Anda di halaman 1dari 168

‘’RANGKUMAN MATERI KEPERAWATAN KRITIS’’

OLEH

NAMA : NURHIJRAH

NIM : P201701117

KELAS : J3 KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU


KESEHATAN UNIVERSITAS MANDALA WALUYA KENDARI 2020
A. MATERI PAK NAZAR
1. Keperawatan kritis
Ilmu perawatan kritis adalah bidang keperawtan dengan suatu focus
pada penyakit yang kritis atau pasien yang tidak stabil. Perawat kritis dapat
ditrmukan bekerja pada lingkungan yang luas dan khusus, seperti Departemen
Keadaan darurat dan Unit Gawat Darurat (Wikipedia, 2014).
Keperawatan kritis adalah keahlian khusus dalam ilmu perawatan yang
menghadapi secara rinci dengan manusia yang bertanggung jawab atau
masalah yang mengancam jiwa (American Association of Critical-Care
Nurses).
Proses keperawatan adalah susunan metode pemecahan masalah yang
meliputi pengkajian, analisa, perencanaan ,implementasi, dan evaluasi. The
American Asosiation of Critical care Nurses (AACN) menyusun standar
proses keperawatan sebagai asuhan keperawatan kritikal.
Keperawatan kritis merupakan salah satu spesialisasi di bidang
keperawatan yang secara khusus menangani respon manusia terhadap masalah
yang mengancam kehidupan.Secara keilmuan perawatan kritis fokus pada
penyakit yang kritis atau pasien yang tidak stabil. Untuk pasien yang kritis,
pernyataan penting yang harus dipahami perawat ialah “waktu adalah
vital”.Sedangkan Istilah kritis memiliki arti yang luas penilaian dan evaluasi
secara cermat dan hati-hati terhadap suatu kondisi krusial dalam rangka
mencari penyelesaian/jalan keluar.

2. Ruang Lingkup Keperawatan Kritis


Lingkup praktik asuhan keperawatan kritis didefinisikan dengan
interaksi perawat kritis, pasien dengan penyakit kritis, dan lingkungan
yang memberikan sumber-sumber adekuat untuk pemberian perawatan.
Pasien yang masuk ke lingkungan keperawatan kritis menerima asuhan
keperawatan intensif untuk berbagai masalah kesehatan Serangkaian
gejala memiliki rentang dari pasien yang memerlukan pemantauan yang
sering dan membutuhkan sedikit intervensi sampai pasien dengan
kegagalan fungsi multisistem yang memerlukan intervensi untuk
mendukung fungsi hidup yang mendasar. Pada umumnya lingkungan yang
mendukung rasio perbandingan perawat – pasien yaitu 1:2 (tergantung
dari kebutuhan pasien), satu perawat dapat merawat tiga pasien dan,
terkadang seorang pasien memerlukan bantuan lebih dari satu orang
perawat untuk dapat bertahan hidup. Dukungan dan pengobatan terhadap
pasien-pasien tersebut membutuhkan suatu lingkungan yang informasinya
siap tersedia dari berbagai sumber dan diatur sedemikian rupa sehingga
keputusan dapat diambil dengan cepat dan akurat(AACN,2019).

3. Klasifikasi pasien kritis


 Exigent,pasien yang tergolong dalam keadaan gawat darurat 1 dan
memerlukan pertolongan segera. Yang termasuk dalam kelompok
ini dalah pasien dengan obstruksi jalan nafas, fibrilasi ventrikel,
ventrikel takikardi dan cardiac arest.
 Emergent,yang disebut juga dengan gawat darurat 2 yang
memerlukan pertolongan secepat mungkin dalam beberapa menit.
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah miocard infark, aritmia
yang tidak stabil dan pneumothoraks.
  Urgent,yang termasuk kedalam gawat darurat 3. Dimana waktu
pertolongan yang dilakukan lebih panjang dari gawat darurat 2
akantetapi tetap memerlukan pertolongan yang cepat oleh karena
dapat mengancam kehidupan, yang termasuk ke dalam kelompok
ini adalah ekstraserbasi asma, perdarahan gastrointestinal dan
keracunan.
 Minor atau non urgent, yang termasuk ke dalam gawat darurat 4,
semua penyakit yang tergolong kedalam yang tidak mengancam
kehidupan.

4. Fungsi dan peran perawat


a. Tim lapangan
Merekomendasikan pembentukan tim lapangan pada semua trust akut.
Tim ini terbentuk sesuai dengan filosofi perawatan intensiftanpa batas
sebagai salah satu aspek dari pelayanan perawatanm kritis (Gwinnutt
2006). Tujuan dari tim lapangan ini adalah :
- Berupaya agar pasien tidak perlu ke ICU dengan mengidentifikasi
pasien yang mengalami perburukan dan juga membantu untuk
mencegah agar pasien tidak perlu masuk ke ICU atau memastikan
hasil akhir yang terbaik.
- Memungkinkan pengeluaran pasien dari ICU dengan memberikan
dukungan, baik saat pasien keluar dari ICU dan berada dalam
ruang perawatan yang secara kontinu menunjukkan kesembuhan
maupun setelah pasien keluar dari rumah sakit.
- Memberikan keterampilan perawatan kritis kepada staf di ruang
perawatan dan komunitas, memastikan bertambahnya kesempatan
pelatihan dan praktik keterampilan , serta menggunakan informasi
yang diperoleh dari ruang perawatan dan komunitas untuk
memperbaiki pelayanan perawatan kritis bagi pasien dan
keluarganya.
b. Peran Perawat Kritis Advokat
Pengembangan fungsi adaptif berarti perawat bernegosiasi
untuk pasien. Karena pasien dengan penyakit kritis sering kali tidak
dapat secara efektif mengatasi masalah fisiologis dan lingkungan.
Sehingga perlu bagi perawat mengerjakannya untuk pasien apa yang
tak mampu mereka kerjakan untuk diri mereka sehingga energy
disimpan. Sebagai advokat pasien, perawat harus mengindari
penambahanbeban yang meningkatkan kebutuhan pasien untuk
berinteraksi bila interaksi tidak mengembangkan adaptasi. Sebagai
contoh, energy pasien terpakai untuk rasa takut terhadap peralatan
didekatnya tidak membantu memakai energy dengan menanyakan hal
tersebut dan mendengarkan pengulangan. Demikian juga, energy
bertambah pada kebutuhan untuk secara tetap mendapatkan cinta
seseorang tetap ada, tak sebanding dalam penggunaan energy untuk
berhubungan dengan orang tersebut. Pengembangan keamanan pada
pasien penyakit kritis meliputi penurunan kerentanan fisiologik dan
emosional. Perasaan aman hilang atau sedikitnya menurun secara
bermakna kapan pun ada penurunan fungsi pengendalian tubuh.
Hilangnya pengendalian bervariasi mulai dari kelelahan dan
kelemahan sampai paralisi. Hal ini dapat diakibatkan oleh patologi,
lingkungan (contoh, pembatasan oleh selang IV atau mesin), atau
keduanya dari kelelahan dan kurang tidur karena ketidaknyaman fisik,
atau dari kelelahan fisiologis (contoh, dyspnea dan kelebihan beban
sensori). Sehubungan dengan penurunan atau hilangnya pengendalian,
perawat melakukan intervensi untuk meningkatkan rasa aman pasien.
Hal ini diselesaikan dengan menggunakan keterampilan, alat-alat,
obatobatan, dan interaksi, memberikan bantuan pernapasan dengan
respirator, dengan mendorong latihan pernapasan , atau dengan tinggal
bersama pasien saat pasien ansietas dan kesepian. Pengenalan
kebutuhan rasa aman pasien merupakan elemen penting dalam
pendekatan holistic asuhan keperawatan. Selain itu, hal ini sangat
mempertimbangkan “keseluruhan” pasien yang memungkinkan
perawat untuk menetapkan prioritas sebagai negosiator pasien.
c. Peran Critical Care Mempunyai Berbagai Peran Moral
- Bedsite nurse : peran dasar dari perawatan kritis. Hanya mereka
yang selalu bersama 24 jam dari 7 hari seminggu.
- Pendidik critical care : mengedukasi pasien.
- Care manajer : mempromosikan perawat yang sesuai dan tepat
waktu.
- Manager unit atau departemen (kepala bagian) : menjadi pengarah.
- Perawat klionis spesialis : dapat membantu membuat rencana
asuahan keperawatan.
- Perawat praktisi : mengelola terapi dan pengobatan . Pada akhirnya
perawat critical care mengkoordinasikan dengan tim
mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan :
 Menyediakan pendidikan dan dukungan untuk membantu
pasien atau mengganti pasien yang ditunjuk membuat
keputusan.
 Mewakili pasien sesuai dengan pilihan pasien.
 Mendukung keputusan dari pasien atau menganti yang di
tunjuk, atau perawatan transfer pasien kritis sama-
samaberkualitas.
 Berdoa bagi pasien yang tidak dapat berbicara untuk
mereka sendiri.
 Memantau dan menjaga kualitas perawatan pasien.
 Bertindak sebagai penghubung antara pasien, keluarga, dan
professional kesehatan lainya

B. TUGAS PAK NAZARUDDIN


a) ASUHAN KEPERAWATAN OVERDOSIS KELOMPOK 1
1. KONSEP MEDIS
 Pengertian
Overdosis (OD) adalah mengkonsumsi obat berlebihan. Overdosis
adalah keadaan dimana seseorang mengalami ketidaksadaran akibat
menggunakan obata terlalu banyak, ketiika batas toleransi tubuh dalam
mengatasi zat tersebut terlewati (melebihi toleransi badan) maka hal ini dapat
terjadi.
Overdosis atau kelebihan dosis terjadi apabila tubuh mengabsorsi obat
lebih dari ambang batas kemampuannya (lethal dosis). Biasanya, hal ini
terjadi akibat adanya proses toleransi tubuh terhadap obat yang terjadi terus
menerus, baik yang digunakan oleh para pemula maupun para pemakai yang
kronis.
Overdosis atau kelebihan dosis terjadi akibat tubuh mengalami
keracunan akibat obat. Overdosis sering terjadi bila menggunakan narkoba
dalam jumlah banyak dengan rentang waktu terlalu singkat, biasanya
digunakan secara bersamaan antara putaw, pil, heroin digunakan bersama
alkohol. Atau menelan obat tidur seperti golongan barbiturat (luminal) atau
obat penenang (valium, xanax, mogadon/BK). Intoksikasi atau keracunan
adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh manusia yang
menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakan.
 Etiologi
Penggunaan obat yang tidak sesuai dosis atau berlebihan dosis terjadi karena
beberapa hal :
1. Mengkonsumsi lebih dari satu jenis narkoba misalnya mengkonsumsi
putau hamper bersamaaan dengan alcohol atau obat tidur seperti valium
megadom/ BK dll
2. Mengkonsumsi obat lebih dari ambang batas kemampuannya, misalnya
jika seseorang memakai narkoba walaupun hanya seminggu, tetapi apa
bila dia memakai lagi dengan takaran yang sama seperti biasanya
kemungkinan besar terjadi OD.
3. Kualitas barang di konsumsi berbeda.
 Patofisiologi
IFO (Organo Phosphatase insectisida) bekerja dengan cara
menghambat (inaktivasi) enzim asetikolinesterase tubuh (KHE). Dalam
keadaan normal enzim Khe bekerja untuk menghidrolisis arakhnoid (AKH)
dengan jalan mengikat Akh-Khe yang bersifat inaktif. Bila konsentrasi racun
lebih tinggi dengan ikatan Ifo-khe lebih banyak terjadi. Akibatnya akan terjadi
penumpukan akh ditempat tempat tertentu, sehingga timbul gejala-gejala
ransangan akh yang berlebihan, yang akan menimbulkan efek muscarinik,
nikotinik, dan SSP (menimbulkan stimulasi kemudian depresi).
Pada keracunan IFO, ikatan-ikatan IFO-Khe bersifat menetap (ireversibel),
sedangkan keracunan carbamate ikatan ini bersifat sementara (reversible).
Secara farmakologis efek Akh dapat dibagi 3 golongan:
1. Muskarini, terutama pada saluran pencernaan, kelenjar ludah dan
keringat, pupil, bronkus dan jantung.
2. Nikotinik, terutama pada otot-otot skeletal, bola mata, lidah, kelopak
mata, dan otot pernapasan.
3. SSP, menimbulkan nyeri kepala, perubahan emosi, kejang-kejang
(konvulasi) sampai koma.
 Manifestasi Klinis
Yang paling menonjol adalah kelainan virus, hiperaktivitas kelenjar ludah,
keringat dan gangguan saluran pencernaan, serta kesukaran bernafas.
1. Gejala ringan meliputi: anoreksia, nyeri kepala, rasa lemah, rasa takut,
tremor pada lidah, kelopak mata, pupil miosis.
2. Keracunan sedang: nausea, muntah-muntah, kejang atau kram perut,
hipersaliva, hiperhidrosis, fasikulasi otot dan bradikardi
3. Keracunan berat: diare, pupil, reaksi cahaya negatif, sesak nafas, sianosis,
edema paru. Inkontenesia urine dan feses, kovulasi, koma, blokade
jantung akhirnya meninggal
 Komplikasi
1. Gagal ginjal
2. Kerusakan hati
3. Gangguan pencernaan
4. Gangguan pernapasan
 Penatalaksanaan
1. Tindakan emergensi
Airway: bebaskan jalan napas, kalau perlu lakukan intubasi.
Breathing: berikan pernafasan buatan bila penderita tidak bernafas
spontan atau pernafasan tidak adekuat
Cirulation: pasang infus bila keadaan penderita gawat dan perbaiki
perfusi jaringan
2. Identifikasi penyebab keracunan
Bila mungkin lakukan identifikasi penyebab keracunan, tapi bila mungkin
lakukan identifikasi penyebab keracunan ini tidak sampai menunda
usaha-usaha menyelamatkan penderita yang harus segera dilakukan
3. Eliminasi racun
Racun yang ditelan, dilakukan dengan cara:
a. Rangsang muntah akan sangat bermanfaat bila dilakukan dalam 1
jam pertama sesudah menelan bahan beracun, bila sudah lebih dari 1
jam tidak perlu dilakukan rangsang muntah kecuali bila bahan
beracun tersebut mempunyai efek yang menghambat motilitas
(memperpanjang pengosongan) lambung. Rangsang muntah dapat
dilakukan secara mekanis dengan merangsang palatum mole atau
dinding belakang faring, atau dapat dilakukan dengan pemberian
obat-obatan:
1) Sirup ipecac, diberikan sesuai dosis yang telah ditetapkan
2) Apomorphine sangat efektif dengan tingkat keberhasilan hampir
100% dapat menyebabkan muntah dalam 2-5 menit. Dapat
diberikan dosis 0,07 mg/kg BB secara subkutan
b. Kumbah lambung akan berguna bila dilakukan dalam 1-2 jam
sesudah menelan bahan beracun, kecuali bila menelan bahan yang
dapat menghambat pengosongan lambung. Kumbah lambung seperti
pada rangsang muntah tidak boleh dilakukan pada:
1) Keracunan bahan korosif
2) Keracunan hidrokarbon
3) Kejang pada penderita dengan gangguan kesadaran atau
penderita-penderita dengan resiko aspirasi jalan nafas harus
dilindungi dengan cara pemasangan pipa endotracheal.

Penderita diletakan dalam posisi trendelenburg dan miring kekiri, dan


kemudian dimasukan pipa orogastrik dengan ukuran yang sesuai
dengan pasien, pencucian lambung dilakukan dengan cairan garam
fisiologis (norma saline/PZ) atau norma saline 100 ml atau kurang
berulang ulang sampai bersih

c. Pemberian norit (activated charcoal) jangan diberikan bersama obat


muntah, pemberian norit harus menunggu paling tidak 30-60 menit
sesudah emesis.
4. Pemberian antidotum kalau mungkin
Pengobatan supportif pemberian cairan dan elektrolit perhatikan nutrisi
penderita pengobatan simtomatik (kejang, hipoglikemia, kelainan
elektrolit dan sebagainya).
2. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan Distress pernapasan
2. Defisien volume cairan berhubungan dengan Kehilangan cairan aktif
(diare, muntah)
3. Penurunan kesadaran berhubungan dengan Depresi system saraf pusat
4. Ketidak seimbangan cairan elektrolit berhubungan dengan Diare
5. Ketidakefektifan koping individu berhubungan dengan krisis situasi

b) ASUHAN KEPERAWATAN KERACUNAN KELOMPOK 2


1. KONSEP MEDIS
 Definisi
Racun adalah zat yang ketika ditelan, terhisap diabsorpsi, menempel
pada kulit, atau dihasilakn didalam tubuh dalam jumlah relaktif kecil
menyebabkan cedera tubuh dengan adanya reaksi kimia (Smeltzer dalam
nurarif, 2015).
Keracunan adalah penyakit yang tiba-tiba dan mengejutkan yang dapat
terjadi setelah menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi (Brunner
& Suddarth, 2015).
 Klasifikasi
Keracunan dapat terjadi karena berbagai macam penyebab yang
mengandung bahan berbahaya dan potensial dapat menjadi racun. Penyebab-
penyebab tersebut antara lain :
1. Makanan
Bahan makanan pada umumnya merupakan media yang sesuai untuk
pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme. Proses
pembusukan merupakan proses awal dari akibat aktivitas mikroorganisme
yang mempengaruhi langsung kepada nilai bahan makanan dapat juga
disebabkan oleh bahan makanannya sendiri yang beracun, terkontaminasi
oleh protozoa, parasite, bakteri yang pathogen dan juga bahan kimia yang
bersifat racun. Di Indonesia ada beberapa jenis makanan yang sering
mengakibatkan keracunan, antara lain :
a) Keracunan botolinum
Clostridium botolinum adalah kuman yang hidup secara
anaerobic, yaitu di tempat-tempat yang tidak ada udaranya.Kuman ini
mampu melindungi dirinya dari suhu yang agak tinggi dengan jalan
membentuk spora. Karena cara hidupnya yang demikian itu, kuman ini
banyak dijumpai pada makanan kaleng yang diolah secara kurang
sempurna.
Gejala keracunan botolinum muncul secara mendadak. 18-36
jam sesudah memakan makanan yang tercemar. Gejala itu berupa
lemah badan yang kemudian disusul dengan penglihatan yang kabur
dan ganda. Kelumpuhan saraf mata itu diikuti oleh kelumpuhan saraf-
saraf otak lainnya, sehingga penderita mengalami kesulitan berbicara
dan susah menelan. Pengobatan hanya dapat diberikan di rumah sakit
dengan penyuntikan serum antioksin yang khas untuk botulinum.Oleh
karena itu dalam hal ini yang penting ialah pencegahan.Pencegahan :
sebelum dihidangkan, makanan kaleng dibuka dan kemudian direbus
bersama kalengnya di dalam air sampai mendidih.
b) Keracunan jamur
Gejala muncul dalam jarak beberapa menit sampai 2 jam
sesudah makan jamur yang beracun (Amanita spp). Gejala tersebut
berupa sakit perut yang hebat, muntah, mencret, haus, berkeringat
banyak, kekacauan mental, pingsan.
Tindakan pertolongan : apabila tidak ada muntah-muntah,
penderita dirangsang agar muntah. Kemudian lambungnya dibilas
dengan larutan encer kalium permanganate (1 gram dalam 2 liter air),
atau dengan putih telur campur susu. Bila perlu, berikan napas buatan
dan kirim penderita ke rumah sakit.
c) Keracunan ikan laut
Beberapa jenis ikan laut dapat menyebabkan keracunan.Di
duga racun tersebut terbawa dari ganggang yang dimakan oleh ikan
itu.Gejala-gejala keracunan berbagai bintang laut tersebut muncul
kira-kira 20 menit sesudah memakannya. Gejala itu berupa : mual,
muntah, kesemutan di sekitar mulut, lemah badan dan susah bernafas.
Tindakan pertolongan : usahakan agar dimuntahkan kembali
makanan yang sudah tertelan itu. Kalau mungkin lakukan pula
pembilasan lambung dan pernafasan buatan.Obat yang khas untuk
keracunan binatang-binatang laut itu tidak ada.
2. Bahan kimia
Keracunan bahan kimia biasanya melibatkan bahan-bahan kimia biasa
seperti bahan kimia rumah, produk pertanian, produk tumbuhan atau
produk industri.
a) Baygon
Baygon adalah insektisida kelas karbamat, yaitu insektisida
yang berada dalam golongan propuxur. Penanganan keracunan baygon
dan golongan propuxur lainnya adalah sama. Contoh golongan
karbamat lain adalah carbaryl (sevin), pirimicarb (rapid, aphox),
timethacarb (landrin) dan lainnya.
Gejala keracunan sangat mudah dikenal yaitu diare,
inkontinensia urin, miosis, fasikulasi otot, cemas dan kejang.Miosis,
salvias, lakrimasi, bronkospasme, kram otot perut, muntah,
hiperperistalik dan latergi biasanya terlihat sejak awal.Kematian
biasanya karena depresi pernafasan.
3. Sengatan serangga
Manifestasi klinis bervariasi dari urtikaria umum, gatal, malaise,
ansietas, samapai edema laring, bronkhospasme berat, syok dan kematian.
Umumnya waktu yang lebih pendek diantara sengatan dan kejadian dari
gejala yang berat merupakan prognosis yang paling buruk.
Beberapa contoh masalah serius yang diakibatkan oleh gigitan atau
serangan gigitan serangga di antaranya adalalah :
a. Reaksi alergi berat (anaphylaxis). Reaksi ini tergolong tidak biasa,
namun dapat mengancam kehidupan dan membutuhkan
pertolongan darurat.
b. Reaksi racun dari serangan lebah, tawon, atau semut api.
c. Reaksi kulit yang lebar pada bagian gigitan atau serangan.
d. Infeksi kulit pada bagian gigitan atau serangan.
e. Penyakit serum (darah), sebuah reaksi pada pengobatan
(antiserum). Digunakan untuk mengobati gigitan atau serangan
serangga. Penyakit serum menyebabkan rasa gatal dengan bintik-
bintik merah dan bengkak serta diiringi gejala flu tujuh sampai
empat belas hari setelah penggunaan anti serum.
 Etiologi
Penyebab keracunan menurut Nurarif dan Kusuma (2015) ada beberapa
macam dan akibatnya bisa mulai yang ringan sampai yang berat. Secara
umum yang banyak terjadi di sebabkan oleh :
1. Mikroba
a. Escherichia coli pathogen
b. Staphilococus aureus
c. Salmonella
d. Bacillus Parahemolyticus
e. Clostridium Botulisme
f. Streptokkus
2. Bahan Kimia
a. Peptisida golongan organofosfat
b. Organo sulfat dan karbonat
3. Toksin
a. Jamur
b. Keracunan singkong
c. Tempe bongkrek
d. Bayam beracun
e. Kerang
 Manifestasi klinis
Beberapa tanda dan gejala menurut Nurarif dan Kusuma (2015) diantaranya :
1. Gejala yang paling menonjol meliputi
a. Kelainan visus
b. Hiperaktivitas kelenjar ludah dan keringat
c. Gangguan saluran pencernaan
d. Kesukaran bernafas
2. Keracunan ringan
a. Anoreksia
b. Nyeri kepala
c. Rasa lemah
d. Rasa takut
e. Pupil miosis
f. Tremor pada lidah dan kelopak mata
3. Keracunan sedang
a. Nausea, muntah-muntah
b. Kejang, dan kram perut
c. Hipersalifa
d. Fasikulasi otot
e. Bradikardi
4. Keracunan berat
a. Diare
b. Reaksi cahaya negative
c. Sesak nafas, sianosis, edema paru
d. Inkontinensia urin
e. Kovulasi
f. Koma, blockade jantung dan akhirnya meninggal
 Patofisiologi
Keracunan dapat disebabkan oleh beberapa hal di antaranya yaitu
faktor bahan kimia, mikroba, toksin dll.Dari penyebab tersebut dapat
mempengaruhi vaskuler sistemik sehingga terjadi penurunan fungsi organ-
organ dalam tubuh.Biasanya akibat dari keracunan menimbulkan mual,
muntah, diare, perut kembung, gangguan pernafasan, gangguan sirkulasi
darah dan kerusakan hati (sebagai akibat dari keracunan obat dan bahan
kimia).Terjadi mual, muntah di karenakan iritasi pada lambung sehingga HCL
dalam lambung meningkat.Makanan yang mengandung bahan kimia beracun
(IFO) dapat menghambat (inktivasi) enzim asrtikolinesterase tubuh (KhE).
Dalam keadaan normal enzim KhE bekerja untuk menghidrolisis arachnoid
(AKH) dengan jalan mengikat Akh di tempat-tempat tertentu, sehingga timbul
gejala-gejala rangsangan Akh yang berlebihan, yang akan menimbulkan efek
muscarinic, nikotinik, dan ssp (menimbulkan stimulasi kemudian depresi
SSp).
 Komplikasi
a. Kejang
b. Koma
c. Henti jantung
d. Henti napas (Apneu)
e. Syok

Namun pada beberapa kasus tertentu komplikasi yang muncul bisa


diakibatkan oleh jenis dari zat racun tersebut, antara lain (Sartono, 2015) :

1. Keracunan zat padat


a. Obat salisilat : perdarahan, edem paru, depresi pernapasan, nekrosis
tubular akuta.
b. Makanan : dehidrasi, dan gangguan kesadaran.
2. Keracunan gas
a. CO : edem paru, depresi pernapasan, syok, koma.
b. Toksit iritan : edem paru.
c. Hidrokarbon : depresi pernapasan.
3. Keracunan zat cair
a. Alkohol
1) Perdarahan lambung dan usus.
2) Kerusakan ginjal dengan zat gula dalam kencing.
3) Kerusakan hati.
4) Kegagalan jantung.
5) Oedema paru-paru.
6) Pembentukan methemoglobine.
b. Metil alkohol : kejanh, syok, koma.
 Penatalaksanaan
1. Penanganan pertama pada keracunan makanan
a. Kurangi kadar racun yang masih adaa didalamlambung dengan
memberi pasien minum air putih atau susu sesegera mungkin..
b. Usahakan untuk mengeluarkan racun dengan merangsang korban
untuk muntah.
c. Usahakan korban untuk muntah dengan wajah menghadap ke bawah
dengan kepala menunduk lebih rendah dari badannya agar tidak
tersedak.
d. Bawa segera ke ruang gawat darurat rumah sakit terdekat.
e. Jangan memberi minuman atau berusaha memuntahkan isi perut
korban bila ia dalam keadaan pingsan. Jangan berusaha
memuntahkannya jika tidak tahu racun yang di telan.
f. Jangan berusaha memuntahkan korban bila menelan bahan-bahan
seperti anti karat, cairan pemutih, sabun cuci, bensin, minyak tanah,
tiner, serta pembersih toilet.
2. Penanganan di rumah sakit
a. Tindakan emergency
Airway : bebaskan jalan nafas, kalau perlu di lakukan inkubasi.
Breathing : berikan nafas buatan, bila penderita tidak bernafasa
spontan atau pernafasan atau pernafasan tidak adekuat.
Circulasi : pasang infus bila keadaan penderita gawat darurat dan
perbaiki perfusi jaringan.
b. Resusitasi
Setelah jalan nafas di bebaskan dan di bersihkan,periksa
pernafasan dan nadi. Infus dextrose 5 % kecepatan 15-20 tetes/menit,
nafas buatan, oksigen, hisap lender dalam saluran pernafasan, hindari
obat-obatan depresan saluran nafas, jika perlu respirator pada
kegagalan nafas berat.hindari pernafasan buatan dari mulut kemulut,
sebab racun organo fhosfat akan meracuni lewat mulut penolong.
Pernafasan buatan hanya dilakukan dengan meniup face mask atau
menggunakan alat bag-valve-mask.
3. Eliminasi
Emesis, merangsang penderita supaya muntah pada penderita yang
sadar atau dengan pemberian sirup ipecac 15-30 ml, dapat di ulang setelah
20 menit bila tidak berhasil.Katarsis (intestinal lavage)), dengan
pemberian laksan bila diduga racun telah sampai diusus halus dan usus
besar.
4. Kumbah lambung atau gastric lavage pada penderita yang kesadarannya
menurun atau padapenderita yang tidak kooperatif.Hasil paling efektif bila
kumbah lambung dikerjakan dalam 4 jam setelah keracunan, keramas
rambut dan memandikan seluruh tubuh dengan sabun. Emesis, katarsis
dan kumbah lambung sebaiknya hanya dilakukan bilakeracunan terjadi
kurang 4-6 jam pada koma derajat sedang hingga berat tindakan kumbah
lambung sebaiknya dikerjakan dengan bantuan pemasangan pipa
endoktrakeal berbalon, untuk mencegah aspirasi pnemonia.
5. Antidotum (penawar racun)
Atropin sulfat (SA) bekerja dengan menghambat efek akumulasi akhir
pada tempat penumpukan.
a. Mula-mula diberikan bolus IV 1-2,5 mg.
b. Dilanjutkan dengan 0,5-1 mg setiap 5-10 menit sampai timbul gejala-
gejala atropinisasi (muka merah, mulut kering, takikardi, midriasis,
febris dan psikosis).
c. Kemudian interval doperpanjang setiap 15-30-60 menit selanjutnya
setiap 2-4-6-8 dan 12 jam.
d. Pemberian SA dihentukan minimal setelah 2 x 24 jam. Penghentian
yang mendadak dapat menimbulkan rebound effect berupa edema paru
dan kegagalan pernafasan akut yang sering fatal.
PATHWAY

Makanan Bahan kimia & Gigitan binatang berbisa


(bakteri& non bakteri) obat-obatan

Saluran cerna Sal.pernafasan Kulit

Mual,muntah Pemb.darah Korosi trachea Pemb.darah nyeri lokal


&diare &kemerahan

Defisit Gg. system edema laring Sal.cerna GG.INTEGRITA


Saraf otonom S KULIT
cairan&elektrolit
Obstruksi sal. Mual,muntah
nafas

BERSIHAN Def. cairan


JLN NAFAS
TDK EFEKTIF & elektrolit Hipotensi

Nyeri kepala kelemahan pusat pernafasan


&otot otot,kram,
Opistotonus nafas cepat&dalam GG.POLA NAFAS

GG.RASA Gg. Pergerakan CO2dikeluarkan >>


NYAMAN

Alkalosis respiratorik
INTOLERANSI

AKTIFITAS
2. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Diagnosa Keperawatan
1. (00132) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis.
2. (00032) Pola nafas tidak efektif berhubugan dengan distress
pernafasan.
3. (00002) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan intake tidak adekuat (anoreksia, mual dan
muntah), kesulitan menelan.
4. (00027) Defisit volume cairan berhubungan denganmuntah,
diare.
5. (00085) Hambatan mobilitas fisik berhubungan paralisis,
ketidakmampuan otot berkontraksi.
6. (00092) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
fisik.

