Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

“ SISTEM KONTROL PEMERINTAH MELALUI IMIGRASI


DALAM MENCEGAH TINDAK PIDANA TERORISME DI
INDONESIA”

DIBUAT GUNA MEMENUHI TUGAS AKHIR MATA KULIAH


DEMOGRAFI

MUHAMMAD RIZKAN FADIR

2019-23-087

JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS

MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN


ALAM

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN

UNIVERSITAS PATTIMURA AMBON

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Sistem Kontrol Pemerintah Melalui Imigrasi Dalam Mencegah
Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia”. Pada makalah ini Penulis banyak
mengambil dari berbagai sumber dan referensi dan pengarahan dari berbagai pihak.
oleh sebab itu, dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-
sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna,
untuk itu Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
guna kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk semua pihak yang membaca.

Ambon, Desember 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

Judul

Kata Pengantar…………………………………………i

Daftar Isi…………………………………………ii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang…………………………………………1

B. Rumusan Masalah…………………………………………4

C. Tujuan Penulisan…………………………………………4

BAB II. PEMBAHASAN

A. Definisi dan Kilas Balik munculnya Imigrasi diIndonesia……………………5

B. Mobilitas Global dan Kejadian Tindak Pidana Terorisme

diIndonesia……………………11

III. PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………16

B. Saran…………………………………………16

DAFTAR PUSTAKA……………………………..17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fenomena tindak pidana terorisme yang mengemuka belakangan ini memiliki
relevansi yang erat dengan tugas dan fungsi Kementerian Hukum dan HAM,
khususnya fungsi keimigrasian, menjadi tema krusial di tingkat global, regional,
maupun nasional. Berbagai riset sudah menunjukkan bahwa terdapat relasi yang erat
antara perpindahan orang (migrasi) dengan kemungkinan terjadinya tindakan
terorisme. Dalam praktiknya, Direktorat Jenderal Imigrasi telah melakukan kerjasama
dengan Interpol guna memeriksa orang-orang, khususnya warga negara Indonesia,
yang diduga bergabung dengan FTF dengan modus perjalanan pariwisata ke negara
tertentu sebagai tempat transit.

Secara normatif, berdasarkan UU No. 6/2011 tentang Keimigrasian,


keimigrasian didefinisikan sebagai hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar
Wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan
negara. Lebih lanjut, fungsi keimigrasian diartikan sebagai “bagian dari urusan
pemerintahan negara dalam memberikan pelayanan Keimigrasian, penegakan hukum,
keamanan negara, dan fasilitator pembangunan kesejahteraan masyarakat.” Dua
ketentuan ini dapat dikaitkan dengan UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara yang
menempatkan terorisme sebagai salah satu bentuk permasalahan keamanan yang
dapat mengancam kedaulatan negara. Kendati komunitas internasional gagal
bersepakat untuk menetapkan terorisme sebagai kejahatan yang luar biasa
(extraordinary crime), politik hukum Indonesia sudah mengatur hal demikian melalui
kebijakan normatif yang ada saat ini. Sebagai konsekuensi, pemerintah tentu
memerlukan langkah-langkah yang luar biasa pula dalam penanganan kasus-kasus
tindak pidana terorisme yang ada.
Salah satu peran penting keimigrasian dalam pencegahan tindak pidana
terorisme ialah melalui laporan intelijen keimigrasian. Berdasarkan regulasi tentang
pemberantasan terorisme, diatur bahwa: “Untuk memperoleh bukti permulaan yang
1
cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen dari Kepolisian,
Kejaksaan, Direktorat Jenderal Imigrasi, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Tentara
Nasional Indonesia, Badan Intelijen Negara, Departemen Luar Negeri, Departemen
Dalam Negeri atau instansi lain yang terkait.” Dalam konteks demikian, tentu
diperlukan langkah yang lebih taktis tentang bagaimana fungsi keimigrasian dapat
berkontribusi terhadap pencegahan tindak pidana terorisme yang berafiliasi atau
terkait dengan FTF.

