OLEH
NAMA : NURHIJRAH
NIM : P201701117
KELAS : J3 KEPERAWATAN
Alkalosis respiratorik
INTOLERANSI
AKTIFITAS
2. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Diagnosa Keperawatan
1. (00132) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis.
2. (00032) Pola nafas tidak efektif berhubugan dengan distress
pernafasan.
3. (00002) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan intake tidak adekuat (anoreksia, mual dan
muntah), kesulitan menelan.
4. (00027) Defisit volume cairan berhubungan denganmuntah,
diare.
5. (00085) Hambatan mobilitas fisik berhubungan paralisis,
ketidakmampuan otot berkontraksi.
6. (00092) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
fisik.
Gejala klinis ARDS ditandai dengan: timbulnya sesak napas akut yang
berkembang dengan cepat setelah kejadian predisposisi seperti trauma,
sepsis, overdosis obat, transfusi masif, pankreatitis, maupun aspirasi. Pada
sebagain besar kasus faktor predisposisi ARDS jelas didapat, namun pada
beberapa kasus (sepertipada overdosis obat) predisposisis ARDS sulit di
identifikasi. Manifestasi ARDS bervariasi tergantung pada penyakit
predisposisi, derajat injuri paru, dan ada tidaknya disfungsi organ lainnya
(Bruce D,2015).
Dalam kasus darurat yang jauh dari fasilitas RUBT dapat dilakukan
rekompresi di dalam air untuk mengobati CD langsung di tempat. Walaupun
dapat dan telah dilakukan, mengenakan kembali alat selam dan menurunkan
penyelam di dalam air untuk rekompresi, namun cara ini tdak dapat
dibenarkan. Kesukaran yang dihadapi adalah penderit tidak dapat menolong
dirinya sendiri, tidak dapat dilakukan intervensi medic bila ia memburuk dan
terbatas suplai gas. (Jusmawati, 2016)
ASUHAN KEPERAWATAN
a. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hipotensi berhubungan dengan vasodilatasi pembuluh darah.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan gangguan
neuromuscular
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik
5. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya Informasi
g. Pemeriksaan Diagnostik
- EKG 12 sandapan
- Radiografi dada (chest x ray): kardiomegali, cardiothoracic
ratio > 50%.
- Ekokardiografi : dilatasi ventrikel kiri, kanan, atrium kanan;
hipertrofi ventrikel kiri, katup alveolar tidak kompeten;
- Ventrikulografi Radionuklida : gerakan dinding jantung
abnormal, dilatasi ventrikel, kardiomegali, disfungsi ventrikel kanan.
- Hitung darah lengkap : Sel darah merah (anemia),
hiponatremia, hipokalemia.
- Urinalisis : menilai fungsi ginjal (proteinuria, albumin rendah,
peningkatan BUN dan kreatinin).
- Pemantauan hemodinamika : PAP meningkat, CI < 2 L/menit.
h. Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan curah jantung b.d gangguan preload, afterload,
kontraklitas dan distrimia.
2. Kelebihan volume cairan b.d penurunan glemeluro filtrasi rate :
penurunan perfusi jaringan
3. Gangguan disfungsi gas b.d peningkatan permeabilitas kapiler
alveolus
4. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen tubuh.
F. Proses keperawatan kritis
1) Definisi
Proses keperawatan memberikan suatu pendekatan yg sistematis,
dimana perawat kep kritis dpt mengevaluasi masalah ps dengan cepat.
Proses keperawatan kritis sama dengan proses yang digunakan pada
bidang ilmu di keperawatan lainnya Proses keperawatan kritis umumnya
menggunakan pendekatan secara sistem yg meliputi askep bio-psiko-
sosio-kultural-spiritual.
Proses keperawatan terdiri atas:
Penkajian
Diagnosa keperawatan
Intervensi
Implementasi
Evaluasi
2) Pengkajian
Umumnya pendekatan secara sistem yg meliputi askep bio-psiko-
sosio-kultural-spiritual.
Pasein telah terpasang alat2 bantu mekanik spt alat bantu napas,
hemodialisa, maka pengkajian diarahkan pada hal2 yg lebih
khusus yakni terapi dan dampak dari penggunaan alat
Pengkajian meliputi proses pengumpulan data, validasi data,
menginterpretasikan data dan memformulasikan masalah sesuai
hasil analisa data
Pada situasi kritis, data subjektif lebih sedikit didapat
dibandingkan data objektif, karena wawancara tidak dominan
memperoleh data.
Data objektif sering dan representatif digunakan sbg data
pengkajian di unit keperawatan intensif dgn tidak mengabaikan
respon subjektif yg ada.
Pengkajian awal: di UGD
Pengkajian dasar : menerapkan tindakan review of sistem,
misalnya pengkajian neurologis, karviovaskular. Aspek yg dilihat
direpresentasikan ke sistem
Pengkajian terus menerus (intens)
Pengkajian khusus : pengkajian mesin2 pendukung kehidupan, spt
titrasi obat, HD, dll.
3) Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperwatan ditegakkan untuk mencari perbedaan serta
mencari tanda gejala yg sulit diketahui utk mencegah kerusakan/gg
yg lebih luas. .
Diagnosa keperawatan berdasarkan data yg menyimpang dari
keadaan fisiologis, mengutamakan diagnosa aktual, risiko, dan
syndrome diagnostik.
Kriteria hasil ditetapkan berdasarkan pada kebutuhan klien yg
dapat diukur dan realistis
Prioritas masalah dibuat berdasarkan mengancaman nyawa,
seperti Penurunan curah jantung, bersihan jalan napas tdk
efektif dan lain-lain.
Diagnosa keperawatan dibuat untuk meningkatkan
keamanan/kenyamanan, seperti risiko ketidakseimbangan
cairan, risiko infeksi
Diagnosa syndrome kumpulan diagnosa keperwatan yg
dominan menghasilkan dx baru, seperti defisit perawatan
diri.
4) Intervensi dan implementasi
Unsur
Observasi/monitoring
Terapi keperawatan
Pendidikan
Terapi kolaboratif
Prioritas
Perencanaan tindakan diprioritaskan dgn melihat keterampilan
perawat, fasilitas, kebijakan, dan standar operasional prosedur
Implementasi
Tindakan keperawatan dpt dalam bentuk observasi,
tindakan prosedur tertentu, tindakan kolaboratif, dan
pendidikan kesehatan.
Dalam tindakan perlu ada pengawasan terus menerus
terhadap kondisi klien termasuk perilaku.
5) Evaluasi
Merupakan proses penentuan perbaikan kondisi pasien thd pencapaian
hasil yg diharapkan
Evaluasi progres: dilakukan terus menerus, untuk menilai
keberhasilan suatu tindakan. Perbaikan masalah langsung
dilakukan saat itu juga.
Evaluasi intermitten: memiliki batas waktu dan indikator,
pelaporan dilakukan di akhir shift merupakan kesimpulan dari
evaluasi progres
Evaluasi terminal: dilakukan pada saat pasien hendak dipindahkan
ke ruang, dirujuk, atau dipulangkan
G. Asuhan keperawatan kritis syok
1) Apa itu syok
Suatu respon sistematik terhadap kondisi sakit dan suatu kumpulan gejala
yang mengakibatkan perfusi jaringan tidak adekuat dan suplai oksigen
menurun di tingkat seluler sehingga menimbulkan hipoksia. seluler
(Ningsih, 2015) Syok terjadi karena adanya penurunan volume darah
(syok hipovolemi), penurunan fungsi pompa jantung (syok kardiogenik),
penurunan tahanan vascular perifer (syok distributif) dan penurunan suplai
darah ke organ penting tubuh seperti jantung dan paru-paru (syok
obstruktif).
(Ningsih, 2015)
2) Jenis syok berdasarkan penyebab
a. Syok kardiogenik
merupakan suatu kondisi dimana jantung mengalami gangguan secara
mendadak, sehingga darah yang dibutuhkan oleh tubuh tidak
mencukupi. Kondisi ini merupakan serangan jantung yang
membutuhkan pengobatan segera (Hochman, 2013).
Etiologi
Gangguan jantung kiri
Disfungsi sistolik : berkurangnya kontraktilitas miokard, infark
miokard akut, hipoksemia global, penyakit katup, dll.
Disfungsi diastolik : meningkatnya kekakuan ruang ventrikel
kiri, terjadi pada tahap lanjut syok hipovolemik dan syok
septik, penyebab lainnya iskemik, hipertrofi ventrikel,
kardiomiopati restriktif, kompresi eksternal akibat tamponade
jantung.
Peningkatan afterload yang terlalu besar: terjadi pada stenosis
aorta, kardiomiopati hipertrofi, koartkasio aorta, hipertensi
maligna.
Abnormalitas katup dan struktur jantung.
Menurunnya kontraktilitas jantung
Gangguan jantung kanan
Terjadi karena peningkatan aftreload yang terlalu besar
misalnya emboli paru, penyakit pembuluh darah paru (hipertensi
arteri pumonalis dan penyakit oklusif vena), vasokontriksi
pulmonal hipoksik, tekanan puncak akhir ekspirasi, fibrosis
pulmonaris, kelainan pernapasan saat tidur, PPOK, dan aritmia
b. Syok hipovelemik
Suatu keadaan tubuh yang mengalami kehilangan volume cairan
dalam jumlah yang besar (Ningsih, 2015).
Jenis syok ini menyebabkan gangguan hemodinamik akibat dari
tidak adekuatnya hantaran oksigen dan perfusi jaringan
(Hardisman, 2013; Jones, 2016).
Penurunan perfusi jaringan yang terjadi di sini tidak hanya pada
jaringan perifer namun juga perfusi jaringan ke organ vital yang
lebih lanjut dapat menyebabkan perubahan metabolisme aerob
menjadi anaerob sehingga terjadi akumulasi asam laktat dan terjadi
asidosis metabolik (Dewi & Sri, 2010; Ningsih, 2015).
Penyebab lain
Dehidrasi
Drainase GI yang berlebihan (diare)
Asites
Diabetes insipidus
Drainase luka yang berlebihan
Gagal ginjal akut (fase output yang tinggi)
Kehilangan cairan dari kulit
Kondisi diuresis osmotik sekunder akibat dari hiperosmolar (DKA,
HHNS)
c. Syok distributif (vasogenik)
Adalah kondisi distributif volume darah intravaskuler yang tidak
normal sebagai akibat dari penurunan fungsi saraf simpatis,
akumulasi darah pada vena dan kapiler serta peningkatan
permeabilitas kapiler (Ningsih, 2015).
Syok distributif dapat disebabkan oleh kehilangan tonus simpatis
atau oleh pelepasan mediator kimia ke dari sel-sel
Kondisi-kondisi penyebab resiko syok distributive
syok neurogenik seperti cedera medulla spinallis, anestesi spinal.
syok anafilaktik seperti sensitivitas terhadap penisillin, reaksi
tranfusi, alergi sengatan lebah.
syok septik seperti imunosupresif, usia yang ekstrim yaitu >1th
dan <65tahun, malnutrisi
d. pengkajian berdasarkan manifestasi klinis
INITIAL STAGE
HR dan TD diastolic sedikit meningkat
Tidak ada tanda dan gejala khusus lain yang ditampilkan karena
perubahan pada sel sedang berlangsung
Compensatory stage
Gelisah
Agitasi
Bingung
TD: normal atau sedikit rendah
HR: meningkat
RR: meningkat (>20x/menit)
Kulit dingin, pucat, mungkin sianosis.
Nadi perifer: lemah
output urine: kental dan kurang (<30 cc/jam).
Bising usus: hipoaktif, mungkin distensi abdomen.
Data laboratorium: glukosa meningkat, natrium meningkat, pH
meningkat, Pao2 menurun, PaCO2 menurun.
Progessive stage
Menyediakan pendidikan dan dukungan untuk membantu pasien
atau mengganti pasien yang ditunjuk membuat keputusan.
Mewakili pasien sesuai dengan pilihan pasien.
Mendukung keputusan dari pasien atau menganti yang di tunjuk,
atau perawatan transfer pasien kritis sama-samaberkualitas.
Berdoa bagi pasien yang tidak dapat berbicara untuk mereka
sendiri.
Memantau dan menjaga kualitas perawatan pasien.
Bertindak sebagai penghubung antara pasien, keluarga, dan
professional kesehatan lainya
e. Prinsip-prinsip manajemen syok
H. Tujuan dasar
meningkatkan oksigenasi
1. Aritmia
Beberapa bentuk aritmia mungkin timbul pada IMA. Hal ini disebabkan
perubahan-perubahan listrik jantung sebagai akibati skemia pada tempat
infark atau pada daerah perbatasan yang mengelilingi, kerusakan system
konduksi, lemah jantung kongestif atau keseimbangan elektrolit yang
terganggu.
2. AV Blok
Blok jantung bukan penyakit pada jantung, tetapi dihubungkan dengan
berbagai jenis penyakit jantung, khususnya penyakit artericoroner dan
penyakit jantung reumatik. Pada blok jantung atrioventrikuler (AV),kontraksi
jantung lemah dan tidak memiliki dorongan yang cukup untuk mengirim
darah dari atrium keventrikel. Denyut nadi dapat rendah,mencapai 30 kali per
menit.
