Anda di halaman 1dari 20

Analisis Puisi Ekokritik

02. KABAR BUMIKU

Bumiku mulai layu


Telah menjadi rapuh
Sejak dijamah tangan-tangan tak mau tahu
Dijadikan abu
Dijadikannya penuh asap pun debu
Bumiku merindukan hutannya
Hutan merindukan pohonnya
Pohon merindukan manusia yang senantiasa
mencintainya
Hilang sudah bumi hijauku yang bahagia
Tapi kau terus menutup mata
Bahwa alam terus meronta
Pun Tuhan akan murka
Sampai kapan kita menjadi pendosa?
(Karya: Riskha Anggita)

Pada puisi kabar bumiku karya Riskha Anggita menceritakan tentang bumi yang telah lama
dihuni oleh manusia kini telah tua dan rapuh di mana keadaan untuk sekarang ini perlu
dipertanyakan kembali, sebenarnya apa yang terjadi pada bumi sehingga puisi ini seolah
bertanya-tanya tentang kabar bumi. Seperti pada bait “Bumiku mulai layu/telah menjadi rapuh”
aku-lirik berusaha menunjukan bahwa bumi kita seperti tumbuh-tumbuhan di mana itu adalah
simbol dari hutan yang mempunyai identitas mudah dikenali seperti banyak tumbuhan yang
berwarna hijau dan hewan yang ikut menghuni di dalamnya. Bentuk kerusakan lingkungan yang
nampak adalah tak tersisanya tumbuh-tumbuhan hijau dan batang-batang pohon berwarna hitam
dan keropos karena terberangus oleh bara api karena habis terbakar akibat dari merambatnya
pembakaran lahan di sekitar hutan. Manusia lupa bahwa selain mencintai sesamanya adalah
mencintai alam yang mereka tinggali saat ini. ia seolah-olah tidak mengetahui/atau lebih
tepatnya kurang memerdulikan alam (baca: hutan) yang ia rusak dan membakarnya untuk
keperluan manusia itu sendiri. Dampak dari peristiwa tersebut memberikan sebuah efek yang
begitu besar terhadap ekosistem yang berlaku seperti bunyi pada bait ini “Bahwa alam terus
meronta/Pun Tuhan akan murka” akibat tak merawat hutan sebagaimana mestinya Tuhan pun
ikut andil dalam masalah ini atas makhluk ciptaanya yang tak dirawat dan dijaga. Ketika bencana
alam melanda yang seharusnya hutan menjadi salah satu pencegah banjir yang alami tapi hutan
sudah tak memiliki pohon-pohon dan ia berganti menjadi beton-beton yang menancap di perut
bumi. Penyebab dari bumi itu mulai layu dikarenakan adanya panas (baca:api) sehingga tumbuh-
tumbuhan tersebut layu akibat api itu sendiri yang berasal dari tangan tangan pendosa “Sampai
kapan kita menjadi pendosa” bait ini seolah menyimpulkan puisi ini bahwa aku-lirik mempunyai
pertanyaan yang berkelindan dalam hatinya..

Faktor-faktor penyebab bumi itu rapuh adalah pada bait ketiga dari puisi di atas
dijamahnya oleh tangan-tangan yang tak mau tahu. Sebab, tangan mereka adalah sumber utama
kerusakan-kerusakan di bumi. Mereka telah dikuasai oleh hawa nafsu yang tiada habis-habisnya.
Oleh karena itu, muasal dari alam itu rusak adalah dari tangan manusia itu sendiri. Terlepas itu
merusak alam membuatnya tetap hidup atau malah menimpa kedirinya sendiri dikala bencana
menjemput. Tapi, pasi ada pertaruhan antara makhluk hidup dan hewan maupun tumbuhan.
Ketiga ekosistem tersebut di antaranya ingin meguasai seutuhnya dan menyingkirkan yang lain
untuk kepentingannya.

Factor berikutnya adalah di mana si tangan perusak tersebut tidak mau bertanggung
jawab apa yang telah dilakukannya dan seolah tutup mata tentang peristiwa yang mereka lakukan
sedemikian rupa. Hal ini tentu memicu banyak ketidakseimbangan pada alam. Mereka tak pernah
berfikir dampak untuk kedepannya tapi hanya dengan merusaknya sudah lebih baik dan
menyelesaikan tugas untuk hidupnya dan melalaikan hidup makhluk-makhuk ain.

