Anda di halaman 1dari 13

KASUS 1

Laporan Kasus 1
Herpes Zoster pada Geriatri

Kasus Pasien Tn. UM berumur 62 tahun seorang pensiunan PNS yang berdomisili di

Bandar Lampung datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSAM pada tanggal 23 Januari

2013 dengan keluhan timbul gelembung-gelembung berisi air sejak 3 hari yang lalu yang

muncul di daerah kepala dan wajah hanya pada bagian kanan. Awalnya pasien merasa timbul

bintil-bintil sebesar ujung jarum pentul di daerah kepala sebelah kanan yang disertai rasa

berdenyut mulai dari atas kepala sebelah kanan hingga ke bagian telinga bagian belakang.

Bintil-bintil tersebut berkelompok dan disertai rasa panas. 2 hari sebelumnya timbul

kemerahan yang disertai rasa nyeri pada daerah wajah sebelah kanan dan sebelumnya pasien

juga merasa badannya terasa hangat, dan badan terasa pegal sebelum munculnya gelembung-

gelembung tersebut. Pasien tidak mengeluhkan adanya keluhan kulit di bagian lain, tidak

mengeluhkan gangguan penglihatan dan pendengaran, tidak terdapat kelemahan untuk

menggerakkan anggota geraknya.1

Selanjutnya, pasien memutuskan untuk berobat ke bagian saraf, karena pasien merasa bahwa

hal ini disebabkan karena tekanan darahnya yang tinggi dan sarafnya yang terganggu. Saat

berobat, pasien dikatakan menderita neuralgia trigeminalis lalu diberi obat oleh dokter

spesialis saraf. Dua hari setelah berobat ke dokter pasien merasa keluhan nyeri sedikit

berkurang namun karena warna merah pada daerah wajah semakin banyak maka pasien

kembali berobat ke polikinik saraf dan dikonsulkan ke dokter ahli penyakit kulit dan kelamin.

Setelah dilakukan pemeriksaan di bagian kulit dan kelamin, pasien dinyatakan menderita

Herpes zoster. Pasien belum pernah menderita penyakit seperti ini dan di dalam keluarga juga

tidak ada anggota keluarga yang memiliki penyakit yang sama dengan pasien. Sebelumnya

pasien mengaku bahwa pada saat masih duduk di bangku SD pasien pernah terkena cacar air.1
Pemeriksaan fisik pasien pada tanggal 23 Januari 2013, kesadaran komposmentis,

berat badan 65 kg, tinggi badan 168 cm, kesan gizi normal (BBI/Berat Badan Idaman), IMT

(Indeks Massa Tubuh) normal (22,5), tekanan darah 160/90 mmHg, nadi 83x/menit,

pernapasan 21 x/menit, suhu 36,7 ºC. Status generalis pasien didapatkan kepala, mata,

hidung, mulut, leher, dada (jantung dan paru) pasien dalam batas normal. Status lokalis pada

regio temporalis, regio oksipitalis, regio maksilaris dan region nasalis dekstra, regio orbita

dekstra tampak makula dengan dasar kulit yang eritem ukuran lentikuler, tampak papul

multipel ukuran milier, tampak daerah erosi akibat vesikel yang sudah pecah.1

Pada pasien ini, diagnosis hepes zoster ditegakkan berdasarkan anamnesis yang

didapatkan yaitu seorang laki-laki berumur 62 tahun dengan keluhan badan keluhan timbul

gelembung-gelembung berisi air sejak 3 hari yang lalu yang muncul di daerah kepala dan

wajah hanya pada bagian kanan disertai rasa panas dan berdenyut dan adanya keluhan badan

terasa hangat dan pegal. Pasien belum pernah menderita penyakit seperti ini dan di dalam

keluarga juga tidak ada anggota keluarga yang memiliki penyakit yang sama dengan pasien.

