Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Kehamilan ektopik merupakan masalah yang besar bagi wanita yang

sedang dalam usia reproduktif. Hal ini merupakan hasil dari kesalahan dalam

fisiologi reproduksi manusia yang membiarkan hasil konseptus untuk

berimplantasi dan matang diluar kavitas endometrium, yang secara langsung akan

berakhir pada kematian fetus. Tanpa diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat,

kehamilan ektopik ini dapat menjadi keadaan yang membahayakan jiwa.

Kehamilan ektopik dapat mengalami abortus atau ruptur pada dinding tuba dan

peristiwa ini disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu.

Kehamilan ektopik menjadi penyebab utama kematian yang berhubungan

dengan kehamilan dalam trimester pertama kehamilan di Amerika Serikat.

Dengan terjadinya keadaan sakit yang tiba-tiba akibat kehamilan ektopik, masa

depan kemampuan wanita untuk hamil kembali dapat terpengaruh menjadi buruk.

Kehamilan ektopik pertama kali diungkapkan pada abad ke-11, dan,

sampai pertengahan abad ke-18, biasanya berakibat fatal. John Bard melaporkan

satu intervensi bedah yang berlangsung sukses untuk mengobati sebuah

kehamilan ektopik di New York pada tahun 1759. Angka keselamatan pada awal

abad ke-19 sangat kecil, satu laporan mengatakan hanya 5 dari 30 yang dapat

selamat dari operasi abdominal. Menariknya, angka keselamatan pasien yang

tidak diobati 1 dari 3.

1
Sebagai suatu keadaan yang mengancam kehidupan, kehamilan ektopik

menuntut para ahli kebidanan untuk mengetahui metoda-metoda pengobatan yang

mutakhir. Meskipun penatalaksanaan primer pada kehamilan ektopik adalah

dengan pembedahan, tetapi saat ini mulai dikembangkan penatalaksanaan dengan

obat-obatan yaitu dengan methotrexate. Metoda ini tampaknya efektif dan cukup

aman sehingga dapat menjadi metoda alternatif pada pengobatan kehamilan

ektopik. Tetapi tidak semua pasien yang didiagnosis dengan KET harus mendapat

terapi medisinalis dan terapi ini tidak 100% efektif.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Kehamilan ektopik adalah semua kehamilan dimana sel telur yang dibuahi

oleh spermatozoa berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uterus.1,2

Pada tahap awal perkembangannya, embrio dapat tumbuh dan berkembang

di dalam saluran tuba tetapi jika dibiarkan maka perkembangan embrio tersebut

dapat menyebabkan ruptura/pecahnya saluran tuba atau saluran telur tersebut

karena berkembang melebihi kapasitas ruang tempat implantasi. Jika ini terjadi

maka akan terjadi perdarahan hebat akibat ruptura saluran tersebut, perdarahan

tersebut akan mengumpul di dalam rongga perut seorang wanita dan jika

dibiarkan maka wanita tersebut akan meninggal karena perdarahan tidak diatasi,

hal ini disebut dengan kehamilan ektopik terganggu (KET). 3,4

Berdasarkan tempat implantasinnya, kehamilan ektopik dapat dibagi

dalam beberapa golongan:4

 Tuba Fallopii

 Uterus (diluar endometrium kavum uterus)

 Ovarium

 Intraligamenter

 Abdominal

 Kombinasi kehamilan didalam dan diluar uterus

3
Berdasarkan penggolongan diatas, maka kehamilan ektopik paling sering

terjadi di Tuba ( 97% ), yang mana 55% muncul di pars ampullaris, 25% di

isthmus, dan 17 % di fimbriae. Sisa 3 % berlokasi di uterus, ovarium, abdominal,

dan intraligamenter, dimana sekitar 2-2,5% muncul di kornua uterus.3,5,6

Gambar 1 : Lokasi terjadinya kehamilan ektopik

Ada beberapa pendapat yang menggolongkan kehamilan ekstrauterin,

namun pendapat ini tidaklah tepat karena kehamilan di kornu, servik uterus

termasuk dalam kehamilan ektopik.3,4

2. 2 EPIDEMIOLOGI

Insiden dari kehamilan ektopik digambarkan dalam berbagai macam cara

pada beberapa literature. Denominator yang paling umum digunakan adalah

jumlah konsepsi yang dikenali, yang mana digambarkan sebagai jumlah

kehamilan ektopik per 1000 konsepsi. Denominator lainnya adalah jumlah wanita

dalam usia produktif, yang digambarkan sebagai jumlah kehamilan ektopik per

10.000 wanita dalam rentang usia 14-44 tahun, dan jumlah total kelahiran yang

digambarkan sebagai jumlah kehamilan ektopik per 1000 kelahiran.

4
Akan sangat baik bila dapat menghitung insiden kehamilan ektopik per

1000 total konsepsi. Namun, bagaimanapun juga, sejak abortus spontaneous dan

banyak abortus yang direncanakan tidak dilaporkan, denominator itu selalu lebih

kecil dibandingkan dengan angka yang sebenarnya, dan juga sejak kehamilan

ektopik asimptomatis yang tidak diketahui sehingga tidak dilaporkan. Hal ini

mengakibatkan insiden kehamilan ektopik per 1000 total konsepsi yang

sebenarnya tidak akan dapat diukur secara tepat. Jumlah insiden yang dilaporkan

di literatur, bagaimanapun juga, merupakan perkiraan yang baik dan, sejak

metodologi yang digunakan sama , maka dapat dibandingkan secara tepat.7

Pada perkembangan terbaru, di Inggris, kehamilan ektopik masih

merupakan penyebab terbesar pada kematian ibu hamil trimester pertama. Hampir

32.000 kehamilan ektopik terjadi yang tercatat setiap tahunnya. Di Amerika

Serikat, jumlah kejadian setiap tahunnya menurun dari 58.178 pada tahun1992

menjadi 35.382 pada tahun 1999. Di Norwegia, diperkirakan angka kejadian ini

menurun seiring dengan menurunnya angka kejadian Pelvic Inflammatory

Disease (PID).8

Di Indonesia, berdasarkan laporan dari Biro Pusat Statistik Kesehatan

diketahui bahwa pada tahun 2007 terdapat 20 kasus setiap 1.000 kehamilan

menderita kehamilan ektopik atau 0,02%. (BPS Kesehatan, 2007). Di Rumah

Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2007 terdapat 153 kehamilan

ektopik diantara 4007 persalinan, atau 1 diantara 26 persalinan.9

2.3 ETIOLOGI

5
Etiologi kehamilan ektopik telah banyak diselidiki, namun sebagian besar

penyebabnya masih tidak diketahui. Pada tiap kehamilan akan dimulai dengan

pembuahan didalam ampulla tuba, dan dalam perjalanan kedalam uterus telur

mengalami hambatan sehingga pada saat nidasi masih berada di tuba, atau

nidasinya di tuba dipermudah.1,2,6

Resiko terjadinya kehamilan ektopik ini meningkat dengan adanya

beberapa faktor, termasuk riwayat infertilitas, riwayat kehamilan ektopik

sebelumnya, operasi pada tuba, infeksi pelvis, paparan Diethylstil-bestrol (DES),