c) ASUHAN KEPERAWATAN ARDS (Acute respiratory distress


syndrome) KELOMPOK 3
1. KONSEP MEDIS
 Pengertian ARDS (Acute respiratory distress syndrome)
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan kerusakan
paru total akibat berbagai etiologi. Keadaan ini dapat dipicu oleh berbagai hal,
misalnya sepsis, pneumonia viralatau bakterial, aspirasi isi lambung, trauma
dada, syok yang berkepanjangan, terbakar, embolilemak, tenggelam, transfusi
darah masif, bypass kardiopulmonal, keracunan O2 ,  perdarahan pankreatitis
akut, inhalasi gas beracun, serta konsumsi obat-obatan
tertentu. ADRS merupakan keadaan darurat medis yang dipicu oleh berbagai
proses akut yang  berhubungan langsungataupun tidak langsung dengan
kerusakan paru (Aryanto Suwondo, 2006)
ARDS merupakan perlukaan inflamasi paru yang bersifat akut dan
difus, yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaskular paru,
peningkatan tahanan paru, dan hilangnya jaringan paru yang berisi udara,
dengan hipoksemia dan opasitas bilateral pada pencitraan, yang dihubungkan
dengan peningkatan shunting, peningkatan dead space fisiologis, dan
berkurangnya compliance paru.
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) adalah salah satu
penyakit paru akut yang memerlukan perawatan di Pediatric Intensive Care
Unit (PICU) dan mempunyai angka kematian yang tinggi. Pendekatan dalam
penggunaan model ventilasi mekanis pada pasien ARDS masih kontroversial.
American European Concencus Conference Committee (AECC)
merekomendasikan pembatasan volume tidal dan positive end expiratory
pressure (PEEP) sebagai strategi penanganan ARDS (Tarigan, 2018).
Berdasarkan definisi AECC pada tahun 1994, definisi ARDS
menggunakan derajat hipoksemia untuk menilai derajat keparahan penyakit.
Pada definisi tersebut, rasio PaO2/FiO2 antara 200 dan 300, merujuk pada
diagnosis ALI, sedangkan rasio di bawah 200 merujuk pada ARDS. Definisi
AECC ini mempunyai kekurangan, misalnya tidak adanya spesifikasi untuk
PEEP.The ARDS Task Force mengembangkan definisi ARDS terbaru yang
mengoreksi kekurangan.
 Etiologi
Beberapa kejadian dapat memicu terjadinya ARDS (lihat Tabel 2),
walaupun sepsis dan trauma masih menjadi pemicu utama dalam praktek
sehari-hari.Pengklasifikasian pasien berdasarkan faktor pemicunya masih
diperdebatkan.Namun, karena faktor biokimia dan selular yang menyebabkan
terjadinya ARDS belum dipahami, sedangkan kondisi fisiologis dan histologis
tertentu dapat ditemukan pada pasien dalam kelompok tersebut, maka
pengelompokkan ini dinilai bermanfaat.Kemungkinan untuk terjadinya ARDS
meningkat seiring dengan adanya beberapa faktor risiko, tetapi tidak diketahui
apakah faktor risiko ini berlaku secara independen atau melalui jalur tertentu
yang berujung pada cedera paru(Amin, 2016).
Beberapa referensi membagi faktor risiko ini menjad faktor risiko
langsung dan tidak langsung.Sedangkan Pengklasifikasian ARDS itu sendiri
dibagi menjad dua, berdasarkan etiologi dalam praktik klinis sehari-hari yang
dapat berkembang menjadi ARDS(Amin, 2016)
Tabel 1. Faktor risiko ARDS

Faktor Risiko Langsung Faktor Risiko Tidak Langsung


Pneumonia Sepsis no-pulmonal
Aspirasi isi lambung Trauma mayor
Trauma inhalasi Pankreatitis
Vskulitis paru Luka bakar berat
Kontusio paru Syok non-kardiogenik
Tenggelam Overdosis obat

Tabel 2. Pengklasifikasian ARDS berdasarkan etiologi paling sering


dalam praktik klinis
Kejadian dalam praktik klinis di mana ARDS terjadi pada lebih dari 1%
pasien yang beresiko
Aspirasi isi lambung
Pneumonia yang membutuhkan ruangan intensive care unit
Sepsis yang berat
Trauma multiple
Koagulasi intravascular disseminate (biasanya terjadi disertai dengan kejadian
lainnya)
Kejadian dalam praktik klinis lainnya yang berhubungan dengan ARDS
Hampir tenggelam
Inhalasi asap
Inhalasi gas iritan atau zat toksik
Emboli lemak atau udara
Pankreatitis
Hipertransfusi
Luka bakar termal
Cardiopulmonary bypass
Pemberian obat narkotik
(Amin, 2016)
 Klasifikasi
Kriteria Berlin Mengklasifikasikan ARDS Menjadi Tiga Kelompok
Berdasarkan Nilai Pao2/Fio2.Tidak Ada Istilah Acute Lung Injury (ALI)
Dalam Kriteria Ini. Berikut Merupakan Definisi ARDS Berdasarkan Kriteria
Berlin:
a. Ringan (Mild), Yaitu Pao2/Fio2 Lebih Dari 200 Mmhg, Tetapi Kurang
Dari Dan Sama Dengan 300 Mmhg Dengan Positive-End Expiratory
Pressure (PEEP) Atau Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) ≥5
Cmh2o.
b. Sedang, Yaitu Pao2/Fio2 Lebih Dari 100 Mmhg, Tetapi Kurang Dari
Dan Sama Dengan 200 Mmhg Dengan PEEP ≥5 Cmh2o.
c. Berat, Yaitu Jika Pao2/Fio2 ≤ 100 Mmhg Dengan PEEP ≥5 Cmh2o.
(Ina J chest, 2016)
 Patofisiologi
Proses yang menyebabkan terjadinya cedera paru itu sendiri masih belum
jelas. Pada beberapa model penelitian, paru mengalami inflamasi secara difus,
dengan disertai sel radang yang sebagian besar terdiri dari neutrofil dan
jaringan granulasi.Model ini diduga menjadi dasar patogenesis dari
ARDS.Produksi dari spesies oksigen radikal bebas yang sangat reaktif yang
dihasilkan oleh neutrofil atau oleh makrofag di paru, dapat berperan dalam
menyebabkan ARDS, baik dengan menyebabkan cedera jaringan paru secara
langsung, maupun dengan modifikasi protein, lipid, atau DNA, yang berujung
pada inaktivasi (misalnya menghasilkan α1-proteinase inhibitor) atau
menyebabkan abnormalitas fungsi paru.Sejumlah faktor menyebabkan
terjadinya akumulasi neutrofil di paru.Sitokin, baik yang terdapat di sistemik
maupun paru, yang dihasilkan pada sepsis atau trauma, dapat menjadi faktor
kemotaktik (misalnya IL-8) atau dapat meregulasi endotel dan molekul adhesi
leukosit (misalnya IL-1).Terjadinya ARDS pada pasien dengan neutropenia
atau tanpa adanya peran neutrofil pada model hewan, menandakan bahwa
mekanisme cedera paru yang tidak bergantung neutrofil, juga penting untuk
diperhatikan.Menurunnya aktivitas surfaktan terlihat pada awal onset ARDS,
dan menjelaskan beberapa abnormalitas dalam fisiologi paru.Hilangnya
surfaktan ini disebabkan oleh gangguan pada produksinua oleh pneumosit tipe
II, dan terdapat inhibisi aktivitas surfaktan ini oleh protein plasma(Amin,
2016).
Kerusakan karena inflamasi terjadi di alveoli dan endotel kapiler paru
karena produksi mediator proinflamasi lokal atau yang terdistribusi melalui
arteri pulmonal.Hal ini menyebabkan hilangnya integritas barier alveolar-
kapiler sehingga terjadi transudasi cairan edema yang kaya protein. Sel tipe I
(menyusun 90% epitel alveolar) merupakan jenis sel yang paling mudah
rusak, menyebabkan masuknya cairan ke dalam alveoli dan penurunan
pembersihan cairan dari rongga alveolus. Sedangkan sel tipe II tidak mudah
rusak namun memiliki peran multipel seperti produksi surfaktan, transpor ion,
dan proliferasi dan diferensiasi menjadi sel tipe I setelah trauma.Kerusakan
pada kedua sel ini menyebabkan penurunan produksi surfaktan dan penurunan
komplians(Ina J chest, 2016).
Disfungsi selular dan kerusakan yang terjadi berdampak pada hal-hal sebagai
berikut.
a. Perburukan V/Q matching dengan shunting, yang menyebabkan
terjadinya hipoksia arterial dan gradien A-a yang sangat besar
b. Hipertensi pulmonal
c. Penurunan komplians paru (stiff lungs) dan hiperinflasi alveoli yang
tersisa
d. Gangguan pada proses normal perbaikan paru, yang menyebabkan
fibrosis paru pada stadium lanjut (Amin, 2016).
 Manifestasi klinik
Manifestasi ARDS bervariasi tergantung pada penyakit
predisposisi,derajat injuri paru, dan ada tidaknya disfungi organ lain selain
paru. Gejala yang dikeluhkan berupa sesak napas,membutuhkan usaha lebih
untuk menarik napas,dan hipoksemia. Infiltrat bilateral pada fotopolostoraks
menggambarkan edema pulmonal. Multipleorgan dysfunction syndrome(
MODS) dapat terjadi karena abnormalitas biokimia sistemik. Adult
respiratory distress syndrome terjadi dalam hitungan jam-hari setelah onset
kondisi predisposisi. Batasan waktu ARDS ini adalah satu minggu dari
munculnya onset baru atau dari memburuknya suatu gejala pernafasan (Ina J
chest, 2016)

Gejala klinis ARDS ditandai dengan: timbulnya sesak napas akut yang
berkembang dengan cepat setelah kejadian predisposisi seperti trauma,
sepsis, overdosis obat, transfusi masif, pankreatitis, maupun aspirasi. Pada
sebagain besar kasus faktor predisposisi ARDS jelas didapat, namun pada
beberapa kasus (sepertipada overdosis obat) predisposisis ARDS sulit di
identifikasi. Manifestasi ARDS bervariasi tergantung pada penyakit
predisposisi, derajat injuri paru, dan ada tidaknya disfungsi organ lainnya
(Bruce D,2015).

Menurut (Nurarif & Kusuma, 2016) manifestasi klinik ARDS yaitu:

a. Pirau Intrapulmonal yang nyata


b. Hipoksemia
c. Keregangan paru yang berkurang secara progresif yang berakibat
bertambahnya kerja pernapasan
d. Dispnea serta takipnea yang berat akibat hipoksemia
e. Ronki basah
f. Kapasitas residu berkurang
g. Peningkatan P(A-a)O. Penurunan PaO. Dan penurunan PaCO.
h. Sinar –X dada menunjukan paru yang putih (keputihan) dengan atelektsis
kongestif yang diinfus
i. Gambaran klinis lengkap dapat bermanifestasi 1 sampai 2 hari setelah
cidera(Nurarif & Kusuma, 2016).
 Pemeriksaan Diagnostik

Diagnostic ARDS dapat dibuat berdasarkan pada criteria berikut:


a. Gagal napas akut

b. Infiltrate pulmoner “fluffy” bilateral pada gambaran rongten thoraks

c. Hipoksemia (PaO2 di bawah 50-60 mmHg) meski FcO2 50-60%


(Fraksi oksigen yang dihirup)(Muttaqin , 2014)

Pemeriksaan diagnostik ARDS :


1. Radiografi dada : memperlihatkan difusi interstitial dan infiltrat alveolar.
2. Hasil klasik : paru paru mengalami penampilan “ground glass” dan
difusi “white-out”
3. Tes fungsi paru-paru:
a. Kapasitas vital (VC): < 15 ml/kg; ini mengindikasikan bahwa paru-
paru non compliant
b. Kapasitas fungsional residu (FRC): Penurunan dalam FRC
terdiagnostik
c. Shunting fraction: terjadi pirau besar dari kanan ke kiri (>20% dari
curah jantung)
4. Gas darah arteri: PaO2 <55 mmHg meskipun tegangan oksigen inspirasi
(F1O2) : 50% atau lebih selama 24 jam
5. Pengawasan ditempat tidur: PCWP 3-12 mmHg (dibawah normal)
(Talbot, laura A,1997).
 Penatalaksanaan
Tata laksana awal pasien dengan ARDS fokus pada menyokong
kehidupan pasien sambil mengidentifikasi dan mengobati proses yang dapat
memicu atau memperperburuk kondisi ARDS. Metode diagnostik yang
agresif harus dilakukan pada pasien yang diduga atau diketahui
imunokompromais. Bronkoskopi dapat bermanfaat untuk menentukan adanya
pneumonia Pneumocystis carinii pada pasien yang diduga mempunyai infeksi
AIDS. Biopsi transbronkial dapat dilakukan, tetapi hati-hati dalam
pelaksanaannya karena memberikan risiko komplikasi selama ventilasi
mekanik.Biopsi dengan open-lung dapat membantu, pada pasien dengan
diagnosis yang tidak spesifik, yang telah dilakukan metode diagnostik non-
invasif sebelumnya.
 Oksigenasi dan Teknik Ventilasi
Oksigenasi pada pembuluh darah arteri dan pengangkutan oksigen ke
jaringan perifer merupakan tujuan utama dari terapi suportif
ARDS.Awalnya, diberikan oksigen melalui nasal kanul.Namun, intubasi
trakea dan pemberian ventilasi tekanan positif harus dimulai sesegera
mungkin jika PaO2 tidak dapat dipertahankan dengan tambahan oksigen
saja.Ventilasi dengan volume tidal yang rendah (6 mL/kg volume tidal)
mempunyai angka mortalitas yang lebih rendah dibandingkan dengan
ventilasi dengan volume tidal yang tinggi (12 mL/kg volume tidal).End-
inspiratory plateau pressure dipertahankan pada 25 dan 45 cmH2O.
Strategi ventilasi dengan volume tidal yang rendah, seingkali berakibat
pada hipoventilasi yang menyebabkan peningkatan PCO2 dan menurunnya
pH arteri.Hal tersebut dapat dikatakan masih aman jika pH turun hingga
7.20 selama ventilasi mekanik.Strategi ini dinamakan permissive
hypercapnia” yang dapat ditoleransi dengan baik.Sedasi seringkali
dibutuhkan untuk mengoptimalkan kenyamanan pasien selama teknik ini.
PEEP dengan level dari 10 sampai 15 cmH 2O harus diberikan ketika
ventilasi tekanan positif tidak dapat mempertahankan PaO 2 lebih dari 55
sampai 60 dengan menggunakan FiO2 0,6 atau kurang dari itu. Efek
fisiologis dari PEEP ini adalah sebagai hasil dari:
 Redistribusi aliran darah kapiler, yang memperbaiki keseimbangan
ventilasi-perfusi.
 Perekrutan alveolus yang sebelumnya kolaps, dan mencegah kolaps
kembali selama ekshalasi. Efek dari perubahan ini adalah perbaikan
dari PaO2, yang akan menurunkan FiO2. Perbaikan fungsi karena
PEEP ini membutuhkan waktu sekitar 30 sampai 60 menit, tetapi akan
menurun dengan cepat jika PEEP ini dilepas.
PEEP juga mempunyai efek yang kurang baik. Ketika end-expiratory
pressure meningkat, mean thoracic pressure juga meningkat, sehingga
mempengaruhi aliran darah balik vena. PEEP juga mempunyai efek
terhadap fungsi jantung dengan membatasi pengisian atrium dan ventrikel
selama fase diastolik.
PEEP lebih dinilai sebagai tata laksana yang bermanfaat pada pasien
ARDS. Namun, pemberian PEEP sebagai “profilaksis” tidak efektif untuk
mencegah ARDS.
Untuk mengenali efek tidak diinginkan dari teknik bantuan ventilasi
tersebut, variabel-variabel berikut sebaiknya dilakukan pemantauan.
Variabel tersebut adalah fungsi jantung (pulmonary artery dan pulmonary
artery wedge pressures), total pengangkutan oksigen arteri (saturasi
oksigen, hemoglobin, dan curah jantung), PVO2, dan C[A-V]O2. Level
optimal dari PEEP adalah pada level yang rendah, dengan PaO 2 antara 55
sampai 60 mmHg, dengan curah jantung yang dapat diterima. Peningkatan
PEEP lebih jauh dapat memperbaiki PaO2, tetapi meningkatkan risiko
cedera barotrauma dan mengganggu fungsi jantung(Amin, 2016).
 Dukungan Nutrisi dan Pencegahan Trombosis
Seperti pada pasien lainnya dengan penyakit kritis, dukungan nutrisi
harus diperhatikan.Pencegahan terhadap trombosis vena juga harus
dilakukan.Pemberian sedasi dan muscle paralysis agar mempermudah
pasien dalam penggunaan ventilator dan meningkatkan penggunaan
oksigen.
Jika ada perburukan berupa perubahan status hemodinamik,
peningkatan peak airway pressure, atau penurunan PaO2, hal tersebut
dapat menandakan adanya tension pneumothorax, dan harus segera
mendapat penanganan.Evaluasi dengan foto polos toraks setiap hari dan
pemeriksaan yang sering untuk menilai suara napas yang tidak simetris
harus dilakukan(Amin, 2016).
 Managemen Cairan Intravena
Keseimbangan cairan pada pasien ARDS harus diatur agar negatif atau
netral (jika pasien tidak dalam kondisi syok).Tujuannya adalah menjaga
agar tekanan vena sentral < 4 atau tekanan okluasi arteri pulmonalis <
8.Restriksi cairan pada pasien ARDS dinilai dapat menurunkan tekanan
mikrovaskular paru, untuk mencegah terbentuknya edema paru(Amin,
2016).
 Terapi Farmakologi
Jika curah jantung tidak disertai dengan tekanan pengisian ventrikel
kiri yang rendah tetapi masih memadai, maka ada tempatnya untuk
menggunakan agen farmakologi, seperti agen inotropic, vasodilator, atau
keduanya.Secara umum, strategi unuk mencegah edema paru dengan
membatasi tekanan pengisian ventrikel dinilai lebih bermanfaat, walaupun
keputusannya bersifat individual.
Terapi spesifik untuk ARDS belum tersedia.Terapi untuk memblok
kaskade inflamasi dengan inhibitor siklo-oksigenase atau inhibitor
protease, atau terapi untuk memanipulasi kaskade sitokin dengan anti
tumor necrosis factor atau antagonis reseptor IL-1, tidak bermanfaat
secara klinis.Pemberian precursor glutation dapat bermanfaat pada pasien
dengan cedera paru.
Terapi kortikosteroid dalam tata laksana ARDS masih
kontroversial.Studi sebelumnya mengatakan bahwa terapi kortikosteroid
dosis tinggi tidak dapat mencegah terjadinya ARDS. Beberapa studi
setelahnya mengatakan bahwa terapi kortikosteroid dosis menengah, yakni
0,5 sampai 2,5 mg/kg/hari metilprednisolon dan ekivalennya, yang
diberikan pada fase awal fibroproliferatif ARDS, dapat menurunkan angka
mortalitas dan meningkatkan angka tanpa ventilator selama beberapa hari.
Jika steroid ini digunakan, maka pemberian dilakukan selama 7-10 hari,
dengan tapering off.Bukti untuk penggunaan steroid dalam jangka waktu
yang lama pada fase ARDS yang lebih lanjut, masih mempunyai bukti
yang kurang.
Penggunaan antibiotik jika pasien mempunyai penyakit pencetus
infeksi (pneumonia atau sepsis) sangat penting. Antibiotik empiris sesuai
target infeksi penyerta harus dberikan, setelah dilakukan kultur darah,
sputum, atau urin. Jika tidak ada data infeksi, pemberian antibiotik tidak
direkomendasikan(Amin, 2016).
 Hipoksemia Refrakter
Menurut Pada pasien dengan hipoksemia refrakter dengan FiO2 1 dan
PEEP yang tinggi, terapi penyelamatan oksigenasi harus dilakukan.
a. Sedasi
Pasien yang sulit untuk dilakukan oksigenasi, dapat diberikan
sedasi.Penggunaan sedasi dapat mengurangi ventilator
dyssynchrony.Skor sedasi penting untuk diperhatikan untuk
monitoring pasien ARDS.Skor sedasi yang tevalidasi dan biasa
digunakan adalah dengan skor RASS.
+4: Sangat agresif dan dapat membahayakan staf.
+3: Sangat agitasi, dapat mencopot selang infus atau kateter yang
dipasang.
+2: Sering agitasi, tidak ada gerakan yang tanpa tujuan, tetapi
mencoba melawan pemasangan ventilator.
+1: cemas tetapi gerakannya tidak agresif.
0: waspada dan tenang.
-1: tidak sepenuhnya waspada, tetapi bangun dan bersuara (selama 10
detik atau lebih).
-2: setengah terbangun dengan kontak mata sampai bersuara (kurang
dari 10 detik).
-3: gerakan atau kontak mata sampai bersuara (tetapi tidak ada kontak
mata).
-4: tidak respon terhadap suara, terapi bergerak atau membuka mata
jika ada stimulasi fisik.
-5: tidak berespon dengan suara atau kontak fisik.
b. Oksida nitrat dan prostasiklin inhalasi
Nitrat oksida inhalasi dapat meningkatkan oksigenasi pada
pasien ARDS, namun tidak mempengaruhi mortalitas dan
berhubungan dengan gagal ginjal akut.Terapi ini hanya digunakan
untuk terapi penyelamatan dari hipoksemia refrakter.
c. Oksigenasi membran ekstrakorporeal
Terapi oksigenasi membran ekstrakorporeal di beberapa senter
digunakan pada hipoksemia refrakter.
d. Ventilasi osilator frekuensi tinggi
Terapi ini juga tidak digunakan secara rutin, hanya digunakan
untuk meningkatkan oksigenasi pada hipoksemia refrakter(Amin,
2016).
 Prognosis
Tingkat mortalitas pasien ARDS mencapai 30-40%, walaupun angka
perbaikannya dapat mencapai 90% risiko mortalitas yang dilaporkan.
Mortalitas ini bergantung pada usia, yakni 24% pada usia 15-19 tahun,
tetapi 60% pada usia 85 tahun dan lebih dari itu. Mortalitas ini
berhubungan dengan gagal organ multipel, dengan penyakit pencetusnya,
dibandingkan dengan gangguan dari paru itu sendiri.Individu yang
berhasil mengalami perbaikan dari ARDS, dapat mengalami kondisi yang
baik meskipun terdapat gangguan fisiologis yang berat. Volume paru dan
compliance paru, sering kembali pada level prediksinya dalam 6 sampai
18 bulan. Sesak napas yang terjadi setelah perbaikan harus dicari
penyebabnya, misalnya akibat stenosis trakea. Namun, pasien dengan
gangguan fungsi yang berat selama onset penyakit akut, lebih mungkin
akan mengalami gangguan fungsi paru yang persisten dan penurunan
kualitas hidup yang persisten(Amin, 2016).
 Pemeriksaan Penunjang
a. ABGS/Analisa Gas Darah, leukosit, fungsi ginjal dan hati
b. Pulmonary fungction test
c. Shunt Measurement (QS/QT)
d. Alveolar Arterial Gradient (A-a gradient).
e. Lactic Acid Level
f. Foto thoraks dan CT-scan thoraks(Nurarif & Kusuma, 2016)
 Komplikasi
Salah satu komplikasi ARDS adalah infeksi, hal ini terjadi ketika
pasien berada di RS dan berbaring dalam waktu yang lama, sehingga dapat
meningkatkan kejadian infeksi, seperti pneumonia, selain itu penggunaan
ventilasi mekanik juga dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi paru.
Penggunaan ventilasi mekanik juga dapat menimbulkan komplikasi
pneumothoraks, dimana udara atau gas berkumpul di rongga diantara paru-
paru, sehingga menyebabkan satu atau kedua paru kolaps. Komplikasi lain
penggunaan ventilasi mekanik adalah terjadinya paru kaku (parut), yang
menyebabkan sulitnya paru mengembang dan terisi udara. Saat pasien
berbaring lama dapat meningkatkan risiko terbentuknya sumbatan darah di
vena yang dalam di tubuh, kondisi ini disebut thrombosis vena dalam (deep
vein thrombosis). Thrombosis pada DVT dapat terlepas dan berjalan melalui
aliran darah sehingga menyumbat aliran darah paru, keadaan ini disebut
emboli paru(Aboet & Maskoen, 2018)
2. ASUHAN KEPERAWATAN
a. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan Jalan nafas tidak
adekuat
2.Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penumpukan cairan di alveoli
3.Ketidakefeektifan pola napas berhubungan dengan Hipoksia berat
4.Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake nutrisi tidak adekuat
5.Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot
6.Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan

d) ASUHAN KEPERAWATAN DEKOMPRESI KELOMPOK 4


1. KONSEP MEDIS
 Pengertian
Penyakit dekompresi (Decompression Sickness) merupakan suatu
penyakit yang disebabkan oleh pembentukan dan peningkatan ukuran
gelembung ketika tekanan parsial gas inert dalam darah dan jaringan melebihi
tekanan ambient. (Wahab, 2008 dalam Wijaya et.al 2018) Pembentukan
gelembung udara akan menyumbat aliran darah serta system syaraf sehingga
akan menimbulkan gejala seperti rasa sakit di persendian, sakit kepala, gatal-
gatal, mati rasa (numbness) kelumpuhan (paralysis) bahkan dapat
menyebabkan kematian. (lee, 2013 dalam Wijaya et.al, 2018)
Penyakit dekompresi merupakan kondisi yang terjadi pada saat aliran
darah di dalam tubuh terhambat, dikarenakan perubahan tekanan udara.
Perubahan tekanan ini dapat terjadi akibat penerbangan, menyelam atau hal
lain yang mengakibatkan terjadinya perubahan tekanan udara secara drastic.
Perubahan tekanan udara di luar tubuh yang tiba-tiba dapat menyebabkan
timbulnya gelembung udara di dalam pembuluh darah atau emboli. (Rosyanti
at.al, 2019)
 ETIOLOGI
Ada beberapa factor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
dekompresi pada penyelam itu sendiri: (Jusmawati at.al, 2016)
1. Umur penyelam
Umur saat menyelam sangatlah berpengaruh pada kesehatan
seseorang peselam karena umur merupakan gambaran kesehatan fisik
yang dimiliki manusia.Umur yang masih muda belum siap organ dan
fungsi tubuhnya untuk menerima beban kerja yang berat sehingga sangat
beresiko jika melakukan pekerjaan yang belum sesuai dengan porsinya.
Makintua umur seseorang maka proses perkemangan mentalnya
bertambah baik, akan tetapi pada umur tertentu, bertambahya proses
perkembangan mental ini tidak secepat ketika berumur belasan tahun.
Batasan umur yang ideal untuk melakukan kegiatan penyelam
adalah 16-35 tahun, kurang dari 16 tahun dan lebih dari 35 tahun memiliki
resiko penyelaman lebih tinggi.
2. Kedalam penyelam
Semakin dalam lokasi penyelaman dari permukaan air, maka
semakin besar pula tekanan yang akan diterima. Makin dalam menyelam,
akan mendapatkan tekanan makin besar, berarti mkakin besar
pengaruhnya pada kesehatan peselam. Tubuh manusia yang mendapat
tekanan air di kedalaman akan menyesuaikan dengan tekanan ini. Bila
tubuh tidak dapat menyesuaikan dengan tekanan tersebut maka akan
terjadi squeeze/trauma. squeeze/trauma umumnya dapat terjadi pada
penyelaman 10 meter dan dekompresi dapat terjadi pada penyelaman 12.5
meter.
3. Masa kerja peselam
Semakin lama seseorang bekerja sebagai peselam maka semakin
besar kemungkinan terpapar oleh lingkungan hiperbarik yang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan hingga kelumpuhan (paralysis). Masa
kerja dapat menentukan lamanya paparan seseorang terhadap factor
resiko, semakin lama paparan berdasarkan masa kerja akan semakin besar
kemungkinan seseorang mendapat factor resiko tersebut.
4. Frekuensi naik turun peselam
Makin dalam penyelam, makin tinggi tekanan, makin banyak pula
gas N2 yang larut dalam jaringan tubuh. Sewaktu peselam naik, tekanan
akan berkurang dan terjadi pengeluaran gas N2. Bila peselam naik
perlahan, pengeluaran gas N2 akan melalui paru-paru. Bila peselam naik
terlalu cepat, disamping pengeluaran gas N2 melalui paru, gas N2 juga
keluar di dalam jaringan atau cairan darah dalam bentuk gelembung, maka
terjadilah dekompresi.
5. Penggunaan kompresor sebagai alat bantu nafas
Penyelaman dengan menggunakan kompresor, akan sangat
membahayakan keselamatan nyawa peselam, udara yang dihirup oleh
peselam tergantung kepada kestabilan mesin kompresor yang diatas kapal.
Lama penyelaman menggunakan kompresor banyak tidak teruku, akan
memperbesar kemungkinan peselam terkena dekompresi yang akan
membuat peselam berhalusinasi dan seperti mabuk kemudian tahap
berikutnya akan membuat tidak sadarkan diri. N 2 yang terlalu banyak
terakumulasi di tubuh akan menganggu pasokan O2 ke jaringan otak yang
akan menyebabkan peselam seperti orang mabuk dan berhalusinasi.
 MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi dapat dilihat dari tipe dekompresi, yaitu: (Utama, 2019)
1. Tipe 1 yang bermanifestasi pada musculoskeletal, kulit danlimfatik.
2. Tipe 2 yang bermanifestasi pada kelainan neurologis, kardiorespirasi,
audiovestibular, taravana syndrome divers, kehilangan kesadaran dan
kehilangan fungsi motoric.
 PATOFISIOLOGI
Dekompresi terjasi karena saat menyelam, terjadi peningkatan tekanan,
sehingga udara yang kita hirup (oksigen dan nitrogen) lebih banyak dari
biasanya. Peningkatan oksigen yang dihirup akan berdampak positif bagi
metabolism tubuh, tetapi gas nitrogen tidak digunakan oleh tubuh. Akibatnya,
gas nitrogen akan terakumulasi di dalam tubuh peselam sesuai dengan
proporsi, durasi menyelam dan kedalaman penyelam. Nitrogen yang sudah
terakumulasi didalam tubuh akan dilepas dalam buntuk gelembung udara.
Akibat dari penurunan maupun perubahan tekanan secara drastic karena
tekanan yang tiba-tiba menurun tidak cukup untuk mempertahankan kelarutan
gas sehingga timbul gelembung. Gelembung ini dapat menyebabkan emboli
yang akan menyumbat aliran darah maupun system yaraf tubuh manusia.
(Jusmawati et.al, 2016) Emboli gas adalah gelembung gas yang berjalam di
pembuluh darah, dan bila mencapai pembuluh darah kecil akan menyumbat
pembuluh darah (Rosyanti at.al, 2019)
 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Darah rutin: pada pasien yang datang gejala neurologic yang persisten
dalam beberapa minggu setelah cedera bias didapatkan hematocrit
(Hct) sebanyak 48% atau lebih
b. Analisis gas darah.
c. Menentukan alveolar-arterial gradient pada pasient dengan suspek
emboli.
d. Creatinine Phosphokinase (CPK): peningkatan CPK menunjukkan
kerusakan jaringan yang disebabkan oleh mikroemboli.
2. Pemeriksaan Radiologi (Radiografi, USG Doppler).
3. Elektrokardiogram (EKG) (Jusmawati, 2016)
 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaa untuk Caisson Disease ringan dapat diobati dengan
menghirup O2 100% pada tekanan permukaan, pengobatan terpenting adalah
rekompressi.Bila penderita perlu diangkut ke ruangan rekompresi yang
terdekat atau nasehat dokter hiperbarik, maka bila ada RUBT (Ruangan Udara
Bertekanan Tinggi) portable bertekanan 2 ATA penderita dimasukkan ke
dalam unit ini dan diangkut ke RUBT defenitif. Bila perlengkapan ini tidak
tersedia maka penderita di beri O2 100% pada tekanan 1 ATA dengan masker
tertutup rapat, diselingi tiap 30 menit bernafas secara 5 menit dengan udara
biasa untuk menghirup O2. Ini akan mempercepat pelepasan N2 yang
berlebihan dari dalam tubuh sehingga sering kali mengurangi gejala-gejala
untuk sementara waktu. Bila nampak gejala serius maka dipasang infus
larutan garam isotonic atau ringer dan untuk penderita kasus ringan di beri
banyak minum sampai urin berwarna putih dan jumlahnya banyak bila perlu
dipasang kateter dan pleurosentesis.Untuk mencegah decubitus, bagian yang
lumpuh degerakkan pasif secara teratur. (Jusmawati, 2016)

