorik yang mempersarafi otot yang teregang.
Neurotransmitter di sinaps adalah glutamate. Reflex regang merupakan reflex monosinaptik di
dalam tubuh yang paling banyak diketahui dan dipelajari. Contoh klinis:
Refleks Patella (knee jerk)
Ketukan pada tendon patella akan membangkitkan reflex patella, karena ketukan pada tendon
akan meregangkan otot kuadriceps femoris.

Ketika patella diberi ketukan secara refleks kaki akan bergerak ke depan seakan menendang.
Perubahan postur/gerak pada kaki tersebut karena adanya mekanisme pengatur postur atau gerak
pada kaki tersebut.
Perubahan postur atau gerak pada kaki tersebut karena adanya mekanisme pengatur postur yang
terdiri dari rangkaian nukleus dan berbagai struktur seperti medulla spinalis, batang otak dan
korteks serebrum. Sistem ini tidak saja berperan dalam postur statik tetapi juga bersama sistem
kortikospinalis dan kortikobulbaris, berperan dalam pencetusan dan pengendalian gerakan.
Penyesuaian postur dan gerakan volunter tidak mungkin di pisahkan secara tegas, tetapi dapat di
ketahui serangkaian refleks postur yang tidak saja mempertahankan posisi tubuh tetapi tegak dan
seimbang tapi juga penyesuaian untuk mempertahankan latar belakang postur yang stabil untuk
aktivitas volunter. Penyesuaian ini mencakup 2 refleks yaitu :
1. Refleks tatik : mencakup konstraksi menetap otot
2. Refleks fasik : melibatkan gerakan gerakan sesaat
Keduanya terintegrasi di dalam sistem saraf pusat, dari medulla spinalis sampai korteks
serebrum.
Faktor utama dalam kontrol postur adalah adanya variasi ambang refleks regang spinal, yang di
sebabkan oleh perubahan tingkat keterangsangan neuron motorik dan secara tidak langsung
merubah kecepatan lepas muatan oleh neuron eferen - ke kumparan otot. Sehingga makin keras
ketukan yang di berikan maka refleks regang yang terjadi semakin kuat dan terjadi gerak sesaat
yang lebih tegas (pada refleks patella kaki akan bergerak menendang lebih keras atau sesuai
dengan besar rangsang yang di berikan). [1]

Mekanismenya adalah:
Tendon patella diketuk > serabut tendon tertarik > otot dan serabut kumparan teregang >
mengaktifkan refleks regangan.

Gb. 2 Refleks Patella (knee jerk)

1. 2.

Refleks Polisinaptik (Refleks Menarik Diri)

Lengkung refleks yang mempunyai lebih dari satu interneuron diantara neuron aferen dan eferen
dan jumlah sarafnya beragam antara dua sampai beberapa ratus.
Refleks menarik diri merupakan jawaban terhadap rangsangan noxius dan biasanya rangsangan
nyeri di kulit atau jaringan subkutan serta otot. Respon yang timbul adalah kontraksi otot flexor
dan penghambatan otot ekstensor sehingga bagian yang terangsang mengalami fleksi dan
menarik diri dari rangsangan tersebut. Bila diberikan rangsangan yang kuat pada ekstremitas,
respon yang timbul bukan hanya berupa fleksi dan menarik diri pada ekstremitas tersebut,
melainkan juga ekstensi pada ekstremitas kontralateral. Respon ekstensor silang ini merupakan
refleks menarik diri. Pada dasarnya adalah refleks potensi untuk menjauhi rangsangan yang
membahayakan artinya refleks untuk menghindari sesuatu yang tidak menyenangkan atau
membahayakan.

Gb. 3 Diagram hubungan polisinaps antara neuron aferen dan eferen di medulla spinalis

Gb. 4 Refleks Menarik Diri


Contoh klinis:
Sensasi panas atau tajam mengenai tungkai kiri
Mekanismenya adalah: stimuli merangsang serabut nyeri > kolateral ikut terangsang >
interneuron teraktivasi > eksitasi neuron motorik > otot fleksor tungkai kiri kontraksi.
Sedangkan otot fleksor tungkai kanan mengalami hambatan penghambatan (crosswed
extensor reflex). Dalam kejadian nyata kita melihat tungkai kiri diangkat, tungkai kanan tegak
kuat berpijak agar tubuh tidak jatuh.
1. b.