Pada tataran praktis, salah satu instrumen yang dapat dikembangkan ialah
terrorism risk analysis dalam fungsi keimigrasian yang didasarkan pada sembilan
parameter, yakni: (i) sifat dari tindakan permusuhan, (ii) motivasi, (iii) tujuan, (iv)
rencana untuk melakukan kekerasan, (v) peran dari para informan, (vi) jaringan, (vii)
hubungan dengan kelompok kekerasan ekstrim, (viii) cakupan media, serta (ix)
relevansi dengan internet. Pada derajat tertentu, parameter tersebut dapat
diterjemahkan secara lebih konkret dalam konteks pelaksanaan fungsi intelijen
keimigrasian dalam menilai tingkat risiko ancaman terorisme pada individu tertentu
yang keluar dan masuk Wilayah Indonesia. Selain itu, parameter tersebut juga dapat
diterapkan dalam konteks pengawasan keimigrasian.
Sejalan dengan logika fungsi intelijen keimigrasian yang diterangkan
sebelumnya, aspek lain yang memiliki kaitan erat dengan pencegahan kejahatan
terorisme ialah kebijakan entry clearance. Terkait hal tersebut, Pasal 9 UU 6/2011
mengatur bahwa “(1) Setiap orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia wajib
melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan
Imigrasi.” Adapun berdasarkan ayat (2), “pemeriksaan dilakukan atas Dokumen
Perjalanan dan/atau identitas diri yang sah.” Dalam hal ini, terdapat klausul
pengaman bila terjadi keraguan atas keabsahan Dokumen Perjalanan dan/atau
identitas diri seseorang, yakni dengan memberikan wewenang kepada Pejabat
Imigrasi untuk melakukan penggeledahan terhadap badan dan barang bawaan, dan
dapat pula dilanjutkan dengan proses penyelidikan Keimigrasian.
Terkait hal ini pula, Pasal 13 memberikan kewenangan bagi Pejabat Imigrasi
untuk menolak orang asing yang terlibat kejahatan internasional dan tindak pidana
transnasional terorganisasi, termasuk kejahatan terorisme. (Lih. Penjelasan Ps. 13)
Dalam prosesnya, orang asing tersebut “ditempatkan dalam pengawasan”, yakni di
Rumah Detensi Imigrasi atau Ruang Detensi Imigrasi atau ruang khusus dalam
rangka menunggu keberangkatannya keluar Wilayah Indonesia. (Ps. 13 (2))
Di sisi lain, dalam konteks keluarnya orang dari wilayah Indonesia, Pasal 15
UU 6/2011 mengatur bahwa “Setiap orang dapat keluar Wilayah Indonesia setelah
memenuhi persyaratan dan mendapat Tanda Keluar dari Pejabat Imigrasi.”
Selanjutnya Pasal 16 memberikan wewenang bagi Pejabat Imigrasi untuk menolak
orang keluar Wilayah Indonesia bila, salah satunya, diperlukan untuk kepentingan
penyelidikan dan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang, atau mereka
yang tercantum dalam daftar pencegahan. (Pasal 16 (1) huruf b dan c)) Berdasarkan
kerangka normatif yang ada, tentu terdapat peluang bagi pelaksana fungsi
keimigrasian untuk mengantisipasi dan mencegah kejahatan terorisme melalui proses
entry clearance, yang merupakan wewenang Pejabat Imigrasi.
Dalam konteks tersebut, diperlukan kolaborasi yang efektif antara Direktorat
Jenderal Imigrasi dengan instansi lain yang relevan terhadap penanganan kejahatan
terorisme, seperti Kepolisian, BNPT, dan BIN, dalam memeriksa secara lebih
mendalam orang yang diduga terlibat kejahatan tersebut. Kolaborasi yang efektif ini
dapat dilakukan di area imigrasi, yakni di tempat pemeriksaan imigrasi, dengan
ragam upaya koordinasi dan pertukaran informasi antar instansi.
Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah utama yang dapat diidentifikasi
yakni tindak pidana terorisme di Wilayah Indonesia tidak terlepas dari fenomena FTF
di tingkat global. Pada saat yang sama, migrasi atau perpindahan orang dari dan ke
Wilayah Indonesia perlu menjadi perhatian khusus dari Kementerian Hukum dan
HAM, utamanya melalui fungsi intelijen dan pengawasan keimigrasian, serta
pemeriksaan masuk dan keluar Wilayah Indonesia.
Mengingat arti penting dari hal-hal tersebut, artikel ini hendak mengelaborasi
secara lebih detil tentang metode kontrol keimigrasian yang ada dalam rangka
mencegah terjadinya kejahatan terorisme di Indonesia. Secara analitik, fokus studi ini
setidaknya mencakup tiga aspek utama dalam fungsi keimigrasian, yakni langkah
pengawasan, intelijen, serta pemeriksaan orang yang keluar dan masuk wilayah
Republik Indonesia. Untuk dapat memberikan alternatif model kontrol yang dapat
dilaksanakan oleh pemerintah, studi ini pertama-tama menggambarkan beberapa
evidensi terkait relasi antara kejahatan terorisme di Indonesia dengan kelompok
teroris yang ada di luar negeri.
Setelah itu, diperlukan pula penggambaran pola keluar dan masuknya terduga
teroris, serta identifikasi terhadap ruang gerak yang mungkin ditangani oleh pihak
Imigrasi. Terakhir, kajian ini juga akan menggambarkan praktik-praktik yang telah
dilakukan oleh negara-negara lain dalam mencegah kejahatan terorisme, serta sedapat
mungkin mengkonstekstualkan temuan tersebut dengan regulasi nasional di
Indonesia. Adapun dalam pengumpulan data, kajian ini mengumpulkan data primer
dari hasil wawancara dengan narasumber terkait, seperti pejabat imigrasi dan aparat
kepolisian, serta menggunakan data sekunder yang tersedia dalam jurnal, buku,
periodicals, regulasi, hingga berita di media cetak dan dalam jaringan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian / penjelasan latar belakang diatas maka setidaknya ada dua
poin yang dapat kita Tarik sebagai rumusan masalah :
• Apa yang dimaksud dengan imigrasi ?
• Bagaimana situasi mobilitas global dan pengaruhnya terhadap
perkembangan terorisme di Indonesia ?