Sebelumnya pasien mengaku bahwa pada saat masih duduk di bangku SD pasien pernah

terkena cacar air.1

Penegakan diagnosis herpes zoster umumnya didasari gambaran klinis. Komponen

utama dalam penegakan diagnosis adalah terdapatnya (1) gejala prodromal berupa nyeri, (2)

distribusi yang khas dermatomal, (3) vesikel berkelompok, atau dalam beberapa kasus

ditemukan papul, (4) beberapa kelompok lesi mengisi dermatom, terutama dimana terdapat

nervus sensorik, (5) tidak ada riwayat ruam serupa pada distribusi yang sama (menyingkirkan

herpes simpleks zosteriformis), (6) nyeri dan allodinia (nyeri yang timbul dengan stimulus

yang secara normal tidak menimbulkan nyeri) pada daerah ruam.1

Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan pada status lokalis

regio temporalis, regio oksipitalis, regio maksilaris dan region nasalis dekstra, regio orbita
dekstra tampak makula dengan dasar kulit yang eritem ukuran lentikuler, tampak papul

multipel ukuran milier, tampak daerah erosi akibat vesikel yang sudah pecah. Lesi yang

terlihat cukup karakteristik untuk herpes zoster, yang mana timbul gejala kulit yang

unilateral, bersifat dermatomal sesuai dengan persarafan.1

Pemeriksaan laboratorium direkomendasikan bila lesi atipikal seperti lesi rekuren,

dermatom yang terlibat multipel, lesi tampak krusta kronis atau nodul verukosa dan bila lesi

pada area sakral sehingga diragukan patogennya virus varisela zoster atau herpes simpleks.

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah PCR yang berguna pada lesi krusta,

imunoflouresensi direk dari spesimen lesi vesikular, dan kultur virus yang tidak efektif

karena membutuhkan waktu 1-2 minggu. Pada kasus ini pemeriksaan penunjang tidak

dilakukan.1

Herpes zoster merupakan suatu reaktivasi akibat infeksi awal yang bermanifestasi

sebagai varicella zoster (cacar air). Penyebnya adalah virus varicella-zoster (VVZ) dari

keluarga herpes virus, sangat mirip dengan herpes simplex virus. Virus ini mempunyai

amplop, berbentuk ikosahedral, dan memiliki DNA berantai ganda yang mengkode lebih dari

70 macam protein. Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster yang laten

di dalam ganglion posterior atau ganglion intrakranial. Virus dibawa ke tepi ganglion spinal

atau ganglion trigeminal, kemudian menjadi laten. Reaktivasi virus varicella zoster dapat

dipicu oleh berbagai faktor seperti pembedahan, penyinaran, lanjut usia, dan keadaan tubuh

yang lemah meliputi malnutrisi, seseorang yang sedang dalam pengobatan imunosupresan

jangka panjang, atau menderita penyakit sistemik seperti hipertensi. Pada kasus ini faktor

yang dapat menjadi penyebab reaktivasi virus varicella yang pernah diderita saat masih

sekolah SD antara lain faktor usia yaitu pasien sudah berusia lanjut dan faktor penyakit

sistemik yaitu hipertensi.1


Lesi herpes zoster dapat mengenai seluruh kulit tubuh maupun membran mukosa.

Herpes zoster biasanya diawali dengan gejala-gejala prodromal selama 2- 4 hari, yaitu

sistemik (demam, pusing, malaise), dan lokal (nyeri otot-tulang, gatal, pegal). Setelah itu

akan timbul eritema yang berubah menjadi vesikel berkelompok dengan dasar kulit yang

edema dan eritematosa. Vesikel tersebut berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh, dapat

menjadi pustul dan krusta. Jika mengandung darah disebut sebagai herpes zoster hemoragik.

Jika disertai dengan ulkus dengan sikatriks, menandakan infeksi sekunder. 1

Masa tunas dari virus ini sekitar 7-12 hari, masa aktif berupa lesi baru yang tetap

timbul, berlangsung seminggu, dan masa resolusi berlangsung 1-2 minggu. Selain gejala

kulit, kelenjar getah bening regional juga dapat membesar. Penyakit ini lokalisasinya

unilateral dan dermatomal sesuai persarafan. Saraf yang paling sering terkena adalah nervus

trigeminal, fasialis, otikus, C3, T3, T5, L1, dan L2. Jika terkena saraf tepi jarang timbul

kelainan motorik, sedangkan pada saraf pusat sering dapat timbul gangguan motorik akibat

struktur anatomisnya. Gejala khas lainnya adalah hipestesi pada daerah yang terkena.1

Tujuan penatalaksanaan herpes zoster adalah mempercepat proses penyembuhan,

mengurangi keparahan dan durasi nyeri akut dan kronik, serta mengurangi risiko komplikasi

(Gnann dan Whitley, 2002) Penatalaksanaannya berupa edukasi dan medikamentosa. Sebagai

edukasi pasien diingatkan untuk menjaga kebersihan lesi agar tidak terjadi infeksi sekunder.

