Anda di halaman 1dari 24

http://www.trulyjogja.

com

Warung Gobek, Bebek Suroboyonan di Jogja


13/05/2008 21:48

Warung Gobek buka mulai jam lima sore di sebuah halaman jembar berpaving block di Jl. Nusa Indah 2,
Condong Catur, Jogja. Dari Pasar Condong Catur, melaju terus ke utara sekitar 750 m, nanti di sebelah
kanan jalan ada warung tenda berspanduk oranye di halaman sebuah rumah, nah itulah dia.
 

Bu Pemred memilih seikat usus (karena ususnya memang diikat tali biar tidak terburai) dan sekerat
empal. Kami menunggu di meja ditemani seorang pejuang yang sibuk menulis essay njlimet sebagai
syarat melamar sebagai dosen (selamat berjuang!). Di atas meja ada sebuah besek anyaman bambu
dengan dua mangkuk tembikar bertutup yang menebarkan aura jahat kotak pandora.
 
Tak lama bebek goreng dan kawan-kawan mendatangi meja kami. Tampilannya normal, yang tidak biasa
adalah kuah kaldu bebek kental bersemu kekuningan di dalam mangkuk tembikar kecil yang turut
menemaninya. Ternyata, item inilah yang melegitimasi Warung Gobek sebagai bebek goreng
Suroboyonan yang sah di Jogja!
 
Bebeknya empuk dan gurih sekali. Harap diingat, gurih tidak sama dengan asin! Rasa gurih itu lebih
tersembunyi. Memanjakan lidah dengan lembut dan malu-malu.

Lalu apa fungsi kuah-senjata-rahasia-di-dalam-mangkuk-tembikar-mungil?


 
"Itu buat disiram ke nasi atau bisa juga untuk celupan bebeknya," ujar Bu Pemred menerangkan CARA
YANG BENAR memanfaatkan kuah itu. Saya yang penasaran segera membawa mangkuk mungil ke dekat
mulut untuk menyeruputnya. "Ih, nggak kayak gitu!" Komentar tajam + tatapan melecehkan segera
dilontarkan oleh Si Ibu melihat aksi yang menurutnya tak masuk akal. Ya maaf, Bu!
 
Rasa kuah itu memang kental dan gurih sekali. Cara yang paling asyik memanfaatkannya adalah: sobek
sedikit daging bebek lalu celupkan agak lama ke dalam kaldu hingga meresap. Hasilnya sangatlah
menakjubkan! Daging bebek yang lezat menjadi ekstra gurih dan sangat juicy!

Tapi ini belum akhir dari wisata indera pengecap kita di Warung Gobek, sama sekali belum!
 
Kejutan berikutnya tersimpan di dalam dua kotak pandora di atas besek bambu yang ternyata berisi dua
macam sambal. Kabar gembira, di Warung Gobek kita bebas menyendok sambal sendiri! Langkah berani
di zaman serba mahal ini. Untuk menghargai kebaikan hati ini, cicipi dulu sedikit sambalnya untuk
mengukur seberapa kuat daya tahan Anda terhadap gempuran mereka. Nggak baik lho buang-buang
sambal!
 

Petualangan Kuliner Jamur di Jejamuran


19/02/2008 14:03

Sambil merayakan farawell party kecil-kecilan, saya bersama seorang kawan yang berencana pindah ke
luar kota, sengaja mampir di sebuah rumah makan di daerah Beran. Dia berjanji menunjukkan rumah
makan patut dicoba di pinggiran daerah Sleman. Tepatnya Niron, Pandowoharjo, Sleman, Jogja.
Namanya Jejamuran.

Dari namanya saja, bisa ditebak bahwa rumah makan ini menyajikan menu-menu yang berbahan dasar
jamur. Hm... kebetulan sekali, saya termasuk penggemar jamur. Menu yang ditawarkan beraneka
ragam. Setelah bingung memilih-milih, akhirnya dengan rakus kami memesan pepes jamur, tongseng
jamur, sate jamur, dan jamur goreng tepung. Tak lupa sebungkus keripik jamur. Padahal kami hanya
berdua.

Awalnya saya ketakutan tak akan bisa menghabiskan jamur-jamur ini, tapi rupanya rasanya lezat. Benar-
benar eman untuk disisakan.

Petualangan jamur-jamur ini kami awali dengan pepes jamur a la Sunda. Tak terlalu gurih, tapi kenyalnya
telur cukup terasa. Pas. Pepes ini menggunakan jamur tiram yang bentuknya mirip dengan daging ayam
suwir. Jamur goreng tepung, yang juga menggunakan jamur tiram, tak kalah enak. Renyah dan gurih.

Temanku menyarankan sate jamur. Bumbu kacang membuat sate ini beraroma mirip sate ayam. Hanya
saja, bila diperhatikan, tak ada rasa ayam. Yang ada hanyalah kenyalnya jamur tiram.

Menu terakhir saya adalah tongseng jamur. Amat cocok dengan suasana sore itu yang mendung dan
gerimis. Belum lagi udara yang dingin. Tongseng jamur disajikan hangat-hangat dengan asap masih
mengepul. Kuahnya merah dan isinya mirip dengan tongseng biasanya. Namun, di tongseng ini tak dapat
ditemukan daging. Yang ada, selain sayur-mayur tongseng, justru jamur-jamur merang. Pedas dan
manis.

Selain menu-menu rakus kami, sebenarnya masih ada beberapa menu lain yang kesemuanya
menggunakan bahan dasar jamur. Seperti gudeg jamur dan dadar jamur yang menggunakan jamur
Shitake. Sebenarnya kami ingin mencoba semua menu itu, tapi perut juga memiliki keterbatasan

Menu-menu yag unik dan menarik. Menu yang bisa membujuk orang untuk mampir dan mencoba.
Harganya pun tidak mahal. Untuk satu porsi normal (tidak seperti kami), harganya sedikit bervariasi,
sekitar Rp 5.000,- - Rp 10.000,-. Rumah makan ini buka dari jam 7 pagi hingga sekitar jam 6 sore.

Gudeg Geneng Mbah Marto, Persembunyian Mangut Lele


07/02/2008 12:25

Setelah terbengkalai selama berminggu-minggu, akhirnya ajakan untuk mencicipi mangut lele di suatu
rumah di pelosok Desa Sewon, Bantul pun terlaksana. Warungnya yang sederhana dan berdinding biru
tersembunyi di antara perumahan di belakang kampus ISI. Agak sulit dicari, namun patut diperjuangkan.

Papan namanya sedikit menyesatkan, karena tertulis "Sego Gudeng Nggeneng" Mbah Marto. Kok
malah ke warung gudeg?
"Dia juga memang jual gudeg, tapi mangut lelenya enak," ucap temanku memberitahu.

Ya memang, di warung berbentuk rumah ini, tak hanya gudeg yang ditawarkan. Mangut lelenya juga
menjadi primadona.

