Anda di halaman 1dari 69

1

BUPATI TOJO UNA-UNA


RANCANGAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOJO UNA – UNA

NOMOR 8 TAHUN 2012

TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TOJO UNA – UNA


TAHUN 2011-2031

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TOJO UNA - UNA,

Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Kabupaten Tojo


Una - Una dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna,
berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan
keamanan, perlu disusun Rencana Tata Ruang Wilayah;
b. bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan pembangunan antar
sektor, daerah, dan masyarakat maka rencana tata ruang wilayah
merupakan arahan lokasi investasi pembangunan yang dilaksanakan
pemerintah, masyarakat, dan/atau dunia usaha;
c. bahwa strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah
nasional perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tojo Una - Una
Tahun 2011 – 2031;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2003 tentang Pembentukan
Kabupaten Tojo Una – Una di Provinsi Sulawesi Tengah. (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 147, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4342);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 1
Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2008 Nomor
59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
5. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4739);
2

6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
7. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5068);
8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4833);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5103);
12. Peraturan Daerah Kabupaten Tojo Una Una Nomor 4 Tahun 2010
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten
Tojo Una-Una Tahun 2005-2025 (Lembaran Daerah Kabupaten Tojo
Una-Una Tahun 2010 Nomor 4);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN TOJO UNA – UNA

Dan

BUPATI TOJO UNA - UNA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH


KABUPATEN TOJO UNA - UNA TAHUN 2011-2031

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam peraturan daerah ini, yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Kabupaten Tojo Una - Una.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur
Penyelenggara Pemerintah Daerah.
3. Kepala Daerah adalah Bupati Tojo Una - Una.
3

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tojo Una - Una.
5. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang laut dan ruang udara
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan
kehidupannya.
6. Tata Ruang meliputi wujud struktur ruang dan pola ruang.
7. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan
prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi
masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional.
8. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi
peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.
9. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
10. Perencanaan Tata Ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan
pola ruang yang meliputi penyusunan pan penetapan rencana tata ruang.
11. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
12. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tojo Una - Una yang selanjutnya disebut
RTRW Kabupaten Tojo Una - Una adalah hasil perencanaan tata ruang wilayah di
daerah Kabupaten Tojo Una - Una.
13. Wilayah Kabupaten Tojo Una - Una adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis
beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan
aspek administratif dan/atau aspek fungsional di Kabupaten Tojo Una - Una.
14. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang
berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten atau beberapa kecamatan.
15. Pusat Kegiatan Lokal promosi yang selanjutnya disebut PKLp adalah pusat kegiatan
yang dipromosikan untuk kemudian hari dapat ditetapkan sebagai PKL.
16. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan perkotaan
yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa.
17. Pusat Pelayanan Lingkungan atau disingkat PPL merupakan pusat permukiman yang
berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa.
18. Sistem jaringan primer merupakan sistem jaringan jalan dengan peran pelayanan
distribusi barang dan jasa untuk pengembangan wilayah di tingkat nasional, dengan
menghubungkan simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan.
19. Sistem jaringan sekunder merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan
distribusi barang dan jasa di dalam kawasan perkotaan.
20. Jalan arteri adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri
perjalanan jarak jauh, kecapatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi atau
merupakan
21. Jalan kolektor adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau
pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah
jalan masuk dibatasi secara efisien.
22. Jalan lokal adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri
perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk tidak
dibatasi.
23. Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat dan kecapatan rata-rata rendah.
24. Sistem Wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan
pelayanan pada tingkat wilayah.
25. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya.
26. Wilayah Sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumberdaya air dalam satu atau
lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau
sama dengan 2.000 km2.
4

27. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan
yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang
berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan
ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis
dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas
daratan.
28. Pelabuhan adalah sebuah fasilitas di ujung samudera, sungai, atau danau untuk
menerima kapal dan memindahkan barang kargo maupun penumpang ke dalamnya
serta memiliki alat-alat yang dirancang khusus untuk memuat dan membongkar
muatan kapal-kapal yang berlabuh.
29. Dermaga adalah tempat kapal ditambatkan di pelabuhan dan dilakukan berbagai
kegiatan bongkar muat barang dan orang dari dan keatas kapal serta dilakukan
kegiatan untuk mengisi bahan bakar untuk kapal, air minum, air bersih, saluran untuk
air kotor/limbah yang akan diproses lebih lanjut di pelabuhan.
30. Ruang Terbuka Hijau yang selanjutnya disebut RTH adalah area memanjang/jalur
dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh
tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
31. Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya
buatan.
32. Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia
dan sumberdaya buatan.
33. Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian
dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan
dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
34. Kawasan Perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian
termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan
kegiatan ekonomi.
35. Kawasan Agropolitan adalah kawasan yang meliputi satu atau lebih pusat kegiatan
pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber
daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hirarki
keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.
36. Minapolitan adalah konsepsi pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan berbasis
kawasan berdasarkan prinsip-prinsip terintegrasi, efisiensi, berkualitas dan percepatan
pembangunan.
37. Kawasan Minapolitan adalah suatu bagian wilayah yang mempunyai fungsi utama
ekonomi yang terdiri dari sentra produksi, pengolahan, pemasaran komoditas
perikanan, pelayanan jasa, dan/atau kegiatan pendukung lainnya.
38. Kawasan Strategis Nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan
negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya dan/atau
lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
39. Kawasan Strategis Provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi,
sosial, budaya dan/atau lingkungan.
40. Kawasan Strategis Kabupaten adalah wilayah yang penataan ruangnya dipioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten terhadap
ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan.
41. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung
baik berupa kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal/lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan.
5

42. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya adalah


kawasan yang berada pada ketinggian diatas 2.000 meter dan atau kelerengan diatas
45 derajat, yang apabila tidak dilindungi dapat membahayakan kehidupan yang ada di
bawahnya.
43. Kawasan perlindungan setempat mencakup kawasan sempadan sungai dan kawasan
sekitar mata air.
44. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan
maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi
sebagai kawasan penyanggah kehidupan.
45. Kawasan rawan bencana adalah beberapa lokasi yang rawan terjadi bencana alam
seperti tanah longsor, banjir dan gunung berapi, yang perlu dilindungi agar dapat
menghindarkan masyarakat dari ancaman bencana.
46. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
47. Kawasan pertanian meliputi persawahan dan lahan kering.
48. Kawasan perikanan adalah kawasan budidaya sumberdaya perikanan.
49. Kawasan perkebunan adalah kawasan yang dikembangkan dengan fungsi tanaman
komoditi skala besar yang meliputi perkebunan tanaman tahunan, atau perkebunan
tanaman semusim.
50. Kawasan peternakan meliputi kawasan sentra usaha peternakan ternak besar,
peternakan ternak kecil, dan peternakan unggas.
51. Kawasan pariwisata terdiri atas wisata alam di dalam kawasan konservasi; wisata alam
di luar kawasan konservasi; wisata rekreasi; wisata sejarah, budaya dan religi.
52. Kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi
dengan prasarana dan sarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh
Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri.
53. Kawasan peruntukan Industri adalah bentangan lahan yang diperuntukkan bagi
kegiatan Industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
54. Kawasan pertambangan adalah kawasan yang secara alamiah memiliki potensi
sumberdaya alam pertambangan.
55. Kawasan Pertahanan negara adalah wilayah yang ditetapkan secara nasional yang
digunakan untuk kepentingan pertahanan.
56. Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang
sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan program beserta
pembiayaannya.
57. Indikasi program utama jangka menengah lima tahunan adalah petunjuk yang memuat
usulan program utama, lokasi, besaran, waktu pelaksanaan, sumber dana, dan
instansi pelaksana dalam rangka mewujudkan ruang kabupaten yang sesuai dengan
rencana tata ruang.
58. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah adalah ketentuan-ketentuan yang
dibuat atau disusun dalam upaya mengendalikan pemanfaatan ruang wilayah
kabupaten agar sesuai dengan RTRW kabupaten yang berbentuk ketentuan umum
peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan
sanksi untuk wilayah kabupaten.
59. Peraturan Zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan
ruang dan ketentuan pengendaliannya, dan disusun untuk setiap blok/zona
peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang.
60. Ketentuan perizinan adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah kabupaten sesuai kewenangannya yang harus dipenuhi oleh setiap pihak
sebelum pemanfaatan ruang, yang digunakan sebagai alat dalam melaksanakan
pembangunan keruangan yang tertib sesuai dengan rencana tata ruang yang telah
disusun dan ditetapkan.
6

61. Ketentuan insentif dan disinsentif adalah perangkat atau upaya untuk memberikan
imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang dan
juga perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan
yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang.
62. Arahan sanksi adalah arahan untuk memberikan sanksi bagi siapa saja yang
melakukan pelanggaran pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang yang berlaku.
63. Kajian lingkungan hidup strategis, yang selanjutnya disebut KLHS adalah rangkaian
analisa yang sistematis menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan
serta status wilayah atau kebijakan, rencana dan program
64. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah , yang selanjutnya disebut BKPRD adalah
badan bersifat ad-hoc yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan undang-undang
nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di kabupaten dan mempunyai fungsi
membantu pelaksanaan tugas Bupati dalam koordinasi penataan ruang di Daerah.
65. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi.
66. Masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum
adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan non pemerintah lain dalam penataan
ruang.
67. Peran serta masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat, yang timbul atas
kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat untuk berminat dan bergerak
dalam penyelenggaraan penataan ruang.
68. Hak atas ruang adalah hak-hak yang diberikan atas pemanfaatan ruang daratan, ruang
lautan dan ruang udara.

BAB II
TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI

Bagian Kesatu
Tujuan Penataan Ruang

Pasal 2

Tujuan Penataan Ruang Daerah meliputi untuk mewujudkan ruang wilayah Kabupaten Tojo
Una-Una sebagai pusat kegiatan Perikanan, Pertanian dan Pariwisata di bagian Timur
Provinsi Sulawesi Tengah yang didukung oleh industri, dan perhubungan dengan
mengoptimalkan penggunaan Sumber Daya Alam dan melindungi masyarakat dari bencana
alam.

Bagian Kedua
Kebijakan Penataan Ruang

Pasal 3

(1) untuk mewujudkan tujuan penataan ruang wilayah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, disusun kebijakan penataan ruang wilayah.
(2) kebijakan penataan ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. pengembangan pusat pelayanan guna mendorong pengembangan perikanan,
pertanian dan pariwisata yang didukung oleh industri untuk pertumbuhan wilayah
disertai pemerataan secara seimbang;
7

b. penyediaan prasarana wilayah untuk lebih mendorong investasi produktif


perikanan, pertanian dan pariwisata yang didukung oleh industri sesuai kebutuhan
masyarakat melalui pengembangan dan penyediaaan prasarana transportasi,
telekomunikasi, energi, sumber daya air, dan prasarana lingkungan;
c. pemantapan fungsi kawasan lindung yang mencakup kawasan hutan lindung,
kawasan yang memberikan perlindungan pada kawasan bawahannya, kawasan
perlindungan setempat, kawasan cagar alam dan pelestarian alam, kawasan
taman hutan raya, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, kawasan rawan
bencana alam dan kawasan lindung lainnya dengan menetapkan fungsi utamanya
adalah fungsi lindung dan tidak boleh dialihfungsikan untuk kegiatan budidaya;
d. pengembangan kawasan budidaya dalam mendorong pengembangan perikanan,
pertanian dan pariwisata yang didukung oleh industri dan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat;
e. pelestarian sumberdaya zona pesisir dan laut dan mendorong perkembangan
fungsi budidaya zona pesisir dan laut untuk perikanan, permukiman, pariwisata,
dan prasarana perhubungan; dan
f. peningkatan fungsi kawasan untuk Pertahanan dan Keamanan Negara.

Bagian Ketiga
Strategi Penataan Ruang

Pasal 4

(1) untuk mewujudkan kebijakan penataan ruang wilayah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, disusun strategi penataan ruang wilayah.
(2) strategi pengembangan pusat pelayanan guna mendorong pengembangan perikanan,
pertanian dan pariwisata yang didukung oleh industri untuk pertumbuhan wilayah
disertai pemerataan secara seimbang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
huruf a, meliputi:
a. mendorong pertumbuhan wilayah perdesaan yang lebih mandiri;
b. meningkatkan aksesbilitas antar perdesaan dan perkotaan;
c. mengembangkan fungsi kawasan industri;
d. meningkatkan peran perkotaan sebagai pusat pertumbuhan wilayah sesuai hierarki
masing-masing;
e. mengembangkan kota mandiri sebagai pusat pelayanan sosial baru;
f. mengintegrasikan pusat pengembangan baru dan lama sebagai satu sistem
perkotaan; serta
g. mengembangkan kawasan minapolitan, agropolitan dan ekowisata yang didukung
oleh industri sebagai andalan pengembangan perdesaan di Kabupaten Tojo Una-
Una.
(3) strategi penyediaan prasarana wilayah untuk lebih mendorong investasi produktif
perikanan, pertanian dan pariwisata yang didukung oleh industri sesuai kebutuhan
masyarakat melalui pengembangan dan penyediaaan prasarana transportasi,
telekomunikasi, energi, sumber daya air, dan prasarana lingkungan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, meliputi:
a. mengembangkan sistem jaringan transportasi untuk mendorong pembangunan
wilayah melalui pengembangan jaringan jalan, pengembangan sistem transportasi
laut dan transportasi udara;
b. mengembangkan sistem penyediaan sumber daya energi dan gas untuk
mendukung perikanan, pertanian dan pariwisata yang didukung oleh industri untuk
pertumbuhan wilayah dan peningkatan investasi di wilayah Kabupaten Tojo Una-
Una;
8

c. mengembangkan sumberdaya pengairan dengan mengoptimalisasi fungsi dan


pelayanan prasarana pengairan secara terkontrol sesuai dengan kapasitas sumber
air sebagai pengairan untuk lahan pertanian, sumber air minum dan
pemanfaatannya untuk air kemasan;
d. mengembangkan sistem jaringan telekomunikasi yang mendukung kegiatan
perikanan, pertanian, pariwisata dan industri di Kabupaten Tojo Una-Una yang
dapat menjangkau ke seluruh pelosok wilayah secara proporsional dan terkendali;
dan
e. mengembangkan prasarana lainnya yang mendukung kegiatan perikanan,
pertanian, pariwisata dan industri melalui pengembangan sistem persampahan dan
jaringan air bersih untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat.
(4) strategi Pemantapan fungsi kawasan lindung yang mencakup kawasan hutan lindung,
kawasan yang memberikan perlindungan pada kawasan bawahannya, kawasan
perlindungan setempat, kawasan cagar alam dan pelestarian alam, kawasan cagar
budaya dan ilmu pengetahuan, kawasan rawan bencana alam dan kawasan lindung
lainnya dengan menetapkan fungsi utamanya adalah fungsi lindung dan tidak boleh
dialihfungsikan untuk kegiatan budidaya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
huruf c, meliputi:
a. melarang alih fungsi pada kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan
lindung;
b. menjaga dan melindungi kelestarian kawasan hutan yang memiliki fungsi sebagai
kawasan resapan air;
c. memantapkan kawasan perlindungan setempat melalui upaya konservasi alam,
rehabilitasi ekosistem yang rusak, pengendalian pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup;
d. memantapkan fungsi dan nilai manfaat kawasan pelestarian alam dan cagar budaya
yang diperuntukkan bagi kegiatan yang berkaitan dengan pelestarian kawasan;
e. menangani kawasan rawan bencana alam melalui pengendalian dan pengawasan
kegiatan perusakan lingkungan terutama pada kawasan yang berpotensi
menimbulkan bencana alam, serta pengendalian untuk kegiatan manusia secara
langsung; dan
f. memantapkan wilayah kawasan lindung geologi yang terdiri dari kawasan cagar
alam geologi, kawasan rawan bencana alam geologi, dan kawasan yang
memberikan perlindungan terhadap air tanah disertai dengan pemantapan zonasi di
kawasan sekitarnya serta pemantapan pengelolaan kawasan secara partisipatif.
(5) strategi Pengembangan kawasan budidaya dalam mendorong pengembangan
perikanan, pertanian dan pariwisata yang didukung oleh industri dan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(2) huruf d, meliputi:
a. mengembangkan kawasan hutan produksi dengan tetap mempertahankan fungsi
kawasan sebagai hutan produksi;
b. menetapkan dan mengembangkan kawasan hutan rakyat dalam mendukung
penyediaan hutan oleh rakyat
c. menetapkan lahan pertanian pangan berkelanjutan untuk mendukung suplai pangan
nasional dan mengembangkan komoditas-komoditas unggulan hortikultura di setiap
wilayah;
d. mengembangkan kawasan perkebunan dilaksanakan melalui peningkatan
produktivitas dan pengolahan hasil perkebunan dengan teknologi tepat guna serta
peningkatan partisipasi masyarakat;
e. mengembangkan kawasan perikanan dengan mengoptimalisasikan kawasan
perikanan tangkap di wilayah utara Kabupaten Tojo Una-Una;
f. mengembangkan kawasan pertambangan yang berbasis pada teknologi yang
ramah lingkungan;
9

g. mengembangkan dan memberdayakan industri kecil dan home industry untuk


pengolahan hasil pertanian, peternakan, dan perikanan serta pengembangan
industri kecil untuk pariwisata;
h. meningkatkan pengembangan pariwisata berbasis ekowisata dengan tetap
memperhatikan kelestarian lingkungan, pelestarian budaya leluhur dan melibatkan
peran serta masyarakat;
i. meningkatkan kawasan permukiman perkotaan secara sinergis dengan permukiman
perdesaan; dan
j. mengembangkan kawasan peternakan dengan mengembangkan dan mengelola
produk hasil peternakan melalui pengembangan cluster sentra produksi peternakan.
(6) strategi pelestarian sumberdaya zona pesisir dan laut dan mendorong perkembangan
fungsi budidaya zona pesisir dan laut untuk perikanan, permukiman, pariwisata, dan
prasarana perhubungan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e
meliputi:
a. melestarikan pada kawasan penunjang ekosistem pesisir baik sebagai kawasan
hutan mangrove, terumbu karang, sea grass, dan estuaria sebagai satu kesatuan
ekosistem yang terpadu di bagian darat maupun laut;
b. merencanakan zonasi kawasan pesisir Kabupaten;
c. memantapkan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat setempat dalam
mengembangkan dan memelihara ekosistem pesisir;
d. meningkatkan nilai ekonomi kawasan lindung melalui pemanfaatan bakau dan
terumbu karang sebagai sumber ekonomi perikanan dengan cara penangkapan
yang ramah lingkungan dan mendukung keberlanjutan; dan
e. mengembangkan kegiatan pariwisata, penelitian dan perikanan dengan tidak
mengganggu fungsi lindung.
(7) strategi peningkatan Fungsi Kawasan untuk Pertahanan dan Keamanan Negara,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf f meliputi:
a. mengembangkan kegiatan budidaya secara selektif di dalam dan di sekitar kawasan
pertahanan dan keamanan untuk menjaga fungsi dan peruntukkannya;
b. mengembangkan kawasan lindung dan/atau kawasan budidaya tidak terbangun di
sekitar kawasan yang mempunyai fungsi khusus pertahanan dan kemanan sebagai
zona penyangga yang memisahkan kawasan tersebut dengan budidaya terbangun;
c. turut serta menjaga dan memelihara aset-aset pertahanan/TNI.

BAB III
RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 5

(1) rencana struktur ruang wilayah kabupaten meliputi:


a. pusat-pusat kegiatan;
b. sistem jaringan prasarana utama; dan
c. sistem jaringan prasarana lainnya.
(2) rencana struktur ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian
minimal 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
10

Bagian Kedua
Sistem Pusat Pelayanan
Pasal 6
(1) pusat-pusat kegiatan yang ada di Kabupaten Tojo Una-Una sebagaimana dimaksud
dalam pasal 5 huruf a terdiri atas:
a. PKL;
b. PKLp;
c. PPK; dan
d. PPL.
(2) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu perkotaan Ampana dengan
perkotaan yang terpengaruh meliputi Kecamatan Ampana Tete dan Kecamatan
Ulubongka.
(3) PKLp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas :
a. pusat Kegiatan Lokal Promosi (PKLp) Wakai dengan wilayah pelayanan meliputi
KecamatanTogean, Walea Kepulauan dan Walea Besar; dan
b. pusat Kegiatan Lokal Promosi (PKLp) Uekuli di Kecamatan Tojo dengan wilayah
pelayanan meliputi Kecamatan Tojo Barat.
(4) PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas :
a. kawasan perkotaan Popolii;
b. kawasan perkotaan Dolong B;
c. kawasan perkotaan Lebiti;
d. kawasan perkotaan Tete B;
e. kawasan perkotaan Bongka Koi; dan
f. kawasan perkotaan Tombiano.
(5) PPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdiri atas :
a. Desa Matako di Kecamatan Tojo Barat;
b. Desa Tojo di Kecamatan Tojo;
c. Desa Tampanombo di Kecamatan Ulubongka;
d. Desa Mantangisi di Kecamatan Ampana Tete;
e. Desa Taningkola di Kecamatan Una-Una;
f. Desa Kololio di Kecamatan Togean;
g. Desa Kalia di Kecamatan Walea Kepulauan; dan
h. Desa Katogop di Kecamatan Walea Besar.