Penderita secepat mungkin diangkut ke fasilitas RUBT.Pada


pengangkutan, baik melalui darat maupun udara, ketinggian yang dilintasi
jagan melebihi 300 meter. Tiba di RUBT maka rekompresi dengan O 2 100%
dengan tekanan paling sebikit 18 meter (2,8 ATA) adalah pemilihan utama
pada banyak pasien CD. Bila sudah 10 menit penderita belum sembuh
sempurna maka terapi diperpanjang sampai 100 menit dengan diselingi 20
menit bernafas selama 5 menit dengan udara biasa. Setelah ini dilakukan
dekompresi dari 18 meter ke 19 meter selama 30 menit dan mengobservasi
penderita kemungkinan terjadinya deteriorasi.Selanjutnya penderita dinaikkan
ke permukaan selama 30 menit.Seluruh waktu pengobatan dapat berlangsung
selama kurang dari 5 jam. Rekompresi diameter gelembung sesuai hokum
Boyle dan ini akan menghilangkan rasa sakit dan mengurangi kerusakan
jaringn. Selanjutnya gelembung larut kembali dalam plasma sesuai hokum
Henrty.O2 yang digunakan dalam terapi mempercepat sampai 10 kali
pelarutan gelembung dan mambantu oksigenasi jaringan yang rusak dan
iskemik. (Jusmawati, 2016)

Dalam kasus darurat yang jauh dari fasilitas RUBT dapat dilakukan
rekompresi di dalam air untuk mengobati CD langsung di tempat. Walaupun
dapat dan telah dilakukan, mengenakan kembali alat selam dan menurunkan
penyelam di dalam air untuk rekompresi, namun cara ini tdak dapat
dibenarkan. Kesukaran yang dihadapi adalah penderit tidak dapat menolong
dirinya sendiri, tidak dapat dilakukan intervensi medic bila ia memburuk dan
terbatas suplai gas. (Jusmawati, 2016)

Oleh karenannya usaha mengatasi CD seringkali tidak berhasil dan


malahan beberapa penderita lebih memburuk keadaannya.Cara rekompresi
dibawa air dikembangkan di Australia oleh Edmunds.Penderita selalu
didampingi oleh seorang pengawas media, dilengkapi pakaian pelindung.Full
face mask dan helm dengan suplai O2 murni yang cukup banyak untuk
penderita dan suplai udara untuk pengawasan yang disalurkan deri
permukaan, sehingga memungkinkan rekompresi pada kedalaman maksimum
9 meter selama 30-60 menit. Kecepatan naik adalah 1 meter tiap 12 menit, dan
bila gejalanya kambuh, tetaplah berada di kedalama tersebut selama 30 menit
sebelum meneruskan naik ke permukaan, penderita diberi O2 selama 1 jam,
kemudan bernafas dengan udara selama 1 menit, demikian seterusnya hingga
12 jam. (Jusmawati, 2016)

 ASUHAN KEPERAWATAN
a. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hipotensi berhubungan dengan vasodilatasi pembuluh darah.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan gangguan
neuromuscular
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik
5. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya Informasi

C. MATERI PAK NURDIN


A. Konsep keperawatan kritis
Perawatan kritis fokus pasien yang tidak stabil (mengancam nyawa).
Perawat kritis adalah perawat profesional yang resmi yang bertanggung jawab
untuk memastikan pasien kritis dan keluarga pasien mendapatkan kepedulian
optimal (AACN, 2006, AACN, 2012.
Attention perawat ialah “waktu adalah vital”. Keperawatan kritis satu
diantara spesialisasi di bidang keperawatan Makna perawatan kritis penilaian
dan evaluasi secara cermat dan hati-hati terhadap suatu kondisi krusial dalam
rangka mencari solusi dari kondisi pasien. Pelayanan askep kritis harus
berkualitas tinggi dan komprehensif serta proses pengambilan keputusan yg
didasarkan pemahaman yang holistik. Semakin kritis sakit pasien, semakin
besar kemungkinan untuk menjadi sangat rentan, tidak stabil dan kompleks,
membutuhkan terapi yang intensif dan asuhan keperawatan yang teliti
(Nurhadi, 2014).
B. Prinsip keperawatan kritis
- INTENSIF: Proses perawatn dilakuakn secara continue dengan tetap
memantau perubahan/respon pasien.
- KOMPREHENSIF DAN HOLISTIK: Proses perawatan secara holistiK
meliputi seluruh aspek pada asuhan keperawatan dan pelayanan kesehatan
tingkat tinggi.
- TRANFER: Pasein yang berasal dari IGD/UGD yang telah mendapatkan
pertolongan awal dengan tindakan resutasi dan stabilisasi pasien
C. Peran dan fungsi perawat kritis
- Pemberi asuhan Memberi asuhan keperawatan pada pasien dengan
kondisi kritis.
- Pembuat keputusan Menilai/Membuat keputusan berdasarkan data dan
tanda gejala atau perubahan/respon pasien
- Manager khusus Mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi
pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sesuai dengan kebutuhan klien
- Advokat pasien Melindungi hak pasien dan keluarga baik secara tanggung
gugat dan tanggung jawab
- Educator Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam
meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan.
- Kolaborator Kerjasama dgn profesi lain dengan tujuan mencari solusi dari
kondisi pasien
- Konsultan Tempat konsultasi dengan mengadakan perencanaan,
kerjasama, perubahan yang sistematis & terarah sesuai dengan metode
pemberian pelayanan keperawatan.
- pembaharu Mengadakan perencanaan, kerjasama, perubahan yang
sistematis & terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan
keperawatan
- Menghormati dan mendukung hak pasien atau pengganti pasien yang
ditunjuk untuk pengambilan keputusan otonom
- Ikut membantu pasien/ keluarga ketika dibutuhkan demi kepentingan
pasien..
- Membantu pasien mendapatkan perawatan yang diperlukan
- Melakukan bimbingan spriritual untuk dan keluarga dalam situasi yang
memerlukan tindakan segera
- Menghormati nilai-nilai, keyakinan dan hak-hak pasien
- Menyediakan pendidikan dan dukungan untuk membantu pasien atau
keluarga dalam membuat keputusan
- Mendukung keputusan dari pasien atau keluarga yang tentang pelayanan
keperawatan
- Memantau dan menjaga kualitas perawatan pasien
D. Konsep isu end of life pada kep kritis dan efek kondisi kritis pada pasien dan
keluarga
a. Definisi end of life
End of life merupakan salah satu tindakan yang membantu
meningkatkan kenyamanan seseorang yang mendekati akhir hidup
(Ichikyo, 2016). End of life care adalah perawatan yang diberikan
kepada orang-orang yang berada di bulan atau tahun terakhir
kehidupan mereka (NHS Choice, 2015) Perawatan end of life
merupakan perawatan yg bertujuan utk meningkatkan kualitas hidup
pasien dan keluarga dgn membantu mengatasi masalah penderitaan
fisik, psikologis, sosial dan spiritual pada pasien yg tidak lagi
responsif thd tindakan kuratif.
b. Menurut NSW Health (2005) prinsip end of life care
- Menghargai kehidupan dan perawatan dalam kematian
- Hak untuk mengetahui dan memilih
- Menahan dan menghentikan pengobatan dalam mempertahankan hidup
- Sebuah pendekatan kolaboratif dalam perawatan
- Transparansi dan akuntabilitas
- Perawatan non diskriminatif
- Hak dan kewajiban tenaga kesehatan
- Perbaikan terus-menerus
c. Tahapan perawatan end of life
1) Tahap 1
a. Perawat mengenali tanda kematian baik klinis dan
biologis.
b. Mendorong dokter untuk mengkomunikasikan dan
mendiskusikap dengan keluarga tentang tindakan
penghentian dukungan hidup dan peyampaian berita
buruk
2) Tahap 2
a. Merencanakan pertemuan dengan keluarga untuk
membantu keluarga membuat keputusan sendiri dan
siap menghadapi tindakan penghentian dukungan hidup
pasien
3) Tahap 3
a. Ketika keluarga telah menentukan keputusan untuk
penghentian dukungan hidup dimana pasien dan
keluarga butuh waktu untuk bersama
d. Dampak perawatan end of life
1) Perawat mengalami kecemasan dan depresi
2) Perawat merasa tidak berdaya, marah, frustasi, dan sedih
3) Perawat merasa simpati dan kasihan kepada pasien
4) Perawat merasakan kesulitan dan gangguan emosional
5) Perawat juga mengalami distres
e. Efek kondisi kritis pada pasien
1) Stress : muncul apabila pasien dihadapkan dengan stimulus yang
menyebabkan ketidakseimbangan antara fungsi fisiologis dan
psikologis
2) Kecemasan : perasaan terisolasi dan perasaan kesepian
3) Respon thd stress :
- Stress
- Perilaku efektif
- Perilaku tidak efektif
- Peningkatan ketegangan
- Peningkatan kebutuhan energy
- Perilaku efektif
- Penurunan keadaan tegang
- Melepas energy
4) Kecemasan terjadi saat seseorang mengalami hal-hal
- Ancaman ketidakberdayaan
- Kehilangan kendali
- Merasa kehilangan fungsi dan harga diri
- Pernah mengalami kegagalan pertahanan
- Rasa isolasi
- Rasa takut sekarat
5) Respon terhadap kecemasan
- Respon fisiologis : frekuensi nadi cepat, peningkatan
tekanan darah, peningkatan pernafasan, dilatasi pupil,
mulut kering, dan vasokontriksi perifer dapat tidak
terdeteksi
- Respon sosiopsikologis : respon perilaku yang menandakan
kecemasan sering kali didasari oleh sikap keluarga dan
budaya
6) Peran perawat
 Menciptakan lingkungan yang menyembuhkan
 Menumbuhkan rasa percaya
 Memberikan informasi
 Memberikan kendali
 Kepekaan budaya
 Kehadiran dan penenangan
 Teknik kognitif
7) Efek kondisi kritis pada keluarga
 Stres (stressor: fisiologis (trauma, biokimia, atau
lingkungan), psikologis (emosional, pekerjaan, sosial, atau
budaya)
 Rasa takut dan kecemasan
 Peralihan tanggung jawab
 Masalah keuangan
 Tidak adanya peran sosial
E. Gagal jantung kongestif
a. Anatomi fisiologi
 Sistem pompa kanan (Right Pump System).
Komponen sistem: Atrium kanan, Katup trikuspidalis,
Ventrikel Kanan, vena dan arteri pulmonalis, dan Katup
Pulmonalis (sirkulasi Paru).
 Sistem Pompa Kiri (left Pump System)
Komponen sistem: Atrium Kiri, katup Biskupidalis,
Ventrikel kiri, katup Aorta dan Pembuluh darah Aorta
(Sirkulasi Sistemik).
b. Gagal jantung kongestif
Gagal jantung kongestif adalah kegagalan kerja jantung dalam proses
pemompaan darah untuk mensuplai kebutuhan sel-sel tubuh berupa
nutrisi dan oksigen yang memadai.
Dampak : terjadi proses dilatasi ruang jantung yang bertujuan untuk
menampung lebih banyak darah yang akan dipompa ke seluruh tubuh,
sehingga menyebabkan otot jantung menjadi tebal dan spasme.
c. Etiologi
 Gangguan fungsi jantung
 Penyakit jantung miokardium : kardiomiopati,
miokarditis, insufisiensi koroner, infark
miokardium
 Penyakit katup jantung: penyakit katub stenosis &
regurgitasi
 Defek jantung kongenital
 Perikarditis konstriktif
 Kebutuhan Kerja yg berlebihan
 Peningkatan kerja tekanan : hipertensi sistemik,
hipertensi pulmonal
 Peningkatan kerja perfusi : tirotoksikosis
(peningkatan toksik di tiroid).
d. Fatofisiologi
 Fase 1 (kerusakan miokardium)
Disebabkan kurangnya sel miosit, sebagian atau
menyeluruh yang mengakibatkan gagal fungsi ventrikel,
hasil dan tahapan ini adalahberkurangnya stroke volume.
 Fase 2 (Kompensasi)
Proses mekanisme adaptif berlangsung untuk
mempertahankan curah jantung yang adekuat utuk
mencapai kebutuhan tubuh hipertrofi ventrikel, kerusakan
sel miosit, tahanan arteriol meningkat, mengngkat volume
vaskuler, dan meninkatkan stress otot ventrikel sebagai
usaha mempertahankan CO adekuat.
 Fase 3 (Sindrom Gagal Jantung)
Beban himodinamik (Overload Volume Vaskuler) terjadi,
dan perubahan respon neurohormonal : peningkatan
afterload, edema paru, ronchi, distensi vena, vena jugularis,
nyeri dada, dingin, pucat, sianosis, diguria (urin < 400
cc/hari), BB meningkat kelelahan.
e. Manifestasi Klinis
Tanda :
Khas :
- Dyspnea / sesak napas
- Batuk pada malam hari (biasanya 1-3 jam setelah pasien
istirahat) dan sesak nafas akut
- Intoleransi aktivitas
- Letih, lelah dan istirahat lebih banyak setelah istirahat.
- Bengkak/ edema ekstermitas
- Sulit bernapas ketika berbaring terlentang / ortopnea.
Kurang Khas :
- Batuk malam hari
- Bunyi napas mengi
- Meningkatnya BB > 2Kg per minggu
- Menurunnya BB (pada gagal jantung tahap lanjut).
- Merasa kembung
- Nafsu makan berkurang
- Orientasi bingung (pada usia lanjut)
- Merasa depresi
- Berdebar – debar / palpitasi
- Sincope / pingsan
Gejala :
Khas :
- Meningkat JVP
- Refluks hepatojugular
- Bunyi Gallon (Jantung s3)
- Pergeseran implus apical ke lateral
- Bising pada jantung
Kurang Spesifik
- Bengkak/ edema pada ekstermitas dan skrotum
- Ronchi basa
- Penumpukkan cairan/ efusi pleura
- Frekuensi denyutjantung meningkat/ takikardia
- Denyut nadi irregular
- Frekuensi napas meningkat/ takpineu (>16 x/menit)
- Pembesaran hepar
- Penimbunan cairan dalam rongga perut/ asites
- Kaheksia
f. Penatalaksanaan
1. Tindakan penatalaksanaan dasar penyebab
Terapi fibrinolitik : utk memecahkan trombus atau gumpalan darah
PCI (Percutaneus Coronary Intervention) : melancarkan p.darah dgn
pemasangan stent
Revaskularisasi arteri koroner : Bypass (CABG)
Repair atau replacement katup jantung
2. Manajemen Overload Volume Cairan
3. Dilakukan dgn terapi diuretik (furosemid atau enis loop
diuretik, yg direkom), membatasi intake sodium dan cairan.
Retriksi sodium dan cairan hrs dibatasi dan dimonitor jumlahnya.
Sodium tdk lebih 2 gr/hari dan air tdk lebih 1500ml/24 jam
4. Meningkatkan fungsi ventrikel kiri
Strategi manajemen:
- Menurunkan preload (lihat manajemen overload volume
cairan)
- Menurunkan afterload dgn terapi farmakologi : ACE inhibitor
dan vasodilator
- Utk meningkatkan kontraktilitas miokard: ACE inhibitor dpt
mjd pilihan pertama, bersama digoksin
- Pilihan relative : beta bloker diberikan, tetapi hati2 pd ps gg
pernapasan serius
5. Pendidikan pasien dan keluarga
- Keterlibatan keluarga selama fase kritis, membantu ADL
pasien di tempat tidur, ke kamar mandi. Keluarga perlu tahu bahwa ps
cepat lelah selama fase akut.
- Dukung secara verbal pd ps dan keluarga ttg ketakutan yg
dirasakan berhub dgn perubahan adaptasi selama fase akut

g. Pemeriksaan Diagnostik
- EKG 12 sandapan
- Radiografi dada (chest x ray): kardiomegali, cardiothoracic
ratio > 50%.
- Ekokardiografi : dilatasi ventrikel kiri, kanan, atrium kanan;
hipertrofi ventrikel kiri, katup alveolar tidak kompeten;
- Ventrikulografi Radionuklida : gerakan dinding jantung
abnormal, dilatasi ventrikel, kardiomegali, disfungsi ventrikel kanan.
- Hitung darah lengkap : Sel darah merah (anemia),
hiponatremia, hipokalemia.
- Urinalisis : menilai fungsi ginjal (proteinuria, albumin rendah,
peningkatan BUN dan kreatinin).
- Pemantauan hemodinamika : PAP meningkat, CI < 2 L/menit.
h. Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan curah jantung b.d gangguan preload, afterload,
kontraklitas dan distrimia.
2. Kelebihan volume cairan b.d penurunan glemeluro filtrasi rate :
penurunan perfusi jaringan
3. Gangguan disfungsi gas b.d peningkatan permeabilitas kapiler
alveolus
4. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen tubuh.
F. Proses keperawatan kritis
1) Definisi
Proses keperawatan memberikan suatu pendekatan yg sistematis,
dimana perawat kep kritis dpt mengevaluasi masalah ps dengan cepat.
Proses keperawatan kritis sama dengan proses yang digunakan pada
bidang ilmu di keperawatan lainnya Proses keperawatan kritis umumnya
menggunakan pendekatan secara sistem yg meliputi askep bio-psiko-
sosio-kultural-spiritual.
Proses keperawatan terdiri atas:
 Penkajian
 Diagnosa keperawatan
 Intervensi
 Implementasi
 Evaluasi
2) Pengkajian
 Umumnya pendekatan secara sistem yg meliputi askep bio-psiko-
sosio-kultural-spiritual.
 Pasein telah terpasang alat2 bantu mekanik spt alat bantu napas,
hemodialisa, maka pengkajian diarahkan pada hal2 yg lebih
khusus yakni terapi dan dampak dari penggunaan alat
 Pengkajian meliputi proses pengumpulan data, validasi data,
menginterpretasikan data dan memformulasikan masalah sesuai
hasil analisa data
 Pada situasi kritis, data subjektif lebih sedikit didapat
dibandingkan data objektif, karena wawancara tidak dominan
memperoleh data.
 Data objektif sering dan representatif digunakan sbg data
pengkajian di unit keperawatan intensif dgn tidak mengabaikan
respon subjektif yg ada.
 Pengkajian awal: di UGD
 Pengkajian dasar : menerapkan tindakan review of sistem,
misalnya pengkajian neurologis, karviovaskular. Aspek yg dilihat
direpresentasikan ke sistem
 Pengkajian terus menerus (intens)
 Pengkajian khusus : pengkajian mesin2 pendukung kehidupan, spt
titrasi obat, HD, dll.
3) Diagnosa keperawatan
 Diagnosa keperwatan ditegakkan untuk mencari perbedaan serta
mencari tanda gejala yg sulit diketahui utk mencegah kerusakan/gg
yg lebih luas. .
 Diagnosa keperawatan berdasarkan data yg menyimpang dari
keadaan fisiologis, mengutamakan diagnosa aktual, risiko, dan
syndrome diagnostik.
 Kriteria hasil ditetapkan berdasarkan pada kebutuhan klien yg
dapat diukur dan realistis
 Prioritas masalah dibuat berdasarkan mengancaman nyawa,
seperti Penurunan curah jantung, bersihan jalan napas tdk
efektif dan lain-lain.
 Diagnosa keperawatan dibuat untuk meningkatkan
keamanan/kenyamanan, seperti risiko ketidakseimbangan
cairan, risiko infeksi
 Diagnosa syndrome kumpulan diagnosa keperwatan yg
dominan menghasilkan dx baru, seperti defisit perawatan
diri.
4) Intervensi dan implementasi
 Unsur
 Observasi/monitoring
 Terapi keperawatan
 Pendidikan
 Terapi kolaboratif
 Prioritas
Perencanaan tindakan diprioritaskan dgn melihat keterampilan
perawat, fasilitas, kebijakan, dan standar operasional prosedur
 Implementasi
 Tindakan keperawatan dpt dalam bentuk observasi,
tindakan prosedur tertentu, tindakan kolaboratif, dan
pendidikan kesehatan.
 Dalam tindakan perlu ada pengawasan terus menerus
terhadap kondisi klien termasuk perilaku.
5) Evaluasi
Merupakan proses penentuan perbaikan kondisi pasien thd pencapaian
hasil yg diharapkan
 Evaluasi progres: dilakukan terus menerus, untuk menilai
keberhasilan suatu tindakan. Perbaikan masalah langsung
dilakukan saat itu juga.
 Evaluasi intermitten: memiliki batas waktu dan indikator,
pelaporan dilakukan di akhir shift merupakan kesimpulan dari
evaluasi progres
 Evaluasi terminal: dilakukan pada saat pasien hendak dipindahkan
ke ruang, dirujuk, atau dipulangkan
G. Asuhan keperawatan kritis syok
1) Apa itu syok
Suatu respon sistematik terhadap kondisi sakit dan suatu kumpulan gejala
yang mengakibatkan perfusi jaringan tidak adekuat dan suplai oksigen
menurun di tingkat seluler sehingga menimbulkan hipoksia. seluler
(Ningsih, 2015) Syok terjadi karena adanya penurunan volume darah
(syok hipovolemi), penurunan fungsi pompa jantung (syok kardiogenik),
penurunan tahanan vascular perifer (syok distributif) dan penurunan suplai
darah ke organ penting tubuh seperti jantung dan paru-paru (syok
obstruktif).
(Ningsih, 2015)
2) Jenis syok berdasarkan penyebab
a. Syok kardiogenik
merupakan suatu kondisi dimana jantung mengalami gangguan secara
mendadak, sehingga darah yang dibutuhkan oleh tubuh tidak
mencukupi. Kondisi ini merupakan serangan jantung yang
membutuhkan pengobatan segera (Hochman, 2013).
 Etiologi
 Gangguan jantung kiri
 Disfungsi sistolik : berkurangnya kontraktilitas miokard, infark
miokard akut, hipoksemia global, penyakit katup, dll.
 Disfungsi diastolik : meningkatnya kekakuan ruang ventrikel
kiri, terjadi pada tahap lanjut syok hipovolemik dan syok
septik, penyebab lainnya iskemik, hipertrofi ventrikel,
kardiomiopati restriktif, kompresi eksternal akibat tamponade
jantung.
 Peningkatan afterload yang terlalu besar: terjadi pada stenosis
aorta, kardiomiopati hipertrofi, koartkasio aorta, hipertensi
maligna.
 Abnormalitas katup dan struktur jantung.
 Menurunnya kontraktilitas jantung
 Gangguan jantung kanan
Terjadi karena peningkatan aftreload yang terlalu besar
misalnya emboli paru, penyakit pembuluh darah paru (hipertensi
arteri pumonalis dan penyakit oklusif vena), vasokontriksi
pulmonal hipoksik, tekanan puncak akhir ekspirasi, fibrosis
pulmonaris, kelainan pernapasan saat tidur, PPOK, dan aritmia
b. Syok hipovelemik
 Suatu keadaan tubuh yang mengalami kehilangan volume cairan
dalam jumlah yang besar (Ningsih, 2015).
 Jenis syok ini menyebabkan gangguan hemodinamik akibat dari
tidak adekuatnya hantaran oksigen dan perfusi jaringan
(Hardisman, 2013; Jones, 2016).
 Penurunan perfusi jaringan yang terjadi di sini tidak hanya pada
jaringan perifer namun juga perfusi jaringan ke organ vital yang
lebih lanjut dapat menyebabkan perubahan metabolisme aerob
menjadi anaerob sehingga terjadi akumulasi asam laktat dan terjadi
asidosis metabolik (Dewi & Sri, 2010; Ningsih, 2015).
 Penyebab lain
 Dehidrasi
 Drainase GI yang berlebihan (diare)
 Asites
 Diabetes insipidus
 Drainase luka yang berlebihan
 Gagal ginjal akut (fase output yang tinggi)
 Kehilangan cairan dari kulit
 Kondisi diuresis osmotik sekunder akibat dari hiperosmolar (DKA,
HHNS)
c. Syok distributif (vasogenik)
 Adalah kondisi distributif volume darah intravaskuler yang tidak
normal sebagai akibat dari penurunan fungsi saraf simpatis,
akumulasi darah pada vena dan kapiler serta peningkatan
permeabilitas kapiler (Ningsih, 2015).
 Syok distributif dapat disebabkan oleh kehilangan tonus simpatis
atau oleh pelepasan mediator kimia ke dari sel-sel
 Kondisi-kondisi penyebab resiko syok distributive
 syok neurogenik seperti cedera medulla spinallis, anestesi spinal.
 syok anafilaktik seperti sensitivitas terhadap penisillin, reaksi
tranfusi, alergi sengatan lebah.
 syok septik seperti imunosupresif, usia yang ekstrim yaitu >1th
dan <65tahun, malnutrisi
d. pengkajian berdasarkan manifestasi klinis
 INITIAL STAGE
 HR dan TD diastolic sedikit meningkat
 Tidak ada tanda dan gejala khusus lain yang ditampilkan karena
perubahan pada sel sedang berlangsung
 Compensatory stage
 Gelisah
 Agitasi
 Bingung
 TD: normal atau sedikit rendah
 HR: meningkat
 RR: meningkat (>20x/menit)
 Kulit dingin, pucat, mungkin sianosis.
 Nadi perifer: lemah
 output urine: kental dan kurang (<30 cc/jam).
 Bising usus: hipoaktif, mungkin distensi abdomen.
 Data laboratorium: glukosa meningkat, natrium meningkat, pH
meningkat, Pao2 menurun, PaCO2 menurun.
 Progessive stage
 Menyediakan pendidikan dan dukungan untuk membantu pasien
atau mengganti pasien yang ditunjuk membuat keputusan.
 Mewakili pasien sesuai dengan pilihan pasien.
 Mendukung keputusan dari pasien atau menganti yang di tunjuk,
atau perawatan transfer pasien kritis sama-samaberkualitas.
 Berdoa bagi pasien yang tidak dapat berbicara untuk mereka
sendiri.
 Memantau dan menjaga kualitas perawatan pasien.
 Bertindak sebagai penghubung antara pasien, keluarga, dan
professional kesehatan lainya
e. Prinsip-prinsip manajemen syok
H. Tujuan dasar

 membutuhkan ketepatan identifikasi penyebab terjadinya syok

 meningkatkan oksigenasi

 mengembalikan perfusi jaringan yang adekuat

 mengoreksi penyebab dasar stress


 Kardiogenik: menghilangkan penyebab obstruksi koroner jika ada
dan memperbaiki aliran darah
 Hipovolemik: mengidentifikasi sumber dan menghentikan
perdarahan jika mungkin, koreksi cairan dengan menyiapkan jalur
intravena dan terapi cairan dan elektrolit dengan tepat
 Distributif
 Anafilaktif : intubasi untuk oksigenasi dan penatalaksanaan
reaksi alergi sebagai penyebab dasar menggunakan
antidotum atau terapi dengan steroid
 Septik : terapi antibiotik dan mengendalikan infeksi
jaringan (infeski usus, infeksi alat misalnya arteri line atau
venous line)
 Neurogenik : menghilangkan penyebab pada medula
spinalis mungkin irreversible, bagaimanapun intubasi
menyediakan dukungan oksigen yang adekuat sambil
mengidentifikasi dan mengatasi penyebab.
 Improve Oxygenation
 Pengkajian kepatenan jalan napas dan lakukan intubasi jika
memerlukan
 Berikan oksigen 100% atau sampai PaO2 adekuat (>60-70
mmHg)
 Restore adequatte perfusion
 Berikan cairan normal salin (Ringer Lactac, NaCl 0,9%)
dalam jumlah besar secara cepat atau bolus.
 Mulai memberikan terapi obat vasoaktif
 Diagnosa keperawatan
- Diagnosa syok kardiogenik
 Penurunan curah jantung b/d kontraktilitas, preload,
disritmia
 Ketidakefektifan perfusi jaringan b/d hipovolemia,
gangguan aliran arteri atau vena, ketidak
seimbangan ventilasi aliran darah
- Diagnosa syok hipovolemik
 Hipovolemia b/d kehilangan cairan aktif, kegagalan
mekanisme regulasi, peningkatan permeabilitas
kapiler, intake cairan menurun, evaporasi
 Penurunan curah jantung b/d preload
 Ketidakefektifan perfusi jaringan b/d hipovolemia,
gangguan aliran arteri atau vena, ketidak
seimbangan ventilasi aliran darah
- Diagnosa syok distributif
 Penurunan curah jantung b/d afterload
 Ketidakefektifan perfusi jaringan b/d hipovolemia,
gangguan aliran arteri atau vena,ketidak
seimbangan ventilasi aliran darah

I. TUGAS PAK NURDIN


1. Infark miokardium
1) Konsep medis
a. Definisi
Arterosklerotik adalah suatu penyakit pada arter-arteri besar
dan sedang dimana lesi lemak yang disebut plak ateromatosa timbul
pada permukaan dalam dinding areteri sehingga mempersempit
bahkan menyumbat suplai aliran darah ke arteri bagian distal ( Amin
& Hardi, 2015 ). InfarkMiokard adalah kematian sel-sel miokardium
yang terjadi akibat kekurangan oksigen berkepanjangan. Suplai
oksigen dibutuhkan sel-sel miokardium untuk menghasilkan ATP
yang dapat memenuhi kebutuhan energinya (Corwin, 2009).
Infarkmiokardium dikenal sebagai serangan jantung, oklusikoroner,
yang merupakan kondisi mengancam jiwa yang ditandai dengan
pembentukan area nekrotiklokal di dalam miokardium. Apabila terjadi
pembentukan area nekrotik pada miokardium, maka aliran darah
kejantung tidak optimal sehingga pemenuhan kebutuhan oksigen
mengalami penurunan (Black & Hawks, 2014).Penatalaksanaan yang
dapat dilakukan diantaranya adalah mengurangi beban kerja jantung,
meningkatkan curah dan kontraktilitas jantung, dengan cara
melakukan mobilisasi dini ( setelah Bedrest 12 jam). Selain itu
mobilisasi diperlukan untuk mencegah dan membatasi kecemasan/
depresi, mencegah trombo emboli, menurunkan angka morbiditas,
serta memperbaiki fungsonal kardiavaskuler dan mengurangi tingkat
kekambuhan pada pasien Infrak Miokard Akut (IMA) (Tedjasukmana,
2010 dalam Anis 2016).
b. Etiologi
Menurut Black dan Hawks (2014) penyebab Infarkmiokardium
ada duafaktor, faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain
karakteristikplak, seperti ukuran dan konsistensi dari inti lipid serta
kondisi bagaimana plakter sebut terpapar, seperti status koagulasi dan
derajat vasokonstriksiarteri. Faktor eksternal berasal dari aktivitas
pasien atau kondisi eksternal yang memengaruhi pasien. Aktivitas fisik
berat dan stress emosional berat, seperti kemarahan, serta peningkatan
respon system saraf simpatis dapat menyebabkan ruptureplak. Pada
waktu yang sama, response sitem saraf simpatis akan meningkatkan
kebutuhan oksigen miokardium. Peneliti telah melaporkan bahwa
factor eksternal, seperti paparan dingin dan waktu tertentu seperti pagi
hari, juga dapat memengaruhi ruptureplak. Peneliti memperkirakan
bahwa peningkatan respon system saraf simpatis yang tiba- tiba dan
berhubungan dengan faktor- factor ini dapat berperan terhadap
ruptureplak.
c. Faktor Penyebab
Suplai oksigen ke miocard berkurang yang disebabkan oleh 3 faktor :
a. Faktor pembuluh darah :
- Aterosklerosis
- Spasme
- Arteritis
b. Faktor sirkulasi :
- Hipotensi
- Stenosos aurta
- Insufisiensi
c. Faktor darah :
- Anemia
- Hipoksemia
- Polisitemia
Curah jantung yang meningkat :
a. Aktifitas berlebihan
b. Emosi
c. Makan terlalu banyak
d. Hypertiroidisme
Kebutuhan oksigen miocard meningkat pada :
a. Kerusakan miocard
b. Hypertropimiocard
c. Hypertensi diastolic
Faktor Predisposisi :
1. Faktor resiko biologis yang tidak dapat diubah :
a. Usia lebih dari 40 tahun
b. Jenis kelamin : insiden pada pria tinggi, sedangkan pada wanita
meningkat setelah menopause
c. Hereditas
d. Ras : lebih tinggi insiden pada kulit hitam
2. Faktor resiko yang dapat diubah :
a. Mayor :
- Hiperlipidemia
- Hipertensi
- Merokok
- Diabetes
- Obesitas
- Diet tinggi lemak jenuh, kalori
b. Minor :
- Inaktifitas fisik
- Pola kepribadian tipe A ( emosional, agresif, ambisius,
kompetitif )
- Stress psikologis berlebihan
D. Faktor Resiko