penggunaan IUD, dan fertilisasi in vitro pada penyakit tuba. Faktor-faktor ini

mungkin berbagi mekanisme umum yang dapat berupa mekanisme anatomis,

fungsional, atau keduanya. Pastinya, sangat sulit untuk menilai penyebab dari

implantasi ektopik dengan tidak adanya alat pendeteksi kelainan tuba.

Normalnya, seperti disebut diatas, sel telur dibuahi di tuba fallopii dan

berjalan kedalam tuba ketempat implantasi. Mekanisme apapun yang mengganggu

fungsi normal dari tuba fallopii selama proses ini meningkatkan resiko terjadinya

kehamilan ektopik.6,10

Kehamilan ovarium dapat terjadi apabila spermatozoa memasuki folikel de

Graaf yang baru pecah dan membuahi sel telur yang masih tinggal dalam folikel,

atau apabila sel telur yang dibuahi bernidasi di daerah endometriosis di ovarium.

Kehamilan intraligamenter biasanya terjadi sekunder dari kehamilan tuba atau

kehamilan ovarial yang mengalami ruptur dan mudigah masuk di antara 2 lapisan

ligamentum latum. Kehamilan servikal berkaitan dengan faktor multiparitas yang

beriwayat pernah mengalami abortus atau operasi pada rahim termasuk seksio

6
sesarea. Sedangkan kehamilan abdominal biasanya terjadi sekunder dari

kehamilan tuba, walau ada yang primer terjadi di rongga abdomen.3

Secara ringkas dapat dipisahkan faktor-faktor pada tuba yang dapat

mendukung terjadinya kehamilan ektopik :2

1. Faktor dalam lumen tuba :

a) Endosalpingitis dapat menyebabkan perlengketan endosalping,

sehingga lumen tuba menyempit atau membentuk kantong buntu;

b) Lumen tuba sempit dan berlekuk-lekuk yang dapat terjadi pada

hipoplasia uteri. Hal ini dapat disertai kelainan fungsi silia

endosalping;

c) Lumen tuba sempit yang diakibatkan oleh operasi plastik tuba dan

sterilisasi yang tidak sempurna.

7
Gambar 2 : Gambaran mikroskopik dari saluran tuba

2. Faktor pada dinding tuba :

a) Endometriosis tuba, dapat memudahkan implantasi telur yang

dibuahi dalam tuba;

b) Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat

menahan telur yang dibuahi ditempat itu.

3. Faktor diluar dinding tuba :

8
a) Perlekatan peritubal dengan distorsi atau lekukan tuba dapat

menghambat perjalanan telur;

b) Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen

tuba.

4. Faktor lain :

a) Migrasi luar ovum, yaitu perjalanan dari ovum kanan ke tuba kiri-

atau sebaliknya- dapat memperpanjang perjalanan telur yang

dibuahi ke uterus. Pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat

menyebabkan implantasi premature;

b) Fertilisasi in vitro.

Diantara faktor-faktor tersebut diatas, salpingitis akut merupakan penyebab

utama.

Tempat keluar ovum pada ovulasi di ovarium juga disinyalir mempunyai

peran dalam kehamilan ektopik. Ovulasi yang berasal dari arah kontralateral dari

ovarium telah dianggap sebagai penyebab dari terlambatnya transport blastokist,

dan oleh Breen, dilaporkan bahwa ovulasi dari arah kontralateral ditemukan pada

sepertiga dari gestasi tuba yang diobati dengan laparatomi. Bagaimanapun juga,

Saito dkk. mengamati bahwa bagian dari tuba dimana terjadi implantasi pada

wanita dengan kehamilan ektopik adalah sama pada apakah korpus luteum berada

di ipsilateral atau kontralateral. Jika transmigrasi adalah salah satu faktor,

hipotesis dari mereka adalah ada banyak insiden terjadinya kehamilan di distal

tuba dengan ovulasi dari kontralateral ovarium.

Penyebab lain yang lebih fisiologik adalah ketidakseimbangan

hormonal, yang mana peningkatan kadar estrogen atau progesterone yang beredar

9
dapat merusak kontraktilitas normal tuba. Kenaikan rata-rata kehamilan ektopik

dilaporkan terjadi pada wanita yang digambarkan secara fisiologis dan

farmakologis mempunyai kadar progestin yang meningakat. Secara iatrogenik,

dapat terjadi peningkatan estrogen dan progesterone setelah induksi ovulasi baik

itu dengan clomiphene citrate atau human menopausal gonadotrophins, dan

dilaporkan terjadi kenaikan angka kehamilan ektopik pada wanita dengan

perlakuan seperti itu. Kemungkinan penyebab lainnya adalah perkembangan

embrionik yang abnormal. Stratford memeriksa 44 konseptus dari gestasi ektopik

dengan mikrodiseksi dan potongan histologik dan menemukan sekitar duapertiga

abnormal dan setengahnya mempunyai banormalitas structural umum. Kelainan

abnormal-abnormal ini dapat mengganggu transport normal di tuba.7

Tatum dan Schmidt menyimpulkan bahwa kehamilan yang mucul yang

dikarenakan kegagalan beberapa metode kontrasepsi mempunyai kesempatan

yang lebih besar untuk menjadi ektopik dibandingkan pada wanita yang hamil

karena tidak memakai alat kontrasepsi. Wanita yang menjadi hamil sewaktu

memakai IUD Copper T380 atau kontrasepsi oral progestin saja, mempunyai

kemungkinan 5% lebih tinggi untuk mengalami kehamilan ektopik. Wanita yang

menjadi hamil selama memakai progesterone-releasing IUD bahkan lebih tinggi,

sekitar 25%, bahkan bila dibandingkan dengan wanita yang tidak memakai alat

kontrasepsi sama sekali, kemungkinan terjadi kehamilan ektopik lebih besar dua

lipat. Hal ini disebabkan progesterone menghambat kontraksi tuba.