Tidak seperti mangut biasanya, sebelum dimasak bersama kuah santan gurih dan pedas (yang visualnya
mirip gulai), lele terlebih dahulu dibakar di atas tungku kayu bakar. Tak heran ketika mencicipi lelenya,
terasa sensasi 'asap' khas masakan tungku.

Lezat. Khas aroma pedesaan. Ini lah sepertinya yang diunggulkan oleh mangut lele Mbah Marto. Karena
matang di pembakaran, rasa gurih daging lele masih terasa jelas. Berbeda dengan mangut lain yang
biasanya daging ikannya telah dikuasai rasa mangut itu sendiri.

Kuah mangutnya mirip dengan kuah mangut lain. Gurih, manis, dan pedas. Namun kuah mangutnya
yang gurih dan pedas tadi makin terasa sempurna didampingi nasi putih hangat yang masih mengepul
asapnya. Wah.. nikmat!

Hanya dengan uang sekitar Rp 10.000,-, aku sudah bisa menikmati mangut lele yang lezat dengan
beberapa hidangan sampingan.

Selain lele, di dapur rumah ini tersaji berbagai jenis lau-pauk lainnya. Ada ceker, gudeg setengah kering,
sambal krecek, hingga sate keong. Semua terhidang di sebuah lincak di dapur. Pengunjung pun bebas
memilih sendiri lauk-pauk dan porsinya.

Letaknya yang berada di tengah perkampungan membuatku agak bingung ketika harus memberikan
ancer-ancer menuju Sego Gudeg Nggeneng. Yang jelas letaknya tak jauh dari kampus ISI. Jadi bila
bingung, bisa bertanya setelah sampai di kampus ISI. Selamat mencari. (ind)

Mbah Mo, Ikon Mie Jawa Jogja dari Bantul


11/01/2008 11:32
Nama Mbah Mo memang telah menjadi salah satu ikon kuliner bakmi Jawa di Jogja. Kami dari kru
trulyjogja.com pun telah lama mendengar tentangnya, walau baru akhir-akhir ini saja baru sempat
menyambanginya.

Bersama dua tamu dari Bandung, kami pun menyeberangi kota Jogja, menuju kawasan Code, Bantul.
Cukup jauh dari kota, tapi layak ditempuh.

Hasrat untuk makan di warung makan Mbah Mo memang harus disertai dengan niat yang kuat. Selain
masalah letak, banyaknya penggemar membuat antrian yang terjadi kadang sulit dipercaya.

"Saya pernah datang jam 8 malam dan harus menunggu antrian selama dua jam," cerita Nur, salah satu
penggemar bakmi Mbah Mo.

Antrian yang panjang memang bukan hal yang aneh. Karena di warung Mbah Mo ini, pesanan yang
masuk dimasak satu per satu, di atas tungku arang. Saran saya, datanglah pada sore hari saat baru saja
dibuka, sekitar jam 5, atau justru datang setelah jam makan malam, saat pengunjung mulai menurun.
Tapi resikonya, bisa-bisa Anda sudah kehabisan.

Bakmi Jawa Mbah Mo bukanlah tipe bakmi yang 'njemek'. Tekstur bakminya kecil dan kenyal. Namun
yang istimewa adalah rasa gurihnya. Campuran telur bebek dan kaldu dari ayam kampung memang
memberikan sentuhan citarasa tersendiri. Belum lagi pilihan daging, balungan, atau rempela yang bisa
jadi 'lauk'-nya. Yang terakumulasi dalam kata 'huenaaak!'.

Selain bakminya, di warung ini saya juga punya minuman favorit. Jeruk jahe hangat. Karena warung
Mbah Mo tidak menyediakan minuman dingin. Tapi minuman hangat justru baik untuk kesehatan,
bukan? Apalagi setelah makan makanan yang berlemak.

Walau awalnya terdengar aneh, minuman jeruk jahe ini rupanya justru enak. Rasanya unik. Ada kecut,
manis, hangat, dan segar. Wow! Selain itu, tentu saja masih ada minuman lain seperti teh jahe, jahe,
teh, atau jeruk. Yang kesemuanya hangat.

Untuk mencapai warung ini dibutuhkan informasi yang lengkap dan ketelitian. Karena petunjuk-
petunjuk yang ada kadang terlewat begitu saja. Yang jelas, dari perempatan Manding, belok ke kanan.
Ikuti saja jalan tersebut sampai terlihat petunjuk jalan berikutnya. Atau, bisa pula bertanya pada orang
sekitar. (ind)

*Awalnya, kami juga harus bertanya-tanya sebelum akhirnya menemukan warung terpencil tersebut.  
Ayam Betutu, Menu Baru Dari Jimbaran
25/05/2006 09:48

Seharusnya semua pecinta kuliner Jogja sudah tahu kalau Jimbaran, resto ikan bakar yang ada di
bilangan Sleman adalah tempat paling oke di Jogja untuk merasakan hidangan laut berkualitas
tinggi. Ikan-ikan eksotis seperti kerapu macan dan mahi-mahi yang nyam-nyam dibakar
sempurna dengan bumbu Bali . . . . wah, tak ada duanya di Jogja! Makanya saya bingung waktu
Bu Pemred menyeret saya ke sana untuk mencoba ayamnya. Ayam? Sejak kapan ada ayam di
laut?

Di Jimbaran kami dapat bocoran kalau restoran yang bisanya selalu ramai ini agak sepi
pengunjung akhir-akhir ini. Hah? Ada apa dengan Jimbaran? Usut punya usut ternyata semua itu
disebabkan oleh Merapi yang akhir-akhir ini sering batuk-batuk dan ingusan. Rupanya banyak
fans Jimbaran dari luar kota yang punya persepsi bahwa Kota Jogja sudah ada di ambang kiamat
karena bencana alam ini. ( . . . speechless . . . )

Bagi kita yang tinggal di Jogja hal itu jelas terdengar sangat aneh. Karena ironisnya, bagi
sebagian besar warga Jogja bencana Merapi ini justru dilihat sebagai momen istimewa untuk
melihat indahnya lelehan lava pijar di malam hari. Saya dan Bu Pemred otomatis ingat ketika
kami berada di Kaliurang, hanya tujuh KM dari puncak Merapi yang sedang giat-giatnya
memuntahkan lava merah pijar yang meluncur cepat sepanjang punggung gunung. And it was
exciting! (juga adem tentunya) Dan asal tahu saja, Jimbaran itu terletak sekitar 20an KM dari
puncak merapi, sangat aman dan bahkan nyaman untuk menyaksikan aktivitas Merapi dari
kejauhan.

Setelah puas membicarakan betapa naifnya orang-orang itu, saya


kembali teringat pada kasus ayam tadi. Rupanya Jimbaran
menyediakan menu ayam bagi mereka yang tidak suka atau tidak
bisa makan hidangan laut. Oooh . . . dan karena Jimbaran terkenal
dengan Balinese stylenya, maka mereka menawarkan menu ayam
primadona Bali, Ayam Betutu, ayam kampung yang direbus utuh
dengan panci bertekanan tinggi hingga lunak. Di dalam rongga
tubuh ayam disusupkan aneka rempah-rempah khas Bali yang
akan merasuk jauh ke daging ayam ketika proses perebusan
berlangsung. Ayam ini berwarna kekuningan menawan karena
kunyit dan berbau harum sereh. Tapi ternyata itu bukan sereh! Namanya bongkot (kalo nggak
salah), sekeluarga dengan sereh dan menjadi rempah endemik di Pulau Dewata.