Bagian Ketiga
Sistem Jaringan Prasarana Utama

Pasal 7
Sistem jaringan prasarana utama yang ada di Kabupaten Tojo Una-Una sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, meliputi:
a. sistem jaringan transportasi darat;
b. sistem jaringan transportasi laut; dan
c. sistem jaringan transportasi udara

Paragraf 1
Sistem Jaringan Transportasi Darat

Pasal 8
(1) sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a,
meliputi:
a. jaringan lalu lintas dan angkutan jalan; dan
b. jaringan angkutan sungai, danau dan penyebrangan.
11

(2) jaringan lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdiri atas:
a. jaringan jalan, terdiri atas:
1. jaringan jalan arteri primer yang menghubungkan Tojo Barat – Tojo –
Ulubongka – Ampana Kota – Ampana Tete meliputi:
a. ruas Malei – Uekuli;
b. ruas Uekuli – Marowo;
c. ruas Marowo – Ampana;dan
d. ruas Ampana – Balingara.
2. jaringan jalan kolektor primer sebagaimana tercantum pada lampiran II;
3. jaringan jalan lokal primer sebagaimana tercantum pada lampiran II;
4. rencana pengembangan jaringan jalan sebagaimana tercantum pada lampiran
II terdiri atas:
a. peningkatan jalan kolektor primer, yaitu jalan yang menghubungkan
wilayah Kabupaten Tojo Una-Una dengan wilayah Kabupaten Poso dan
Kabupaten Banggai;
b. peningkatan jalan lokal primer, yaitu jalan yang menghubungkan kawasan
perkotaan dengan PPK, PPL dan kawasan fungsional seperti kawasan
perdagangan, industri, pariwisata, perkantoran dan kawasan agropolitan;
c. pengembagan dan peningkatan jalan kolektor sekunder dan lokal sekunder
yang menuju kawasan pariwisata, industry, agropolitan dan kawasan
terisolir di kawasan perkotaan;
d. peningkatan jalan poros desa dan jalan menuju daerah terisolir; dan
e. pengembangan jalan lingkar ampana yang menghubungkan Desa Podi
Kecamatan Tojo dengan Desa Uebone Kecamatan Ampana Tete, meliputi
1. Uebone – Pusungi Atas – Sabolira – Uemalingku – Sansarino –
Padang Tumbuo – Uekambuno Trans; dan
2. Uekambuno – Rompi – Watusongu – Mire – Desa Podi Perkebunan –
Tongku Perkebunan – Jl. Propinsi Desa Tongku.
b. jaringan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan terdiri atas:
1. terminal penumpang tipe B di Kelurahan Sansarino Kecamatan Ampana Kota;
2. terminal penumpang tipe C di Desa Tayawa Kecamatan Tojo, Desa Tombiano
Kecamatan Tojo Barat, Desa Marowo Kecamatan Ulubongka, Desa Urundaka
Kecamatan Ampana Tete dan Desa Longge Kecamatan Ampana Tete.
c. rencana pengembangan jaringan pelayanan lalu lintas, terdiri atas:
1. penataan dan pengaturan trayek angkutan kota dengan menetapkan hirarki
trayek berdasarkan klasifikasi jenis trayek yang ada dengan
mempertimbangkan wilayah pelayanan yang terdiri dari trayek utama, trayek
cabang dan trayek ranting;
2. peningkatan frekuensi angkutan perkotaan di Ampana Kota;
3. pengembangan rute angkutan antar kecamatan;
4. pengembangan angkutan antar desa;
5. pengembangan rute angkutan yang menghubungkan dengan wilayah
Kabupaten Morowali harus melalui sistem koordinasi terpadu sehingga akan
menguntungkan kedua belah pihak;
6. peningkatkan dan pengembangan pelayanan angkutan yang baik, aman dan
murah;
7. peningkatkan mutu pengusaha dan pengemudi kendaraan umum dalam
mewujudkan lalu lintas yang tertib, aman dan lancar; dan
8. rencana Pengembangan Trayek angkutan umum meliputi :
a. pengembangan angkutan perdesaan dengan jalur Tojo Barat-Tojo-
Ulubongka;
b. pengembangan rute pedesaan dengan jalur Ampana Tete – Dataran Bulan;
c. peningkatan pengembangan rute Palu – Ampana – Luwuk, sehingga
melewati jalur Trans Sulawesi; dan
12

d. pengembangan rute angkutan umum Tojo Una-Una-Morowali.


(3) jaringan angkutan sungai, danau dan penyebrangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b terdiri atas:
a. pelabuhan penyebrangan, tediri atas:
1. pelabuhan penyebrangan eksisting yaitu pelabuhan penyebrangan di Desa
Uebone Kecamatan Ampana Tete dan pelabuhan penyebrangan di Desa
Wakai Kecamatan Una Una; dan
2. rencana pengembangan Pelabuhan penyebrangan (Kapal Motor) di
Kelurahan Uentanaga Bawah Kecamatan Ampana Kota dan pelabuhan
penyebrangan di Kecamatan Una – Una, Kecamatan Togean, Walea
kepulauan dan Walea Besar.
b. pelabuhan lintas penyebrangan, terdiri atas:
1. lintas penyebrangan yang sudah ada di Kabupaten Tojo Una-Una meliputi
lintas Gorontalo-Wakai dan Wakai-Ampana;
2. rencana pengembangan lintas penyebrangan di Kabupaten Tojo Una-Una
meliputi
a. Pagimana-Pulau Togean;
b. Pulau Togean-Pulau Una-Una;
c. Wakai-Pulau Una-Una;
d. Marisa-Pulau Togean;
e. Marisa-Ampana;
f. Marisa-Wakai;
g. Marisa-Dolong;
h. Dolong-Ampana; dan
i. Ampana-Parigi.

Paragraf 2
Sistem Jaringan Transportasi Laut

Pasal 9

(1) sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, yang
berupa tatanan kepelabuhan;
(2) tatanan kepelabuhan di Kabupaten Tojo Una-Una sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, terdiri atas;
a. pelabuhan pengumpul yaitu Pelabuhan Matangisi yang melayani kegiatan angkutan
laut dalam negeri dengan jangkauan pelayanan antar provinsi di Desa Mantangisi
Kecamatan Ampana Tete;
b. pelabuhan pengumpan, meliputi :
1. pelabuhan Ampana di Kelurahan Uentanaga Bawah Kecamatan Ampana Kota;
2. pelabuhan Wakai di Desa Wakai Kecamatan Una - Una;
3. pelabuhan Katupat di Desa Katupat Kecamatan Togean;
4. pelabuhan Malenge di Desa Malenge Kecamatan Walea Kepulauan;
5. pelabuhan Dolong di Desa Dolong Kecamatan Walea Kepulauan;
6. pelabuhan Popolii di Desa Popolii Kecamatan Walea;
7. pelabuhan Pasokan di Desa Pasokan Kecamatan Walea Besar;
8. pelabuhan Labuan di Desa Labuan Kecamatan Ampana Kota; dan
9. pelabuhan Tete B di Desa Tete B Kecamatan Ampana Tete.
c. terminal bongkar muat di Pelabuhan Mantangisi Kecamatan Ampana Tete;
d. terminal khusus meliputi;
1. pelabuhan tambang di Kecamatan Tojo serta di Kecamatan Ulubongka; dan
2. rencana Pelabuhan Wisata di Kelurahan Uentanaga Bawah Kecamatan
Ampana Kota.
13

Paragraf 3
Sistem Jaringan Transportasi Udara
Pasal 10
(1) sistem jaringn transportasi udara sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf c, terdiri
atas:
a. tatanan kebandarudaraan; dan
b. ruang udara untuk penerbangan.
(2) tatanan kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, yaitu bandar
udara pengumpan dengan pelayanan domestik di Desa Labuan Kecamatan Ampana
Kota dan Desa Pusungi Kecamatan Ampana Tete; dan
(3) ruang udara untuk penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) b terdiri atas:
a. ruang udara di sekitar bandara yang dipergunakan untuk operasi penerbangan yang
berada di wilayah udara Kabupaten; dan
b. ruang udara yang ditetapkan sebagai jalur penerbangan diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Ketiga
Sistem Jaringan Prasarana Lainnya
Pasal 11
Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf 1 huruf c
terdiri atas:
a. sistem jaringan energi;
b. sistem jaringan telekomunikasi;
c. sistem jaringan sumber daya air; dan
d. sistem jaringan pengelolaan lingkungan.

Paragraf 1
Sistem Jaringan Energi

Pasal 12
(1) sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a, meliputi
a. pembangkit tenaga listrik; dan
b. jaringan prasarana energi.
(2) pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. rencana pembangunan PLTMH, meliputi:
1. PLTM BoneBone 582 Kw
2. PLTM Bambalimba 582 Kw
3. PLTM Sipoyo 33,46 Kw
4. PLTM Bongka Koi 802 Kw
5. PLTM Masapi 707,79 Kw
6. PLTM Bambalo II 1,6 Kw
7. PLTM Malei 670 Kw
8. PLTM Malewa 1656 Kw
9. PLTM Gandalari 2400 Kw
10. PLTM Uekuli 3000 Kw
11. PLTM Baulu 9,6 Kw
12. PLTM Toliba 120 Kw
13. PLTM Girimulyo 250 Kw
b. rencana pengembangan pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), meliputi:
1. PLTD Lebiti 1 x 250 kw; dan
2. PLTD di Kepulauan Togean.
14

c. rencana Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) skala pelayanan Kabupaten di Sungai
Bongka Kecamatan Ulubongka;
d. rencana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) diseluruh
Desa yang tidak memungkinkan untuk dibangun PLTD dan jaringan JTM/JTR,
meliputi :
1. PLTMH skala pelayanan kecamatan dengan beberapa alternatif di Sungai
Betaua dan Sungai Tojo di Kecamatan Tojo;
2. PLTMH di Sungai Ue Ampana Kecamatan Ampana Kota; dan
3. PLTMH di Sungai Balanggala, Sungai Sabo dan Sungai Padauloyo di
Kecamatan Ampana Tete.
(3) jaringan prasarana energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. jaringan pipa minyak dan gas bumi yaitu berupa SPPBE (Stasiun Pengisian dan
Pengangkutan Bulk Elpiji) di Ibukota Kabupaten dan dikawasan perkotaan yang
ditetapkan sebagai PPK.
b. rencana pengembangan jaringan transmisi tenaga listrik, terdiri atas:
1. perluasan JTM/ JTR Desa Sansarino – Desa Padang Tumbuo
2. perluasan JTM/JTR dari Kelurahan Uentanaga Atas ke Lokasi Perkantoran
3. perluasan JTM/JTR dari Desa Sumoli ke Desa Sabulira Toba
4. perluasan JTM/JTR dari Desa Pusungi ke Dusun 5
5. perluasan JTM/JTR dari Desa Balanggala ke Dusun Payompo dan Uemakuni
6. perluasan JTM/JTR dari Desa Sabo ke Desa Longge
7. perluasan JTM/JTR dari Desa Pasokan ke Desa Biga, Malapo, Tongidon,
Pongidan
8. perluasan JTM/JTR dari Travo lokasi Jampi Jara Malotong Kec. Ampana Kota
sepanjang 4 km
9. perluasan JTM/JTR dari Travo Lokasi Podi – Padapu Kec. Tojo sepanjang 3 km
10. perluasan JTM/JTR dari Travo Lokasi Tangkurupi Ampana sepanjang 2 km
11. perluasan JTM/JTR dari Travo desa Tojo Kec. Tojo sepanjang 35 km
12. perluasan JTM/JTR dari Travo Desa Uekuli sepanjang 2 km
13. perluasan JTM/JTR dari Travo Desa Tayawa sepanjang 2 km
14. perluasan JTM/JTR dari Travo Desa Marowo sepanjang 3 km

Paragraf 2
Sistem Jaringan Telekomunikasi

Pasal 13

(1) sistem jaringan prasarana telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11


huruf b, terdiri atas:
a. sistem jaringan kabel; dan
b. sistem jaringan nirkabel.
(2) pengembangan sistem jaringan kabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
terdiri atas:
a. peningkatan kapasitas sambungan telepon kabel pada kawasan perdagangan dan
jasa, industri, fasilitas umum dan sosial, terminal, permukiman dan kawasan yang
baru dikembangkan; dan
b. penyediaan sarana warung internet (warnet) dan telepon umum pada lokasi
strategis, yang sering diakses publik atau kawasan pusat kegiatan masyarakat.
(3) pengembangan sistem jaringan nirkabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
terdiri atas:
a. pengembangan menara telekomunikasi dengan pemanfaatan bersama, sesuai
rencana penataan menara bersama telekomunikasi yang ditetapkan dengan
Peraturan Bupati; dan
b. penggunaan gelombang untuk komunikasi dan penyiaran diatur tata laksananya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.
15

Paragraf 3
Sistem Jaringan Sumber Daya Air

Pasal 14

(1) sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c,
meliputi:
a. Wilayah Sungai (WS);
b. Daerah Irigasi (DI);
c. prasarana air baku untuk air minum;
d. sistem pengendalian banjir;
e. sistem pengendalian erosi dan longsor; dan
f. sistem pengamanan abrasi pantai.
(2) rencana pengembangan sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) meliputi aspek konservasi sumberdaya air, pendayagunaan sumber daya air,
dan pengendalian daya rusak air;
(3) Wilayah Sungai (WS) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu WS lintas
kabupaten, yaitu WS Bongka – Mantawa dan WS Laa-Tambalako, serta WS strategis
nasional Parigi-Poso;
(4) Daerah Irigasi (D.I) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu DI kewenangan
kabupaten yang terdiri atas:
a. D.I Borone (705,5 Ha)
b. D.I Kabalo (221,98 Ha)
c. D.I Lemoro (450,27 Ha)
d. D.I Mawomba (248,91 Ha)
e. D.I Sabo/uwetoli (200 Ha)
f. D.I Tayawa (340,54 Ha)
g. D.I Uekuli (480 Ha)
(5) prasarana air baku untuk air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri
dari:
a. sumber air baku terdiri atas:
1. sumber air baku untuk air minum yang dikelola perusahaan daerah, terdapat di
Kecamatan Tojo (Desa Uekuli), Kecamatan Ulubongka (Desa Marowo),
Kecamatan Ampana Kota, Kecamatan Ampana Tete, Kecamatan Una-Una
(Desa Wakai), dan Kecamatan Walea Kepulauan (Desa Popoli);
2. sumber air baku berupa air tanah dangkal digunakan secara pribadi;
3. sumber air baku berupa sungai di daerah rencana bendung, yaitu di :
a. Kecamatan Tojo dengan beberapa alternatif di Sungai Betaua dan Sungai
Tojo;
b. Kecamatan Ulubongka di Sungai Bongka; dan
c. Kecamatan Ampana Tete dengan beberapa alternative lokasi di Sungai
Balanggala, Sungai Sabo, dan Sungai Padauloyo.
4. rencana pengembangan tendon air beton dalam tanah yang dialirkan oleh pipa
menuju pusat pengelolaan air bersih (PDAM) yang didistribusikan melalui pipa
ke masyarakat Kecamatan Ampana Kota yang berlokasi di Sungai Ue
Podimaoti di Desa Padang Tumbuo dan di Sungai Ue Ampana Desa Sansarino.
(6) sistem pengendalian banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan
dengan:
a. pengendalian tata ruang;
b. pengaturan debit banjir;
c. pengaturan daerah rawan banjir;
d. peningkatan peran masyarakat dalam pengendalian;
e. pengaturan untuk mengurangi dampak banjir terhadap masyarakat;
f. pengelolaan daerah tangkapan air;
g. penyediaan dana;
16

h. pembuatan tanggul permanen yang kokoh di sisi kiri kanan sungai ; dan
i. pembuatan trase jalan baru, dengan memindah jalur jalan yang ada selama ini
sedikit ke atas dan membuat jembatan penghubung di atas Sungai Podi.
(7) sistem pengendalian erosi dan longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
dilakukan dengan:
a. pengendalian pemanfaatan ruang zona berpotensi longsor;
b. tidak diizinkan atau dihentikan kegiatan yang mengganggu fungsi lindung kawasan
rawan bencana longsor dengan tingkat kerawanan/ tingkat risiko tinggi; terhadap
kawasan demikian mutlak dilindungi dan dipertahankan bahkan ditingkatkan fungsi
lindungnya;
c. kawasan yang tidak terganggu fungsi lindungnya dapat diperuntukkan bagi kegiatan-
kegiatan pemanfaatan ruang dengan persyaratan yang ketat;
d. pengenaan sanksi terhadap pelanggaran penataan ruang Kawasan Rawan Longsor;
e. setelah terjadinya bencana dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi pada lereng
melalui konservasi secara ketat pada lereng, melandaikan lereng, membuat
terasering, perbaikan / perkuatan lereng dengan metode pelapisan beton (shoot
concrete); dan
f. setelah terjadinya bencana dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi pada jalan melalui
revitalisasi jalan, dengan membersihkan runtuhan longsoran segera dan berkala,
penempatan alat berat yang sanggup bermobilitas tinggi dan ditempatkan di ibukota
kecamatan, perbaikan badan jalan yang telah rusak, pembuatan saluran drainase
jalan dan menjauhkan/membuat jarak antara jalan dengan lereng.
(8) sistem pengamanan abrasi pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f
dilakukan dengan:
a. pendekatan rekayasa struktur bertujuan untuk mencegah terjadinya abrasi pantai
dalam waktu yang singkat, yang terdiri dari pengembangan bangunan pemecah
gelombang, penurapan, jetty dan sistem polder yang dilengkapi dengan sistem
pengendali; dan
b. pendekatan non struktural bertujuan untuk mencegah terjadinya abrasi pantai dalam
jangka waktu yang lama melalui upaya rehabilitasi hutan mangrove di daerah
peisisir.

Paragraf 4
Sistem Prasarana Pengelolaan Lingkungan

Pasal 15

(1) rencana sistem jaringan prasarana lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
huruf d, meliputi:
a. sistem pengelolaan sampah;
b. sistem pengelolaan limbah dan sanitasi;
c. sistem pengelolaan drainase; dan
d. jalur dan ruang evakuasi bencana.
(2) rencana pengembangan persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
meliputi:
a. penanganan persampahan selain menggunakan metode 3R (Recycle, Reuse dan
Recovery) dan pengembangan sistem komposting;
b. penyusunan rencana induk pengelolaan persampahan kabupaten;
c. pembangunan bangunan pengolah sampah 3R (Recycle, Reuse dan Recovery)
TPA;
d. pengembangan tempat pemrosesan akhir (TPA ) di Kelurahan malotong Kecamatan
Ampana Kota dengan menggunakan metode sanitary landfill;
e. penataan Landfill beserta sarana dan prasarana penunjang di TPA.
17

(3) sistem pengelolaan limbah dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. sistem pengelolaan limbah industri, meliputi:
1. pengelolaan Iimbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) terbentuk yang
didasarkan atas konsep cradle-to grave dan mendorong industri penghasil limbah
untuk mengolah, mendaur ulang serta menimbun Iimbahnya dekat dengan
pabrik, dan menerapkan teknik pengelolaan Iimbah berbahaya sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku;
2. pembangunan pusat pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di
Kabupaten Tojo Una - Una yang memenuhi syarat dari segi ekonomi;
3. pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) bersama bagi industri
kecil, seperti industri pelapisan logam, pencelupan kain, pembuatan pupuk,
industri kulit, pabrik pengolahan makanan yang terletak dalam suatu kawasan
pedesaan, dengan target pengurangan sifat berbahaya (Detoksifikasi) dari
Iimbah yang dihasilkan per produksi;
b. sistem pengelolaan limbah permukiman meliputi:
1. pemenuhan fasilitas septic tank pada masing-masing Kepala Keluarga (KK) pada
wilayah perkotaan;
2. pengembangan jamban komunal (WC umum) pada kawasan permukiman padat
masyarakat berpenghasilan rendah dan area fasilitas umum;
3. menyusun rencana induk sanitasi jangka panjang (20 tahun) untuk sanitasi
daerah perkotaan dengan target akhir terlayaninya seluruh lapisan masyarakat
dengan sanitasi sehat;
4. mewajibkan pengembangan daerah pemukiman baru dan kota baru untuk
menyediakan sistem sewer, yang dapat berupa sewer dangkal atau small bore
yang sesuai dengan kondisi daerah; dan
5. meningkatkan pelayanan umum sanitasi dengan menyiapkan suatu institusi
khusus menangani limbah cair.
(4) sistem jaringan drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
a. pengembangan sistem pematusan pada jalan arteri dan kolektor primer yang
terdapat pada desa-desa pusat perkotaan dan pada pusat permukiman;
b. perbaikan teknis prasarana drainase dengan cara normalisasi saluran, rehabilitasi
saluran, penambahan saluran baru, dan pembangunan bangunan-bangunan dan
bangunan penunjang prasarana drainase;
c. penyusunan rencana induk sistem drainase wilayah kabupaten dan rencana
penanganan kawasan tertentu yang rawan banjir yaitu di sekitar Sungai Podi;
d. pembangunan saluran drainase memperhatikan kontur wilayah;
e. pembuatan saluran drainase tersendiri pada setiap kawasan fungsional seperti
kawasan industri, perdagangan, perkantoran dan pariwisata, yang terhubung ke
saluran primer tanpa membebani saluran di wilayah permukiman;
f. mengoptimalkan daya resap air ke dalam tanah untuk mengurangi beban saluran
drainase dengan penghijauan dan kewajiban pembuatan sumur resapan pada
kawasan-kawasan tertentu; dan
g. koordinasi pengelolaan saluran drainase khususnya pada saluran drainase
permanen di kawasan perkotaan, baik yang terbuka maupun yang tertutup.
(5) rencana jalur evakuasi bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
meliputi jalur evakuasi untuk bencana banjir, gunung meletus, dan gempa meliputi
peningkatan akses menuju ruang evakuasi pada fasilitas umum, sekolah dan kantor
pemerintahan yang berada di :
a. Desa Uekuli, Betaua, Banano, Sandada,Tojo, Pancuma, Tongku Kecamatan Tojo
dari lokasi bencana longsor dan banjir;
b. Kecamatan Ulubongka dari bencana longsor dan banjir di bagian hulu dan hilir,
terutama DAS Ulubongka, Tampanombo, Bonebae II, Uekambuno, Cempa, Marowo;
c. Kecamatan Ampana Kota dari lokasi bencana banjir, abrasi dan longsor di Desa
Kelurahan Molotong, Bailo, Uentanaga B dan Dondo.
18

d. Kecamatan Ampana Tete dari lokasi bencana di Desa Pusungi, Uetoli, Borone,
Balanggala, Sabo dan Balingara.
e. Kecamatan Tojo Barat dari lokasi bencana banjir di desa-desa sepanjang Sungai
Tombiano.

BAB IV
RENCANA POLA RUANG WILAYAH
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 16
(1) rencana pola ruang kabupaten merupakan rencana distribusi peruntukan ruang dalam
wilayah kabupaten yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya.
(2) rencana pola ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian minimal
1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Kawasan Lindung

Pasal 17
Pola ruang untuk kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1),
meliputi:
a. kawasan hutan lindung;
b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
c. kawasan perlindungan setempat;
d. kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya;
e. kawasan rawan bencana alam;
f. kawasan lindung geologi; dan
g. kawasan lindung lainnya.

Paragraf 1
Kawasan Hutan Lindung

Pasal 18

Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a seluas kurang lebih
187,839 Ha (seratus delapan puluh tujuh ribu delapan ratus tiga puluh sembilan hektar)
meliputi:
a. Kecamatan Tojo;
b. Kecamatan Ulubongka;
c. Kecamatan Ampana Kota;
d. Kecamatan Ampana Tete;
e. Kecamatan UnaUna;
f. Kecamatan Togean;
g. Kecamatan Walea Kepulauan dan
h. Kecamatan Walea Besar.
19

Paragraf 2
Kawasan Yang Memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya

Pasal 19
(1) kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 huruf b, meliputi kawasan resapan air.
(2) kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi daerah yang
memiliki kemampuan tinggi meresapkan air hujan, sehingga merupakan tempat
pengisian air bumi (akuiver) yang berguna sebagai penyedia sumber air.
(3) kawasan resapan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) seluas kurang lebih
381,523 Ha (tiga ratus delapan puluh satu lima ratus dua puluh tiga hektar) meliputi:
a. Kecamatan Tojo;
b. Kecamatan Ulubongka; dan
c. sebagian Kecamatan Ampana Tete sebagian.