C. Tujuan Penulisan
• Menambah pengetahuan bagi saya selaku penulis
• Memenuhi tugas akhir mata kuliah demografi
• Memberikan pengetahuan bagi para pembaca
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi dan Kilas Balik munculnya Imigrasi diIndonesia

• Definisi Imigrasi

Imigrasi berasal dari bahasa Latin migratio yang artinya perpindahan


orang dari suatu tempat atau negara menuju ke tempat atau negara lain. Ada
istilah emigratio yang mempunyai arti yang berbeda, yaitu perpindahan
penduduk dari suatu wilayah atau negara keluar menuju wilayah atau negara
lain. Sebaliknya, istilah imigratio dalam bahasa Latin mempunyai arti
perpindahan penduduk dari suatu negara u ntuk masuk ke dalam negara lain
(Herlin Wijayanti, 2011).

Secara etimologi istilah emigrasi, imigrasi dan transmigrasi ketiganya


berasal dari bahasa Latin migration, yang berarti perpindahan penduduk.
Perpindahan manusia dari satu tempat ke tempat lain, dekata atau jauh. Jadi
dengan demikian, pengertian migran adalah perpindahan penduduk secara
besar-besaran Dari satu tempat ke tempat lain. Pengertian imigrasi adalah satu
hak asasi manusia, yaitu memasuki negara lain. Sedangkan emigrasi adalah
perpindahan penduduk keluar dari suatu negara. Akhirnya untuk negara yang
didatangi disebut sebagai peristiwa imigrasi.

Secara lengkap arti imigrasi adalah “pemboyongan orang-orang masuk


ke suatu negeri”, atau definisi dalam bahasa Inggris dapat dirumuskan sebagai
berikut: immigration is the entrance into an alien country of person intending
to take part in the life of that country and to take it their more less permanent
residence, artinya lebih kurang sebagai berikut: “imigrasi adalah pintu masuk
ke negara asing dari orang yang berniat untuk mengambil bagian dalam
kehidupan di negara itu dan kurang lebih untuk tinggal menetap”(Jazim H. dan
Charles C. 2015).
Menurut pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian, yang dimaksud dengan keimigrasiannya adalah “hak
ikhwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah Negara Republik
Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan
Negara”.