Faktor resiko penyakit arteri koroner antara lain (Suddarth, 2014) :


1) Perokok
Merokok merupakan factor risiko pasti pada pria, dan konsumsi
rokok mungkin merupakan penyebab peningkatan insiden dan keparahan
atherosclerosis pada wanita (Kumar,2015). Efek rokok adalah menyebabkan
beban miokard bertambah karena rangsangan oleh katekolamin dan
menurunnya konsumsi O2 akibat inhalasi CO atau dengan perkataan lain
dapat menyebabkan takikardi, vasokonstrisi pembuluhdarah, merubah
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10% Hb menjadi
carboksi -Hb. Disamping itu dapat menurunkan HDL kolesterol tetapi
mekanismenya belum jelas. Makin banyak jumlah rokok yang dihisap, kadar
HDL kolesterol makin menurun. Perempuan yang merokok penurunan kadar
HDL kolesterolnya lebih besar dibandingkan laki-laki perokok. Merokok
juga dapat meningkatkan tipe IV abnormal pada diabetes disertaiobesitas dan
hipertensi, sehingga orang yang merokokcenderunglebihmudahterjadi proses
aterosklerosisdari pada yang bukanperokok.
2) Memilikiriwayatkolestroltinggi
Hiperlipidemia merupakan peningkatan kolesteroll dan/atau
trigliserida serum di atas batas normal. Peningkatan kadar kolesterol di atas
180 mg/dl akan meningkatkan resiko penyakit arteri koronaria, dan
peningkatan resiko ini akan lebih cepat terjadi bila kadarnya melebihi 240
mg/dl. Peningkatan kolosterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya
resiko penyakit arterikoronaria, sedangkan kadarkolesterol HDL yang tinggi
berperan sebagai factor pelindung terhadap penyakit ini.
3) Memiliki riwayat tekanan darah tinggi
Hipertensi merupakan factor risiko mayor dari IMA, baik tekanan
darah systole maupun diastole memiliki peran penting. Hipertensi dapat
meningkatkan risiko ischemic heart disease (IHD) sekitar 60% dibandingkan
dengan individu normotensive. Tanpa perawatan, sekitar 50% pasien
hipertensi dapat meninggal karena gagal jantung kongestif, dan sepertiga
lainnya dapat meninggal karena stroke (Kumar, 2015). Mekanisme
hipertensi berakibat IHD:
- Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk
jantung,sehingga menyebabkan hipertropiventrikelkiri atau pembesaran
ventrikelkiri (factormiokard). Keadaan ini tergantung dari berat dan
lamanya hipertensi.
- Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma
langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga
memudahkan terjadinya arteriosklerosiskoroner (factorkoroner) Hal ini
menyebabkan angina pektoris, Insufisiensikoroner dan miokardinfark
lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibanding orang
normal.
- Memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus
- Memiliki berat badan berlebihan (overweight) atau punobesitas.
- Meiliki riwayat keluarga mengalami penyakit jantung koroner atau
stroke.
E. Manifestasi Klinis
1. Riwayat nyeri pada infark miokard (Jantung/dada)
a. Nyeri dada yang terjadi secara mendadak dan terus-menerus.
b. Lokasi nyeri dada di bagian dada depan (dibawah sternum) dan
abdomen bagian atas dengan atau tanpa penjalaran.
c. Nyeri dada dapat menjalar sampai ke dagu, leher, lengan kiri, dan
tembus sampai ke punggung.
d. Kualitas nyeri dapat berupa rasa nyeri berat seperti ditekan atau rasa
panas seperti terbakar
e. Lama nyeri bisa lebih dari 15-30 detik
f. Nyeri tidak hilang dengan istirahat atau dengan pemberian
nitrogliserin (NGT) secara sublingual.
g. Kadang nyeri dada disertai gejala berupa keringat dingin, dada
berdebar (Palpitasi), sesak, pucat, dan sakit kepala. Sering dijumpai
faktor pencetus berupa aktivitas fisik, emosi/stress, atau dingin
2. Adanya perubahan EKG
a. Gelombang Q (signifikan infrak ) atau Q patologis
b. Segmen ST elevasi
c. Gelombang T (menunggu atau menurun)
Perubahan EKG pada infark miokardium. Inverse gelombang T
(kiri), elevasi segmen ST (tengah), gelombang Q menonjol (kanan).
Gelombang Q menunjukan nekrosis miokardium dan bersifat
inversibel. Perubahan pada segmen ST dan gelombang T diakibatkan
karena iskemia dan akan menghilang sesudah jangka panjang waktu
tertentu.
3. Kenaikan enzim otot jantung
a. CK-MB, merupakan enzim spesifik sebagai penanda adanya
kerusakan pada otot jantung, enzim ini meningkat pada 6-10 jam
setelah nyeri dada dan kembali normal pada 48-72 jam.
b. Aspartate Amino Transferase (AST) dapat membantu apabila
penderita datang ke rumah sakit sesudah hari ke 3 nyeri dada. AST/
SGOT meningkat dalam 6-12 jam dan akan kembali normal dalam
hari ke 3 atau hari ke 4.
c. Lactate Dehidrogenase (LDH) akan meningkat sesudah hari ke 4
setelah nyeri dada dan akan normal sesudah hari ke 10.
F. Klasifikasi

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia


tahun 2015, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan markajantung, Sindrom Koroner
Akut atau InfarkMiokard dibagi menjadi:
1) Infarkmiokard dengan elevasisegmen ST (STEMI: ST segment
elevation myocardial infarction)

2) Infarkmiokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST


segment elevation myocardial infarction)

3) Angina Pektoristidakstabil (UAP: unstable angina pectoris)

Infarkmiokard dengan elevasisegmen ST akut (STEMI)


merupakan indicator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri
koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk
mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara
medicamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis,
intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika
terdapat keluhan angina pectoris akut disertai elevasisegmen ST yang
persisten di duasadapan yang bersebelahan. Ini siasi tatalaksana
revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka
jantung.

Diagnosis NSTEMI dan angina pectoris tidak stabil ditegakkan


jika terdapat keluhan angina pectori sakuttan paelevasisegmen ST
yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat
presentasi dapat berupa depresisegmen ST, inversegelombang T,
gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau
bahkan tanpa perubahan.

Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI


dibedakan berdasarkan kejadian infarkmiokard yang ditandai dengan
peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan
adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia
marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi
InfarkMiokard AkutSegmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation
Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil
marka jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada sindroma
koroner akut, nilai ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal
adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas (upper limits of
normal, ULN). Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan
kelainan (normal) atau menunjukkan kelainan yang nondiagnostik
sementara angina masih berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-
20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran
nondiagnostik sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka
pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap
terjadi angina berulang.
G. Komplikasi

1. Aritmia
Beberapa bentuk aritmia mungkin timbul pada IMA. Hal ini disebabkan
perubahan-perubahan listrik jantung sebagai akibati skemia pada tempat
infark atau pada daerah perbatasan yang mengelilingi, kerusakan system
konduksi, lemah jantung kongestif atau keseimbangan elektrolit yang
terganggu.
2. AV Blok
Blok jantung bukan penyakit pada jantung, tetapi dihubungkan dengan
berbagai jenis penyakit jantung, khususnya penyakit artericoroner dan
penyakit jantung reumatik. Pada blok jantung atrioventrikuler (AV),kontraksi
jantung lemah dan tidak memiliki dorongan yang cukup untuk mengirim
darah dari atrium keventrikel. Denyut nadi dapat rendah,mencapai 30 kali per
menit.
3. Gagal jantung
Pada IMA, heart failure mau pungagal jantung kongestif dapat timbul sebagai
akibat kerusakan ventrikel kiri, ventrikel kanan atau keduanya dengan atau
tanpa aritmia. Penurunan cardiac output pada pumpfailure akibat IMA
tersebut menyebabkan perfusi perifer berkurang. Peningkatan resistensi
perifer sebagai kompensasi menyebabkan beban kerja jantung bertambah.
Bentuk yang paling ekstrim pada gagal jantung ini ialah syok kardiogenik.
4. Emboli/tromboemboli
Emboli paru pada IMA: adanya gagal jantung dengan kongesti vena,disertai
tirah baring yang berkepanjangan merupakan factor predisposisi trombosis
pada vena-vena tungkai bawah yang mungkin lepas dan terjadi emboli paru
dan mengakibatkan kemunduran hemodinamik. Embolisasi sistemik akibat
trombus pada ventrikel kiri tepatnya pada permukaan daerah infark atau
thrombus dalam aneurisma ventrikel kiri.
5. Ruptura
Komplikasi rupture amiokard mungkin terjadi pada IMA dan menyebabkan
kemunduran hemodinamik. Ruptura biasanya pada batas antara zona infark
dan normal. Ruptura yang komplit (pada free wall)menyebabkan perdarahan
cepat kedalam cavum pericardi sehingga terjadi tamponade jantung dengan
gejala klinis yang cepat timbulnya.

H. Patofisiologi
Infarkmiokardium mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibat
suplai darah yang tidak adekuat sehingga aliran darah coroner berkurang.
Penyebab penurunan suplai darah mungkin akibat penyempitan kritis arteri
koroner karena aterosklerosis atau penyumbatan total arteri oleh emboli atau
thrombus. Penurunan aliran darah koroner juga biasa diakibatkan oleh syok atau
perdarahan. Pada setiap kasus infarkmiokardium selalu terjadi
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen (Suddarth,2014).
Penyumbatankoroner, seranganjantung dan infarkmiokardium mempunyai
arti yang sama namun istilah yang paling disukai adalah
infarkmiokardium.Aterosklerosis dimulai ketika kolestrol berlemak tertimbun di
intima arteri besar. Timbunan ini, dinamakan ateroma atau plak yang akan
mengganggu absorbsi nutrient oleh sel-selendotel yang menyusun lapisan
dinding dalam pembuluh darah dan menyumbat aliran darah karena timbunan
lemak menonjol ke lumen pembuluh darah. Endotel pembuluh darah yang
terkena akan mengalami nekrotik dan menjadi jaringan parut, selanjutnya lumen
menjadi semakin sempit dan aliran darah terhambat. Pada lumen yang
menyempit dan berdinding kasar, akan cenderung terjadi pembentukan bekuan
darah, hal ini menyebabkan terjadinya koagulasiintravaskuler, diikuti oleh
penyakit tromboemboli, yang merupakan komplikasi tersering aterosklerosis
(Suddarth, 2014).
Faktor resiko yang dapat memperburuk keadaan ini adalah kebiasaan
merokok, memiliki riwayat tekanan darah tinggi dan kolestrol tinggi,memiliki
riwayat keluarga mengalami penyakit jantung koroner atau stroke,kurang
aktivitas fisik, memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus, memiliki berat badan
berlebihan (overweight) ataupun obesitas (Iskandar, 2017).
Aterosklerosis koroner menimbulkan gejala dan komplikasi sebagai akibat
penyempitan lumen arteri dan penyumbatan aliran darah kejantung.Sumbatan
aliran darah berlangsung progresif, dan suplaidarah yang tidakadekuat (iskemia)
yang akan membuat sel-sel otot kekurangan komponen darah yang dibutuhkan
untuk hidup. (Suddarth, 2014).
Kerusakan sel akibat iskemia terjadi dalam berbagai tingkat.Manifestasi
utama iskemia miokardium adalah nyeri dada. Angina pectoris adalah nyeri dada
yang hilang timbul, tidak disertai kerusakan ireversibel sel-sel jantung. Iskemia
yang lebih berat, disertai kerusakan sel dinamakan infarkmiokardium. Jantung
yang mengalami kerusakan ireversi belakan mengalami degenerasi dan kemudian
diganti dengan jaringan parut. Bila kerusakan jantung sangat luas, jantung akan
mengalami kegagalan, artinya ia tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan tubuh
akan darah dengan memberikan curah jantung yang adekuat. Manifestasiklinis
lain penyakit arteri koroner dapat berupa perubahan pola EKG, aneurisma
ventrikel,disaritmia dan akhirnya akan mengalami kematian mendadak
(Suddarth,2014).

I. Pemeriksaan Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis STEMI yang perlu dilakukan anamnesis
(Tanyajawab) seputar keluhan yang dialami pasien secara detail mulai dari gejala
yang dialami, riwayat perjalanan penyakit, Riwayat penyakit personal dan
keluarga,riwayat pengobatan, riwayat penyakit dahulu, dan kebiasaan pasien.
Selain itu perlu juga dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
(Majid, 2016)
1. Pemeriksaan penunjang yang penting dilakukan adalah pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG). Dengan pemeriskaan ini maka dapat ditegakkan
diagnosis STEMI. Gambaran STEMI yang terlihat pada EKG antara lain:
 Lead II, III, aVF :Infark inferior
 Lead V1-V3 :Infark anteroseptal
 Lead V2-V4 :Infark anterior
 Lead 1, aV L, V5-V6 :Infark anterolateral
 Lead I, aVL :Infark high lateral
 Lead I, aVL, V1-V6 :Infark anterolateral luas
 Lead II, III, aVF, V5-V6 :Infark inferolateral
 Adanya Q valve patologis pada sadapan tertentu.
2. Echocardiogram
Digunakan untuk mengevaluasi lebih jauh mengenai fungsi jantung
khususnya fungsi ventrikel dengan menggunakan gelombang ultrasound.
3. Foto thorax
Foto thorax tampak normal, apabila terjadi gagal jantung akan terlihat pada
bendungan paru berupa pelebaran corakan vaskuler paru dan hipertropi
ventrikel
4. Percutaneus Coronary Angiografi (PCA)
Pemasangan kateter jantung dengan menggunakan zat kontras dan memonitor
x- ray untuk mengetahui sumbatan pada arteri koroner
5. Tes Treadmill
Uji latih jantung untuk mengetahui respon jantung terhadap aktivitas.
6. Laboratorium :
Pemeriksaan yang dianjurkanadalah:
a) Creatinin Kinase (CK)MB. Meningkat setelah 3 jam bila ada
infarkmiokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali
normal dalam 2-4 hari.
b) cTn (cardiac specific troponin). Ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I.
enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infarkmiokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
c) Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:
- Mioglobin. Dapat dideteksi satu jam setelah infark dan
mencapai puncak dalam 4-8 jam.
- Creatinin kinase (CK). Meningkat setelah 3-8 jam bila ada
infarkmiokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan
kembali normal dalam 3-4 hari.
- Lactic dehydrogenase (LDH). Meningkat setelah 24-48 jam
bila ada infarkmiokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali
normal dalam 8-14 hari.
2) Diagnosa Keperawatan Infark Miokard Akut dengan STEMI
Wijaya & Putri (2013) di dalam buku KMB1. Diagnosis pada pasien dengan
penyakit ST Elevasi Miokard Infark Akut adalah
1) Risiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan factor-
faktor listrik, penurunan karakteristik miokard
2) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan , iskemik, kerusakan otot
jantung, penyempitan / penyumbatan pembuluh darah arteri koronaria
3) Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran darah ke
alveoli atau kegagalan utama paru, perubahan membran alveolarkapiler
( atelektasis , kolaps jalan nafas! alveolar edema paru/efusi, sekresi
berlebihan / perdarahan aktif)
4) Nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan
arteri
5) Risiko kelebihan volume cairan ekstravaskuler berhubungan dengan
penurunan perfusi ginjal, peningkatan natrium l retensi air , peningkatan
tekanan hidrostatik, penurunan protein plasma.
6) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen miocard dan kebutuhan, adanya iskemik/ nekrotik jaringan miocard
ditandai dengan gangguan frekuensi jantung, tekanan darah dalam aktifitas,
7) Cemas berhubungan dengan ancaman aktual terhadap integritas biologis
8) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang fungsi
jantung / implikasi penyakit jantung dan status kesehatan yang akan datang ,
kebutuhan perubahan pola hidup ditandai dengan pernyataan masalah,
kesalahan konsep, pertanyaan, terjadinya kompliksi yang dapat dicegah

2. Post Op Fraktur Femur


a. Konsep medis
1) Definisi
Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas atau retak jaringan yang
disebabkan trauma yang ditentukan oleh luas dan jenis trauma. Sehingga
mengalami penurunan fungsi fisik yang merupakan salah satu ancaman
potensial pada integritas. Rusaknya integritas tulang menyebabkan nyeri,
trauma, kaku sendi, dan gangguan muskuloskeletal (Nanda International,
2015). Salah satu penyebab fraktur adalah ruda peksa pada suatu jaringan
yang menyebabkan kontinuitas jaringan menjadi terputus (Sjamsuhidajat
dalam Rudi., dkk. 2020).
Fraktur femur merupakan diskontinuitas dari femoral shaft yang bisa
terjadi akibat trauma baik secara langsung ataupun tidak langsung dan apabila
terjadi patah pada tulang ini bisa menimbulkan perdarahan yang cukup
banyak bahkan bisa mengakibatkan syok, morbiditas yang lama dan juga
kecacatan apabila tidak mendapatkan penanganan yang baik.Diantara pasien
fraktur femur terdapat 1% yang menderita kecacatan menetap dan 30%
mengalami kecacatan yang bersifat sementara.Fraktur saat ini merupakan
penyakit muskuloskeletal yang banyak di jumpai di pusat-pusat pelayanan
kesehatan di seluruh dunia (Obaidurrahman,et,all dalam Giat., dkk,. 2020).
Fraktur femur adalah rusaknya jaringan pada tulang paha, kondisi dari
fraktur femur bisa menjadi fraktur tertutup maupun terbuka yang disertai
dengan rusaknya jaringan lunak (otot, pembuluh darah, kulit, jaringan saraf)
disebabkan adanya oleh trauma langsung pada bagian paha (Helmi dalam
Rudi,. Dkk. 2020).
Fraktur disebabkan oleh trauma tunggal yang diberikan dengan
kekuatan yang berlebihan dan secara tiba tiba seperti benturan, plintiran, dan
penarikan. Selain itu trauma tunggal juga menyebabkan jaringan lunak
menjadi rusak (Zairi dkk, 2012). Untuk mengembalikan gerakan, pencegahan
disabilitas dan pengurangan nyeri karena adanya rusaknya kontinuitas
jaringan maka dilakukan penanganan pada daerah fraktur. Ada tiga cara dalam
melakukan penanganan fraktur yaitu reduksi, imobilisasi, dan rehabilitasi.
Imobilisasi merupakan salah satu upaya dalam menangani fraktur dengan
menahan kontinuitas yang terjadi patahan atau retakan. Pembedahan
merupakan hal yang terakhir jika pada penangan sebelumnya belum bisa
mengembalikan posisi tulang dengan membuka pada bagian yang ditangani
(Djamal dalam Rudi., dkk. 2020).
2) Etiologi
Fraktur femur dapat terjadi mulai dari proksimal sampai distal. Untuk
mematahkan batang femur pada orang dewasa, diperlukan gaya yang besar.
Kebanyakan fraktur ini terjadi pada pra muda yang mengalami kecelakaan
bermotor atau jatuh dari ketinggian. Biasanya, klien ini mengalami trauma
multipel. Pada fraktur femur ini klien mengalami syok hipovolemik karena
kehilangan banyak darah maupun syok neurogenik karena nyeri yang sangat
hebat.
Penyebab fraktur femur menurut Price dan Wilson (2015) ada 3 yaitu:
1. Cidera atau benturan
a. Cedera langsung berartti pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan.mpemukulan biasanya menyebabkan
fraktur melintang dan kerusakan pada kulit di atasnya.
b. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari
lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan
menyebabkan fraktur klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan konstraksi keras yang mendadak dari otot
yang kuat.
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang lelah menjadi
lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang-orang yang
baru saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam
angkatan bersenjata atau orang-orang yng baru mulai latihan lari.
3) Faktor Resiko
Faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur terbuka di antaranya
adalah usia, perubahan struktur tulang, komorbiditas, dan pekerjaan tertentu.
1. Usia
Semakin tua semakin meningkat risiko jatuh karena terjadi perubahan baik
secara fisik, sensorik, dan kognitif. Di Amerika Serikat, terdapat 20-30%
orang tua yang mengalami cedera sedang sampai berat seperti memar,
fraktur panggul dan trauma kepala.
2. Perubahan Struktur Tulang
Adanya perubahan struktur tulang membuat tulang menjadi rapuh,
misalnya osteoporosis, osteogenesis imperfekta/ Paget’s disease, atau
melalui lesi litik (kista tulang atau metastasis).
3. Kondisi Medis Tertentu
Adanya kondisi medis yang mendasari seperti kasus neurologis yang
berkaitan dengan kehilangan keseimbangan dan perubahan gaya berjalan.
Penggunaan steroid jangka panjang, misalnya pada pasien lupus
eritematosus sistemik, juga akan menurunkan densitas tulang sehingga
meningkatkan risiko fraktur.
4. Pekerjaan
Pekerjaan tertentu, misalnya yang melibatkan mesin berat, dapat
meningkatkan risiko terjadinya cedera.

4) Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis fraktur menurut (Smelzter&Bare dalam
Melti&Zuriati 2019).
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampei fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bindai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah bukannya tetap rigid seperti normalnya,
pergeseran fragmen pada fraktur menyebabkan deformitas, ekstremitas
yang bias diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas yang
normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
ototbergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanay derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya
baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
5) Klasifikasi
Terdapat enam klasifikasi fraktur femur(Rudi, dkk., 2020).
1. Fraktur intertrochanter femur yaitu fraktur yang terdapat garis
melintang mulai dari trochanter mayor sampai trochanter minor.
2. Fraktur subtrochanter femur disebabkan oleh trauma berkekuatan
tinggi yang disertai dengan penyakit patologis yang menyebabkan
tulang menjadi lemah.
3. Fraktur suprakondiler femur terjadi bagian distal menyebabkan
dislokasi ke posterior. Fraktur ini disebabkan adanya penarikan otot-
otot gastrocnemius.
4. Fraktur kondiler femur ini disebabkan adanya tekanan ke di sumbu
femur ke atas yang dikombinasikan dari dua gaya yaitu hiper abduksi
dan adduksi.
5. Fraktur batang femur adalah fraktur terjadi karena adanya trauma
langsung yang memiliki kekuatan dengan intensitas tinggi.
6. Fraktur collum femur adalah fraktur yang disebabkan oleh perubahan
struktur tulang yang disebabkan tekanan yang mengenai lingkaran
acetabulum yang berotasi ke arah posterior.
6) Komplikasi
1. Komplikasi awal menurut (Noor, 2016)
a. Syok.
Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi. Hal ini biasanya terjadi pada fraktur. Pada
beberapa kondisi tertentu, syok neurogenik sering terjadi pada fraktur
femur karena rasa sakit yang hebat pada pasien.
b. Kerusakan arteri.
Pecahnya arteri karena trauma bisa di tandai oleh: tidak adanya
nadi; CRT (Cappillary Refill Time) menurun; sianosis bagian distal;
hematoma yang lebar; serta dingin pada ekstremitas yang di sebabkan
oleh tindakan emergensi pembidaian, perubahan posisi pada yang
sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
c. Sindrom kompartemen.
Sindrom kompratemen adalah suatu kondisi di mana terjadi
terjebaknya otot tulang saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan
parut akibat suatu pembengkakan dari edema atau pendarahan yang
menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Kondisi sindrom
kompratemen akibat fraktur hanya terjadi pada fraktur yang dekat
dengan persendian dan jarang terjadi pada bagian tengah tulang. Tanda
khas untuk sindrome kompartemen adalah 5P, yaitu: pain (nyeri
lokal), paralysis (kelumpuhan tungkai), pallor (pucat bagian distal),
parastesia (tidak ada sensasi) dan pulselessness (tidak ada denyut nadi,
perubahan nadi, perfusi yang tidak baik, dan CRT >3 detik pada
bagian distal kaki).
d. Infeksi.
Sistem pertahanan tubuh ruak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma ortopedik infeksi di mulai pada kulit (superfisial) dan
masuk ke dalam. Hal ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka,tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin (ORIF dan OREF) atau plat.
e. Avaskular Nekrosis
Avaskular nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan di
awali dengan adanya volkman’s ischemia
f. Sindrom emboli lemak
Sindrom emboli lemak (fat embolism syndrom-FES) adalah
komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang
panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang di hasilkan sum sum
tulang kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen
dalam darah rendah yang di tandai dengan gangguan pernapasan,
takikardi, hipertensi, takipnea, dan demam.
2. Komplikasi Lama menurut (Noor, 2016)
a. Delayed Union
Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi
sesuai dengan waktu yang di butuhkan tulang untuk sembuh dan
tersambung dengan baik. Ini disebabkan karena penurunan suplai
darah ke tulang. Delayed union adalah fraktur yang tidak sembuh
dengan selak waktu 3-5 bulan (tiga bulan untuk anggota gerak atas dan
lima bulan untuk anggota gerak bawah).
b. Non-union
Disebut non-union apabila fraktur tidak sembuh dalam waktu
antara 6-8 bulan dan tidak terjadi konsolidasi sehingga terdapat
pseudoartrosis (sendi palsu). Pseudoartosis dapat terjadi tanpa infeksi
tetapi dapat juga terjadi bersama infeksi yang di sebut dengan infected
pseudoarthrosis
c. Mal-union
Mal-union adalah keadaan dimana fraktur sembuh pada
saatnya, tetapi terdapat deformitas yang berbentuk
angulasi,varus/valgus, pemendekan, atau menyilang, misalnya, pada
fraktur radius-uln
7) Patofisiologi
Ketika patah tulang, terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah,
susmsum tulang dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut terjadi
perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini
menimbulkan hematom pada kanal modul anatar tepi tulang bawah
periostrium dengan jaringan tulang yang mengatasi fraktur.
Terjadinya respon inflamasi akibat sirkulasi jaringan nekrotik ditandai
dengan fase vasolidasi dari plasma dan leukosit, ketika terjadi kerusakan
tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk memperbaiki
cedera, tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang.
Hematom yangterbentuk bisa menyebabkan peningkatan tekanan
dalam sumsum tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan
gumpalan lemak tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai
organ-organ yang lain. Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot,
sehingga meningkatkan tekanan kapiler di otot, sehingga meningkatkan
tekanan kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskemik dan
menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini
menyebabkan terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung
syaraf, yang bila berlangsung lama bisa menyebabkan comportement (Melti &
Zuriati, 2019)
8) Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Istianah (2017) Pemeriksan Diagnostik antara lain:
1. Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
2. Scan tulang, temogram, atau scan CT/MRIB untuk memperlihatkan
fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler.
4. Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau menurun
pada perdarahan selain itu peningkatan leukosit mungkin terjadi sebagai
respon terhadap peradangan.
9) Penatalaksanaan
Menurut Istianah (2017) penatalaksanaan medis antara lain :
1. Diagnosis dan penilaian fraktur
Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakukan dilakukan
untuk mengetahui dan menilai keadaan fraktur. Pada awal pengobatan
perlu diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang
sesuai untuk pengobatan komplikasi yang mungkin terjadi selama
pengobatan.
2. Reduksi
Tujuan dari reduksi untuk mengembalikan panjang dan kesejajaran
garis tulang yang dapat dicapai dengan reduksi terutup atau reduksi
terbuka. Reduksi tertutup dilakukan dengan traksi manual atau mekanis
untuk menarik fraktur kemudian, kemudian memanipulasi untuk
mengembalikan kesejajaran garis normal. Jika reduksi tertutup gagal atau
kurang memuaskan, maka bisa dilakukan reduksi terbuka. Reduksi
terbuka dilakukan dengan menggunakan alat fiksasi internal untuk
mempertahankan posisi sampai penyembuhan tulang menjadi solid. Alat
fiksasi interrnal tersebut antara lain pen, kawat, skrup, dan plat. Alat-alat
tersebut dimasukkan ke dalam fraktur melalui pembedahan ORIF (Open
Reduction Internal Fixation). Pembedahan terbuka ini akan
mengimobilisasi fraktur hingga bagian tulang yang patah dapat
tersambung kembali.
3. Retensi
Imobilisasi fraktur bertujuan untuk mencegah pergeseran fragmen dan
mencegah pergerakan yang dapat mengancam penyatuan. Pemasangan
plat atau traksi dimaksudkan untuk mempertahankan reduksi ekstremitas
yang mengalami fraktur.
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin. Setelah
pembedahan, pasien memerlukan bantuan untuk melakukan latihan.
b. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang
nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan. Diagnosa
keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op fraktur meliputi :
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen
tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/imobilisasi, stress,
ansietas.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan,
ketidak edekuatan oksigenasi, ansietas, dan gangguan pola tidur.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status
metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh
terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit
buruk, terdapat jaringan nekrotik.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan,
kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan
kekuatan/tahanan.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi
tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi
pembedahan.
6. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah
interpretasi informasi.

3. ACS
a) KONSEP MEDIS
 Definisi
Sindrom coroner akut merupakan penyakit tertinggi di dunia Word healt
organization (WHO) pada tahun 2015 melaporkan penyakit kardiovaskular
menyebabkan 17,5 juta kematian atau sekitar 31% dari keseluruhan
kematian secara global dan yang diakibatkan sindrom koroner akut
sebesar 7,4 juta. Penyakit ini diperkirakan akan mencapai 23,3 juta
kematian pada tahun 2030 (Susilo,2015; Tumade et al.,2014).
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan salah satu penyakit tidak
menular dimana terjadi perubahan patologis atau kelainan dalam dinding
arteri koroner yang dapat menyebabkan terjadinya iskemik miokardium
dan UAP (Unstable Angina Pectoris) serta infrak Miokard Akut (IMA)
seperti non-ST Elevation Myocardional Infarct (NSTEMI) dan ST Elevation
Miocardional Infarct (STMI) (Tumade et al.,2014).
 Etiologi
Penyebab sindrom koroner akut paling sering adalah oklusi lengkap
atau hampir lengkap dari arteri coroner, biasanya dipicu oleh ruptur plak
arterosklerosis yang rentan dan di ikuti oleh pembentukan trombus. Ruptur
plak dapat dipicu oleh faktor-faktor internal maupun eksternal (Joyce,
2014).
 Faktor Resiko
a. Faktor internal antara lain karakteristik plak, seperti ukuran dan
konsistensi dari inti lipid dan ketebalan lapisan fibrosa, serta kondisi
bagaimana plak tersebut terpapar, seperti status koagulasi dan
derajat vasokontriksi arteri. Plak yang rentan paling sering terjadi
pada area dengan stenosis kurang dari 70% dan ditandai dengan
bentuk yang eksentrik dengan batas tidak teratur, inti lipid yang besar
dan tipis dan pelapis fibrosa yang tipis (Joyce 2014).
b. Faktor eksternal berasal dari aktivitas klien atau kondisi eksternal
yang mempengaruhi klien. Aktivitas fisik berat dan stres emosional
berat, seperti kemarahan, serta peningkatan respon sistem saraf
simpatis dapat menyebabkan rupture plak. Pada waktu yang sama,
respon sistem saraf simpatis akan meningkatkan kebutuhan oksigen
miokardium. Faktor eksternal, seperti paparan dingin dan waktu
tertentu dalam waktu satu hari, juga dapat mempengaruhi plak rupture
plak. Kejadian coroner akut terjadi lebih sering dengan paparan
terhadap dingin dan pada waktu pagi hari (Joyce, 2014).
 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis yang berhubungan dengan sindrom coroner akut
berasal dari iskemia otot jantung dan penurunan fungsi serta asidosis yan
terjadi. Manifestasi klinis utama dari sindrom corona akut adalah nyeri
dada yang serupa dengan angina pectoris tetapi lebih parah dan tidak
berkurang dengan nitrogliserin. Nyeri dapat menjalar ke leher, rahang,
bahu, punggung, atau lengan kiri. Nyeri juga dapat ditemukan didekat
epigastrium, menyerupai nyeri pencernaan. Sindrom coroner akut juga
dapat berhubungan dengan manifestasi klinis yang terjadi berikut ini
(Joyce, 2014):
a. Nyeri dada, perut, punggung, atau lambung yang tidak khas
b. Mual atau pusing
c. Sesak nafas dan kesulitan bernafas
d. Kecemasan, kelemahan, atau kelelahan yang tidak dapat dijelaskan
e. Palpitasi, keringat dingin, pucat.
 Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan biomarka jantung, sindrom
koroner akut dibagi menjadi:
a. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST)
b. Infark miokard akut non-elevasi segmen ST(IMA-NEST)
c. Angina pektoris tidak stabil (APTS) (Dafsah Arifa Juzar, 2018).
 Komplikasi
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi
disfungsi miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan IKP
atau trombolisis, perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi, namun
apabila terjadi jejas transmural dan/atau obstruksi mikrovaskular, terutama
pada dinding anterior, dapat terjadi komplikasi akut berupa kegagalan
pompa dengan remodeling patologis disertai tanda dan gejala klinis
kegagalan jantung, yang dapat berakhir dengan gagal jantung kronik
(Perhimpimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015).