3. Gagal jantung
Pada IMA, heart failure mau pungagal jantung kongestif dapat timbul sebagai
akibat kerusakan ventrikel kiri, ventrikel kanan atau keduanya dengan atau
tanpa aritmia. Penurunan cardiac output pada pumpfailure akibat IMA
tersebut menyebabkan perfusi perifer berkurang. Peningkatan resistensi
perifer sebagai kompensasi menyebabkan beban kerja jantung bertambah.
Bentuk yang paling ekstrim pada gagal jantung ini ialah syok kardiogenik.
4. Emboli/tromboemboli
Emboli paru pada IMA: adanya gagal jantung dengan kongesti vena,disertai
tirah baring yang berkepanjangan merupakan factor predisposisi trombosis
pada vena-vena tungkai bawah yang mungkin lepas dan terjadi emboli paru
dan mengakibatkan kemunduran hemodinamik. Embolisasi sistemik akibat
trombus pada ventrikel kiri tepatnya pada permukaan daerah infark atau
thrombus dalam aneurisma ventrikel kiri.
5. Ruptura
Komplikasi rupture amiokard mungkin terjadi pada IMA dan menyebabkan
kemunduran hemodinamik. Ruptura biasanya pada batas antara zona infark
dan normal. Ruptura yang komplit (pada free wall)menyebabkan perdarahan
cepat kedalam cavum pericardi sehingga terjadi tamponade jantung dengan
gejala klinis yang cepat timbulnya.
H. Patofisiologi
Infarkmiokardium mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibat
suplai darah yang tidak adekuat sehingga aliran darah coroner berkurang.
Penyebab penurunan suplai darah mungkin akibat penyempitan kritis arteri
koroner karena aterosklerosis atau penyumbatan total arteri oleh emboli atau
thrombus. Penurunan aliran darah koroner juga biasa diakibatkan oleh syok atau
perdarahan. Pada setiap kasus infarkmiokardium selalu terjadi
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen (Suddarth,2014).
Penyumbatankoroner, seranganjantung dan infarkmiokardium mempunyai
arti yang sama namun istilah yang paling disukai adalah
infarkmiokardium.Aterosklerosis dimulai ketika kolestrol berlemak tertimbun di
intima arteri besar. Timbunan ini, dinamakan ateroma atau plak yang akan
mengganggu absorbsi nutrient oleh sel-selendotel yang menyusun lapisan
dinding dalam pembuluh darah dan menyumbat aliran darah karena timbunan
lemak menonjol ke lumen pembuluh darah. Endotel pembuluh darah yang
terkena akan mengalami nekrotik dan menjadi jaringan parut, selanjutnya lumen
menjadi semakin sempit dan aliran darah terhambat. Pada lumen yang
menyempit dan berdinding kasar, akan cenderung terjadi pembentukan bekuan
darah, hal ini menyebabkan terjadinya koagulasiintravaskuler, diikuti oleh
penyakit tromboemboli, yang merupakan komplikasi tersering aterosklerosis
(Suddarth, 2014).
Faktor resiko yang dapat memperburuk keadaan ini adalah kebiasaan
merokok, memiliki riwayat tekanan darah tinggi dan kolestrol tinggi,memiliki
riwayat keluarga mengalami penyakit jantung koroner atau stroke,kurang
aktivitas fisik, memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus, memiliki berat badan
berlebihan (overweight) ataupun obesitas (Iskandar, 2017).
Aterosklerosis koroner menimbulkan gejala dan komplikasi sebagai akibat
penyempitan lumen arteri dan penyumbatan aliran darah kejantung.Sumbatan
aliran darah berlangsung progresif, dan suplaidarah yang tidakadekuat (iskemia)
yang akan membuat sel-sel otot kekurangan komponen darah yang dibutuhkan
untuk hidup. (Suddarth, 2014).
Kerusakan sel akibat iskemia terjadi dalam berbagai tingkat.Manifestasi
utama iskemia miokardium adalah nyeri dada. Angina pectoris adalah nyeri dada
yang hilang timbul, tidak disertai kerusakan ireversibel sel-sel jantung. Iskemia
yang lebih berat, disertai kerusakan sel dinamakan infarkmiokardium. Jantung
yang mengalami kerusakan ireversi belakan mengalami degenerasi dan kemudian
diganti dengan jaringan parut. Bila kerusakan jantung sangat luas, jantung akan
mengalami kegagalan, artinya ia tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan tubuh
akan darah dengan memberikan curah jantung yang adekuat. Manifestasiklinis
lain penyakit arteri koroner dapat berupa perubahan pola EKG, aneurisma
ventrikel,disaritmia dan akhirnya akan mengalami kematian mendadak
(Suddarth,2014).
I. Pemeriksaan Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis STEMI yang perlu dilakukan anamnesis
(Tanyajawab) seputar keluhan yang dialami pasien secara detail mulai dari gejala
yang dialami, riwayat perjalanan penyakit, Riwayat penyakit personal dan
keluarga,riwayat pengobatan, riwayat penyakit dahulu, dan kebiasaan pasien.
Selain itu perlu juga dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
(Majid, 2016)
1. Pemeriksaan penunjang yang penting dilakukan adalah pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG). Dengan pemeriskaan ini maka dapat ditegakkan
diagnosis STEMI. Gambaran STEMI yang terlihat pada EKG antara lain:
Lead II, III, aVF :Infark inferior
Lead V1-V3 :Infark anteroseptal
Lead V2-V4 :Infark anterior
Lead 1, aV L, V5-V6 :Infark anterolateral
Lead I, aVL :Infark high lateral
Lead I, aVL, V1-V6 :Infark anterolateral luas
Lead II, III, aVF, V5-V6 :Infark inferolateral
Adanya Q valve patologis pada sadapan tertentu.
2. Echocardiogram
Digunakan untuk mengevaluasi lebih jauh mengenai fungsi jantung
khususnya fungsi ventrikel dengan menggunakan gelombang ultrasound.
3. Foto thorax
Foto thorax tampak normal, apabila terjadi gagal jantung akan terlihat pada
bendungan paru berupa pelebaran corakan vaskuler paru dan hipertropi
ventrikel
4. Percutaneus Coronary Angiografi (PCA)
Pemasangan kateter jantung dengan menggunakan zat kontras dan memonitor
x- ray untuk mengetahui sumbatan pada arteri koroner
5. Tes Treadmill
Uji latih jantung untuk mengetahui respon jantung terhadap aktivitas.
6. Laboratorium :
Pemeriksaan yang dianjurkanadalah:
a) Creatinin Kinase (CK)MB. Meningkat setelah 3 jam bila ada
infarkmiokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali
normal dalam 2-4 hari.
b) cTn (cardiac specific troponin). Ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I.
enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infarkmiokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
c) Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:
- Mioglobin. Dapat dideteksi satu jam setelah infark dan
mencapai puncak dalam 4-8 jam.
- Creatinin kinase (CK). Meningkat setelah 3-8 jam bila ada
infarkmiokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan
kembali normal dalam 3-4 hari.
- Lactic dehydrogenase (LDH). Meningkat setelah 24-48 jam
bila ada infarkmiokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali
normal dalam 8-14 hari.
2) Diagnosa Keperawatan Infark Miokard Akut dengan STEMI
Wijaya & Putri (2013) di dalam buku KMB1. Diagnosis pada pasien dengan
penyakit ST Elevasi Miokard Infark Akut adalah
1) Risiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan factor-
faktor listrik, penurunan karakteristik miokard
2) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan , iskemik, kerusakan otot
jantung, penyempitan / penyumbatan pembuluh darah arteri koronaria
3) Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran darah ke
alveoli atau kegagalan utama paru, perubahan membran alveolarkapiler
( atelektasis , kolaps jalan nafas! alveolar edema paru/efusi, sekresi
berlebihan / perdarahan aktif)
4) Nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan
arteri
5) Risiko kelebihan volume cairan ekstravaskuler berhubungan dengan
penurunan perfusi ginjal, peningkatan natrium l retensi air , peningkatan
tekanan hidrostatik, penurunan protein plasma.
6) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen miocard dan kebutuhan, adanya iskemik/ nekrotik jaringan miocard
ditandai dengan gangguan frekuensi jantung, tekanan darah dalam aktifitas,
7) Cemas berhubungan dengan ancaman aktual terhadap integritas biologis
8) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang fungsi
jantung / implikasi penyakit jantung dan status kesehatan yang akan datang ,
kebutuhan perubahan pola hidup ditandai dengan pernyataan masalah,
kesalahan konsep, pertanyaan, terjadinya kompliksi yang dapat dicegah
4) Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis fraktur menurut (Smelzter&Bare dalam
Melti&Zuriati 2019).
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampei fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bindai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah bukannya tetap rigid seperti normalnya,
pergeseran fragmen pada fraktur menyebabkan deformitas, ekstremitas
yang bias diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas yang
normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
ototbergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanay derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya
baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
5) Klasifikasi
Terdapat enam klasifikasi fraktur femur(Rudi, dkk., 2020).
1. Fraktur intertrochanter femur yaitu fraktur yang terdapat garis
melintang mulai dari trochanter mayor sampai trochanter minor.
2. Fraktur subtrochanter femur disebabkan oleh trauma berkekuatan
tinggi yang disertai dengan penyakit patologis yang menyebabkan
tulang menjadi lemah.
3. Fraktur suprakondiler femur terjadi bagian distal menyebabkan
dislokasi ke posterior. Fraktur ini disebabkan adanya penarikan otot-
otot gastrocnemius.
4. Fraktur kondiler femur ini disebabkan adanya tekanan ke di sumbu
femur ke atas yang dikombinasikan dari dua gaya yaitu hiper abduksi
dan adduksi.
5. Fraktur batang femur adalah fraktur terjadi karena adanya trauma
langsung yang memiliki kekuatan dengan intensitas tinggi.
6. Fraktur collum femur adalah fraktur yang disebabkan oleh perubahan
struktur tulang yang disebabkan tekanan yang mengenai lingkaran
acetabulum yang berotasi ke arah posterior.
6) Komplikasi
1. Komplikasi awal menurut (Noor, 2016)
a. Syok.
Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi. Hal ini biasanya terjadi pada fraktur. Pada
beberapa kondisi tertentu, syok neurogenik sering terjadi pada fraktur
femur karena rasa sakit yang hebat pada pasien.
b. Kerusakan arteri.
Pecahnya arteri karena trauma bisa di tandai oleh: tidak adanya
nadi; CRT (Cappillary Refill Time) menurun; sianosis bagian distal;
hematoma yang lebar; serta dingin pada ekstremitas yang di sebabkan
oleh tindakan emergensi pembidaian, perubahan posisi pada yang
sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
c. Sindrom kompartemen.
Sindrom kompratemen adalah suatu kondisi di mana terjadi
terjebaknya otot tulang saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan
parut akibat suatu pembengkakan dari edema atau pendarahan yang
menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Kondisi sindrom
kompratemen akibat fraktur hanya terjadi pada fraktur yang dekat
dengan persendian dan jarang terjadi pada bagian tengah tulang. Tanda
khas untuk sindrome kompartemen adalah 5P, yaitu: pain (nyeri
lokal), paralysis (kelumpuhan tungkai), pallor (pucat bagian distal),
parastesia (tidak ada sensasi) dan pulselessness (tidak ada denyut nadi,
perubahan nadi, perfusi yang tidak baik, dan CRT >3 detik pada
bagian distal kaki).
d. Infeksi.
Sistem pertahanan tubuh ruak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma ortopedik infeksi di mulai pada kulit (superfisial) dan
masuk ke dalam. Hal ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka,tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin (ORIF dan OREF) atau plat.
e. Avaskular Nekrosis
Avaskular nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan di
awali dengan adanya volkman’s ischemia
f. Sindrom emboli lemak
Sindrom emboli lemak (fat embolism syndrom-FES) adalah
komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang
panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang di hasilkan sum sum
tulang kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen
dalam darah rendah yang di tandai dengan gangguan pernapasan,
takikardi, hipertensi, takipnea, dan demam.
2. Komplikasi Lama menurut (Noor, 2016)
a. Delayed Union
Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi
sesuai dengan waktu yang di butuhkan tulang untuk sembuh dan
tersambung dengan baik. Ini disebabkan karena penurunan suplai
darah ke tulang. Delayed union adalah fraktur yang tidak sembuh
dengan selak waktu 3-5 bulan (tiga bulan untuk anggota gerak atas dan
lima bulan untuk anggota gerak bawah).
b. Non-union
Disebut non-union apabila fraktur tidak sembuh dalam waktu
antara 6-8 bulan dan tidak terjadi konsolidasi sehingga terdapat
pseudoartrosis (sendi palsu). Pseudoartosis dapat terjadi tanpa infeksi
tetapi dapat juga terjadi bersama infeksi yang di sebut dengan infected
pseudoarthrosis
c. Mal-union
Mal-union adalah keadaan dimana fraktur sembuh pada
saatnya, tetapi terdapat deformitas yang berbentuk
angulasi,varus/valgus, pemendekan, atau menyilang, misalnya, pada
fraktur radius-uln
7) Patofisiologi
Ketika patah tulang, terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah,
susmsum tulang dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut terjadi
perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini
menimbulkan hematom pada kanal modul anatar tepi tulang bawah
periostrium dengan jaringan tulang yang mengatasi fraktur.