Paragraf 3
Kawasan Perlindungan Setempat
Pasal 20
(1) kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c,
meliputi:
a. sempadan pantai;
b. sempadan sungai;
c. kawasan sekitar danau atau waduk;
d. kawasan sekitar mata air; dan
e. ruang terbuka hijau perkotaan.
(2) kawasan sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi
kawasan daratan sepanjang tepian pantai yang berfungsi untuk melestarikan fungsi
pantai dengan jarak minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat,
seluas kurang lebih 13.147,24 Ha (tiga belas ribu seratus empat puluh tujuh koma dua
puluh empat hektar) dan meliputi:
a. Kecamatan Tojo Barat;
b. Kecamatan Tojo;
c. Kecamatan Ulubongka;
d. Kecamatan Ampana Kota;
e. Kecamatan Ampana Tete;
f. Kecamatan Una-Una;
g. Kecamatan Togean;
h. Kecamatan Walea Kepulauan; dan
i. Kecamatan Walea Besar.
(3) kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berupa
sempadan berjarak 5 meter dari kaki tanggul sebelah luar pada sungai bertanggul, 100
meter dari tepi pada sungai besar tidak bertanggul, dan 50 meter dari tepi pada sungai
tidak bertanggul di luar kawasan permukiman; seluas kurang lebih 37.960, 79 Ha (tiga
puluh tujuh ribu sembilan ratus enam puluh koma tujuh puluh sembilan hektar), meliputi:
a. Kecamatan Tojo Barat;
b. Kecamatan Tojo;
c. Kecamatan Ulubongka;
d. Kecamatan Ampana Kota;
e. Kecamatan Ampana Tete;
f. Kecamatan Una-Una;
g. Kecamatan Togean;
h. Kecamatan Walea Kepulauan; dan
i. Kecamatan Walea Besar.
Edited with the trial version of
Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:
20 www.foxitsoftware.com/shopping

(4) kawasan sekitar danau atau waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
berupa kawasan sepanjang perairan dengan jarak 500 meter dari tepi waduk atau danau
pada perlindungan sekitar mikrohidro seluas 44.819 Ha (empat puluh empat ribu
delapan ratus sembilan belas hektar) meliputi
a. Sungai Betaua Kecamatan Tojo;
b. Sungai Bongka Kecamatan Ulubongka;
c. Sungai Balanggala, Sungai Sabo, Sungai Padauloyo di Kecamatan Ampana Tete;
dan
d. Sungai Ue Podimaoti dan Sungai Ue Ampana di Kecamatan Ampana Kota.
(5) kawasan sekitar mata air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, berupa
kawasan dengan jarak 200 meter sekeliling mata air di luar kawasan permukiman dan
100 meter sekeliling mata air di dalam kawasan permukiman.
(6) Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf e,
ditetapkan dengan proporsi paling sedikit 30% dari luas kawasan perkotaan, meliputi:
a. Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik yaitu tanam kota, taman pemakaman umum dan
jalur hijau sepanjang jalan, sungai dan pantai dengan proporsi paling sedikit 20%
(dua puluh persen); dan
b. Ruang Terbuka Hijau (RTH) privat yaitu kebun atau halaman rumah/gedung milik
masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan, dengan proporsi 10% (sepuluh persen).

Paragraf 4
Kawasan Perlindungan Suaka Alam, Pelestarian Alam dan Cagar Budaya
Pasal 21
(1) kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 huruf d, meliputi:
a. kawasan cagar alam;
b. kawasan pantai berhutan bakau;
c. kawasan taman wisata alam laut; dan
d. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
(2) kawasan cagar alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri dari terdapat
kawasan cagar alam Tanjung Api di Kecamatan Ampana Kota seluas 6,412 Ha (enam
ribu empat ratus dua belas hektar);
(3) kawasan pantai berhutan bakau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b seluas
kurang lebih 1,079 Ha. (seribu tujuh puluh sembilan hektar), meliputi sepanjang pantai:
a. Kecamatan Tojo Barat;
b. Kecamatan Tojo;
c. Kecamatan Ulubongka;
d. Kecamatan Ampana Kota;
e. Kecamatan Ampana Tete;
f. Kecamatan Una-Una;
g. Kecamatan Togean;
h. Kecamatan Walea Kepulauan; dan
i. Kecamatan Walea Besar.
(4) Taman Wisata Alam laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdapat di
Kepulauan Togean dan Batudaka, seluas 362,605 Ha (tiga ratus enam pulun dua ribu
enam ratus lima hektar) dengan perbandingan luas daratan 25,832 Ha (dua puluh lima
ribu delapan ratus tiga puluh dua hektar) dan luas lautan 336,773 Ha (tiga ratus tiga
puluh enam tujuh ratus tujuh puluh tiga hektar)
(5) Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d, meliputi:
a. kampung tradisional Suku Bajo di Kabalutan Kecamatan Walea Kepulauan;
b. kawasan pelestarian Pola dan tradisi bercocok tanam serta pembuatan gula aren di
Tobil, Kecamatan Togean;
21

c. makam Raja Tandjumbulu di Kecamatan Ampana Kota;


d. makam Raja Togean di Desa Benteng Kecamatan Togean;
e. kuburan Batu Karang di Kecamatan Ulubongka;
f. makam Raja Tojo (Raja Pileviti dan Raja Talamoa) di Kecamatan Tojo;
g. masjid tua di Pulau Una-Una; dan
h. situs sejarah bawah air berupa kerangka pesawat Bomber Wrek di Perairaan Lebiti.
Paragraf 5
Kawasan Rawan Bencana Alam

Pasal 22

(1) kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf e, terdiri
dari:
a. kawasan rawan longsor;
b. kawasan rawan banjir; dan
c. kawasan rawan abrasi pantai.
(2) kawasan rawan longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdapat di
Kecamatan Ampana Kota, Kecamatan Ampana Tete, Kecamatan Tojo dan Kecamatan
Ulubongka, dengan upaya penanganan meliputi :
a. pengendalian pemanfaatan ruang zona berpotensi longsor;
b. tidak diizinkan atau dihentikan, kegiatan yang mengganggu fungsi lindung kawasan
rawan bencana longsor dengan tingkat kerawanan/tingkat risiko tinggi, terhadap
kawasan demikian mutlak dilindungi dan dipertahankan bahkan ditingkatkan fungsi
lindungnya;
c. kawasan yang tidak terganggu fungsi lindungnya dapat diperuntukkan bagi kegiatan-
kegiatan pemanfaatan ruang dengan persyaratan yang ketat;
d. pengenaan sanksi terhadap pelanggaran penataan ruang Kawasan Rawan Longsor;
e. setelah terjadinya bencana dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi pada lereng
melalui konservasi secara ketat pada lereng, melandaikan lereng, membuat
terasering, perbaikan/perkuatan lereng dengan metode pelapisan beton (shoot
concrete); dan
f. setelah terjadinya bencana dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi pada jalan melalui
revitalisasi jalan, dengan membersihkan runtuhan longsoran segera dan kontinu,
penempatan alat berat yang sanggup bermobilitas tinggi dan ditempatkan di Ibukota
Kecamatan, perbaikan badan jalan yang telah rusak, pembuatan saluran drainase
jalan dan menjauhkan/membuat jarak antara jalan dengan lereng.
(3) kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdapat di
Kecamatan Ampana Tete (Sungai Balingara), Kecamatan Ulubongka (Sungai Ulubongka
dan Podi), Kecamatan Tojo (Sungai Tojo), dan Kecamatan Tojo Barat (Sungai
Tombiano), dengan upaya penanganan meliputi:
a. pengendalian tata ruang;
b. pengaturan debit banjir;
c. pengaturan daerah rawan banjir;
d. peningkatan peran masyarakat dalam pengendalian;
e. pengaturan untuk mengurangi dampak banjir terhadap masyarakat;
f. pengelolaan Daerah Tangkapan Air;
g. penyediaan Dana;
h. pembuatan tanggul permanen yang kokoh di sisi kiri kanan sungai ; dan
i. pembuatan trase jalan baru, dengan memindah jalur jalan yang ada selama ini sedikit
ke atas dan membuat jembatan penghubung di atas Sungai Podi.
(4) kawasan rawan abrasi pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terletak di
sepanjang pantai yang membentang dari Barat ke Timur khususnya di Kecamatan
Ampana Kota ( Kelurahan Molotong, Bailo, Uentanaga B dan Dondo) Ampana Tete, Tojo
barat dan Ulubongka, juga di wilayah Kepulauan Walea Kepulauan, Togean dan Una –
Una, dengan upaya penanganan meliputi:
22

a. pendekatan rekayasa struktur bertujuan untuk mencegah terjadinya abrasi pantai


dalam waktu yang singkat, yang terdiri dari pengembangan bangunan pemecah
gelombang, penurapan, jetty dan sistem polder yang dilengkapi dengan sistem
pengendali; dan
b. pendekatan non structural bertujuan untuk mencegah terjadinya abrasi pantai dalam
jangka waktu yang lama melalui upaya rehabilitasi hutan mangrove di daerah peisisir.

Paragraf 6
Kawasan Lindung Geologi

Pasal 23

(1) kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf f, yaitu
kawasan rawan bencana alam geologi, yang terdiri atas:
a. kawasan rawan gempa bumi; dan
b. kawasan rawan letusan gunung berapi.
(2) kawasan rawan gempa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a teridentifikasi di
bagian laut utara akibat letusan Gunung Colo, wilayah sesar naik uekuli dan batas
antara Tojo Una Una dan Banggai pada Kecamatan Una-Una, Kecamatan Togean,
Kecamatan Ampana Kota dan Kecamatan Ulubongka, dengan upaya penanganan
meliputi:
a. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan gempa bumi dilakukan dengan
mencermati konsistensi kesesuaian antara pemanfaatan ruang dengan rencana
tata ruang kawasan strategis atau rencana detail tata ruang;
b. dalam peruntukan ruang kawasan rawan gempa bumi harus memperhitungkan
tingkat risiko;
c. tidak diizinkan atau dihentikan kegiatan yang mengganggu fungsi lindung kawasan
rawan gempa bumi dengan tingkat risiko tinggi terhadap kawasan demikian mutlak
dilindungi dan dipertahankan fungsi lindungnya;
d. acuan Peraturan Zonasi pada Kawasan Rawan Gempa Bumi;
e. perizinan Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Gempa Bumi;
f. perangkat insentif dan disinsentif pada Kawasan Rawan Gempa Bumi;
g. memberikan penyuluhan kepada segenap masyarakat akan adanya potensi
bencana kegempaan di seluruh wilayah Kabupaten Tojo Una-una; dan
h. membuat stasiun metrologi pencatat beserta pemasangan perangkat seismograf.
(3) kawasan rawan gempa bumi dan letusan gunung berapi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, terletak di lereng Gunung Colo Pulau Una - Una Kecamatan Una –
Una, dengan upaya penanganan meliputi:
a. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan letusan gunung berapi
dilakukan dengan mencermati konsistensi kesesuaian antara pemanfaatan ruang
dengan rencana tata ruang kawasan strategis atau Rencana Detail Tata Ruang;
b. acuan Peraturan Zonasi pada Kawasan Rawan Letusan Gunung Api;
c. perizinan Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi;
d. perangkat insentif dan disinsentif pada Kawasan Rawan Letusan Gunung Api;
e. pengenaan sanksi terhadap pelanggaran penataan ruang Kawasan Rawan
Letusan Gunung Api;
f. pedoman Penataan ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Api;
g. memberikan penyuluhan kepada penduduk di sekitar kaki Gunung Colo
khususnya dan Kecamatan Una-Una pada umumya akan bahaya dampak letusan
Gunung Colo;
h. membuat stasiun pengamat aktivitas vulkanologi di Gunung Colo beserta
pemasangan perangkat seismograf;
i. mempersiapkan perangkat tanggap darurat bencana letusan Gunung Colo, mulai
dari pembentukan aparat yang menangani, skema tanggap darurat, hingga
rencana area pengungsian / relokasinya; dan
23

j. mencegah kerusakan akibat gelombang pasang dampak letusan Gunung Colo,


pada kawasan pantai yang memiliki permukiman pesisir, terutama Kecamatan Una
– Una, Togean, Walea Kepulauan, Walea Besar dan Ampana Kota hendaknya
dibangun bangunan pemecah gelombang.

Paragraf 7
Kawasan Lindung Lainnya

Pasal 24
(1) kawasan lindung lainya sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 huruf g yaitu berupa
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
(2) kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
wilayah-wilayah yang berada dibagian utara yang berbatasan dengan teluk tomini, yang
mencakup seluruh wilayah Kabupaten Tojo Una-Una;
(3) rencana kawasan pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. pemberdayaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam kaitannya
dengan pengelolaan sumber daya alam yang lebih optimal dengan tetap menjaga
keseimbangan ekosistem;
b. pelestarian, perlindungan, perbaikan/rehabilitasi dan peningkatan kondisi/kualitas
ekosistem pantai;
c. pengelolaan sumber daya alam laut melalui suatu sistem yang dapat
mengorganisir pihak-pihak yang berkepentingan;
d. penyelamatan dan pengamanan kawasan mangrove yang telah ditetapkan sebagai
hutan lindung, cagar alam, suaka margasatwa dan hutan produksi, yang dapat
ditempuh dengan cara penataan batas, terutama pada kawasan yang belum
ditapal batas dan rehabilitasi ekosistem mangrove yang mengalami degradasi;
e. pemetaan seluruh gugusan terumbu karang dan menetapkan kawasan konservasi
terumbu karang serta rehabilitasi terumbu karang;
f. peningkatan koordinasi pengelolaan sumber daya alam laut/pantai melalui suatu
lembaga /instansi;
g. membatasi dan merelokasi kawasan kawasan permukiman yang berada pada
kawasan kawasan berfungsi lindung dan dilindungi di wilayah pesisir;
h. mendorong pengembangan dan pertumbuhan pusat-pusat permukiman secara
hierarkis dan terkait secara fungsional;
i. kawasan di sepanjang jalan arteri primer diarahkan untuk pengembangan industri
dan pergudangan serta kegiatan pelayanan umum perkotaan;
j. kawasan di sepanjang jalan kolektor primer dan lokal primer diarahkan bagi
kegiatan pelayanan umum dan permukiman kepadatan rendah;
k. kawasan di sepanjang jalan lingkungan akan dimanfaatkan dengan dominasi bagi
kegiatan permukiman kepadatan sedang dan tinggi;
l. kawasan di sepanjang pantai akan dimanfaatkan dengan dominasi bagi kegiatan
perikanan;
m. kawasan dengan potensi wisata akan tetap dipertahankan sebagai kawasan
wisata;
n. meningkatkan perlindungan disekitar Pulau dan kerusakan ekosistem misal:
terumbu karang, fishing ground; dan
o. mengembangkan dan meningkatkan perekonomian (kegiatan usaha) pada pulau
berdasarkan potensi sumber daya dan jasa lingkungan pesisir dan Laut
(4) rencana zonasi kawasan pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi:
a. zona kawasan budi daya terdapat pada wilayah bagian utara meliputi Desa Wakai
Kecamatan Una - Una, Desa Lebiti Kecamatan Togean, Desa Pasokan Kecamatan
Walea Kepulauan dan Desa Popolii Kecamatan Walea Besar dengan penggunaan
tanah yang ada pada zona ini, antara lain: pemukiman, tegalan, perkantoran,
kesehatan, pedidikan, pertanian dan sebagainya.
24

b. zona kawasan budi daya Yang Perlu Dibatasi terdapat pada kawasan penyangga
di desa-desa yang termasuk pada Kecamatan Tojo Barat, Tojo, Ulubongka dan
Ampana Tete dengan penggunaan tanah pada zona kawasan ini, meliputi :
pertanian, pemukiman, hutan dan sebagainya.
c. zona kawasan penyangga terdapat di sekitar pesisir berkembang di wilayah bagian
selatan pada Kecamatan Una - Una, Togean, Walea Kepulauan, Walea Besar,
Tojo dan Ampana Tete dengan penggunaan tanah yang ada pada zona ini meliputi
pertanian, hutan, pemukiman dan perikanan; dan
d. zona kawasan lindung terdapat pada Kecamatan Una - Una, Togean, Walea
Kepulauan dan Walea Besar dengan Penggunaan tanah meliputi pertanian, hutan
dan pemukiman nelayan terutama pantai-pantai di Kepulauan Togean.
(5) rencana pengembangan pulau-pulau kecil dan Kepulauan Togean sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), meliputi:
a. pengelompokan pulau-pulau kecil berdasarkan wilayah administrasi Kecamatan,
meliputi:
1. pulau – pulau kecil di Kecamatan Una - Una meliputi Pulau Bantoala, Pulau
Takurak, Pulau Pinomotan, Pulau Babakan, Pulau Pagodongan, Pulau
Takulak, Pulau Bambu, Pulau Poya yang mengklaster dengan Pulau Batudaka
dengan ibukota Kecamatan Desa Wakai;
2. pulau kecil di Kecamatan Togean meliputi Pulau Kadidiri, Pulau Pangempang,
Pulau Tongkabo, Pulau Balelanga, Pulau Angkayi, Pulau Mogobesar, Pulau
Enam dan Pulau Tambolang yang mengklaster dengan pulau Togean dengan
Ibukota Kecamatan Desa Lebiti;
3. pulau kecil di Kecamatan Walea Kepulauan meliputi Pulau Taoleh dan Pulau
Papan mengcluster dengan Pulau Talatakoh, Pulau Malenge dan Pulau
Waleakodi dengan Ibukota Kecamatan Desa Popolii; dan
4. pulau kecil di Kecamatan Walea Besar meliputi Pulau Paladan, Pulau Delapan,
Pulau Makeat mengcluster dengan Pulau Waleabahi dengan Ibukota
Kecamatan Desa Pasokan.
b. pengembangan kawasan pulau pulau kecil untuk pengembangan zona klaster
perikanan budidaya laut meliputi:
1. Kecamatan Una - Una meliputi Pulau Bambu dan Pulau Tangkubi;
2. Kecamatan Togean meliputi Pulau Enam, Pulau Mogo Kecil dan Mogo Besar,
Pulau kecil dekat Desa Lembanato;
3. Kecamatan Walea Kepulauan meliputi Pulau Malenge, Kepulauan Kabalutan
dan Pulau Milok; dan
4. Kecamatan Walea Besar tidak terdapat pulau-pulau kecil, dan perikanan budi
daya lautnya terdapat di desa-desa pesisir pantai atau tepi laut.
c. pengembangan kawasan pulau pulau kecil untuk pengembangan zona klaster
pariwisata meliputi:
1. Kecamatan Una - Una meliputi Pulau Taupan, Pulau Tambangoni, Pulau
Pongko, Pulau Poya, Kepulauan Siatu dan Kepulauan Salaka;
2. Kecamatan Togean meliputi Pulau Kadidiri, Pulau Batongo, Pulau
Pangempang dan Pulau Bolelanga;
3. Kecamatan Walea Kepulauan meliputi Pulau Taoleh, Pulau Tomorsi, Pulau
Makeat, Pulau Saladatan; dan
4. Kecamatan Walea Besar meliputi Pulau Kampion, Pulau Takuhak, Pulau
Delapan dan Pulau Paladan.
d. pengembangan kawasan pulau pulau kecil untuk pengembangan zona klaster
perikanan tangkap meliputi:
1. zonasi penangkapan perikanan tradisional di Kabupaten Tojo Una - Una yaitu
0 – 3 mil laut; dan
2. zonasi penangkapan perikanan semi modern di Kabupaten Tojo Una - Una
yaitu 3 – 12 mil laut.
25

e. pengembangan kawasan pulau pulau kecil untuk pengembangan zona klaster


konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi zona Taman Wisata Alam Laut
Kepulauan Togean; dan
f. pengaturan dan pengelolaan pulau-pulau kecil sesuai dengan kemampuan dan
daya dukung serta potensi lahan pada pulau-pulau kecil.

Bagian Ketiga
Kawasan Budidaya

Pasal 25

Kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, terdiri atas:


a. kawasan peruntukan hutan produksi;
b. kawasan hutan rakyat;
c. kawasan peruntukan pertanian;
d. kawasan peruntukan perikanan;
e. kawasan peruntukan pertambangan;
f. kawasan peruntukan industri;
g. kawasan peruntukan pariwisata;
h. kawasan peruntukan permukiman; dan
i. kawasan peruntukan lainnya.

Paragraf 1
Kawasan Peruntukan Hutan Produksi

Pasal 26

Kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a,


tersebar di seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Tojo Una-Una meliputi;
a. Hutan Produksi Tetap (HP) seluas kurang lebih 50,909 Ha (lima puluh Sembilan ribu
Sembilan hektar);
b. Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas kurang lebih 130,650 Ha (seratus tiga puluh ribu
enam ratus lima puluh hektar); dan
c. Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) seluas kurang lebih 11,044 Ha (sebelas
ribu empuluh empat hektar).

Paragraf 2
Kawasan Peruntukan Hutan Rakyat

Pasal 27

(1) kawasan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b, meliputi
kawasan yang dapat diusahakan sebagai hutan oleh orang pada tanah yang dibebani
hak milik.
(2) kawasan hutan rakyat di Kabupaten Tojo Una - Una direncanakan di Desa Taningkola
Kecamatan Una-Una dengan luas 5,585 Ha (lima ribu lima ratus delapan puluh lima
hektar).
26

Paragraf 3
Kawasan Peruntukan Pertanian

Pasal 28

(1) kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c, terdiri
dari:
a. kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan;
b. kawasan peruntukan hortikultura;
c. kawasan peruntukan perkebunan; dan
d. kawasan peruntukan peternakan.
(2) kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, yaitu berupa lahan sawah dengan luas kurang lebih 35,020 Ha (tiga puluh lima
ribu dua puluh hektar) terdiri dari rencana pengembangan sawah irigasi teknis seluas
kurang lebih 8,186 Ha (delapan ribu seratus delapan puluh enam hektar) dan
peruntukan lahan untuk tanaman pangan berkelanjutan seluas kurang lebih 5.078 Ha
(lima ribu tujuh puluh delapan hektar) meliputi:
a. Kecamatan Togean;
b. Kecamatan Walea Kepulauan;
c. Kecamatan Walea Besar;
d. Kecamatan Una-Una;
e. Kecamatan Ulubongka;
f. Kecamatan Tojo; dan
g. Kecamatan Tojo Barat.
(3) kawasan peruntukan holtikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berupa
tegalan, kebun campur dan sawah tadah hujan, tersebar di yang tersebar di Kecamatan
Ampana Kota, Ampana Tete, Ulubongka, Tojo, Tojo Barat, Una-Una, Togean, Walea
Kepulauan dan Walea besar dengan seluas kurang lebih 27.483 Ha (dua puluh tujuh
ribu empat ratus delapan puluh tiga hektar);
(4) kawasan peruntukan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, seluas
kurang lebih 56,814 Ha (lima puluh enam ribu delapan ratus empat belas hektar) yang
tersebar di seluruh wilayah Kecamatan di Kabupaten Tojo Una-Una dengan komoditas
utama kelapa, kopi dan kakao;
(5) kawasan peruntukan peternakan di Kabupaten Tojo Una-Una seluas 7.4 Ha (tujuh koma
empat hektar) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, meliputi:
a. Kecamatan Tojo Barat, Kecamatan Tojo, Kecamatan Ulubongka, Kecamatan
Ampana Kota dan Kecamatan Ampana Tete untuk ternak besar;
b. Kecamatan Ulubongka, Kecamatan Ampana Kota dan Kecamatan Ampana Tete
untuk ternak kecil; dan
c. Kecamatan Ulubongka, Kecamatan Tojo, Kecamatan Tojo Barat, Kecamatan
Ampana Kota dan Kecamatan Ampana Tete untuk ternak unggas.