Dalam jurnal Ekha Fithra Elfi (2015) menjelaskan bahwa, Salah satu
manifestasi sindrom koroner akut yang banyak terjadi adalah non ST
elevation segment of myocardial infarction (NSTEMI). NSTEMI dapat
menimbulkan berbagai komplikasi seperti udem paru akut, henti jantung,
bahkan kematian. Dilaporkan seorang pasien wanita 53 tahun dengan
diagnosis NSTEMI. Pasien mengalami henti jantung dan udem paru akut
yang merupakan gagal jantung akut. Henti jantung pada pasien ini diawali
oleh aritmia maligna yang disebabkan oleh kurangnya asupan oksigen
pada otot jantung. Pasien memerlukan penatalaksanaan multidisiplin dan
intensif. Pada pasien diberikan dukungan ventilasi mekanik dengan
tekanan positif yaitu CPAP untuk mengurangi mortalitas edema paru.
Selain itu diperlukan pemantauan ketat hemodinamik dan asupan nutrisi
pada pasien. Selain masalah jantung dan paru, pada pasien juga terjadi
penurunan kesadaran setalah henti jantung. Gangguan pada sistem saraf
pusat merupakan penyebab kematian yang cukup tinggi pada pasien yang
selamat dari henti jantung dan resusitasi. Berdasarkan hal itu, perlu
dilakukan resusitasi kardioserebral pada pasien dengan henti jantung.
Perbedaan utama dengan resusitasi jantung paru adalah pentingnya
manajemen jalan nafas yang lebih lengkap dengan ventilasi mekanik
(Ekha FIthra Elfi, 2015:4).
 Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma
pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan
perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi
plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan
aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white
thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner,
baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang
menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi
pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah
koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang
berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium
mengalami nekrosis (infark miokard) (Perhimpimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia, 2015).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh
darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang
dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot
jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan
kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah
iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk,
ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak
plak seperti diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA karena obstruksi
dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (Angina
Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun
trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah
Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti
demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi
pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak
aterosklerosis (Perhimpimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia, 2015).
 Pemeriksaan Diagnostik
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos
dada, diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada dapat
dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina Stabil, Kemungkinan
SKA, dan Definitif SKA. (Perhimpimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia, 2015).
Dada yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen).
Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal,
menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau
epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit
atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan
penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas,
dan sinkop. (Perhimpimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia,
2015).
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di
daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion),
sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak
yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien
usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita
diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina
atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai
angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada
pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan
angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis
SKA (Perhimpimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015).
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan
pada pasien dengan karakteristik sebagai berikut :
a. Pria
b. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit
arteri perifer / karotis)
c. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark
miokard, bedah pintas koroner, atau IKP
d. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia,
diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi
atas risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP
(National Cholesterol Education Program) (Perhimpimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015.
 Penatalaksanaan
a. Terapi Farmakologis
 Terapi anti iskemik : Untuk mengurangi iskemia dan mencegah
terjadinya kemungkinan yang lebih buruk sepertiinfarkmiokard
atau kematian.
 Nitrat : Mengurangi kebutuhan oksigen dan meningkat suplai
oksigen.
 Antalogis kalsiium mengurangi infulks kalsium yang melalui
membrane sel. Obat ini menghambat kontraksi miokard dan otot
polos pembulu darah.

b. Terapi Non Farmakologis


 Istirahat yang teratur untuk mengurangi beban kerja jantung.
 Oksigenasi
b) DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yaitu :
a. Nyeri akut b/d agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis), kerusakan
jaringan
b. Penurunan curah jantung b/d gangguan irama jantung, stroke volume,
pre load dan afterload, kontraktilitas
c. Gangguan pola tidur b/d psikologis

4. Post Op Fraktur pelvic


a. Konsep medis
 Definisi
Patah tulang panggul adalah putusnya kontinuitas tulang, tulang rawan
epifisis atau tulang rawan sendi dan gangguan struktur tulang dari pelvis.
Pada orang tua penyebab paling umum adalah jatuh dari posisi berdiri.
Namun, fraktur yang behubungan dengan morbiditas dan mortalitas
terbesar melibatkan pasukan yang signifikan misalnya dari kecelakaan
kendaraan bermotor atau jatuh dari ketinggian (muttaqin, Arif. 2015)
Fraktur pelvis termasuk fraktur tulang proksimal femur dan
acetabulum. Fraktur pelvis dapat mengenai orang muda dan tua. Biasanya,
paasien yang lebih muda dapat mengalami fraktur pelvis sebagai akibat
dari trauma yang signifikan, sedangkan pasien lansia dapat mengalami
fraktur pelvis akibat trauma ringan (muttaqin, Arif. 2015)
- High-enerfy fractures
Fraktur pelvis dengan trauma berat jarang terjadi, 2/3 pasien juga
memiliki cedera musculoskeletal lain, dan lebih dari ½ pasien
memiliki cedera pada multisystem. Pada 75% kasus disertai dengan
perdarahan, 12% cedera urogenital, dan 8% cedera pleksus
lumbosakral. Dalam sebuah penelitian didapatkan 55% merupakan
kasus fraktur cincin pelvis stabil, 25% fraktur pelvis tidak stabil di
rotasi, 21% tidak stabil pada tranlasi, 61% merupakan fraktur pelvis
yang disertai fraktur acetabulum.
- Low energy fractures
Fraktur pelvis dan acetabulum dengan trauma ringan lebih sering
terjadi dari pada dengan trauma berat. Wanita lebih sering terkena, dan
kebanyakan pasien tidak mengalami cedera lainya. Dalam sebuah
penelitian pada pasien usia 60 tahun dan lebih, didapatkan cedera
cincin pelvis stabil pada 45 dari 48 pasien, 87% pasien adalah wanita.
Dalam ¾ kasus disebabkan oleh jatuh dengan kekuatan ringan. Fraktur
pelvis disertai dengan fraktur acetabulum terjadi pada 25% kasus (I
Wayan Suryanto Dusak, Heryanto Agustriadi Simanjuntak, dkk. 2019)

 Etiologi
a. Trauma langsung: benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur
pada tempat tersebut
b. Trauma tidak langsung: bilamana titik tumpul benturan dengan
terjadinya fraktur berjauhan
c. Proses penyakit: kanker dan riketsia
d. Kompresion force: klien yang melompat dari tempat ketinggian dapat
mengakibatkan fraktur kompresi tulang belakang
Muscle (otot): akibat injuri/sakit terjadi renggangan otot yang kuat
sehingga dapat menyebabkan fraktur (misal; elektrik shock dan tetani)
(muttaqin, Arif. 2015)

 Faktro Resiko
 Usia
Fraktur pelvik bisa dialami oleh siapa saja diusia berapapun. Pada
orang muda, kondisi ini sering terjadi karena terjatuh, cedera saat
berolahraga, ataupun kecelakaan. Tetapi, fraktur pelvik lebih sering
dialami oleh orang-orang berusia 65 tahun, karena mereka lebih
mudah terjatuh ini bisa teradi karena adanya penurunan kondisi
kesehatan (khususnya kekuatan tulang), gangguan penglihatan, dan
masalah keseimbangan tubuh
 Osteoporosis
Wanita lansia yang mengidap penyakit tulang keropos (osteoporosis)
karena pernah mengalami trauma, seperti terjatuh atau terbentur
sebelumnya juga beresiko tinggi fraktur pelvik
 Kekurangan nutrisi
Nutrisi yang sangat penting untuk pembentukan tulang adalah
kalsium dan vitamin D. kekurangan nutrisi tersebut bisa
meningkatkan resiko fraktur pelvik
 Masalah kesehatan
Adanya masalah kesehatan tertentu seperti gangguan endokrin dan
pencernaan bisa menurunkan kemampuan tubuh untuk menyerap
kalsium dan vitamin D. kondisi inilah yang memicu terjadinya
fraktur pelvik (muttaqin, Arif. 2015)

 Manifestasi Klinis
Fraktur panggul merupakan salah satu trauma multiple yang dapat
mengenai organ-organ lain dalam panggul. Keluhan yang dapat terjadi
pada fraktur panggul antara lain:
a. Nyeri
b. Pembengkakan
c. Deformitas
d. Perdarahan subkutan sekitar panggul
e. Hematuria
f. Perdarahan yang berasal dari vagina, uretra, dan rectal
g. Syok
Penderita dating dalam keadaan anemia dan syok karena perdarahan
yang hebat. Terdapat gangguan fungsi anggota gerak bawah. Pada cedera
tipe A pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri bila
berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan local tetapi jarang terdapat
kerusakan pada visera pelvis. Sinar-X polos dapat memperhatikan fraktur.
Pada tipe cedera B dan C pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan
tak dapat berdiri: dia juga mungkin tidak dapat kencing. Mungkin terdapat
darah di meatus eksternus. Nyeri tekan dapat bersifat local tetapi sering
meluas, dan usaha menggerakan satu atau kedua ala osis ili akan sangat
nyeri. Salah satu kaki mungkin mengalami anastesik sebagian karena
cedera saraf skiatika dan penarikan atau pendorongan dapat
mengungkapkan ketidakstabilan vertikel (meskipun ini mungkin terlalu
nyeri). Cedera ini sangat hebat, sehingga membawa resiko tinggi
terjadinya kerusakan viseral, perdarahan didalam perut dan
retroperitoneal, syok, sepsis, dan ARDS, angka kematianya cukup tinggi
(Herdman, T.Heather. 2014).

 Klasifikasi
Menurut marfin tile disruption of pelvic ring dibagi:
a. Stable (tipe A)
b. Unstable (tipe B)
c. Miscellaneous (tipe C)
fraktur tipe A: pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri
bila berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan local tetapi jarang terdapat
kerusakan pada visera pelvis.Fraktur tipe B dan C: pasien mengalami syok
berat, sangat nyeri dan tidak dapat berdiri, serta juga tidak dapat kencing.
Kadang-kadang terdapat darah dimeatus eksternus. Nyeri tekan dapat
bersifat lokal tetapi sering meluas, dan juga menggerakan satu atau kedua
ala ossis ilium akan sangat nyeri.

 Komplikasi
a. Komplikasi segera
 Thrombosis vena ilio femoral: sering ditemukan dan sangat
berbahaya. Berikan antikoagulan secara rutin untuk profilaktik
 Robekan kandung kemih: terjadi apabila ada disrupsi simfisis
pubis atau tusukan dari bagian tulang panggul yang tajam
 Robekan uretra: terjadi karena adanya disrupsi simfisis pubis pada
daerah uretra pars membranosa
 Trauma rectum dan vagina
 Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan
perdarahan massif sampai syok.
b. Komplikasi lanjut
 Pembentukan tulang heterotrofik: biasanya terjadi setelah suatu
jaringan lunak yang hebat atau setelah suatu diseksi operasi.
Berikan indometacin sebagai profilaksis
 Nekrosis avaskuler: dapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu
setelah trauma
 Gangguan pergerakan sendi serta osteoarthritis sekunder: apabila
terjadi fraktur pada daerah asetabulum dan tidak dilakukan reduksi
yang akurat, sedangkan sendi ini menopang berat badan, maka
akan terjadi ketidaksesuaian sendi yang akan memberikan
gangguan pergerakan serta osteoarthritis dikemudian hari Skoliosis
kompensator (Herdman, T.Heather. 2014).
 Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang dating lebih
eksternal yang dattang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan
pembuluh darah serta saraf dalam konteks, marrow, dan jaringan lunak
yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah
hematoma dirongga medulla tulang. Jaringan tulang segera berdekatan
kebagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai vasolidatasi,
eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian
inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya.
Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan
yang besar atau karena jatuh dari ketinggian. Pada orangtua dengan
osteoporosis dan osteomalasia dapat terjadi fraktur stress pada ramus
pubis (Herdman, T.Heather. 2014)

 Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan serial hemoglobin, tujuanya untuk memonitor
kehilangan darah yang sedang berlangsung
 Pemeriksaan urin, untuk menilai adanya gross hematuria dan
atau mikroskopik
 Kehamilan tes ditunjukan pada wanita usia subur untuk
mendeteksi kehamilan serta pendarahan sumber potensial
(misalnya, keguguran, abrupsio plasenta)
b. Pemeriksaan imaging
Radiograf antero posterior pelvis merupakan skrining test dasar dan
mampu menggambarkan 90% cedera pelvis. Namun, pada pasien
dengan trauma berat dengan kondisi hemodynamic tidak stabil
seringkali secara rutin menjalani pemeriksaan CT-scan abdomen dan
pelvis, serta foto polos pelvis yang tujuanya untuk memungkinkan
diagnosis cepat fraktur pelvis dan pemberian intervensi dini
c. CT-scan
Ct-scan merupakan imaging terbaik untuk evaluasi anatomi panggul
dan derajat perdarahan pelvis, retroperitoneal, dan intraperitoneal. CT-
scan juga dapat menegaskan adanya dislokasi hip yang terkait dengan
fraktur acetabular
d. MRI
MRI dapat mengidentifikasi lebih jelas adanya fraktur pelvis bila
dibandingkan dengan radiografi polos (foto polos pelvis). Dalam satu
penelitian retrospektif, sejumlah besar positif palsu dan negatif palsu
ini dicatat ketika membandingkan antara foto polos pelvis dengan MRI
e. Ultrasonografi
Sebagai bagian dari the focused assessment with sonography for
trauma (FAST), pemeriksaan pelvis seharunya divisualisasikan untuk
menilai adanya pendarahan/cairan intrapelvic. Namun, studi terbaru
menyatakan ultrasonografi memliki sensitivitas yang lebih rendah
untuk mengidentifikasi hemoperitoneum pada pasien dengan fraktur
pelvis (Herdman, T.Heather. 2014)

 Penatalaksanaan
a. Tindakan operatif bila ditemukan kerusakan alat-alat dalam rongga
panggul
b. Stabilisasi fraktur panggul misalnys:
 Fraktur avulsi atau stabil diatasi dengan pengobatan konservatif
seperti istrahat, traksi, pelvic sling
 Fraktur tidak stabil diatasi dengan fiksasi eksterna atau dengan
operasi
B. Diagnose keperawatan
Menurut Muttaqin (2008) diagnosa keperawatan fraktur pelvis yaitu:
a. Nyeri berhungan dengan pergerakan fragmen tulang punggul, cedera
neuromuskular dan reflek spasme otot sekunder.
b. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik
ekstremitas bawah.
c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular.
d. Resiko tinggi trauma berhubungan dengan penurunan kesadaran,
kerusakan mobilitas fisik, pemasangan fiksasi eksternal.
e. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya port the entri dari
luka terbuka pada daerah panggul. Luka pasca bedah, pemasangan
fiksasi eksterna.
f. Aktual/resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan
imobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
g. Resiko tinggi koping individu tidak efektif berhubungan dengan
disfungsi seksual, prognosis kodisi sakit, program pengobatan, tirah
baring lama.
h. Cemas berhubungan dengan krisis situasional; ancaman terhadap
konsep diri, perubahan status kesehatan atau status ekonomi atau
fuungsi peran
5. Cardiac Arrest
a. Konsep medis
 Definisi
Henti Jantung atau cardiac arrest merupakan keadaan dimana
terjadinya penghentian mendadak sirkulasi normal darah ditandai dengan
menghilangnya tekanan darah arteri. Henti jantung dapat mengakibatkan
asistol, fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel tanpa nadi. (Hardisma,
2014).
Cardiac arrest adalah keadaan dimana sirkulasi darah berhenti
akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif. Keadaan henti
jantung di tandai dengan tidak adanya nadi dan tanda-tanda sirkulasi
lainnya.(American Heart Association,2015).
Cardiac Arrest atau henti jantung adalah penghentian aktifitas
pompa jantung efektif yang mengakibatkan penghentian sirkulasi.
Terdapat hanya dua tipe henti jantung, yaitu cardiac standstill (asistol) dan
fibrilasi ventrikel plus format lain dari kontraksi ventrikel tak efektif,
seperti flutter ventrikel, dan yang jarang terjadi takikardia ventrikel.
(Muttaqin, 2012).

 Etiologi
Henti jantung dapat terjadi ketika adanya disfungsi dari sistem
listrik jantung, sehingga menyebabkan terjadinya aritmia. Aritmia yang
paling umum terjadi pada cardiac arrest adalah ventrikel fibrilasi. Cardiac
arrest dapat diubah apabila jika CPR (Cardiopulmonary resucitation)
dilakukan dan defibrilasi digunakan untuk mengejutkan jnatung dan
mengembalikan irama jantung yang normal dalam beberapa menit. Henti
jantung dapat disebabkan oleh semua hampir gangguan pada jantung yang
dikenal. Penyebab yang paling umum adalah : Jaringan parut yang terjadi
karena serangan jantung sebelumnya atau penyebab lain. Jantung yang
terdapat bekas luka atau membesar karena sebab apapun rentan untuk
terjadi arirmia ventrikel yang mengancam. Enam bulan pertama setelah
serangan jantung adalah resiko periode yang sangat tinggi untuk menderita
cardiac 13 arrest pada pasien dengan penyakit jantung aterosklerotik.
Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) dari setiap penyebab (tekanan
darah tinggi atau penyakit katup jantung) apalagi ditambah dengan gagal
jantung. Obat jantung, dalam kondisi tertentu beberapa obat jantung dapat
menyebabkan aritmia yang selanjutnya dapat menyebabkan cardiac arrest.
Kelainan listrik tertentu seperti sindrom wolffparkinson- white dan
sindrom QT panjang dapat menyebabkan serangan jantung mendadak
pada anak-anak dan orang muda. Penggunaan narkoba, pada orang tanpa
penyakit jantung organik, penggunaan narkoba merupakan penyebab
penting dari serangan jantung mendadak. Sedangkan penelitian lain
menyatakan penyebab cardiac arrest dapat terjadi oleh banyak kondisi
yang mendasarinya yang meliputi infark miokard, overdosis obat, trauma,
dan ganguan impuls yang meliputi ventrikel fibrilasi (Harmon et al.,
2015).

 Faktor Resiko
a. Jejas di jantung sehingga cenderung untuk mengalami aritmia
ventrikel yang mengancam jiwa dan berisiko tinggi untuk terjadi
cardiac arrest.
b. Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) membuat seseorang
cenderung untuk terkena cardiac arrest.
c. Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung, beberapa
obatobatan untuk jantung (anti aritmia) justru merangsang timbulnya
aritmia ventrikel dan berakibat cardiac arrest. Kondisi seperti ini
disebut proarrythmic effect.
d. Kelistrikan yang tidak normal dan sindroma gelombang QT yang
memanjang bisa menyebabkan cardiac arrest pada anak dan dewasa
muda.
e. Seseorang yang sering melakukan olahraga atau melakukan aktivitas
fisik yang berat, bisa menjadi pemicu terjadinya cardiac arrest apabila
dijumpai kelainan pembuluh darah yang tidak normal.
American Heart Association (2015).

 ManIfestasi Klinik
Menurut Purbanki (2010), manifestasi klinis dari cardiac arrest adalah
sebagai berikut :
a. Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara,
tepukan di pundak ataupun cubitan.
b. Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal ketika
jalan pernafasan dibuka.
c. Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis, radialis).

 Klasifikasi
a. Ventrikel Fibrilasi (VF)
Ventrikel fibrilasi dibagi menjadi dua jenis klinis yaitu VF
primer dan sekunder. VF primer terjadi karena tidak adanya disfungsi
ventrikel kiri akut dan syok kardiogenik dan ditemukan pada sekitar 5%
pasien dengan infark miokard akut (IMA). Mayoritas episode VF
primer terjadi dalam 4 jam pertama dari IMA, dan 80% terlihat dalam
awal 12 jam imfark. VF sekunder dapat terjadi karena komplikasi dari
gagal jantung akut, syok kardiogenik, atau keduanya, dan terjadi pada
sampai dengan 7% dari pasien IMA.
b. Ventrikel takikardi VT)
Ventrikel takikardi biasanya berasal dari fokus khusus dalam
miokardium ventrikel atau di jalur konduksi infranodal. VT dapat
dibedakan menjadi monoformik dan poliformik. VT menyumbang
sebagian kecil irama yang terlihat pada serangan jantung dan memiliki
prognosis yang paling menguntungkan. Hal ini relatif jarang terjadi
hasil kejadian dari awal penampilan dengan degenerasi yang cepat Jika
terapi tidak dimulai dalam peristiwa henti jantung, ritme ini cepat
dekompensasi menjadi irama yang lebih ganas seperti VF atau asistol.

c. Pulseless electric activity (PEA),


Pulseless Electrical Activity merupakan indikasi dari kejadian
medis yang sangat serius yang mendasari, seperti hipovolemia
mendalam,infark miokard masif, emboli paru luas, tachydysrhytmia
elektrolit yang signifikan. Ritme dalam situasi ini biasanya mencakup
takikardi, terutama takikardia sinus atau fibrilasi atrium dengan respon
ventrikel yang cepat. Suatu pendekatan terapi mengarah disertai
dengan resusitasi agresif akan memberikan penderita dengan pseudo-
dengan pseudo-PEA dengan kesempatan terbaik untuk bertahan hidup.

d. Asystole
Asistol adalah tidak adanya aktivitas kelistrikan jantung dan
biaasanya hasil dari kegagalan pembentukan impuls di primer (node
senoatrial) dan standar (atrioventrikular node dan miokardium
ventrikel) lokasi alat pacu jantung. Asistol juga bisa disebabkan oleh
kegagalan penyebaran impuls ke miokardium ventrikel dari jaringan
atrium.
American Heart Association (2010).

 Komplikasi
Fraktur iga dan sternum, sering terjadi terutama pada orang tua,
RJP tetap diteruskan walaupun terasa ada fraktur iga. Fraktur mungkin
terjadi bila posisi tangan salah. Komplikasi lain dapat berupa
Pneumothorax, Hemothorax, Kontusio paru, Laserasi hati dan limpa,
posisi tangan yang terlalu rendah akan menekan proces usxipoideus ke
arah hepar (limpa) dan Emboli lemak (Wilson & Drezner, 2016).

 Patofisiologis
Patofisiologi henti jantung tergantung dari etiologi yang
mendasarinya, namun, umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah
sama yaitu sebagai akibat dari henti jantung maka peredaran darah akan
berhenti. Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk
semua organ tubuh. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi
sebagai akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak. Hipoksia
cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan
kesadaran dan berhenti bernapas secara normal. Kerusakan otak mungkin
terjadi jika henti jantung tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya
akan terjadi kematian dalam 10 menit (sudden cardiac death). Henti
jantung terjadi ketika sistem listrik jantung mengalami malfungsi dan akan
menghasilkan kematian jika jantung secara tiba-tiba berhenti bekerja
dengan benar. Hal ini disebabkan oleh ketidaknormalan atau
ketidakteraturan iram jantung yang sering disebut dengan aritmia. Aritmia
yang paling umum dalam serangan jantung adalah ventricular fibrillation
(VF) atau ventricular tachycardia (VT) (Field et al., 2010).
Masalah lain yang berhubungan dengan sistem listrik jantung yang
juga dapat menyebabkan henti jantung adalah jika tingkat sinyal listrik
jantung menjadi sangat lambat dan berhenti. Henti jantung juga dapat
terjadi jika otot jantung tidak merespon sinyal listrik jantung. Selain itu,
beberapa penyakit dan kondisi tertentu dapat menyebabkan masalah listrik
pada jantung dan menyebabkan terjadinya henti jantung, seperti penyakit
jantung koroner (PJK), atau yang disebut penyakit arteri koroner, stres
fisik yang berat, kelainan bawaan tertentu, dan perubahan struktural dalam
jantung (Zipes & Wellens, 1998).

 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik didasarkan atas gejala klinis sebagai berikut :
a. Gerakan pernafasan dan angin pernafasan yang menghilang atau
sangat lemah
b. Denyut nadi dan bunyi jantung menghilang atau sangat
lemah,bradikardia/takikardia yang sangat menjolok
c. Hilangnya kesadaran : dilatasi pupil

 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan henti jantung pada fibrilasi ventrikel (FV) tentang
resusitasi jantung paru (RJP) dan layanan kegawat daruratan
kardiovaskuler.
Mengingat VF masih menjadi gambaran ritme tersering pada
kasus henti jamtung dan memiliki prognosis lebih baik di bandingkan
gambaran asistol atau pulseless electrical activity (PEA), upaya terbaik
perlu di kerahkan untuk menyegerakan RJP dan akses defibrillator
eksternal otomatis (automated external defibrillator/AED). Namu,di
indonesiakeberadaan alat AED ini masih jarang dan hanya tersedia di
tempat-tempat tertentu saja. Idealnya penolong pada kasus henti jantung di
luar RS berjumlah 2 orang, salah satunya di antaranya melakukan
kompresi jantung efektif sedangkan yang lainnya mempersiapkan AED.
Apabila pemeriksaan irama jantung pasien oleh AED menunjukan
gambaran VF/VT, penolong pertama tetap melanjutkan RJP dan penolong
kedua mengisi daya defibrillator. Ketika daya defibrillator terisi, CPR di
tunda untuk mengamankan pemberian kejut jantung pada pasien.
Kemudian penolong kedua memberikan kejut jantung secepat mungkin
untuk mengurangi interupsi pada tindakan RJP. Setelah itu, penolong
pertama melanjutkan RJP hingga 2 menit yang di teruskan dengan
pemeriksaan irama jantung kembali.
Pada pasien yang kemudian telah mendapat pertolongan medis atau tiba di
RS namun masih memiliki ganguan hemodinamik yang di sertai aritmia
ventrikel pasca kejut jantung maksimal, pemberian amiodarone intravena
perlu di pertimbangkan agar irama jantung menjadi lebih stabil pada
defibrilasi bsrikutnya. VF dan VT tanpa pulsasi dapat menyebabkan
kematian bila tidak di tangani dengan cepat. Pemberian kardioversi DC
(direct current) perlu di lakukan sesegera mungkin pada kedua jenis
gambaran irama jantung tersebut untuk mendukung kesintasan yang lebiah
baik (American Heart Association, 2017) .

b. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan Perfusi Serebral berhubungan dengan
penurunan suplai O2 ke otak
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
suplai O2 tidak adekuat.
3. Penurunan Curah Jantung berhubungan dengan
kemampuan memompa jantung menurun.
4. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan umum,
ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen

6. CKB
b. Konsep medis
 Definisi
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak.
Cedera otak primer merupakan kerusakan terjadi pada otak segera setelah
trauma.
Cedera kepala berat merupakan cedera kepala yang mengakibatkan
penurunan kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8, mengalami amnesia > 24
jam (Haddad, 2012)
Cedera kepala berat adalah keadaan dimana penderita tidak mampu
melakukan perintah sederhana oleh karena kesadaran menurun (GCS < 8)
(ATLS, 2008).
Dari semua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa cedera kepala
berat adalah proses terjadinya trauma langsung atau deselerasi terhadap
kepala yang menyebabkan suatu ganguan traumatic dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa perdarahan interstitial dimana mengalami penurunan
kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8 dan mengalami amnesia > 24 jam.
 Etiologi
Etiologi menurut Siahaya dkk (2020) adalah sebagai berikut :
a. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat dan
menimbulkan cedera loka;l. kerusakan local meliputi kontusio serebral,
hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan
masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh
(difusi).Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk
yaitu cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak
menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera
menyebar pada hemisfer serebral, batang otak atau kedua-duanya.

Akibat dari trauma tergantung pada :

a. Kekuatan benturan (parahnya kerusakan)


b. Akselerasi dan deselerasi
c. Cup dan kontra cup
1. Manifestasi Klinis
a. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih.
b. Kebingungan
c. Iritabel
d. Pucat
e. Mual dan muntah
f. Pusing kepala
g. Terdapat hematoma
h. Kecemasan
i. Sukar untuk dibangunkan
j. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
k. Peningkatan TD, penurunan frekuensi nadi, peningkatan pernafasan.
 Klasifikasi
 Komplikasi
Komplikasi utama trauma kepala adalah infeksi edema dan herniasi
melalui tontronium. Infeksi selalu menjadi ancaman yang berbahaya untuk
cedera terbuka dan edema dihubungkan dengan trauma jarinan rupture dan
vaskuler dapat terjadi sekalipun pada cedera ringan keadaan ini menyebabkan
perdarahan diantara tulang tengkorak dan permukaan selberal. Kompresi otak
dibawahnya akan menghasilkan efek yang dapat menimbulkan kematian
dengan cepat atau keadaam semakin memburuk (Wong, 2015)
 Patofisiologi
Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur,
misalnya kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah,
perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis
tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler.Patofisiologi cedera kepala dapat
terbagi atas dua proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala
sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang
terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat memberi dampak
kerusakan jaringan otak. Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat dari
cedera kepala primer, misalnya akibat dari hipoksemia, iskemia dan
perdarahan.
Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epidural
hematoma, berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter,
subdura hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter
dengan subaraknoid dan intra cerebral, hematoma adalah berkumpulnya darah
didalam jaringan cerebral.Kematian pada penderita cedera kepala terjadi
karena hipotensi karena gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi
menimbulkan perfusi jaringan cerebral dan berakhir pada iskemia jaringan
otak.(Tarwoto, 2007).
Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Cedera Primer
Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang
tengkorak, robek pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak
(termasuk robeknya duramater, laserasi, kontusio).
b. Cedera Sekunder.
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut
melampaui batas kompensasi ruang tengkorak.
Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup
dan volumenya tetap.Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu
darah, liquor, dan parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang
terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif dan terjadi
penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat
seluler.

Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :


CPP = MAP - ICP
CPP : Cerebral Perfusion Pressure
MAP : Mean Arterial Pressure
ICP : Intra Cranial Pressure
Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak.
Iskemia otak mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler yang
makin parah (irreversibel). Diperberat oleh kelainan ekstrakranial
hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang, dll.
a. Edema Sitotoksik
Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis
Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid
a.l. glutamat, aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl D-
Aspartat) dan NMDA (Amino Methyl Propionat Acid) menyebabkan
Ca influks berlebihan yang menimbulkan edema dan mengaktivasi
enzym degradatif serta menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-
kejang).
b. Kerusakan Membran Sel
Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan
menyebabkan kerusakan DNA, protein, dan membran fosfolipid sel
(BBB breakdown) melalui rendahnya CDP cholin (yang berfungsi
sebagai prekusor yang banyak diperlukan pada sintesa fosfolipid untuk
menjaga integritas dan repair membran tersebut). Melalui rusaknya
fosfolipid akan meyebabkan terbentuknya asam arakhidonat yang
menghasilkan radikal bebas yang berlebih.
c. Apoptosis
Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran
bound apoptotic bodies terjadi kondensasi kromatin dan plenotik
nuclei, fragmentasi DNA dan akhirnya sel akan mengkerut
(shrinkage).
 Pemeriksaan Diagnostik.
a. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas
darah.
b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
c. MRI : digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
d. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan
trauma.
e. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent Tengkorak
maupun thorak.
f. CSF, Lumbal Punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
g. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
h. Kadar Elektrolit:Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrakranial. (Musliha, 2016).

 Penatalaksanaan.
Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah
terjadinya cedera otak sekunder.Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor
sistemik seperti hipotensi atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan
otak. (Tunner, 36 2000)Pengatasan nyeri yang adekuat juga
direkomendasikan pada pendertia cedera kepala (Turner, 2000)
Penatalaksanaan umum adalah:
a. Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi
b. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma
c. Berikan oksigenasi
d. Awasi tekanan darah
e. Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neurogenic
f. Atasi shock
g. Awasi kemungkinan munculnya kejang.
Penatalaksanaan lainnya:
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral,
dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
b. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi
vasodilatasi.
c. Pemberian analgetika
d. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20%
atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
e. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).
f. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah
tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5%,
aminofusin, aminofel (18 jam pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3
hari kemudian diberikana makanan lunak, Pada trauma berat, hari-hari
pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam
pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam
ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran 37 rendah, makanan
diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein tergantung
nilai urea.
c. Diagnosa keperawatan
Menurut Arif Muttaqin, (2008) diagnosa keperawatan yang muncul
pada cedera kepala berat adalah sebagai berikut:
a. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kelemahan otot-
otot pernapasan atau kelumpuhan otot diafragma.
b. Ketidakefektifan pembersihan jalan napas yang berhubungan dengan
penumpukan sputum, peningkatan sekresi sekret, dan penurunan
kemampuan batuk (ketidakmampuan batuk/batuk efektif).
c. Penurunan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan cedera
kepala akut.
d. Nyeri berhubungan dengan kompresi saraf, cedera neuromuskular, dan
refleks spasme otot sekunder.
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan kemampuan mencerna makanan dan peningkatan
kebutuhan metabolisme
f. Risiko tinggi trauma yang berhubungan dengan penurunan kesadaran dan
hambatan mobilitas fisik.
g. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular.
h. Perubahan pola eliminasi urine yang berhubungan dengan
kelumpuhansaraf perkemihan.
i. Gangguan eliminasi alvi/konstipasi yang berhubungan dengan gangguan
persarafan pada usus dan rektum.
j. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan fisik
ekstremitas bawah.
k. Risiko infeksi yang berhubungan dengan penurunan sistem imunprimer
(cedera pada jaringan paru, penurunan aktivitas silia bronkus), malnutrisi,
dan tindakan invasif.
l. Perubahan persepsi sensori yang berhubungan dengan disfungsipersepsi
spasial dan kehilangan sensori.
m. Ketidakefektifan koping yang berhubungan dengan prognosis
kondisisakit, program pengobatan, dan lamanya tirah baring.
n. Ansietas yang berhubungan dengan krisis situasional, ancaman terhadap
konsep diit, dan perubahan status kesehatan, status ekonomi, fungsi
peran.
o. Ansietas keluarga yang berhubungan dengan keadaan yang kritispada
klien.

7. Stroke Hemmorhagic
a) Konsep medis
 Definisi
Stroke hemoragik merupakan perdarahan intraserebri dan perdarahan
subarachnoid yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada
daerah tertentu, terjadi saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa
juga terjadi saat istirahat (Dian Handayani & Dwi Dominica, 2018).
Stroke hemoragik atau hemoragikintrakranial terjadi ketika pembuluh
darah serebra ruptur. Terdapat dua jenis stroke hemoragik : hemoragi
intraserebral dan hemoragi subaraknoid. Hemoragik intrakranial biasanya
terjadi secara tiba-tiba, sering kali ketika orang yang terkena terlibat pada
beberapa aktivitas. Meskipun hipertensi adalah penyebab yang paling umum,
berbagai faktor dapatberkontribusi terhadap stroke hemoragik, termasuk
ruptur dinding arteri plak rapuh berkerak, ruptur aneurisma intrakranial,
trauma, pengikisan pembuluh darah. Stroke hemoragik dapat mengakibatkan
terjadingnya gangguan keseimbangan tubuh (Sulaiman & Anggriani, 2018
dalam Mompang Tua. P, Dkk, 2019).
 Etiologi
Menurut Satyanegara (2015), etiologi stroke hemoragik berdasarkan
klasifikasi stroke hemoragik adalah :
1. Perdarahan Intraserebral
Penyebab-penyebab terjadinya perdarahan intraserebral antara lain :
hipertensi, perubahan patologis arteri kecil dan arteriol berkaitan dengan
hipertensi, kelainan vascular (Ateriovenous Malformatio (AVM),
aneurisma), trauma, gangguan pembekuan darah, perdarahan tumor otak,
infrak selebral haemorrhagic, leukemia, obat-obatan (antikoagulan,
trombolitik, amfetamin, kokain, aspirin), angiopati amyloid serebri
(penyebab ICH (Intraserebral hemoragik) lobar pada usia tua).
2. Perdarahan Subarakhnoid (SAH)
Penyebab terbanyak dari perdarahan subarachnoid adalah rupture
aneurisma intracranial (75-80%). AVM (Arteriovenous Malformatio)
mengambilporsi sebanyak 4-5% dari penyebab perdarahan subarachnoid.
Sisanya disebabkan oleh trauma, vaskulitis, tumor, diseksi arteri serebral,
pecahnya arteri superfisial, gangguan pembekuan darah, thrombosis sinus
dural.
 Faktor Resiko
1. Hipertensi atau tekanan darah tinggi.
2. Hipotensi atau tekanan darah rendah.
3. Obesitas atau kegemukan.
4. Kolesterol darah tinggi.
5. Riwayat penyakit jantung.
6. Riwayat penyakit diabetes mellitus.
7. Merokok.
8. Stress.

 Manifestasi Klinik
1. Perdarahan Intraserebral
a. Tidak jelas, kecuali nyeri kepala, kecuali nyeri kepala hebat karena
hipertensi.
b. Serangan terjadi pada siang hari, saat beraktivitas, emosi atau marah.
c. Mual atau muntah pada permulaan serangan.
d. Hemiparesis atau hemiplegia terjadi sejak awal serangan.
e. Kesadaran menurun dengan cepat dan menjadi koma (65% terjadi
kurang dari ½ jam-2 jam ; <2% terjadi setelah 2 jam-19 hari).
2. Perdarahan Subarakhnoid
a. Nyeri kepala hebat dan mendadak.
b. Kesadaran sering terganggu dan bervariasi.
c. Ada gejala atau tanda meninggal.
d. Papilledema terjadi bila ada perdarahan subarachnoid karena pecahnya
aneurisma pada arteri komunikasi anterior atau arteri karotis.
3. Gangguan khusus setelah stroke
a. Hemiparesis dan Hemiplegia.
b. Afasia.
c. Disfonia.
d. Disatria.
e. Disfagia.
f. Aparaksia.
g. Perubahan penglihatan.
h. Hemianopmia homonimus.
i. Sindrom Horner.
j. Agnosia.
k. Penurunan sensorik.
l. Neglesi Unilateral.
m. Perubahan perilaku.
n. Inkontinensia.

 Klasifikasi
Menurut letaknya, stroke hemoragik dibedakan atas dua kelompok, yaitu
(Indrawati, Dkk 2016) :
1. Perdarahan Intraserebral
Pada stroke jenis ini pembuluh darah pada otak pecah dan darah
membasah jaringan otak.darah ini sangat mngiritasi jaringan otak sehingga
menyebabkan spasme atau menyempitnya arteri di sekitar tempat
perdarahan. Sel-selotak yang berada jauh dari tempat perdarahan juga
akan mengalami kerusakan karena aliran darah terganggu.selain itu, jika
volume darah yang keluar lebih dari 50 ml maka dapat terjadi proses
desak ruang yakni rongga kepala yang luasnya tetap, “diperebutkan” oleh
darah “pendatang baru” dan jaringan otak sebagai “penghuni lama”.
Biasanya proses desak ruang ini, jaringan otak yang relative lunak
mengalami kerusakan akibat penekanan oleh jendela darah.
2. Perdarahan Subarakhnoid
Perdarahan yang terjadi di pembuluh darah yang terdapat pada
pembungkus selaput pembungkus otak. Selanjutnya, darah mengalir
keluar mengisi rongga antara tulang tengkorak dan otak. Sama seperti
perdarahan intraserebral, darah yang keluar dapat menyebabkan spasme
arteri sekitar tempat perdarahan, mengiritasi jaringan sekitar, serta
menyebabkan proses desak ruang.

 Komplikasi
1. Perubahan tingkat kesadaran.
2. Edema serebral.
3. Kontraktur.
4. Kematian.
5. Ketidakseimbangan cairan.
6. Infeksi.
7. Embolisme paru.
8. Gangguan sensorik dan tekanan darah tidak stabil.
9. Stroke berulang.

 Patofisiologi
Patofisiologi stroke hemoragik adalah :
1. Perdarahan Intraserebral
Pecahnya pembuluh darah otak terutama karena hipertensi
mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa
atau hematom yang menekan jaringan otak dan menimbulkan oedema di
sekitar otak. Peningkatan Transient Iskemic Attack (TIA) yang terjadi
dengan cepat dapat mengakibatkan kematian yang mendadak karena
herniasi otak. Perdarahan Intraserebral sering dijumpai di daerha pituitary
glad, thalamus, sub kartikal, lobus parietal, nucleus kaudatus, pons, dan
cerebellum. Hipertensi kronis mengakibatkan perubahan struktur dinding
pembuluh darah berupa liphyalinosis atau nekrosis fibrinoid.
2. Perdarahan Subarakhnoid
Pecahnya pembuluh darah karena aneurisma ataya AVM
(Arteriovenous Malformatio). Aneurisma paling sering di dapat pada
percabangan pembuluh darah besar di sirkulasi wilis. AVM
(Arteriovenous Malformatio) dapat dijumpai pada jaringan otak di
permukaan pia meter dan vertikel otak, ataupun di dalam vertikel otak dan
ruang subarachnoid. Pecahnya arteri dan keluarnya darah ke ruang
subarachnoid mengakibatkan terjadinya peningkatan TIK yang mendadak,
meredanya struktur peka nyeri, sehingga timbul nyeri kepala hebat. Sering
pula di jumpai kaku kuduk dan tanda-tanda rangsangan selaput otak
lainnya. Peningkatan TIK yang mendadak juga mengakibatkan perdarahan
subhaloid pada retina dan penurunan kesadaran. Perdarahan subrachnoid
dapat mengakibatkan vasopasme pembuluh darah serebral. Vasopasme ini
seringkali terjadi 3-5 hari setelah timbulnya perdarahan, mencapai
puncaknya hari ke 5-9, dan dapat menghilang setelah minggu ke 2-5.
Timbulnya vasopasme diduga karena interaksi antara bahan-bahan yang
berasal dari darah dan dilepaskan kedalam cairan serebrospinalis dengna
pembuluh darah arteri di ruang subrachnoid ini dapat mengakibatkan
disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal
(hemiparese, gangguan hemisensorik, dan afasia). Otak dapat berfungsi
jika kebutuhan O2 dan glukosa otak dapat terpenuhi. Energy yang
dihasilkan di dalam sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi.
Otak tidak punya cadangan O2 jadi kerusakan, kerusakan aliran darah otak
walau sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.
Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar
metabolism otak, tidak boleh kurang drai 20 mg% karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70% akan terjadi gejala dsifungsi serebral. Pada saat otak hipoksi,
tubuh berusaha memenuhi O2 melalui proses metabolic anaerob yang
dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak.

 Pemeriksaan Diagnostik
1. Angiografi serebral
Memperjelas gangguan atau kerusakan pada sirkulasi serebral dan
merupakan pemeriksaan pilihan utama untuk mengetahui aliran darah
serebral secara keseluruhan.
2. Lumbal pungsi
Pungsi lumbal (yang dilakukan jika tidak terdapat tanda-tanda
kenaikan tekanan intracranial) mengungkapkan cairan serebrospinal yang
berdarah kalau serangan berupa stroke hemoragik.
3. CT-Scan
Untuk memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya
infark.
a. MRI (Magnetic Resonance Imaging) & Angiografi Resonance
Magnetic (MRA), Memungkinkan evakuasi lokasi dan ukuran lesi.
b. Ultrasonografi Dopler, mengidentifikasi penyakit arteriovena
(masalah system arteri karotis).
c. EEG, untuk mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang
otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
d. EKG, mengetahui keadaan jantung dimana jantung berperan dalam
suplai darah ke otak.
e. Pemeriksaan labolatorium standar mecakup urinalis, HDL, Laju
Endap Darah (LED), panel metabolic dasar (natrium, kalium,
klorida, bikarbonat, glukosa dan serologi untuk sifilis)
b) Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang sering muncul :
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan infark
jaringan otak, vasospasme serebral, edema serebral
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler,
kelemahan anggota gerak
3. Risiko jatuh berhubungan dengan penurunan kekuatan ekstremitas bawah
4. Gangguan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan gangguan menelan
5. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi ke
otak, perubahan sistem saraf pusat
6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler,
kelemahan, kerusakan status mobilitas
7. Gangguan menelan berhubungan dengan kerusakan reflex muntah,
paralisis wajah
8. Resiko terjadinya kontraktur berhubungan dengan imobilisasi
9. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi

8. Temponade jantung
i. Konsep medis
 definisi
ii. Diagnosa keperawatan
9. DVT (Deep Vena Thrombosis)
d. Konsep medis
5. Definisi

Istilah penyakit tromboembolik menunjukkan hubungan dengan


trombosis yaitu proses pembentukan bekuan darah (trombus) dan resiko
emboli. Trombosis Vena Dalam (TVD) adalah kondisi dimana terbentuk
bekuan dalam vena sekunder / vena dalam oleh karena inflamasi/trauma
dinding vena atau karena obstruksi vena sebagian. Trombosis Vena Dalam
(TVD) menyerang pembuluh-pembuluh darah sistem vena dalam. Serangan
awalnya disebut trombosis vena dalam akut. TVD dapat bersifat parsial atau
total. Kebanyakan trombosis vena dalam berasal dari ekstrimitas bawah.
Penyakit ini dapat menyerang satu vena bahkan lebih. Vena-vena di betis
adalah vena-vena yang paling sering terserang. Trombosis pada vena
poplitea, femoralis superfisialis, dan segmen segmen vena ileofemoralis juga
sering terjadi. Banyak yang sembuh spontan, dan sebagian lainnya
berpotensi membentuk emboli. Emboli paru-paru merupakan resiko yang
cukup bermakna pada trombosis vena dalam karena terlepasnya trombus
kemudian ikut aliran darah dan terperangkap dalam arteri pulmonalis
(Lestarini, 2017).

DVT didefinisikan sebagai bekuan darah pada vena dalam seperti


tungkai dan pelvis,merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada semua
pasien yang mengalami imobilisasi.komplikasi paling berat dari DVT adalah
emboli paru di mana bekuan darah terbawa sirkulasi ke paru dan
menyebabkan kondisi yang mengancam nyawa. Penyebab utama dari DVT
adalah imobilisasi, walaupun pada beberapa pasien cenderung mudah terjadi
pembekuan darah akibat gangguan koagulasi, seperti pada pasca bedah,
kanker ,infeksi, trauma dan pengaruh Genetik. (Rehatta, hanindhito, &
Tantri, 2019).

 Etiologi

Berdasarkan “Virchow’s Triad”, terdapat 3 faktor stimuli terbentuknya


tromboemboli, yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran
darah, dan perubahan daya beku darah. Selain faktor stimuli, terdapat faktor
protektif yaitu inhibitor faktor koagulasi yang telah aktif (contoh:
antitrombin yang berikatan dengan heparan sulfat pada pembuluh darah dan
protein C yang teraktivasi), eliminasi faktor koagulasi aktif, dan kompleks
polimer fibrin oleh fagosit mononuklear dan hepar, serta enzim fibrinolysis
(Jayanegara, 2016 dalam Martaria, Fuadi, & Sudadi, 2019).

 Faktor Resiko
Trombosit vena dalam kadang terjadi pada vena yang normal, namun
demikian faktor risiko yang dapat menyebabkan DVT adalah :

a. Imobilitas ( kurang gerakan )


Imobilitas akan menyebabkan melambatnya aliran darah pada vena dan
meningkatkan terjadinya bekuan darah. Contohnya :
1. Pasca operasi lebih dari 30 menit, karena pada saat anestesinya aliran
darah vena menurun. Oleh karena itu pasca operasi, biasanya
diberikan suntikan heparin untuk mencegah terjadinya TVD.
2. Sakit dan perawatan dapat menyebabkan imobilisasi seperti stroke
3. Kehamilan, termasuk 6-8 minggu post partum
4. Obesitas
5. Perjalanan jauh dengan kereta atau pesawat dapat meningkatkan
risiko terjadinya TVD
(Lestarini, 2017).
b. DVT yang terjadi sebelumnya dan kerusakan vena
Jika sisi dalam vena rusak, kemungkinan menjadi TVD meningkat,
seperti pada:
1. Fraktur tungkai
2. Komplikasi dari tindakan invasif pada vena (Lestarini, 2017).
c. Hiperkoagulabilitas
Pada kondisi ini pembekuan darah lebih cepat dari normal seperti pada :
1. Pengobatan (pil keluarga berencana, estrogen)
2. Kanker
3. Merokok
4. Polisitemia
(Lestarini, 2017).

 Manifestasi Klinik

Manifestasi Klinis DVT tidak selalu jelas dan sama pada setiap orang.
Keluhan utama pasien DVT adalah tungkai bengkak dan nyeri. Trombosit
dapat menjadi berbahaya apabila meluas atau menyebar ke proksimal. DVT
umumnya timbul karena faktor resiko tertentu tetapi dapat juga timbul tanpa
etiologi yang jelas (idiopathic DVT). Tanda dan gejala trombosit vena dalam
dapat berupa :

1. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung besar dan luas trombosis. Trombosit
vena di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa
menjalar kebagian medial dan anterior paha. Keluhan nyeri sangat
bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan
intensitasnya mulai dari yang ringan sampai hebat. Nyeri akan berkurang
jika penderita berbaring, terutama jika posisi tungkai ditinggikan
(Jayanegara, 2016).
2. Pembengkakan
Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena proksimal dan
peradangan jaringan perivaskuler.apabila ditimbulkan sumbatan, maka
lokasi bengkak adalah dibagian sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan
disebabkan oleh perdangan perivaskuler, bengkak timbul di daerah
trombosit dan biasanya disertai nyeri. Pembengkakan bertambah jika
berjalan dan akan berkurang jika istirahat dengan posisi kaki agak
ditinggikan (Jayanegara, 2016).
3. Perubahan warna kulit
Perubahan warna kulit dan spesifik dan tidak banyak ditemukan pada
trombosit vena dalam dibandingkan trombosit arteri, ditemukan hanya
pada 17% - 20% kasus. Kulit bisa berubah pucat dan kadang-kadang
berwarna ungu, perubahan warna menjadi pucat pada dinding pada
perabaan merupakan tanda sumbatan vena besar bersamaan dengan
spasme arteri, disebut flegmasia alba dolens (Jayanegara, 2016).

 Klasifikasi
Klasifikasi umum DVT terbagi menjadi 2 bagian yaitu :

1. Venous thromboembolism (VTE) yang terjadi pada pembuluh balik.


Salah satu jenis trombosis yang dapat terjadi pada pembuluh balik adalah
deep vein thrombosis (DVT), umumnya simtoma ini disertai oleh
embolus yang terlepas dari pembuluh paru dan beredar dalam sirkulasi
darah hingga mencapai pembuluh balik tersebut yang umumnya berada
pada kaki
2. Arterial thrombosis, yang terjadi pada pembuluh nadi.
Trombosis arteri adalah bekuan darah yang berkembang di arteri.
Berbahaya karena dapat menghalangi atau menghentikan aliran darah ke
organ utama, seperti jantung atau otak. Jika gumpalan darah
mempersempit satu atau lebih arteri yang menuju ke jantung, nyeri otot
yang dikenal sebagai angina dapat terjadi
(Wijaya, 2015).

 Komplikasi

1) Pulmonary Embolism (PE)


Emboli paru adalah penyumbatan pulmonalis atau percabangannya akibat
bekuan darah yang berasal dari tempat lain.tanda dan gejalannya ,sering
kali pasien mengeluh sesak nafas,nyeri dada saat menarik nafas,batuk
sampai hemoptoe,palpitasi,penularan saturasi oksigen.kasus berat dapat
mengalami penularan kesadaran,hipotensi sampai kematian.standar baku
penegak diagnosis adalah dengan angiografi namun inivasi dan
membutuhkan tenaga ahli.dengan demikian,dikembangkan metode
diagnosis klinis,pemeriksaan D-Dimer dan CT-angiografi (Jayanegara,
2016).

2) Post –Thrombotic syndrome


Terjadi akibat inkompetensi katup vena yang terjadi pada saat rekanalisasi
lumen vena yang mengalami thrombosis,atau karena sisa thrombus dalam
lumen vena. Syndrome ini ditandai oleh bengkak dan nyeri berulang dan
progresif, dapat terjadi dalam 1 sampai 2 tahun setelah kejadian
thrombosis vena dalam,pada 50% .pada beberapa pasien dapat terjadi
ulserasi (venus ulcer), biasanya di daerah perimaleolar tungkai.ulserasi
dapat diberi pelembab dan perawatan luka setelah ulkus sembuh pasien
harus menggunakan compresibble stocking untuk mencegah berulangnya
post-thrombotic syndrome. penggunaan compresibble stocking dapat
dilanjutkan selama pasien mendapatkan mendapatkan manfaat tetapi harus
diperiksa berkala (Jayanegara, 2016).

 Patofisiologi

Thrombosis vena biasanya terdiri dari fibrin, sel darah merah,dan


beberapa komponen trombosit dan leukosit. terdapat tiga hal yang berperan
dalam proses terjadinya thrombosis.
1. Statis vena
Aliran darah vena cenderung lambat,bahkan dapat statis terutama
didaerah yang mengalami imobilitas cukup lama.statis vena merupakan
factor predisposisi terjadinya thrombosis local,karena dapat mengangu
mekanisme pembersihan aktivitas factor pembekuan darah sehingga
memudahkan terbentuknya thrombosis (Jayanegara, 2016).

2. Kerusakan pembuluh darah


Kerusakan pembuluh darah dapat berperan dalam proses pembentukan
thrombosis vena,melalui :

- Trauma langsung yang mengakibatkan factor pembekuan darah


- Aktivasi sel endotel oleh sitokin yang dilepaskan sebagai akibat
kerusakan jaringan dan proses peradangan (Jayanegara, 2016).
3. Perubahan daya beku darah
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan system pembekuan darah
dan system fibrinolis.kecenderungan thrombosis terjadi apabila aktivitas
fibrinolisis menurun.

DVT sering terjadi pada kasus aktivitas pembekuan darah meningkat


seperti pada hiperkoagulasi ,defisiensi anti-trombin III,defisiensi protein
–c defisiensi protein s,dan kelainan plasminogen (Jayanegara, 2016).

 Pemeriksaan Diagnostik

a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat penting
dalam pendekatan pasien dengan dugaan trombosis. Riwayat penyakit
sebelumnya merupakan hal yang penting karena dapat diketahui faktor
risiko dan riwayat trombosis sebelumnya. Adanya riwayat trombosis pada
keluarga juga merupakan hal penting.3,6Diagnosis DVT tidak cukup
hanya berdasarkan gejala klinis karena tidak spesifik ataupun sensitif.
Kombinasi Well’s rule dengan hasil tes non-invasif diharapkan dapat
meningkatkan ketepatan diagnosis, sehingga dapat mengurangi kebutuhan
investigasi lebih lanjut. Skor 0 atau kurang, menandakan kemungkinan
DVT rendah, skor 1 atau 2 menandakan kemungkinan DVT sedang, dan
skor 3 atau lebih menandakan kemungkinan DVT tinggi (Jayanegara,
2016).
b. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium mendapatkan peningkatan kadar D-dimer dan
penurunan antitrombin (AT). D-dimer adalah produk degradasi fibrin.
Pemeriksaan D-dimer dapat dilakukan dengan ELISA atau latex
Aglutination assay. D-dimer <0,5 mg/mL dapat menyingkirkan diagnosis
DVT.pemeriksaan ini sensitif tetapi tidak spesifik,sehingga hasil negative
sangat berguna untuk eksklusi DVT,sedangkan nilai positif tidak spesifik
untuk DVT sehingga tidak dapat dipakai sebaqgai tes tunggal untuk
diagnosis DVT (Jayanegara, 2016).
c. Radiologis
Pemeriksaan Radiologis penting untuk mendiagnosa DVT.beberapa jenis
pemeriksaan radiologis yaqng dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis DVT,yaitu :

1) venografi
Disebut juga sebagai plebography atau contrast venography.prinsip
pemeriksaannya adalah menyuntikkan zat contrast kedalam system
vena ,akan terlihat gambaran system vena dibetis paha,inguinal,
sampai ke proksimal vena iliaca.
Venography dapat mengidentifikasi lokasi,penyebaran,tingkat
keparahan bekuan darah serta menilai kondisi vena dalam.venografi
adalah pemeriksaan paling akurat untuk mendiagnosis
DVT.sensitivitas dan spesifitasnya mendekati 100% sehingga menjadi
GOLD STANDART diagnosis DVT.namun jarang digunakan karena
invasive ,menyakitkan,mahal,paparan radiasi, dan risiko berbagai
komplikasi.

2) Flestimografi impedans
Prinsip pemeriksaan ini adalah memantau perubahan volume darah
tungkai.pemeriksaan ini lebih sensitif untuk thrombosis vena femoralis
dan illiaca dibanfingkan vena didaerah betis.

3) Ultrasonografi(USG)Doppler
Saat ini USG sering dipakai untuk mendiagnosis DVT karena non-
invasif.USG

Memiliki tingkat sensitivitas 97% dan spesifitas 96% pada pasien yang
dicurigai menderita DVT simptomatis dan terletak daerah proksimal.

4) Magnetik resonance venography


Prinsip pemeriksaan ini adalah membanding resonansi magnetic antara
daerah dan aliran darah vena lancar dengan tersumbatnya bekuan
darah.pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
tinggi,namun belum luas digunakan.saat ini sedang dikembangkan

(Jayanegara, 2016).

d. Pemeriksaan resonansi magnetic untuk mendekteksi langsung bekuan


darah dalam vena .pemeriksaan ini tidak menggunakan kontras,hanya
memanfaatkan kandungan methemoglobin bekuan darah (Jayanegara,
2016).
 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan TVD adalah untuk mencegah bertambah besarnya


bekuan, mencegah emboli paru, sindroma post trombosis dan terjadinya
TVD berulang.

1. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi yang digunakan biasanya adalah antikoagulan dan
trombolitik.

1) Antikoagulan
Antikoagulan digunakan untuk mencegah terjadi bekuan yang
semakin besar, dan mencegah pembentukan bekuan darah. Jika
terapi antikoagulan diberikan segera setelah TVD terbentuk, maka
akan menurunkan risiko terjadinya emboli paru. Antikoagulan yang
biasa dipakai adalah heparin dan warfarin (Lestarini, 2017).

2) Trombolitik
Berbeda dengan antikoagulan yang berfungsi mencegah perluasan
maupun kekambuhan trombosis, obat trombolitik seperti
steptokinase, urokinase dan tissue plasminogen activatorbekerja
melarutkan trombin. Obat ini terutama digunakan pada penderita
emboli paru yang luas disertai gangguan kardiorespirasi dan risiko
perdarahan yang kecil (Lestarini, 2017).

2. Terapi Non Farmakologi


Selain terapi farmakologi, juga dilakukan terapi non farmakologi untuk
pencegahan secara mekanik yaiu

1) Penggunaan kaos kaki yang dapat memberi penekanan


(Compression Elastic stockings). Digunakan pada pagi hari dan
seharian saat aktivitas, dilepas pada saat akan tidur, dapat digunakan
pula saat istirahat dengan posisi menaikkan tungkai pada saat
tiduran.
2) Menaikkan tungkai, yaitu posisi kaki dan betis lebih tinggi dari
pinggul, posisi ini diharapkan dapat memperlancar aliran darah vena.
3) Intermittent pneumatic compresion, alat ini dapat memberikan
penekanan dari luar secara teratur pada tungkai bawah atau tungkai
bawah dan paha; besarnya tekanan 35-40 mmHg selama 10 detik /
menit.
4) Mobilisasi awal untuk meningkatkan aliran darah vena pada kondisi
stasis (Lestarini, 2017).

b. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
aliran darah / statis vena (obstruksi vena sebagian / penuh ), ditandai
dengan : oedema jaringan, penurunan nadi perifer, pengisian kapiler,
pucat, eritema
2. Nyeri berhubungan dengan penurunan sirkulasi arteri dan oksigenasi
jaringan dengan produksi / akumulasi asam laktat pada jaringan atau
inflamasi, ditandai dengan ; pasien mengatakan nyeri, hati-hati pada
kaki yang sakit, gelisah dan perilaku distraksi.
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penekanan syaraf
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan oedema pada kaki
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan aktifitas
6. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer in adekuat
(Marry, 2016)

10. Tension Pneumorhoraks


7. Konsep medis
1. Definisi
Pneumotoraks adalah adanya udara yang terdapat antara pleura
visceralis dan cavum pleura. Pneumotoraks dapat terjadi secara spontan atau
karena trauma. Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga
paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga dada. Udara dalam
kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh karena adanya robekan pleura
visceralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari alveolus akan
memasuki kavum pleura. Pneumotoraks jenis ini disebut sebagai closed
pneumotorax. Apabila kebocoran pleura visceralis berfungsi sebagai katup,
maka udara yang masuk saat inspirasi tak akan dapat keluar dari kavum pleura
pada saat ekspirasi. Akibatnya, udara semakin lama semakin banyak sehingga
mendorong mediastum kearah kontralateral dan menyebabkan terjadinya
tension pneumotorax[ CITATION Let17 \l 1033 ].
2. Etiologi
Menurut Alsegaf (2004), dalam Pratama, (2014) Terdapat beberapa jenis
pneumotoraks yang dikelompokkan berdasarkan penyebabnya:
a) Pneumotoraks primer: terjadi tanpa disertai penyakit paru yang
mendasarinya.
b) Pneumotoraks sekunder: merupakan komplikasi dari penyakit paru yang
mendahuluinya.
c) Pneumotoraks traumatik: terjadi akibat cedera traumatik pada dada.
Traumanya bisa bersifat menembus (luka tusuk, peluru atau benturan pada
kecelakaan motor). Pneumotoraks juga bisa merupakan komplikasi dari
tindakan medis tertentu (misal torakosentesis)[ CITATION Let17 \l 1033 ].
3. Faktor Resiko
Beberapa faktor resiko telah berhasil diidentifikasi dari penelitian
sebelumnya, namun peningkatan kasus pneumotoraks belum dapat dijelaskan
dengan pasti. Peningkatan angka kejadian ini mungkin berhubungan dengan
habitus pasien, polusi udara, perubahan tekanan atmosfer, kebiasaan
merokok, peningkatan luas tubuh yang cepat (ketidakseimbangan
penambahan berat dengan tinggi tubuh), dan juga faktor genetik. Terdapat
hubungan antara insiden pneumotoraks spontan dengan jenis kelamin, umur,
dan penyakit penyerta. Pneumotoraks spontan lebih banyak terjadi pada laki-
laki dibandingkan perempuan. Berdasarkan umur, terlihat dua kali
penambahan kecenderungan pneumotoraks pada usia 20-30 untuk
pneumotoraks spontan primer (PSP) dan usia 50-60 untuk pneumotoraks
spontan sekunder (PSS).