Terjadinya respon inflamasi akibat sirkulasi jaringan nekrotik ditandai
dengan fase vasolidasi dari plasma dan leukosit, ketika terjadi kerusakan
tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk memperbaiki
cedera, tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang.
Hematom yangterbentuk bisa menyebabkan peningkatan tekanan
dalam sumsum tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan
gumpalan lemak tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai
organ-organ yang lain. Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot,
sehingga meningkatkan tekanan kapiler di otot, sehingga meningkatkan
tekanan kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskemik dan
menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini
menyebabkan terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung
syaraf, yang bila berlangsung lama bisa menyebabkan comportement (Melti &
Zuriati, 2019)
8) Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Istianah (2017) Pemeriksan Diagnostik antara lain:
1. Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
2. Scan tulang, temogram, atau scan CT/MRIB untuk memperlihatkan
fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler.
4. Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau menurun
pada perdarahan selain itu peningkatan leukosit mungkin terjadi sebagai
respon terhadap peradangan.
9) Penatalaksanaan
Menurut Istianah (2017) penatalaksanaan medis antara lain :
1. Diagnosis dan penilaian fraktur
Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakukan dilakukan
untuk mengetahui dan menilai keadaan fraktur. Pada awal pengobatan
perlu diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang
sesuai untuk pengobatan komplikasi yang mungkin terjadi selama
pengobatan.
2. Reduksi
Tujuan dari reduksi untuk mengembalikan panjang dan kesejajaran
garis tulang yang dapat dicapai dengan reduksi terutup atau reduksi
terbuka. Reduksi tertutup dilakukan dengan traksi manual atau mekanis
untuk menarik fraktur kemudian, kemudian memanipulasi untuk
mengembalikan kesejajaran garis normal. Jika reduksi tertutup gagal atau
kurang memuaskan, maka bisa dilakukan reduksi terbuka. Reduksi
terbuka dilakukan dengan menggunakan alat fiksasi internal untuk
mempertahankan posisi sampai penyembuhan tulang menjadi solid. Alat
fiksasi interrnal tersebut antara lain pen, kawat, skrup, dan plat. Alat-alat
tersebut dimasukkan ke dalam fraktur melalui pembedahan ORIF (Open
Reduction Internal Fixation). Pembedahan terbuka ini akan
mengimobilisasi fraktur hingga bagian tulang yang patah dapat
tersambung kembali.
3. Retensi
Imobilisasi fraktur bertujuan untuk mencegah pergeseran fragmen dan
mencegah pergerakan yang dapat mengancam penyatuan. Pemasangan
plat atau traksi dimaksudkan untuk mempertahankan reduksi ekstremitas
yang mengalami fraktur.
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin. Setelah
pembedahan, pasien memerlukan bantuan untuk melakukan latihan.
b. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang
nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan. Diagnosa
keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op fraktur meliputi :
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen
tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/imobilisasi, stress,
ansietas.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan,
ketidak edekuatan oksigenasi, ansietas, dan gangguan pola tidur.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status
metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh
terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit
buruk, terdapat jaringan nekrotik.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan,
kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan
kekuatan/tahanan.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi
tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi
pembedahan.
6. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah
interpretasi informasi.
3. ACS
a) KONSEP MEDIS
Definisi
Sindrom coroner akut merupakan penyakit tertinggi di dunia Word healt
organization (WHO) pada tahun 2015 melaporkan penyakit kardiovaskular
menyebabkan 17,5 juta kematian atau sekitar 31% dari keseluruhan
kematian secara global dan yang diakibatkan sindrom koroner akut
sebesar 7,4 juta. Penyakit ini diperkirakan akan mencapai 23,3 juta
kematian pada tahun 2030 (Susilo,2015; Tumade et al.,2014).
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan salah satu penyakit tidak
menular dimana terjadi perubahan patologis atau kelainan dalam dinding
arteri koroner yang dapat menyebabkan terjadinya iskemik miokardium
dan UAP (Unstable Angina Pectoris) serta infrak Miokard Akut (IMA)
seperti non-ST Elevation Myocardional Infarct (NSTEMI) dan ST Elevation
Miocardional Infarct (STMI) (Tumade et al.,2014).
Etiologi
Penyebab sindrom koroner akut paling sering adalah oklusi lengkap
atau hampir lengkap dari arteri coroner, biasanya dipicu oleh ruptur plak
arterosklerosis yang rentan dan di ikuti oleh pembentukan trombus. Ruptur
plak dapat dipicu oleh faktor-faktor internal maupun eksternal (Joyce,
2014).
Faktor Resiko
a. Faktor internal antara lain karakteristik plak, seperti ukuran dan
konsistensi dari inti lipid dan ketebalan lapisan fibrosa, serta kondisi
bagaimana plak tersebut terpapar, seperti status koagulasi dan
derajat vasokontriksi arteri. Plak yang rentan paling sering terjadi
pada area dengan stenosis kurang dari 70% dan ditandai dengan
bentuk yang eksentrik dengan batas tidak teratur, inti lipid yang besar
dan tipis dan pelapis fibrosa yang tipis (Joyce 2014).
b. Faktor eksternal berasal dari aktivitas klien atau kondisi eksternal
yang mempengaruhi klien. Aktivitas fisik berat dan stres emosional
berat, seperti kemarahan, serta peningkatan respon sistem saraf
simpatis dapat menyebabkan rupture plak. Pada waktu yang sama,
respon sistem saraf simpatis akan meningkatkan kebutuhan oksigen
miokardium. Faktor eksternal, seperti paparan dingin dan waktu
tertentu dalam waktu satu hari, juga dapat mempengaruhi plak rupture
plak. Kejadian coroner akut terjadi lebih sering dengan paparan
terhadap dingin dan pada waktu pagi hari (Joyce, 2014).
Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis yang berhubungan dengan sindrom coroner akut
berasal dari iskemia otot jantung dan penurunan fungsi serta asidosis yan
terjadi. Manifestasi klinis utama dari sindrom corona akut adalah nyeri
dada yang serupa dengan angina pectoris tetapi lebih parah dan tidak
berkurang dengan nitrogliserin. Nyeri dapat menjalar ke leher, rahang,
bahu, punggung, atau lengan kiri. Nyeri juga dapat ditemukan didekat
epigastrium, menyerupai nyeri pencernaan. Sindrom coroner akut juga
dapat berhubungan dengan manifestasi klinis yang terjadi berikut ini
(Joyce, 2014):
a. Nyeri dada, perut, punggung, atau lambung yang tidak khas
b. Mual atau pusing
c. Sesak nafas dan kesulitan bernafas
d. Kecemasan, kelemahan, atau kelelahan yang tidak dapat dijelaskan
e. Palpitasi, keringat dingin, pucat.
Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan biomarka jantung, sindrom
koroner akut dibagi menjadi:
a. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST)
b. Infark miokard akut non-elevasi segmen ST(IMA-NEST)
c. Angina pektoris tidak stabil (APTS) (Dafsah Arifa Juzar, 2018).
Komplikasi
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi
disfungsi miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan IKP
atau trombolisis, perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi, namun
apabila terjadi jejas transmural dan/atau obstruksi mikrovaskular, terutama
pada dinding anterior, dapat terjadi komplikasi akut berupa kegagalan
pompa dengan remodeling patologis disertai tanda dan gejala klinis
kegagalan jantung, yang dapat berakhir dengan gagal jantung kronik
(Perhimpimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015).
Dalam jurnal Ekha Fithra Elfi (2015) menjelaskan bahwa, Salah satu
manifestasi sindrom koroner akut yang banyak terjadi adalah non ST
elevation segment of myocardial infarction (NSTEMI). NSTEMI dapat
menimbulkan berbagai komplikasi seperti udem paru akut, henti jantung,
bahkan kematian. Dilaporkan seorang pasien wanita 53 tahun dengan
diagnosis NSTEMI. Pasien mengalami henti jantung dan udem paru akut
yang merupakan gagal jantung akut. Henti jantung pada pasien ini diawali
oleh aritmia maligna yang disebabkan oleh kurangnya asupan oksigen
pada otot jantung. Pasien memerlukan penatalaksanaan multidisiplin dan
intensif. Pada pasien diberikan dukungan ventilasi mekanik dengan
tekanan positif yaitu CPAP untuk mengurangi mortalitas edema paru.
Selain itu diperlukan pemantauan ketat hemodinamik dan asupan nutrisi
pada pasien. Selain masalah jantung dan paru, pada pasien juga terjadi
penurunan kesadaran setalah henti jantung. Gangguan pada sistem saraf
pusat merupakan penyebab kematian yang cukup tinggi pada pasien yang
selamat dari henti jantung dan resusitasi. Berdasarkan hal itu, perlu
dilakukan resusitasi kardioserebral pada pasien dengan henti jantung.
Perbedaan utama dengan resusitasi jantung paru adalah pentingnya
manajemen jalan nafas yang lebih lengkap dengan ventilasi mekanik
(Ekha FIthra Elfi, 2015:4).
Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma
pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan
perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi
plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan
aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white
thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner,
baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang
menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi
pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah
koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang
berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium
mengalami nekrosis (infark miokard) (Perhimpimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia, 2015).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh
darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang
dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot
jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan
kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah
iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk,
ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak
plak seperti diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA karena obstruksi
dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (Angina
Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun
trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah
Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti
demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi
pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak
aterosklerosis (Perhimpimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia, 2015).
Pemeriksaan Diagnostik
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos
dada, diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada dapat
dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina Stabil, Kemungkinan
SKA, dan Definitif SKA. (Perhimpimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia, 2015).
Dada yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen).
Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal,
menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau
epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit
atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan
penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas,
dan sinkop. (Perhimpimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia,
2015).
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di
daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion),
sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak
yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien
usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita
diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina
atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai
angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada
pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan
angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis
SKA (Perhimpimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015).
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan
pada pasien dengan karakteristik sebagai berikut :
a. Pria
b. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit
arteri perifer / karotis)
c. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark
miokard, bedah pintas koroner, atau IKP
d. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia,
diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi
atas risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP
(National Cholesterol Education Program) (Perhimpimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015.
Penatalaksanaan
a. Terapi Farmakologis
Terapi anti iskemik : Untuk mengurangi iskemia dan mencegah
terjadinya kemungkinan yang lebih buruk sepertiinfarkmiokard
atau kematian.
Nitrat : Mengurangi kebutuhan oksigen dan meningkat suplai
oksigen.
Antalogis kalsiium mengurangi infulks kalsium yang melalui
membrane sel. Obat ini menghambat kontraksi miokard dan otot
polos pembulu darah.
Etiologi
a. Trauma langsung: benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur
pada tempat tersebut
b. Trauma tidak langsung: bilamana titik tumpul benturan dengan
terjadinya fraktur berjauhan
c. Proses penyakit: kanker dan riketsia
d. Kompresion force: klien yang melompat dari tempat ketinggian dapat
mengakibatkan fraktur kompresi tulang belakang
Muscle (otot): akibat injuri/sakit terjadi renggangan otot yang kuat
sehingga dapat menyebabkan fraktur (misal; elektrik shock dan tetani)
(muttaqin, Arif. 2015)
Faktro Resiko
Usia
Fraktur pelvik bisa dialami oleh siapa saja diusia berapapun. Pada
orang muda, kondisi ini sering terjadi karena terjatuh, cedera saat
berolahraga, ataupun kecelakaan. Tetapi, fraktur pelvik lebih sering
dialami oleh orang-orang berusia 65 tahun, karena mereka lebih
mudah terjatuh ini bisa teradi karena adanya penurunan kondisi
kesehatan (khususnya kekuatan tulang), gangguan penglihatan, dan
masalah keseimbangan tubuh
Osteoporosis
Wanita lansia yang mengidap penyakit tulang keropos (osteoporosis)
karena pernah mengalami trauma, seperti terjatuh atau terbentur
sebelumnya juga beresiko tinggi fraktur pelvik
Kekurangan nutrisi
Nutrisi yang sangat penting untuk pembentukan tulang adalah
kalsium dan vitamin D. kekurangan nutrisi tersebut bisa
meningkatkan resiko fraktur pelvik
Masalah kesehatan
Adanya masalah kesehatan tertentu seperti gangguan endokrin dan
pencernaan bisa menurunkan kemampuan tubuh untuk menyerap
kalsium dan vitamin D. kondisi inilah yang memicu terjadinya
fraktur pelvik (muttaqin, Arif. 2015)
Manifestasi Klinis
Fraktur panggul merupakan salah satu trauma multiple yang dapat
mengenai organ-organ lain dalam panggul. Keluhan yang dapat terjadi
pada fraktur panggul antara lain:
a. Nyeri
b. Pembengkakan
c. Deformitas
d. Perdarahan subkutan sekitar panggul
e. Hematuria
f. Perdarahan yang berasal dari vagina, uretra, dan rectal
g. Syok
Penderita dating dalam keadaan anemia dan syok karena perdarahan
yang hebat. Terdapat gangguan fungsi anggota gerak bawah. Pada cedera
tipe A pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri bila
berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan local tetapi jarang terdapat
kerusakan pada visera pelvis. Sinar-X polos dapat memperhatikan fraktur.