Paragraf 4
Kawasan Peruntukan Perikanan
Pasal 29
(1) kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 huruf d,
meliputi:
a. kawasan peruntukan perikanan tangkap;
b. kawasan peruntukan budidaya perikanan; dan
c. kawasan peruntukan kawasan pengolahan ikan.
(2) kawasan peruntukan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
terletak di seluruh kecamatan di Kabupaten Tojo Una-Una seluas kurang lebih 4,685
Ha (empat ribu enam ratus delapan puluh lima hektar);
27

(3) kawasan peruntukan perikanan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat, (1) huruf
b, berupa tambak dan kolam yang terletak di Kecamatan Tojo, Kecamatan Tojo Barat,
Kecamatan Ampana Kota, Kecamatan Ampana Tete, Kecamatan walea besar,
Kecamatan Walea Kepulauan, Kecamatan Togean dan Kecamatan Una – Una, kurang
lebih seluas 1,397 ha (seribu tiga ratus Sembilan puluh tujuh hektar):
(4) peruntukan kawasan pengolahan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
diarahkan pada kawasan minapolitan yang terletak pada kawasan pesisir yaitu
Kecamatan Ulubongka, Kecamatan Tojo, Kecamatan Tojo Barat, Kecamatan Una-Una,
Kecamatan Togean, Kecamatan Walea Kepulauan dan Kecamatan Walea Besar
terutama pada Perkotaan Ampana sebagai Pusat Kegiatan Minapolis Wilayah
(PKMW), dan Wakai, Lebiti, Popolii, Pasokan sebagai Pusat Kegiatan Minapolis Lokal
(PKML);
(5) pengembangan PKMW dan PKML sebagaimana dimaksud pada ayat (4) didukung
dengan pengembangan konektivitas dan infrastruktur sektor perikanan dan Kelautan
dari wilayah produksi hingga pusat pemasaran dan pengolahan hasil perikanan yang
meliputi jaringan transportasi, suplai air bersih, suplai listrik dan air bersih;
(6) Teluk Tomini berdasarkan karakteristik kedalaman perairan termasuk dalam wilayah
perairan dalam yang dilarang penggunaan alat penangkapan ikan meliputi :
a. Pukat cincin pelagis besar dengan satu kapal Mesh size lebih dari 3 (tiga) inch dan
Tali ris atas kurang dari 700 (tujuh ratus) meter serta Mesh size lebih dari 3(tiga)
inch dan Tali ris atas kurang dari 1500 (seribu lima ratus) meter;
b. Pukat cincin grup pelagis besar Mesh size lebih dari 3 (tiga) inch dan Tali ris atas
kurang dari 1500 (seribu lima ratus) meter;
c. Scottish seines;
d. Pair seines;
e. Cantrang Mesh size lebih dari 2 (dua) inch dan Tali ris atas lebih dari 60 (enam
puluh) meter;
f. Pukat hela dasar berpapan (Otter trawls);
g. Pukat hela dasar dua kapal (Pair trawls);
h. Nephrops trawl (Nephrops trawls)
i. Pukat udang Mesh size lebih dari 1,75 (satu koma tujuh lima) inch dan Tali ris atas
kurang dari 30 (tiga puluh) meter;
j. Pukat ikan Mesh size 2 (dua) inch dan Tali ris atas kurang dari 60 (enam puluh)
meter;
k. Pukat hela pertengahan dua kapal (Pair trawls);
l. Pukat hela pertengahan udang (Shrimp trawls);
m. Pukat hela kembar berpapan (Otter twin trawls);
n. Pukat Dorong;
o. Perangkap ikan peloncat ( Aerial traps;) dan
p. Muro ami.
(7) pengembangan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) - (5) didukung oleh
pengembangan sarana dan prasarana perikanan sebagai berikut:
a. pembangunan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dan Tempat Pelelangan Ikan
(TPI) di Desa Labuan Untuk wilayah Timur kecamatan Ampana Kota, Ampana
Tete dan sebagian Kecamatan Ulubongka; TPI Desa Bahari untuk wilayah
Kecamatan Tojo Barat, Kecamatan Tojo dan sebagian kecamatan Ulubongka, dan
PPI Desa Malenge untuk wilayah Kecamatan Una Una, Kacamatan Togean,
Kecamatan Walea Besar dan Kecamatan Walea Kepulauan;
b. rencana pengembangan pelabuhan nelayan di desa nelayan Kepulauan Togean,
Desa Bahari, Desa Pancuma, Desa Tojo dan Desa Sandada Kecamatan Tojo,
Desa Cempa Kecamatan Ulubongka, Desa Labuan Kecamatan Ampana Kota,
Desa Tete B dan Sabo di Kecamatan Ampana Tete.
c. rencana pengembangan pelabuhan Pabrik Rumput Laut di Desa Mantangisi
Kecamatan Ampana Tete.
28

Paragraf 5
Kawasan Peruntukan Pertambangan

Pasal 30

(1) kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 huruf e


yatu berupa wilayah usaha pertambangan, seluas 199.954 Ha meliputi:
a. kawasam peruntukan pertambangan minyak dan gas bumi; dan
b. kawasan peruntukan pertambangan mineral dan batubara.
(2) kawasan peruntukan pertambangan minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a yaitu berupa pertambangan gas alam pijar di Tanjung Api;
(3) kawasan peruntukan pertambangan mineral dan batubara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. kawasan peruntukan pertambangan batubara di Kecamatan Ulubongka;
b. kawasan peruntukan mineral logam, terdiri atas:
1. kawasan peruntukan Tembaga terdapat di Kepulauan Una - Una, Gunung Colo
dan Pegunungan Pompanga (Desa Dataran Bulan);
2. kawasan peruntukan pertambangan biji besi dan pasir besi tersebar di Marowo,
Uedele, Uekuli, Mawuroto, Sandada dan Gandalari (Kecamatan Tojo);
3. kawasan peruntukan pertambangan Nikel terdapat di Desa Rompi, Desa
Mantangisi, Desa Tobamawau, Desa Marowo, Desa Uebae, dan Desa Uebone,
PMST Tangkibangke, Desa Tojo, Desa Longge Atas, Desa Kayunyole, Desa
Padapu, Tampanombo, Desa Banano, Desa Betaua, Desa Pancuma, Desa
Uematopa, Desa Mire, Desa Podi; dan
4. kawasan peruntukan pertambangan chromite dan Bahan Ikutan terdapat di
Desa Tongku.
c. Kawasan peruntukan mineral non logam, terdiri atas:
1. batu gamping di Desa Tanamawau, Desa Sansarino, Desa Uebone di
Kecamatan Ampana Tete;
2. marmer di Desa Uekuli dan Malewa;
3. batu apung di Kepulauan Una – Una;
4. marmer hijau, warna kuning kehijauan dan kuning kecoklatan tersebar di
Kecamatan Tojo Barat dan di Kecamatan Tojo;
5. pasir dan batu (sirtu) di Kecamatan Tojo, Kecamatan Ulubongka, Kecamatan
Ampana dan Kecamatan Ampana Tete;
6. sirtu dari formasi bongkah di Kecamatan Ulubongka;
7. gas alam pijar di Tanjung Api; dan
8. pasir kuarsa di Kecamatan Tojo.

Paragraf 6
Kawasan Peruntukan Industri
Pasal 31
(1) kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf f, meliputi:
a. kawasan peruntukan Industri besar;
b. kawasan peruntukan Industri Menengah; dan
c. kawasan peruntukan Industri kecil.
(2) industri besar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, terdapat di Kecamatan
Ampana Tete.
(3) industri sedang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b seluas kurang lebih 90
hektar , meliputi:
a. sentra industri kecil pengolahan hasil pertanian dan perkebunan di Kecamatan Tojo
Barat dan Tojo;
29

b. sentra industri kerajinan hasil laut di Kecamatan Una – Una, Togean, Walea
Kepulauan dan Walea Besar;
c. sentra industri makanan khas hasil laut di Kecamatan Ampana Kota;
d. sentra industri marmer di Kecamatan Tojo;
e. furniture di Kecamatan Ampana Kota, Ampana Tete, Tojo, Togean dan Walea
Kepulauan;
f. penggergajian Kayu di Kecamatan Ampana Tete, Ulubongka dan Tojo Barat;
g. arang Tempurung di Kecamatan Tojo Barat;
h. pengeringan Jagung di Kecamatan Ampana Tete;
i. kerajinan Hasil Laut di Kecamatan Una – Una, Togean, Walea Kepulauan dan Walea
Besar;
j. makanan dan minuman khas di seluruh kecamatan Kabupaten Tojo Una – Una; dan
k. pengolahan hasil tambang di Kecamatan Ampana Tete dan Tojo.
(4) kawasan peruntukan industri kecil dan rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c meliputi:
a. Kecamatan Ampana Kota untuk pengembangan klaster industri (IKM) bahan baku
tekstil, furniture, perbengkelan, batako, batu bata, industri kapur, percetakan,
kerajinan tangan, makanan / minuman;
b. Kecamatan Ampana Tete untuk pengembangan klaster industri bahan baku tekstil,
furniture, penggergajian kayu, rotan polis, pengolahan kelapa, kerajinan tangan,
makanan / minuman, pengeringan jagung;
c. Kecamatan Ulubongka untuk pengembangan penggergajian kayu;
d. Kecamatan Tojo untuk pengembangan klaster industri bahan baku tekstil dan
furnitur;
e. Kecamatan Tojo Barat untuk pengembangan klaster industri Penggergajian kayu,
batu bata dan arang tempurung;
f. Kecamatan Una-Una untuk pengembangan klaster industri pembuatan es;
g. Kecamatan Togean untuk pengembangan klaster industri furnitur dan makanan/
minuman; dan
h. Kecamatan Walea Kepulauan untuk pengembangan klaster industri furnitur.
(5) pengembangan Industri kecil dan rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf c meliputi:
a. agroindustri pengolahan hasil pertanian meliputi Industri Pengolahan Kakao menjadi
coklat bubuk, pasta, liquor, kue, Industri makanan dari coklat dan kembang gula; dan
b. agroindustri pengolahan hasil perikanan melalui Industri Pengolahan Rumput Laut
menjadi karagenan dan produk makanan olahan lainnya serta Industri Pengolahan
Ikan menjadi ikan kering, ikan asap, ikan beku, ikan kaleng, tepung ikan dan produk
makanan olahan lainnya.

Paragraf 7
Kawasan Peruntukan Pariwisata

Pasal 32

(1) kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf g, meliputi:
a. kawasan peruntukan Kawasan wisata alam;
b. kawasan peruntukan Kawasan budaya; dan
c. kawasan peruntukan Kawasan wisata minat khusus.
(2) kawasan wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
30

a. wisata pulau di Pulau Taupan, Pulau Poyalisa, Pulau Taipi, Pulau Pangempa, Pulau
Lembanato, Pulau Bolilanga, Pulau Karina, Pulau Una-Una, Katupat, Pulau Kadidiri,
Kulingkinari, Malenge, Pulau Tanjung Kramat, Pulau Papan, Popolii, Pulau Tiga,
Pulau Bukabuka, Pulau Satu, Pulau Pakang;
b. wisata pantai terdiri atas :
1. Kecamatan Tojo Barat : Pantai Matako
2. Kecamatan Ampana : Pantai Ampana dan Tanjung Api
3. Kecamatan Ampana Tete : UeFuntu
4. Kecamatan Una Una: Pantai Popa, Pulau Taupan, Pulau Tupai, Pulau
Capatanah, Poya, Tangkubi, Tumbulawa (Pasir Putih Lindo), Una Una dan
Pantai Bambu
5. Kecamatan Togean: kadidiri, Tobil, Taipi, Pangempa dan Bolilanga
6. Kecamatan Walea Kepulauan: Kabalutan, Malenge dan Pulau Tiga
7. Kecamatan Walea Besar : Tanjung Kramat.
c. Wisata alam lain terdiri atas :
1. air terjun Sansarino di Kecamatan Ampana Kota;
2. gua Manu;
3. air Terjun Toe Rama;
4. air Terjun Korompondo;
5. danau Banano di Kecamatan Tojo;
6. air Panas Marowo di Kecamatan Ulubongka;
7. obyek wisata jembatan gantung uetoli di Kecamatan Ampana Tete;
8. permandian malotong di Kecamatan Ampana Kota;
9. arung jeram di sungai bongka di Kecamatan Ulubongka; dan
10. wisata pegunungan dan wisata riset di Dataran Bulan di Kecamatan Ampana
Tete.
(3) kawasan pariwisata budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. kawasan pelestarian keunikan budaya Suku Bobongko,Suku Togean, Suku Ta’a dan
Saluan serta Suku Bajo di Kabalutan Kecamatan Walea Kepulauan;
b. kawasan pelestarian pola dan tradisi bercocok tanam serta pembuatan gula aren di
Tobil, Kecamatan Togean;
c. kawasan keunikan budaya etnik Tau Ta’a (wana);
d. kawasan pemukiman nelayan di Tupai, Tumbulawa, Tobil, Tilupan, Simpiniti dan
Tanimpo;
e. kuburan wali, Kuburan Raja Togean, Benteng Pertahanan di Kecamatan Ampana
Tete;
f. makam Raja Tandjumbulu di Kecamatan Ampana Kota;
g. makam Raja Togean di Desa Benteng di Kecamatan Togean;
h. kuburan Batu Karang di Kecamatan Ulubongka;
i. makam Raja Tojo (Raja Pileviti dan Raja Talamoa) di Kecamatan Tojo;
j. mesjid tua di Pulau Una Una
k. obyek wisata sejarah bawah air berupa Bangkai Pesawat Bomber Wrek Tipe B-24 di
perairan Lebiti;
l. goa tua Malangke di Kecamatan Tojo Barat.
(4) kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) – (3)
dikembangkan melalui:
a. pengembangan jalur wisata, berisi informasi pintu masuk wisatawan, meliputi:
1. koridor jalur barat, Donggala - Palu - Poso – Tojo Una-Una;
2. koridor jalur timur, Banggai – Tojo Una-Una melalui Kepulauan Una- Una;
3. koridor jalur utara Payato – Gorontalo – Manado (atau sebaliknya) menuju
Kabupaten Tojo Una-Una; dan
4. koridor jalur selatan, Makasar – Toraja – Tojo Una-Una melalui Kecamatan
Ampana – kepulauan Togean.
b. menetapkan prioritas pengembangan pariwisata sebagai pusat kegiatan pariwisata di
Kepulauan Togean;
31

c. pengembangan sarana dan prasarana pariwisata, meliputi:


1. melengkapi daya tarik wisata, dengan fasilitas penunjang wisata sesuai dengan
karakter serta keinginan pengunjung;
2. pengembangan sistem jaringan air bersih, penerangan, dan jaringan
telekomunikasi; dan
3. meningkatkan fungsi dan sistem transportasi yang menghubungkan pintu gerbang
wisata dengan setiap daya tarik wisata.
d. penataan dan pengendalian kawasan wisata dan sekitarnya yang diatur secara
khusus dalam perencanaan tata ruang kawasan wisata.

Paragraf 8
Kawasan Peruntukan Permukiman

Pasal 33

(1) kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf h, meliputi:


a. kawasan permukiman perkotaan dengan luas rencana peruntukan sebesar 10,884
Ha (sepuluh ribu delapan ratus delapan uluh empat hektar);
b. kawasan permukiman perdesaan dengan luas rencana peruntukan sebesar
9672,17 Ha (Sembilan ribu enam ratus tujuh puluh dua koma tujuh belas hektar)
dan Rencana pengembangan permukiman agropolitan sebagai bagian dari
permukiman perdesaan sebesar 430,88 Ha (empat ratus tiga puluh koma delapan
puluh delapan hektar). yang tersebar di Kecamatan Tojo, Tojo Barat, Ulubongka,
dan Kecamatan Togean; dan
c. rencana Pengembangan perumahan baru sebesar 4489,77 Ha (empat ribu empat
ratus delapan puluh Sembilan koma tujuh puluh tujuh hektar).
(2) kawasan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a,
meliputi kawasan yang dominasi kegiatannya difungsikan untuk kegiatan yang bersifat
kekotaan dan merupakan orientasi pergerakan penduduk yang ada pada wilayah
sekitarnya, meliputi:
a. permukiman di perkotaan Ampana Kota;
b. Kota Terpadu Mandiri di Desa Tampabatu seluas 165 Ha; dan
c. permukiman perkotaan yang merupakan bagian dari ibukota kecamatan.
(3) kawasan permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
meliputi suatu kawasan untuk permukiman pada lokasi sekitarnya masih didominasi
oleh lahan pertanian, tegalan, perkebunan dan lahan kosong serta aksesibilitas
umumnya kurang, jumlah sarana dan prasarana penunjang juga terbatas atau hampir
tidak ada, meliputi :
a. kawasan permukiman perdesaan yang terletak pada wilayah pegunungan dan
dataran tinggi, dataran rendah dan pesisir; dan
b. kawasan perdesaan berbentuk kawasan agropolitan, yang meliputi satu atau lebih
pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan
pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan adanya keterkaitan
fungsional dan hirarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem
agrobisnis.

Paragraf 9
Kawasan Peruntukan Lainnya

Pasal 34

(1) kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 huruf i, meliputi:
a. Kawasan peruntukan pengembangan sektor informal; dan
b. Kawasan peruntukan Pertahanan dan Keamanan.
32

(2) kawasan pengembangan sektor informal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, diarahkan pada pengembangan kawasan khusus untuk perdagangan dan jasa,
meliputi:
a. kawasan perdagangan dan jasa skala regional untuk melayani wilayah Kabupaten
Tojo Una - Una diarahkan di Pusat Perkotaan Ampana Kota yaitu Ampana;
b. fasilitas regional untuk pelayanan jalur arteri diarahkan pada Perkotaan Ampana
Tete, Perkotaan Ampana Kota, Perkotaan Ulubongka, Perkotaan Tojo dan
Perkotaan Tojo Barat; dan
c. kawasan perdagangan skala kecamatan pada kawasan perkotaan.
(3) pengembangan Kawasan Pertahanan dan Keamanan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b, meliputi:
a. kawasan Kodim terletak di Ibukota Kabupaten yaitu di Kecamatan Ampana;
b. kawasan Komando Rayon Militer yang tersebar di Kecamatan di seluruh
Kabupaten Tojo Una-Una;
c. kawasan Kompi Brimob di Kecamatan Ulubongka
d. kawasan Militer Kompi D Yonif 714/Sintuwu Maroso di Kecamatan Ampana Tete;
dan
e. rencana pelabuhan angkatan laut di Desa Mantangisi Kecamatan Ampana Tete.

Pasal 35

(1) pemanfaatan kawasan untuk peruntukan lain selain sebagaimana dimaksud dalam
pasal 34 dapat dilaksanakan apabila tidak mengganggu fungsi kawasan yang
bersangutan dan tidak melanggar ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana
diatur dalam peraturan daerah ini.
(2) pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan
setelah adanya kajian komprehensif dan setelah mendapatkan rekomendasi dari
badan atau pejabat yang tugasnya mengkoordinasikan penataan ruang di Kabupaten
Tojo Una-Una.

BAB V
PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS

Bagian Kesatu
Umum
Pasal 36

(1) kawasan yang merupakan kawasan strategis, meliputi:


a. kawasan strategis nasional;
b. kawasan strategis propinsi; dan
c. kawasan strategis kabupaten.
(2) rencana penetapan kawasan strategis digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian
1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Pasal 37

Kawasan Strategis Nasional yang ada di Kabupaten Tojo Una-Una sebagaiman dimaksud
dalam pasal 36 ayat (1) huruf a yaitu kawasan kritis Lingkungan Balingara di Kabupaten Tojo
Una-Una dan Banggai Kepulauan.
33

Pasal 38

Kawasan strategis Provinsi yang ada di Kabupaten Tojo Una Una sebagaimana dimaksud
pada Pasal 36 ayat (1) huruf b, terdiri atas:
a. kawasan pengembangan Kota Terpadu Mandiri (KTM) Padauloyo yang merupakan
kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi;
b. kawasan cepat tumbuh Ampana-Tojo yang merupakan kawasan strategis dari sudut
kepentingan ekonomi;
c. kawasan Kepulauan Togean sebagai kawasan perbatasan antara Kabupaten Tojo
Una-Una dengan Provinsi Gorontalo yang merupakan merupakan kawasan strategis
dari sudut kepentingan ekonomi; dan
d. kawasan pengembangan sumberdaya perikanan dan kelautan Teluk Tomini di
Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Poso, Kabupaten Tojo Una-Una yang
merupakan kawasan strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya
atau teknologi tinggi.

Pasal 39

(1) kawasan strategis Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat (1) huruf c,
meliputi:
a. kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi;
b. kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya;
c. kawasan Strategis dari sudut kepentingan Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan
atau Teknologi Tinggi; dan
d. kawasan strategis dari sudut kepentingan kepentingan fungsi dan daya dukung
lingkungan hidup.
(2) kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, meliputi:
a. kawasan Perkotaan Ampana;
b. kawasan minapolitan di pesisir pantai Kecamatan Ulubongka, Kecamatan Tojo,
Kecamatan Tojo Barat, Kecamatan Una-Una,Kecamatan Togean, Kecamatan
Walea Kepulauan dan Kecamatan Walea Besar dengan mengutamakan Perkotaan
Ampana sebagai Pusat Kegiatan Minapolis Wilayah (PKMW), dan Wakai, Lebiti,
Popolii, Pasokan sebagai Pusat Kegiatan Minapolis Lokal (PKML);
c. kawasan agropolitan terletak di Kecamatan Tojo, Tojo Barat, Ulubongka, dan
Kecamatan Togean;
d. kawasan pelabuhan di Kecamatan AmpanaTete; dan
e. kawasan Kota Terpadu Mandiri (KTM) Air Terang, KTM Bungku,KTM Padauloyo,
KTM Bahari Bolano Lambunu dan KTM Talabosa.
(3) kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, meliputi:
a. kawasan budaya Suku Bobongko,Suku Togean, Suku Ta’a dan Saluan serta Suku
Bajo di Desa Kabalutan Kecamatan Walea Kepulauan;
b. kawasan pembuatan gula aren di Desa Tobil, Kecamatan Togean;
c. keunikan budaya etnik Tau Ta’a (wana);
d. kuburan wali, Kuburan Raja Togean, Benteng Pertahanan di Kecamatan Ampana
Tete;
e. makam Raja Tandjumbulu di Kecamatan Ampana Kota;
f. makam Raja Togean di Desa Benteng di Kecamatan Togean;
g. kuburan Batu Karang di Kecamatan Ulubongka;
h. makam Raja Tojo (Raja Pileviti dan Raja Talamoa) di Kecamatan Tojo;
i. mesjid tua di Pulau Una Una
j. obyek wisata sejarah bawah air berupa Bangkai Pesawat Bomber Wrek Tipe B-24
di perairan Lebiti; dan
34

k. goa tua Malangke di Kecamata Tojo Barat.