• Sejarah Singkat Keimigrasian Di Indonesia

Sejarah imigrasi dibagi dua yakni sebelum 1950 dan setelah 1951.
imigrasi diera penjajahan (1400-1942) dimana belanda datang dengan kapal
dagang. Disini mulailah terbentuk keimigrasian di zaman belanda yang kala
itu belanda menerapkan kebijakan open door policy (politik pintu terbuka)
yang dimaksudkan untuk segalanya kepentingan penjajahan belanda. Melalui
kebijakan ini pemerintah Hindia Belanda membuka area besar bagi orang
asing untuk masuk, tinggal, dan menjadi warga negara Hindia Belanda.

Tujuan utama penerapan kebijakan imigrasi "pintu terbuka" adalah


untuk memperoleh sekutu dan investor dari berbagai negara untuk
mengembangkan ekspor perdagangan di Hindia Belanda. Selain itu,
mendukung warga juga dapat digunakan untuk bersama-sama
mengeksploitasi dan mendukung populasi asli. Pada tahun 1825
diberlakukannya budaya tanam paksa “cultuur stelseel” terhadap bumiputera
oleh belanda.

Pada tahun 1913 pemerintah kolonial membentuk kantor sekretaris


komisi imigrasi untuk mengatur arus kedatangan warga asing ke wilayah
Hindia Belanda, kemudian pada tahun 1921 kantor sekretaris komisi imigrasi
diubah menjadi immigratie dients (dinas imigrasi). Kantor imigrasi selama
pemerintahan kolonial Hindia Belanda berada di bawah Direktur
Kehakiman,
yang dalam struktur organisasi terlihat membentuk visa seperti visa dan
bagian lain yang diperlukan. Korps ambtenaar immigratie diperluas.

Tenaga kerja yang terlatih dan berpendidikan tinggi dipekerjakan di


pusat. Tidak sedikit yang dikirim adalah personel yang dikirim dari Belanda
(uitgezonden krachten). Semua posisi kunci di departemen imigrasi ada di
tangan pejabat Belanda.

Sambil terus mengembangkan (sekarang kantor layanan imigrasi di


berbagai daerah), struktur organisasi layanan imigrasi pemerintah Hindia
Belanda relatif sederhana. Ini membahas lalu lintas yang relatif baru yang
melewati dan pindah dari dan / atau ke luar negeri pada waktu itu.

Sektor imigrasi yang diatur oleh pemerintah Hindia Belanda hanya 3


(tiga), yaitu: (a) di bidang izin masuk dan tempat tinggal; (b) area tempat
tinggal orang asing; dan (c) bidang kewarganegaraan. Untuk disetujui oleh
lapangan, peraturan pemerintah yang digunakan adalah Toelating Besluit
(1916); Toelatings Ordonnantie (1917); dan Paspor Regelings (1918).

Era kolonialisme Hindia Belanda dimulai bersamaan dengan masuknya


Jepang ke wilayah Indonesia pada tahun 1942. Namun selama pendudukan
Jepang tidak ada perubahan mendasar dalam peraturan imigrasi. Dengan kata
lain, selama pendudukan Jepang, produk hukum imigrasi Hindia Belanda
masih digunakan.

Keberadaan peraturan imigrasi yang penting mencapai momentumnya


ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus
1945. Imigrasi belanda didirikan dengan nama imigrasi komisi belanda pada
tahun
1948. dimana banyak orang cina yang dahulunya melintasi wilayah Hindia
Belanda.
Selama revolusi kemerdekaan, dua produk hukum Hindia Belanda
yang berkaitan dengan imigrasi dicabut, yaitu (a) Beselit Toelatings (1916)
diubah
menjadi Membuat Izin Masuk (PIM) sesuai dengan Lembaran Negara
Nomor
330 tahun 1949, dan (b) Toelatings Ordonnantie (1916) 1917) diubah
menjadi Peraturan Izin Masuk (OIM) dalam Lembaran Negara Nomor 331
tahun 1949. Selama periode revolusioner lembaga imigrasi masih
menggunakan struktur organisasi dan prosedur kerja layanan imigrasi
(Immigratie Dients) yang tersisa lebih dari Hindia Belanda.

Pada saat itulah layanan imigrasi untuk produk Hindia Belanda


diserahkan kepada pemerintah Indonesia pada 26 Januari 1950. Struktur
organisasi dan prosedur kerja dengan beberapa produk hukum dari
pemerintah Hindia Belanda terkait dengan imigrasi masih dapat
dilaksanakan sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia.