Pada tipe cedera B dan C pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan
tak dapat berdiri: dia juga mungkin tidak dapat kencing. Mungkin terdapat
darah di meatus eksternus. Nyeri tekan dapat bersifat local tetapi sering
meluas, dan usaha menggerakan satu atau kedua ala osis ili akan sangat
nyeri. Salah satu kaki mungkin mengalami anastesik sebagian karena
cedera saraf skiatika dan penarikan atau pendorongan dapat
mengungkapkan ketidakstabilan vertikel (meskipun ini mungkin terlalu
nyeri). Cedera ini sangat hebat, sehingga membawa resiko tinggi
terjadinya kerusakan viseral, perdarahan didalam perut dan
retroperitoneal, syok, sepsis, dan ARDS, angka kematianya cukup tinggi
(Herdman, T.Heather. 2014).
Klasifikasi
Menurut marfin tile disruption of pelvic ring dibagi:
a. Stable (tipe A)
b. Unstable (tipe B)
c. Miscellaneous (tipe C)
fraktur tipe A: pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri
bila berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan local tetapi jarang terdapat
kerusakan pada visera pelvis.Fraktur tipe B dan C: pasien mengalami syok
berat, sangat nyeri dan tidak dapat berdiri, serta juga tidak dapat kencing.
Kadang-kadang terdapat darah dimeatus eksternus. Nyeri tekan dapat
bersifat lokal tetapi sering meluas, dan juga menggerakan satu atau kedua
ala ossis ilium akan sangat nyeri.
Komplikasi
a. Komplikasi segera
Thrombosis vena ilio femoral: sering ditemukan dan sangat
berbahaya. Berikan antikoagulan secara rutin untuk profilaktik
Robekan kandung kemih: terjadi apabila ada disrupsi simfisis
pubis atau tusukan dari bagian tulang panggul yang tajam
Robekan uretra: terjadi karena adanya disrupsi simfisis pubis pada
daerah uretra pars membranosa
Trauma rectum dan vagina
Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan
perdarahan massif sampai syok.
b. Komplikasi lanjut
Pembentukan tulang heterotrofik: biasanya terjadi setelah suatu
jaringan lunak yang hebat atau setelah suatu diseksi operasi.
Berikan indometacin sebagai profilaksis
Nekrosis avaskuler: dapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu
setelah trauma
Gangguan pergerakan sendi serta osteoarthritis sekunder: apabila
terjadi fraktur pada daerah asetabulum dan tidak dilakukan reduksi
yang akurat, sedangkan sendi ini menopang berat badan, maka
akan terjadi ketidaksesuaian sendi yang akan memberikan
gangguan pergerakan serta osteoarthritis dikemudian hari Skoliosis
kompensator (Herdman, T.Heather. 2014).
Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang dating lebih
eksternal yang dattang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan
pembuluh darah serta saraf dalam konteks, marrow, dan jaringan lunak
yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah
hematoma dirongga medulla tulang. Jaringan tulang segera berdekatan
kebagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai vasolidatasi,
eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian
inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya.
Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan
yang besar atau karena jatuh dari ketinggian. Pada orangtua dengan
osteoporosis dan osteomalasia dapat terjadi fraktur stress pada ramus
pubis (Herdman, T.Heather. 2014)
Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan serial hemoglobin, tujuanya untuk memonitor
kehilangan darah yang sedang berlangsung
Pemeriksaan urin, untuk menilai adanya gross hematuria dan
atau mikroskopik
Kehamilan tes ditunjukan pada wanita usia subur untuk
mendeteksi kehamilan serta pendarahan sumber potensial
(misalnya, keguguran, abrupsio plasenta)
b. Pemeriksaan imaging
Radiograf antero posterior pelvis merupakan skrining test dasar dan
mampu menggambarkan 90% cedera pelvis. Namun, pada pasien
dengan trauma berat dengan kondisi hemodynamic tidak stabil
seringkali secara rutin menjalani pemeriksaan CT-scan abdomen dan
pelvis, serta foto polos pelvis yang tujuanya untuk memungkinkan
diagnosis cepat fraktur pelvis dan pemberian intervensi dini
c. CT-scan
Ct-scan merupakan imaging terbaik untuk evaluasi anatomi panggul
dan derajat perdarahan pelvis, retroperitoneal, dan intraperitoneal. CT-
scan juga dapat menegaskan adanya dislokasi hip yang terkait dengan
fraktur acetabular
d. MRI
MRI dapat mengidentifikasi lebih jelas adanya fraktur pelvis bila
dibandingkan dengan radiografi polos (foto polos pelvis). Dalam satu
penelitian retrospektif, sejumlah besar positif palsu dan negatif palsu
ini dicatat ketika membandingkan antara foto polos pelvis dengan MRI
e. Ultrasonografi
Sebagai bagian dari the focused assessment with sonography for
trauma (FAST), pemeriksaan pelvis seharunya divisualisasikan untuk
menilai adanya pendarahan/cairan intrapelvic. Namun, studi terbaru
menyatakan ultrasonografi memliki sensitivitas yang lebih rendah
untuk mengidentifikasi hemoperitoneum pada pasien dengan fraktur
pelvis (Herdman, T.Heather. 2014)
Penatalaksanaan
a. Tindakan operatif bila ditemukan kerusakan alat-alat dalam rongga
panggul
b. Stabilisasi fraktur panggul misalnys:
Fraktur avulsi atau stabil diatasi dengan pengobatan konservatif
seperti istrahat, traksi, pelvic sling
Fraktur tidak stabil diatasi dengan fiksasi eksterna atau dengan
operasi
B. Diagnose keperawatan
Menurut Muttaqin (2008) diagnosa keperawatan fraktur pelvis yaitu:
a. Nyeri berhungan dengan pergerakan fragmen tulang punggul, cedera
neuromuskular dan reflek spasme otot sekunder.
b. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik
ekstremitas bawah.
c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular.
d. Resiko tinggi trauma berhubungan dengan penurunan kesadaran,
kerusakan mobilitas fisik, pemasangan fiksasi eksternal.
e. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya port the entri dari
luka terbuka pada daerah panggul. Luka pasca bedah, pemasangan
fiksasi eksterna.
f. Aktual/resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan
imobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
g. Resiko tinggi koping individu tidak efektif berhubungan dengan
disfungsi seksual, prognosis kodisi sakit, program pengobatan, tirah
baring lama.
h. Cemas berhubungan dengan krisis situasional; ancaman terhadap
konsep diri, perubahan status kesehatan atau status ekonomi atau
fuungsi peran
5. Cardiac Arrest
a. Konsep medis
Definisi
Henti Jantung atau cardiac arrest merupakan keadaan dimana
terjadinya penghentian mendadak sirkulasi normal darah ditandai dengan
menghilangnya tekanan darah arteri. Henti jantung dapat mengakibatkan
asistol, fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel tanpa nadi. (Hardisma,
2014).
Cardiac arrest adalah keadaan dimana sirkulasi darah berhenti
akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif. Keadaan henti
jantung di tandai dengan tidak adanya nadi dan tanda-tanda sirkulasi
lainnya.(American Heart Association,2015).
Cardiac Arrest atau henti jantung adalah penghentian aktifitas
pompa jantung efektif yang mengakibatkan penghentian sirkulasi.
Terdapat hanya dua tipe henti jantung, yaitu cardiac standstill (asistol) dan
fibrilasi ventrikel plus format lain dari kontraksi ventrikel tak efektif,
seperti flutter ventrikel, dan yang jarang terjadi takikardia ventrikel.
(Muttaqin, 2012).
Etiologi
Henti jantung dapat terjadi ketika adanya disfungsi dari sistem
listrik jantung, sehingga menyebabkan terjadinya aritmia. Aritmia yang
paling umum terjadi pada cardiac arrest adalah ventrikel fibrilasi. Cardiac
arrest dapat diubah apabila jika CPR (Cardiopulmonary resucitation)
dilakukan dan defibrilasi digunakan untuk mengejutkan jnatung dan
mengembalikan irama jantung yang normal dalam beberapa menit. Henti
jantung dapat disebabkan oleh semua hampir gangguan pada jantung yang
dikenal. Penyebab yang paling umum adalah : Jaringan parut yang terjadi
karena serangan jantung sebelumnya atau penyebab lain. Jantung yang
terdapat bekas luka atau membesar karena sebab apapun rentan untuk
terjadi arirmia ventrikel yang mengancam. Enam bulan pertama setelah
serangan jantung adalah resiko periode yang sangat tinggi untuk menderita
cardiac 13 arrest pada pasien dengan penyakit jantung aterosklerotik.
Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) dari setiap penyebab (tekanan
darah tinggi atau penyakit katup jantung) apalagi ditambah dengan gagal
jantung. Obat jantung, dalam kondisi tertentu beberapa obat jantung dapat
menyebabkan aritmia yang selanjutnya dapat menyebabkan cardiac arrest.
Kelainan listrik tertentu seperti sindrom wolffparkinson- white dan
sindrom QT panjang dapat menyebabkan serangan jantung mendadak
pada anak-anak dan orang muda. Penggunaan narkoba, pada orang tanpa
penyakit jantung organik, penggunaan narkoba merupakan penyebab
penting dari serangan jantung mendadak. Sedangkan penelitian lain
menyatakan penyebab cardiac arrest dapat terjadi oleh banyak kondisi
yang mendasarinya yang meliputi infark miokard, overdosis obat, trauma,
dan ganguan impuls yang meliputi ventrikel fibrilasi (Harmon et al.,
2015).
Faktor Resiko
a. Jejas di jantung sehingga cenderung untuk mengalami aritmia
ventrikel yang mengancam jiwa dan berisiko tinggi untuk terjadi
cardiac arrest.
b. Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) membuat seseorang
cenderung untuk terkena cardiac arrest.
c. Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung, beberapa
obatobatan untuk jantung (anti aritmia) justru merangsang timbulnya
aritmia ventrikel dan berakibat cardiac arrest. Kondisi seperti ini
disebut proarrythmic effect.
d. Kelistrikan yang tidak normal dan sindroma gelombang QT yang
memanjang bisa menyebabkan cardiac arrest pada anak dan dewasa
muda.
e. Seseorang yang sering melakukan olahraga atau melakukan aktivitas
fisik yang berat, bisa menjadi pemicu terjadinya cardiac arrest apabila
dijumpai kelainan pembuluh darah yang tidak normal.
American Heart Association (2015).
ManIfestasi Klinik
Menurut Purbanki (2010), manifestasi klinis dari cardiac arrest adalah
sebagai berikut :
a. Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara,
tepukan di pundak ataupun cubitan.
b. Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal ketika
jalan pernafasan dibuka.
c. Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis, radialis).
Klasifikasi
a. Ventrikel Fibrilasi (VF)
Ventrikel fibrilasi dibagi menjadi dua jenis klinis yaitu VF
primer dan sekunder. VF primer terjadi karena tidak adanya disfungsi
ventrikel kiri akut dan syok kardiogenik dan ditemukan pada sekitar 5%
pasien dengan infark miokard akut (IMA). Mayoritas episode VF
primer terjadi dalam 4 jam pertama dari IMA, dan 80% terlihat dalam
awal 12 jam imfark. VF sekunder dapat terjadi karena komplikasi dari
gagal jantung akut, syok kardiogenik, atau keduanya, dan terjadi pada
sampai dengan 7% dari pasien IMA.
b. Ventrikel takikardi VT)
Ventrikel takikardi biasanya berasal dari fokus khusus dalam
miokardium ventrikel atau di jalur konduksi infranodal. VT dapat
dibedakan menjadi monoformik dan poliformik. VT menyumbang
sebagian kecil irama yang terlihat pada serangan jantung dan memiliki
prognosis yang paling menguntungkan. Hal ini relatif jarang terjadi
hasil kejadian dari awal penampilan dengan degenerasi yang cepat Jika
terapi tidak dimulai dalam peristiwa henti jantung, ritme ini cepat
dekompensasi menjadi irama yang lebih ganas seperti VF atau asistol.
d. Asystole
Asistol adalah tidak adanya aktivitas kelistrikan jantung dan
biaasanya hasil dari kegagalan pembentukan impuls di primer (node
senoatrial) dan standar (atrioventrikular node dan miokardium
ventrikel) lokasi alat pacu jantung. Asistol juga bisa disebabkan oleh
kegagalan penyebaran impuls ke miokardium ventrikel dari jaringan
atrium.
American Heart Association (2010).