Edukasi larangan menggaruk karena garukan dapat menyebabkan lesi lebih sulit untuk

sembuh atau terbentuk skar jaringan parut, serta berisiko terjadi infeksi sekunder. Selanjutnya

pasien tetap dianjurkan mandi, mandi dapat meredakan gatal. Untuk mengurangi gatal dapat

pula menggunakan losio kalamin. Untuk menjaga lesi dari kontak dengan pakaian dapat

digunakan dressing yang steril, non-oklusif, dan nonadherent. Pasien juga perlu diedukasi

bahwa pada orang yang belum pernah mengalami cacar air, dapat terjadi penyebaran virus

VZV ke pejamu lain, yang dapat menimbulkan varicela pada orang lain. Dengan demikian
dalam fase ini sebaiknya pasien tidak membiarkan anak-anak ataupun orang yang belum

pernah mengalami varicela sebelumnya untuk bermain atau berdekatan dengan pasien.1

Terapi medikamentosa yang diberikan berupa asiklovir 5 x 800 mg peroral selama 7

hari. Terapi dapat diberikan secara efektif maksimal 72 jam setelah lesi terakhir muncul, yang

pada pasien ini masih terpenuhi (onset hari ke-3). Di atas 72 jam, pemberian asiklovir

dikatakan tidak efektif lagi. Pemberian antivirus dapat mengurangi lama sakit, keparahan dan

waktu penyembuhan akan lebih singkat. Untuk nyeri yang timbul pada pasien diberikan asam

mefenamat 3x500 mg sebagai analgesik. Pasien kemudian dianjurkan untuk kontrol selama 7

hari kemudian kepada dokter, untuk melihat perbaikan pada pasien. Prognosis herpes zoster

tanpa adanya komplikasi biasanya sangat baik. Simpulan bahwa faktor usia dan penyakit

sistemik merupakan faktor risiko terjadinya herpes zoster.1

KASUS 2

Seorang laki-laki 68 tahun muncul setelah 3 hari mengalami lecet yang menyakitkan di sisi

kiri wajah dan mulutnya, serta demam selama 5 hari terakhir.luka itu membesar dan berisi

cairan 2 hari setelah demam. Rasa sakit itu parah, terus menerus dan menyebar. Awalnya

kecil dan jumlahnya sedikit; mereka kemudian bertambah jumlahnya yang menutupi seluruh

bagian kiri wajah dengan cairan encer. Pasien tidak dapat makan atau menjaga kebersihan

mulut. Tidak ada riwayat medis, gigi atau keluarga yang relevan dilaporkan. Pemeriksaan

ekstraoral menunjukkan adanya banyak vesikel di daerah dagu kiri, yang tiba-tiba berhenti di

garis tengah. Ada juga keterlibatan preaurikuler, aurikuler dan kulit kepalanbersama dengan

keratin. Kulit di sekitarnya berwarna merah dan sangat lembut saat palpasi (gambar 1).
(Gambar 1 terdapat vesikel pada bukal bagian kiri wajah)

Pemeriksaan intraoral menunjukkan vesikula pecah, yang menyatu membentuk ulkus besar

dengan ukuran bervariasi dari 1 sampai 2 cm dengan diameter 1 - 2 cm pada paruh kiri bibir

bawah, mukosa bukal, mukosa labial bawah, daerah retromolar, setengah kiri langit-langit

lunak, ridge alveolar dan pada permukaan punggung dan perut bagian kiri lidah (gambar 2).

(Gambar 2 intraoral pada pasien terdapat vesikel pada bukal mukosa oral )

Bentuk ulkus tidak beraturan dan ditutupi dengan kulit dedak pseudomem di bagian dasarnya,

dikelilingi oleh lingkaran bertema yang sangat tajam. Ulkus terasa lembut saat palpasi.

Pada pemeriksaan jaringan keras, pasien mengalami edentulous kecuali karies pada gigi

molar tiga kiri rahang bawah.

Kasus 3

Seorang laki-laki berumur 50 tahun mengalami demam dan nyeri pada bagian kiri

wajahnya selama 2 hari terakhir. Sakitnya sangat parah dan terbakar; Itu terus menerus,

menjalar ke depan kepala dan telinga, dan memiliki sensasi kesemutan. Itu diperburuk saat

makan, minum dan menelan. Sehari sebelumnya ia mengalami banyak vesikula di sisi kiri

wajahnya, yang pertama kali muncul di bibir bawah dan berlanjut ke dagu, pipi dan dahi

secara bertahap mencapai mata juga terlibat(gambar 3).