Walaupun pada banyak laporan yang mengatakan bahwa riwayat aborsi

yang diinduksi meningkatkan resiko terjadinya kehamilan ektopik, Levin dkk.

menunjukkan metode statistik yang digunakan untuk mengontrol efek dari faktor-

10
faktor resiko, riwayat dari satu aborsi yang diinduksi tidak meningkatkan secara

bermakna kemungkinan terjadi kehamilan ektopik. Efek itu baru akan nyata bila

sudah dua atau lebih aborsi.

2.4 PATOFISIOLOGI

Kebanyakan dari kehamilan ektopik berlokasi di tuba fallopii. Tempat

yang paling umum terjadi adalah pada pars ampullaris, sekitar 80 %. Kemudian

berturut-turut adalah isthmus (12%), fimbriae (5%), dan bagian kornu dan daerah

intersisial tuba (2%), dan seperti yang disebut pada bagian diatas, kehamilan

ektopik non tuba sangat jarang.1,2,7. Kehamilan pada daerah intersisial sering

berhubungan dengan kesakitan yang berat, karena baru mengeluarkan gejala yang

muncul lebih lama dari tipe yang lain, dan sulit di diagnosis, dan biasanya

menghasilkan perdarahan yang sangat banyak bila terjadi rupture.7

Proses implantasi ovum yang dibuahi, yang terjadi di tuba pada dasarnya

sama dengan halnya di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau

interkolumner. Pada yang pertama telur berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot

endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya

vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan diresorbsi. Pada nidasi secara

interkolumner telur bernidasi antara 2 jonjot endosalping. Setelah tempat nidasi

tertutup, maka telur dipisahkan dari lumen tuba oleh lapisan jaringan yang

menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena pembentukan

desidua di tuba tidak sempurna malahan kadang-kadang tidak tampak, dengan

mudah villi korialis menembus endosalping dan masuk dalam lapisan otot-otot

tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin

11
selanjutnya bergantung pada beberapa faktor, seperti tempat implantasi, tebalnya

dinding tuba, dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi trofoblas.

Dibawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum

gravidatis dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek, dan endometrium dapat

pula berubah menjadi desidua. Dapat ditemukan pula perubahan-perubahan pada

endometrium yang disebut fenomena Arias-Stella. Sel epitel membesar dengan

intinya hipertrofik, hiperkromatik, lobuler, dan berbentuk tidak teratur. Sitoplasma

sel dapat berlubang-lubang atau berbusa, dan kadang-kadang ditemukan mitosis.

Perubahan ini hanya terjadi pada sebagian kehamilan ektopik.

Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat terjadi pada kehamilan

ektopik dalam tuba. Karena tuba bukan merupakan tempat yang baik untuk

pertumbuhan hasil konsepsi, tidak mungkin janin dapat tumbuh secara utuh

seperti di uterus. Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan

antara 6 minggu sampai 10 minggu.2 Kemungkinan itu antara lain :2,11

1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi

Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena

vaskularisasi kurang, dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam

keadaan ini penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya saja yang

terlambat untuk beberapa hari.

2. Abortus tuba

Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah

oleh villi koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat

melepaskan mudigah dari koriales pada dinding tersebut bersama-sama

dengan robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian

12
atau seluruhnya, tergantung dari derajat perdarahan yang timbul. Bila

pelepasan menyeluruh, mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam

lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah kearah ostium tuba

abdominale. Frekuensi abortus dalam tuba tergantung pada implantasi

telur yang dibuahi. Abortus tuba lebih umum terjadi pada kehamilan tuba

pars ampullaris, sedangkan penembusan dinding tuba oleh villi koriales

kea rah peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan pars isthmika.

Perbedaan ini disebabkan karena lumen pars amoullaris lebih luas,

sehingga dapat mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi

dibandingkan dengan bagian isthmus dengan lumen sempit.

Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus,

perdarahan akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah, sampai

berubah menjadi mola kruenta. Perdarahan akan keluar melalui fimbriae

dan masuk rongga abdomen dan terkumpul secara khas di kavum Douglas

dan akan membentuk hematokel retrouterina. Bila fimbriae tertutup, tuba

fallopii dapat membesar karena darah dan membentuk hematosalping.

3. Ruptur tuba

Penyusupan, dan perluasan hasil konsepsi dapat mengakibatkan ruptur

pada saluran lahir pada beberapa tempat. Sebelum metode pengukuran

kadar korionik gonadotropin tersedia, banyak kasus kehamilan tuba

berakhir pada trimester pertama oleh rupture intraperitoneal. Pada kejadian

ini lebih sering terjadi bila ovum berimplantasi pada isthmus dan biasanya

muncul pada kehamilan muda, sedangkan bila berimplantasi di pars

13
intersisialis, maka muncul pada kehamilan yang lebih lanjut. Ruptur dapat

terjadi secara spontan, atau karena trauma ringan seperti koitus atau

pemeriksaan vagina.

Gambar 3 : Ruptur tuba

Ruptur sekunder dapat terjadi bila terjadi abortus dalam tuba dan

ostium tuba tertutup. Dalam hal ini dinding tuba yang sudah menipis

karena invasi dari trofoblas, akan pecah karena tekanan darah dalam tuba.

Kadang-kadang ruptur terjadi diarah ligamentum latum dan terbentuk

hematoma intraligamenter. Jika janin hidup terus, terdapat kehamilan

intraligamenter. Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar

dari tuba, tetapi bila robekan kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi

dikeluarkan dari tuba. Bila pasien tidak mati dan meninggal karena

perdarahan, nasib janin bergantung pada kerusakan yang diderita dan

tuanya kehamilan. Bila janin mati dan masih kecil, dapat diresorbsi

kembali, namun bila besar, kelak dapat diubah menjadi litopedion. Bila

janin yang dikeluarkan tidak mati dengan masih diselubungi oleh kantong

amnion dan dengan plasenta yang utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam

rongga abdomen sehingga terjadi kehamilan abdominal sekunder.

14
2.5 GAMBARAN KLINIK

Pada wanita dengan faktor resiko untuk kehamilan ektopik, dengan

penggunaan tes hormonal awal dan sonografi vagina, sekarang dimungkinkan

untuk menegakkan diagnosis dari kehamilan ektopik sebelum keluar gejala.