Komplikasi
Fraktur iga dan sternum, sering terjadi terutama pada orang tua,
RJP tetap diteruskan walaupun terasa ada fraktur iga. Fraktur mungkin
terjadi bila posisi tangan salah. Komplikasi lain dapat berupa
Pneumothorax, Hemothorax, Kontusio paru, Laserasi hati dan limpa,
posisi tangan yang terlalu rendah akan menekan proces usxipoideus ke
arah hepar (limpa) dan Emboli lemak (Wilson & Drezner, 2016).
Patofisiologis
Patofisiologi henti jantung tergantung dari etiologi yang
mendasarinya, namun, umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah
sama yaitu sebagai akibat dari henti jantung maka peredaran darah akan
berhenti. Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk
semua organ tubuh. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi
sebagai akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak. Hipoksia
cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan
kesadaran dan berhenti bernapas secara normal. Kerusakan otak mungkin
terjadi jika henti jantung tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya
akan terjadi kematian dalam 10 menit (sudden cardiac death). Henti
jantung terjadi ketika sistem listrik jantung mengalami malfungsi dan akan
menghasilkan kematian jika jantung secara tiba-tiba berhenti bekerja
dengan benar. Hal ini disebabkan oleh ketidaknormalan atau
ketidakteraturan iram jantung yang sering disebut dengan aritmia. Aritmia
yang paling umum dalam serangan jantung adalah ventricular fibrillation
(VF) atau ventricular tachycardia (VT) (Field et al., 2010).
Masalah lain yang berhubungan dengan sistem listrik jantung yang
juga dapat menyebabkan henti jantung adalah jika tingkat sinyal listrik
jantung menjadi sangat lambat dan berhenti. Henti jantung juga dapat
terjadi jika otot jantung tidak merespon sinyal listrik jantung. Selain itu,
beberapa penyakit dan kondisi tertentu dapat menyebabkan masalah listrik
pada jantung dan menyebabkan terjadinya henti jantung, seperti penyakit
jantung koroner (PJK), atau yang disebut penyakit arteri koroner, stres
fisik yang berat, kelainan bawaan tertentu, dan perubahan struktural dalam
jantung (Zipes & Wellens, 1998).
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik didasarkan atas gejala klinis sebagai berikut :
a. Gerakan pernafasan dan angin pernafasan yang menghilang atau
sangat lemah
b. Denyut nadi dan bunyi jantung menghilang atau sangat
lemah,bradikardia/takikardia yang sangat menjolok
c. Hilangnya kesadaran : dilatasi pupil
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan henti jantung pada fibrilasi ventrikel (FV) tentang
resusitasi jantung paru (RJP) dan layanan kegawat daruratan
kardiovaskuler.
Mengingat VF masih menjadi gambaran ritme tersering pada
kasus henti jamtung dan memiliki prognosis lebih baik di bandingkan
gambaran asistol atau pulseless electrical activity (PEA), upaya terbaik
perlu di kerahkan untuk menyegerakan RJP dan akses defibrillator
eksternal otomatis (automated external defibrillator/AED). Namu,di
indonesiakeberadaan alat AED ini masih jarang dan hanya tersedia di
tempat-tempat tertentu saja. Idealnya penolong pada kasus henti jantung di
luar RS berjumlah 2 orang, salah satunya di antaranya melakukan
kompresi jantung efektif sedangkan yang lainnya mempersiapkan AED.
Apabila pemeriksaan irama jantung pasien oleh AED menunjukan
gambaran VF/VT, penolong pertama tetap melanjutkan RJP dan penolong
kedua mengisi daya defibrillator. Ketika daya defibrillator terisi, CPR di
tunda untuk mengamankan pemberian kejut jantung pada pasien.
Kemudian penolong kedua memberikan kejut jantung secepat mungkin
untuk mengurangi interupsi pada tindakan RJP. Setelah itu, penolong
pertama melanjutkan RJP hingga 2 menit yang di teruskan dengan
pemeriksaan irama jantung kembali.
Pada pasien yang kemudian telah mendapat pertolongan medis atau tiba di
RS namun masih memiliki ganguan hemodinamik yang di sertai aritmia
ventrikel pasca kejut jantung maksimal, pemberian amiodarone intravena
perlu di pertimbangkan agar irama jantung menjadi lebih stabil pada
defibrilasi bsrikutnya. VF dan VT tanpa pulsasi dapat menyebabkan
kematian bila tidak di tangani dengan cepat. Pemberian kardioversi DC
(direct current) perlu di lakukan sesegera mungkin pada kedua jenis
gambaran irama jantung tersebut untuk mendukung kesintasan yang lebiah
baik (American Heart Association, 2017) .
b. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan Perfusi Serebral berhubungan dengan
penurunan suplai O2 ke otak
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
suplai O2 tidak adekuat.
3. Penurunan Curah Jantung berhubungan dengan
kemampuan memompa jantung menurun.
4. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan umum,
ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen
6. CKB
b. Konsep medis
Definisi
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak.
Cedera otak primer merupakan kerusakan terjadi pada otak segera setelah
trauma.
Cedera kepala berat merupakan cedera kepala yang mengakibatkan
penurunan kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8, mengalami amnesia > 24
jam (Haddad, 2012)
Cedera kepala berat adalah keadaan dimana penderita tidak mampu
melakukan perintah sederhana oleh karena kesadaran menurun (GCS < 8)
(ATLS, 2008).
Dari semua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa cedera kepala
berat adalah proses terjadinya trauma langsung atau deselerasi terhadap
kepala yang menyebabkan suatu ganguan traumatic dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa perdarahan interstitial dimana mengalami penurunan
kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8 dan mengalami amnesia > 24 jam.
Etiologi
Etiologi menurut Siahaya dkk (2020) adalah sebagai berikut :
a. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat dan
menimbulkan cedera loka;l. kerusakan local meliputi kontusio serebral,
hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan
masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh
(difusi).Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk
yaitu cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak
menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera
menyebar pada hemisfer serebral, batang otak atau kedua-duanya.
Penatalaksanaan.
Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah
terjadinya cedera otak sekunder.Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor
sistemik seperti hipotensi atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan
otak. (Tunner, 36 2000)Pengatasan nyeri yang adekuat juga
direkomendasikan pada pendertia cedera kepala (Turner, 2000)
Penatalaksanaan umum adalah:
a. Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi
b. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma
c. Berikan oksigenasi
d. Awasi tekanan darah
e. Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neurogenic
f. Atasi shock
g. Awasi kemungkinan munculnya kejang.
Penatalaksanaan lainnya:
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral,
dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
b. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi
vasodilatasi.
c. Pemberian analgetika
d. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20%
atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
e. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).
f. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah
tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5%,
aminofusin, aminofel (18 jam pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3
hari kemudian diberikana makanan lunak, Pada trauma berat, hari-hari
pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam
pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam
ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran 37 rendah, makanan
diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein tergantung
nilai urea.
c. Diagnosa keperawatan
Menurut Arif Muttaqin, (2008) diagnosa keperawatan yang muncul
pada cedera kepala berat adalah sebagai berikut:
a. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kelemahan otot-
otot pernapasan atau kelumpuhan otot diafragma.
b. Ketidakefektifan pembersihan jalan napas yang berhubungan dengan
penumpukan sputum, peningkatan sekresi sekret, dan penurunan
kemampuan batuk (ketidakmampuan batuk/batuk efektif).
c. Penurunan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan cedera
kepala akut.
d. Nyeri berhubungan dengan kompresi saraf, cedera neuromuskular, dan
refleks spasme otot sekunder.
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan kemampuan mencerna makanan dan peningkatan
kebutuhan metabolisme
f. Risiko tinggi trauma yang berhubungan dengan penurunan kesadaran dan
hambatan mobilitas fisik.
g. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular.
h. Perubahan pola eliminasi urine yang berhubungan dengan
kelumpuhansaraf perkemihan.
i. Gangguan eliminasi alvi/konstipasi yang berhubungan dengan gangguan
persarafan pada usus dan rektum.
j. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan fisik
ekstremitas bawah.
k. Risiko infeksi yang berhubungan dengan penurunan sistem imunprimer
(cedera pada jaringan paru, penurunan aktivitas silia bronkus), malnutrisi,
dan tindakan invasif.
l. Perubahan persepsi sensori yang berhubungan dengan disfungsipersepsi
spasial dan kehilangan sensori.
m. Ketidakefektifan koping yang berhubungan dengan prognosis
kondisisakit, program pengobatan, dan lamanya tirah baring.
n. Ansietas yang berhubungan dengan krisis situasional, ancaman terhadap
konsep diit, dan perubahan status kesehatan, status ekonomi, fungsi
peran.
o. Ansietas keluarga yang berhubungan dengan keadaan yang kritispada
klien.
7. Stroke Hemmorhagic
a) Konsep medis
Definisi
Stroke hemoragik merupakan perdarahan intraserebri dan perdarahan
subarachnoid yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada
daerah tertentu, terjadi saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa
juga terjadi saat istirahat (Dian Handayani & Dwi Dominica, 2018).
Stroke hemoragik atau hemoragikintrakranial terjadi ketika pembuluh
darah serebra ruptur. Terdapat dua jenis stroke hemoragik : hemoragi
intraserebral dan hemoragi subaraknoid. Hemoragik intrakranial biasanya
terjadi secara tiba-tiba, sering kali ketika orang yang terkena terlibat pada
beberapa aktivitas. Meskipun hipertensi adalah penyebab yang paling umum,
berbagai faktor dapatberkontribusi terhadap stroke hemoragik, termasuk
ruptur dinding arteri plak rapuh berkerak, ruptur aneurisma intrakranial,
trauma, pengikisan pembuluh darah. Stroke hemoragik dapat mengakibatkan
terjadingnya gangguan keseimbangan tubuh (Sulaiman & Anggriani, 2018
dalam Mompang Tua. P, Dkk, 2019).
Etiologi
Menurut Satyanegara (2015), etiologi stroke hemoragik berdasarkan
klasifikasi stroke hemoragik adalah :
1. Perdarahan Intraserebral
Penyebab-penyebab terjadinya perdarahan intraserebral antara lain :
hipertensi, perubahan patologis arteri kecil dan arteriol berkaitan dengan
hipertensi, kelainan vascular (Ateriovenous Malformatio (AVM),
aneurisma), trauma, gangguan pembekuan darah, perdarahan tumor otak,
infrak selebral haemorrhagic, leukemia, obat-obatan (antikoagulan,
trombolitik, amfetamin, kokain, aspirin), angiopati amyloid serebri
(penyebab ICH (Intraserebral hemoragik) lobar pada usia tua).
2. Perdarahan Subarakhnoid (SAH)
Penyebab terbanyak dari perdarahan subarachnoid adalah rupture
aneurisma intracranial (75-80%). AVM (Arteriovenous Malformatio)
mengambilporsi sebanyak 4-5% dari penyebab perdarahan subarachnoid.
Sisanya disebabkan oleh trauma, vaskulitis, tumor, diseksi arteri serebral,
pecahnya arteri superfisial, gangguan pembekuan darah, thrombosis sinus
dural.
Faktor Resiko
1. Hipertensi atau tekanan darah tinggi.
2. Hipotensi atau tekanan darah rendah.
3. Obesitas atau kegemukan.
4. Kolesterol darah tinggi.
5. Riwayat penyakit jantung.
6. Riwayat penyakit diabetes mellitus.
7. Merokok.
8. Stress.
Manifestasi Klinik
1. Perdarahan Intraserebral
a. Tidak jelas, kecuali nyeri kepala, kecuali nyeri kepala hebat karena
hipertensi.
b. Serangan terjadi pada siang hari, saat beraktivitas, emosi atau marah.
c. Mual atau muntah pada permulaan serangan.
d. Hemiparesis atau hemiplegia terjadi sejak awal serangan.
e. Kesadaran menurun dengan cepat dan menjadi koma (65% terjadi
kurang dari ½ jam-2 jam ; <2% terjadi setelah 2 jam-19 hari).
2. Perdarahan Subarakhnoid
a. Nyeri kepala hebat dan mendadak.
b. Kesadaran sering terganggu dan bervariasi.
c. Ada gejala atau tanda meninggal.
d. Papilledema terjadi bila ada perdarahan subarachnoid karena pecahnya
aneurisma pada arteri komunikasi anterior atau arteri karotis.
3. Gangguan khusus setelah stroke
a. Hemiparesis dan Hemiplegia.
b. Afasia.
c. Disfonia.
d. Disatria.
e. Disfagia.
f. Aparaksia.
g. Perubahan penglihatan.
h. Hemianopmia homonimus.
i. Sindrom Horner.
j. Agnosia.
k. Penurunan sensorik.
l. Neglesi Unilateral.
m. Perubahan perilaku.
n. Inkontinensia.