Refleks Otonomik

Contoh Klinis
1. Refleks batuk
Refleks batuk penting sekali bagi kehidupan, karena batuk merupakan cara dengan mana saluran
udara paru-paru dipertahankan bebas dari benda asing.
Bronkus dan trakea sedemikian peka sehingga benda asing apapun atau sebab iritasi lain
menimbulkan refleks batuk. Larink dan karina sangat peka, dan bronkiolus terminalis serta
alveolus terutama peka terhadap rangsnag kimia korosif seperti gas sulfur dioksida dan klor.
Impuls aferen dari saluran pernapasan terutama berjalan melalui nervus vagus ke medulla
oblongata. Di sana, suatu rangkaian peristiwa otomatis digerakkan oleh sirkuit neuron medulla
oblongata, sehingga menyebabkan efek-efek sebagai berikut: pertama, kira-kira 2,5 L udara
dihirup. Kedua, epiglottis menutup, dan pita suara menutup erat untuk menjerat udara di dalam
paru-paru. Ketiga, otot peut berkontraksi dengan kuat. Sebagai akibatnya tekanan di dalam paruparu meningkat menjadi 100 mmHg atau lebih. Keempat, pita suara dan epiglottis tiba-tiba
terbuka lebar sehingga udara bertekanan tinggi di dalam paru-paru meletus keluar. [3]
1. Refleks bersin
Rangsang yang memulai refleks bersin adalah iritasi pada saluran hidung, impuls aferennya
berjalan di dalam saraf kelima ke medulla oblongata dimana refleks ini digerakkan. Terjadi
serangkaian reaksi yang mirip dengan yang terjadi pada refleks batuk, tetapi uvula tertekan
sehingga sejumlah besar udara mengalir dengan cepat melalui hidung, dan juga melalui mulut
sehingga membantu membersihkan saluran hidung dari benda asing. [3]
2.2.2

Refleks Patologis

Refleks patologis adalah refleks refleks yang tidak dapat di bangkitkan pada orang sehat,
kecuali pada bayi dan anak kecil. Refleks refleks patologis sebagian besar bersifat refleks
dalam dan sebagian lainnya bersifat refleks superfisial. Reaksi yang di perlihatkan oleh refleks
patologis sebagian besar adalah sama tetapi mempunyai nama bermacam macam karena di
bangkitkan dengan cara yang berbeda beda. Contoh klinis:
Refleks Babinski
Lakukan goresan di ujung palu refleks pada telapak kaki pasien. Goresan di mulai pada tumit
menuju ke atas dengan menyusuri bagian lateral telapak kaki, setelah sampai pada pangkal
kelingking, goresan di belokan ke medial sampai akhir pada pangkal jempol kaki. Refleks
babinski positif jika ada respon dorsofleksi ibu jari yang di sertai pemekaran jari jari yang lain.

Gb. 5 Cara Pemeriksaan Babinski

Kerusakan traktus kortikospinalis lateral pada manusia menimbulkan tanda babinski; fleksi
dorsal jempol kaki dan mekarnya jari-jari kaki lainnya sewaktu bagian lateral telapak kaki
digores. Kecuali pada bayi, respon normal terhadap rangsangan ini adalak fleksor plantar semua
jari kaki. Tanda babinski dianggap merupakan refleks menarik pada fleksor yang secara normal
ditahan oleh sistem kortikospinalis lateral. Tanda ini berguna dalam mencari tempat proses
penyakit, tetapi makna fisiologisnya tidak diketahui. [1]

Gb. 6 Jaras Kortikospinalis pada kasus babinski

Pemeriksaan Radiologi Penyakit Stroke


Diagnosis stroke
Dilakukan anamnesis, pemeriksaan keadaan umum dan pemeriksaan neurologis secepat
mungkin, untuk segera mendapatkan diagnosis pasti stroke.
Untuk menegakkan diagnosis stroke perlu dilakukan anamnesis (untuk mendapatkan
gejala-gejala klinis akibat stroke), dan pemeriksaan neurologis (untuk mendapatkan kelainan
neurologis akibat stroke).
Gejala-gejala klinis stroke yang sering terjadi, yang perlu ditanyakan, adalah (salah satu
atau bersama-sama); (1) tiba-tiba perot, kelumpuhan satu sisi anggota gerak, (2) tiba-tiba
semutan, gringgingan di muka, satu sisi anggota gerak, (3) tiba-tiba bingung, sulit bicara atau
bicaranya sulit dimengerti, (4) tiba-tiba terjadi gangguan penglihatan satu atau ke dua mata, (5)
tiba-tiba sulit untuk berjalan, sempoyongan, kehilangan keseimbangan atau koodinasi, (6) tibatiba nyeri ke pala yang sangat, tanpa diketahui sebab, dan (7) tiba-tiba terjadi penurunan
kesadaran atau tidak sadar (koma).
Gejala-gejala klinis tersebut sangat tergantung dari jenis patologis stroke, sisi otak dan
bagian otak yang terganggu, dan bagaimana severitas dari gangguan otak tersebut.
Pola gangguan neurlogis pada penderita stroke akut, sesuai dengan letak lesinya, adalah sebagai
berikut;
1. Lesi di hemisfer kiri (dominan), dengan gejala-gejala; afasi, hemiparesis kanan,
hemiastesia kanan, hemianopsia homonymous kanan,dan gangguan gerakan bola mata
kanan