Tension pneumotoraks yang luas dan durasi lama dapat menjadi


faktor resiko reexpansion pulmonary edema dan hipoksia.

a) Reexpansion Pulmonary Edema (REPE). REPE dapat terjadi pada


pneumotorak volume luas dengan durasi gejala yang mencapai lebih dari
3 hari. Reekspansi paru yang cepat menyebabkan perubahan cepat
tekanan intratorakal sehingga terjadi peningkatan tekanan kapiler dan
hidrostatik paru. Kondisi ini diperkuat dengan kondisi paru yang sudah
mengalami hipoksemia jaringan paru regional yang menyebabkan
migrasi sel dan mediator inflamasi, serta perubahan permeabilitas kapiler
alveolar.
b) Hipoksia dapat menyebabkan stress oksidatif di paru. Adanya kondisi,
hipoksia dapat memicu produksi endogen berlebihan radikal bebas / ROS
(reactive oxygen species) oleh sel-sel paru. Radikal bebas atau ROS ini
dapat menyebabkan cedera sel paru (stress oksidatif paru). Manifestasi
yang timbul akibat stress oksidasi paru dapat berupa inflamasi dan
edema paru[ CITATION Mut19 \l 1033 ]
.
4. Manifestasi Klinik
Manifestasi Klinis Tension pneumotoraks
a) Pasien gelisah
b) Tachypnea/distress napas
c) Tachycardia
d) Shock
e) Penurunan udara yang masuk pada area yang terkena/ pernafasan
asimetris
f) Tidak ada suara nafas pada are yang terkena
g) Hiper-rensonan pada area yang terkena
h) Distensi vena leher
i) Deviasi trachea ke arah yang tidak terkena
j) Cyanosis
[ CITATION Rin19 \l 1033 ].

Penyebab tersering dari tension pneumotoraks yang bisa didapatkan


akibat kecelakaan lalu lintas (Siswanto A.H, 2020) : akibat tingginya
kecepatan kendaraan bermotor mengakibatkan resiko terjadinya kecelakaa
semakin, sehingga trauma yang terjadi akan semakin parah. Jika kita
menemukan penderita ditempat kejadian, identifikasi terlebih dahulu. Akibat
benturan yang keras terhadap dinding dada penderita akan mengeluhkan
nyeri pada dinding dadanya. Disamping itu dilihat juga apakah ada atau
tidak perlukaan yang terjadi pada dinding dada, untuk mengetahui apakah
terdapat luka terbuka pada dinding dada penderita yang bisa menimbulkan
pneumotoraks terbuka. Sesak napas akan terjadi pada penderita
pneumotoraks akibat udara yang mulai masuk mengisi rongga pleura. Jika
terus berlanjut penderita akan terlihat gelisah akibat kesulitan bernapas.
Usaha dari tubuh untuk mengkompensasi akibat sesak napas yang terjadi
adalah bernapas yang cepat (takipneu) dan denyut nadi yang meningkat
(takikardia). Udara yang masuk kedalam rongga pleura ini akan menyebakan
terjadi pendesakan pada parenkim paru-paru hingga menjadi kolaps, jadi
yang mengisi rongga dada yang mengalami pneumotoraks adalah udara,
pada saat diperiksa dengan mengetuk dinding dada akan terdengar suara
hipersonor, akibat akumulasi udara pada rongga pleura. Kolapsnya paru-paru
yang terdesak oleh udara yang berada di rongga pleura ini menyebabkan
proses ventilasi dan oksigenasi berkurang atau malah tidak terjadi, sehingga
jika didengarkan dengan stetoskop suara napas tidak terdengar[ CITATION
Sis20 \l 1033 ].

5. Klasifikasi
Pneumotoraks dapat diklasifikasikan sesuai dengan dasar etiologinya
seperti Spontan pneumotoraks, dibagi menjadi 2 yaitu, Spontan
Pneumotoraks primer (primery spontane pneumothorax) dan Spontan
Pneumotoraks Sekunder (secondary spontane pneumothorax):

1. Pneumotoraks Spontan Primer ( primery spontaneous pneumothorax)


D
ari kata “primer” ini dapat diketahui penyebab dari pneumotoraks
belum diketahui secara pasti, banyak penelitian dan terori telah di
kemukakan untuk mencoba menjelaskan tentang apa sebenarnya
penyebab dasar dari tipe pneumotoraks ini. Ada teori yang menyebutkan,
disebabkan oleh faktor konginetal, yaitu terdapatnya bula pada subpleura
viseral, yang suatu saat akan pecah akibat tingginya tekanan intra pleura,
sehingga menyebabkan terjadinya pneumotoraks. Bula subpleura ini
dikatakan paling sering terdapat pada bagian apeks paru dan juga pada
percabangan trakeobronkial. Pendapat lain mengatakan bahwa PSP ini
bisa disebabkan oleh kebiasaan merokok. Diduga merokok dapat
menyebabkan ketidakseimbangan dari protease, antioksidan ini
menyebabkan degradasi dan lemahnya serat elastis dari paru-paru, serta
banyak penyebab lain yang kiranya dapat membuktikan penyebab dari
pneumotoraks spontan primer[ CITATION Pun \l 1033 ].
2. Pneumotoraks Spontan Sekunder (Secondary Spontaneus Pneumothorax)
Pneumotoraks spontan sekunder merupakan suatu pneumotoraks yang
penyebabnya sangat berhubungan dengan penyakit paru-paru, banyak
penyakit paru-paru yang dikatakan sebagai penyebab dasar terjadinya
pneumotoraks tipe ini. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD),
infeksi yang disebabkan oleh bakteri pneumocity carinii, adanya keadaan
immunocompremise yang disebabkan oleh infeksi virus HIV, serta
banyak penyebab lainnya, disebutkan penderita pneumotoraks tipe ini
berumur diantara 60-65 tahun[ CITATION Pun \l 1033 ].

6. Komplikasi

Menurut Corwin, (2009) ada 2 komplikasi pada pneumotoraks yaitu:

a) Tension pneumotorax dapat menyebabkan pembuluh darah kolaps,


akibatnya pengisian jantung menurun sehingga tekanan darah menurun.
Paru yang sehat juga dapat terkena dampaknya[ CITATION Let17 \l 1033 ].
b) Pneumotoraks dapat menyebabkan hipoksia dan dispnea berat. Kematian
dapat terjadi. Menurut Williams komplikasi pneumotoraks adalah
gangguan paru dan gangguan sirkulasi yang fatal[ CITATION Let17 \l 1033 ].
7. Patofisiologi

Normalnya, tekanan pada intrapleura ialah negatif (yaitu kurang dari


tekanan atmosfer) karena recoil dari dinding dada bagian dalam dan luar. Pada
pneumotohrax, udara memasuki rongga pleura baik dari luar dada maupun
dari luar. Selanjutnya dijelaskan oleh Richard W. Light (2017) dalam
tulisannya yaitu mengenai tension pneumothorax. Tension pneumothorax
merupakan salah satu bentuk pneumothorax yang menyebabkan peningkatan
tekanan intrapleura secara progresif menjadi bertekanan positif. Paru-paru
menjadi collaps dan siklus pernapasan terganggu, lalu mendorong
mediastinum, dan menyebabkan venous return tidak seimbang. Tekanan
venous return yang terganggu dapat menyebabkan hipotensi sistemik dan
respiratory atau cardiac arrest dalam hitungan menit. Terkadang, tension
pneumothorax ialah hasil atau komplikasi dari traumatic pneumothorax.
Terjadi ketika luka atau trauma di dada menjadi one way valve untuk udara
memasuki rongga pleura kemudian terjebak dan mengakibatkan peningkatan
volume udara pada rongga pleura selama siklus inspirasi. [ CITATION Asn191 \l
1033 ]

8. Pemeriksaan Diagnostik

a) Observasi klinis pasien


b) Radiologi dada : gambaran hilangnya vaskularisasi pulmonal pada area
yang terkena.jangan menunggu radiografi jika pasien menujukkan tanda
dan gejala tension pneumothorax[ CITATION Rin19 \l 1033 ][CITATION
Mut19 \l 1033 ].
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium studi
Hematokrit dari cairan pleura
1) Pengukuran hematokrit hampir tidak pernah diperlakukan pada
pasiendengan hematothorax traumatis[ CITATION Asn191 \l 1033 ].
2) Studi ini mungkin diperlakukan untuk analisis berdarah
nontraumatik efusi dari penyebabnya. Dalam khusus tersebut,
sebuah efusi pleura dengan hematokrit lebih dari 50 % dari yang
hematokrit beredar deanggap sebagai hematothorax[ CITATION Asn191
\l 1033 ].
b. Imagingstudy
1) Chest radiography
Chest radiographyadalah studi ideal untuk diagnostikdalam evaluasi
hematothorax. Dalam unscarrednormal,rongga pleura yang
hemothtorax dicatat sebagai meniskus cairan menumpulkan
costophiremicdiafragmatik sudut atau permukaan dan penentuan atas
margin pleura dinding dada saat dilihat pada hasil thorax foto AP.
Pada dasarnya tampakan yang sama ditemukan pada radiography dada
pasien dengan efusi pleura. Pengaturan posisi pada trauma akut, ialah
posisi terlentang agar diagnosa dapat ditegakkan dan terapi
definitifdapat diberikan. Jika kejadian hematothoraxjauh lebih sulit
untuk mengevaluasi pada film terlentang[ CITATION Asn191 \l 1033 ] .
2) Ultrasonography
USG digunakan dibeberapa pusat trauma untuk melakukan evaluasi
awal pasienhematothorax. Salah satu kekurangan dari USG dalam
identifikasi traumatis terkait hematothorax adalah luka –luka yang
terlihat pada radiography dada pada pasientrauma, seperti cedera
tulang, mediastinum yang melebar dan pneumothorax, tidak mudah
diidentifikasi di dada Ultrasonographgambar. Ultrasonographylebih
mungkin berperan dalam kasus –kasus tertentu dimana x–ray dada
pada hematothorax yang samar –samar[ CITATION Asn191 \l 1033 ].

3) CTScan
CT scan sangat akurat studi diagnostik cairan pleura atau darah.
Pengaturan trauma tidak memegang peran utama dalam diagnostik
hematothorax tetapi melengkapi data radiography. Karena banyak
korban trauma tumpul melakukan rongten dada atau evaluasi CT scan
abdomen. Saat ini CT scan adalah penentu terbesar dalam penegakan
diagnostik kemudian untuk lokalisasi dan klasifikasi dari setiap
temuan dalam rongga pleura[ CITATION Asn191 \l 1033 ].

10. Penatalaksanaan

Terapi suportif segera meliputi analgesia dan penambahan oksigen.


Pengobatan bergantung pada penyebab, ukuran, dan gejala.Pneumotoraks
tension harus segera didrainase. PSP kecil (<30%) mudah diobservasi dan
reabsorsi spontan dikonfirmasi berdasarkan foto toraks pasien rawat jalan
secara serial. PSP >30% dapat diaspirasi dengan jarum 16G pada ruang
interkosta II di garis midklovikularis menggunakan siring 50 mL yang
dihubungkan ke tap tiga jalur dan segel di bawah air. Setelah observasi
semalaman, aspirasi yang berhasil dikonfirmasi berdasarkan re-ekspansi paru
pada foto toraks berulang. Kadang-kadang, drainase selang interkosta
diperlukan untuk PSP besar dengan gagal napas atau jika aspirasi tidak
berhasil[ CITATION Let17 \l 1033 ].

Pada umumnya, SP dan pneumotoraks traumatik selalu memerlukan


perawatan di rumah sakit dan insersi drain toraks interkosta. Draininterkosta
multipel mungkin diperlukan untuk memastikan re-ekspansi paru yang
adekuat pada beberapa pasien dengan pneumotoraks lokulata multipel.Pada
pasien yang diberikan ventilasi secara mekanis, tekanan jalan napas yang
tinggi atau volume tidal yang besar mendorong kebocoran persisten dan harus
dihindari.Drain toraks kecil (16G) hampir selalu adekuat. Drain toraks besar
menyakitkan dan tidak mempunyai manfaat yang signifikan [ CITATION Let17 \l
1033 ].

Kebocoran drain persisten menunjukkan terjadinya fistula


bronkopleura (bronchopleural fistula, BPF). Aliran tinggi, pengisapan dinding
dengan tekanan 5-50 cmH2O, dapat melawan pleura viseralis dan
parietalissehingga memungkinkan pleurodesis spontan. Fisioterapi dan
pembersihan bronkial diperlukan untuk mempertahankan patensi jalan
napas.Saran dini pada penatalaksanaan BPF secara bedah penting dilakukan.
Torakoskopi dibantu video sama efektifnya dengan toraktomi saat mengoreksi
BPF tetapi menyebabkan sedikit disfungsi respirasi[ CITATION Let17 \l 1033 ].
Drain toraks diangkat bila foto toraks menunjukkan telah terkjadi
ekspansi paru dan tidak ada kebocoran udara yang melalui drain selama 24
jam. Drain sebaiknya tidak diklem sebelum dikeluarkan. Setelah analgesia
yang adekuat, drain ditarik keluar bila pasien dalam inspirasi.Jahitan inversi
sirkular dan kontinu di sekitar tempat drainase disatukan secara kuat
[ CITATION Let17 \l 1033 ].

8. Diagnosa keperawatan
c. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan Ekspansi paru, akumulasi
udara dalam pleura.
d. Nyeri akut b.d agen injury fisik (luka insisi post pemasangan WSD)
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan
ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
f. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kuranganya impormasi tentang
proses penyakit dan penatalaksanaan.
g. Risiko infeksi berhubungan dengan diskontinuitas jaringan

11. Syok Kardiogenik


1) Konsep medis
1. Definisi
Syok adalah proses akut di mana tubuh tidak dapat
memberikan oksigen yang cukp untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme organ dan jaringan vital. Syok didefinisikan sebagai
sindrom gangguan patofisiologi berat yang ketika berlanjut
menyebabkan perfusi jaringan yang buruk, hal ini dapat dikaitkan
dengan metabolisme sel yang tidak normal. Selain itu, syok
merupakan kegagalan sirkulasi perifer yang menyeluruh sehingga
perfusi jaringan menjadi tidak adekuat. Syok kardiogenik merupakan
suatu kondisi dimana terjadi hipoksia jaringan sebagai akibat dari
menurunnya curah jantung, meskipun volume intravaskuler cukup.
Sebagian besar kondisi syok ini disebabkan oleh infark miokard akut
(Asikin et all, 2016).
Pendapat lain mengatakan bahwa syok kardiogenik adalah
kelainan jantung primer yang menyebabkan kelainan fungsi jaringan
yang tidak cukup untuk mendistribusi bahan makanan dan mengambil
sisa metabolisme. Syok kardiogenik adalah syok yang disebabkan oleh
ketidakadekuatan perfusi jaringan akibat dari kerusakan fungsi
ventrikel. Syok kardiogenik adalah ketidakmampuan jantung
mengalirkan cukup darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme, akibat dari gangguan fungsi pompa jantung (Aspiani,
2015).

2. Etiologi

Beberapa faktor penyebab terjadinya syok kardiogenik, yaitu :

1. Infark miokardium

Jantung yang rusak tidak dapat memompa darah


dan curah jantung tiba-tiba menurun. Tekanan sistolik
menurun akibat kegagalan mekanisme kompensasi.
Jantung akan melakukan yang terbaik pada setiap
kondisi,sampai akhirnya pompa jantung tidak dapat
memperfusi dirinya sendiri.

2. Aritmia ventrikel yang mematikan

Pasien dengan takikardia terus menerus akan


dengan cepat menjadi tidak stabil. Tekanan darah
sistolik dan curah jantung menurun karena denyut
jantung yang terlalu cepat menurunkan waktu pengisian
ventrikel dan fibrasi ventrikel. Takikardia ventrikel dan
fibrasi ventrikel dapat terjadi karena iskemia
miokardium setelah infark miokardium akut.

3. Gagal jantung stadium akhir

Jaringan perut di miokardium akibat serangan


jantung sebelumnya, dilatasi ventrikel, dan iskemia
miokardium kronis merusak otot jantung, dan gerak
dinding menjadi tidak terkoordinasi (ruang ventrikel
tidak dapat memompa secara bersamaan).

3. FaktorResiko

Terdapat beberapa faktor resiko yang bisa memicu terjadinya


syok kardiogenik, yaitu :

a. Masalah kardiovaskuler
penyakit jantung dan pembuluh darah seperti gagal jantung,
serangan jantung, hingga kerusakan katup jantung, bisa memicu terjadi
syok kardiogenik

b. Usia
Usia 65 atau 75 tahun ke atas lebih rentan terserang syok kardiogenik

c. Mengidap kondisi medis tertentu seperti obesitas, diabetes atau sepsis


d. Riwayat menjalani prosedur medis seperti operasi bypass jantung
e. Wanita
Sebagian besar kasus syok kardiogenik lebih sering terjadi pada wanita

4. Manifestasi Klinik

Menurut buku Aspiani 2015 timbulnya syok kardiogenik dengan


infark miokard akut dapat dikategorikan dalam beberapa tanda dan gejala
berikut:

a. Timbulnya tiba-tiba dalam waktu 4-6 jam setlah infark akibat gangguan
miokard miokard atau rupture dinding bebas ventrikel kiri

b. Timbulnya secara perlahan dalam beberapa hari sebagai akibat infark


berulang

c. Timbulnya tiba-tiba 2 hingga 10 hari setelah infark miokard disertai


timbulnya bising mitral sistolik, ruptur septum atau disosiasi elektro
mekanik. Episode ini disertai atau tanpa nyeri dada, tetapi sering disertai
dengan sesak napas akut

Keluhan dada pada infark miokard akut biasanya didaerah substernal,


rasa seperti ditekan, diperas, diikat, rasa dicekik, dan disertai rasa takut. Rasa
nyeri menjalar ke leher, rahang, lengan dan punggung. Nyeri biasanya hebat
dann berlangsung lebih dari ½ jam, tidak menghilang dengan obat-obatan
nitrat. Syok kardiogeenik yang berasal dari penyakit jantung lainnya,
keluhan sesuai dengan penyakit dasarnya.

d. Klasifikasi

Syok kardiogenik dapat dibagi dalam 3 tahap yang semakin lama semakin
berat, yaitu :

a. Tahap I, syok terkompensasi (non-progresif)ditandai dengan respon


kompensatorik, dapat menstabilkan sirkulasi, mencegah kemunduran
lebih lanjut
b. Tahap II, tahap progresif ditandai dengan manifestasi sistemis dari
hipoperfusi dan kemunduran fungsi organ
c. Tahap III, tahap refrakter ditandai dengan kerusakan sel yang hebat
dan tidak dapat lagi dihindari, yang pada akhirnya menuju kematian
5. Komplikasi

Menurut buku yang di tulis oleh Aspiani 2015 komplikasi yang muncul dari
syok kardiogenik adalah :

a. Henti jantung paru


b. Disritmia
c. Gagal multisystem organ
d. Stroke
e. Tromboemboli

f. Patofisiologi

Syok kardiogenik ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri, yang


mengakibatkan gangguan pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke
jaringan. Nekrosis fokal diduga merupakan akibat dari ketidakseimbangan
yang terus menerus antara kebutuhan dan suplai oksigen miokardium.
Pembuluh koroner yang terserang juga tidak mampu meningkatkan aliran
darah secara memadai sebagai respon terhadap peningkatan beban kerja dan
kebutuhan oksigen jantung oleh aktivitas respon kompensatorik seperti
perangsangan simpatik.

Sebagai akibat dari proses infark, kontraktilitas ventrikel kiri dari


kinerjanya menjadi sangat terganggu. Ventrikel kiri bekerja sebagai pompa
dan tidak mampu menyediakan curah jantung yang memadai untuk
mempertahankan perfusi jaringan. Maka dimulailah siklus yang terus
berulang. Siklus dimulai dengan terjadinya infark yang berlanjut dengan
gangguan fungsi miokardium.

Kerusakan miokardium baik iskemia dan infark pada miokardium


mengakibatkan perubahan metabolisme dan terjadi asidosis metabolik pada
miokardium yang berlanjut pada gangguan kontraktilitas miokardium yang
berakibat pada penurunan volume sekuncup yang dikeluarkan oleh ventrikel.
Gangguan fungsi miokardium yang berat akan menyebabkan menurunnya
curah jantung dan hipotensi arteria. Akibat menurunnya perfusi koroner yang
lebih lanjut akan meningkatkan hipoksia miokardium yang bersiklus ulang
pada iskemia dan kerusakan miokardium ulang. Dari siklus ini dapat
ditelusuri bahwa siklus syok kardiogenik ini harus diputusi sedini mungkin
untuk menyelamatkan miokardium ventrikel kiri dan mencegah
perkembangan menuju tahap irreversibeldimana perkembangan kondisi
bertahap akan menuju pada aritmia dan kematian.

6. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk mendukung penegakan


diagnosis syok kardiogenik adalah sebagai berikut (Asikin, 2016):

7. EKG : untuk mengetahui adanya infark miokard dan/atau iskemia


miokard

8. Rongent Dada : menyingkirkan penyebab syok atau nyeri dada lainnya.


Klien dengan syok kardiogenik sebagian besar menunjukkan adanya
gagal ventrikel kiri.
9. Kateterisasi Jantung : Menentukan penyebab dan jenis syok dengan
melihat tekanan kapiler paru dan indeks jantung

10. Enzim Jantung : mengetahui syok kardiogenik disebabkan


oleh infark miokard akut. Enzim jantung dapat berupa kreatinin kinase,
troponin, myoglobin dan LDH

11. Hitung Darah Lengkap : melihat adanya anemia, infeksi


atau koagulopati akibat sepsis yang mendasari terjadinya syok
kardiogenik

12. Ekokardiografi : menentukan penyebab syok kardiogenik


dengan melihat fungsi sistolik dan diastolik jantung

g. Penatalaksanaan

Menurut Reni (2015) penatalaksaan medis syok kardiogenik:


1. Pastikan jalan nafas tetap adekuat, bila tidak sadar sebaiknyadilakukan
intubasi.
2. Berikan oksigen 8-15 liter/menit dengan menggunakan masker
untukmempertahankan PO2 70-120 mmHg.
3. Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperbesar syok yang
adaharus diatasi dengan pemberian morfin.
4. Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam
baayang terjadi.
5. Bila mungkin pasang CVP.
6. Pemasangan kateter Swans Ganz untuk meneliti hemodinamik
2) Diagnosa keperawatan
a) Penurunan curah jantung b.d kontraktilitas miokard
b) Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membrane kapiler
c) Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan pemenuhan O2
terhadap kebutuhan tubuh
12. Hemothoraks
a) KONSEP MEDIS
a. Definisi

Hematotoraks adalah adanya darah dalam rongga pleura. Sumber perdarahan


dapat berasal dari dinding dada, parenkim paru-paru, jantung atau pembuluh
darah besar. Sejauh ini penyebab paling umum dari hematotoraks adalah
trauma, baik trauma yang tidak disengaja, disengaja, atau iatrogenik.

Terjadinya hematotoraks biasanya merupakan konsekuensi dari trauma


tumpul, tajam dan kemungkinan komplikasi dari beberapa penyakit.Trauma
dada tumpul dapat mengakibatkan hematotoraks oleh karena terjadinya
laserasi pembuluh darah internal. Hematotoraks juga dapat terjadi, ketika
adanya trauma pada dinding dada yang awalnya berakibat terjadinya
hematom pada dinding dada kemudian terjadi ruptur masuk kedalam cavitas
pleura, atau ketika terjadinya laserasi pembuluh darah akibat fraktur costae,
yang diakibatkan karena adanya pergerakan atau pada saat pasien batuk
(Mayasari Diana,2017).

b. Etiologi
Terjadinya hematotoraks biasanya merupakan konsekuensi dari trauma
tumpul, tajam dan kemungkinan komplikasi dari beberapa penyakit. Trauma
dada tumpul dapat mengakibatkan hematotoraks oleh karena terjadinya
laserasi pembuluh darah internal. Hematotoraks juga dapat terjadi, ketika
adanya trauma pada dinding dada yang awalnya berakibat terjadinya
hematom pada dinding dada kemudian terjadi ruptur masuk kedalam cavitas
pleura, atau ketika terjadinya laserasi pembuluh darah akibat fraktur costae,
yang diakibatkan karena adanya pergerakan atau pada saat pasien batuk
(Mayasari Diana,2017).
Penyebab paling umum dari hematoraks adalah trauma dada. Dapat juga
terjadi pada pasien yang memiliki:
a. Sebuah cacat pembekuan darah
b. Trauma tumpul dada
c. Kematian jaringan paru paru
d. Kanker paru-paru atau pleura
e. Operasi jantung
f. Tuberkolosisi

c. Faktor Resiko

Resiko terjangkit hematoraks meningkat bila

a. Sebelumnya pernah menjalani bedah dada

b. Sebelumnya pernah menjalani bedah jantung

c. Sedang menderita gangguan pendarahan

d. Sedang menderita tuberculosis

e. Telah didiagnosa mengidap kanker paru

(Niki agustina,2014).

d. Manifestasi Klinik

a. Takipnea

b. Dispnea

c. Nyeri dada, nyeri dirasakan tajam pada sisi yang sakit, terasa
berat,tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak pernafasan

d. Denyut jantung meningkat

e. Takikardi

f. Kecederaan bagian dada


g. Fraktur tulang rusuk

h. Hipotensi

i. Pucat, gelisah, kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen


darah yang kurang

j. Mempersempit tekanan pernafasan

k. Kemungkinan batuk mengeluarkan sputum bercak darah

(Mayasari Diana,2017).

e. Klasifikasi

Hematotoraks (Mayasari Diana,2017). dibagi berdasarkan klasifikasi


sebagai berikut:

a. Hematotoraks kecil: yang tampak sebagian bayangan kurang dari 15 %


pada foto rontgen, perkusi pekak sampai iga IX. Jumlah darah sampai
300 ml.
b. Hematotoraks sedang: 15–35 % tertutup bayangan pada foto rontgen,
perkusi pekak sampai iga VI. jumlah darah sampai 800 ml.
c. Hematotoraks besar: lebih 35 % pada foto rontgen, perkusi pekak sampai
cranial, iga IV. Jumlah darah sampai lebih dari 800 – 1500 ml.

f. Komplikasi

a. Kehilangan darah

b. Kegagalan pernafasan

c. Atelektasis

d. Hematoma intrathoracic

e. Infeksi luka

f. Pneumonia
g. Septicemia

h. Kematian

(Niki agustina,2014).

g. Patofisiologi

Pendarahan didalam rongga pleura dapat terjadi dengan hamper semua


gangguan dari jaringan dada dinding dan pleura atau struktur intrathorac
respon fisiologis terhadap perkemnbangan hematoraks di wujudkan dalam 2
area utama:hemodinamikdan pernafasan tingkat respon hemodinamik di
tentukan oleh jumlah dan kecepatan kehilangan darah.

Perubahan hemodinamik bervariasi, tergantung pada jumlah


perdarahan dan kecepatan kehilangan darah. Kehilangan darah hingga 750
Ml pada seorang pria 70 kg seharusnya tidak menyebabkan perubahan
hemodinamik yang signifikan.hilangnya 750-1500 ml.pada individu yang
sama menyebabkan gejala awal syok yaitu, takikardia, takipnea,dan
penurunan tekanan darah.tanda-tanda signifikan dengan syok dengan tanda
tanda perfusi yang buruk terjadi dengan hilangnya volume darah 30% atau
lebih(1500-2000 ml).

Darah yang masuk ke rongga pleura terkena gerakan diafragma, paru-


paru dan struktur intrathoracic lainya.hal ini menyebabkan beberapa derajat
defibrination darah sehingga pembekuan tidak lengap terjadi. Dalam
beberapa jam penghentian perdarahan, lisis bekuan yang sudah ada dengan
enzim pleura dimulai

Lisis sel darah merah menghasikan peningkatan konsentrasi protein


cairan pleura dan peningkatan tekanan osmotic dalam rongga pleura.
Tekanan osmotic tinggi intrapleural menghasilkan gradient osmotic antara
ruang pleura dan jaringan sekitarnya yang menyebabkan transudasi cairan ke
dalam rongga pleura. Dengan cara ini, sebuah hemotoraks kecil dan tanpa
gejala dalam perkembangan menjadi besar dan gejala efusi pleura berdarah.

Dua keadaan patologis yang berhubungan dengan tahap selanjutnya


dari hematoraks: empiema dan fibrothorax. Empiema hasil dari kontaminasi
bakteri pada hemotorax.jika tidak terdeteksi atau tidak ditangani dengan
benar, hal ini dapat mengakibatkan syok bakteremia dan sepsis.

(Mayasari Diana,2017).

h. Pemeriksaan Diagnostik

a. Sinar x dada: menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleura, dapat


menunjukan penyimpanan struktur mediastinal(jantung)

b. GDA: variable tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengaruhi,


gangguan mekanik pernafasan dan kemampuan mengkompensasi.
PaCO2 kadang-kadang meningkat, PaCO2 mungkin normal atau
menurun,

c. Torasentesis: menyatakan darah/cairan hemotorak)

d. Hb: mungkin menurun, menunjukan kehiangan darah

e. Chest X-ray

f. USG

g. CT-scan

(Mayasari Diana,2017).

i. Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan hematotoraks adalah stabilisasi hemodinamik


pasien, menghentikan sumber perdarahan dan mengeluarkan darah serta
udara dari rongga pleura. Langkah pertama stabilisasi hemodinamik adalah
dengan melakukan resusitasi yaitu dengan pemberian oksigenasi, rehidrasi
cairan, serta dapat dilanjutkan dengan pemberian analgesik serta antibiotik.
Setelah hemodinamik pasien stabil dapat direncanakan untuk pengeluaran
cairan (darah) dari rongga pleura dengan pemasangan chest tube yang
disambungka n dengan water shield drainage dan didapatkan cairan (darah).
Pemasangannya selama beberapa hari untuk mengembangkan paru ke ukuran
normal. Penatalaksanaan yang dilakukan kepada pasien sudah sesuai dengan

prinsip penatalaksanaan hematotoraks diatas Adapun langkah-langkah


dalam pemasangan chest tube adalah sebagai berikut:

a. Memposisikan pasien pada posisi trandelenberg.

b. Disinfeksi daerah yang akan dipasang chest tube dengan menggunakan


alkohol atau povidon iodine pada ICS V atau ICS VI posterior mid
axillary line pemilihan berdasarkan 2 alasan: lokasi ini aman karena
berada diatas diafragma, area ini merupakan dinding dada dengan lapisan
otot paling tipis, oleh karena itu pada lokasi ini dapat dilakukan
pemasangan chest tube lebih tepat dan tidak sakit.

c. Kemudian dilakukan anastesi lokal dengan menggunakan lidokain.

d. Selanjutnya insisi sekitar 3-4cm pada Mid Axillary Line.

e. Pasang curved hemostat diikuti pemasangan tube dan selanjutnya


dihubungkan dengan WSD (Water Sealed Drainage)

f. Lakukan jahitan pada tempat pemasangan tube.

