Anda di halaman 1dari 12

ETIKA DALAM AKUNTANSI YANG BERNILAI PANCASILA TENTANG SILA

KEDUA

“Artikel ini bertujuan untuk memenuhi Ujian Akhir Semester Teosofi”

Kelas C

Disusun oleh:

Juan Aditya (18520086)

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS ISLAM MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2020
Etika saat ini di Indonesia adalah dampak dari globalisasi ekonomi yang dapat
menyebabkan penindasan pola pikir atau cara berpikir, dalam aspek akademik, ekonomi,
politik dan bahkan sosial budaya hidup (Puruhito 2011). Karena itu, etika akuntan harus
dibahas lebih dalam sehingga dapat membebaskan akuntan dari imperialisme. Oleh karena
itu, alat pembebasan yang membawa nilai-nilai Indonesia harus digunakan. Etika profesi
akuntan Indonesia, sejak keberadaan profesi ini sudah mengalami pasang surut. Pasang surut
tersebut timbul dan berkembang sejalan dengan berkembangnya perusahaan dan berbagai
bentuk badan hukum perusahaan di negara tersebut. Jika perusahaan-perusahaan di suatu
negara berkembang sedemikian rupa (dimana tidak hanya memerlukan modal dari
pemiliknya, namun mulai memerlukan modal dari kreditur, dan timbul berbagai perusahaan
berbentuk badan hukum perseroan terbatas yang modalnya berasal dari masyarakat), jasa
profesi ini (akuntan publik) mulai diperlukan dan berkembang. Dari profesi akuntan publik
inilah masyarakat kreditur dan investor mengharapkan penilaian yang bebas tidak memihak
terhadap informasi yang disajikan dalam laporan keuangan oleh manajemen perusahaan.
Sebagai sebuah profesi yang harus memberikan jasa pelayanan kepada klien, akuntan perlu
memperhatikan faktor-faktor keahlian, monopoli, pelayanan publik dan regulasi diri
(Amstrong 1993). Adanya kode etik profesi merupakan salah satu bentuk kesadaran diri
profesi akuntan untuk meregulasi atau mengatur dirinya sendiri, selain dipakai oleh profesi
untuk melegitimasi klaim-klaim professional berdasarkan kontribusinya kepada kepentingan
masyarakat (Dillard dan Yuthas 2002). Dalam menjalankan profesinya, seorang akuntan
harus mengikuti kode etik sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota dalam
pemenuhan tanggung jawab profesionalnya. Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi
tanggung jawabnya dengan standar profesionalisme tinggi, mencapai tingkat kinerja yang
tinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik. Setiap profesi yang menyediakan jasanya
kepada masyarakat memerlukan kepercayaan dari masyarakat yang dilayaninya.

Dalam ekonomi kapitalisme yang terjadi dalam masyarakat urban, terlihat bahwa
setiap orang bersaing dalam kegiatan bisnis untuk memperoleh laba sebesar-besarnya tanpa
memperhatikan disekitarnya. Terkadang hal ini membuat anggapan bahwa kehidupan
ekonomi yang terjadi orang kaya menjadi semakin kaya dan miskin semakin miskin. Padahal
hal ini telah diatur dalam pancasila bahwa perlu bersikap adil. Kesibukan yang terjadi
ditengah kemajuan teknologi yang semakin maju dalam era masyarakat urban terkadang
membuat masyakat urban terkadang melupakan asas bersikap adil kepada sesama sehingga
membuat terjadinya kesenjangan sosial didalam masyarakat tersebut. Dalam akuntansi
diperlukan sikap adil dan jujur dalam kegiatan proses pencatatan maupun mensajikan dalam
laporan keuangan dalam suatu peusahaan dengan tidak melakukan memanipulasi kegiatan
yang berhubungan dengan akuntansi dalam suatu perusahaan.