Pada tahun Pada awal tahun 1950, sebagai negara yang baru merdeka
dan masih dalam keadaan pariwisata, layanan imigrasi serta sarana dan
prasarana pendukung masih sangat terbatas dan sederhana. Kesulitan yang
dirasakan sangat sulit adalah sulitnya putra pribumi yang mengalami
kesulitan dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam imigrasi. Karena
alasan ini, sebagai bagian dari masa transisi, layanan imigrasi masih
mempekerjakan warga negara Belanda.

Dari 459 orang yang bekerja di imigrasi di seluruh Indonesia, 160


adalah orang Belanda. Hukum dan peraturan yang dikeluarkan oleh layanan
imigrasi RIS masih merupakan warisan Pemerintah Hindia Belanda, yaitu:
(a) Indische Staatsregeling, (b) Toelatings Besluit, (c) Toelatings
Ordonnantie.

Dalam jangka waktu yang relatif singkat, layanan imigrasi di era


Republik Indonesia telah mengeluarkan 3 (tiga) produk hukum, yaitu (a)
Keputusan Menteri Kehakiman RIS Nomor JZ / 239/12 tanggal 12 Juli 1950
Mendarat di pelabuhan yang secara resmi diatur sebagai pendaratan di
pelabuhan, (b) Undang-Undang Darurat RIS Nomor 40 Tahun 1950 tentang
Surat Perjalanan Republik Indonesia, dan (c) Undang-Undang Darurat RIS
Nomor 42 Tahun 1950 tentang Biaya Imigrasi (Lembaran Negara Tahun
1950
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 77).

Pada tahun 1953 oleh bapak adiwinata dibuatkan undang-undang


pertama yakni undang-undang nomor 9 tahun 1953 tentang pengawasan
orang asing. Kemudian undang-undang tersebut melahirkan dua peraturan
peraturan pemerintah yang diantaranya peraturan pemerintah nomor 32
tahun 1954 dan peraturan pemerintah nomor 45 tahun 1954. peraturan
pemerintah nomor 32 tahun 1954 adalah khusus petugas imigrasi yang
melakukan pendaftaran orang asing sedangkan peraturan pemerintah nomor
45 tahun 1954 adalah khusus pihak polri dalam pengawasan orang asing atau
dikenakannya STMD (surat tanda melapor diri).

Dalam dekade imigrasi yang sukses pada 26 Januari 1960, departemen


imigrasi telah berhasil mengembangkan organisasinya dengan
mengembangkan Kantor Pusat Imigrasi di Jakarta, 26 kantor imigrasi
regional, 3 kantor cabang imigrasi, 1 kantor imigrasi dan 7 pos imigrasi di
luar negeri. Di bidang imigrasi sumber daya manusia (SDM), pada Januari
1960 jumlah total layanan imigrasi telah meningkat menjadi 1.256 anak laki-
laki, semua anak Indonesia, ditunjuk sebagai pejabat pemerintah dan pejabat
teknis imigrasi.

Pada awal 1978 sistem komputerisasi dibangun di Direktorat Jenderal


Imigrasi, sedangkan penggunaan komputer dalam sistem informasi imigrasi
dimulai pada 1 Januari 1979.

Selama masa Orde Baru ini yang tidak bisa dilupakan adalah lahirnya
Undang-Undang Keimigrasian yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3474 ), yang disahkan oleh Parlemen pada tanggal 4 Maret 1992.

Undang-undang Keimigrasian ini tidak hanya merupakan hasil dari


tinjauan berbagai peraturan sebelumnya yang merupakan warisan dari
Pemerintah Hindia Belanda, tetapi juga menyatukan / menyusun substansi
peraturan imigrasi. terkait dengan produk hukum dan peraturan imigrasi
sebelumnya. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992.

Dalam menghadapi masalah dan perkembangan dalam dan luar negeri


ini, Direktorat Jenderal Imigrasi di Era Reformasi telah melakukan beberapa
program kerja sebagai berikut; Pemerintah memperbarui Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.

Dengan berubahnya undang-undang nomor 9 tahun 1953 menjadi


undang-undang nomor 9 tahun 1992 yang telah menghapuskan politik pintu
terbuka menjadi politik selektif (selectif policy) yang dimana hanya orang
asing yang memiliki manfaat dan daya guna bagi pemerintah indonesia.
Undang-undang ini mengalami perubahan dan dengan disempurnakannya
Undang-undang nomor 6 tahun 2011 tentang keimigrasiaan dan undang-
undang ini bukan hanya menerapkan selectif policy saja tapi lebih
disesuaikan pada pembangunan nasional.