Rasanya tidak usah diragukan lagi. Gurih dengan harum rempah yang kompleks dan sedikit
sengatan rasa pedas yang menyenangkan di lidah. Ayam empuk ini dihidangkan dengan kaldu
ayam nyam-nyam yang bisa untuk cocolan atau dituang ke nasi hangat sebagai kuah. Lebih enak
lagi kalau dimakan dengan sambel khas Jimbaran yang beraneka macam. Yang sangat tidak
'Jimbaran' dari ayam betutu ini . . . ayamnya tidak diimpor dari Bali! (kalau belum tahu, semua
ikan di Jimbaran diimpor dari Bali). Untuk satu ekor ayam utuh kita harus membayar Rp 60
ribu. Kalau Anda hanya berdua saja, Anda bisa memesan setengah ekor dengan harga Rp 30
ribu. (ang)

Sabar Menanti, Gudangnya Makanan Enak


12/02/2007 12:48

"Ada tempat makan enak banget, namanya Sabar Menanti, ingetin ya buat diliput ?",
ujar Bu Pemred pada suatu hari. Maka pergilah kami berdua pada Sabtu sore yang
dihantui mendung menuju ke TKP yang berada di Jalan Solo km 11. Menempati
bangunan yang cukup megah, Sabar Menanti berada di sisi kanan jalan (Selatan) bila
Anda berangkat dari arah Kota. Meja-meja besar dengan banyak kursi tersedia di
dalam restoran pinggir jalan yang cukup nyaman ini.

Waktu Bu Pemred pertama diajak ke Sabar Menanti, teman makannya (seorang


seniman) sampai mencela beliau yang mampu melahap setengah cething nasi
sendirian. "Aku ra gelem nduwe bojo koyo kowe Dik, . . . mangane akeh", komentarnya
sadis. Bu Pemred makan banyak sampai menghancurkan image lulusan sekolah
kepribadian yang mati-matian dijaganya? Peristiwa langka yang patut diselidiki hingga
tuntas.

Rupanya kejadian tragis yang menyebabkan mundurnya seorang calon suami potensial
itu dipicu oleh Pecel Empal ala Sabar Menanti. "Abisnya enak banget Pang!", kata
beliau defensif. Jadi begitu datang ke sana kami segera memesan Pecel Empal yang
dirindukan untuk Bu Pemred dan saya terpaksa mengalah (demi diversifikasi) dan
memesan Mangut Lele. Untuk teman makan mangut, saya pergi ke etalase prasmanan
yang ada di salah satu pojok ruangan.

Wah, etalasenya benar-benar bikin ngiler! Berpuluh jenis hidangan khas Jawa membuat
saya nyaris gelap mata. Tapi dengan upaya sangat keras akhirnya saya berhasil
kembali ke meja makan cuma dengan sepiring pecel (diracik sendiri ala salad bar) plus
dua krecek berwarna oranye kemerahan yang sangat menggoda.

Meskipun namanya Sabar Menanti, ternyata hidangan yang kami pesan datang tidak
terlalu lama. Lele pesanan saya tampak berenang di dalam kuah mangut berwarna
kuning kemerahan yang menggoda. Empalnya yang bikin heboh itu dihidangkan
langsung bersama sambal terasi dalam cobek batu kali mungil yang imut (?). Setelah
sesi foto, kami segera menyerbu cething nasi. Bu Pemred masih sempat bertanya,
"Malu nggak sih kalo makannya kebanyakan?". Basa-basi kok sama saya?

Ternyata lele yang saya pesan setengah hati tidak mengecewakan. Kuah santannya
yang beraroma harum bawang goreng sangat gurih dan klop sekali dimakan dengan
nasi hangat. Empal daging sapi Bu Pemred ternyata memang istimewa. Meskipun
empuk, seratnya yang kasar memberikan kemantapan tersendiri ketika mengunyahnya.
Rasanya gurih dan agak manis. Sambal mentahnya spesial dengan aroma terasi yang
sangat nonjok.

Akibatnya, kejadian tragis terulang kembali, bahkan lebih parah. Kami menghabiskan
dua cething nasi! Selain itu ada ENAM piring kosong terserak di meja. Logikanya kami
sudah kenyang, tapi ternyata cuma saya yang merasa full karena Bu Pemred bilang,
"Aku sebenernya masih bisa nambah lho". EDAAAN !

Sekilas info buat Anda sekalian, pada hari itu Bu Pemred sedang menderita karena
gangguan geraham belakang yang sedang tumbuh. Anda yang pernah merasakan pasti
tahu bagaimana sakitnya. Yang ajaib dengan siksaan begitu berat beliau masih mampu
melahap begitu banyak! Jadi masihkah saya harus meyakinkan Anda soal kesakti-
mandragunaan Sabar Menanti? Nanti jadi hiperbola . . . ya nggak? (ang)

 Sabar Menanti jelas nggak mematok harga di kelas pecel lele biasa. Untuk Pecel
Empal dan pecel-pecel lainnya, harga dipatok antara Rp 9 ribu - Rp 11 ribu.
Mangutnya Rp 9 ribu. Jelas kemahalan untuk mahasiswa, tapi untuk saat-saat
spesial nggak papa lah!
 Aku ra gelem nduwe bojo koyo kowe Dik, . . . mangane akeh = Aku nggak mau punya
istri sepertimu Dik, makannya banyak

Misteri Superman Dari Sosrowijayan


24/07/2006 13:10

"Hallo Mbak, minta nomernya Superman yang di Jl.Sosrowijayan", ucap saya kepada mbak
penyedia info di saluran 108. Teman-teman kost yang berada di sekitar saya serentak menatap
dengan mata yang seolah berkata, "Gila kali ya ngerjain 108? Minta apa lagi abis ini? Nomernya
Osama bin Laden?" Namun tatapan melecehkan mereka sontak berubah menjadi kebingungan
ketika melihat saya mencatat sederetan nomer dan menutup telepon dengan ucapan "Makasih
Mbak" yang manis.

Pasti Anda juga bingung. Memang sih Superman lagi main-main ke Jogja, tepatnya di Plaza
Ambarukmo. Tapi itu kan cuma di film? Masak sampai bisa punya markas di Sosrowijayan?
Berarti Superman beneran ada? Kalau gitu, ke mana dia waktu gempa kemarin? Waktu Gunung
Merapi buang ingus? Terus yang paling penting : ngapain juga wisata kuliner membahas
Gatotkaca made in Amerika itu?

Let me tell you a BIG secret. Superman itu beneran ada di Jogja! Tapi jangan buru-buru keluar
rumah dan mencari-cari sosok biru berunderwear merah melayang-layang di angkasa.  Nggak
bakal ketemu! Karena Superman yang kita bahas di sini adalah sebuah restoran asyik yang ada di
Jl. Sosrowijayan. Ah, akhirnya kita kembali ke jalur wisata kuliner yang normal.