(4) kawasan strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam atau
teknologi tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdapat dikawasan Teluk
Tomini merupakan pengolahan sumber daya kelautan meliputi perikanan dan
pariwisata sebagai kawasan strategis provinsi.
(5) kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:
a. kawasan Cagar alam Tanjung Api;
b. kawasan Taman Wisata Alam Laut Kepulauan Togean dan Kepulauan Batudaka;
c. kawasan konservasi lahan kritis Balingara; dan
d. kawasan kritis lingkungan yaitu kawasan Podi.

Pasal 40

(1) untuk operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tojo Una-Una disusun
rencana rinci tata ruang berupa Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten.
(2) rencana Rinci Tata Ruang kawasan Strategis Kabupaten sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

BAB VI
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 41

(1) pemanfaatan ruang wilayah kabupaten berpedoman pada rencana struktur ruang dan
pola ruang.
(2) pemanfaatan ruang wilayah kabupaten dilaksanakan melalui penyusunan dan
pelaksanaan program pemanfaatan ruang disusun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 42

(1) program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (2) disusun
berdasarkan indikasi program utama lima tahunan yang ditetapkan dalam lampiran V
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(2) pendanaan program pemanfaatan ruang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Investasi swasta dan
kerjasama pendanaan.
(3) kerja sama pendanaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 43

Perwujudan rencana struktur ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41 ayat (1) meliputi:
a. perwujudan pusat kegiatan; dan
b. perwujudan sistem prasarana.
35

Pasal 44

(1) perwujudan pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf a berupa
pelaksanaan pembangunan meliputi:
a. pengembangan dan pemantapan pusat kegiatan lokal (PKL);
b. pengembangan pusat kegiatan lokal promosi (PKLp);
c. pemantapan fungsi pengembangan kawasan (PPK);
d. pemantapan fungsi pengembangan lingkungan (PPL); dan
e. pengembangan pusat agropolitan dan minapolitan.
(2) pengembangan pusat kegiatan lokal (PKL) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a berupa penyusunan rencana rinci dan pembangunan perkotaan Ampana
(3) pengembangan pusat kegiatan lokal promosi (PKLp) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b di Perkotaan Uekuli dan Perkotaan Wakai berupa penyusunan rencana
rinci dan pembangunan Perkotaan Uekuli di KecamatanTojo dan Perkotaan Wakai di
Kecamatan Una-Una;
(4) pengembangan pusat kegiatan kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dengan menyusun rencana rinci dan pembangunan pada kawasan:
a. Perkotaan Popolii;
b. Perkotaan Dolong B;
c. Perkotaan Lebiti;
d. Perkotaan Tete B;
e. Perkotaan Bongka Koi; dan
f. Perkotaan Tambiano.
(5) pengembangan pusat pelayanan lingkungan (PPL) sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d meliputi:
a. pengembangan Desa Matako di Kecamatan Tojo Barat;
b. pengembangan Desa Tojo Kecamatan Tojo;
c. pengembangan Desa Tampanombo Kecamatan Ulubongka;
d. pengembangan Desa Mantangisi Kecamatan Ampana Tete;
e. pengembangan Desa Taningkola Kecamatan Una – Una;
f. pengembangan Desa Kololia di Kecamatan Togean;
g. pengembangan Desa Kalia Kecamatan Walea Kepulauan; dan
h. pengembangan Desa Katogop Kecamatan Walea Besar.
(6) pengembangan agropolitan dan minapolitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e meliputi:
a. penyusunan rencana rinci dan pengembangan Agropolitan di Kecamatan Tojo,
Tojo Barat, Ulubongka, dan Kecamatan Togean dengan kegiatan utama sebagai
pusat pengembangan pertanian dan perkebunan; dan
b. penyusunan rencana rinci dan pengembangan Minapolitan di Kecamatan Ampana
Kota, Ampana Tete, Kecamatan Una-Una, Kecamatan Togean, Kecamatan Walea
Kepulauan dan Kecamatan Walea Besar, terutama pada Perkotaan Ampana
sebagai Pusat Kegiatan Minapolis Wilayah (PKMW), dan Wakai, Lebiti, Popolii,
Pasokan sebagai Pusat Kegiatan Minapolis Lokal (PKML).

Pasal 45

(1) perwujudan sistem prasarana sebagaimana dimaksud pada Pasal 43 huruf b


pelaksanaan pembangunan meliputi:
a. jaringan Jalan;
b. jaringan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan;
c. jaringan angkutan sungai, danau, dan penyeberangan;
d. transportasi laut;
e. transportasi udara;
f. prasarana energi;
g. prasarana sumber daya air;
36

h. prasarana telekomunikasi;
i. prasarana pengelolaan lingkungan; dan
j. prasarana lainnya.
(2) pembangunan transportasi jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
diwujudkan melalui:
a. peningkatan jalan kolektor primer, yaitu jalan yang menghubungkan wilayah
kabupaten dengan wilayah Kabupaten Poso dan Kabupaten Banggai;
b. peningkatan jalan lokal primer, yaitu jalan yang menghubungkan kawasan
perkotaan dengan PPK, PPL, dan kawasan fungsional kawasan perdagangan,
industri, pariwisata, perkantoran dan kawasan agropolitan;
c. pengembangan dan peningkatan jalan kolektor sekunder dan lokal sekunder yang
menuju kawasan pariwisata, industri, agropolitan dan kawasan terisolir;
d. peningkatan jalan poros desa dan jalan menuju daerah terisolir;
e. perbaikan jalan arteri primer secara berkala;
f. pemeliharaan jalan propinsi; dan
g. peningkatan jalan utama antar desa dan jalan menuju desa/dusun terpencil.
(3) pembangunan Jaringan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup kegiatan:
a. pengembangan terminal tipe B;
b. pembangunan terminal tipe C;
c. menata dan mengatur trayek angkutan kota dengan menetapkan hirarki trayek
berdasarkan klasifikasi jenis trayek yang ada dengan mempertimbangkan wilayah
pelayanan yang terdiri dari trayek utama, trayek cabang dan trayek ranting;
d. peningkatan frekuensi angkutan perkotaan di Ampana Kota;
e. pengembangan rute angkutan antar kecamatan;
f. pengembangan angkutan antar desa;
g. pengembangan rute angkutan yang menghubungkan dengan wilayah Kabupaten
Morowali harus melalui sistem koordinasi terpadu sehingga akan menguntungkan
kedua belah pihak;
h. meningkatkan dan mendorong berkembangnya pelayanan angkutan yang baik,
aman dan murah;
i. meningkatkan mutu pengusaha dan pengemudi kendaraan umum dalam
mewujudkan lalu lintas yang tertib, aman dan lancar; dan
(4) rencana pengembangan Jaringan angkutan sungai, danau, dan penyeberangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c mencakup kegiatan pengembangan
Pelabuhan penyeberangan;
(5) pengembangan transportasi laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
mencakup kegiatan:
a. pengoptimalan kinerja pelabuhan pengumpul;
b. pengoptimalan kinerja pelabuhan pengumpan;
c. pengoptimalan kinerja terminal bongkar muat; dan
d. pengoptimalan kinerja terminal khusus.
(6) pengembangan prasarana transportasi udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e mencakup kegiatan pengembangan bandara pengumpan dengan pelayanan
domestik;
(7) Pembangunan prasarana energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f,
mencakup kegiatan:
a. pengembangan Pembangkit Listrik tenaga air, pembangkit listrik tenaga mikrohidro
dan pembangit listrik tenaga diesel; dan
b. pengembangan prasarana energy melalui pengembangan jaringan pipa minyak
dan gas bumi berupa SPPBE dan pengembangan jaringan transmisi tenaga listrik.
(8) pembangunan prasarana sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
g mencakup kegiatan:
a. pengembangan sarana air bersih oleh PDAM;
b. pengembangan sarana air bersih dari HIPPAM;
37

c. pengembangan sarana air bersih dengan Sumur Gali;


d. rehabilitasi dan pemeliharaan jaringan irigasi;
e. perbaikan Daerah Tangkapan Air;
f. pengembangan system pengendalian banjir;
g. pengembangan system pengendalian erosi dan longsor; dan pengembangan
system pengamanan pantai
h. pembuatan embung dan bendungan baru;
(9) pembangunan prasarana telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h
mencakup kegiatan:
a. pembangunan jaringan telekomunikasi; dan
b. penataan dan penyusunan pedoman sistem jaringan telekomunikasi.
(10) Pembangunan prasarana pengelolaan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf i mencakup kegiatan:
a. pengembangan TPA Regional yang didukung kajian lebih lanjut;
b. pengadaan alat angkutan sampah/truck sampah;
c. pembangunan prasarana dan sarana TPA; dan
d. pembangunan TPS di seluruh kecamatan.
(11) Pembangunan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j
mencakup kegiatan:
a. penyusunan masterplan drainase; dan
b. pengembangan jalur evakuasi bencana.

Pasal 46

(1) perwujudan rencana pola ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (1), meliputi:
a. perwujudan kawasan lindung; dan
b. perwujudan kawasan budidaya.
(2) perwujudan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a meliputi:
a. koordinasi, identifikasi, inventarisasi, penegasan dan penetapan kawasan hutan
lindung, kawasan resapan air, lindung setempat, pelestarian alam, kawasan cagar
alam dan cagar budaya, kawasan rawan bencana alam, kawasan lindung geologi
dan kawasan lindung lainnya;
b. pemantauan dan pengendalian kawasan lindung; dan
c. pengelolaan kawasan hulu sungai dan daerah aliran sungai (DAS) secara terpadu.
(3) perwujudan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
mencakup:
a. kawasan hutan produksi;
b. kawasan peruntukan pertanian;
c. kawasan peruntukan perkebunan;
d. kawasan peruntukan perikanan;
e. kawasan peruntukan pertambangan;
f. kawasan peruntukan industri;
g. kawasan peruntukan pariwisata;
h. kawasan peruntukan permukiman; dan
i. kawasan peruntukan lainnya.
(4) Perwujudan kawasan budidaya hutan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a mencakup kegiatan:
a. koordinasi, inventarisasi dan penyusunan rencana strategis penanganan lahan
kritis pada kawasan budidaya; dan
b. penanganan, pemantauan dan evaluasi penanganan lahan kritis.
(5) Perwujudan kawasan peruntukan budidaya pertanian sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf b mencakup kegiatan:
a. penyusunan kebijakan revitalisasi pertanian;
b. pengembangan sawah baru; dan
38

c. monitoring dan evaluasi revitalisasi pertanian.


(6) perwujudan kawasan peruntukan budidaya perkebunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf c mencakup kegiatan:
a. pengembangan budidaya perkebunan yang lestari; dan
b. pengembangan perkebunan rakyat.
(7) perwujudan kawasan peruntukan budidaya perikanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf d berupa pengembangan dan pengendalian kawasan perikanan air laut,
payau dan tawar.
(8) perwujudan kawasan peruntukan budidaya pertambangan sebagaimana dimaksud
ayat (3) huruf e mencakup kegiatan:
a. penyusunan penelitian deposit mineral pertambangan;
b. pengembangan (eksplorasi dan eksploitasi) kawasan pertambangan;
c. pemantauan dan pengendalian kawasan usaha pertambangan;
d. promosi dan perintisan kerjasama hasil tambang; dan
e. peningkatan prasarana dan sarana kawasan pertambangan.
(9) perwujudan kawasan peruntukan budidaya industri sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf f mencakup kegiatan:
a. penyusunan masterplan kawasan dan sentra industri;
b. penyiapan masyarakat dan kebijakan;
c. penyusunan rencana induk pengembangan sentra industri sedang, industri kecil,
dan koperasi;
d. pengembangan, penataan dan pemantauan kawasan sentra industri sedang dan
kecil; dan
e. peningkatan prasarana dan sarana kawasan dan sentra industri.
(10) perwujudan kawasan peruntukan budidaya pariwisata sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf g mencakup kegiatan:
a. penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA);
b. penataan dan pengendalian pembangunan kawasan obyek wisata; dan
c. monitoring dan evaluasi pelaksanaan RIPP.
(11) perwujudan kawasan peruntukan budidaya permukiman sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf h mencakup kegiatan:
a. penyusunan masterplan pengembangan permukiman; dan
b. monitoring dan evaluasi pelaksanaan masterplan permukiman.
(12) perwujudan kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf i
mencakup kegiatan:
a. penyusunan masterplan kawasan informal diarahkan untuk pengembangan
kawasan khusus perdagangan dan jasa;
b. penyusunan rencana zonasi pesisir dan pulau-pulau kecil;
c. monitoring dan evaluasi pelaksanaan masterplan kawasan informal dan rencana
zonasi pesisir dan pulau-pulau kecil

BAB VII
KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH KABUPATEN

Bagian kesatu
Umum

Pasal 47

(1) ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten digunakan sebagai


acuan dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.
(2) ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri dari:
a. ketentuan umum peraturan zonasi;
b. ketentuan perizinan;
c. ketentuan insentif dan disinsentif; dan
39

d. arahan Pengenaan Sanksi.

Bagian Kedua
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi

Pasal 48

(1) ketentuan umum Peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2)
huruf a, disusun sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang; dan
(2) ketentuan umum peraturan zonasi terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi pengaturan sistem perkotaan;
b. ketentuan umum pengaturan sistem perdesaan;
c. ketentuan umum pengaturan sistem jaringan transportasi;
d. ketentuan umum pengaturan sistem jaringan energi;
e. ketentuan umum pengaturan sistem jaringan sumber daya air;
f. ketentuan umum pengaturan sistem jaringan telekomunikasi;
g. ketentuan umum pengaturan sistem prasarana lingkungan;
h. ketentuan umum pengaturan kawasan lindung;
i. ketentuan umum pengaturan kawasan budidaya; dan
j. ketentuan umum pengaturan kawasan strategis.
(3) peraturan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat tentang hal-hal yang
harus ada, hal-hal yang boleh dan apa yang tidak boleh.

Pasal 49

(1) ketentuan umum peraturan zonasi pada sistem perkotaan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 48 ayat (2) huruf a, meliputi:
a. ketentuan umum peraturan zonasi untuk fungsi kawasan;
b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk fungsi kawasan lindung; dan
c. ketentuan umum peraturan zonasi untuk fungsi kawasan budidaya.
(2) ketentuan umum pengaturan zonasi untuk fungsi kawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. boleh dilakukan pengembangan secara terbatas, yakni pada zona yang tidak
termasuk dalam klasifikasi intensitas tinggi tetapi fungsi utama zona harus tetap,
dalam arti perubahan hanya boleh dilakukan sebagian saja, yakni maksimum dua
puluh lima persen (25%) dari luasan zona yang ditetapkan;
b. dalam pengaturan zona tidak boleh dilakukan perubahan secara keseluruhan
fungsi dasarnya; dan
c. penambahan fungsi tertentu pada suatu zona tidak boleh dilakukan untuk fungsi
yang bertentangan, misalnya permukiman digabung dengan industri polutan.
(3) Ketentuan umum pengaturan zonasi untuk kawasan lindung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, di perkotaan baik kawasan lindung berupa ruang terbuka,
misalnya lindung setempat, diarahkan untuk:
a. tidak dilakukan alih fungsi lindung tetapi dapat digunakan untuk kepentingan lain
selama masih menunjang fungsi lindung;
b. tetap dilakukan upaya konservasi pada kawasan lindung yang berupa bangunan,
dan dapat dilakukan nilai tambah;
c. kawasan yang telah ditetapkan sebagai bagian dari RTH di kawasan perkotaan
harus tetap dilindungi sesuai dengan fungsi RTH masing-masing, dan tidak boleh
dilakukan alih fungsi; dan
d. kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan terbuka hijau tetapi bukan sebagai
bagian dari RTH di kawasan perkotaan boleh dilakukan alih fungsi untuk kawasan
terbangun dengan catatan komposisi atau perbandingan antara kawasan
terbangun dan RTH tidak berubah sesuai RDTR kawasan perkotaan masing-
masing.
40

(4) Ketentuan umum pengaturan zonasi untuk kawasan budidaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, harus mengupayakan untuk:
a. mengefisienkan perubahan fungsi ruang untuk kawasan terbangun melalui arahan
bangunan vertikal sesuai kondisi masing-masing ibukota kecamatan dengan tetap
menjaga harmonisasi intensitas ruang yang ada;
b. pada setiap kawasan terbangun yang digunakan untuk kepentingan publik juga
harus menyediakan ruang untuk pejalan kaki dengan tidak mengganggu fungsi
jalan;
c. pada setiap kawasan terbangun untuk berbagai fungsi terutama permukiman padat
harus menyediakan ruang evakuasi bencana sesuai dengan kemungkinan
timbulnya bencana yang dapat muncul;
d. perubahan atau penambahan fungsi ruang tertentu boleh dilakukan sepanjang
saling menunjang atau setidaknya tidak menimbulkan efek negatif bagi zona yang
telah ditetapkan;
e. tidak boleh melakukan kegiatan pembangunan diluar area yang telah ditetapkan
sebagai bagian dari ruang milik jalan atau ruang pengawasan jalan, termasuk
melebihi ketinggian bangunan seperti yang telah ditetapkan, kecuali diikuti
ketentuan khusus sesuai dengan kaidah desain kawasan, seperti diikuti
pemunduran bangunan, atau melakukan kompensasi tertentu yang disepakati;
f. permukiman dan kegiatan ekonomi masyarakat yang ada dapat dipertahankan
sepanjang menunjang perwujudan fungsi kawasan;
g. dilarang menutup akses masyarakat terhadap pesisir pantai, sempadan dan
kepentingan publik lainnya;
h. untuk melindungi kepentingan publik, perizinan pemanfaatan ruang dan
penguasaan tanah yang meliputi keseluruhan pulau kecil tidak diperkenankan;
i. pemanfaatan ruang pada wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
j. tanah pertanian produktif khususnya sawah irigasi beserta infrastruktur
penunjangnya pada arahan fungsi kawasan selain Pertanian Lahan Basah atau
kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan, pengembangan kegiatan sesuai
arahan fungsi kawasan dimaksud sedapat mungkin diarahkan pada tanah-tanah
kurang produktif yang masih belum dimanfaatkan secara optimal;
k. pada setiap lingkungan permukiman yang dikembangkan harus disediakan sarana
dan prasarana lingkungan yang memadai sesuai kebutuhan masing-masing;
l. pada setiap pusat-pusat kegiatan masyarakat harus dialokasikan kawasan khusus
pengembangan sektor informal;
m. pada lahan yang telah ditetapkan sebagai bagian dari lahan abadi pangan di
kawasan perkotaan tidak boleh dilakukan alih fungsi lahan; dan
n. pada kawasan yang telah ditetapkan batas ketinggian untuk alat komunikasi dan
jaringan pengaman SUTT tidak boleh melakukan kegiatan pembangunan dalam
radius keamanan dimaksud.

Pasal 50

Ketentuan umum pengaturan zonasi pada sistem perdesaan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 48 ayat (2) huruf b, meliputi:
a. pengaturan pada rencana kawasan terbangun di perdesaan dapat dilakukan
penambahan fungsi yang masih saling bersesuaian, tetapi harus ditetapkan besaran
dan/atau luasan ruang setiap zona dan fungsi utama zona tersebut;
b. pengaturan pada kawasan tidak terbangun atau ruang terbuka untuk pertanian yang
produktif harus dilakukan pengamanan khususnya untuk tidak dialih fungsikan non
pertanian;
c. mengefisienkan ruang yang berfungsi untuk pertanian dan perubahan fungsi ruang
untuk kawasan terbangun hanya dilakukan secara infitratif pada permukiman yang ada
dan harus menggunakan lahan yang kurang produktif;
41

d. pengembangan permukiman perdesaan harus menyediakan sarana dan prasarana


lingkungan permukiman yang memadai sesuai kebutuhan masing-masing;
e. pada lahan pertanian yang telah ditetapkan sebagai lahan pangan abadi di kawasan
perdesaan harus tetap dilindungi dan tidak dilakukan alih fungsi;
f. kawasan yang telah ditetapkan sebagai bagian dari RTH di kawasan perdesaan harus
tetap dilindungi sesuai dengan fungsi RTH masing-masing, dan tidak boleh dilakukan
alih fungsi;
g. pada kawasan lindung yang ada di perdesaan diarahkan untuk tidak dilakukan alih
fungsi lindung tetapi dapat ditambahkan kegiatan lain selama masih menunjang fungsi
lindung;
h. pada kawasan lindung berupa bangunan, harus tetap dilakukan upaya konservasi baik
berupa situs, bangunan bersejarah, bangunan/monumen perjuangan rakyat, dan
sebagainya;
i. perubahan atau penambahan fungsi ruang tertentu pada kawasan terbangun di
perdesaan boleh dilakukan sepanjang saling menunjang atau setidaknya tidak
menimbulkan efek negatif bagi zona yang telah ditetapkan;
j. kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan terbuka hijau produktif di perdesaan pada
dasarnya boleh dilakukan alih fungsi untuk kawasan terbangun secara terbatas dan
hanya dilakukan pada lahan yang produktivitasnya kurang tinggi, dengan catatan
komposisi atau perbandingan antara kawasan terbangun dan ruang terbuka hijau tidak
berubah sesuai RDTR kawasan perdesaan masing-masing;
k. dalam pengaturan zona tidak boleh dilakukan perubahan secara keseluruhan fungsi
dasarnya, sesuai RDTR kawasan perdesaan masing-masing;
l. penambahan fungsi tertentu pada suatu zona tidak boleh dilakukan untuk fungsi yang
bertentangan;
m. pada kawasan terbangun di perdesaan yang lokasinya terpencar dalam jumlah kecil
tidak boleh melakukan kegiatan pembangunan dengan intensitas tinggi yang tidak
serasi dengan kawasan sekitarnya;
n. pada lahan yang telah ditetapkan sebagai ruang terbuka hijau produktif di perdesaan
tidak boleh dilakukan alih fungsi lahan;
o. pada lahan yang telah ditetapkan sebagai bagian dari lahan pangan abadi di kawasan
perdesaan tidak boleh dilakukan alih fungsi lahan; dan
p. pada kawasan yang telah ditetapkan batas ketinggian untuk alat komunikasi dan
jaringan pengaman SUTT tidak boleh melakukan kegiatan pembangunan dalam radius
keamanan dimaksud.