Mengaitkan Pancasila dengan etika profesi akuntan, khususnya mengadopsinya dalam


kode etik, sangatlah tidak populer di kalangan akuntan dan bahkan dapat menjadi
guyonan karena jelas melawan arus ideologi besar dunia dewasa ini. Terlebih lagi, seiring
dengan tumbangnya orde baru melalui gerakan reformasi 1998, Pancasila seolah telah turut
lenyap dari belantara kehidupan di bumi Indonesia. Bahkan Pancasila telah menjadi ideologi
asing bagi banyak kalangan, khususnya generasi muda Indonesia. Pancasila masih
ditempatkan pada isu yang terkait dengan politik identitas nasional, bukan sebagai pandangan
hidup bangsa dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Berdasarkan pandangan itu maka
Pancasila tidak dapat dibawa dalam ranah kehidupan kebangsaan lainnya, termasuk dalam
ranah profesi. Pandangan yang demikian bersifat isolatif, di mana Pancasila hanya dirujuk
dan diwujudkan dalam lingkup yang terbatas dari perikehidupan kebangsaan yang sangat luas
ini. Padahal seperti disampaikan oleh Asshiddiqie (2011), merujuk pada rekomendasi
Kongres Pancasila II, upaya pembudayaan Pancasila dapat diwujudkan secara konkrit dalam
praktik kehidupan masyarakat, antara lain melalui perumusan kode etik dan kode perilaku
beserta  pelembagaan institusi penegaknya di lingkungan jabatan kenegaraan, pemerintahan,
ormas, LSM dan Badan Usaha.

Akan tetapi jika Pancasila dipahami, dihayati, dipercayai, dan diamalkan secara
konsisten akan dapat menopang pencapaian-pencapaian agung peradaban bangsa. Pandangan
seperti ini dapat diterjemahkan dalam konteks profesi akuntan, di mana sila-sila Pancasila
akan menginspirasi berkembangnya pandangan dan perilaku etisnya sehingga berkontribusi
dalam pencapaian keagungan peradaban bangsa. Kajian etika akuntan berbasis Pancasila
telah dilakukan sebelumnya oleh Ludigdo dan Kamayanti (2012), dengan menempatkan
Pancasila sebagai pembebas etika akuntan dari hegemoni nilai-nilai barat. Untuk melanjutkan
dan menyempurnakan kajian sebelumnya, pokok- pokok moralitas dan haluan kebangsaan-
kenegaraan menurut alam Pancasila (Latif, 2011; 42-48) digunakan sebagai kerangka
diskusinya. Dalam naskah ini uraian pokok-pokok moralitas Pancasila dikembangkan untuk
profesi akuntan dengan mengaitkan pada Anggaran Dasar IAI (sebagai dokumen dasar
pengembangan profesi secara keseluruhan), Prinsip-prinsip Etika Akuntan yang termaktub
dalam Kode Etik IAI dan Kode Etik Profesi Akuntan Publik yang dikeluarkan oleh IAPI
(sebagai preferensi umum nilai-nilai profesi akuntan Indonesia).

Pancasila adalah suatu pondasi sebuah negara, untuk membuat kuat negara itu, saat
negara mengalami perkembangan, pertumbuhan, maka pondasi telah kuat, sehingga tidak
mudah roboh. Salah satu ciri fungsi Pancasila adalah menjadi jiwa dan kepribadian bangsa
Indonesia. Artinya Pancasila lahir bersama bangsa dan merupakan ciri khas bangsa dalam
bertingkah laku sehingga membedakan Indonesia dengan bangsa lainnya. Dengan
memasukkan Pancasila dalam pendidikan, diharapkan membantu membentuk karakter
bangsa. Era globalisasi yang identik dengan “semuanya bebas keluar masuk”, seolah tak ada
batas antar negara dapat dimanfaatkan pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan bagi
sendiri untuk memanfaatkan pihak lain dalam konteks lintas negara. Derasnya aliran
globalisasi dapat dibendung dengan Pancasila. Pendidik dapat menjadi pemupuk nilai-nilai
luhur Pancasila terhadap murid-muridnya. Karakter yang baik terdiri dari tiga hal, yaitu
mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai atau menginginkan kebaikan itu sendiri
(loving or desiring the good), dan melakukannya (acting the good) (Sudarsa, 2011). Lebih
lanjut dijelaskan bahwa pembentukan karakter dalam pendidikan itu sendiri terdiri dari tiga
bagian, yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan bermoral (moral
feeling), dan perilaku bermoral (moral behavior). Seorang pendidik haruslah cerdas dalam
segi intelektual, emosional, dan yang paling penting adalah spiritual. Apa yang dilakukan
oleh pendidik dapat ditiru oleh muridnya. “Pendidik” yang sering memarahi dan menghukum
murid, akan menghasilkan generasi pendendam. “Pendidik” yang sering telat akan
menghasilkan generasi indisipliner. Pendidik yang sering memotivasi akan menghasilkan
generasi yang sadar diri atas apa yang seharusnya dilakukan. Jika anak adalah cerminan
orang tua dalam hal genetik, murid adalah cerminan guru dalam pendidikan.