Klasifikasi
Menurut letaknya, stroke hemoragik dibedakan atas dua kelompok, yaitu
(Indrawati, Dkk 2016) :
1. Perdarahan Intraserebral
Pada stroke jenis ini pembuluh darah pada otak pecah dan darah
membasah jaringan otak.darah ini sangat mngiritasi jaringan otak sehingga
menyebabkan spasme atau menyempitnya arteri di sekitar tempat
perdarahan. Sel-selotak yang berada jauh dari tempat perdarahan juga
akan mengalami kerusakan karena aliran darah terganggu.selain itu, jika
volume darah yang keluar lebih dari 50 ml maka dapat terjadi proses
desak ruang yakni rongga kepala yang luasnya tetap, “diperebutkan” oleh
darah “pendatang baru” dan jaringan otak sebagai “penghuni lama”.
Biasanya proses desak ruang ini, jaringan otak yang relative lunak
mengalami kerusakan akibat penekanan oleh jendela darah.
2. Perdarahan Subarakhnoid
Perdarahan yang terjadi di pembuluh darah yang terdapat pada
pembungkus selaput pembungkus otak. Selanjutnya, darah mengalir
keluar mengisi rongga antara tulang tengkorak dan otak. Sama seperti
perdarahan intraserebral, darah yang keluar dapat menyebabkan spasme
arteri sekitar tempat perdarahan, mengiritasi jaringan sekitar, serta
menyebabkan proses desak ruang.
Komplikasi
1. Perubahan tingkat kesadaran.
2. Edema serebral.
3. Kontraktur.
4. Kematian.
5. Ketidakseimbangan cairan.
6. Infeksi.
7. Embolisme paru.
8. Gangguan sensorik dan tekanan darah tidak stabil.
9. Stroke berulang.
Patofisiologi
Patofisiologi stroke hemoragik adalah :
1. Perdarahan Intraserebral
Pecahnya pembuluh darah otak terutama karena hipertensi
mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa
atau hematom yang menekan jaringan otak dan menimbulkan oedema di
sekitar otak. Peningkatan Transient Iskemic Attack (TIA) yang terjadi
dengan cepat dapat mengakibatkan kematian yang mendadak karena
herniasi otak. Perdarahan Intraserebral sering dijumpai di daerha pituitary
glad, thalamus, sub kartikal, lobus parietal, nucleus kaudatus, pons, dan
cerebellum. Hipertensi kronis mengakibatkan perubahan struktur dinding
pembuluh darah berupa liphyalinosis atau nekrosis fibrinoid.
2. Perdarahan Subarakhnoid
Pecahnya pembuluh darah karena aneurisma ataya AVM
(Arteriovenous Malformatio). Aneurisma paling sering di dapat pada
percabangan pembuluh darah besar di sirkulasi wilis. AVM
(Arteriovenous Malformatio) dapat dijumpai pada jaringan otak di
permukaan pia meter dan vertikel otak, ataupun di dalam vertikel otak dan
ruang subarachnoid. Pecahnya arteri dan keluarnya darah ke ruang
subarachnoid mengakibatkan terjadinya peningkatan TIK yang mendadak,
meredanya struktur peka nyeri, sehingga timbul nyeri kepala hebat. Sering
pula di jumpai kaku kuduk dan tanda-tanda rangsangan selaput otak
lainnya. Peningkatan TIK yang mendadak juga mengakibatkan perdarahan
subhaloid pada retina dan penurunan kesadaran. Perdarahan subrachnoid
dapat mengakibatkan vasopasme pembuluh darah serebral. Vasopasme ini
seringkali terjadi 3-5 hari setelah timbulnya perdarahan, mencapai
puncaknya hari ke 5-9, dan dapat menghilang setelah minggu ke 2-5.
Timbulnya vasopasme diduga karena interaksi antara bahan-bahan yang
berasal dari darah dan dilepaskan kedalam cairan serebrospinalis dengna
pembuluh darah arteri di ruang subrachnoid ini dapat mengakibatkan
disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal
(hemiparese, gangguan hemisensorik, dan afasia). Otak dapat berfungsi
jika kebutuhan O2 dan glukosa otak dapat terpenuhi. Energy yang
dihasilkan di dalam sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi.
Otak tidak punya cadangan O2 jadi kerusakan, kerusakan aliran darah otak
walau sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.
Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar
metabolism otak, tidak boleh kurang drai 20 mg% karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70% akan terjadi gejala dsifungsi serebral. Pada saat otak hipoksi,
tubuh berusaha memenuhi O2 melalui proses metabolic anaerob yang
dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak.
Pemeriksaan Diagnostik
1. Angiografi serebral
Memperjelas gangguan atau kerusakan pada sirkulasi serebral dan
merupakan pemeriksaan pilihan utama untuk mengetahui aliran darah
serebral secara keseluruhan.
2. Lumbal pungsi
Pungsi lumbal (yang dilakukan jika tidak terdapat tanda-tanda
kenaikan tekanan intracranial) mengungkapkan cairan serebrospinal yang
berdarah kalau serangan berupa stroke hemoragik.
3. CT-Scan
Untuk memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya
infark.
a. MRI (Magnetic Resonance Imaging) & Angiografi Resonance
Magnetic (MRA), Memungkinkan evakuasi lokasi dan ukuran lesi.
b. Ultrasonografi Dopler, mengidentifikasi penyakit arteriovena
(masalah system arteri karotis).
c. EEG, untuk mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang
otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
d. EKG, mengetahui keadaan jantung dimana jantung berperan dalam
suplai darah ke otak.
e. Pemeriksaan labolatorium standar mecakup urinalis, HDL, Laju
Endap Darah (LED), panel metabolic dasar (natrium, kalium,
klorida, bikarbonat, glukosa dan serologi untuk sifilis)
b) Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang sering muncul :
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan infark
jaringan otak, vasospasme serebral, edema serebral
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler,
kelemahan anggota gerak
3. Risiko jatuh berhubungan dengan penurunan kekuatan ekstremitas bawah
4. Gangguan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan gangguan menelan
5. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi ke
otak, perubahan sistem saraf pusat
6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler,
kelemahan, kerusakan status mobilitas
7. Gangguan menelan berhubungan dengan kerusakan reflex muntah,
paralisis wajah
8. Resiko terjadinya kontraktur berhubungan dengan imobilisasi
9. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi
8. Temponade jantung
i. Konsep medis
definisi
ii. Diagnosa keperawatan
9. DVT (Deep Vena Thrombosis)
d. Konsep medis
5. Definisi
Etiologi
Faktor Resiko
Trombosit vena dalam kadang terjadi pada vena yang normal, namun
demikian faktor risiko yang dapat menyebabkan DVT adalah :
Manifestasi Klinik
Manifestasi Klinis DVT tidak selalu jelas dan sama pada setiap orang.
Keluhan utama pasien DVT adalah tungkai bengkak dan nyeri. Trombosit
dapat menjadi berbahaya apabila meluas atau menyebar ke proksimal. DVT
umumnya timbul karena faktor resiko tertentu tetapi dapat juga timbul tanpa
etiologi yang jelas (idiopathic DVT). Tanda dan gejala trombosit vena dalam
dapat berupa :
1. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung besar dan luas trombosis. Trombosit
vena di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa
menjalar kebagian medial dan anterior paha. Keluhan nyeri sangat
bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan
intensitasnya mulai dari yang ringan sampai hebat. Nyeri akan berkurang
jika penderita berbaring, terutama jika posisi tungkai ditinggikan
(Jayanegara, 2016).
2. Pembengkakan
Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena proksimal dan
peradangan jaringan perivaskuler.apabila ditimbulkan sumbatan, maka
lokasi bengkak adalah dibagian sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan
disebabkan oleh perdangan perivaskuler, bengkak timbul di daerah
trombosit dan biasanya disertai nyeri. Pembengkakan bertambah jika
berjalan dan akan berkurang jika istirahat dengan posisi kaki agak
ditinggikan (Jayanegara, 2016).
3. Perubahan warna kulit
Perubahan warna kulit dan spesifik dan tidak banyak ditemukan pada
trombosit vena dalam dibandingkan trombosit arteri, ditemukan hanya
pada 17% - 20% kasus. Kulit bisa berubah pucat dan kadang-kadang
berwarna ungu, perubahan warna menjadi pucat pada dinding pada
perabaan merupakan tanda sumbatan vena besar bersamaan dengan
spasme arteri, disebut flegmasia alba dolens (Jayanegara, 2016).
Klasifikasi
Klasifikasi umum DVT terbagi menjadi 2 bagian yaitu :
Komplikasi
Patofisiologi
Pemeriksaan Diagnostik
1) venografi
Disebut juga sebagai plebography atau contrast venography.prinsip
pemeriksaannya adalah menyuntikkan zat contrast kedalam system
vena ,akan terlihat gambaran system vena dibetis paha,inguinal,
sampai ke proksimal vena iliaca.
Venography dapat mengidentifikasi lokasi,penyebaran,tingkat
keparahan bekuan darah serta menilai kondisi vena dalam.venografi
adalah pemeriksaan paling akurat untuk mendiagnosis
DVT.sensitivitas dan spesifitasnya mendekati 100% sehingga menjadi
GOLD STANDART diagnosis DVT.namun jarang digunakan karena
invasive ,menyakitkan,mahal,paparan radiasi, dan risiko berbagai
komplikasi.
2) Flestimografi impedans
Prinsip pemeriksaan ini adalah memantau perubahan volume darah
tungkai.pemeriksaan ini lebih sensitif untuk thrombosis vena femoralis
dan illiaca dibanfingkan vena didaerah betis.
3) Ultrasonografi(USG)Doppler
Saat ini USG sering dipakai untuk mendiagnosis DVT karena non-
invasif.USG
Memiliki tingkat sensitivitas 97% dan spesifitas 96% pada pasien yang
dicurigai menderita DVT simptomatis dan terletak daerah proksimal.
(Jayanegara, 2016).
1. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi yang digunakan biasanya adalah antikoagulan dan
trombolitik.
1) Antikoagulan
Antikoagulan digunakan untuk mencegah terjadi bekuan yang
semakin besar, dan mencegah pembentukan bekuan darah. Jika
terapi antikoagulan diberikan segera setelah TVD terbentuk, maka
akan menurunkan risiko terjadinya emboli paru. Antikoagulan yang
biasa dipakai adalah heparin dan warfarin (Lestarini, 2017).
2) Trombolitik
Berbeda dengan antikoagulan yang berfungsi mencegah perluasan
maupun kekambuhan trombosis, obat trombolitik seperti
steptokinase, urokinase dan tissue plasminogen activatorbekerja
melarutkan trombin. Obat ini terutama digunakan pada penderita
emboli paru yang luas disertai gangguan kardiorespirasi dan risiko
perdarahan yang kecil (Lestarini, 2017).
b. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
aliran darah / statis vena (obstruksi vena sebagian / penuh ), ditandai
dengan : oedema jaringan, penurunan nadi perifer, pengisian kapiler,
pucat, eritema
2. Nyeri berhubungan dengan penurunan sirkulasi arteri dan oksigenasi
jaringan dengan produksi / akumulasi asam laktat pada jaringan atau
inflamasi, ditandai dengan ; pasien mengatakan nyeri, hati-hati pada
kaki yang sakit, gelisah dan perilaku distraksi.
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penekanan syaraf
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan oedema pada kaki
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan aktifitas
6. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer in adekuat
(Marry, 2016)
5. Klasifikasi
Pneumotoraks dapat diklasifikasikan sesuai dengan dasar etiologinya
seperti Spontan pneumotoraks, dibagi menjadi 2 yaitu, Spontan
Pneumotoraks primer (primery spontane pneumothorax) dan Spontan
Pneumotoraks Sekunder (secondary spontane pneumothorax):
6. Komplikasi
8. Pemeriksaan Diagnostik
3) CTScan
CT scan sangat akurat studi diagnostik cairan pleura atau darah.
Pengaturan trauma tidak memegang peran utama dalam diagnostik
hematothorax tetapi melengkapi data radiography. Karena banyak
korban trauma tumpul melakukan rongten dada atau evaluasi CT scan
abdomen. Saat ini CT scan adalah penentu terbesar dalam penegakan
diagnostik kemudian untuk lokalisasi dan klasifikasi dari setiap
temuan dalam rongga pleura[ CITATION Asn191 \l 1033 ].
10. Penatalaksanaan
8. Diagnosa keperawatan
c. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan Ekspansi paru, akumulasi
udara dalam pleura.
d. Nyeri akut b.d agen injury fisik (luka insisi post pemasangan WSD)
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan
ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
f. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kuranganya impormasi tentang
proses penyakit dan penatalaksanaan.
g. Risiko infeksi berhubungan dengan diskontinuitas jaringan
2. Etiologi
1. Infark miokardium
3. FaktorResiko
a. Masalah kardiovaskuler
penyakit jantung dan pembuluh darah seperti gagal jantung,
serangan jantung, hingga kerusakan katup jantung, bisa memicu terjadi
syok kardiogenik
b. Usia
Usia 65 atau 75 tahun ke atas lebih rentan terserang syok kardiogenik
4. Manifestasi Klinik
a. Timbulnya tiba-tiba dalam waktu 4-6 jam setlah infark akibat gangguan
miokard miokard atau rupture dinding bebas ventrikel kiri
d. Klasifikasi
Syok kardiogenik dapat dibagi dalam 3 tahap yang semakin lama semakin
berat, yaitu :
Menurut buku yang di tulis oleh Aspiani 2015 komplikasi yang muncul dari
syok kardiogenik adalah :
f. Patofisiologi
6. Pemeriksaan Diagnostik
g. Penatalaksanaan
b. Etiologi
Terjadinya hematotoraks biasanya merupakan konsekuensi dari trauma
tumpul, tajam dan kemungkinan komplikasi dari beberapa penyakit. Trauma
dada tumpul dapat mengakibatkan hematotoraks oleh karena terjadinya
laserasi pembuluh darah internal. Hematotoraks juga dapat terjadi, ketika
adanya trauma pada dinding dada yang awalnya berakibat terjadinya
hematom pada dinding dada kemudian terjadi ruptur masuk kedalam cavitas
pleura, atau ketika terjadinya laserasi pembuluh darah akibat fraktur costae,
yang diakibatkan karena adanya pergerakan atau pada saat pasien batuk
(Mayasari Diana,2017).