Pasal 51

(1) ketentuan umum pengaturan zonasi pada sistem jaringan transportasi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 48 ayat (2) huruf c, terdiri atas;
a. ketentuan umum peraturan zonasi untuk jaringan jalan arteri primer;
b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk jaringan jalan kolektor primer; dan
c. ketentuan umum peraturan zonasi untuk jaringan jalan lokal primer.
(2) ketentuan umum peraturan zonasi untuk jaringan jalan arteri primer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. jalan arteri primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60 (enam
puluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 11 (sebelas) meter;
b. jalan arteri primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-
rata;
c. jalan arteri primer lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang
alik, lalu lintas lokal dan kegiatan lokal;
d. jumlah jalan masuk ke jalan arteri primer dibatasi sedemikian rupa sehingga
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, b dan c harus tetap
terpenuhi;
e. lebar ruang pengawasan jalan arteri primer minimal 15 (lima belas) meter;
42

f. jalan arteri primer yang memasuki kawasan perkotaan dan/atau kawasan:


1. pengembangan perkotaan tidak boleh terputus;
2. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi
jalan nasional; dan
3. penetapan garis sempadan bagunan di sisi jalan nasional/provinsi/kabupaten
yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan.
(3) ketentuan umum peraturan zonasi untuk jaringan jalan kolektor primer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. jalan kolektor primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 40
(empat puluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 9 (sembilan)
meter;
b. jalan kolektor primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas
rata-rata;
c. jumlah jalan masuk dibatasi dan direncanakan sehingga ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a dan b masih tetap terpenuhi;
d. jalan kolektor primer yang memasuki kawasan perkotaan dan/atau kawasan
pengembangan perkotaan tidak boleh terputus; dan
e. jebar ruang pengawasan jalan kolektor primer minimal 10 (sepuluh) meter.
(4) jetentuan umum peraturan zonasi untuk jaringan jalan lokal primer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. jalan lokal primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 (dua
puluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 7,5 (tujuh koma
lima) meter;
b. jalan lokal primer yang memasuki kawasan perdesaan tidak boleh terputus; dan
c. lebar ruang pengawasan jalan lokal primer minimal 7 (tujuh) meter.

Pasal 52

Ketentuan umum pengaturan zonasi pada sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 48 ayat (2) huruf d, meliputi:
a. keberadaan pembangkit listrik disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang di
sekitar pembangkit listrik dengan memperhatikan jarak aman dari kegiatan lain;
b. ketentuan zonasi untuk jaringan transmisi tenaga listrik disusun dengan memperhatikan
ketentuan pelanggaran pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur transmisi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. dibawah jaringan tegangan tinggi tidak boleh ada fungsi bangunan yang langsung
digunakan masyarakat;
d. menetapkan areal konservasi di sekitar lokasi SUTT yaitu kurang lebih 20 meter pada
setiap sisi tiang listrik untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan bagi masyarakat;
e. menetapkan sempadan SUTT 66 Kv tanah datar dan sempadan SUTT 150 Kv tanah
datar;
f. dalam kondisi di bawah jaringan tinggi terdapat bangunan maka harus disediakan
jaringan pengamanan; dan
g. SPBE tidak diletakkan di kawasan permukiman dan disesuaikan dengan peraturan
perundangan yang berlaku.

Pasal 53
.
Ketentuan umum pengaturan zonasi pada sistem jaringan sumber daya air sebagaimana
dimaksud dalam pasal 48 ayat (2) huruf e, meliputi :
a. pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar wilayah sungai dengan tetap menjaga
kelestarian lingkungan dan fungsi lindung kawasan;
b. ketentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang dimaksud untuk
pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air;
c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman rekreasi; dan
43

d. penetapan lebar sempadan sungai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-


undangan.

Pasal 54

Ketentuan umum pengaturan zonasi untuk sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana


dimaksud dalam pasal 48 ayat (2) huruf f, meliputi:
a. disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk penempatan menara
pemancar telekomunikasi yang memperhitungkan aspek keamanan dan keselamatan
aktifitas kawasan disekitarnya; dan
b. pengaturan dan pembatasan menara telekomunikasi sesuai dengan masterplan BTS
yang ditetapkan melalui peraturan bupati.

Pasal 55

Ketentuan umum pengaturan zonasi pada sistem prasarana lingkungan sebagaimana


dimaksud dalam pasal 48 ayat (2) huruf g, meliputi :
a. arahan pengembangan sistem prasarana lingkungan yang digunakan lintas wilayah
secara administratif dengan kerjasama antar wilayah dalam hal pengelolaan dan
penanggulangan masalah sampah terutama di wilayah perkotaan;
b. pemberdayaan masyarakat untuk pengelolaan sampah 3R, komunal dan komposting;
c. pemilihan lokasi untuk prasarana lingkungan harus sesuai dengan daya dukung
lingkungan;
d. pengalokasian Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sesuai dengan persyaratan teknis;
e. pengolahan dilaksanakan dengan teknologi ramah lingkungan sesuai dengan kaidah
teknis dan dengan konsep 3R;
f. pemilihan lokasi untuk prasarana lingkungan harus sesuai dengan daya dukung
lingkungan;
g. penyediaan ruang untuk TPS dan/atau TPA terpadu;
h. penerapan pengelolaan Iimbah non B3 terbentuk didasarkan atas konsep cradle-to
grave dan mendorong industri penghasil limbah untuk mengolah, mendaur ulang
dengan menerapkan teknik pengelolaan Iimbah berbahaya sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku; dan
i. peningkatan kemampuan institusional dalam memberi fungsi bagi pencemar,
pemberlakuan secara ketat tentang baku mutu Iingkungan.

Pasal 56

(1) ketentuan umum pengaturan zonasi pada kawasan lindung daerah sebagaimana
dimaksud dalam pasal 48 ayat (2) huruf h, meliputi:
a. kawasan hutan lindung;
b. kawasan resapan air;
c. kawasan sempadan sungai dan kawasan sekitar danau/waduk;
d. kawasan sempadan mata air;
e. Kawasan sempadan pantai dan pantai berhutan bakau;
f. kawasan cagar alam;
g. kawasan pantai dan pantai berhutan bakau;
h. kawasan taman wisata alam laut;
i. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;
j. kawasan rawan tanah longsor;
k. kawasan rawan banjir;
l. kawasan rawan abrasi pantai;
m. kawasan rawan gempa bumi dan gunung berapi dan
n. ruang terbuka hijau kota.
44

(2) ketentuan umum pengaturan zonasi kawasan hutan lindung kabupaten sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi sebagai berikut :
a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah bentang alam;
b. pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan hutan dan
tutupan vegetasi;
c. penetapan larangan untuk melakukan berbagai usaha dan/atau kegiatan kecuali
berbagai usaha dan/atau kegiatan penunjang kawasan lindung yang tidak
mengganggu fungsi alam dan tidak mengubah bentang alam serta ekosistem alam;
d. pengaturan berbagai usaha dan/atau kegiatan yang tetap dapat mempertahankan
fungsi lindung;
e. pencegahan berkembangnya berbagai usaha dan/atau kegiatan yang mengganggu
fungsi lindung; dan
f. peningkatan fungsi lindung pada area yang telah mengalami alih fungsi melalui
pengembangan vegetasi tegangan tinggi yang mampu memberikan perlindungan
terhadap permukaan tanah dan mampu meresapkan air;
g. perluasan hutan lindung di wilayah yang bertopografi terjal, terutama pada area yang
mengalami alih fungsi sehingga pola ini memiliki kemampuan perlindungan;
h. meningkatkan kegiatan pariwisata alam (misalnya mendaki gunung, out bond,
camping), sekaligus menanamkan gerakan cinta alam;
i. pengembalian berbagai rona awal sehingga kehidupan satwa langka dan dilindungi
dapat lestari;
j. percepatan rehabilitasi lahan yang mengalami kerusakan; dan
k. peningkatan fungsi lahan melalui pengembangan hutan rakyat yang memberikan
nilai ekonomi melalui pengambilan hasil buah bukan kayu.
l. penerapan ketentuan-ketentuan untuk mengembalikan fungsi lindung kawasan
secara bertahap dan berkelanjutan sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku.
(3) ketentuan umum pengaturan zonasi untuk kawasan resapan air sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budi daya tidak terbangun yang
memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan;
b. penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada;
c. penerapan prinsip zero delta Q policy terhadap setiap kegiatan budi daya terbangun
yang diajukan izinnya;
d. peningkatan fungsi lindung pada area yang telah mengalami alih fungsi melalui
pengembangan vegetasi tegakan tinggi;
e. pelestarian hutan pada kawasan hulu sampai dengan hilir;
f. percepatan rehabilitasi lahan yang mengalami kerusakan; dan
g. pengolahan tanah secara teknis dan vegetasi sehingga kawasan ini memberikan
kemampuan peresapan air yang lebih tinggi.
(4) ketentuan umum pengaturan zonasi untuk sempadan sungai dan kawasan sekitar
danau/waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
a. mempertahankan sempadan sungai sehingga terhindar dari erosi dan kerusakan
kualitas air sungai;
b. pencegahan dan pengendalian kegiatan budidaya di sepanjang sungai yang dapat
mengganggu atau merusak kualitas air sungai;
c. mempertahankan sempadan sungai sehingga terhindar dari erosi dan kerusakan
kualitas air sungai;
d. pengendalian terhadap kegiatan yang telah ada di sepanjang sungai agar tidak
berkembang lebih jauh;
e. melarang pembuangan limbah industri ke sungai.
f. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;
g. petentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang dimaksudkan
untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air;
45

h. perlindungan sekitar waduk untuk kegiatan yang menyebabkan alih fungsi lindung
dan menyebabkan kerusakan kualitas sumber air;
i. waduk yang digunakan untuk pariwisata diijinkan membangun selama tidak
mengurangi kualitas tata air yang ada;
j. membatasi dan tidak boleh menggunakan lahan secara langsung untuk bangunan
yang tidak berhubungan dengan konservasi waduk;
k. peningkatan fungsi lindung pada area yang telah mengalami alih fungsi melalui
pengembangan vegetasi tegakan tinggi yang mampu memberikan perlindungan
terhadap permukaan tanah dan mampu meresapkan air ke dalam tanah;
l. mengoptimalkan fungsi lahan melalui pengembangan hutan;
m. pengolahan tanah secara teknis dan vegetative sehingga kawasan ini memberikan
kemampuan peresapan air yang lebih tinggi; dan
n. penetapan lebar sempadan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(5) ketentuan umum pengaturan zonasi untuk kawasan sempadan mata air sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:
a. pengembangan tanaman perdu, tanaman tegakan tinggi, dan penutup tanah untuk
melindungi pencemaran dan erosi terhadap air;
b. membatasi dan tidak boleh menggunakan lahan secara langsung untuk bangunan
yang tidak berhubungan dengan konservasi mata air;
c. perlindungan sekitar mata air untuk kegiatan yang menyebabkan alih fungsi lindung
dan menyebabkan kerusakan kualitas sumber air;
d. pembuatan sistem saluran bila sumber dimanfaatkan untuk air minum atau irigasi;
e. selain sebagai sumber air minum dan irigasi, juga digunakan untuk pariwisata,
dimana peruntukkannya diijinkan selama tidak mengurangi kualitas tata air yang ada;
f. pengembangan tanaman perdu, tanaman tegakan tinggi, dan penutup tanah untuk
melindungi pencemaran dan erosi terhadap air; dan
g. membatasi dan tidak boleh menggunakan lahan secara langsung untuk bangunan
yang tidak berhubungan dengan konservasi mata air;
h. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; dan
i. pelarangan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran terhadap mata air.
(6) ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sempadan pantai dan pantai berhutan
bakau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. melarang kegiatan budidaya yang dapat mengganggu kelestarian fungsi pantai,
merusak kualitas air, kondisi fisik dan dasar pantai;
b. mengembangkan terumbu karang buatan untuk meningkatkan fungsi ekologis pesisir;
c. kawasan sempadan yang memiliki fungsi sebagai kawasan budidaya
pengembangannya harus sesuai dengan peruntukan lahan yang telah ditentukan
dalam rencana tata ruang kawasan pesisir;
d. memantapkan kawasan lindung di daratan untuk menunjang kelestarian kawasan
lindung pantai;
e. bangunan yang boleh ada di sempadan pantai antara lain dermaga, menara
pengawas keselamatan pengunjung pantai;
f. pemanfaatan ruang untuk kegiatan yang mampu melindungi atau memperkuat
perlindungan sempadan pantai dari abrasi dan ilfitrasi air laut kedalam tanah;
g. Pemanfaatan ruang untuk kegiatan sarana dan prasarana yang mendukung
transportasi laut;
h. menjadikan kawasan lindung sepanjang pantai yang memiliki nilai ekologis sebagai
obyek wisata dan penelitian;
i. penunjukkan, penatabatasan dan pengukuhan ekosistem mangrove sesuai dengan
fungsi dan tata ruangnya;
j. perlindungan ekosistem mangrove dari perusakan, gangguan, ancaman, hama dan
penyakit;
k. pengembangan kawasan pantai berhutan bakau harus disertai dengan pengendalian
pemanfaatan ruang; dan
46

l. koefisien dasar kegiatan budidaya terhadap luas hutan bakau maksimum 30 %.


(7) ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan cagar alam sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf f meliputi:
a. pengawasan dan pemantauan secara berkelanjutan untuk mengatasi meluasnya
kerusakan terhadap ekosistemnya;
b. pengembangan pariwisata diizinkan dengan tidak mengurangi fungsi perlindungan;
c. pengembangan kawasan cagar alam untuk perlindungan plasma nutfah;
d. program pengelolaan, hutan kemasyarakatan dengan konsep berkelanjutan dan
konsep desa hutan; dan
e. program pengelolaan hutan bersama masyarakat dengan tujuan memberikan
pemahaman tentang pentingnya hutan selain mempunyai fungsi ekologis juga secara
tidak langsung memiliki nilai ekonomis.
(8) ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan pantai dan pantai berhutan bakau
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g meliputi:
a. penyelamatan dan pengamanan kawasan mangrove yang telah ditetapkan sebagai
hutan lindung, cagar alam, suaka margasatwa dan hutan lindung;
b. inventarisasi dan evaluasi potensi, lokasi dan penyebaran ekosistem mangrove;
c. penunjukkan, penatabatasan dan pengukuhan ekosistem mangrove sesuai dengan
fungsi dan tata ruangnya;
d. rehabilitasi ekosistem mangrove yang mengalami degradasi;
e. perlindungan ekosistem mangrove dari perusakan, gangguan, ancaman, hama dan
penyakit;
f. pengembangan kawasan panati berhutan bakau harus disertai dengan pengendalian
pemanfaatan ruang; dan
g. koefisien dasar kegiatan budidaya terhadap luas hutan bakau maksimum 30 %.
(9) ketentuan umum peraturan zonasi untuk taman wisata alam laut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf h meliputi:
a. taman wisata alam laut harus dilestarikan untuk peningkatan kualitas lingkungan
sekitarnya dan perlindungan dari pencemaran untuk menjamin berlangsungnya
fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa;
b. taman wisata alam laut memiliki nilai wisata dan penelitian/pendidikan, sehingga
diperlukan pengembangan jalur wisata yang menjadikan lokasi obyek wisata alam
sebagai salah satu obyek wisata yang menarik dan menjadi salah satu tujuan atau
obyek penelitian dan pendidikan; dan
c. penerapan sistem insentif bagi pemanfaatan kawasan obyek wisata alam yang
sesuai dengan fungsinya dan memberikan disinsentif bagi kawasan obyek wisata
alam yang tidak sesuai dengan fungsinya.Perlindungan lingkungan dari pencemaran;
dan
d. pelestarian taman wisata alam laut disehingga dapat menunjang kehidupan flora dan
fauna yang hidup di daerah tersebut.
(10) peraturan zonasi untuk kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf i, meliputi:
a. pemanfaatan untuk penelitian, pendidikan, dan pariwisata;
b. pelarangan kegiatan dan pendirian bangunan yang tidak sesuai dengan fungsi
kawasan;
c. pada kawasan sekitar benda cagar budaya harus dikonservasi untuk kelesrarian dan
keserasian benda cagar budaya, berupa pembatasan pembangunan, pembatasan
ketinggian, dan menjadikan benda cagar budaya tetap terlihat dari berbagai sudut
pandang;
d. dapat dilakukan pengembangan jalur wisata yang dapat dijadikan sebagai salah satu
obyek wisata yang menarik dan menjadi salah satu tujuan atau obyek penelitian
benda purbakala dan tujuan pendidikan dasar-menengah selama tidak merusak
benda cagar budaya dan ilmu pengetahuan;
47

e. benda cagar budaya berupa bangunan yang fungsional, harus dikonservasi dan
direhabilitasi bagi bangunan yang sudah mulai rusak;
f. penerapan sistem insentif bagi bangunan yang dilestarikan dan pemberlakuan
sistem disinsentif bagi bangunan yang mengalami perubahan fungsi; dan.
g. kawasan sekitar benda cagar alam harus dikonservasi untuk kelestarian dan
keserasian benda cagar budaya; dan
h. benda cagar budaya berupa bangunan yang fungsional, harus dikonservasi dan
direhabilitasi bagi bangunan yang sudah mulai rusak.
(11) peraturan zonasi untuk kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf j, meliputi:
a. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman
bencana;
b. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman
bencana;
c. dalam pemanfaatan ruang zona berpotensi longsor harus memperhitungkan daya
dukung lahan, tingkat kerawanan dan atau tingkat risiko terjadinya longsor;
d. tidak diizinkan atau dihentikan kegiatan yang mengganggu fungsi lindung kawasan
rawan bencana longsor dengan tingkat kerawanan tinggi;
e. mengembalikan fungsi lindung pada hutan lindung melalui sistem vegetatif dengan
memperhatikan kaidah konservatif;
f. pengendalian pemanfaatan ruang zona berpotensi longsor dilakukan dengan
mencermati konsistensi kesesuaian antara pemanfaatan ruang dengan rencana tata
ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan strategis atau rencana detail
tata ruang;
g. dalam pemanfaatan ruang zona berpotensi longsor harus memperhitungkan tingkat
kerawanan/tingkat risiko terjadinya longsor dan daya dukung lahan/tanah;
h. tidak diizinkan atau dihentikan kegiatan yang mengganggu fungsi lindung kawasan
rawan bencana longsor dengan tingkat kerawanan/ tingkat risiko tinggi terhadap
kawasan demikian mutlak dilindungi dan dipertahankan bahkan ditingkatkan fungsi
lindungnya; dan
i. kawasan yang tidak terganggu fungsi lindungnya dapat diperuntukkan bagi kegiatan-
kegiatan pemanfaatan ruang dengan persyaratan yang ketat; dan
j. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman
bencana dan kepentingan umum.
(12) untuk kawasan rawan banjir peraturan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf k, meliputi:
a. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman
bencana;
b. penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk;
c. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman
bencana dan kepentingan umum;
d. melestarikan kawasan lindung dan kawasan hulu sungai;
e. pembuatan sumur resapan di kawasan perkotaan dan perdesaan, kawasan pertanian
yang dilengkapi dengan embung, bendung maupun cek dam, pembuatan bendungan
baru;
f. membuat saluran pembuangan yang terkoneksi dengan baik pada jaringan primer,
sekunder maupun tersier, serta tidak menyatukan fungsi irigasi untuk drainase.
g. penetapan batas dataran banjir;
h. pemanfaatan dataran banjir bagi ruang terbuka hijau dan pembangunan fasilitas
umum dengan kepadatan rendah; dan
i. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang bagi kegiatan permukiman dan fasilitas
umum penting lainnya.
(13) ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan abrasi pantai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf l meliputi:
48

a. pengembangan dengan pendekatan rekayasa struktur dengan cara sistem polder,


bangunan pemecah gelombang, penurapan;
b. pengembangan dengan pendekatan rekayasa non struktur dengan cara
merehabilitasi hutan mangrove di daerah pesisir;
c. pemanfaatan ruang kawasan rawan abrasi mempertimbangkan karakteristik, jenis,
ancaman bencana abrasi dan teknologi serta zonasi sempadan pantai; dan
d. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman
bencana dan kepentingan umum.
(14) peraturan zonasi untuk kawasan rawan gempa bumi dan gunung berapi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf m, meliputi:
a. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan gempa bumi dilakukan dengan
mencermati konsistensi kesesuaian antara pemanfaatan ruang dengan rencana tata
ruang kawasan strategis atau rencana detail tata ruang;
b. menyediakan jalur evakuasi dan ruang evakuasi bencana;
c. dalam peruntukan ruang kawasan rawan gempa bumi harus memperhitungkan
tingkat risiko;
d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan gempa bumi dan letusan gunung
berapi dilakukan dengan mencermati konsistensi kesesuaian antara pemanfaatan
ruang dengan rencana tata ruang kawasan strategis atau rencana detail tata ruang;
e. menyediakan jalur evakuasi dan ruang evakuasi bencana di Desa Colo;
f. dalam peruntukan ruang kawasan rawan gempa bumi dan letusan gunung berapi
harus memperhitungkan tingkat risiko;
g. tidak diizinkan atau dihentikan kegiatan yang mengganggu fungsi lindung kawasan
rawan gempa bumi dan letusan gunung berapi dengan tingkat risiko tinggi terhadap
kawasan demikian mutlak dilindungi dan dipertahankan fungsi lindungnya.dan
h. tidak diizinkan atau dihentikan kegiatan yang mengganggu fungsi lindung kawasan
rawan gempa bumi dengan tingkat risiko tinggi terhadap kawasan demikian mutlak
dilindungi dan dipertahankan fungsi lindungnya.
(15) ketentuan umum pengaturan zonasi untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n, meliputi:
a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan rekreasi;
b. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk bangunan yang menunjang fungsi RTH;
c. penunjang kegiatan rekreasi dan fasilitas umum lainnya; dan
d. pelarangan pendirian bangunan permanen selain yang dimaksud diatas.