Dalam aspek ekonomi dan bisnispun, Pancasila juga perlu diletakkan sebagai nafas
utama untuk diamalkan secara objektif dan subjektif dalam kehidupan. Salah satu ekonom
terkemuka Indonesia, Mubyarto (2002), menegaskan bahwa Sistem Ekonomi Pancasila
bercirikan: (a) roda perekonomian digerakkan oleh dorongan ekonomi, sosial dan moral, (b)
kehendak kuat seluruh masyarkat ke arah pemerataan sosial berasaskan nilai kemanusiaan,
(c) prioritas kebangsaan atau nasionalisme menjiwai setiap kebijakan ekonomi,(d) koperasi
merupakan soko-guru perekonomian dan merupakan bentuk konkrit dari usaha bersama, (e)
terdapat keseimbangan yang jelas antara perencanaan pembangunan di tingkat nasional
dengan desentralisasi di daerah guna mendukung pemerataan dan keadilan ekonomi sosial.
Profesi akuntansi secara garisbesar bergerak dalam bidang bisnis dan ekonomi.
Sebagai bagian dari sistem ekonomi dalam industri jasa profesional, profesi akuntansi yang
menjalankan pekerjaannya di wilayah Indonesia perlu (dan wajib)menyesuaikan diri dengan
nilai-nilai Sistem Ekonomi Pancasila. Nilai-Nilai Pancasila seharusnya mewarnai dan
menjiwai pengembangan profesi akuntansi di Indonesia walaupun secara praksis ia tidak bisa
dilepaskan dengan globalisasi beserta seluruh turunannya. Hari ini, pertanyaan tentang nilai
Pancasila ini perlu diajukan (kembali) pada saat arus globalisasi begitu merasuki semua ruang
publik dan privat, tak terkecuali profesi akuntansi.

Dengan berusaha memupuk kesadaran untuk beretika berdasarkan nilai dalam


Pancasila, diharapkan calon akuntan beretika dan etika tersebut dipegang teguh apapun yang
terjadi. Dari beberapa metode yang diajukan di atas, semuanya menuntut pengadaan dan
pengembangan kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual mendasari kecerdasan emosional
dan intelektual. Jika selama ini kecerdasan intelektual saja yang diagung-agungkan sebagai
factor penentu kesuksesan seseorang, maka hal itu kurang tepat. Tanpa pondasi spiritual yang
kokoh, hal itu menjadi percuma. Kesuksesan yang dimaksud mungkin berlaku untuk dirinya
sendiri, namun tidak bisa bermanfaat untuk orang lain. Salah satu film favorit saya, 3 Idiots
mengangkat kesalahan dalam pendidikan yang selama ini seolah didiamkan, bahwa tujuan
sekolah adalah nilai, nilai, dan nilai. Dikisahkan ada dua jenis mahasiswa yang beradu
prinsip, yang satu berorientasi nilai sehingga akan menghalalkan segala cara agar menjadi
juara pertama, sedangkan yang satunya lagi murni untuk pengetahuan dan pengembangan
kreativitas namun sayangnya inovasinya ditentang oleh sang profesor. Untuk mengejar nilai,
seorang tokoh di film itu bahkan tidak fokus dalam kemampuannya, namun berusaha
menjegal kawan-kawannya (baca:saingan). Prinsipnya, “untuk membuat diriku (tampak)
maju, aku harus membuat yang lain mundur”. Jika mahasiswa diorientasikan untuk mencari
nilai saja, bukan tidak mungkin sifat kapitalislah yang muncul. Demi kepentingan diri sendiri,
mahasiswa akan berusaha curang, bahkan mungkin memanfaatkan kawankawannya.

Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila kedua adalah kemanusiaan yang
adil dan beradab. Dalam sila ini bangsa Indonesia diajarkan untuk mengakui dan
memperlakukan setiap orang sebagai sesama manusia yang memiliki martabat mulia serta
hak-hak dan kewajiban asasi manusia. Dengan kata lain, dalam sikap ini adalah untuk
menjunjung tinggi martabat dan hak-hak asasinya atau bertindak adil dan beradap
terhadapnya. Dalam kaitannya dengan akuntansi, diharapkan para profesi akuntan dapat
secara adil memperlakukan stakeholder, dengan bermacam-macam kepentingan di dalamnya
tanpa memprioritaskan kepentingan stakeholder tertentu, tentunya kepentingan yang bersifat
positif dan membangun untuk kepentingan semua pihak. Dan keberadaban harus dimiliki
oleh setiap akuntan dalam menjalankan profesinya yang berkaitan erat dengan menjalankan
etika untuk kebaikan dirinya sendiri yang akan berdampak kepada orang lain disekitarnya,
terutama stakeholder. Dalam Prinsip kedua Etika Profesi juga telah menjelaskan tentang
kepentingan publik yang berbunyi “kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani oleh
akuntan secara keseluruhan” dan kepentingan publik lah menjadi perhatian utama seorang
akuntan, yang untuk menyelaraskan tujuan para stakeholder keseluruhan, bukan secara
perseorangan atau individu. Sila kedua ini tidak dapat dipisahkan dengan pertama tentang
ketuhanan, jika ketuhanan adalah hubungan manusia dengan tuhan secara vertikal, sila ke dua
ini menghubungkan manusia dengan manusia, secara horizontal, untuk tujuan kemanusiaan
bersama.

Nilai-nilai kemanusiaan berasal dari hukum Tuhan dan sifat social manusia dijadikan
landasan kehidupan Bangsa Indonesia untuk membangun hubungan antar sesama dan antar
bangsa, yang dapat diwujudkan akuntan secara eksternalisasi dengan membangun ketertiban
dunia dan internalisasi dengan meningkatkan martabat penduduk negeri. Seorang akuntan
dapat memasukkan humanism ke dalam akuntansi dengan tidak menyalin begitu saja
peraturan yang berlaku di dunia internasional, namun hendaknya disesuaikan dengan karakter
bangsa Indonesia, yaitu dengan memasukkan Pancasila ke dalam akuntansi. Pancasila
menjunjung tinggi prinsip gotong royong, bukan individualisme. Jika seseorang terlalu
memikirkan laba dan rugi, sehingga memperhitungkannya sedemikian rupa, maka orang
tersebut akan melakukan segala sesuatunya demi meraih keuntungan.