Superman adalah sebuah resto yang menawarkan hidangan Indonesia dan internasional.
Lokasinya ada di sebuah gang super sempit belakang Jl. Malioboro yang dipenuhi artshop,
penginapan murah dan secondhand bookshop. (lihat denah) Kalau Anda mengira bakal menemui
restoran yang dipenuhi pernak-pernik sang Manusia Baja Tahan Peluru, lagi-lagi anda ketipu!
Restorannya normal-normal saja. Hanya ruangan lumayan luas nan nyaman dengan dinding
panel kayu coklat gelap dan aksen atap anyaman bambu yang memberikan nuansa etnik.
Lho, terus kenapa namanya Superman? Karena yang punya memang Superman dari Jawa!
Suparman tepatnya. Pada awalnya (duluuuuu sekali), resto ini memang bernama Suparman.
Namun karena di kalangan turis asing langganannya beken dengan nama Superman, akhirnya
berubahlah namanya. Sekarang sudah jelas kan asal muasalnya?

Keunggulan restoran ini adalah keragaman hidangannya. Berbagai masakan dari Cina, Eropa,
Italia, Amerika, Asia dan tentu saja Indonesia tersedia. Semuanya terangkum di dalam daftar
menu mirip makalah (14 halaman !) yang niscaya membuat Anda bingung. Saran saya, santai
saja dalam menentukan pilihan dan jangan takut mencoba! Namanya juga petualangan kuliner.

Sore itu selain saya dan Bu Pemred, empat sekawan orang asing sedang menikmati hidangan
sambil ngobrol campur-campur Prancis-Inggris. di tengah atmosfer internasional itu, akhirnya
kami memilih Chicken Kebab ala Turki, Beef Curry India lengkap dengan Nasi Kebuli dan juga
Lasagna Bolognaise untuk memberikan sentuhan Italia. Terdengar nggak nyambung? Anggap
saja itu menu fusion east meets west yang sekarang lagi beken di kancah kuliner dunia.

Karena semuanya fresh from the kitchen, kami harus menunggu sekitar dua puluh menit hingga
hidangan tersedia. Yang pertama datang adalah Chicken Kebabnya. Sate ayam khas Turki ini
tersiram saus manis-gurih beraroma bawang, rempah dan (sepertinya) nanas. Enak sih, tapi ada
yang sedikit mengganggu, yaitu aroma harum khas margarin merk tertentu yang menurut saya
lebih cocok untuk kue daripada sate.

Beef Curry yang datang berikutnya menebarkan aroma India yang menggoda dan penuh misteri.
Tampilannya cantik, dengan perpaduan buncis hijau segar, kentang kuning pucat, wortel oranye
dan nanas yang ceria. Rasanya oke banget, apalagi dimakan dengan nasi kebuli yang beraroma
gurih sangat menggoda.
Tapi favorit saya di Superman yang selalu saya pesan setiap ke sini adalah Lasagnanya. Tidak
seperti lasagna biasa yang dicetak di loyang, lasagna ala Superman cuma seperti tumpukan
lapisan pasta dan daging cincang bersaus yang tak beraturan. Lapisan paling luar adalah keju
mozarella garing berwarna keemasan dengan serabut keju parmesan mencuat di sana-sini. Aroma
keju dan rempah khas Italia mengundang kita untuk mencicipinya. Rasanya? Jangan kaget, tapi
menurut saya (dan konsensus beberapa teman) ini lasagna paling oke di Jogja! Coba dulu
kelegitannya baru Anda boleh percaya.

Meskipun menyediakan hidangan internasional, namun makanan yang ditawarkan Superman


lumayan nyambung dengan lidah lokal. Dan yang oke, harganya tidak ikut-ikutan internasional.
Rata-rata hidangan berporsi besar (karena untuk bule) dan berada di kisaran belasan ribu rupiah.
Yang paling mahal adalah beraneka steak daging import yang 40 ribuan.

Jadi nggak perlu keliling dunia sambil numpang di punggung satria Planet Krypton bercawat
merah cuma untuk memanjakan lidah. Mampir saja langsung ke markasnya yang ada di Jogja,
dijamin puas dan kenyaaaaaaang! (ang)

 Telp. Superman : (0274) 513 472


 Superman buka dari pukul 07.30 - 23.00
 Meskipun berada dekat dengan "kawasan lampu merah" Jogja, yakinlah, situasi
lingkungan sekitar Superman baik-baik saja, khas resto-resto di daerah pusat wisata.
 

Ayam Goreng Ninit, Masihkah Seperti Dulu?


30/08/2007 13:16

Ini dia tempat makan favorit di Jogja yang punya sejarah timbul tenggelam cukup
dramatis. Satu dekade yang lalu ketika saya masih berseragam putih abu-abu, ketika
apa-apa masih murah (nasi + ayam + gorengan di warung cuma SERIBU!), Ayam
Goreng Ninit ini melegenda sebagai tempat di mana kita bisa memaksimalkan potensi
lambung dan perangkat pencernaan sampai sepol-polnya . . . karena di Ninit (jaman itu)
nasi datang secara free flow, bahkan untuk kaum dengan lambung yang seolah tanpa
dasar! Saat ini memang ada beberapa tempat makan dengan strategi seperti itu, tapi di
masa Orde Baru dulu, Ninitlah pionirnya.
  
Kemudian saya sudah tak tahu lagi gimana kabarnya, hingga tiga minggu yang lalu
seorang teman bilang kalau Ninit sudah buka lagi . . . kalimat yang mengindikasikan
kalau memang tempat ini (mungkin) sempat shut down beneran. Markas baru Ninit
berada di Jl. C. Simanjuntak - Terban, beberapa ratus meter dari rumah makannya
yang lama.

 
Perbedaan jelas ada. Sekarang, sepotong ayam goreng dibandrol Rp 5 ribu. Lebih
mahal dari sebelumnya, tentu saja. Dan ukurannya juga menyusut dengan signifikan.
Ninit juga menyediakan menu non ayam yang lumayan banyak, dan ada juga tempe
goreng tepung yang nyam-nyam sekali. Ninit bahkan menyediakan berbagai macam
sambal untuk menemani ayamnya. Tapi sebagai seorang die hard fans, saya tetap
setia dengan sambal a la Ninit yang disediakan gratis di setiap meja.

Berbeda dengan ayam goreng kremes a la Kalasan, keistimewaan ayam goreng Ninit
terletak pada ayamnya yang dipresto, sehingga bisa dimakan secara efisien hingga ke
tulang-tulang (kecuali tulang utama yang masih agak keras). Rasanya gurih dan
digoreng garing. Jodoh utamanya cukup nasi dan sambal khas Ninit, dijamin puas!
Untuk peringatan, sambal signature Ninit ini mungkin lebih cocok disebut kuah saking
encernya. Rasanya perpaduan antara gurih dan sedikit asam tanpa rasa pedas yang
berarti . . . tapi entah mengapa membuat ketagihan.
Ninit dan keistimewaannya rupanya memberikan kesan yang mendalam bagi
pelanggannya. Termasuk Ayah saya, yang ternyata adalah seorang simpatisan fanatik
Ninit. Sebagai gambaran, sejak isu flu burung merebak bertahun-tahun lalu, ayah saya
puasa ayam (bahkan di rumah!) dan baru buka puasa bulan lal, di Ninit!
 