Pasal 57

(1) ketentuan umum pengaturan zonasi pada kawasan budidaya sebagaimana dimaksud
dalam pasal 48 ayat (2) huruf i, meliputi :
a. kawasan hutan produksi dan hutan rakyat;
b. kawasan peruntukan pertanian;
c. kawasan peruntukan perikanan;
d. kawasan peruntukan perkebunan;
e. kawasan peruntukan pertambangan;
f. kawasan peruntukan industri;
g. kawasan peruntukan pariwisata;
h. kawasan peruntukan permukiman; dan
i. kawasan Peruntukkan Lainnya.
(2) ketentuan umum Peraturan zonasi untuk kawasan hutan produksi dan hutan rakyat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, disusun dengan memperhatikan:
a. pengelolaan kawasan hutan produksi dengan pengembangan kegiatan tumpang sari
atau budidaya sejenis dengan tidak mengganggu tanaman pokok;
b. pengembangan dan diversifikasi penanaman jenis hutan sehingga memungkinkan
untuk diambil hasil non kayu;
49

c. beberapa hutan produksi yang ada ternyata menunjukkan adanya tingkat kerapatan
tegakan tanaman yang rendah sehingga harus dilakukan percepatan reboisasi;
d. pengelolaan kawasan hutan produksi dengan pengembangan kegiatan tumpang sari
atau budidaya sejenis dengan tidak mengganggu tanaman pokok;
e. peningkatan partisipasi masyarakat sekitar hutan melalui pengembangan hutan
kerakyatan;
f. pemantauan dan pengendalian kegiatan pengusahaan hutan serta gangguan
keamanan hutan lainnya;
g. pengembangan dan diversifikasi penanaman jenis hutan sehingga memungkinkan
untuk diambil hasil non kayu, seperti buah dan getah;
h. peningkatan fungsi ekologis melalui pengembangan sistem tebang pilih, tebang gilir
dan rotasi tanaman yang mendukung keseimbangan alam;
i. mengarahkan kawasan hutan produksi yang ada di kawasan perkotaan untuk
membentuk hutan kota;
j. peningkatan fungsi ekologis melalui pengembangan sistem tebang pilih, tebang gilir
dan rotasi tanaman yang mendukung keseimbangan alam;
k. pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kestabilan neraca sumber
daya kehutanan;
l. upaya pelestarian kawasan lindung, pengolahan hasil hutan secara terbatas melalui
hak penguasaan hutan kemasyarakatan;
m. peningkatan pembinaan masyarakat desa disekitar hutan oleh pemerintah daerah;
n. usaha peningkatan kualitas hutan dan lingkungan dengan pengembangan obyek
wisata alam yang berbasis pada pemanfaatan hutan.Pendirian bangunan dibatasi
hanya untuk menunjang kegiatan pemanfaatan hasil hutan; dan
o. pengembangan obyek wisata alam dizinkan selama berbasis pada pemanfaatan
hutan.
(3) ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertanian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. pada sawah beririgasi yang telah ditetapkan sebagai lahan pertanian tanaman
pangan berkelanjutan maka tidak boleh dilakukan alih fungsi;
b. pada kawasan perdesaan alih fungsi sawah diizinkan hanya pada sepanjang jalan
primer dengan besaran perubahan maksimum 20 % (dua puluh persen) dari luasan
sawah yang ada dengan syarat dilakukan peningkatan irigasi setengah teknis atau
sederhana menjadi irigasi teknis, setidaknya dua kali luasan sawah yang
dialihfungsikan;
c. peruntukan tegalan, kebun campur dan sawah tadah hujan boleh dialihfungsikan
untuk kawasan terbangun dengan berbagai fungsi, dengan syarat sesuai dengan
rencana detail tata ruang;
d. alih fungsi lahan tegalan menjadi kawasan terbangun diarahkan meningkatkan nilai
ekonomi ruang ataupun pemenuhan kebutuhan fasilitas dan berbagai sarana
masyarakat;
e. pemanfaatan ruang untuk permukiman petani dengan kepadatan rendah;
f. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan menjadi lahan budi daya non pertanian
kecuali untuk pembangunan sistem jaringan prasarana utama; dan
g. pelarangan terhadap kegiatan yang dapat merusak kualitas lingkungan.
(4) ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
a. pemanfaatan ruang untuk permukiman petani dan/atau nelayan dengan kepadatan
rendah;
b. mengendalikan dan membatasi metode dan penggunaan alat tangkap dalam rangka
mengendalikan pemanfaatan potensi perikanan tangkap khususnya jenis ikan
demersal diarahkan di kawasan yang padat;
c. mendorong pemanfaatan potensi perikanan melalui peningkatan teknologi dan
kemampuan armada perikanan;
d. pengembangan Pusat Pendaratan Ikan (PPI) dan Tempat Pendaratan Ikan (TPI);
50

e. pemberdayaan masyarakat pesisir dalam pengembangan dan pengelolaan


perikanan;
f. peningkatan sarana dan prasarana berupa Pelabuhan Perikanan;
g. pemanfaatan teknologi informasi untuk perikanan.
h. mengembangkan metode budidaya yang berbasis kelestarian sumberdaya pesisir;
i. membatasi dan merelokasi kawasan-kawasan budidaya lahan pantai dan pesisir
yang berada pada kawasan-kawasan berfungsi lindung dan dilindungi;
j. mengembangkan, meningkatkan dan mengoptimalkan kegiatan budidaya perikanan
di wilayah pesisir, berdasarkan potensi yang tersebar di wilayah utara;
k. pengembangan penerapan teknologi dalam kegiatan usaha budidaya perikanan;
l. mendorong dan meningkatkan bantuan permodalan usaha kepada kegiatan usaha
budidaya perikanan;
m. pemberdayaan masyarakat pesisir dalam pengembangan dan pengelolaan
perikanan;
n. penerapan dan sertifikasi cara budidaya ikan yang baik (CBIB);
o. pemanfaatan ruang untuk kawasan pemijahan dan/atau kawasan sabuk hijau; dan
p. pemanfaatan sumber daya perikanan agar tidak melebihi potensi lestari.
(5) ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan perkebunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, disusun dengan memperhatikan:
a. kawasan perkebunan tidak boleh dialihfungsikan untuk kegiatan yang lain, dan
dapat ditingkatkan perannya sebagai penunjang pariwisata dan penelitian;
b. peningkatan pemanfaatan kawasan perkebunan dilakukan melalui peningkatan
peran serta masyarakat yang tergabung dalam kawasan masing-masing;
c. penetapan komoditi tanaman tahunan selain mempertimbangkan kesesuaian lahan,
konservasi tanah dan air, juga perlu mempertimbangkan aspek sosial ekonomi,
keindahan/estetika dan keuangan;
d. pengembangan perkebunan dilakukan dengan mengembangkan industri
pengolahan hasil komoditi;
e. pengembangan fasilitas sentra produksi dan pemasaran pada pusat kegiatan
ekonomi di Ampana dan Wakai;
f. pengembangan perkebunan, misalnya merehabilitasi tanaman perkebunan yang
rusak atau pada area yang telah mengalami kerusakan yaitu mengembalikan fungsi
perkebunan yang telah berubah menjadi peruntukan lainnya, khususnya yang telah
berubah menjadi area pertanian tanaman pangan;
g. pengembangan kawasan-kawasan yang berpotensi untuk tanaman perkebunan
sesuai dengan rencana, seperti kelapa, kakao, cengkeh dan kopi;
h. pengembangan kawasan-kawasan potensi untuk pertanian pangan lahan kering;
i. pengembangan pasar produksi perkebunan; serta
j. pengolahan hasil perkebunan terutama dengan membentuk keterikatan antar
produk.
(6) ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertambangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, disusun dengan memperhatikan:
a. keseimbangan antara biaya dan manfaat serta keseimbangan antara resiko dan
manfaat;
b. pengembangan kawasan pertambangan dilakukan dengan mempertimbangkan
potensi bahan galian, kondisi geologi dan geohidrologi dalam kaitannya dengan
kelestarian lingkungan;
c. pembatasan aktivitas penambangan dengan menetapkan titik-titik yang tidak boleh
dilaksanakan penambangan pada masing-masing wilayah kecamatan;
d. jika aktivitas penambangan terpaksa dilakukan pada tanah perbukitan, maka
diupayakan agar tanah yang telah digali difungsikan dengan maksimal, misalnya
dengan alih fungsi tanah menjadi kegiatan pertanian atau perkebunan;
e. mengembangkan sistem teknologi tepat guna dan ramah lingkungan dalam kegiatan
eksploitasi penambangan sehingga tercapai efisiensi waktu dan tenaga serta dapat
memaksimalkan hasil penambangan;
51

f. mendatangkan ahli pertambangan untuk mengetahui kapasitas produksi tambang di


Kabupaten Tojo Una - Una, sehingga akan dapat ditentukan langkah penanganan
lebih lanjut jika bahan tambang telah habis, hal ini berkaitan dengan pengembangan
mata pencaharian baru bagi penambang jika suatu saat aktivitas penambangan telah
mencapai titik jenuh;
g. mengembangkan sistem pemasaran terpadu dengan mengembangkan kerjasama
antara pemodal besar dengan penambang yang bermodal kecil. Dalam hal ini
pemodal besar adalah sebagai penampung sekaligus memasarkan hasil tambang;
h. mengembangkan skala pemasaran hasil tambang, baik skala lokal, regional ataupun
nasional;
i. pengelolaan kawasan bekas penambangan harus direhabilitasi sesuai dengan zona
peruntukan yang ditetapkan, sehingga menjadi lahan yang dapat digunakan kembali
sebagai kawasan hijau, ataupun kegiatan budidaya lainnya dengan tetap
memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup;
j. setiap kegiatan usaha pertambangan harus menyimpan dan mengamankan tanah
atas untuk keperluan rehabilitasi lahan bekas penambangan;
k. pada kawasan yang teridentifikasi pertambangan yang bernilai ekonomi tinggi,
sementara pada bagian atas kawasan penambangan meliputi kawasan lindung atau
kawasan budidaya sawah yang tidak boleh alih fungsi, atau kawasan permukiman,
maka eksplorasi dan/atau eksploitasi tambang harus disertai AMDAL, kelayakan
secara lingkungan, sosial, fisik dan ekonomi terhadap pengaruhnya dalam jangka
panjang dan skala yang luas;
l. menghindari dan meminimalisir kemungkinan timbulnya dampak negatif dari
kegiatan sebelum, saat dan setelah kegiatan penambangan, sekaligus disertai
pengendalian yang ketat;
m. pemanfaatan lahan bekas tambang yang merupakan lahan marginal untuk
pengembangan komoditas lahan dan memiliki nilai ekonomi seperti tanaman jarak
pagar dan tanaman nilam.
n. pengembangan sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan pertambangan
yaitu pelabuhan pertambangan di arahkan di Kecamatan Tojo.
o. pengendalian dan/atau pembatasan terhadap kegiatan yang dapat mengganggu
kawasan sekitarnya; dan
p. pengaturan bangunan lain disekitar instalasi dan peralatan kegiatan pertambangan
yang berpotensi menimbulkan bahaya dengan memperhatikan kepentingan daerah.

(7) ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf f, disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan industri baik yang sesuai dengan kemampuan
penggunaan teknologi, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia di
wilayah sekitarnya;
b. pengembangan kawasan dilakukan dengan mempertimbangkan aspek ekologis,
memperhatikan daya dukung lahan dan tidak mengkonversi lahan pertanian secara
besar-besaran;
c. pengembangan kawasan harus didukung oleh adanya jalur hijau sebagai
penyangga antar fungsi bawahan;
d. pengembangan kawasan harus didukung oleh sarana dan prasarana industri;
e. pengembangan kegiatan industri berbasis sumberdaya lokal yang berkelanjutan;
f. industri yang dikembangkan memiliki keterkaitan proses produksi mulai dari industri
dasar/hulu dan industri hilir serta industri antara, yang dibentuk berdasarkan
pertimbangan efisiensi biaya produksi, biaya keseimbangan lingkungan dan biaya
aktifitas sosial;
g. setiap kegiatan industri sejauh mungkin menggunakan metoda atau teknologi
ramah lingkungan, dan harus dilengkapi dengan upaya pengelolaan terhadap
kemungkinan adanya bencana industri;
52

h. pengembangan kawasan sentra industri rumah tangga terutama pada kawasan


perdesaan dan perkotaan;
i. pengembangan fasilitas perekonomian berupa koperasi pada setiap pusat kegiatan
perkotaan dan perdesaan;
j. pengembangan ekonomi dan perdagangan dengan pengutamaan usaha kecil
menengah (UKM); dan
k. penetapan skenario ekonomi wilayah yang menunjukkan kemudahan dalam
berinvestasi dan Penjelasan tentang kepastian hukum yang menunjang investasi.
l. pembatasan pembangunan perumahan baru sekitar kawasan peruntukan industri.
(8) ketentuan umum Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf g, disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan potensi alam dan budaya masyarakat sesuai daya dukung dan daya
tampung lingkungan;
b. kegiatan wisata yang memanfaatkan potensi alam disesuaikan dengan daya
dukung lingkungan, daya tampung lingkungan dan norma-norma agama serta nilai-
nilai budaya masyarakat setempat;
c. pemugaran, pemeliharaan dan perlindungan terhadap bangunan atau situs
peninggalan kebudayaan masa lampau diintegrasikan dengan konsep perencanaan
dan pengembangan pariwisata;
d. kegiatan wisata harus menerapkan standar keselamatan pekerja, pengunjung dan
penduduk sekitar lokasi kepariwisataan;
e. perlindungan terhadap situs peninggalan kebudayaan masa lampau; dan
f. pembatasan pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan pariwisata.
(9) ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan permukiman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h, disusun dengan memperhatikan:
a. kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan harus dapat dijadikan sebagai
tempat hunian yang aman, nyaman dan produktif, serta didukung oleh sarana dan
prasarana permukiman;
b. setiap kawasan permukiman dilengkapi dengan sarana dan prasarana permukiman
sesuai hirarki dan tingkat pelayanan masing-masing;
c. permukiman perkotaan diarahkan pada penyediaan hunian yang layak dan dilayani
oleh sarana dan prasarana permukiman yang memadai;
d. pengembangan permukiman perkotaan besar dan menengah, diarahkan pada
penyediaan kasiba dan lisiba berdiri sendiri, perbaikan kualitas permukiman dan
pengembangan perumahan secara vertikal;
e. pengembangan permukiman perkotaan kecil dilakukan melalui pembentukan pusat
pelayanan kecamatan;
f. permukiman perdesaan sebagai hunian berbasis agraris, dikembangkan dengan
memanfaatkan lahan pertanian, halaman rumah, dan lahan kurang produktif sebagai
basis kegiatan usaha;
g. permukiman perdesaan yang berlokasi di pegunungan dikembangkan dengan
berbasis perkebunan dan hortikultura, disertai pengolahan hasil, permukiman
perdesaan yang berlokasi di dataran rendah, basis pengembangannya meliputi
pertanian tanaman pangan dan perikanan darat, serta pengolahan hasil pertanian;
h. membentuk klaster-klaster permukiman untuk menghindari penumpukan dan
penyatuan antar kawasan permukiman, dan diantara klaster permukiman disediakan
ruang terbuka hijau (RTH); dan
i. pengembangan permukiman kawasan khusus seperti penyediaan tempat
peristirahatan pada kawasan pariwisata, kawasan permukiman baru sebagai akibat
perkembangan infrastruktur, kegiatan sentra ekonomi, sekitar kawasan industri,
dilakukan dengan tetap memegang kaidah lingkungan hidup dan sesuai dengan
rencana tata ruang.Penetapan amplop bangunan;
j. pengembangan pada lahan yang sesuai dengan kriteria fisik, meliputi kemiringan
lereng, ketersediaan dan mutu sumber air bersih, bebas dari potensi banjir dan/atau
genangan;
53

k. pembatasan perkembangan kawasan terbangun yang berada atau berbatasan


dengan kawasan lindung;
l. prioritas pengembangan pada permukiman kepadatan rendah dengan peningkatan
pelayanan fasilitas permukiman;
m. pengembangan permukiman tidak terlepas dari kegiatan yang sudah ada, dan
didukung dengan sarana fasilitas permukiman yang memadai;
n. dalam perencanaan fasilitas sosialnya, diperlukan adanya perhitungan jumlah
penduduk yang ditampung yaitu dengan menggunakan standar; dan
o. kawasan peruntukkan permukiman dapat dikembangkan kegiatan industri kecil dan
menengah (IKM) yang tidak menimbulkan polusi.
(10) ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf i terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pengembangan sektor informal
meliputi:
1. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;
2. diperbolehkan pengembangan prasarana persampahan dan sanitasi
lingkungan; dan
3. tidak diperbolehkan terhadap bentuk bangunan yang merusak lingkungan.
b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pesisir disusun meliputi:
1. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan
ancaman bencana;
2. penetapan zona preservasi, konservasi, penyangga, dan zona pemanfaatan;
dan
3. tinjauan terhadap daya dukung lingkungan mengingat rentannya kawasan ini
terhadap kemungkinan perusakan lingkungan akibat kegiatan yang
berlangsung diatasnya.
c. ketentuan umum peraturan zonasi ruang dalam bumi meliputi:
1. wilayah karst harus dilindungi;
2. wilayah-wilayah yang sudah diketahui cadangannya dan/atau wilayah dan
secara legal telah ada izin atau kontraknya harus dilindungi secara hukum di
dalam tata ruang sebagai kawasan peruntukan pertambangan;
3. wilayah potensi bahan tambang diberikan alokasi ruang dalam bentuk wilayah
prospek usaha pertambangan sebagai arahan prospek pertambangan;
4. wilayah prospek pertambangan tidak dipengaruhi oleh kendala sektor budi daya
atau lindung lainnya, dan mengikuti ketentuan perundang-undangan yang
berlaku; dan
5. pengembangan wilayah pertambangan harus mengkaji antara aspek-aspek riil,
resiko, dan manfaat sebagaimana disyaratkan dalam peraturan perundangan.
d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertahanan negara meliputi:
1. penetapan zona penyangga yang memisahkan kawasan pertahanan keamanan
dengan kawasan budidaya terbangun;
2. penetapan kegiatan budidaya secara selektif di dalam dan di sekitar kawasan
untuk menjaga fungsi pertahanan keamanan; dan
3. pembatasan pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan pertahanan
dan keamanan.

Pasal 58

(1) ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan strategis daerah sebagaimana
dimaksud dalam pasal 48 ayat (2) huruf j, meliputi:
a. ketentuan umum peraturan zonasi Kawasan penunjang ekonomi;
b. ketentuan umum peraturan zonasi Kawasan sosio-kultural; dan
c. Ketentuan umum peraturan zonasi Kawasan yang memiliki fungsi lingkungan.
(2) ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan penunjang ekonomi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi sebagai berikut:
54

a. kawasan penunjang ekonomi dalam skala besar umumnya berupa kawasan


perkotaan, harus ditunjang sarana dan prasarana yang memadai sehingga
menimbulkan minat investasi yang besar;
b. pada setiap bagian dari kawasan strategis ekonomi ini harus diupayakan untuk
mengefisienkan perubahan fungsi ruang untuk kawasan terbangun melalui arahan
bangunan vertikal sesuai kondisi kawasan masing-masing;
c. pada kawasan strategis secara ekonomi ini harus dialokasikan ruang atau zona
secara khusus untuk industri, perdagangan – jasa dan jasa wisata perkotaan;
d. pada zona dimaksud harus dilengkapi dengan ruang terbuka hijau untuk
memberikan kesegaran ditengah kegiatan yang intensitasnya tinggi serta zona
tersebut harus tetap dipertahankan;
e. pada kawasan strategis ekonomi ini boleh diadakan perubahan ruang pada zona
yang bukan zona inti tetapi harus tetap mendukung fungsi utama kawasan sebagai
penggerak ekonomi dan boleh dilakukan tanpa merubah fungsi zona utama yang
telah ditetapkan;
f. perubahan atau penambahan fungsi ruang tertentu pada ruang terbuka di
kawasan ini boleh dilakukan sepanjang masih dalam batas ambang penyediaan
ruang terbuka (tetapi tidak boleh untuk RTH kawasan perkotaan);
g. dalam pengaturan kawasan strategis ekonomi ini zona yang dinilai penting tidak
boleh dilakukan perubahan fungsi dasarnya;
h. pada kawasan yang telah ditetapkan sebagai permukiman bila didekatnya akan
diubah menjadi fungsi lain yang kemungkinan akan mengganggu permukiman
harus disediakan fungsi penyangga sehingga fungsi zona tidak boleh
bertentangan secara langsung pada zona yang berdekatan; dan
i. untuk menjaga kenyamanan dan keamanan pergerakan maka pada kawasan
terbangun tidak boleh melakukan kegiatan pembangunan diluar area yang telah
ditetapkan sebagai bagian dari rumija atau ruwasja, termasuk melebihi ketinggian
bangunan seperti yang telah ditetapkan.
(3) ketentuan umum Peraturan zonasi pada kawasan sosio-kultural sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi sebagai berikut:
a. kawasan sosio-kultural meliputi kawasan peninggalan sejarah;
b. bila sekitar kawasan ini sudah terdapat bangunan misalnya perumahan harus
dibatasi pengembanganya;
c. untuk kepentingan pariwisata boleh ditambahkan fungsi penunjang atau atraksi
wisata yang saling menunjang tanpa menghilangkan identitas dan karakter
kawasan;
d. pada zona ini tidak boleh dilakukan perubahan dalam bentuk peningkatan kegiatan
atau perubahan ruang disekitarnya yang dimungkinkan dapat mengganggu fungsi
dasarnya;
e. penambahan fungsi tertentu pada suatu zona ini tidak boleh dilakukan untuk fungsi
yang bertentangan, misalnya perdagangan dan jasa yang tidak terkait museum
dan pariwisata; serta
f. pada sekitar zona ini bangunan tidak boleh melebihi ketinggian dua pertiga dari
bangunan bersejarah yang ada.
(4) ketentuan umum pengaturan zonasi pada kawasan yang memiliki fungsi lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi sebagai berikut:
a. pada kawasan ini yang termasuk dalam kategori zona inti harus dilindungi dan
tidak dilakukan perubahan yang dapat mengganggu fungsi lindung;
b. pada kawasan yang telah ditetapkan memiliki fungsi lingkungan dan terdapat
kerusakan baik pada zona inti maupun zona penunjang harus dilakukan
pengembalian ke rona awal sehingga kehidupan satwa langka dan dilindungi
dapat lestari;
c. untuk menunjang kelestarian dan mencegah kerusakan dalam jangka panjang
harus melakukan percepatan rehabilitasi lahan;
55

d. pada zona-zona ini boleh melakukan kegiatan pariwisata alam sekaligus


menanamkan gerakan cinta alam;
e. pada kawasan yang didalamnya terdapat zona terkait kemampuan tanahnya untuk
peresapan air maka boleh dan disarankan untuk pembuatan sumur-sumur
resapan;
f. pada kawasan hutan lindung yang memiliki nilai ekonomi tinggi atau fungsi
produksi tertentu boleh dimanfaatkan buah atau getahnya tetapi tidak boleh
mengambil kayu yang mengakibatkan kerusakan fungsi lindung;
g. pada zona ini tidak boleh melakukan alih fungsi lahan yang mengganggu fungsi
lindung apalagi bila didalamnya terdapat kehidupan berbagai satwa maupun
tanaman langka yang dilindungi; dan
h. pada zona inti maupun penunjang bila terlanjur untuk kegiatan budidaya
khususnya permukiman dan budidaya tanaman semusim, tidak boleh
dikembangkan lebih lanjut atau dibatasi dan secara bertahap dialihfungsikan
kembali ke zona lindung.