Aspek manusia menjadi sangat penting dalam konsep akuntansi mengingat manusia
merupakan pihak pembuat sekaligus pelaksana dari konsep akuntansi. Tanpa adanya
manusia, akuntansi tidaklah mungkin bisa dipikirkan, dilaksanakan, dan dikembangkan.
Manusia juga merupakan faktor utama dalam penentuan arah berkembangnya akuntansi.
Penggunaan perspektif entitas bisnis pada pemikiran akuntansi saat ini menunjukkan adanya
pihak yang diistimewakan dalam suatu kegiatan ekonomi. Pemilik, kreditor, serta investor
merupakan pihak utama yang mendapatkan prioritas keuntungan dari hasil kegiatan usaha.
Implikasinya, pihak-pihak lain yang turut serta dalam kegiatan perusahaan dipandang tidak
perlu mendapatkan bagian dari hasil ke-giatan usaha. Disadari atau tidak penggunaan
perspektif entitas bisnis dalam akuntansi terdorong oleh rasa serakah manusia untuk mencari
keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini merupakan bagian dalam pemikiran kapitalisme yang
mengutamakan kepentingan dan kebebasan individual semata. Marx dalam Suseno (2013:22)
mengungkapkan bahwa laba yang diapropriasi oleh kapitalisme selama ini merupakan curian
dari hasil kerja buruh. Sehingga dapat disimpulkan bahwa laba yang dihasilkan oleh
perusahaan selama ini seharusnya bukan ditujukan untuk kepentingan pemilik serta investor
semata, namun juga kepada manusia lain yang selama ini sudah bekerja demi kepentingan
perusahaan. Pemikiran akuntansi modern yang dapat menimbulkan adanya kelas sosial
disadari atau tidak memiliki pertentangan dengan nilai Pancasila. Pasal 27 UUD 1945
menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum
dan pemerintahan menandakan bahwa setiap manusia memiliki kedudukan yang sederajat.
Demikian pula dengan paradigma akuntansi juga harus menganggap bahwa setiap manusia
memiliki kedudukan yang sama tanpa melihat kedudukan dan jabatan yang diemban.
Penggunaan enterprise theory sebagai dasar pemikiran akuntansi dapat dikatakan sudah
memenuhi unsur kemanusiaan yang diamanatkan dalam Pancasila untuk saat ini. Perspektif
usaha bersama yang menyamakan posisi pemilik dengan karyawan dan sumber daya manusia
lainnya sebagai komponen penerima laba menunjukkan adanya persamaan derajat manusia
dalam akuntansi. Dalam jangka panjang, hal ini akan membuat karyawan termotivasi dalam
bekerja untuk meningkatkan keuntungan serta mengembangkan jalannya perusahaan karena
merasa menjadi bagian dari kepemilikan perusahaan. Adapun penggunaan konsep enterprise
theory dalam kehidupan sehari-hari tidaklah sulit untuk dilaksanakan. Penelitian dari Hanif,
et al. (2013) menunjukkan adanya penerapan teori ini dalam sebuah rumah makan Padang di
Jakarta. Dalam wawancaranya, pemilik restoran menggunakan sistem bagi hasil yang
perhitungannya diketahui oleh para karyawan. Para karyawan juga tidak mendapatkan gaji
rutin, namun mendapat bagian dari keuntungan perusahaan setiap 100 hari. Sedangkan dalam
hal pemenuhan kebutuhan hidup, manusia sering terjebak dalam paradigma materialisme.
Kebutuhan hidup manusia sering dikonotasikan dalam bentuk fisik, seperti uang, harta,
makanan, dan hal lainnya. Sedangkan kebutuhan hidup lain yang tidak memiliki wujud fisik,
seperti ibadah, pertemanan, dan hal lainnya, seringkali tidak dianggap dalam kehidupan. Hal
inilah dalam jangka panjang akan memacu manusia untuk mengejar hal-hal yang berbentuk
fisik semata tanpa memperdulikan unsur-unsur rohaniyah. Paradigma berpikir demikian juga
tercermin dalam konsep akuntansi modern dewasa ini. Akuntansi sering dimaknai sebagai
suatu kegiatan pencatatan yang memuat suatu satuan moneter sebagai basis utama
pengukuran (Parikesit 2012:71). Satuan uang menjadi alat ukur utama dalam penentuan suatu
keberhasilan perusahaan dalam menjalani kegiatan operasionalnya. Akibatnya, akuntansi
menjadi terbatas sebagai alat pengukur kekayaan semata (Triyuwono 2012:382-383).
Fokus terhadap laba, laba, dan laba akan membuat manusia gelap mata. Seseorang
akan memperhitungkan segala sesuatu, menghalalkan segala cara, dan menganggap hidup
hanya berkaitan dengan materi, sesuatu yang bisa diukur dan kasat mata. Memanfaatkan
orang lain dan alam sesuka hati adalah sah baginya, karena hanya ada “aku” dan “materi” di
dalam jiwanya. Hak orang lain tak akan diperhitungkan. Tanpa kemanusiaan, seorang
akuntan bukanlah manusia. Contoh yang diangkat oleh Chwastiak dan Young (2003: 533)
adalah dalam laporan tahunan tidak disebutkan tumpukan sampah yang dihasilkan dari usaha
pemasaran perusahaan yang berusaha agar tingkat konsumsi masyarakat tidak ada putusnya
dan pemecatan tenaga kerja bukanlah suatumasalah karena perusahaan hanya ingin
mengurangi beban. Kapitalisme, tanpa konsep kekeluargaan maupun gotong royong,
membuat semua yang tak manusiawi itu menjadi tampak benar.