Penyebab paling umum dari hematoraks adalah trauma dada. Dapat juga
terjadi pada pasien yang memiliki:
a. Sebuah cacat pembekuan darah
b. Trauma tumpul dada
c. Kematian jaringan paru paru
d. Kanker paru-paru atau pleura
e. Operasi jantung
f. Tuberkolosisi
c. Faktor Resiko
(Niki agustina,2014).
d. Manifestasi Klinik
a. Takipnea
b. Dispnea
c. Nyeri dada, nyeri dirasakan tajam pada sisi yang sakit, terasa
berat,tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak pernafasan
e. Takikardi
h. Hipotensi
(Mayasari Diana,2017).
e. Klasifikasi
f. Komplikasi
a. Kehilangan darah
b. Kegagalan pernafasan
c. Atelektasis
d. Hematoma intrathoracic
e. Infeksi luka
f. Pneumonia
g. Septicemia
h. Kematian
(Niki agustina,2014).
g. Patofisiologi
(Mayasari Diana,2017).
h. Pemeriksaan Diagnostik
e. Chest X-ray
f. USG
g. CT-scan
(Mayasari Diana,2017).
i. Penatalaksanaan
(Mayasari Diana,2017).
b) Diagnose keperawatan
1)Konsep medis
h. Definisi
i. Etiologi
Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat dari
volume darah dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi
akibat perdarahan yang massif atau kehilangan plasma darah. Sutjahjo, Ari.
2015. “Dasar-dasar Ilmu Penyakit Dalam”.
a. Trauma
b. Perdarahan gastrointestinal
c. Rupture aneurysma aorta
d. Kehamilan ektopik
e. Diare,muntah
f. Luka bakar
g. Peritonitis
h. Ileus paralitik
i. Diabetes insipidius menyebabkan dieresis
j. Obstruksi. Rini,Ika Setyo. dkk. 2019. “Buku Ajar Keperawatan
PERTOLONGAN PERTAMA GAWAT DARURAT (PPGD)”.
Penurunan volume intravaskular yang terjadi pada syok hipovolemik
dapat disebabkan oleh hilangnya darah, plasma atau cairan dan elektrolit
(Tierney, 2001). Menurut Sudoyo et al. (2009), penyebab syok hipovolemik,
antara lain:
1. Kehilangan darah
a. Hematom subkapsular hati
b. Aneurisma aorta pecah
c. Perdarahan gastrointestinal
d. Trauma
2. Kehilangan plasma
a. Luka bakar luas
b. Pankreatitis
c. Deskuamasi kulit
d. Sindrom Dumping
3. Kehilangan cairan ekstraselular
a. Muntah (vomitus)
b. Dehidrasi
c. Diare
d. Terapi diuretik yang agresif
e. Diabetes insipidus
f. Insufisiensi adrenal
j. Faktor Resiko
m. Komplikasi
Komplikasi dari syok hipovolemik meliputi sepsis, sindrom gawat
napas akut, koagulasi intravaskular diseminata, kegagalan multiorgan, hingga
kematian (Greenberg, 2005).
Keadaan ini juga menyebabkan terjadinya mekanisme kompensasi dari
pembuluh darah dimana terjadinya vasokontriksi oleh katekolamin sehingga
perfusi makin memburuk (Rahmansyah, 2012).
n. Patofisiologi
Syok hipovolemik merupakan salah satu jeniss syok yang sering
terjadi. Ketika terjadi penurunan volume sirkulasi, aliran balik vena ke
jantung akan menurun dan terjadi mekanisme kompensasi berupa peningkatan
aktivitas saraf simpatik dan pengeluaran hormone katekolamin yang
menyebabkan takikardi dan akral dingin namun kondisi ini tidak memberikan
efek yang signifikan pada pembulh darah jantung dan serebral. Rini,Ika Setyo.
dkk. 2019. “Buku Ajar Keperawatan PERTOLONGAN PERTAMA GAWAT
DARURAT (PPGD)”.
Penurunan volume sirkulasi ini bisa disebabkan oleh perdarahan
maupun hilangnya cairan tubuh yang menyebabkan hilangnya plasma, darah
dan cairan serta elektrolit. Menurunya volume intravaskuler menyebabkan
penurunan volume intraventrikuler kiri pada akhir diastole yang
mengakibatkan berkurangnya kontraktilitas jantung dan penurunan CO.
kondisi ini menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah oleh
hormone katekolamin sehingga menyebabkan gangguan perfusi. Apabila
vasokontriksi ini terjadi secara terus menerus maka akan terjadi kerusakan sel
yang disebabkan oleh hipoksia dan perubahan metabolisme menjadi
metabolism anaerob. Apabila aliran darah menuju otak menurun maka akan
mengakibatkan konfusi yang selanjutnya akan terjadi kehilangan kesadaran
dan terjadi kerusakan jaringan otak. Pada jantung bisa menimbulkan infark
miokardia dan pada gastrointestinal kondisi hipoksia menyebabkan mulai
dibebaskanya endoktosin ke dalam sirkulasi sehingga terjadi pelepasan
amoniak yang menyebabkan gangguan koagulasi sel darah merah yaitu DIC.
Rini,Ika Setyo. dkk. 2019. “Buku Ajar Keperawatan PERTOLONGAN
PERTAMA GAWAT DARURAT (PPGD)”.
o. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium awal yang mungkin ditemukan pada
keadaan syok hipovolemik, antara lain :
a. Complete Blood Count (CBC), mungkin terjadi penurunan
hemoglobin, hematokrit dan platelet.
b. Blood Urea Nitrogen (BUN), mungkin meningkat menandakan
adanya disfungsi ginjal.
c. Kadar elektrolit dalam serum mungkin menunjukkan abnormalitas.
d. Produksi urin, mungkin ,<400ml/hari atau tidak ada sama sekali.
e. Pulse oximetry, mungkin menunjukkan penurunan saturasi
oksigen.
f. AGDA, munngkin mengidentifikasi adanya asidosis metabolic
g. Tes koagulasi, mungkin menunjukkan pemanjangan PT dan
APTT.
2. Untuk pemeriksaan penunjung, dapat dilakukan pemeriksaan berikut,
antara lain (Kolecki dan Menckhoff, 2014):
a. Ultrasonografi, jika dicuragai terjadi aneurisma aorta
abdominalis.
b. Endoskopi dan gastric lavage, jika dicuriga adanya perdarahan
gastrointestinal.
c. Pemeriksaan FAST , jika dicurigai terjadi cedera abdomen.
d. Pemeriksaan radiologi, jika dicurigai terjadi fraktur.
p. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan syok hipovolemik meliputi mengembalikan tanda-
tanda vital dan hemodinamik kepada kondisi dalam batas normal. Selanjutnya
kondisi tersebut dipertahankan dan dijaga agar tetap pada kondisi satabil.
Penatalaksanaan syok hipovolemik tersebut yang utama terapi cairan sebagai
pengganti cairan tubuh atau darah yang hilang. Jika ditemukan oleh petugas
dokter atau petugas medis, maka penatalaksanaan syok harus dilakukan secara
komprehensif yang meliputi penatalaksanaan sebelum dan di tempat pelayanan
kesehatan atau rumah sakit.
Penatalaksanaan sebelum di tempat pelayanan kesehatan harus
memperhatikan prinsipprinsip tahapan resusitasi. Selanjutnya bila kondisi
jantung, jalan nafas dan respirasi dapat dipertahankan, tindakan selanjutnya
adalah adalah menghentikan trauma penyebab perdarahan yang terjadi dan
mencegah perdarahan berlanjut. Menghentikan perdarahan sumber perdarahan
dan jika memungkinkan melakukan resusitasi cairan secepat mungkin.
Selanjutnya dibawa ke tempat pelayaan kesehatan, dan yang perlu diperhatikan
juga adalah teknik mobilisai dan pemantauan selama perjalanan. Perlu juga
diperhatikan posisi pasien yang dapat membantu mencegah kondisi syok
menjadi lebih buruk, misalnya posisi pasien trauma agar tidak memperberat
trauma dan perdarahan yang terjadi, pada wanita hamil dimiringkan kea rah kiri
agar kehamilannya tidak menekan vena cava inferior yang dapat memperburuh
fungsi sirkulasi. Sedangkan saat ini posisi tredelenberg tidak dianjurkan lagi
karena justru dapat memperburuk fungsi ventilasi paru.
Pada pusat layanan kesehatan atau dapat dimulai sebelumnya harus
dilakukan pemasangan infus intravena. Cairan resusitasi yang digunakan adalah
cairan isotonik NaCl 0,9% atau ringer laktat. Pemberian awal adalah dengan
tetesan cepat sekitar 20 ml/KgBB pada anak atau sekitar 1-2 liter pada orang
dewasa. Pemberian cairan terus dilanjutkan bersamaan dengan pemantauan
tanda vital dan hemodinamiknya. Jika terdapat perbaikan hemodinamik, maka
pemberian kristaloid terus dilanjutnya. Pemberian cairan kristaloid sekitar 5 kali
lipat perkiraan volume darah yang hilang dalam waktu satu jam, karena istribusi
cairan koloid lebih cepat berpindah dari intravaskuler ke ruang intersisial. Jika
tidak terjadi perbaikan hemodinamik maka pilihannya adalah dengan pemberian
koloid, dan dipersiapkan pemberian darah segera (Hardisman,2013)
2)diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan ekpansi paru
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan perubahan
perfusi jaringan
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunya volume
intravaskler
4. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan oliguri
5. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
14. Open Pneumothoraks
a. Konsep medis
1) Definisi
Pneumotoraks merupakan kasus gawat darurat nafas yang dapat mengancam jiwa dan
membutuhkan penanganan segera. Berbagai penyakit paru, tindakan intervensi paru,
penggunaan ventilasi mekanis atau trauma toraks dapat mencetus pneumatoraks spontan (Mia
Elhidsi, 2018).
Open pneumotoraks adalah pneumotoraks yang terjadi akibat terdapatnya hubungan
antara rongga pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari luar. Perubahan tekanan
ini sesuai dengan perubahan tekanan gerakan pernapasan,pada saat inspirasi tekanan
menjadi negative dan pada saat ekspirasi tekanan menjadi positif (Ni putu, 2020).
Open pneumotoraks adalah adanya trauma tembus pada dinding dada dimana udara
yang masuk diruang pleura lebih banyak berasal dari paru-paru yang rusak dari pada defek
dinding dada. jika dinding dada cukup lebar udara dapat masuk dan keluar dari ruang pleura
pada setiap pernafasan sehingga mnyebabkan paru didalamnya kolaps(Ni putu, 2020).
Open pneumotoraks merupakan adanya lubang pada dinding dada yang cukup besar
untuk memungkinkan udara mengalir dengan bebas dan masuk ke luar rongga toraks
bersama setiap upaya pernafasan (Ni putu, 2020).
Suatu pneumotoraks terbuka timbul bila cedera mengakibatkan kehilangan integritas
dinding thoraks maupun sewaktu ada cedera pada paru. Luka demikian bisa menyebabkan
kontaminasi kontinu pada cavitas pleuralis yang diikuti pembentukan emplema jika tidak
ditutup. Terapi terdiri dari penutupan segera cacat dinding dada dengan balutan penutup steril,
yang disadap pada tiga sisi untuk memberikan katub tipe flutter. Selama inhalasi, balutan
tersedot menutup diatas luka, yang mencegah udara masuk. Bila pasien ekspirasi, ujung
balutan yang terbuka memungkinkan udara lolos. Kemudian dipasang pipa dada untuk
memperhatankan ekpansi paru (Sabiston, 2015)
2) Etiologi
Open pneumothorax disebabkan oleh trauma tembus dada. Berdasarkan kecepatanya,
trauma tembus dada dapat dikelompokkan menjadi 2 berdasarkan ketepatanya, yaitu:
Luka tusuk
umumnya dianggap kecepatan rendah karena senjata (benda yang menusuk atau
mengenai dada) menghancurkan area kecil di sekitar luka. Kebanyakan luka tusuk oleh
tusukan pisau. Namun, selainitu pada kasus kecelakaan yang mengakibatkan
perlukaan dada, dapat juga terjadi ujung iga yang patah (fraktur iga) mengarah ke
dalam sehingga merobek pleura parientalis dan viseralis sehingga dapat mengakibatkan
open pneumotoraks
Luka tembak
Luka tembak pada dada dapat dikelompokkan sebagai kecepatan rendah, sedang, atau
tinggi. Daktor yang menentukan ketepatan dan mengakibatkan keluasan kerusakan
termasuk jarak darimana senjata ditembakkan, nterco senjata, dan konstruksi serta
ukuran peluru. Peluru yang mengenai dada dapat menembus dada sehingga
memungkinkan udara mengalir bebas keluar dan masuk rongga toraks.