Bagian Ketiga
Ketentuan Perizinan

Pasal 59

(1) ketentuan perijinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf b adalah
proses administrasi dan teknis yang harus dipenuhi sebelum kegiatan pemanfaatan
ruang dilaksanakan, untuk menjamin kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana
tata ruang, mencakup izin prinsip, izin alih fungsi lahan, izin lokasi, Izin Penggunaan
Pemanfaatan Tanah (IPPT), izin mendirikan bangunan, dan izin lainnya.
(2) segala bentuk kegiatan dan pembangunan prasarana harus memperoleh ijin
pemanfaatan ruang yang mengacu pada RTRW Kabupaten.
(3) setiap orang atau badan hukum yang memerlukan tanah dalam rangka penanaman
modal wajib memperoleh ijin pemanfaatan ruang dari Bupati.
(4) pelaksanaan prosedur izin pemanfaatan ruang dilaksanakan oleh instansi yang
berwenang dengan mempertimbangkan rekomendasi hasil forum koordinasi Badan
Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD).

Paragraf 1
Izin Prinsip

Pasal 60

(1) izin prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 adalah persetujuan pendahuluan
yang diberikan kepada orang atau badan hukum untuk menanamkan modal atau
mengembangkan kegiatan atau pembangunan di wilayah kabupaten, yang sesuai
dengan arahan kebijakan dan alokasi penataan ruang wilayah.
(2) izin prinsip dipakai sebagai kelengkapan persyaratan teknis permohonan izin lainnya,
yaitu izin lokasi, izin penggunaan pemanfaatan tanah, izin mendirikan bangunan, dan izin
lainnya.
(3) ketentuan lebih lanjut mengenai izin prinsip akan ditetapkan dengan peraturan bupati.
56

Paragraf 2
Izin Alih Fungsi Lahan

Pasal 61

(1) ijin alih fungsi lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 adalah ijin yang diberikan
kepada orang atau badan hukum untuk mengubah peruntukan lahan dari fungsi lindung
ke budidaya, atau dari budidaya non terbangun menjadi budidaya terbangun;
(2) ijin alih fungsi lahan diperlukan pada lokasi yang belum memiliki rencana tata ruang rinci
dan peraturan zonasi, dan dilakukan sebelum atau bersamaan dengan proses ijin lokasi;
(3) ketentuan lebih lanjut mengenai izin alih fungsi lahan akan ditetapkan dengan peraturan
bupati.

Paragraf 3
Izin Lokasi

Pasal 62

(1) izin lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 adalah ijin yang diberikan kepada
perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal
yang berlaku pula sebagaiizin pemindahan hal, dan untuk menggunakan tanah tersebut
guna keperluan usaha penanaman modalnya.
(2) izin lokasi diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk luas 1 Hektar (satu hektar) sampai 25 Hektar (dua puluh lima hektar) diberikan
ijin selama 1 (satu) tahun;
b. untuk luas lebih dari 25 Hektar (dua puluh lima hektar) sampai dengan 50 Hektar
(lima puluh hektar) diberikan ijin selama 2 (dua) tahun; dan
c. untuk luas lebih dari 50 Hektar (lima puluh hektar) diberikan ijin selama 3 (tiga) tahun.
(3) ketentuan lebih lanjut mengenai izin lokasi akan ditetapkan dengan peraturan bupati.

Paragraf 4
Izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah

Pasal 63

(1) izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah (IPPT) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
adalah izin yang diberikan kepada pengusaha untuk tanah-tanah lainnya yang tidak
memrlukan izin lokasi kegiatan pemanfaatan ruang dengan kriteria batasan luasan tanah
lebih dari 5.000 m2 (lima ribu meter persegi) serta untuk pengendalian perugahan
penggunaan tanah.
(2) ketentuan lebih lanjut mengenai izin penggunaan pemanfaatan tanah akan ditetapkan
dengan peraturan bupati.

Paragraf 5
Izin Mendirikan Bangunan
Pasal 64
(1) izin Mendirikan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 adalah izin
yang diberikan kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah,
memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan
57

persyaratan administratif dan persyaratan teknis.


(2) ketentuan lebih lanjut mengenai izin mendirikan bangunan akan ditetapkan dengan
peraturan bupati

Paragraf 6
Izin Lainnya
Pasal 65

(1) izin lainnya terkait pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 adalah
ketentuan izin usaha pertambangan, perkebunan, pariwisata, industri, perdagangan dan
pengembangan sektoral lainnya, yang disyaratkan sesuai peraturan perundangan.
(2) izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan
peraturan daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya.
(3) izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan daerah ini berlaku dengan ketentuan:
a. untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut disesuaikan
dengan fungsi kawasan berdasarkan peraturan daerah ini
b. untuk yang telah dilaksanakan pembangunannya, pemanfaatan ruang dilakukan
sampai izin terkait habis masa berlakunya dan dilakukan penyesuaian dengan
fungsi kawasan berdasarkan peraturan daerah ini; dan
c. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak mungkin untuk
dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan peraturan daerah ini,
izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul
sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan pengganti yang layak.
(4) pemanfaatan ruang yang izinnya sudah habis dan tidak sesuai dengan peraturan daerah
ini dilakukan penyesuaian berdasarkan peraturan daerah ini.
(5) ketentuan lebih lanjut mengenai izin usaha pengembangan sektoral akan ditetapkan
dengan peraturan bupati.

Bagian Keempat
Ketentuan Insentif dan Disinsentif

Pasal 66

Insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) c diberikan oleh
pemerintah daerah sesuai kewenangannya dengan tetap menghormati hak masyarakat
sesuai ketentuan terhadap pelaksanaan kegiatan/ pemanfaatan ruang yang mendukung dan
tidak mendukung terwujudnya arahan RTRW Kabupaten.

Pasal 67

(1) insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 merupakan perangkat atau upaya untuk
memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata
ruang wilayah, berupa:
a. keringanan pajak atau retribusi, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan,
sewa ruang, dan penyertaan modal;
b. pembangunan atau penyediaan infrastruktur pendukung;
c. kemudahan prosedur perizinan; dan
58

d. pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau unsur pemerintah.


(2) disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 merupakan perangkat untuk
mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan
dengan rencana tata ruang wilayah, berupa:
a. pengenaan pajak atau retribusi yang tinggi, disesuaikan dengan besarnya biaya yang
dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang;
dan
b. pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, pencabutan hak-hak
atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya dan penalti.
(3) insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 diberikan oleh
pemerintah daerah kepada masyarakat secara perorangan maupun kelompok dan
badan hukum atau perusahaan swasta, serta unsur pemerintah di daerah.
(4) penggunaan dan pemanfaatan tanah yang menjadi tidak sesuai dengan penetapan
RTRW Kabupaten Tojo Una-Una, penyelesaiannya dilaksanakan secara koordinatif
dengan melibatkan masyarakat dan lembaga yang membidangi pertanahan.
(5) ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian insentif dan disinsentif
diatur dengan peraturan bupati.

Bagian Ke Lima
Arahan Pengenaan Sanksi

Pasal 68

(1) pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf d merupakan
tindakan penertiban yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi.
(2) dalam hal penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) pihak yang melakukan penyimpangan dapat dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) pengenaan sanksi tidak hanya diberikan kepada pemanfaat ruang yang tidak sesuai
dengan ketentuan perizinan pemanfaatan ruang tetapi dikenakan pula kepada pejabat
pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang.
(4) pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang dilengkapi
dengan izin maupun yang tidak memiliki izin dapat dikenai sanksi administratif atau
sanksi pidana dan/atau sanksi pidana denda sesuai ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 69

(1) sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (4) dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pencabutan izin;
f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau
i. denda administratif.
59

(2) pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a terdiri dari:
a. dilakukan melalui penerbitan surat peringatan secara tertulis dari pejabat yang
berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang; dan
b. surat peringatan tertulis diberikan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) kali.
(3) pengenaan sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. penertiban surat penghentian kegiatan sementara dari pejabat yang berwenang
melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
b. apabila pelanggar mengabaikan perintah penghentian kegiatan sementara, pejabat
yang berwenang melakukan penertiban dengan menerbitkan surat keputusan
pengenaan sanksi penghentian sementara secara paksa terhadap kegiatan
pemanfaatan ruang;
c. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dengan memberitahukan
kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi penghentian kegiatan pemanfaatan
ruang dan akan segera dilakukan tindakan penertiban oleh aparat penertiban;
d. pejabat yang berwenang melakukan penertiban dengan bantuan aparat penertiban
melakukan penghentian kegiatan pemanfaatan ruang secara paksa; dan
e. pejabat yang berwenang melakukan penertiban melakukan pengawasan sampai
dengan terpenuhinya kewajiban pelanggar untuk menyesuaikan pemanfaatan
ruangnya dengan rencana tata ruang dan/atau ketentuan teknis pemanfaatan ruang
yang berlaku.
(4) pengenaan sanksi administratif berupa penghentian sementara pelayanan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari:
a. penerbitan surat pemberitahuan penghentian sementara pelayanan umum dari
pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
b. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat
yang berwenang melakukan penertiban dengan menerbitkan surat keputusan
pengenaan sanksi penghentian sementara pelayanan umum kepada pelanggar
dengan memuat rincian jenis-jenis pelayanan umum yang akan diputus;
c. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dengan memberitahukan
kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi penghentian sementara pelayanan
umum yang akan segera dilaksanakan, disertai rincian jenis-jenis pelayanan umum
yang akan diputus;
d. pejabat yang berwenang menyampaikan perintah kepada penyedia jasa pelayanan
umum untuk menghentikan pelayanan kepada pelanggar disertai penjelasan
secukupnya; dan
e. pengawasan terhadap penerapan sanksi penghentian sementara pelayanan umum
sampai dengan pelanggar memenuhi kewajibannya untuk menyesuaikan
pemanfaatan ruangnya dengan rencana tata ruang dan ketentuan teknis
pemanfaatan ruang yang berlaku.
(5) pengenaan sanksi administratif berupa penutupan lokasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d terdiri dari:
a. penerbitan surat perintah penutupan lokasi dari pejabat yang berwenang melakukan
penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
b. apabila pelanggar mengabaikan surat perintah yang disampaikan, pejabat yang
berwenang melakukan penertiban menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi
penutupan lokasi kepada pelanggar;
c. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dengan memberitahukan
kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi penutupan lokasi yang akan segera
dilaksanakan;
d. berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang
melakukan penertiban dengan bantuan aparat penertiban melakukan penutupan
lokasi secara paksa; dan
60

e. pengawasan terhadap penerapan sanksi penutupan lokasi sampai dengan


pelanggar memenuhi kewajibannya untuk menyesuaikan pemanfaatan ruangnya
dengan rencana tata ruang dan ketentuan teknis pemanfaatan ruang yang berlaku.
(6) pengenaan sanksi administratif berupa pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e terdiri dari:
a. penerbitan surat pemberitahuan sekaligus pencabutan izin dari pejabat yang
berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
b. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat
yang berwenang melakukan penertiban menerbitkan surat keputusan pengenaan
sanksi pencabutan izin pemanfaatan ruang;
c. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban memberitahukan kepada
pelanggar mengenai pengenaan sanksi pencabutan izin;
d. pemberitahuan kepada pemanfaat ruang mengenai status izin yang telah dicabut
sekaligus perintah untuk secara permanen menghentikan kegiatan pemanfaatan
ruang yang telah dicabut izinnya; dan
e. apabila pelanggar mengabaikan perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan
yang telah dicabut izinnya, pejabat yang berwenang melakukan penertiban kegiatan
tanpa izin sesuai peraturan perundang-undangan.
(7) pengenaan sanksi administratif berupa pembatalan izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf f terdiri dari:
a. penerbitan lembar evaluasi yang berisikan perbedaan antara pemanfaatan ruang
menurut dokumen perizinan dengan arahan pola pemanfaatan ruang dalam rencana
tata ruang yang berlaku.
b. pemberitahuan kepada pihak yang memanfaatkan ruang perihal rencana
pembatalan izin;
c. penerbitan keputusan pembatalan izin oleh pejabat yang memiliki kewenangan untuk
melakukan pembatalan izin; dan
d. pemberitahuan kepada pemanfaat ruang mengenai status izin yang telah dibatalkan.
(8) pengenaan sanksi administratif berupa pembongkaran bangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf g terdiri dari:
a. penerbitan surat pemberitahuan perintah pembongkaran bangunan dari pejabat yang
berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
b. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat
yang berwenang melakukan penertiban menerbitkan surat keputusan pengenaan
sanksi pembongkaran bangunan;
c. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban memberitahukan kepada
pelanggar mengenai pengenaan sanksi pembongkaran bangunan; dan
d. berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang
melakukan tindakan penertiban dengan bantuan aparat penertiban melakukan
pembongkaran bangunan secara paksa.
(9) pengenaan sanksi administratif berupa pemulihan fungsi ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf h terdiri dari:
a. penetapan ketentuan pemulihan fungsi ruang yang berisi bagian-bagian yang harus
dipulihkan fungsinya berikut cara pemulihannya;
b. penerbitan surat pemberitahuan perintah pemulihan fungsi ruang dari pejabat yang
berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
c. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat
yang berwenang melakukan penertiban menerbitkan surat keputusan pengenaan
sanksi pemulihan fungsi ruang;
d. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban memberitahukan kepada
pelanggar mengenai pengenaan sanksi pemulihan fungsi ruang yang harus
dilaksanakan pelanggar dalam jangka waktu pelaksanaannya;
e. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban melakukan pengawasan
pelaksanaan kegiatan pemulihan fungsi ruang;
61

f.
apabila sampai jangka waktu yang ditentukan pelanggar belum melaksanakan
pemulihan fungsi ruang, pejabat yang bertanggung jawab melakukan tindakan
penertiban dapat melakukan tindakan paksa untuk melakukan pemulihan fungsi
ruang; dan
g. apabila pelanggar pada saat itu dinilai tidak mampu membiayai kegiatan pemulihan
fungsi ruang, pemerintah dapat mengajukan penetapan pengadilan agar pemulihan
dilakukan oleh pemerintah atas beban pelanggar di kemudian hari.
(10) pengenaan sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf i dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama sama dengan
pengenaan sanksi administratif.
(11) ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur
dalam peraturan daerah dan/atau peraturan bupati.

BAB VIII
KELEMBAGAAN

Pasal 70

(1) dalam rangka koordinasi penataan ruang dan kerjasama antar wilayah, dibentuk
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah.
(2) tugas, susunan organisasi dan tata kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Bupati.

BAB IX
HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Hak Masyarakat

Pasal 71
Dalam kegiatan mewujudkan penataan ruang wilayah, masyarakat berhak:
a. mengetahui rencana tata ruang;
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari penataan ruang wilayah;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan
kegiatan pembangunanyang sesuai dengan rencana tata ruang;
d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan pembatalan ijin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan
f. mengajukan gugatan ganti rugi kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila
kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang menimbulkan
kerugian.

Pasal 72
(1) untuk mengetahui RTRW Kabupaten dan rencana rincinya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 huruf a masyarakat dapat memperoleh melalui:
a. lembaran daerah kabupaten;
b. papan pengumuman di tempat-tempat umum;
c. penyebarluasan informasi melalui brosur;
d. instansi yang menangani penataan ruang; dan atau
e. Sistem Informasi Tata Ruang Wilayah (SITRW) Kabupaten.
(2) sistem Informasi Tata Ruang Wilayah (SITRW) Kabupaten dikembangkan secara
bertahap melalui berbagai media elektronik untuk mempermudah akses informasi tata
62

ruang dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam penataan ruang.

Pasal 73
(1) untuk menikmati manfaat ruang dan/atau pertambahan nilai ruang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 huruf b didasarkan pada hak atas dasar pemilikan,
penguasaan atau pemberian hak tertentu yang dimiliki masyarakat sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan, atau pun atas hukum adat dan kebiasaaan atas ruang
pada masyarakat setempat.
(2) kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang melembaga pada masyarakat secara turun
temurun dapat dilanjutkan sepanjang telah memperhatikan faktor daya dukung
lingkungan, estetika, struktur pemanfaatan ruang wilayah yang dituju, serta dapat
menjamin pemanfaatan ruang yang serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan.

Pasal 74

Dalam hal pengajuan keberatan, gugatan dan tuntutan pembatalan ijin, serta hak
memperoleh penggantian atas kegiatan pembangunan terkait pelaksanaan RTRW
Kabupaten, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c adalah hak masyarakat untuk:
a. mengajukan keberatan, tuntutan pembatalan ijin dan penghentian kegiatan kepada
pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten
dan rencana rincinya;
b. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang ijin apabila
kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten menimbulkan
kerugian; dan
c. mengajukan tuntutan pembatalan ijin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai
dengan RTRW Kabupaten kepada penjabat yang berwenang; dan
d. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan
kegiatan pembangunan yang sesuai dengan RTRW Kabupaten dan rencana rincinya.

Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat

Pasal 75

Dalam pemanfaatan ruang wilayah, setiap orang wajib:


a. menaati RTRW Kabupaten dan penjabarannya yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan ijin pemanfaatan ruang yang diperoleh;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan ijin pemanfaatan ruang; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan dinyatakan sebagai milik umum.

Pasal 76

(1) pemberian akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf d adalah untuk kawasan
milik umum, yang aksesibilitasnya memenuhi syarat:
a. untuk kepentingan masyarakat umum; dan
b. tidak ada akses lain menuju kawasan dimaksud.
(2) kawasan milik umum tersebut, diantaranya adalah sumber air, ruang terbuka publik dan
fasilitas umum lainnya sesuai ketentuan dan perundang-undang yang berlaku.

Pasal 77

(1) pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud


dalam pasal 67 dilaksanakan dengan mematuhi dan menerapkan kriteria, kaidah, baku
63

mutu dan aturan-aturan penataan ruang yang ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang dilakukan masyarakat secara turun temurun
dapat diterapkan sepanjang memperhatikan faktor-faktor daya dukung ingkungan,
estetika lingkungan, lokasi dan struktur pemanfaatan ruang serta dapat menjamin
pemanfaatan ruang yang serasi,selaras dan seimbang.

Bagian Ketiga
Peran Masyarakat
Pasal 78
peran masyarakat dalam penataan ruang di Daerah dilakukan antara lain melalui:
a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;
b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
Pasal 79
Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 78 ada tahap perencanaan
tata ruang dapat berupa:
a. memberikan masukan mengenai:
1. persiapan penyusunan rencana tata ruang;
2. penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan;
3. pengidentifikasian potensi dan masalah wilayah atau kawasan;
4. perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau
5. penetapan rencana tata ruang.
b. melakukan kerja sama dengan pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sesama unsur
masyarakat dalam perencanaan tata ruang.

Pasal 80
Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 78 dalam pemanfaatan
ruang dapat berupa:
a. masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang;
b. kerjasama dengan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat
dalam pemanfaatan ruang;
c. kegiatan memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan local dan rencana tata
ruang yang telah ditetapkan;
d. keningkatan efisiensi, efektifitas dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang
laut, ruang udara dan ruang didalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. kegiatan menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta memelihara dan
meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan
f. kegiatan investasi dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 81
Bentuk peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 78 dalam pengendalian
pemanfaatan ruang dapat berupa:
a. masukan terkait arahan dan/atau peraturan zonasi, perizinan,pemberian insentif dan
disinsentif serta pengenaan sanksi;
b. meikutsertaan dalam memantau dan mengawasi;
c. pelaksanaan rencana tata ruang yang telah ditetapkan
64

d. pelaporan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan
dugaan penyimpangan atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar
rencana tata ruang yang telah ditetapkan; dan
e. pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang terhdapa
pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

Pasal 82
(1) peran masyarakat di bidang penataan ruang dapat disampaikan secara langsung
dan/atau tertulis.
(2) peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat disampaikan kepada
Bupati.
(3) peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat disampaikan
melalui unit kerja terkait yang ditunjuk oleh Bupati.

Pasal 83
Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat, pemerintah daerah membangun sistem
informasi dan dokumentasi penataan ruang yang dapat diakses dengan mudah oleh
masyarakat.
Pasal 84
Pelaksanaan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.

BAB X
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 85
(1) penyelesaian sengketa penataan ruang pada tahap pertama diupayakan berdasarkan
prinsip musyawarah untuk mufakat.
(2) dalam hal penyelesaian sengketa dengan musyawarah tidak diperoleh kesepakatan,
para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau di
luar pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XI
KETENTUAN PIDANA

Pasal 86

Ketentuan pidana pada pelanggaran penataan ruang diberlakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

BAB XII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 87
Rencana tata ruang wilayah Kabupaten menjadi pedoman untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antar sektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan
f. penataan ruang kawasan strategis Kabupaten.
65

Pasal 88
(1) jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tojo Una-una adalah 20 (dua
puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(2) dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala
besar dan/atau perubahan batas teritorial wilayah yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tojo Una-una dapat
ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(3) peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga dilakukan apabila
terjadi perubahan kebijakan nasional dan strategi yang mempengaruhi pemanfaatan
ruang kabupaten dan/atau dinamika internal wilayah.
(4) Peraturan Daerah tentang RTRW Kabupaten Tojo Una-una tahun 2011-2031
dilengkapi dengan dokumen rencana dan album peta yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(5) dalam hal terdapat penetapan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan terhadap usulan
perubahan kawasan hutan yang belum mendapat persetujuan pada saat Peraturan
Daerah ini ditetapkan, maka dokumen rencana dan album peta sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) disesuaikan dengan peruntukan kawasan hutan berdasarkan surat
keputusan Menteri Kehutanan yang berlaku.
(6) hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai
teknis pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah, diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Bupati.

XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 89

(1) dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua peraturan pelaksanaan yang
berkaitan dengan penatan ruang Daerah yang telah ada dinyatakan berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini.
(2) dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka :
a. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan
Peraturan Daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya;
b. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan
Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan :
1. untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut disesuaikan
dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini;
2. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, dilakukan penyesuaian dengan
masa transisi berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan
3. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak memungkinkan untuk
dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini,
izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul
sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan penggantian yang layak;
c. pemanfaatan ruang di daerah yang diselenggarakan tanpa izin dan bertentangan
dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, akan ditertibkan dan disesuaikan dengan
Peraturan Daerah ini.
d. pemanfaatan ruang yang sesuai dengan ketetentuan Peraturan Daerah ini, agar
dipercepat untuk mendapatkan izin yang diperlukan.
66

XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 90
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini


dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Tojo Una - Una.

Ditetapkan di Ampana
pada tanggal 2012

BUPATI TOJO UNA-UNA,

Ttd + Cap

DAMSIK LADJALANI

Diundangkan di Ampana
pada tanggal 2012

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN TOJO UNA-UNA

Drs. SYAIFUL BAHRI L.


Pembina Utama Muda
Nip. 19640110 199103 1 009

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TOJO UNA-UNA


TAHUN NOMOR …………
67

XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 90
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini


dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Tojo Una - Una.

Ditetapkan di Ampana
pada tanggal 2012

BUPATI TOJO UNA-UNA,

DAMSIK LADJALANI
68
69

Anda mungkin juga menyukai