Namun, bila umur gestasi sudah meningkat dan perdarahan intraperitoneal muncul

karena keluarnya dari dari fimbriae atau ruptur, maka dapat timbul gejala. Bila

memang terjadi kehamilan ektopik namun belum muncul gejala, maka kita sebut

kehamilan ektopik belum terganggu.

Gambaran klinik klasik untuk kehamilan ektopik adalah trias kehamilan

ektopik yaitu, nyeri abdomen, amenore, dan perdarahan pervaginam. Gambaran

tersebut menjadi sangat penting dalam memikirkan diagnosis pada pasien yang

datang dengan kehamilan di trimester pertama. Namun sayangnya, hanya 50%

pasien dengan kehamilan ektopik ini yang menampilkan gejala-gejala tersebut

secara khas.1,2,4,5,7 Gejalanya antara lain, yaitu :

1.Terdapat tanda-tanda kehamilan muda

Seperti mual, muntah, uterus membesar dan lembek, yang mungkin tidak
sesuai dengan usia kehamilan.

2.Nyeri abdomen

Nyeri yang dapat dirasakan pada satu sisi atau kedua sisi perut bagian atas,
bawah, atau seluruh bagian perut. Nyeri yang diakibatkan ruptur tuba
berintensitas tinggi dan terjadi secara tiba-tiba. Penderita dapat jatuh

15
pingsan dan syok. Nyeri akibat abortus tuba tidak sehebat nyeri akibat
ruptur tuba, dan tidak terus-menerus. Pada awalnya nyeri terdapat pada
satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke rongga abdomen dan merangsang
peritoneum, nyeri menjadi menyeluruh.

3.Terlambat menstruasi atau Amenorhea

Keterlambatan menstruasi tergantung pada usia gestasi. Penderita mungkin


tidak menyangka bahwa dirinya hamil, atau menyangka dirinya hamil
normal, atau mengalami keguguran (abortus tuba). Sebagian penderita
tidak mengeluhkan keterlambatan haid karena kematian janin terjadi
sebelum haid berikutnya. Kadang-kadang pasien merasakan nyeri yang
menjalar ke bahu. Hal ini disebabkan iritasi diafragma oleh
hemoperitoneum.

4.Perdarahan pervagina

Perdarahan per vaginam berasal dari pelepasan desidua dari kavum uteri
dan dari abortus tuba. Umumnya perdarahan tidak banyak dan berwarna
coklat tua. Keterlambatan menstruasi tergantung pada usia gestasi.
Penderita mungkin tidak menyangka bahwa dirinya hamil, atau
menyangka dirinya hamil normal, atau mengalami keguguran (abortus
tuba). Sebagian penderita tidak mengeluhkan keterlambatan haid karena
kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya. Kadang-kadang pasien
merasakan nyeri yang menjalar ke bahu. Hal ini disebabkan iritasi
diafragma oleh hemoperitoneum.

5.Tanda-tanda syok

Penderita pucat, kesadaran menurun atau lemah, Nadi lemah, tekanan


darah menurun akibat kehilangan banyak darah.

6. Gangguan vasomotor

Berupa vertigo atau sinkop, payudara terasa penuh, fatigue.

16
7. Iritasi diafragma bila perdarahan intraperitoneal cukup banyak

Berupa kram yang berat dan nyeri pada bahu atau leher, terutama saat
inspirasi.

8.Pada pemeriksaan vaginal

Timbul nyeri jika serviks digerakkan, kavum douglas menonjol dan nyeri
pada perabaan.

9.Pada USG

Tampak kantong kehamilan dan denyut jantung janin di dalam tuba.

2.6 DIAGNOSIS

Kesukaran membuat diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik yang

belum terganggu sangat besar, sehingga pasien harus mengalami rupture atau

abortus dahulu sehingga menimbulkan gejala. Dalam menegakkan diagnosis,

dengan anamnesis yang teliti dapat dipikirkan kemungkinan adanya kehamilan

ektopik, namun untuk menegakkan diagnosis pasti harus dibantu dengan

pemeriksaan fisik yang cermat dan dibantu dengan alat bantu diagnostik.

Sekarang ini, peran alat bantu diagnostik sangatlah penting, dan sudah merupakan

17
sesuatu yang harus dilakukan,apabila memang tersedia, untuk menentukan

diagnosis.2

Anamnesis. Pada anamnesis biasanya didapatkan keluhan terlambat haid untuk

beberapa waktu dan kadang-kadang terdapat gejala subjektif kehamilan muda.

Terdapat nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu, dan kadang-kadang tenesmus.

Perdarahan pervaginam dapat terjadi, dan biasanya terjadi setelah muncul keluhan

nyeri perut bagian bawah, berapa jumlah perdarahannya, warna dari darahnya,

apakah mengalir seperti air atau hanya seperti tetesan saja, dan apakah keluar

gumpalan-gumpalan. Ditanyakan juga riwayat kehamilan sebelumnya, bila sudah

pernah hamil, riwayat menstruasinya.2,4

Pemeriksaan umum. Pada pemeriksaan umum, penderita dapat tampak pucat dan

kesakitan. Pada perdarahan dalam rongga perut aktif dapat ditemukan tanda-tanda

syok dan pasien merasakan nyeri perut yang mendadak. Pada jenis yang tidak

mendadak, mungkin hanya terlihat perut bagian bawah yang sedikit

menggembung dan nyeri tekan.2

Pemeriksaan ginekologi.

Pada pemeriksaan dalam mungkin ditemukan tanda-tanda kehamilan muda.

Perabaan serviks dan gerakkannya menyebabkan nyeri. Bila uterus dapat diraba,

maka akan teraba sedikit membesar dan kadang-kadang teraba tumor disamping

uterus dengan batas yang sukar ditentukan. Kavum Douglas juga teraba menonjol

dan nyeri raba yang menunjukkan adanya hematokel retrouterina. Kadang

terdapat suhu yang naik, sehingga menyulitkan perbedaan dengan infeksi pelvik.2,4

Pemeriksaan laboratorium.