\

(Gambar 3 vesikel pada bukal sebelah kiri)

Ada beberapa vesikula yang bersatu membentuk bula di sisi kiri dagu. Kulit di

sekitar vesikula eritematosa. Langit-langit keras menunjukkan 7-8 ulkus di sisi kiri

berukuran sekitar 2-3 mm, yang berbentuk bulat dengan lingkaran cahaya eritematosa dan

ditutupi dengan pseudomembran ous slough (gambar 4).

(Gambar 4 ulser pada palatum durum dan mole)

Pemeriksaan jaringan keras menunjukkan sebagian lengkungan atas dan bawah dengan

gesekan umum gigi dan kebersihan mulut yang buruk.

Penyidikan

Sitologi eksfoliatif dari vesikula intraoral yang pecah tidak dapat disimpulkan.
Diagnosis Banding

Distribusi unilateral dari nyeri, vesikula dikelompokkan dalam pola der matomal

menunjukkan HZ. Namun, stomatitis alergi disingkirkan karena riwayat dan presentasi lesi

sepihak. Sycosis barbae dikeluarkan dengan adanya lesi intraoral dan tidak adanya pustula

folikel.

Perawatan

Kedua pasien diobati dengan antivirus dan terapi suportif selama 1 minggu. Valacyclovir (1

g, dalam kasus 2) dan asiklovir (800 mg, dalam kasus 3) diresepkan untuk mengendalikan

fase virus aktif. Tramadol hydrochloride (100 mg) dan acetaminophen (325 mg) diberikan

untuk meredakan nyeri dan demam. Aplikasi topikal krim asiklovir (5%) disarankan untuk

lesi wajah dan intraoral, tiga kali sehari. Gel lignokain (2%) untuk aplikasi lokal sebelum

makan dan sediaan multivitamin, sebagai terapi suportif, ditambahkan.

Hasil Dan Tindak Lanjut

Kasus 2 ditinjau setelah 1 minggu. Ada regresi dalam jumlah lesi ekstraoral dan intraoral

dengan pembentukan koreng dan area hipopigmentasi; tidak ada vesikula segar yang

ditemukan. Pasien melaporkan tinnitus dan vertigo pada kunjungan ini. Pada pemeriksaan,

tanda Bell positif dengan hilangnya kerutan pada kerutan di sisi kiri dahi. Mulut terkulai

pada pihak yang tidak terpengaruh dalam upaya untuk tersenyum dan ketidakmampuan

untuk meniupkan udara dari pipi kiri mengkonfirmasi Bell's palsy. Dengan demikian HZ

berkembang menjadi sindrom Ramsay-Hunt (gambar 5).


(Gambar 5 Bells Palsy setelah melakukan perawatan)

Pasien disarankan untuk melanjutkan pengobatan. Untuk Bell's palsy, pendapat

otorhinolaryngology dan oftalmologi dicari. Tetes telinga anti-inflamasi dan tetes mata

metil selulosa diresepkan selama 1 minggu. Seminggu kemudian, pasien menunjukkan

perbaikan yang nyata pada lesi herpes ekstraoral dan intraoral dan tanda-tanda Bell's palsy

telah membaik. Dalam kasus 3 perbaikan yang nyata terlihat dengan penyembuhan lesi dan

pembentukan crusta pada akhir 1 minggu dan regresi lengkap terlihat setelah 2 minggu

(gambar 6).

( Gambar 6 regrasi setelah melakukan perawatan)

Diskusi

HZ juga dikenal sebagai herpes zoster, yang berasal dari bahasa latin cingulum, yang
berarti 'korset'. Ini karena gejala umum HZ melibatkan ruam unilateral yang dapat

membungkus pinggang atau batang tubuh seperti ikat pinggang. Nama zoster berasal dari

bahasa Yunani klasik, mengacu pada ikat pinggang (dikenal sebagai zoster) yang

digunakan oleh prajurit untuk mengamankan baju besi.

Von Bokayin, pada tahun 1988, berhipotesis untuk pertama kalinya bahwa cacar air dan

HZ disebabkan oleh agen penular yang sama. VZV adalah satu dari delapan virus herpes

yang diketahui menginfeksi manusia. Strukturnya dicirikan oleh nukleokapsid ikosahedral

yang dikelilingi oleh selubung lipid. DNA beruntai ganda terletak di tengahnya. Virus ini

berdiameter sekitar 150-200 nm dan memiliki berat molekul sekitar 80 juta.