Pada tahun 1960 dikeluarkanlah pataka imigrasi berbunyi “Mahawas


mahayu swajanma parajanma” mengawasi, melindungi, warga negara sendiri
maupun warga negara asing itu adalah sasanti pertama pada zaman
kepemimpinan Hoegeng Iman Santoso. Pada tahun 1975 berubah sasanti
tersebut menjadi “Bhumipura yaksa purna wibawa” yang kala itu di
formulasikan oleh John sarodja saleh yang arti sasanti tersebut “pengawal
pintu gerbang yang bermoral seutuhnya dan berwibawa”
Kemudian era kepemimpinan Prof Iman santoso sasanti tersebut
berubah menjadi “Bhumi Pura Wira Wibawa” pengawal pintu gerbang yang
dalam pelaksanaan tugas berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan sehingga
menumbuhkan integritas wibawa kepada masyarakat luas

Kemudian pengejaan sasanti tersebut dikemukakan oleh pejabat


imigrasi yang namanya John sarodja saleh itulah sebabnya pada upacara
Hari Bhakti Imigrasi dikeluarkan pataka Imigrasi berdampingan dengan
pataka Kemenkumham.

Setelah melewati beberapa proses panjang selama puluhan tahun


imigrasi kini juga menjadi tulang punggung dunia internasional dimana
imigrasi juga berperan dalam penanganan pengungsi dan pencari suaka yang
saat ini menjadi kontroversial dan belom adanya pemecahan masalah dalam
penanganan pengungsi di indonesia yang dimana indonesia tidak
meratifikasi konvensi 1951 tentang pengungsi namun indonesia menerima
pengungsi untuk singgah di indonesia sebagai alasan negara penjunjung
HAM (Agam, D. 2015).

B. Mobilitas Global dan Kejadian Terorisme di Indonesia


• Gambaran Umum

Relasi antara mobilitas global dan terjadinya kejahatan transnasional seperti


terorisme telah diulas dari beragam perspektif, baik yang memandangnya sebagai
ancaman keamanan tradisional maupun non-tradisional. Dalam praktiknya, terdapat
berbagai jenis kebijakan dan restriksi keimigrasian yang diterapkan oleh negara
guna
mencegah terjadinya kejahatan terorisme di negaranya, baik berupa peningkatan
kontrol perbatasan dan masuknya orang (border and entry control), dan beberapa
ragam strategi kontrol di luar wilayahnya (offshore control). Dalam konteks tersebut,
Koslowski berpendapat bahwa
International migration is not the “new security issue,” it is the growing cross-
border movements of products, money, conveyances, people (and the micro-parasites
they carry) that may be instruments of international terrorism. Nevertheless,
international migration may play a role in enabling certain forms of political
violence, failures of economic and social integration of migrants may have
contributed to their taking a violent path and some migrants have become prominent
terrorists.
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dipahami bahwa mobilitas
internasional mengisyaratkan dua hal yang saling bertautan, yakni di satu sisi negara-
negara berkembang, seperti Indonesia, ingin mendorong terciptanya pemasukan
(revenue) dari kemudahan mobilitas yang ada, namun di sisi yang lain, mobilitas
tersebut dapat menjadi instrumen untuk terjadinya kejahatan terorisme internasional.
Kondisi demikian secara langsung menuntut negara untuk merumuskan kebijakan
kontrol keimigrasian secara proporsional berdasarkan kepentingan nasional. Frasa
„kontrol‟ dalam hal ini dipilih agar tidak terjebak pada reduksi fungsi imigrasi untuk
mengawasi lalu lintas orang keluar dan masuk wilayah Indonesia. Kontrol
keimigrasian dengan begitu mengandung elemen-elemen yang lebih komprehensif
ketimbang pengawasan, yakni mencakup administrasi keimigrasian, pengawasan,
intelijen, hingga penegakan hukum keimigrasian.
Secara global berdasarkan indeks dampak terorisme (Global Terrorism
Index/GTI) yang dirilis oleh Institute for Economics and Peace, Indonesia
menduduki posisi negara dengan dampak moderat dengan nilai 4.55 pada 2016, dan
diprediksi turun menjadi 4.40 dan 4.10 pada 2018 dan 2020. Laporan GTI 2017
tersebut juga mengidentifikasi bahwa salah satu kelompok yang menjadikan
Indonesia sebagai lokasi penyerangan adalah ISIS atau ISIL. Dengan demikian,
Indonesia pada level tertentu mengalami dampak negatif dari tingginya arus
perpindahan orang dalam bentuk kejahatan terorisme transnasional. Melihat
fenomena tersebut sebagai latar
belakang, analisis akan dilanjutkan pada tipologi kejahatan terorisme di Indonesia
dalam perspektif keimigrasian.