18
Para dokter di ruang gawat darurat biasanya menggunakan beta-human chorionic

gonadotropin (β-hCG) untuk mendiagnosis kehamilan, dan untuk membantu

menentukan potensi pasien mengalami kehamilan ektopik. β-hCG diproduksi oleh

trofoblas dan dapat dideteksi dalam serum pada kira-kira 1 minggu sebelum haid

berikutnya. Jika serum β-hCG negatif, kemungkinan besar tidak terjadi

kehamilan. Hanya ada sedikit sekali kasus yang dilaporkan pasien dengan tes

serum β-hCG negative dengan kehamilan ektopik. Dinamika normal kenaikan

kadar β-hCG dua kali lipat kira-kira setiap 1,4 sampai 2,1 hari sampai mencapai

puncaknya 100.000 mIU/ml. kenaikan ini akan melambat bila sudah mencapai

nilai puncaknya, dan pada saat itu sudah harus dilakukan diagnosis dengan USG.

Pemeriksaan tunggal tes β-hCG kuantitatif ini berguna untuk mendiagnosis

kehamilan, namun tidak dapat membedakan antara kehamilan ektopik atau

kehamilan intrauterine. Pemeriksaan laboratorium umum lainnya adalah

pemeriksaan darah rutin untuk mengetahui kadar hemoglobin yang dapat rendah

bila terjadi perdarahan yang sudah lama. Juga dinilai kadar leukosit untuk

membedakan apakah terjadi infeksi yang bisa disebabkan oleh kehamilan ektopik

ini atau dugaan adanya infeksi pelvik. Pada infeksi pelvik biasanya lebih tinggi

hingga dapat lebih dari 20.000. 2,5

ALAT-ALAT BANTU DIAGNOSTIK

Diluar dari kemajuan teknologi sekarang ini, kehamilan ektopik sering

salah terdiagnosis pada saat kunjungan pertama pasien tentang keluhannya.

Diagnosis awal diperlukan untuk perawatan yang maksimal terhadap ketahanan

tuba dan mencegah potensi terjadinya perdarahan intraperitoneal. Atrash dkk.

19
Menemukan bahwa perdarahan menjadi penyebab terbesar (88%) kematian pada

kasus kehamilan ektopik. Pada saat ini, yang merupakan batu acuan untuk

mendiagnosis kehamilan ektopik adalah Transvaginal Ultrasonography dan

pemeriksaan kadar hCG serial. Transvaginal Ultrasonography sekarang ini telah

menggantikan posisi Laparaskopi karena lebih menguntungkan.9,10

Beberapa prosedur yang dapat digunakan untuk membantu mendiagnosis

kehamilan ektopik adalah berikut ini :1,7

 Kuldosentesis

Sebelum adanya perkembangan dari sonografi pelvis, terutama

transvaginal, kuldosentesis merupakan salah satu alat bantu diagnosis

yang penting untuk mengenali kehamilan ektopik. Penemuan hasil darah

yang tidak membeku pada kuldosentesis dan terutama bila hematokrit

lebih dari 15 % adalah bantuan yang amat berguna.

 Laparaskopi

Diagnosis definitif dari kehamilan ektopik dapat hampir selalu

ditegakkan dengan melihat organ pelvis secara langsung melalui

laparaskopi. Namun, dengan adanya hemoperitoneum, adhesi, atau

kegemukan dapat menjadi penyulit dari laparaskopi.

Gambar 4 : Tehnk laparaskopi

20
Dalam penelitian oleh Samuellson dan Sjovall, didapatkan ada 4 dari

166 kehamilan ektopik yang tidak dapat dilihat oleh laparaskopis karena

hal diatas, sehingga ada kemungkinan 2-5 % terjadi false-positif atau

false-negatif.

 Human Chorionic Gonadotrophin

Wanita dengan kehamilan ektopik menunjukan adanya kadar hCG dalam

serum, walaupun 85% diantaranya lebih rendah dibandingkan dengan

kadar hCG pada kehamilan normal. Uji hCG tunggal kuantitatif tidak

dapat digunakan untuk mendiagnosis kehamilan ektopik karena tanggal

pasti dari ovulasi dan konsepsi terjadi tidak diketahui pada banyak

wanita. Pada kehamilan yang abnormal seperti kehamilan ektopik ini,

kadar hCG biasanya tidak meningkat seperti seharusnya. Kadar dkk.

melaporkan bahwa jika persentase kenaikan kadar hCG tidak lebih dari

66%, maka kemungkinan seseorang untuk mempunyai kehamilan

abnormal tinggi.

 Progesteron

Karena pemeriksaan kadar hCG secara tunggal tidak dapat memberikan

informasi untuk mendiagnosis kehamilan ektopik, sehingga

membutuhkan beberapa hari untuk melakukan serial tes, maka

pengukuran kadar progesterone serum tunggal oleh beberapa kelompok

dapat dipakai untuk membedakan kehamilan ektopik dengan kehamilan

normal intrauterin. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa jumlah

progesterone yang dihasilkan korpus luteum pada kehamilan ektopik

21
lebih sedikit dibandingkan dengan korpus luteum pada kehamilan

normal. Stern dkk. mengukur sampel kadar progesterone pada beberapa

wanita hamil di minggu gestasi ke 4, 5, dan 6. Mereka melaporkan bahwa

pada minggu ke-4 dengan kadar kurang dari 5 ng/ml, sensitifitas yang

didapat 100% dan spesifitasnya 97% dan menurun seiring meningkatnya

umur gestasi. Bila kadar progesterone lebih dari 25 ng/ml menyingkirkan

kehamilan ektopik dengan kepastian 97,4%.

 Ultrasonography

Dengan menggunakan ultrasonografi abdominal, Kadar dkk. melaporkan

pada tahun 1981 bahwa jika level hCG lebih besar dari 6500 mIU/ml dan

tidak ada kantong gestasi pada uterus, hampir pasti kehamilan ektopik.

Tapi, teknik ini tidak berguna secara klinik, karena banyak wanita (90%)

dengan kehamilan ektopik mempunyai level hCG yang jauh dibawah

nilai diatas.

Perkembangan alat dengan transduser transvaginal dengan frekuensi 5.0

sampai 7.0 MHz, lebih mampu melihat lebih tepat organ pelvis pada awal

kehamilan dibandingkan transabdominal. Dengan alat ini biasanya

mungkin bisa untuk mengidentifikasi kantong gestasi intrauterine saat

kadar hCG mencapai 1500 mIU/ml dan selalu bila kadar hCG sudah

mencapai 2000 mIU/ml pada sekitar 5 atau 6 minggu setelah haid

terakhir. Karena kombinasi kehamilan intrauterine dan ekstrauterin

hampir merupakan kejadian yang jarang, maka penemuan kantong gestasi

intrauterine hampir selalu dapat menyingkirkan adanya kehamilan

ektopik. Bila kantong gestasi tidak ditemukan dan kadar hCG lebih dari

22
1500 mIU/ml, lebih mungkin terjadi kehamilan patologis, apakah itu

kehamilan ektopik, atau suatu gestasi intrauterine tidak viable, dan harus

dipikirkan kemungkinannya. Biasanya massa adneksa dan/atau struktur

yang menyerupai kantong gestasi dapat dikenali pada saluran telur saat

kehamilan ektopik muncul yang menghasilkan kadar hCG diatas 2500

mIU/ml.