Seorang akuntan harus dapat mengembangkan ilmu pengetahuan secara bebas, bebas
untuk memilih mana yang benar dan mana yang salah, yang benar harus diikuti dan yang
salah harus ditinggalkan, dan secara aktif ikut berpartisipasi dalam pengembangan ilmu
pengetahuan tersebut. Secara internalisasi, akuntan harus tetap memegang teguh dasar
negaranya, bertindak secara etis, untuk meningkatkan dan mengharumkan nama bangsa
Indonesia di mata dunia dengan tidak melakukan kesalahan yang berhubungan dengan
profesi yang telah diembannya. Seorang akuntan harus menjadi kreator terwujudnya tata
kehidupan yang beradab melalui otoritas keilmuan dan keahliannya. Kejujuran, integritas dan
kehati-hatian profesional dalam terminologi etika profesi akuntan pada umumya harus
dimaknai kembali sebagai sikap menjaga martabat manusia untuk membangun suatu
peradaban agung yang dilandasi oleh prinsip ketuhanan. Dalam konteks ini, berbagai prinsip
etika yang dibangun tidak dimaknai dalam semangat menjaga “kepentingan publik” yang
menguasai pasar (yang tentu saja orientasinya mencapai laba maksimal dalam suatu bisnis)
atau pemegang otoritas publik (yang telah salah kaprah hanya berorientasi pada efisiensi
maksimal dalam pengelolaan sektor publik).

Kode etik akuntan dalam berbagai prinsip dan aturannya telah dengan baik
menguraikan dimensi cara pandang kemanusiaan ini. Pengutamaan kepentingan publik
merupakan terminologi yang sangat menonjol dalam elaborasi prinsip dan aturan etika.
Terkait dengan ini Prinsip Kedua (01) Etika Profesi IAI mendefinisikan kepentingan publik
sebagai “kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani oleh akuntan secara
keseluruhan.” Disebutkan pula bahwa “tanggung jawab seorang akuntan tidak semata-mata
untuk memenuhi kebutuhan klien individual atau pemberi kerja (06)”, sehingga kepentingan
publik menjadi titik berat perhatian akuntan. Meskipun demikian pemahaman atas
terminologi ini harus diperkuat dengan cara pandang bahwa pengutamaan kepentingan publik
ini adalah dalam kerangka perwujudan keadilan sosial dan pencapaian kemajuan peradaban
dunia bukan pengertian yang terkooptasi kepentingan liberalis-kapitalis.

Sistem pendidikan akuntansi memerlukan sila kedua ini untuk menancapkan sifat
keadilan dan keberadaban dalam profesi yang dilakukannya. Supaya tidak ada kecurangan
yang terjadi saat mahasiswa telah terjun dalam dunia nyata akuntansi. Kecurangan atau
fraud telah menabrak nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Fraud telah
menyebabkan ada hak orang lain yang dilanggar demi keuntungan pribadi atau golongan.
Pada saat yang sama, tindakan ini melompati batas dalam semua aturan formal, norma dan
etika.