2. Lesi di hemisfer kanan (nondominan), dengan gejala-gejala; hemiparesis kiri, hemiastesia


kiri, hemianopsia homonymous kiri, dan gangguan gerakan bola mata kiri
3. Lesi di subkortikal atau batang otak, dengan gejala-gejala; hemiplegia berat dan
hemiastesis berat, disartria, termasuk dysarhtria-clumsy hand, hemiparesis-ataksia, dan
tidak ada gangguan kognisi, bahasa dan penglihatan
4. Lesi di batang otak, dengan gejala-gejala; tetrapelgia dan tetraastesia total, crossed signs
(signs on same side of face and other side of body), dysconjugate gaze, nygstagmus,
ataxia, disartria, dan disphagia
5. Lesi di serebelum, dengan gejala-gejala ataksia tungkai ipsilateral dan ataksia gait.
Pemeriksaan Radiologi yang Digunakan
1. CT Scan
Untuk membedakan jenis patologis stroke (perdarahan atau iskemik atau infark), dapat dilakukan
segera mungkin pemeriksaan CT-Scan kepala (sebagai pemeriksaan baku emas). Apabila
pemeriksaan CT-Scan tidak memungkin dengan berbagai alasan, dapat dipakai Algoritma Stroke
Gadjah Mada (ASGM) yang telah diuji reliabilitas dan validitasnya (grade I). [5] ASGM terdiri
dari 3 variabel, yaitu, nyeri kepala pada waktu saat serangan, penurunan kesadaran pada waktu
saat serangan dan refelks Babinski. Apabila ada tiga atau dua variable tersebut, maka jenis
patologis stroke adalah stroke perdarahan. Apabila ada ada nyeri kepala atau penurunan
kesadaran pada saat serangan, maka jenis patologis stroke adalah stroke perdarahan. Stroke
iskemik atau infark, apabila tidak ada ketiga variable tersebut pada saat serangan.

Gb. 7 CT Scan Kepala Indikasi Intracerebral Hemorrhage


2. MRI (Magnetic Resonance Imajing)
Pemeriksaan CT-Scan adalah mutlak dilakukan apabila akan dilakukan pengobatan dengan
pengobata trombolitik (rtPA intravenus).[4] Kalau keadaan memungkinkan dapat dilakukan
pemeriksaan MRI. Dengan pemeriksaan MRI dapat dilihat lesi kecil (yang tidak terlihat dengan
pemeriksaan CT-Scan) di kortikal, subkortikal, batang otak dan serebelum. Juga dapat terlihat
lesi teritori vaskuler dan iskemik akut lebih awal.

BAB III
PENUTUP

Refleks adalah respon motorik sederhana, involunter, stereotipik, terpogram, terhadap stimuli
sensorik spesifik. Refleks dioperasikan melalui arkus (lengkung) refleks. Sebuah lengkung
refleks terdiri atas (1) reseptor sensori yang menterjemahkan stimuli, (2) serabut sensori aferen,
yang masuk medulla spinalis melalui akar dorsal, membawa sinya ke SSP, (3) pusat integrasi
(sinap dan interneuron), yang menganalisis masukan sensori, membawa sinyal ke neuron
motorik. Serabut neuron motorik terdiri atas jaras eferen dari lengkung tersebut mmedula
spinalis melalui (akar ventral), menginervasi otot skelet (5) (efektor).
Gerak refleks dibedakan menjadi dua, yaitu refleks fisiologi dan refleks patologis. Refleks
fisiologis dibagi menjadi refleks somatis dan otonom. Berdasarkan jumlah neuronnya refleks
somatis dibedakan menjadi refleks monosinaptik dan polisinaptik

Anda mungkin juga menyukai