Insiden HZ hingga 15 kali lebih tinggi pada pasien terinfeksi HIV dan ditemukan pada

25% pasien dengan limfoma Hodgkin. Insiden infeksi HZ pada populasi umum telah

dilaporkan sebesar 5,4%. Infeksi cenderung melibatkan individu yang berusia di atas 45

tahun, dengan insiden tertinggi di antara orang yang berusia antara 68 dan 90 tahun. Kedua

pasiendalam kasus kami adalah orang lanjut usia yang masing-masing berusia 50 dan 60

tahun. Di antara divisi saraf trigeminal, divisi oftalmikus paling sering terlibat diikuti oleh

divisi maksila dan mandibula. Sementara kasus 2 dilaporkan dengan melibatkan divisi

rahang atas dan rahang bawah, kasus 3 menunjukkan keterlibatan ketiga divisi dari saraf

trigeminal, yang merupakan temuan langka. HZ mengikuti tahap prodromal, aktif dan

kronis. Secara klasik timbul dengan prodrome berupa rasa terbakar atau kesemutan ringan

sampai sedang (atau dalam beberapa kasus mati rasa) pada kulit dari dermatom tertentu,

sering berhubungan dengan demam, sakit kepala, malaise umum dan sakit perut. Temuan

serupa dilaporkan dalam kedua kasus kami, namun, sakit perut tidak dilaporkan. Dalam

durasi sekitar 48-72 jam dari prodrom, terjadi perkembangan eritematosa unilateral, ruam

makulopapular di sepanjang dermatom, yang akhirnya berkembang menjadi lesi vesikuler,

ini merupakan tahap aktif. Lesi fasial dan intraoral terjadi secara unilateral dan merupakan
ciri khas HZ. Kasus 3 menunjukkan keterlibatan ketiga cabang saraf trigeminal dengan

erupsi vesikuler di atas kelopak mata atas, bibir atas dan bawah, daerah malar dan temporal

dan dahi, bersama dengan lesi intraoral. Kasus 2 menunjukkan keterlibatan divisi rahang

atas dan rahang bawah dengan lesi unilateral di dagu, bibir atas dan bawah, daerah malar,

daerah temporal termasuk daerah preauricular dan telinga bersama dengan lesi intraoral

pada mukosa bukal, mukosa labial, lidah, alveolar ridge dan langit-langit lunak .

Rasa sakit yang terkait dengan herpes zoster bervariasi dalam intensitas dari ringan

sampai berat sedemikian rupa yang bahkan rangsangan sedikit dapat menimbulkan

menyiksa kejang. Rasa sakit dalam kedua kasus itu sangat parah. Kasus 2 juga melaporkan

nyeri di telinga karena vesikel untuk kawin yang menunjukkan keterlibatan saraf

vestibulocochlear. Lesi biasanya mulai mengering dan timbul krusta setelah 3–5 hari.

Durasi total penyakit umumnya antara 7 dan 10 hari; namun, mungkin diperlukan beberapa

minggu untuk kulit yang berpigmen hipo kembali normal.Terkadang ruam vesikuler tidak

muncul (zoster sine herpete), sehingga sulit untuk didiagnosis. Anehnya, nyeri dilaporkan

mereda saat ruam paling aktif; Namun, itu beralih kembali sampai ruam membersihkan

selama fase pengerasan kulit dan skala lesi. Namun, HZ tidak menular seperti infeksi

varicella primer; orang dengan infeksi yang diaktifkan kembali dapat menularkan VZV ke

kontak non-imun. Tingkat penularan rumah tangga tercatat sekitar 15%.

Tahap sindrom nyeri kronis, disebut postherpetic neural gia (PHN), telah digambarkan

sebagai nyeri yang berlangsung 1-3 bulan setelah lesi kulit sembuh, tetapi dapat

berlangsung selama bertahun-tahun dan dekade kasar, 10-20% orang dilaporkan dengan

PHN setelah fase akut infeksi HZ terdiri dari pasien usia lanjut di lebih dari 20% kasus.

Nyeri digambarkan sebagai penembakan berulang singkat atau allodynia yang

mengejutkan, dengan nyeri yang konstan dan biasanya dalam dan merupakan penyebab

morbiditas yang signifikan.