(Mayasari Diana,2017).

b) Diagnose keperawatan

1. Ketidakefektifan pola pernafasan b/d penurunan


ekspansi paru (akumulasi udara/cairan, gangguan
musculoskeletal, nyeri ansietas, proses inflasi
2. Resiko tinggi (trauma)/penghentian nafas b/dpenyakit
saat ini/proses cedera, system drainase dada, kurang
pendidikan keamanan /pencegahan

3. Kurang pengetahuan/kebutuhan belajar tentang kondisi


atau aturan pengobatan) b/d kurang terpajan dengan
informasi

4. (Resiko tinggi) gangguan pertukaran gas b/d


kemungkinan terjadinya tension pneumothorak
sekunder terhadap sumbatan pada selang dada

5. Perubahan kenyamanan(nyeri) b/d pemasangan selang


dada

6. (resiko tinggi) infeksi b/d tindakan invasive.

13. Syok Hipovolemik

1)Konsep medis

h. Definisi

Syok hipovolemik terjadi karena hilangnya darah, plasma dan cairan


serta elektrolit tubuh yang biasa disebabkan kondisi trauma ataupun
nontrauma. Rini,Ika Setyo. dkk. 2019. “Buku Ajar Keperawatan
PERTOLONGAN PERTAMA GAWAT DARURAT (PPGD)”.

Hypovolemic shock atau syok hipovolemik dapat didefinisikan


sebagai berkurangnya volume sirkulasi darah dibandingkan dengan kapasitas
pembuluh darah total. Hypovolemic shock merupakan syok yang disebabkan
oleh kehilangan cairan intravascular yang umumnya berupa darah atau
plasma. Kehilangan darah oleh luka yang terbuka merupakan salah satu
penyebab yang umum, namun kehilangan darah yang tidak terlihat dapat
ditemukan di abdominal, jaringan retroperitoneal, atau jaringan di sekitar
retakan tulang. Sedangkan kehilangan plasma protein dapat diasosiasikan
dengan penyakit seperti pankreasitis, peritonitis, luka bakar dan anafilaksis
(Diantoro, 2014).

Syok hipovolemik didefinisikan sebagai penurunan perfusi dan


oksigenasi jaringan disertai kolaps sirkulasi yang disebabkan oleh hilangnya
volume intravaskular akut akibat berbagai keadaan bedah atau medis
(Greenberg, 2005).

i. Etiologi
Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat dari
volume darah dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi
akibat perdarahan yang massif atau kehilangan plasma darah. Sutjahjo, Ari.
2015. “Dasar-dasar Ilmu Penyakit Dalam”.
a. Trauma
b. Perdarahan gastrointestinal
c. Rupture aneurysma aorta
d. Kehamilan ektopik
e. Diare,muntah
f. Luka bakar
g. Peritonitis
h. Ileus paralitik
i. Diabetes insipidius menyebabkan dieresis
j. Obstruksi. Rini,Ika Setyo. dkk. 2019. “Buku Ajar Keperawatan
PERTOLONGAN PERTAMA GAWAT DARURAT (PPGD)”.
Penurunan volume intravaskular yang terjadi pada syok hipovolemik
dapat disebabkan oleh hilangnya darah, plasma atau cairan dan elektrolit
(Tierney, 2001). Menurut Sudoyo et al. (2009), penyebab syok hipovolemik,
antara lain:

1. Kehilangan darah
a. Hematom subkapsular hati
b. Aneurisma aorta pecah
c. Perdarahan gastrointestinal
d. Trauma
2. Kehilangan plasma
a. Luka bakar luas
b. Pankreatitis
c. Deskuamasi kulit
d. Sindrom Dumping
3. Kehilangan cairan ekstraselular
a. Muntah (vomitus)
b. Dehidrasi
c. Diare
d. Terapi diuretik yang agresif
e. Diabetes insipidus
f. Insufisiensi adrenal

j. Faktor Resiko

Beberapa faktor risiko yang bisa meningkatkan adanya resiko


seseorang mengalami kondisi syok, diantaranya seperti berikut:

a. Seiring bertambahnya usia resiko akan syok cenderung meningkat. 


b. Pernah mengalami kecelakaan. Misalnya seperti terjatuh, kecelakaan
dari kendaraan bermotor, maupun kecelakaan lain yang menimbulkan
diri seseorang kehilangan banyak darah.
c. Mempunyai kondisi kesehatan yang tidak baik atau mengidap penyakit
tertentu.
d. Diri seseorang yang memiliki permasalahan pada bagian saluran
pencernaan.
e. Pernah mengalami pendarahan.
f. Bagi ibu hamil mempunyai kondisi kehamilan yang tidak normal.
Misalnya saja seperti kehamilan ektopik.
g. Orang yang mempunyai kondisi penyakit kronis misalnya seperti
stroke, diabetes, jantung, maupun kondisi kesehatan yang lainnya.
k. Manifestasi Klinis
a. Takikardia
b. Hipotensi
c. Hipotensi orchostatic
d. Nadi lemah
e. Takipnea
f. Kelemahan, cemas, pusing, letargi sampai dengan penurunan tingkat
kesadaran yang disebabkan oleh penurunan perfusi ke serebral.
Penderita dengan kehilangan 40% darah akan mengalami penurunan
kesadaran.
g. Penurunan central venous pressure dan pulmonary artery wedge
pressure
h. Penurunan stroke volume, CO dan perfusi jaringan
i. Kegagalan fungsi ginjal dengan ditandai penurunan produksi urin.
Rini,Ika Setyo. dkk. 2019. “Buku Ajar Keperawatan PERTOLONGAN
PERTAMA GAWAT DARURAT (PPGD)”.
l. Klasifikasi
a. Kehilangan darah
b. Denyut nadi (x/menit)
c. Tekanan darah T
d. Tekanan nadi
e. Frekuensi napas
f. Produksi urin sangat sedikit
g. Status mental

American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008.

m. Komplikasi
Komplikasi dari syok hipovolemik meliputi sepsis, sindrom gawat
napas akut, koagulasi intravaskular diseminata, kegagalan multiorgan, hingga
kematian (Greenberg, 2005).
Keadaan ini juga menyebabkan terjadinya mekanisme kompensasi dari
pembuluh darah dimana terjadinya vasokontriksi oleh katekolamin sehingga
perfusi makin memburuk (Rahmansyah, 2012).
n. Patofisiologi
Syok hipovolemik merupakan salah satu jeniss syok yang sering
terjadi. Ketika terjadi penurunan volume sirkulasi, aliran balik vena ke
jantung akan menurun dan terjadi mekanisme kompensasi berupa peningkatan
aktivitas saraf simpatik dan pengeluaran hormone katekolamin yang
menyebabkan takikardi dan akral dingin namun kondisi ini tidak memberikan
efek yang signifikan pada pembulh darah jantung dan serebral. Rini,Ika Setyo.
dkk. 2019. “Buku Ajar Keperawatan PERTOLONGAN PERTAMA GAWAT
DARURAT (PPGD)”.
Penurunan volume sirkulasi ini bisa disebabkan oleh perdarahan
maupun hilangnya cairan tubuh yang menyebabkan hilangnya plasma, darah
dan cairan serta elektrolit. Menurunya volume intravaskuler menyebabkan
penurunan volume intraventrikuler kiri pada akhir diastole yang
mengakibatkan berkurangnya kontraktilitas jantung dan penurunan CO.
kondisi ini menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah oleh
hormone katekolamin sehingga menyebabkan gangguan perfusi. Apabila
vasokontriksi ini terjadi secara terus menerus maka akan terjadi kerusakan sel
yang disebabkan oleh hipoksia dan perubahan metabolisme menjadi
metabolism anaerob. Apabila aliran darah menuju otak menurun maka akan
mengakibatkan konfusi yang selanjutnya akan terjadi kehilangan kesadaran
dan terjadi kerusakan jaringan otak. Pada jantung bisa menimbulkan infark
miokardia dan pada gastrointestinal kondisi hipoksia menyebabkan mulai
dibebaskanya endoktosin ke dalam sirkulasi sehingga terjadi pelepasan
amoniak yang menyebabkan gangguan koagulasi sel darah merah yaitu DIC.
Rini,Ika Setyo. dkk. 2019. “Buku Ajar Keperawatan PERTOLONGAN
PERTAMA GAWAT DARURAT (PPGD)”.
o. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium awal yang mungkin ditemukan pada
keadaan syok hipovolemik, antara lain :
a. Complete Blood Count (CBC), mungkin terjadi penurunan
hemoglobin, hematokrit dan platelet.
b. Blood Urea Nitrogen (BUN), mungkin meningkat menandakan
adanya disfungsi ginjal.
c. Kadar elektrolit dalam serum mungkin menunjukkan abnormalitas.
d. Produksi urin, mungkin ,<400ml/hari atau tidak ada sama sekali.
e. Pulse oximetry, mungkin menunjukkan penurunan saturasi
oksigen.
f. AGDA, munngkin mengidentifikasi adanya asidosis metabolic
g. Tes koagulasi, mungkin menunjukkan pemanjangan PT dan
APTT.
2. Untuk pemeriksaan penunjung, dapat dilakukan pemeriksaan berikut,
antara lain (Kolecki dan Menckhoff, 2014):
a. Ultrasonografi, jika dicuragai terjadi aneurisma aorta
abdominalis.
b. Endoskopi dan gastric lavage, jika dicuriga adanya perdarahan
gastrointestinal.
c. Pemeriksaan FAST , jika dicurigai terjadi cedera abdomen.
d. Pemeriksaan radiologi, jika dicurigai terjadi fraktur.
p. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan syok hipovolemik meliputi mengembalikan tanda-
tanda vital dan hemodinamik kepada kondisi dalam batas normal. Selanjutnya
kondisi tersebut dipertahankan dan dijaga agar tetap pada kondisi satabil.
Penatalaksanaan syok hipovolemik tersebut yang utama terapi cairan sebagai
pengganti cairan tubuh atau darah yang hilang. Jika ditemukan oleh petugas
dokter atau petugas medis, maka penatalaksanaan syok harus dilakukan secara
komprehensif yang meliputi penatalaksanaan sebelum dan di tempat pelayanan
kesehatan atau rumah sakit.
Penatalaksanaan sebelum di tempat pelayanan kesehatan harus
memperhatikan prinsipprinsip tahapan resusitasi. Selanjutnya bila kondisi
jantung, jalan nafas dan respirasi dapat dipertahankan, tindakan selanjutnya
adalah adalah menghentikan trauma penyebab perdarahan yang terjadi dan
mencegah perdarahan berlanjut. Menghentikan perdarahan sumber perdarahan
dan jika memungkinkan melakukan resusitasi cairan secepat mungkin.
Selanjutnya dibawa ke tempat pelayaan kesehatan, dan yang perlu diperhatikan
juga adalah teknik mobilisai dan pemantauan selama perjalanan. Perlu juga
diperhatikan posisi pasien yang dapat membantu mencegah kondisi syok
menjadi lebih buruk, misalnya posisi pasien trauma agar tidak memperberat
trauma dan perdarahan yang terjadi, pada wanita hamil dimiringkan kea rah kiri
agar kehamilannya tidak menekan vena cava inferior yang dapat memperburuh
fungsi sirkulasi. Sedangkan saat ini posisi tredelenberg tidak dianjurkan lagi
karena justru dapat memperburuk fungsi ventilasi paru.
Pada pusat layanan kesehatan atau dapat dimulai sebelumnya harus
dilakukan pemasangan infus intravena. Cairan resusitasi yang digunakan adalah
cairan isotonik NaCl 0,9% atau ringer laktat. Pemberian awal adalah dengan
tetesan cepat sekitar 20 ml/KgBB pada anak atau sekitar 1-2 liter pada orang
dewasa. Pemberian cairan terus dilanjutkan bersamaan dengan pemantauan
tanda vital dan hemodinamiknya. Jika terdapat perbaikan hemodinamik, maka
pemberian kristaloid terus dilanjutnya. Pemberian cairan kristaloid sekitar 5 kali
lipat perkiraan volume darah yang hilang dalam waktu satu jam, karena istribusi
cairan koloid lebih cepat berpindah dari intravaskuler ke ruang intersisial. Jika
tidak terjadi perbaikan hemodinamik maka pilihannya adalah dengan pemberian
koloid, dan dipersiapkan pemberian darah segera (Hardisman,2013)
2)diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan ekpansi paru
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan perubahan
perfusi jaringan
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunya volume
intravaskler
4. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan oliguri
5. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
14. Open Pneumothoraks
a. Konsep medis
1) Definisi
Pneumotoraks merupakan kasus gawat darurat nafas yang dapat mengancam jiwa dan
membutuhkan penanganan segera. Berbagai penyakit paru, tindakan intervensi paru,
penggunaan ventilasi mekanis atau trauma toraks dapat mencetus pneumatoraks spontan (Mia
Elhidsi, 2018).
Open pneumotoraks adalah pneumotoraks yang terjadi akibat terdapatnya hubungan
antara rongga pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari luar. Perubahan tekanan
ini sesuai dengan perubahan tekanan gerakan pernapasan,pada saat inspirasi tekanan
menjadi negative dan pada saat ekspirasi tekanan menjadi positif (Ni putu, 2020).
Open pneumotoraks adalah adanya trauma tembus pada dinding dada dimana udara
yang masuk diruang pleura lebih banyak berasal dari paru-paru yang rusak dari pada defek
dinding dada. jika dinding dada cukup lebar udara dapat masuk dan keluar dari ruang pleura
pada setiap pernafasan sehingga mnyebabkan paru didalamnya kolaps(Ni putu, 2020).
Open pneumotoraks merupakan adanya lubang pada dinding dada yang cukup besar
untuk memungkinkan udara mengalir dengan bebas dan masuk ke luar rongga toraks
bersama setiap upaya pernafasan (Ni putu, 2020).
Suatu pneumotoraks terbuka timbul bila cedera mengakibatkan kehilangan integritas
dinding thoraks maupun sewaktu ada cedera pada paru. Luka demikian bisa menyebabkan
kontaminasi kontinu pada cavitas pleuralis yang diikuti pembentukan emplema jika tidak
ditutup. Terapi terdiri dari penutupan segera cacat dinding dada dengan balutan penutup steril,
yang disadap pada tiga sisi untuk memberikan katub tipe flutter. Selama inhalasi, balutan
tersedot menutup diatas luka, yang mencegah udara masuk. Bila pasien ekspirasi, ujung
balutan yang terbuka memungkinkan udara lolos. Kemudian dipasang pipa dada untuk
memperhatankan ekpansi paru (Sabiston, 2015)

2) Etiologi
Open pneumothorax disebabkan oleh trauma tembus dada. Berdasarkan kecepatanya,
trauma tembus dada dapat dikelompokkan menjadi 2 berdasarkan ketepatanya, yaitu:
 Luka tusuk 
umumnya dianggap kecepatan rendah karena senjata (benda yang menusuk atau
mengenai dada) menghancurkan area kecil di sekitar luka. Kebanyakan luka tusuk oleh
tusukan pisau. Namun, selainitu pada kasus kecelakaan yang mengakibatkan
perlukaan dada, dapat juga terjadi ujung iga yang patah (fraktur iga) mengarah ke
dalam sehingga merobek pleura parientalis dan viseralis sehingga dapat mengakibatkan
open pneumotoraks
 Luka tembak 
Luka tembak pada dada dapat dikelompokkan sebagai kecepatan rendah, sedang, atau
tinggi. Daktor yang menentukan ketepatan dan mengakibatkan keluasan kerusakan
termasuk jarak darimana senjata ditembakkan, nterco senjata, dan konstruksi serta
ukuran peluru. Peluru yang mengenai dada dapat menembus dada sehingga
memungkinkan udara mengalir bebas keluar dan masuk rongga toraks.
3) Faktor Resiko
1. Berjenis kelamin pria
2. Berusia 20ꟷ40 tahun
3. Memiliki kebiasaan merokok
4. Menderita penyakit paru-paru, terutama PPOK
5. Memiliki keluarga dengan riwayat pneumothorax
6. Pernah terserang pneumothorax sebelumnya
4) Manifestasi Klinis
Gejala-gejalanya sangat bervariasi, tergantung kepada jumlah udara yang masuk ke
dalam rongga pleura dan luasnya paru-paru yang mengalami kolaps (mengempis). Gejalanya
nte berupa: Nyeri dada tajam yang timbul secara tiba-tiba, dan semakin nyeri jika penderita
menarik nafas dalam atau terbatuk.
 Sesak nafas
 Dada terasa sempit
 Mudah lelah
 Denyut jantung yang cepat
 Warna kulit menjadi kebiruan akibat kekurangan oksigen. Gejala-gejala tersebut mungkin
timbul pada saat istrahat atau tidur. Gejala lainya yang mungkin ditemukan:
- Hidung tampak kemerahan
- Cemas, nterc, tegang
- Tekanan darah rendah (hipotensi)
5) Klasifikasi
Keadaan ketika terdapat kerusakan pada dinding dada sehingga terdapat hubungan
antara rongga pleura dengan dunia luar. Pada pneumothorax terbuka tekanan intrapleura
sangat rendah. Pada kondisi ini tekanan udara luar sama dengan tekanan intrapleura.
Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang di sebabkan oleh gerakan
pernapasan.
Ketika fase ekspirasi tekanan menjadi positif sementara ketika fase inspirasi tekanan
berubah menjadi negative. Mediastinum dalam keadaan normal ketika inspirasi, tetapi
mediastinum bergeser kea rah sisi dinding dada yang terkena pada saat ekspirasi. Fenomena
ini dinamakan sucking wound.
6) Komplikasi
1. Tension Penumototrax
2. Penumotoraks Bilateral
3. Emfiema
7) Patofisiologi
Baik pada trauma tumpul maupun trauma tajam terjadi keadaan-keadaan patologis
sebagai berikut :
Bila karena suatu trauma, dinding toraks terbuka (berarti pleura parietalis juga robek),
maka tekanan intrapleural (antara pleura parietalis dan pleura viseralis) yang negatif akan
menyedot udara masuk dan paru akan collaps. Hal ini disebut pneumotoraks dan selama luka
dinding toraks ini terbuka, yaitu udara biasa keluar masuk, disebut “open pneumotoraks” atau
disebut sucking wound (Puruhito,2013),
Bila luka di dinding toraks ini disedemikian rupa, sehingga udara bisa tersedot,
terhisap masuk, tetapi keluarnya dihambat karena luka yang menjadi seperti klep, (ventil),
maka pelan-pelan (agak cepat, setelah beberapa pernapasan), maka pelan-pelan (agak cepat
setelah pernapasan) (Puruhito, 2013)
Pada paru normal, tekanan di dalam kavum pleura mempunyai tekanan yang lebih
negative daripada tekanan atmosfer pada sepanjang siklus respirasi. Perbedaan tekanan antara
alveoli paru dan kavum pleura disebut tekanan transpulmonal, dan tekanan ini menyebabkan
elastic recoil paru. Pada pneumothorax terjadi hubungan antara alveoli paru dan jalan napas
ke kavum pleura, dan udara bermigrasi dari elveoli ke kavum pleura sampai tekanan di kedua
area sama. Sama halnya ketika dinding dada terhubung dengan kavum pleura, udara bergerak
dari luar ke kavum pleura sampai tidak ada lagi perbedaan tekanan atau sampai hubungan
tertutup. Ketika udara dalam kavum pleura tekanannya meningkat dari -5 cmH2O menjadi
-2,5 cmH2O, maka tekanan transpulmonal menurun dari 5 cmH2O menjadi 2,5 cmH2O, dan
kapasitas vital paru menurun 33%.
Perubahan tekanan di dalam kavum pleura akan menyebabkan peningkatan volume
toraks, menghasilkan perubahan pada recoil dinding dada dan hamper 8% menurunkan
kapasitas vital paru. Ketika tekanan pada kavum pleura meningkat, mediastinum akan bergeak
nterco berlawanan, sehingga menyebabkan penambahan luas pada paru yang sakit, dan
menurunkan diafragma. Perubahan ini dapat dilihat pada tension pneumothorax. Perubahan
fisiologi utama pada penumothorax adalah penurunan dari oksigen arteri sehingga
menurunkan kapasitas vital. Pasien yang mengalami primer pneumothorax akan menurunkan
kapasitas vital, tetapi yang mengalami pneumothorax sekunder dan penyakit paru yang
mendasarinya, penurunan kapasitas vital nte menyebabkan hipoventilasi alveolar dan gagal
napas.
8) Pemeriksaan Diagnostik
 Ro.Thoraks
Menyatakan akumulasi udara atau cairan pada area pleura dapat menunjukkan
penyimpangan struktur mediastinal (jantung).
 Gas Darah Arteri (GDA) Variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang
dipengaruhi atau gangguan mekanik pernafasan dan kemampuan mengkompensasi
PaCO2 kadang meningkat. PaCO2 mungkin normal atau menurun;saturasi O2 bisa
menurun.
 Torasentesis
Menyatakan darah atau /airan serosanguinosa.
 Hb
Mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah.
9) Penatalaksanaan
1. Bullow Drainage / WSD
2. Indikasi pemasangan WSD :
a. Pneumothorax
b. Hemothorax
c. Hemopneumothorax
d. Efusi pleura
e. Cylothorax
f. Penetrating chest trauma
g. Pleural Empyema

(Durai, Hoque & Davies, 2010)

Indikasi lainnya, yaitu :

a. Diagnostik : Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga
dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam
syok.
b. Terapi : Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura.
Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga “mechanis of breathing” dapat
kembali seperti yang seharusnya.
c. Preventive : Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga
“mechanis of breathing” tetap baik

b. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan moblitas fisik berhubungan dengan mobilitas terbatas
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
3. Nyeri berhubungan dengan agen injury fisik.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan factor resiko trauma.
5. Ansietas berhubungan dengan Kurangnya menerima informasi
15. Atrium Septal Defect
a) Konsep medis
 Definisi
Defek septum atrium (atrium septal defect) merupakan suatau keadaan dimana
adanya hubungan (lubang) abnormal pada sekat yang memisahkan atrium kanan dan
atrium kiri.(Arif mutaqqin, 2009, 186).
Defek septum atrium (DSA) adalah kelainan jantung bawaan yang sering
ditemukan.Apabila terdapat DSA darah mengalir dari atrium kiri ke atrium kanan
melalui lubang.

 Etiologi

Penyebab dasar ASD masih belum diketahui walaupun berbagai penelitian


mengisyaratkan adanya peran faktor genetik dan neurobiologis sebagai etiologi
ASD.Pada sekitar 15% kasus ASD dapat ditemukan beberapa sindrom monogenik
seperti sindrom Phelan-McDermid, Rett, X fragile, dan sklerosis tuberosa. Namun,
pada sebagian besar kasus, pola perubahan genetik terkait ASD biasanya poligenik
dan berhubungan dengan polimorfisme nukleotida tunggal Berbagai faktor risiko
prenatal, perinatal, dan neonatal mungkin pula berperan dalam meningkatkan peluang
munculnya fenotip ASD. Faktor risiko tersebut termasuk prematuritas, hipoksia
perinatal, infeksi maternal, defisiensi vitamin D maternal, paparan sejumlah obat
tertentu selama kehamilan, riwayat berat lahir sangat rendah, dan obesitas maternal

 Faktor resiko
a. Factor prenatal

 Ibu menderita penyakit infeksi


 Ibu alkoholisme

b. Factor genetic

3. Anak yang lahir sebelumnya menderita PJB


4. Ayah/ibu menderita penyakit jantung bawaan
(Cludino, 2019)

 Manifestasi klinik
Manifestasi klinik dari DSA tergantung usia pasien, letak dan anomali.Pada
kebanyakan anak-anak dengan septum atrium (DSA) tanpa gejala. Biasanya
asimptomatis pada umur decade pertama dan kedua.Defek yang sangat besar dapat
menyebabkan gagal jantung kongestif dengaan gejala sesak napas, mudah lelah, dan
pertumbuhan terganggu. Kadang pasien dewasa menunjukan gejala emboli
paradoksial, berdebar karena aritmia supraventricular atau infeksi saluran pernapasan
berulang.(Kurniawati & Baskoro W & Elfira, 2016)

 Klasifikasi

4) Ostium sekundum (85%)


5) Ostium primum (10%)
6) Sinus venosus (5%)
7) Defek sinus coronaris (Wardhana, W & Elfira 2017)

 Komplikasi

1. Hipertensi pulmonal
2. Sindroma eisenmenger
3. Aritmia
4. Gagal jantung
5. Endocarditis infektif (Menur, 2017)

 Patofisiologi

DSA kecil menyebabkan pirau kecil dan tidak menyebabkan gangguan


hemodinamik.Defek yang lebih besar menyebabkan pirau besar, menyebabkan
overload di atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis. Puncak pirau kiri ke
kanan tergantung ukuran DSA, complains relative kedua ventrikel, dan resistensi
vascular paru dan sisitemik. Apabila dibiarkan tanpa pengobatan, terjadi hipertensin
pulmonal, gagal jantung kanan, komplains ventrikal kanan menurun dan potensial
terjadi pirau kanan ke kiri. Namun sindrom eishmenger berkaitan dengan DSA jarang
pada populasi dewasa (5%).(Kurniawati & Baskoro W & Elfira, 2016)

 Pemeriksaan diagnostik

1. EKG
2. Pemeriksaan radiologi thorax/ foto thorax
3. Echocardiografi (Wardhana, W & Elfira 2017)

 Penatalaksanaan

1. Operasi jantung terbuka


DSA umumnya ditutup dengan cara operasi jantung terbuka. Ahli bedah menutup
secara langsung lubang DSA dengan menjahit lubang
2. Amplatzer septal occluder
Banyak DSA dapat ditutup dengan amplatzer septal occlude (ASO) saat
kateterisasi jantung tergantung ukuran dan letaknya.
3. Kateterisasi jantung ( Yurizali & Hanif, 2019)

b) Diagnose keperawatan
1. Penurunan curah jantung b.d perubahan dalam rate, irama,
konduksi jantung, menurunnya preload
2. Intoleransi aktivitas b.d hipoksia
3. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b.d tidak
adekuatnya suplai oksigen dan zat nutrisi ke jaringan.
4. Kerusakan pertukaran gas b.d edema paru
16. Syok Septik
 Konsep medis
1. Definisi

Syok septik didefinisikan sebagai kondisi kolaps vaskuler hebat dan berat akibat infeksi
sistemik yang umumnya disebabkan oleh organisme gram negative. sepsis merupakan
respon sistemik pejamu terhadap infeksi dimana pathogen atau toksin dilepaskan ke
dalam sirkulasi darah sehingga terjadi proses inflamasi (Sutjahjo, A, 2015)
Syok septik adalah Sindrom klinik yang dicetuskan oleh masuk dan menyebarnya
produk organisme ke dalam system vaskuler sehingga menyebabkan terjadinya hipotensi
yang tidak membaik dengan resusitasi cairan, kegagalan pada mikrosirkulasi, penurunan
perfusi jaringan dan gangguan metabolisme seluler. Syok septic juga merupakan sepsis
dengan hipotensi meskipun telah dilakukan resusitasi cairan secara adekuat atau
memerlukan vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ.
(Sutjahjo, A, 2015)

2. Etiologi

Mikroorganisme penyebab syok septic adalah bakteri gram negative. Ketika


mikroorganisme menyerang jaringan tubuhh,pasien akan menunjukan suatu respon imun.
Respon imun ini membangkitkan aktivitas berbagai mediator kimiawi yang mempunyai
berbagaai efek yang mengarah pada syok. Peningkatan permeabilitas kapiler, yang
mengarah pada perembesan cairan dari kapiler dan vasodilatasiadalah dua efek tersebut.
microorganisme dari syok septic adalah bakteri gram-negatif. namun demikian, agen
infeksius lain seperti bakteri gram positif dan virus juga dapat menyebabkan syok septik.
Terjadinya syok septic karena diawali dengan adanya infeksi pada darah yang
menyebar keseluruh tubuh. Penyebab yang sering terjadi meliputi peritonitis,
pyelonephritis. Dengan terlepasnya mediator inflamasi seperti il-1, TNF, PGE2, NO dan
leukotriene yang menyebabkan berbagai kejadian berikut:
1. Relaksasi vascular
2. Meningkatnya permeabilitas endotel(sehingga menyebabkan defisit volume
intravascular)
3. Menurunya kontraktilitas jantung (Annas Budi & Yuni, 2020)
3. Faktor resiko

1. Factor intrinsik
 Usia
 Luka bakar
 AIDS
 Diabetes
 Penyalah gunaan zat
2. Factor ekstrinsik
 Perangkat invasive
 Terapi obat
 Terapi cairan
 Bedah dan luka traumatis
 Prosedur diagnostic invasive bedah
 Terapi imunosupresif (Sutjahjo, A, 2015)

4. Manifestasi klinis

1. Gangguan ksadaran merupakan akibat dari perfusi serebral yang menurun dan
terdiri keadaan binggung stupor atau koma
2. Tanda tanda vital: takipnea, takikardi dan hipotensi sering terjadi. Seringkali
terdapat demam, meskipun suhu tubuh dapat juga normal atau di bawah normal.
Permulaan syok septic seringkali ditandai dengan demam yang menggigil dan
meningkat dengan cepat.
3. Kulit teraba hangat dan kemerahan pada awal penyakit ini menyatakan
vasodilatasi arterial, pada stadium selanjutnya jika timbul vasokontriksi kulit akan
teraba dingin dan pucat
4. Tanda dan gejala lain: pada pasien mungkin ditemukan gejala yang menimbulkan
sumber dari infeksi seperti batuk atau tanda rangsangan meningeal. Mungkin
didapati tanda-tanda iritasi traktus gastrointestinal seperti muntah dan diare. Jika
timbul koagulasi intravaskuler diseminata sebagai komplikasi dari sepsis mungkin
akan dijumpai perdarahanabnormal dari traktus gastrointestinal. (Linuwih, S. et
all. 2016)

5. Komplikasi

1. Meningitis
2. Hipoglikemia
3. Asidosis gagal ginjal
4. Disfungsi miokard
5. Disfungsi system syaraf pusat
6. Penururnan curah jantung
7. Kematian (Linuwih, S. et all. 2016)

6. Patofisiologi

Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena bakteri gram negative yang
menyebabakan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil gram negative ini menyebabkan
vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena perifer. Selain itu, terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas vaskuler karena vasodilatasi
perifer menyebabkan terjadinya hipovalemia relative, sedangkan peningkatan
permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan cairan intravaskuler ke interstisial yang
terlihat sebagai udem, pada syok septic hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabakan oleh
penurunan perfusi jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan
oksigen karena toksin kuman. (Annas Budi & Yuni, 2020).

7. Pemeriksaan diagnostik
1. Kultur (luka, sputum, urin darah) yaitu untuk mengidentifikasi organisme
penyebab sepsis
2. SDP : Ht mungkin meningkat pada status hipovalemikkarena hemokonsentrasi
3. GDA
4. EKG (Sutjahjo, A, 2015)
8. Penatalaksanaan syok septik
Penatalaksanaan syok septik mencakup eliminasi pathogen penyebab infeksi,
eliminasi sumber infeksi dengan tindakan darinase atau bedah bila diperlukan, terapi
antimikroba yang sesuai, resusitasi bila ada renjatan atau kegagalan, vasopressor dan
inotropic, terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi
imunologi bila terjadi respon imun dan penjamu terhadap infeksi (Sutjahjo, A, 2015)

 Diagnose keperawatan
a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan O2 , edema paru
b. Penurunan curah jantung b.d perubahan afterload dan preload
c. Hipertermi b.d proses infeksi
d. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d cardiac output yang
tidak mencukupi
e. Intoleransi aktifitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen
f. Ansietas b.d perubahan status kesehatan

Anda mungkin juga menyukai