Dengan memahami sila kedua Pancasila sebaga sila “Kemanusiaan yang adil dan
beradab,” maka sejatinya akuntansi dituntun untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang
tidak sekedar unsur materi semata. Akuntansi dituntut untuk memenuhi kebutuhan manusia
sebagai makhluk sosial dan makhluk monopluralis. Maka dari itu, akuntansi tidak boleh
memandang satuan uang sebagai alat ukur utama, namun akuntansi juga harus
memperimbangkan satuan tidak terukur yang pada hakekatnya bertujuan untuk membentuk
pribadi menjadi manusia humanis. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Sukoharsono (2010)
yang menyatakan bahwa suatu organisasi tidak harus dijalankan dengan “iming-iming” uang,
namun cinta dan kasih sayang yang tulus akan lebih mampu menggerakkan organisasi ke
arah yang lebih dahsyat. Berdasarkan penggambaran di atas, dapat diperoleh suatu
kesimpulan bahwa akuntansi merupakan proses memanusiakan manusia. Adapun
memanusiakan manusia dimaknai sebagai proses mengembalikan hakekat penciptaan
manusia sebagai makhluk humanis, yang tidak hanya mengutamakan kepentingan pribadinya
semata, namun juga kepentingan bersama. Memang, manusia terlahir sebagai seorang
individu. Namun, manusia juga harus menyadari bahwa sejak proses kelahiran hingga
menjalani upacara kematiannya, manusia pasti membutuhkan pertolongan sesama. Hal inilah
yang menjadi latar belakang diben-tuknya akuntansi humanis.

Proses memanusiakan manusia merupakan suatu upaya mengembalikan nilai yang


hilang dalam pemikiran akuntansi modern saat ini. Dalam akuntansi konvensional, manusia
dididik untuk menguta-makan dirinya sendiri tanpa memedulikan kepentingan orang lain.
Akuntansi hanya membentuk manusia mengejar hal-hal yang berbau materi dan melupakan
kebutuhan non materi yang sejatinya merupakan hal utama yang dibawa oleh manusia ketika
ia mati. Akuntansi konvensional juga menciptakan suatu kelas sosial yang dapat
mempengaruhi perusahaan untuk menindas kaum lemah dan memanjakan kaum pemilik
beserta investor. Nilai yang hilang dalam akuntansi konvensional mengakibatkan manusia
menjadi mengutamakan harta serta kepentingannya sendiri. Manusia menjadi lupa bahwa
mulai dari hidup hingga terkubur ia selalu membutuhkan bantuan orang lain. Manusia juga
lupa bahwa dalam kehidupan kesalehan merupakan hal yang juga turut dikejar sebagai bentuk
pertanggungjawaban di akhirat. Hal inilah yang mendasari perlu-nya proses memanusiakan
manusia dalam akuntansi. Dengan demikian, definisi akuntansi berdasarkan sila
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah proses memanusiakan manusia melalui suatu
aktivitas keuangan.

Bentuk keterlibatan aktif akuntan dalam kancah bisnis dan organisasi global bukan
dalam kerangka menyuburkan ketidakadilan, peminggiran dan penindasan terhadap
masyarakat lokal maupun bangsa lain melalui berbagai standar dan kebijakan akuntansi.
Bukan pula dalam kerangka turut melestarikan atau membiarkan praktik bisnis yang
berkontribusi pada perusakan nilai-nilai kemanusian, lingkungan dan kemudian
menghancurkan alam (lihat diskusinya dalam Chwastiak dan Young (2003). Namun
sebaliknya itu dilakukan dalam kerangka mengangkat harkat kemanusiaan yang luhur dan
mempromosikan keadilan untuk semua, termasuk keadilan terhadap lingkungan dan
keberlangsungan alam.