Infeksi bakteri sekunder adalah komplikasi umum lainnya dari HZ. Dalam beberapa

tahun terakhir, infeksi streptokokus β-hemolitik grup A termasuk selulitis dan nekrosis

fasciitis semakin memperumit jalannya varisela. Komplikasi lain seperti jaringan parut

pada kulit, keratitis, nekrosis retinal menyebabkan kebutaan, keratouveitis, kelumpuhan

saraf kranial dan perifer, ataksia serebral dan pneumonia dapat menyebabkan kematian.Lesi

periapikal, resorpsi akar, eksfoliasi gigi dan osteonekrosis alveolar juga telah dilaporkan

terkait dengan infeksi HZ.

Jika ganglion genikulata terlibat, hal itu dapat menyebabkan sindrom James Ramsay

Hunt, yang meliputi kelumpuhan wajah dan erupsi vesikuler yang menyakitkan pada

meatus auditorius eksternal dan pinna telinga.Temuan ini konsisten dengan kasus 2, yang

menunjukkan erupsi pada pinna, dan tinnitus dan vertigo pada kunjungan pertama dengan

gambaran jelas Bell's palsy setelah 1 minggu. Kasus 3 tidak menunjukkan tanda-tanda

kelumpuhan wajah meskipun ada keterlibatan yang jelas.

Kultur untuk VZV menantang karena labil dan sulit untuk mendapatkan sampel yang

memadai dari cairan vesikuler. Alternatif lain adalah uji imunofluoresensi langsung dan

PCR; imunofluoresensi langsung dianggap lebih sensitif dan hemat biaya, dan menawarkan

waktu penyelesaian yang cepat.

Meskipun penyakit ini sembuh sendiri, pemberian anti virus dan terapi gejala dini

mengurangi morbiditas secara signifikan. Pengobatan antivirus harus dimulai dalam 72 jam

setelah erupsi kulit, karena sebagian besar replikasi virus berhenti 72 jam setelah timbulnya

ruam. Analog guanosin seperti asiklovir (800 mg, 5 kali / hari selama 7-10 hari),

famciclovir (500 mg, 3 kali / hari selama 7 hari) dan valasiklovir— (1000 mg, 3 kali / hari

selama 7 hari) efektif antivirus. Mereka secara selektif mono terfosforilasi oleh virus

timidin kinase dan selanjutnya difosforilasi oleh kinase seluler dan dengan demikian

menghambat polimerase DNA virus.

Asiklovir (800 mg, 5 kali / hari selama 7-10 hari) memperpendek durasi pelepasan virus,
menghambat pembentukan lesi baru, mempercepat penyembuhan dan mengurangi

keparahan nyeri akut. Manfaat variabel dicatat sehubungan dengan pengurangan frekuensi

dan durasi PHN.

Valacyclovir, suatu prodrug dari asiklovir, menghasilkan tingkat asiklo vir serum 3-5 kali

lebih tinggi dari yang dicapai dengan terapi asiklovir oral. Penggunaan kortikosteroid

dalam pengobatan HZ telah menjadi kontroversi. Manfaatnya dibayangi oleh ketakutan

akan berkurangnya respons imun dan karenanya dikontraindikasikan pada pasien yang

mengalami gangguan sistem imun. Namun, dalam kombinasi dengan asiklovir, obat

tersebut menunjukkan akselerasi yang sedang tetapi signifikan dalam kecepatan

penyembuhan kulit dan juga mengurangi nyeri akut. Namun, tidak ada penelitian yang

menunjukkan efek kortikosteroid pada kejadian atau durasi PHN. Penggunaan

kortikosteroid untuk HZ tanpa terapi antivirus secara bersamaan tidak dianjurkan.

Antidepresan trisiklik juga bisa digunakan. Capsaicin adalah satu-satunya sediaan topikal

yang disetujui untuk menghilangkan nyeri sementara yang terkait dengan infeksi HZ. Ini

tidak boleh diterapkan sampai lesi kulit sembuh. Pengobatan simtomatik seperti menjaga lesi

kulit tetap bersih dan kering, penggunaan balutan steril yang tidak melekat pada kulit untuk

melindungi lesi, aplikasi topikal (yaitu, lotion kalamin), blokade saraf simpatis dan

analgaesik (aspirin dan lainnya) dapat digunakan, sebagai disarankan dalam kedua kasus

kami, dan membantu mempercepat pemulihan.

Anda mungkin juga menyukai