Gambar 5 : Contoh gambaran USG kehamilan ektopik

Jadi kriteria diagnosis USG dengan menggunakkan transduser

transvagina untuk kehamilan ektopik termasuk : adanya komplek atau

massa kistik adneksa atau terlihatnya embrio di adneksa dapat dideteksi,

dan/atau tidak adanya kantong gestasi dimana diketahui bahwa usia

gestasi sudah lebih dari 38 hari, dan/atau kadar hCG diatas ambang

tertentu, biasanya antara 1500 dan 2500 mIU/ml.

 Dilatasi kuretase

Saat serum kadar hCG lebih dari 1500 mIU/ml, usia gestasi lebih dari 38

hari, atau serum kadar progesterone kurang dari 5 ng/ml dan tidak ada

kantong gestasi interauterin yang terlihat denga transvaginal USG,

kuretase kavum endometrial dengan pemeriksaan histologi pada jaringan

23
yang dikerok, dengan potong beku bila mau, dapat dikerjakan untuk

menentukan apakah ada jaringan gestasi. Spandorfer dkk. melaporkan

bahwa potong beku 93 % akurat dalam mengenali villi koriales. Jika

tidak ada jaringan villi koriales yang terlihat pada jaringan yang diangkat,

maka diagnosis kehamilan ektopik dapat dibuat dan dilakukan tindakan.

2.7 DIAGNOSIS BANDING

1. Appendisitis akut

Daerah yang lunak terletak lebih tinggi dan terlokalisir di fossa iliaka

kanan. Bisa ditemukan pembengkakkan bila ada abses apendiks,

namun tidak terletak dalam di pelvis seperti pada pembengkakan tuba.

Demam lebih tinggi dan pasien terlihat sakit berat. Tes kehamilan

menunjukkan hasil negatif.

2. Salpingitis

Terjadi pembengkakan dan pembesaran tuba bilateral, demam tinggi

dan tes kehamilan negatif. Dapat ditemukan getah serviks yang

purulen.

3. Torsi Tangkai Tumor Ovarium

Teraba massa yang terpisah dari uterus, sedangkan kehamilan tuba

umumnya terasa menempel pada uterus. Perut lunak dan mungkin

terdapat demam akibat perdarahan intraperitoneal. Tanda dan gejala

24
kehamilan mungkin tidak ditemukan namun ada riwayat serangan

nyeri berulang yang menghilang dengan sendirinya

4. Abortus Inkomplit

Gejala klinik yang dominan adalah perdarahan, umumnya terjadi

sebelum ada nyeri perut. Perdarahan berwarna merah, bukan coklat tua

seperti pada kehamilan ektopik. Nyeri perut umumnya bersifat kolik

dan kejang (kram). Uterus membesar dan lembek, terdapat dilatasi

serviks. Hasil konsepsi dapat dikenali dari pemeriksaan vagina

5. Corpus Lutheum Hemoragis

6. Pelvic Inflammatory Disease (PID) atau Radang Panggul

7. Endometriosis

2.8 PENATALAKSANAAN

Ada banyak opsi yang dapat dipilih dalam menangani kehamilan ektopik,

yaitu terapi bedah dan terapi obat. Ada juga pilihan tanpa terapi, namun hanya

bisa dilakukan pada pasien yang tidak menunjukkan gejala dan tidak ada bukti

adanya rupture atau ketidakstabilan hemodinamik. Namun pada pilihan ini pasien

harus bersedian diawasi secara lebih ketat dan sering dan harus menunjukkan

perkembangan yang baik. Pasien juga harus menerima segala resiko apabila

terjadi rupture harus dioperasi.2,9,6,11

TERAPI BEDAH

Sebagian besar wanita dengan kehamilan ektopik akan membutuhkan

tindakan bedah. Tindakan bedah ini dapat radikal (salpingektomi) atau konservatif

25
(biasanya salpingotomi) dan tindakan itu dilakukan dengan jalan laparaskopi atau

laparatomi. Laparatomi merupakan teknik yang lebih dipilih bila pasien secara

hemodinamik tidak stabil, operator yang tidak terlatih dengan laparaskopi,

fasilitas dan persediaan untuk melakukan laparaskopi kurang, atau ada hambatan

teknik untuk melakukan laparaskopi. Pada banyak kasus, pasien-pasien ini

membutuhkan salpingektomi karena kerusakan tuba yang banyak, hanya beberapa

kasus saja salpingotomi dapat dilakukan. Pada pasien kehamilan ektopik yang

hemodinamiknya stabil dan dikerjakan salpingotomi dapat dilakukan dengan

teknik laparaskopi. Salpingotomi laparaskopik diindikasikan pada pasien hamil

ektopik yang belum ruptur dan besarnya tidak lebih dari 5 cm pada diameter

transversa yang terlihat komplit melalui laparaskop.

Gambar 6 : Terapi bedah menggunakan tehnik laparatomi pada kehamilan ektopik

Linier salpingektomi pada laparaskopi atau laparatomi dikerjakan pada

pasien hamil ektopik yang belum rupture dengan menginsisi permukaan

antimesenterik dari tuba dengan kauter kecil, gunting, atau laser. Kemudian

26
diinjeksikan pitressin dilute untuk memperbaiki hemostasis. Gestasi ektopik

dikeluarkan secara perlahan melalui insisi dan tempat yang berdarah di kauter.

Pengkauteran yang banyak didalaam lumen tuba dapat mengakibatkan terjadinya

sumbatan, dan untuk itu dihindari. Penyembuhan secara sekunder atau dengan

menggunakan benang menghasilkan hasil yang sama. Tindakan ini baik untuk

pasien dengan tempat implantasi di ampulla tuba. Kehamilan ektopik ini

mempunyai kemungkinan invasi trofoblastik kedalam muskularis tuba yang lebih

kecil dibandingkan dengan implantasi pada isthmus.

Gambar 7 : Linear salpingektomi di permukaan antimesenterik tuba pada kehamilan ektopik di pars

ampullaris.