Adapun tantangan untuk merealisasikan berkembangnya etika akuntan berparadigma


Pancasila. Hal ini harus menjadi perhatian profesi akuntan, khususnya para penggiat profesi
akuntan di Indonesia. Tentunya dalam kerangka ini yang sangat strategis berperan adalah
kalangan akuntan pendidik/akademisi. Ini terutama terkait dengan peran pendidikan
akuntansi dalam mengelaborasi nilai-nilai Pancasila dalam ranah akademik dan
mengembangkannya lebih lanjut melalui riset-riset akademik untuk kemudian disebarkan
pada ranah praktik akuntansi. Pendidikan akuntansi seharusnya memberi ruang yang
memadai untuk menempatkan Pancasila sebagai filosofi dasar pengembangan pendidikan
akuntansi dan sekaligus sebagai dasar dalam pengembangan karakter akuntan Indonesia.
Untuk ini berbagai kajian akademik, khususnya yang menyangkut materi pembelajaran mata
kuliah yang harus bermuatan nilai-nilai dan norma berperilaku, perlu secara intensif
dilakukan. Contohnya adalah didalam menjalankan praktik profesi akuntansi biaya, yaitu
menghitung & melaporkan beban pokok produksi, mencatat siklus akuntansi biaya, menilai
persediaan, menyusun perencanaan, pengendalian dan pengambilan keputusan khusus
dilandasi oleh jiwa yang humanis, yaitu mengakui dan memperlakukan manusia sesuai harkat
dan martabat sebagai makhluk Tuhan YME.Mengakui persamaan derajat, hak, dan kewajiban
asasi manusia tanpa membedakan SARA, warna kulit, gender, dan pembeda lainnya.Saling
menghormati, tepo seliro, tenggang rasa dan tidak semena-mena antar sesama manusia. Hal
ini termasuk gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.

Mahasiswa akuntansi sebagai calon akuntan masa depan menentukan arah profesi ini
serta bangsa Indonesia. Beberapa dari mereka mungkin akan menjadi pendidik pula. Dengan
membuka paradigma mereka sejak kini, diharapkan akuntan-akuntan beretika akan
meningkat jumlahnya, dan bidang keilmuan akuntansi akan lebih Indonesia dengan
memasukkan nilai-nilai luhur Pancasila ke dalamnya. Akuntansi dalam perspektif Pancasila
jika dimaknai secara penuh adalah terciptanya suatu paradigma akuntansi yang tidak hanya
memusatkan pikiran kepada kepentingan diri, namun juga memerhatikan kepentingan Tuhan
dan sesama makhluk hidup yang ada dibumi ini. Hal ini juga tertulis didalam Al-Quran yang
tentunya dapat dijadikan landasan tertulis, sebagai pemikiran lain dari akuntansi dalam
kehidupan masyarakat yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Untuk itu di masa depan,
hal ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan data-data yang lebih lengkap dan akurat,
sehingga dapat memberikan manfaat untuk kita semua.
Daftar Pustaka
https://www.academia.edu/10983787/INTERPRETASI_PANCASILA_DAN_ISLAM_UNT
UK_ETIKA_PROFESI_AKUNTAN_INDONESIA

https://www.academia.edu/21753495/PROFESIONAL_AKUNTAN_YANG_BERETIKA_D
AN_PANCASILAIS_MELALUI_SISTEM_PENDIDIKAN_AKUNTANSI

https://www.academia.edu/7780478/MEMAKNAI_ETIKA_PROFESI_AKUNTAN_INDON
ESIA_DENGAN_PANCASILA_pada_Fakultas_Ekonomi_dan_Bisnis_Universitas_Brawija
ya_Oleh_UNTI_LUDIGDO

https://www.academia.edu/38000121/MEMBAWA_PANCASILA_DALAM_SUATU_DEFI
NISI_AKUNTANSI

https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JIA/article/viewFile/9980/6333

https://www.academia.edu/21807210/PENDEBETAN_ETIKA_DALAM_JIWA_AKUNTA
N_INDONESIA_PEMUPUKAN_NILAI_PANCASILA_OLEH_PENDIDIK

https://www.academia.edu/40087842/INTERNALISASI_NILAI-
NILAI_PANCASILA_DALAM_PENYUSUNAN_KODE_ETIK_APARATUR_PENGAW
AS_INTERNAL_PEMERINTAH_APIP_Internalizing_Pancasila_Values_In_Preparing_The
_Code_of_Ethics_of_The_Government_Internal_Auditors_APIP_

https://www.academia.edu/35962132/QUO_VADIS_1_PANCASILA_DALAM_PENDIDIK
AN_AKUNTANSI_DI_INDONESIA

https://www.academia.edu/29168556/Pendidikan_Akuntansi_Indonesia_Pro_Neoliberal_Ata
u_Pancasila

http://amanah-hijriah.blogspot.com/2016/10/pancasila-sebagai-kebebasan.html

http://ojs.unik-kediri.ac.id/index.php/ekonika/article/download/16/20

Anda mungkin juga menyukai