3) Faktor Resiko
1. Berjenis kelamin pria
2. Berusia 20ꟷ40 tahun
3. Memiliki kebiasaan merokok
4. Menderita penyakit paru-paru, terutama PPOK
5. Memiliki keluarga dengan riwayat pneumothorax
6. Pernah terserang pneumothorax sebelumnya
4) Manifestasi Klinis
Gejala-gejalanya sangat bervariasi, tergantung kepada jumlah udara yang masuk ke
dalam rongga pleura dan luasnya paru-paru yang mengalami kolaps (mengempis). Gejalanya
nte berupa: Nyeri dada tajam yang timbul secara tiba-tiba, dan semakin nyeri jika penderita
menarik nafas dalam atau terbatuk.
Sesak nafas
Dada terasa sempit
Mudah lelah
Denyut jantung yang cepat
Warna kulit menjadi kebiruan akibat kekurangan oksigen. Gejala-gejala tersebut mungkin
timbul pada saat istrahat atau tidur. Gejala lainya yang mungkin ditemukan:
- Hidung tampak kemerahan
- Cemas, nterc, tegang
- Tekanan darah rendah (hipotensi)
5) Klasifikasi
Keadaan ketika terdapat kerusakan pada dinding dada sehingga terdapat hubungan
antara rongga pleura dengan dunia luar. Pada pneumothorax terbuka tekanan intrapleura
sangat rendah. Pada kondisi ini tekanan udara luar sama dengan tekanan intrapleura.
Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang di sebabkan oleh gerakan
pernapasan.
Ketika fase ekspirasi tekanan menjadi positif sementara ketika fase inspirasi tekanan
berubah menjadi negative. Mediastinum dalam keadaan normal ketika inspirasi, tetapi
mediastinum bergeser kea rah sisi dinding dada yang terkena pada saat ekspirasi. Fenomena
ini dinamakan sucking wound.
6) Komplikasi
1. Tension Penumototrax
2. Penumotoraks Bilateral
3. Emfiema
7) Patofisiologi
Baik pada trauma tumpul maupun trauma tajam terjadi keadaan-keadaan patologis
sebagai berikut :
Bila karena suatu trauma, dinding toraks terbuka (berarti pleura parietalis juga robek),
maka tekanan intrapleural (antara pleura parietalis dan pleura viseralis) yang negatif akan
menyedot udara masuk dan paru akan collaps. Hal ini disebut pneumotoraks dan selama luka
dinding toraks ini terbuka, yaitu udara biasa keluar masuk, disebut “open pneumotoraks” atau
disebut sucking wound (Puruhito,2013),
Bila luka di dinding toraks ini disedemikian rupa, sehingga udara bisa tersedot,
terhisap masuk, tetapi keluarnya dihambat karena luka yang menjadi seperti klep, (ventil),
maka pelan-pelan (agak cepat, setelah beberapa pernapasan), maka pelan-pelan (agak cepat
setelah pernapasan) (Puruhito, 2013)
Pada paru normal, tekanan di dalam kavum pleura mempunyai tekanan yang lebih
negative daripada tekanan atmosfer pada sepanjang siklus respirasi. Perbedaan tekanan antara
alveoli paru dan kavum pleura disebut tekanan transpulmonal, dan tekanan ini menyebabkan
elastic recoil paru. Pada pneumothorax terjadi hubungan antara alveoli paru dan jalan napas
ke kavum pleura, dan udara bermigrasi dari elveoli ke kavum pleura sampai tekanan di kedua
area sama. Sama halnya ketika dinding dada terhubung dengan kavum pleura, udara bergerak
dari luar ke kavum pleura sampai tidak ada lagi perbedaan tekanan atau sampai hubungan
tertutup. Ketika udara dalam kavum pleura tekanannya meningkat dari -5 cmH2O menjadi
-2,5 cmH2O, maka tekanan transpulmonal menurun dari 5 cmH2O menjadi 2,5 cmH2O, dan
kapasitas vital paru menurun 33%.
Perubahan tekanan di dalam kavum pleura akan menyebabkan peningkatan volume
toraks, menghasilkan perubahan pada recoil dinding dada dan hamper 8% menurunkan
kapasitas vital paru. Ketika tekanan pada kavum pleura meningkat, mediastinum akan bergeak
nterco berlawanan, sehingga menyebabkan penambahan luas pada paru yang sakit, dan
menurunkan diafragma. Perubahan ini dapat dilihat pada tension pneumothorax. Perubahan
fisiologi utama pada penumothorax adalah penurunan dari oksigen arteri sehingga
menurunkan kapasitas vital. Pasien yang mengalami primer pneumothorax akan menurunkan
kapasitas vital, tetapi yang mengalami pneumothorax sekunder dan penyakit paru yang
mendasarinya, penurunan kapasitas vital nte menyebabkan hipoventilasi alveolar dan gagal
napas.
8) Pemeriksaan Diagnostik
Ro.Thoraks
Menyatakan akumulasi udara atau cairan pada area pleura dapat menunjukkan
penyimpangan struktur mediastinal (jantung).
Gas Darah Arteri (GDA) Variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang
dipengaruhi atau gangguan mekanik pernafasan dan kemampuan mengkompensasi
PaCO2 kadang meningkat. PaCO2 mungkin normal atau menurun;saturasi O2 bisa
menurun.
Torasentesis
Menyatakan darah atau /airan serosanguinosa.
Hb
Mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah.
9) Penatalaksanaan
1. Bullow Drainage / WSD
2. Indikasi pemasangan WSD :
a. Pneumothorax
b. Hemothorax
c. Hemopneumothorax
d. Efusi pleura
e. Cylothorax
f. Penetrating chest trauma
g. Pleural Empyema
a. Diagnostik : Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga
dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam
syok.
b. Terapi : Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura.
Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga “mechanis of breathing” dapat
kembali seperti yang seharusnya.
c. Preventive : Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga
“mechanis of breathing” tetap baik
b. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan moblitas fisik berhubungan dengan mobilitas terbatas
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
3. Nyeri berhubungan dengan agen injury fisik.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan factor resiko trauma.
5. Ansietas berhubungan dengan Kurangnya menerima informasi
15. Atrium Septal Defect
a) Konsep medis
Definisi
Defek septum atrium (atrium septal defect) merupakan suatau keadaan dimana
adanya hubungan (lubang) abnormal pada sekat yang memisahkan atrium kanan dan
atrium kiri.(Arif mutaqqin, 2009, 186).
Defek septum atrium (DSA) adalah kelainan jantung bawaan yang sering
ditemukan.Apabila terdapat DSA darah mengalir dari atrium kiri ke atrium kanan
melalui lubang.
Etiologi
Faktor resiko
a. Factor prenatal
b. Factor genetic
Manifestasi klinik
Manifestasi klinik dari DSA tergantung usia pasien, letak dan anomali.Pada
kebanyakan anak-anak dengan septum atrium (DSA) tanpa gejala. Biasanya
asimptomatis pada umur decade pertama dan kedua.Defek yang sangat besar dapat
menyebabkan gagal jantung kongestif dengaan gejala sesak napas, mudah lelah, dan
pertumbuhan terganggu. Kadang pasien dewasa menunjukan gejala emboli
paradoksial, berdebar karena aritmia supraventricular atau infeksi saluran pernapasan
berulang.(Kurniawati & Baskoro W & Elfira, 2016)
Klasifikasi
Komplikasi
1. Hipertensi pulmonal
2. Sindroma eisenmenger
3. Aritmia
4. Gagal jantung
5. Endocarditis infektif (Menur, 2017)
Patofisiologi
Pemeriksaan diagnostik
1. EKG
2. Pemeriksaan radiologi thorax/ foto thorax
3. Echocardiografi (Wardhana, W & Elfira 2017)
Penatalaksanaan
b) Diagnose keperawatan
1. Penurunan curah jantung b.d perubahan dalam rate, irama,
konduksi jantung, menurunnya preload
2. Intoleransi aktivitas b.d hipoksia
3. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b.d tidak
adekuatnya suplai oksigen dan zat nutrisi ke jaringan.
4. Kerusakan pertukaran gas b.d edema paru
16. Syok Septik
Konsep medis
1. Definisi
Syok septik didefinisikan sebagai kondisi kolaps vaskuler hebat dan berat akibat infeksi
sistemik yang umumnya disebabkan oleh organisme gram negative. sepsis merupakan
respon sistemik pejamu terhadap infeksi dimana pathogen atau toksin dilepaskan ke
dalam sirkulasi darah sehingga terjadi proses inflamasi (Sutjahjo, A, 2015)
Syok septik adalah Sindrom klinik yang dicetuskan oleh masuk dan menyebarnya
produk organisme ke dalam system vaskuler sehingga menyebabkan terjadinya hipotensi
yang tidak membaik dengan resusitasi cairan, kegagalan pada mikrosirkulasi, penurunan
perfusi jaringan dan gangguan metabolisme seluler. Syok septic juga merupakan sepsis
dengan hipotensi meskipun telah dilakukan resusitasi cairan secara adekuat atau
memerlukan vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ.
(Sutjahjo, A, 2015)
2. Etiologi
1. Factor intrinsik
Usia
Luka bakar
AIDS
Diabetes
Penyalah gunaan zat
2. Factor ekstrinsik
Perangkat invasive
Terapi obat
Terapi cairan
Bedah dan luka traumatis
Prosedur diagnostic invasive bedah
Terapi imunosupresif (Sutjahjo, A, 2015)
4. Manifestasi klinis
1. Gangguan ksadaran merupakan akibat dari perfusi serebral yang menurun dan
terdiri keadaan binggung stupor atau koma
2. Tanda tanda vital: takipnea, takikardi dan hipotensi sering terjadi. Seringkali
terdapat demam, meskipun suhu tubuh dapat juga normal atau di bawah normal.
Permulaan syok septic seringkali ditandai dengan demam yang menggigil dan
meningkat dengan cepat.
3. Kulit teraba hangat dan kemerahan pada awal penyakit ini menyatakan
vasodilatasi arterial, pada stadium selanjutnya jika timbul vasokontriksi kulit akan
teraba dingin dan pucat
4. Tanda dan gejala lain: pada pasien mungkin ditemukan gejala yang menimbulkan
sumber dari infeksi seperti batuk atau tanda rangsangan meningeal. Mungkin
didapati tanda-tanda iritasi traktus gastrointestinal seperti muntah dan diare. Jika
timbul koagulasi intravaskuler diseminata sebagai komplikasi dari sepsis mungkin
akan dijumpai perdarahanabnormal dari traktus gastrointestinal. (Linuwih, S. et
all. 2016)
5. Komplikasi
1. Meningitis
2. Hipoglikemia
3. Asidosis gagal ginjal
4. Disfungsi miokard
5. Disfungsi system syaraf pusat
6. Penururnan curah jantung
7. Kematian (Linuwih, S. et all. 2016)
6. Patofisiologi
Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena bakteri gram negative yang
menyebabakan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil gram negative ini menyebabkan
vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena perifer. Selain itu, terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas vaskuler karena vasodilatasi
perifer menyebabkan terjadinya hipovalemia relative, sedangkan peningkatan
permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan cairan intravaskuler ke interstisial yang
terlihat sebagai udem, pada syok septic hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabakan oleh
penurunan perfusi jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan
oksigen karena toksin kuman. (Annas Budi & Yuni, 2020).
7. Pemeriksaan diagnostik
1. Kultur (luka, sputum, urin darah) yaitu untuk mengidentifikasi organisme
penyebab sepsis
2. SDP : Ht mungkin meningkat pada status hipovalemikkarena hemokonsentrasi
3. GDA
4. EKG (Sutjahjo, A, 2015)
8. Penatalaksanaan syok septik
Penatalaksanaan syok septik mencakup eliminasi pathogen penyebab infeksi,
eliminasi sumber infeksi dengan tindakan darinase atau bedah bila diperlukan, terapi
antimikroba yang sesuai, resusitasi bila ada renjatan atau kegagalan, vasopressor dan
inotropic, terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi
imunologi bila terjadi respon imun dan penjamu terhadap infeksi (Sutjahjo, A, 2015)
Diagnose keperawatan
a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan O2 , edema paru
b. Penurunan curah jantung b.d perubahan afterload dan preload
c. Hipertermi b.d proses infeksi
d. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d cardiac output yang
tidak mencukupi
e. Intoleransi aktifitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen
f. Ansietas b.d perubahan status kesehatan