Pasien dengan implantasi pada isthmus akan mendapatkan hasil yang lebih

baik dari reseksi segmental dan anastomosis lanjut. Bagaimanapun juga, jika

27
diagnosis ditegakkan lebih awal, maka pada tempat idthmus dapat dilakukan

salpingotomi. Pada kehamilan ektopik yang berlokasi pada ujung fimbriae, dapat

dilakukan gerakan seeperti memeras (milking) untuk mengeluarkan jaringan

trofoblastik melalui fimbriae.

Gambar 8 : Kehamilan ektopik tuba kanan yang terlihat pada laparaskopi.

Tuba kanan yang membesar karena terdapat kehamilan ektopik ada disebelah kanan di E.

Tuba kiri yang tersumbat terlihat pada L- wanita ini pernah dilakukan ligasi tuba

Secara umum, perawatan pada laparaskopi lebih cepat dan lebih sedikit

waktu yang hilang dalam penanganannya dibandingkan laparatomi. Parsial atau

total salpingektomi laparaskopik mungkin dilakukan pada pasien dengan riwayat

penyakit tuba yang masih ada dan diketahui mempunyai faktor resiko untuk

kehamilan ektopik. Komplikasi bedah yang paling sering adalah kehamilan

ektopik berulang (5-20 %) dan pengangkatan jaringan trofoblastik yang tidak

komplit. Disarankan pemberian dosis tunggal methotrexate post operasi sebagai

profilaksis pada pasien resiko tinggi.6,11

28
TERAPI FARMAKOLOGI

Diagnosis dini yang telah dapat ditegakkan membuat pilihan pengobatan

dengan obat-obatan memungkinkan. Keuntungannya adalah dapat menghindari

tindakan bedah beserta segala resiko yang mengikutinya, mempertahankan patensi

dan fungsi tuba, dan biaya yang lebih murah. Zat-zat kimia yang telah diteliti

termasuk glukosa hiperosmolar, urea, zat sitotoksik ( misal: methotrexate dan

actinomycin ), prostaglandin, dan mifeproston (RU486). Disini akan dibahas lebih

jauh mengenai pemakaian methotrexate sebagai pilihan untuk terapi obat.

METHOTREXATE

Penggunaan methotrexate pertama kali direkomendasikan oleh Tanaka

dkk. untuk kehamilan pada intersisial. Kemudian diikuti oleh Miyazaki (1983)

dan Ory dkk. yang menggunakannya sebagai terapi garis pertama pada

kehamilan ektopik. Sejak itu banyak dilaporkan pemakaian methotrexate pada

berbagai jenis kehamilan ektopik yang berhasil. Lalu, dengan semakin banyaknya

keberhasilan memakai obat, maka mulai diperbandingkan pemakaian

methotrexate dengan terapi utama salpingostomi.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, agen yang paling banyak

dipelajari adalah methotrexate, suatu antagonis asam folat (agen kemoterapeutik

antimetabolit) yang dimetabolisme di hati dan diekskresikan oleh ginjal.

Methotrexate bekerja dengan menghambat sintesis basa purin dan pirimidin

dengan berikatan pada enzim dihidofolat reduktase, sehingga dapat

mengintervensi sintesis DNA dan multiplikasi sel. Sel-sel dengan tingkat

pembelahan tinggi paling sensitif terhadap methotrexate. Berdasarkan sifatnya,

29
obat ini bekerja pada jaringan trofoblastik, dan juga berefek pada mukosa bukal,

traktus gastrointestinal, kandung kemih, sumsum tulang dan kulit. Methotrexate

telah lama dikenal efektif dalam pengobatan leukemia, limfoma, dan karsinoma

kepala, leher, payudara, ovarium, dan kandung kemih.

30
Methotrexate juga digunakan sebagai agen imunosupresif untuk mencegah

reaksi graft vs host, untuk pengobatan psoriasis dan rheumatoid arthritis. Efek

samping terkait penggunaan methotrexate dapat dibagi menjadi dua, yaitu akibat

efek samping obat dan akibat terapi.

 Efek samping obat antara lain adalah mual, muntah, stomatitis,

diare, distress gaster dan pusing, peningkatan sementara enzim

hati. Pada dosis lebih tinggi dapat menyebabkan supresi sumsum

tulang, dermatitis, pleuritis, pneumonitis, dan alopesia, namun

jarang terjadi pada dosis untuk terapi kehamilan ektopik.

 Terapi dengan methotrexate juga menimbulkan keluhan seperti

nyeri abdominal yang bertambah, peningkatan kadar β-hCG pada

hari 1-3 terapi, serta flek atau perdarahan vagina.

Methotrexate yang digunakan adalah 1 mg/kg IV. Walaupun methotrexate

memiliki potensi menimbulkan efek samping toksik yang diagnosis kehamilan

ektopik telah ditegakkan dan massa ektopik memiliki dimensi terbesar kurang dari

3.5 cm, terapi methotrexate dapat dijadikan pertimbangan. Selain itu, kadar ß-

hCG perlu dipertimbangkan pada pasien sebelum terapi ini. Suatu studi

menunjukkan bahwa kadar ß-hCG lebih dari 1500 mIU per mL dikaitkan dengan

resiko kegagalan terapi yang lebih tinggi. Studi yang sama juga menunjukkan

bahwa pasien dengan kadar ß-hCG lebih dari 5000 mIU per mL umumnya tidak

responsif terhadap terapi methotrexate.

31
Indikasi dan kriteria pasien untuk terapi methotrexate antara lain

adalah12:

 Hemodinamik yang stabil, tanpa tanda atau gejala perdarahan aktif atau

hemoperitoneum.

 Konfirmasi adanya kehamilan ektopik

 Kadar ß-hCG tidak melebihi 15000 IU/L

 Adanya resiko tinggi terkait anestesi umum

 Komplains baik dan mampu kembali untuk follow-up

 Ukuran kantung gestasi ≤3.5 cm pada dimensi terbesarnya menggunakan

pengukuran ultrasonik

 Tidak ditemukan gerakan jantung fetus

 Hipersensitivitas terhadap methotrexate

 Laktasi

 Alkoholisme

 Penyakit hati alkoholik atau kelainan hati lainnya

 Diskrasia darah: leukopenia, trombositopenia, anemia

 Penyakit paru aktif

 Ulkus peptikum

 Disfungsi ginjal atau hati atau darah

32
Kontraindikasi terapi medis dengan methotrexate adalah12:

 Kadar ß-hCG melebihi 15000 IU/L

 Aktivitas jantung fetal

 Cairan bebas pada cul-de-sac yang ditemukan melalui pemeriksaan

ultrasonik, karena hal ini dapat mengindikasikan adanya ruptur tuba

Penggunaan methotrexate dalam kehamilan ektopik tergolong baru, oleh

karena itu belum ada protokol yang standar. Terdapat beberapa cara pemberian,

antara lain pemberian dosis tunggal, dosis variabel, dosis rendah, serta injeksi

langsung.