• Peran Imigrasi Dalam Pencegahan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia

Dalam kaitannya dengan kejahatan transnasional, termasuk tindak


pidana terorisme, Imigrasi telah melakukan koordinasi dan kolaborasi dengan
instansi-instansi pemerintah lainnya, khususnya aparat penegak hukum.
Umumnya, koordinasi yang dijalankan berdasarkan sistem ialah melalui
permintaan pencegahan dan penangkalan (CEKAL) ke pihak Imigrasi. Selain
CEKAL, koordinasi kesisteman juga dilakukan melalui penyerahan nama
individu yang termasuk di dalam daftar pencarian orang (DPO) kepolisian.
Dua mekanisme tersebut, baik CEKAL dan DPO, dapat diakses oleh pihak
office Imigrasi di bandara, untuk selanjutnya disampaikan kepada counter
Imigrasi sebagai pelaksana lapangan yang menghadapi orang/penumpang
secara langsung.
Informasi tersebut dengan demikian sejalan dengan dasar hukum di
dalam PP 31/2013 yang mengatur. Pertama, menteri berwenang dan
bertanggung jawab melakukan Pencegahan yang menyangkut bidang
Keimigrasian. Kedua, menteri melaksanakan Pencegahan berdasarkan hasil
pengawasan Keimigrasian dan keputusan Tindakan Administratif
Keimigrasian; Keputusan Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sesuai dengan
bidang tugas masing-masing dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
permintaan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; perintah Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; permintaan Kepala Badan Narkotika Nasional sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau keputusan, perintah, atau
permintaan pimpinan kementerian/lembaga lain yang berdasarkan undang-
undang memiliki kewenangan Pencegahan.
Di luar mekanisme kesisteman tersebut, dalam konteks penindakan
terduga teroris, koordinasi penyampaian data juga dilakukan oleh pihak
Kepolisian, Badan Intelijen Negara, Badan Nasional Pemberantasan
Terorisme, maupun Interpol kepada pihak Imigrasi. Penyampaian data
tersebut dilakukan dengan memanfaatkan teknologi komunikasi saat ini, baik
melalui panggilan telepon, hingga aplikasi whatsapp. Menurut narasumber,
data melalui jalur informal tersebut dapat secara efektif berkontribusi terhadap
penanganan tindak pidana terorisme secara lebih cepat, khususnya dalam
mengidentifikasi keluar/masuknya pihak-pihak yang diduga teroris di wilayah
Indonesia.
Sejak tahun 2016, Direktorat Jenderal Imigrasi telah melakukan kerja
sama dengan NCB-Interpol melalui penggunaan aplikasi I-24/7. Aplikasi ini
merupakan produk dari Interpol yang dapat digunakan untuk mendeteksi data
dokumen, semisal paspor, yang hilang atau dicuri (lost or stolen document).
Dalam perkembangannya pada 2018 (26/1), Ditjen Imigrasi dan NCB-Interpol
telah menandatangani standar operasional prosedur (SOP) tentang penanganan
hits atau alert pada sistem Interpol 24/7 yang terintegrasi dengan sistem
Border Control Management (BCM). Adapun tujuan dari penandatanganan
SOP ini ialah untuk mengatur mekanisme penanganan hits atau alert “dalam
rangka melakukan deteksi dini buronan dan pelaku kejahatan transnasional di
lintas batas, baik melalui data dokumen perjalanan yang hilang atau dicuri
(stolen/lost travel document – SLTD) maupun melalui data nominal (data
Interpol Notices dan Diffusion).”28 (NCB-Interpol Indonesia, 2018) Secara
bertahap, integrasi sistem Interpol I24/7 dengan BCM Imigrasi sudah
diterapkan di Bandara Soekarno-Hatta dan Ngurah Rai, untuk kemudian
diharapkan dapat dioperasionalkan di seluruh bandara dan pelabuhan laut di
Indonesia pada 2020. (NCB-Interpol Indonesia, 2018)
Secara normatif berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian No. 5 Tahun
2011 tentang Penggunaan Jaringan Interpol (I-24/7) dan Jaringan
ASEANAPOL (e-ADS) di Indonesia, I-24/7 didefinisikan sebagai “jaringan
komunikasi global INTERPOL (Interpol Global Police Communications
System) yang bekerja selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh)
hari seminggu, yang digunakan sebagai sarana pertukaran informasi antara
negara anggota ICPO-Interpol yang cepat, tepat, akurat dan aman.” Dalam
konteks keimigrasian, kolaborasi ini sangat erat kaitannya dengan intelijen
keimigrasian. Secara normatif, Intelijen Keimigrasian merupakan “kegiatan
penyelidikan Keimigrasian dan pengamanan Keimigrasian dalam rangka
proses penyajian informasi melalui analisis guna menetapkan perkiraan
keadaan Keimigrasian yang dihadapi atau yang akan dihadapi.” Dengan
begitu, dalam kaitannya dengan koordinasi dan kolaborasi antar lembaga,
peran Interpol menjadi signifikan melalui program The Integrated Border
Management Task Force (IBMTF) yang dapat mendukung aparatur penegak
hukum dalam berkoordinasi dan meningkatkan kemampuan untuk data-
sharing.
Dalam tataran praktis, beberapa operasi pengamanan perbatasan telah
dilakukan oleh Indonesia bersama-sama dengan Malaysia dan Filipina untuk
mengamankan wilayah perbatasan yang diduga menjadi area pelintasan
kejahatan transnasional terorganisasi, termasuk terorisme. Operasi bersama ini
dijalankan secara insidentil, dan didukung sepenuhnya oleh Interpol.