Terakhir saya menyambangi Ninit minggu lalu bersama . . . siapa lagi kalo bukan TTM
(Teman Tukang Makan) setia saya Bu Pemred. Menurut Beliau, Ayam Goreng Ninit
yang sekarang ini tulangnya tidak seempuk dulu. Tapi itu bukan halangan, karena kami
berdua dengan lancar menghabiskan dua bakul nasi . . . dan Bu Pemred cukup
memberi kontribusi lho! Suatu tindakan yang cukup beresiko, karena Bu Pemred
sekarang sudah terjun ke dunia fashion! Nggak papa tuh Bu? (ang)

Jirak, Ibukota Sego Abang Indonesia


06/02/2007 08:12

Apa yang terlintas di pikiran Anda begitu mendengar kata Gunung Kidul? Daerah kering
kerontang atau malah Didi Kempot yang legendaris? Meskipun memang terkenal
karena tanahnya yang kering kerontang dan berkapur, bagi saya Gunung Kidul adalah
tempat terindah di DIY. Menikmati 'musim panas' di Gunung Kidul sambil bermotor
melewati jalan aspal yang mulus dan penuh tikungan tajam sambil menikmati warna-
warninya yang menawan adalah salah satu pengalaman paling menyenangkan selama
saya di Jogja. Hari Sabtu kemarin saya kembali ke sana dan menemukan satu lagi
keajaiban Gunung Kidul yang membuat kabupaten ini menjadi semakin spesial untuk
saya.

Yang spesial itu pastinya nggak jauh-jauh dari soal perut. Dan kalau bicara soal
Gunung Kidul, kita pasti bicara soal sego abangnya yang sudah tenar ke mana-mana.
Namun anehnya, meskipun sego abang menjadi salah satu ikon kabupaten ini, ternyata
hanya sedikit tempat yang menjual makanan khas ini. Dan anehnya, banyak penduduk
lokal yang nggak tahu di mana tempat yang enak untuk menyam-nyam sego abang!

Tapi trulyjogja jelas tahu tempatnya. Lokasinya berada di jalan utama yang
membentang dari Kota Wonosari menuju Semanu. Sekitar 7 km dari pusat kota,
sebelum jembatan, di sebelah kanan jalan, ada bangunan gedheg (geribik) berwarna
biru muda. Meskipun sangat sederhana, inilah dia ibukota sego abang Indonesia. Tapi
anehnya, sentral sego abang ini nggak punya nama! Papan yang ada di depan warung
hanyalah billboard iklan rokok yang sama sekali tak mencantumkan identitasnya.
Sangat misterius. Namun para penggemar jelas punya panggilan sayang untuk tempat
ini. Mereka menyebutnya Jirak, atau nJirak kata orang Jawa, sebuah kosakata lokal
yang berarti jembatan.

Ruang dalamnya lumayan luas. Saya yang datang bersama empat orang teman
memilih makan sambil lesehan di atas balai-balai beralas tikar. Penataan ruang terasa
akrab karena sebuah warung sego abang di Pakem yang pernah saya datangi ternyata
mengkopi ambience  nJirak ini untuk tempat makannya.

Makanan segera datang. Satu cething nasi merah, sayur lombok ijo, sayur daun kates
(pepaya), empal goreng, iso (usus) bacem dan wader (ikan kecil-kecil) goreng. Waktu
menunjukkan pukul dua siang sementara saya belum sarapan! Jadilah ajang balas
dendam bersettingkan ibukota sego abang Indonesia.

Anda mungkin tidak percaya dengan objektivitas lidah saya yang ternoda dendam
kesumat karena belum sarapan. Tapi yakinlah, hidangan ndeso (kampungan ?) khas
nJirak ini enaknya pol-polan! Nasi merahnya pulen, kuah sayur lombok ijonya yang
banjir amatlah gurih dengan sedikit sentuhan pedas-manis yang mantap. Sayur daun
katesnya juga nggak pahit dan jelas enak. Lauknya juga oke, saya paling suka
wadernya yang simpel dan sangat nyambung dengan hidangan yang kampungan dan
nJawani (Jawa banget) ini. Nggak enak sih mau bilang, tapi harus diakui kalau warung
di Pakem kalah telak sama dedengkot sego abang ini . . . Biangnya dilawan!

Setelah puas dan tiba gilirannya mbayar, akhirnya terbukalah rahasia mengapa Sego
Abang nJirak nggak terlalu populer di kalangan penduduk lokal . . . harganya
metropolitan! Untuk makan lima orang, kami membayar Rp 70 ribuan, tarif yang
nampaknya nggak terlalu populis buat area Wonosari dan sekitarnya. Tapi nggak
papalah, abis memang enak banget! (ang)
 

Pak To, Padang Vs Jawa yang Berbuntut Antrian Panjang


04/09/2006 11:15

Meskipun masih kental dengan tradisi Ngayugyokarto Hadiningratnya yang Jawa banget, Jogja
yang pantas disebut sebagai taman mini Indonesia indah karena keragaman penduduknya,
dengan tangan terbuka tetap merangkul segala nuansa kultur yang dibawa oleh para imigran ke
tanahnya. Terkadang clash of civilization ini melahirkan anak-anak blasteran unik yang malahan
menjadi ciri khas Jogja.

Pak To adalah sebuah studi kasus yang menarik untuk dibahas  . . . dan dilahap tentu saja.
Rumah makan yang terletak di Jl. Selokan Mataram depan Fakultas Kehutanan UGM ini
memang contoh sukses asimilasi budaya ala Jogja. Buktinya, tempat ini menjadi favorit anak-
anak yang bersekolah di Gadjah Mada, termasuk saya dan teman-teman yang kerap
menyambangi Pak To untuk merayakan event spesial dan berbagi kebahagiaan (maksudnya sih
mengancam teman yang ultah buat nraktir >_<).

Dari namanya kita nggak bakalan tahu kalau rumah makan yang satu ini punya leluhur dari
Kampuang nan jauh di mato. Tapi begitu melihat isi etalasenya, ada beberapa barang bukti tak
terbantahkan yang menyingkap identitas rahasia ini. Pertama ada rendang daging dan berbagai
gulai ala Minang. Terus ada lalapan daun singkong rebus dan mentimun yang warung Padang
banget. Kalau masih belum yakin, sambal ijo (hijau) yang menjadi trademark warung Padang di
seluruh dunia pasti bisa membuat Anda percaya.