Sebelum pemberian terapi medis, pasien harus diinformasikan terlebih

dahulu mengenai resiko, keuntungan, efek samping dan kemungkinan kegagalan

terapi, yang dapat berakibat pada ruptur tuba yang membutuhkan tindakan

pembedahan. Oleh karena itu, pasien harus diperkenalkan kepada tanda dan gejala

ruptur tuba seperti nyeri abdomen yang bertambah, perdarahan vagina, pusing,

takikardi, palpitasi atau sinkop. Sebagian besar pasien umumnya mengalami satu

episode nyeri abdomen yang bertambah pada hari ke 2-3 setelah injeksi

methotrexate. Nyeri ini diduga diakibatkan terjadinya pemisahan kehamilan dari

tempat perlekatan. Nyeri ini dapat dibedakan dengan ruptur tuba karena nyerinya

lebih ringan dengan durasi yang terbatas (24-48 jam), dan tidak terkait gejala akut

abdomen atau instabilitas hemodinamik lainnya.

Selama dilakukan terapi, hendaknya pasien menghindari konsumsi

alkohol, vitamin yang mengandung asam folat, NSAID, dan hubungan seksual.

33
Sebelum terapi dimulai, diperlukan pengambilan sampel darah untuk menentukan

fungsi ginjal, hati dan sumsum tulang, serta untuk melihat kadar awal β-hCG.

Pada hari ke 4 dan 7 setelah injeksi awal, ulang penilaian kadar β-hCG. Umumnya

terjadi peningkatan kadar β-hCG pada hari ke-3. Penurunan kadar β-hCG sebesar

minimal 15% pada hari ke 4-7 setelah injeksi mengindikasikan respons

keberhasilan. β-hCG pasien harus tetap dimonitor setiap minggunya hingga tidak

terdeteksi.

Kegagalan terapi ditandai dengan meningkat, menetap atau gagal tidak

terjadi penurunan kadar β-hCG sebesar 15% pada hari ke 4-7 setelah injeksi. Bila

terjadi, dapat dipikirkan perlunya terapi pembedahan. Pengulangan dosis tunggal

methotrexat juga dapat dijadikan pilihan setelah dilakukan evaluasi ulang pasien.11

2.9 PROGNOSIS

Kematian ibu karena kehamilan ektopik terganggu cenderung menurun

dengan diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Namun bila pertolongan

terlambat, maka angka kematian akan meningkat. Sedangkan janin pada

kehamilan ektopik biasanya akan mati dan tidak dapat dipertahankan karena tidak

berada pada tempat dimana ia seharusnya tumbuh.

Pada umumnya kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat

bilateral. Sebagian wanita dapat menjadi steril setelah mengalami kehamilan

ektopik atau dapat mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba yang lain. Angka

kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan antara 0-14,6 %. Dengan kemajuan

terapi yang ada sekarang, kemungkinan ibu untuk dapat hamil kembali membesar,

34
namun ini harus didukung kemampuan untuk menegakkan diagnosis dini

sehingga dapat diintervensi secepatnya. 2

35
BAB III
KESIMPULAN

3.1 KESIMPULAN

1. Kehamilan Ektopik ialah kehamilan dimana sel telur setelah dibuahi (fertilisasi)
berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uteri.
2. Kehamilan Ektopik Terganggu ialah kehamilan ektopik yang mengalami abortus
atau ruptur apabila masa kehamilan berkembang melebihi kapasitas ruang
implantasi misalnya tuba.
3. Berdasarkan laporan dari Biro Pusat Statistik Kesehatan diketahui bahwa pada
tahun 2007 terdapat 20 kasus setiap 1.000 kehamilan menderita kehamilan
ektopik atau 0,02%.
4. Beberapa faktor penyebab terjadinya kehamilan ektopik adalah faktor dalam
lumen tuba, faktor dinding tuba, faktor luar dinding tuba dan faktor lainnya.
5. Gambaran klinik klasik untuk kehamilan ektopik adalah trias nyeri abdomen,
amenore, dan perdarahan pervaginam.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Sepilian, Vicken; Ellen W. Ectopic Pregnancy.


www.emedicine.com/health/topic3212.html
2. Wiknjosastro, Hanifa. Kehamilan Ektopik. Ilmu Kebidanan edisi
ketiga. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Jakarta.2005.hal 323-338.
3. Wiknjosastro, Hanifa. Gangguan Bersangkutan Dengan Konsepsi.
Ilmu Kandungan edisi kedua. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo. Jakarta.2005.hal 250-260.
4. Wiknjosastro, Hanifa. Kehamilan Ektopik. Ilmu Bedah Kebidanan
edisi pertama. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Jakarta. 2000.hal 198-210.
5. Della-Guistina, David; Mark Denny. Ectopic Pregnancy. Emergency
Medicine Clinics of North America. Volume 21 number 3. W.B
Saunders Company. August 2003.
6. Attar, Erkut. Endocrinology of Ectopic Pregnancy. Obstetric and
Gynecology Clinics. Volume 31 number 4. W.B Saunders Company.
December 2004.
7. Stenchever. Ectopic Pregnancy. Comprehensive Gynecology, 4th ed.
Mosby Inc. 2001.
8. Sowter, Martin; Cindy Farquhar. Ectopic Pregnancy: an update.
Current Opinion in Obstetrics and Gynecology. 2004, 16:289-293.
9. Depkes RI, 2007. Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu. Jakarta

10. Lemus, Julio. Ectopic Pregnancy:an update. Current Opinion in


Obstetrics and Gynecology. 2000, 12:359-376.
11. Cunnuingham, FG et. Al. Reproductive Succes and Failure. Williams
Obstetrics, 21st ed. Prentice Hall International Inc. Appleton and
Lange. Connecticut. 2006.
12. Mycek., Harvey., Champe. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2.
Jakarta. Widya Medika. 2001.

37

Anda mungkin juga menyukai