Anda di halaman 1dari 2

Percaya atau tidak, arem-arem adalah salah satu bukti kecerdasan leluhur kita.

Buat teman-teman yang


belum tahu arem-arem, di beberapa tempat panganan tradisional ini biasa juga disebut dengan “lontong
isi”.

Karena kemasannya mirip, apalagi tidak ada tulisan yang melekat di bungkus panganan ini yang
menandakan bahwa dia arem-arem, risiko tertukar antara arem-arem dan lemper lumayan tinggi.

Namun dari sisi penampakan fisik, arem-arem ukurannya relatif lebih besar dari sisi garis tengahnya dan
lebih panjang ketimbang lemper. Dilihat dari isinya, kalau lemper biasanya terbuat dari ketan, sehingga
biasanya lebih padat dan agak lengket.

Untuk rasa, lemper ada yang gurih dan ada juga yang agak manis tergantung isiannya. Sementara kalau
arem-arem cenderung gurih – pedas. Jarang menemukan arem-arem yang rasanya manis, walaupun
yang isiannya gudeg.

Tapi kalau mau lebih aman ya tak ada salahnya bertanya pada penjualnya, agak kita tidak tersesat di
santapan.

Ada sebuah teka-teki dagelan berhubungan dengan panganan tradisional ini yang terlontar saat wayang
kulit memasuki adegan Limbukan. Gini:

T: Apa bedanya tempe dan lontong?

J: Bedanya, kalau tempe dimasukkan ke lontong, jadinya arem-arem. Nah, kalau lontong dimasukkan ke
tempe, jadinya merem-merem.

Terlepas dari apa makna dagelan tersebut, arem-arem memang kudapan yang dapat diandalkan
terutama jika sedang dalam perjalanan. Gabungan antara nasi dengan isian tempe, abon, telur, ayam,
bahkan gudeg yang dibungkus daun pisang ini, sangat ringkas dibawa dan mudah dikonsumsi tanpa
harus menggunakan sendok, piring, garpu, dan alat makan lainnya.
Meskipun secara konsep mirip dengan Kimbab (Korea) atau Onigiri (Jepang), namun secara teknologi
mungkin arem-arem lebih unggul, setidaknya leluhur kita memikirkan bagaimana caranya makanan ini
tetap higienis sebelum dikonsumsi, makanya kudu dibungkus daun pisang. HIDUP LELUHUR!!!

Anda mungkin juga menyukai