Sedangkan yang didapat Pak To dari hasil serap-menyerap budaya adalah saus spesialnya yang
membuat banyak orang jatuh hati. Meskipun warnanya coklat kemerahan, jangan sekali-sekali
menganggap ini sambal karena rasanya yang - di luar dugaan - . . . MANIS! Coba, mana ada
warung Padang yang makanannya manis? Di seluruh dunia pasti cuma Pak To! Selain itu ada
lagi sambal mangga yang manis-asem-pedes-seger . . . enak!

Buat Anda yang menganggap rasa manis cuma untuk anak-anak, saya sarankan jangan
menambahkan saus istimewa (yang mirip saus somay) ini ke dalam piring Anda, pasti nyesel.
Tapi kalau Anda pecinta makanan manis, panjatkan puji syukur kepada Tuhan dan
berbahagialah! Karena manisnya yang gurih dan legit itu pasti akan memanjakan dan membuai
indra perasa Anda dengan maksimal.
Tapi sebenarnya yang membuat Pak To terkenal adalah ayam bakarnya. Senada dengan saus
spesialnya, ayam bakar ini juga manis, gurih dan nikmat sekali untuk disantap. Kalau Anda tak
suka manis, masih ada pilihan lain yang tak kalah nikmatnya, misalnya berbagai balado, mulai
dari tahu, tempe, telur, terong, hingga kepala ikan. Tidak seperti ayamnya, yang ini dijamin
pedas, dengan sedikit hiasan rasa manis-asam yang menambah selera. 

Modifikasi sukses ala kota pelajar lainnya yang membuat Rumah Makan Pak To dicintai
pelanggan adalah  . . . harganya yang ekonomis! Rasanya sulit mencari warung Padang selevel
Pak To yang pasang harga semahasiswa dan se-Jogja itu.

Dengan berbagai keunikan itu, wajar saja kalau rumah makan yang buka dari pagi hingga malam
ini selalu dipadati pengunjung sampai mereka rela antri bak ular naga panjangnya untuk
mengambil makanan. Masalah rasa masakan Padang keluar pakem yang unik dan menunjukkan
status blasterannya itu, nampaknya malah membuat orang-orang suka. Teman-teman Padang
saya banyak kok yang suka ke Pak To dan bahkan mengambil saus-spesial-manis-yang-nggak-
Padang-banget itu banyak-banyak. Memang cuma di Jogja yang beginian bisa terjadi! (ang)

Lepas Penat di Umbul Merapi


07/08/2007 12:19

Sekitar dua minggu yang lalu, akhirnya ada kesempatan temu kangen dengan Bu
Pemred yang nampaknya sudah lama sekali absen dari kehidupan saya. Untuk
merayakan pertemuan bersejarah ini, kami mengadakan touring Jogja - Purworejo via
Pegunungan Menoreh. Bertualang naik motor tentu saja. Medannya lumayan berat.
Bahkan di suatu titik yang cukup curam, Bu Pemred harus rela turun dan berjalan
menanjak beberapa ratus meter, yang dilakukannya dengan . . . berjalan mundur.
Duh, adakah Pemred lain seeksentrik itu? Namun meskipun motor saya kerap
ngeden dalam kondisi gigi satu, pemandangan yang kami nikmati selama
petualangan benar-benar setimpal indahnya.

Di tengah-tengah perjalanan, terbersit ide untuk mencicipi sensasi susu kambing


etawa, kambing lucu bertelinga panjang yang menjadi primadona di kawasan
Pegunungan Menoreh. Sayangnya kami kurang beruntung dan harus cukup puas
dengan secawan Dawet Ireng yang sekarang sedang ngetrend di kawasan Purworejo
dan sekitarnya. Seperti namanya, dawet ini unik karena warnanya memang hitam,
sekilas mirip gelapnya warna ketan item. "Mungkin dari tinta cumi - cumi", ujar Bu
Pemred sok berspekulasi. Namun rasanya ternyata tidak seradikal warnanya,
lumayanlah untuk modal tenaga pulang ke Jogja. Karena kasihan dengan motor, kami
memutuskan pulang lewat jalur normal Jogja - Purworejo. Meskipun pada prakteknya
kami sengaja menyesatkan diri lewat jalan kampung yang akhirnya bermuara di
Godean.

Untuk makan siang hampir sore, Bu Pemred mengusulkan agar kami pergi ke . . .
Cangkringan, nun jauh di Kaki Merapi. Ceritanya, dalam suatu perjalanan ke sana, Bu
Pemred pernah melihat sebuah warung pinggir jalan yang menawarkan jamur
favoritnya. Meskipun masih harus menempuh puluhan kilometer lagi, karena kami
sedang berpetualang, jelas tidak ada yang tak mungkin. (kecuali jalur Pegunungan
Menoreh tentunya >_<)

Nama tempatnya Umbul Merapi. Posisi geografisnya berada di pertigaan tusuk sate
di suatu tempat di Cangkringan yang akan Anda lewati bila ingin pergi ke Padang Golf
Merapi, agak susah diterangkan. Dari halaman warung yang cuma bertetangga
dengan sawah dan ladang itu, Anda bisa memandang Merapi sepuasnya. Seturunnya
dari motor, bagian belakang-tengah tubuh saya yang seharian menempel di jok
sampai mengalami mati rasa! Untungnya Umbul Merapi berkonsep lesehan, jadi bisa
rebahan sesuka hati. Ahhh, nyamannya, apalagi sambil dibuai sejuknya udara
pegunungan.

Ternyata Umbul Merapi cuma menawarkan dua menu jamur dalam daftarnya. Jadi
kami memesan satu porsi sate dan dua porsi Pepes Jamur. Karena belum sarapan
(padahal jam sudah menunjukkan pukul 3 lebih!) saya juga memesan Nasi Goreng Ijo
yang terdengar menggoda.

Pepes Jamurnya terbungkus daun pisang. Rasanya gurih dengan tekstur jamur tiram
yang lembut keayam-ayaman (seperti daging ayam maksudnya). Semakin nikmat
dengan tahu yang ikut di dalam bungkus daun pisang. Sate Jamurnya sekilas terlihat
seperti sate usus ala angkringan. Aroma bawang merah mentah yang kuat berpadu
dengan bumbu kecap membuat sate yang kenyil-kenyil ini menjadi penutup yang
sempurna untuk hari petualangan kami berdua. Namun jangan lupakan Nasi Goreng
Ijonya, karena nasi goreng non kecap yang gurih dengan potongan-potongan tipis
buncis ini ternyata punya cita rasa yang cukup menawan. Dengan porsi merica yang
nampaknya ekstra banyak, nasi goreng ini sangat cocok untuk menghangatkan badan
di tengah sejuknya udara pegunungan.