Peristiwa dalam uraian diatas adalah bukti bahwa imigrasi memiliki


peran penting dalam menekan angka kriminalitas dalam hal ini kasus
terorisme ditanah air dimana hal tersebut menjadi tanggung jawab bersama
antara masyarakat dan pemerintah melalui lembaga berwajib.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
• imigrasi adalah pintu masuk ke negara asing dari orang yang berniat untuk
mengambil bagian dalam kehidupan di negara itu dan kurang lebih untuk
tinggal menetap
• Di Indonesia sendiri sejarah imigrasi dimulai pada saat zaman kolonial sampai
dengan masa reformasi dengan perubahan UU dari tahun ke tahun sebagai
bentuk perhatian pemerintah terhadap berkembangnya keimigrasian.
• Adanya relasi yang erat antara imigrasi dan juga berkembangnya tindak
pidana terorisme di Indonesia dengan berbagai macam kemungkinan
yang ada.
• Dibalik semua itu aktivitas imigrasi apabila kita hubungkan dengan peran
pemerintah didalamnya pun memiliki dampak positif terhadap keamanan
suatu wilayah, dalam hal ini negara kita Indonesia

B. Saran
Menurut saya sistem keimigrasian di Indonesia harus lebih diperketat dari sisi
hukum agar memberikan efek jera yang akan mendatangkan sisi positif baik
bagi para pelaku tindak pidana terorisme maupun masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA

Herlin Wijayanti, 2011. Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian,


Malang, Bayumedia Publishing. Hal. 129.

Jazim Hamidi dan Charles Christian.(et.al.), 2015. Hukum Keimigrasian Bagi


Orang Asing di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika. Hal. 1.

Abdullah Sjahriful (James), 1993. Memperkenalkan Hukum Keimigrasian,


Jakarta : Ghalia Indonesia. Hal. 7

Agam, Dimas. 2020. Mengenal Sejarah dan Sasanti Imigrasi Indonesia,


(https://www.kompasiana.com/dimasagam97/5ebbfbe4097f3611e216e832/mengenal-
sejarah-dan-sasanti-imigrasi-indonesia?page=1, diakses 21 Desember 2020)

Anda mungkin juga menyukai