Meskipun petualangan sehari saya dengan Bu Pemred sudah berakhir, bukan berarti


saya bisa langsung pulang ke kos dan istirahat, karena tugas berikutnya sudah
menanti. Seorang teman minta diantar ke . . . Bakmi Mbah Mo yang legendaris.
Legendaris karena nikmatnya dan legendaris karena lokasinya yang berada di
pelosok pedesaan Bantul . . . yang nuuuunn agak jauh di sana. Yah, saya pasti cerita
kapan-kapan deh! (ang)
 

Blandongan, Megawarkop Night Park Paling Laris di Jogja


31/01/2007 11:58

Kalau di edisi kemarin kita sudah membahas sebuah tempat makan yang tergolong
kelas atas, pada episode kali ini kita terjun bebas ke sebuah tempat minum kopi yang
sangat terkenal di kalangan mahasiswa Jogja karena warkop (warung kopi) yang satu
ini sangat piawai menerapkan filosofi murah meriah dalam memuaskan para
penggemarnya.

Namanya terdengar cukup aneh, Blandongan. Lokasinya berada di dekat palang pintu
KA Gowok. Tempat nongkrong yang satu ini benar-benar pantas menyandang gelar
megawarkop karena arealnya sangat luas. Blandongan menyediakan banyak sekali
meja dan kursi kayu panjang yang sederhana dan beberapa tempat lesehan untuk
mengakomodasi serbuan anak-anak nongkrong Jogja.

Meskipun layak disebut kafe karena memang berjualan kopi, Blandongan tidak bersolek
cantik seperti kafe-kafe lainnya. Areal duduk yang sangat luas itu berada di bawah
naungan bangunan bambu serba terbuka beratapkan seng. Sampah kulit kacang
berserakan di lantai tanah bawah meja. Kesan pertama yang muncul ketika melihat
penampakan Blandongan adalah: "Ya ampun . . . joroknya!".

Tempat ini segera mengingatkan saya pada markas tercinta waktu zaman aktif kuliah
dulu. Meskipun Blandongan tidak sekumuh dan sejorok kos-kosan di Jl. Kamboja no.17
itu (yang sekarang sudah digusur . . . sedihnya), atmosfernya yang penuh
persahabatan membuat saya kangen pada hari-hari liar yang pernah dilewatkan di
sana. Nampaknya faktor 'kumuh namun bersahabat' inilah yang menjadi andalan
Blandongan dan membuatnya menjadi tempat nongkrong favorit, terutama bagi banyak
cowok. (boys are dirty by nature . . . aren't we?)

Malam ketika saya datang ke sana, gerombolan pria berbagai rupa dan kelakuan
nampak memadati kursi-kursi di Blandongan. Bahkan di antara lautan mahasiswa itu
nampak beberapa pasangan yang sedang kencan! Benar-benar cewek yang penuh
pengertian. Ketika Anda memutuskan untuk ke Blandongan, ikuti petunjuk saya berikut
ini supaya tidak kelihatan seperti new kids on the block.

Kalau datang rame-rame, bagi kelompok menjadi dua. Kelompok pertama segera
mengamankan lokasi sementara kelompok kedua (satu orang saja cukup) meluncur ke
dapur untuk memesan, jangan lupa tanyakan teman-teman Anda mau minum apa.
Dapurnya adalah sebuah gubuk bambu di bagian belakang komplek dengan lampu
hijau nempel di dindingnya. Ruangan yang super sempit ini (makanya nggak usah
rame-rame) berisi berbagai macam jajanan pasar dan aneka rupa snack teman ngobrol,
bahkan ada nasi bungkus ala angkringan.

Ambil jajanan secukupnya dan bayar di kasir. Sambil bayar, Anda bisa sekalian pesan
aneka minuman yang diinginkan. Blandongan menawarkan banyak sekali racikan kopi
dan susu dengan harga super ekonomis. Untuk snack, kopi susu dan es kopi susu
(seperti yang terlihat di foto), saya cuma bayar Rp 5.500! Teman saya sampai khawatir
kalau si kasir sudah salah hitung saking murahnya. Setelah itu, sambil membawa
snacknya, cari tempat duduk dan tunggu saja minumannya datang, biasanya tidak
terlalu lama.

Meskipun disajikan dengan cangkir keramik berhias bunga-bunga, tampilan cantik jelas
bukan keahlian Blandongan. Kopi susunya berceceran berantakan di gelas dan tatakan.
Saya yang pesan es kopi susu melakukan kesalahan fatal dengan mengaduk minuman
berwarna gelap di gelas itu. Ternyata kopinya kopi tubruk! Karena diaduk, ampas
kopinya naik semua dan semakin manghitamkan cairan yang nampaknya memang kopi
susu. Rasanya tentu saja tak keruan. Kopi susu hangatnya sangat manis sehingga rasa
asli kopi sudah tak terlacak lagi.

Bagi Anda pecinta espresso, tentu tidak akan bisa menemukan sensasinya di dalam
gelas kopi tubruk. Namun sepertinya rasa memang bukanlah senjata utama
Blandongan. Tempat ini lebih menawarkan lokasi asyik buat ngobrol apa saja tanpa
perlu repot menjaga image. Kondisi warung yang sudah lumayan jorok membuat kita
(cowok-cowok yang jorok) nyaman untuk berbuat berbagai kejorokan lainnya. Aneh
memang, dan jelas tidak untuk semua kalangan. Berani mencoba? (ang)
Menurut legenda, Blandongan berawal dari bisnis kecil-kecilan sang owner yang pada awalnya hanya membuatkan kopi untuk
teman-teman kosnya. Melihat skala Blandongan saat ini, saya cuma bisa geleng-geleng kepala. Jogja memang ajaib!

-denah menyusul-
Royal Tea a la Jogja, Sensasi Minum Teh di Istana
08/01/2007 10:27

Ketika mendengar tentang teh, mau tak mau imajinasi kita segera melayang ke sebuah
pulau yang terapung sendiri di sisi Barat Benua Eropa. (kalau Anda sampai mengira
kita bicara soal Islandia . . . ketahuilah bahwa pulau es dan api itu bukan kerajaan -red)
Di kerajaan yang dikuasai oleh para bangsawan dengan status selebritis internasional
itu, minum teh sudah menjadi sebuah tradisi religius selama ratusan tahun.
 
Jogja jelas tidak kalah dengan kerajaan yang pernah menjadi penguasa dunia ini.
Nuansa kebangsawanan di Jogja tidak kalah kentalnya, karena meskipun kecil, Jogja
punya dua dinasti bangsawan yang hidup berdampingan di kota yang sarat keajaiban
ini. Dan wisata kuliner kali ini berlokasi di halaman rumah Keluarga Pakualam, sebuah
istana cantik yang berlokasi di Jl. Sultan Agung.
 
Nama resmi kedai teh ini adalah Lesehan Ibu Warsuki, tapi karena lokasinya, orang-
orang lebih mengenalnya sebagai Teh Poci Pakualaman. Tempat kongkow yang asyik
ini berada di pelataran luas di depan istana Pakualaman, di bawah rerimbunan pohon-
pohon beringin raksasa yang akar gantungnya menjuntai ke mana-mana. Warung teh
Bu Warsuki buka mulai pukul lima sore hingga jam dua dini hari.
 
Saya mengunjungi Teh Poci Pakualaman kemarin malam. Warung sederhana
bernuansa outdoor ini menjadi tempat peristirahatan terakhir yang menyenangkan
setelah lelah berburu di daerah Bantul bersama seorang kawan SMA. Untuk menemani
obrolan dan mereview hasil tangkapan hari ini, kami memesan teh poci dan berbagai
penganan kecil.

 
Sambil menyeruput teh hangat, kami mengintip buruan lewat layar LCD mungil. Potongan-
potongan langit biru, awan putih, dan mentari senja Jogja yang cantik membasuh pergi semua
rasa lelah. Buat para tukang foto pasti sangat mengerti perasaan pasca berburu yang indah ini.
Namun perhatian kami teralih karena datangnya penganan yang cukup mengejutkan, sate usus.
 
Siapa yang tidak kaget, karena sate usus ini sangat tidak biasa. Panjangnya mungkin dua kali
lipat sate usus yang normal! Karena lebih panjang, jelas saja sate usus ini jadi lebih nikmat.
Apalagi sambil ditemani jadah (ketan) bakar gurih dengan aroma gosong yang merangsang.
Berbeda dari jadah lainnya, tempatini juga memberikan variasi pilihan jadah goreng manis, yang
ternyata diberi tambahan maisjes di dalamnya. Tapi yang paling istimewa bagi kami adalah ceker
bakarnya yang enaaaaaaaak banget.
 
Mungkin bagi sebagian orang makan kaki ayam haram hukumnya, tapi sadarilah wahai orang-
orang yang takut ceker, kalian termasuk kaum yang merugi! Ceker ayam Bu Warsuki ini benar-
benar hidangan kelas satu. Setelah puas menghabisi kulit dan urat achillesnya yang empuk dan
gurih, kenikmatan berikutnya adalah menggerogoti tulang-tulang ceker yang mungil. Benar-
benar enak, karena bumbunya yang manis meresap sampai ke sumsum tulang! Sensasional
sekali.
 
Akhirnya kami meninggalkan istana dengan menyisakan jejak serpih-serpih tulang yang tidak
bisa dimakan. Sambil memandang bulan separo yang mengambang cemerlang di antara
gerombolan awan ikan-ikan kecil©  (istilah teman saya), cuma satu yang ada di pikiran saya,
"Jogja memang tempat paling cantik di dunia". (ang)
*info tambahan : beberapa hari terakhir ini Jogja sedang cantik-cantiknya karena musim hujan dengan langitnya yang kelabu tiba-
tiba pergi entah ke mana. Mentari bersinar cerah, langit biru berhias awan putih kecil-kecil. Bahkan Gunung Merapi tampak
telanjang tanpa kabut yang biasanya senantiasa menutupi. Ayo buruan ke Jogja!

Lek Adi, Selebritis Angkringan dari Kotagede


05/12/2006 10:12
Angkringan memang menakjubkan. Lapak kakilima super sederhana ini sudah menjadi
bagian tak terpisahkan dari warga Jogja, maka tak heran bila gerobak-gerobak
angkringan mulai bermunculan di mana-mana tatkala kegelapan mulai menyelimuti.
Meskipun banyak jumlahnya, hanya segelintir angkringan yang menyandang gelar
angkringan elite saking terkenalnya. Salah satunya berlokasi di silver city Kotagede.

Angkringan yang terletak di daerah tusuk sate ini adalah suatu fenomena yang
membingungkan. Meskipun telah tersohor dengan brand 'Angkringan Lek Adi',
angkringan ini malah memajang spanduk oranye besar bertuliskan 'Nganggo Suwe'
(pake' lama) berwarna merah sebagai penanda identitasnya. Asal tahu aja, jarang
sekali ada angkringan yang pasang papan nama. Kejanggalan yang lain, dilihat dari sisi
mana pun, tempat yang berada di bawah spanduk besar itu hanyalah warung biasa,
bukan angkringan. Sama sekali tidak terlihat adanya gerobak dengan tiga ceretnya
yang menjadi trademark warung angkring.

Cat hijau mudanya yang telah kotor malah mengingatkan pada warung burjo (bubur
kacang ijo) yang juga menjamur di Jogja. Papan daftar menunya juga dibuat ala burjo.
Saya rasa, inilah satu-satunya angkringan yang dengan jelas mencantumkan komoditas
jualan lengkap dengan harganya . . . revolusioner! Angkringan . . . atau tepatnya
warung kecil yang sangat sederhana itu disesaki beberapa meja dan kursi kayu
panjang.

Jejak-jejak angkringan terlihat di makanan yang ditawarkan. Berbagai lauk pauk khas
angkringan diletakkan di nampan-nampan dan baskom-baskom yang terserak di atas
meja. Namun ada juga yang mungkin tidak bisa ditemukan di angkringan sekitar rumah
Anda, seperti lele goreng, ayam goreng, bahkan puyuh dan babat goreng. Angkringan
dekat rumah jelas tidak mampu bersaing karena Lek Adi menawarkan tak kurang dari
18 lauk di daftar menu. Harganya bervariasi mulai tiga ratus perak (gorengan) hingga
empat ribu (puyuh).

Hal lain yang tidak mungkin disaingi angkringan biasa adalah . . . jumlah
pengunjungnya. Warung yang mungil itu menjadi tempat nongkrong yang ramai sedari
buka jam empat sore hingga tutup jam lima subuh. Untuk tahu rahasianya, lebih afdhol
kalau Anda mencoba datang ke angkringan yang bukan angkringan ini.
Begitu datang, segera pesan minuman ke counter di pojokan warung. Saya sarankan
Anda mencoba wedang jahe dan wedang asemnya yang uenaaaaakkk banget, manis
dan hangat, sangat sempurna sebagai teman di musim hujan. Kalau beruntung, Anda
bisa langsung mengambil nasi bungkus koran dan daun pisang yang disediakan di
nampan tanpa harus menunggu. Nasi porsi angkringan ini biasanya masih hangat
dengan aroma harum daun pisang yang khas. Biar lebih enak, tambahkan sambel
rahasia Lek Adi sesuka hati . . . meskipun simpel, rasanya sangat jossss bila dipadukan
dengan nasi yang masih mengepul.

Pilih lauk yang Anda suka. Gorengan wajib diambil, karena meskipun sudah dingin,
tidak ada artinya makan nasi angkring tanpa gorengan. Favorit saya adalah sate telur
puyuhnya yang coklat menggoda. Rasanya manis dengan tekstur kenyal yang asyik
punya. Pantangan saya adalah saren, bekuan darah ayam yang kerap disebut sebagai
'atine wong kere' (lauk hati untuk orang miskin). Menurut saya saren itu bertekstur
seperti karet penghapus . . . makanya saya nggak berani mencomot lauk yang sekilas
terlihat seperti tahu bacem ini.

Kalau Anda sudah merasakan nasi hangat + sambal Lek Adi sambil ditemani wedang
jahe dan asemnya, pasti tahu kenapa tempat mungil ini bisa ramai sekali dan berhasil
mencapai titel elite di dalam hirarki angkringan Jogja. Coba dulu baru pecaya! (ang)

Anda mungkin juga menyukai