18. Muara di Ujung Utara Bekasi


Aku cumbui lagi aroma air payau
Lutung Jawa sebagai maskot utama menyapaku
Ia asyik menikmati sarapan pagi di atas dahan pidada
Angin pun menebar cericit burung yang menggema di udara
Siluet mentari memijar di riak sungai
Bak kilauan permata
Nelayan sedang mengumpulkan ikan hasil tangkap, sibuk sekali
Perahu pun sudah menepi di dermaga
Aku pandangi kumpulan mangrove yang tersisa
Terlihat burung kuntul terbang riang sekali
Kepakan sayapnya begitu ringan, menari lewat udara
Tak mau kalah burung kowak malamabu muncul di sela-sela
daun bakau
Aku jumpai lagi sang maskot di atas jembatan bambu
Kali ini juvenile nya sedang menyantap daun jeruju
Sekawanan monyet ekor panjang bermain lincah kesana-kemari
Ada pula yang mengikutiku dan sesekali menyeringaikan gigi

Tak lama menikmati pemandangan ini,


Kudengar ketukan kayu dengan perkakas tajam
Suaranya berhasil meramaikan muara dan menyaingi orkestra
kicauan burung
Empat belas batang kayu mangrove terbaring lemas di tanah

Batang yang kokoh itu tak lagi bernyawa


Batang yang menjulang ke langit itu tak lagi gagah
Adakah hukuman bagi mereka yang mencuri milik alam semesta?
Sekejap kuingin jarum-jarum jam berhenti,
tak sadar setetes air mataku jatuh
Mangrove yang tersisa itu,
Semakin menderita melawan abrasi
Ku mohon jangan usik mereka!
Demi hidupmu, dan demi kehidupan anak cucumu
Oh…
Muara di ujung utara Bekasi

(Karya: Ragil Pratiwi)

Populasi hewan langka di Indonesia tahun demi tahun dengan lamat-lamat ia semakin
berkurang karena kerakusan manusia. Habitat mereka telahdijarah dan digusur rata. Tak sedikit
mereka yang diburu untuk dijadikan konsumsi manusia atau dibiarkan saja tergeletak di atas
tanah. Secara tidak langsung bait “Empat belas batang kayu mangrove terbaring lemas di
tanah” ini menceritakan bahwa hutan mangrove sebagai tempat tinggalny, kini telah tiada, kini
telah berganti alih fungsi yang semula menjadi wahana para binatang itu bermain dan berlindung
di sana tapi kini menjadi wahana bukan untuk para binatang itu lagi. Dengan adanya perusakan
alam yang dilakukan oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab ini si aku-lirik ikut terenyuh
menyaksikan kejadian tersebut seperti bait “Tak sadar setetes air mataku jatuh” secara tidak
langsung si aku-lirik ini ikut merasakan apa yang mereka timpa pada saat itu. Naluri tersebut
wajar adanya karena manusia mempunyai indera perasa yang berbeda dengan binatang sehingga
ia terbawa dalam suasana yang mencekam itu.

Berdasarkan pada bait terakhir puisi muara di ujung kota bekasi karya Ragil Pratiwi
manusia memiliki kecenderungan untuk menguasai segala sesuatu sehingga apa yang dirasa
mereka perlu disingkirkan; mereka harus melakukan itu. Sebagian manusia hanya bisa berpikir
dengan jangka pendek saja tanpa berpikir jangka panjang melestarikan alam sebagai maakhluk
hidup yang patut dijaga dan dirawat. Dan aku lirik menutup puisi tersebut dengan menyerukan
“Ku mohon jangan usik mereka!/Demi hidupmu, dan demi kehidupan anak cucumu/Oh…” sajak
penutup ini sekaligus menyimpulkan bahwa manusia tidak memikirkan apa yang mereka
butuhkan hari esok dan ia hanya berpikir dengan kepentingan-kepentingan yang mereka
butuhkan saat itu juga.

Faktor-faktor dari kerusakan alam tersebut adalah suatu bunyi di mana berasal dari
perkakas yang tajam, yang mampu memotong kayu-kayu mangrove tersebut. Berbatang-batang
telah tumbang dan tak lagi menjulang seperti sedia kala. suara-suara tersebut begitu bising di
telinga. Tak hanya telinga manusia yang terganggu tapi telinga hewan yang menghuni hutan
mangrove tersebut pergi dan meninggalkan tempat tinggalnya. Seolah mereka tak akan kembali
memperbaiki apa yang mereka mulai.

Dan dampak terjadinya abrasi adalah menghilangnya hutan mangrove yang berada di tepi pantai.
Ombak akan terus mengikis tepi-tepi pantai. Kendati, batu tidak mampu menahan begitu lama
menahan begitu besar gelombang yang diterimanya. Berbeda dengan hutan mangrove yang
seperti benteng menjaga tepian pantai tetap utuh dan tidak abrasi jika tidak ada hutan mangrove.

16. Keusangan yang Terulang

Andai waktu dapat terulang


Akan hamba julurkan hawa penyegar kehidupan
Menyenadakan kasih tiada batas
Dan menggenggam erat sirna layunya

Namun, kayu sudah menjadi arang


Tanah telah lelah dan gentar
Mereka direnggut tanpa kenal waktu
Menoleh pun tak sudi pada akarnya

Alam tengah haus kedamaian


Bumi rindu indahnya permadani hijau-biru
Akankah tega biarkannya usang?
Digerogoti tanpa usaha mengejar
(Karya: Erika Ekaviolita)

Manusia dan alam adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Manusia perlu
upaya khusus untuk berterima kasih terhadap alam di sekitarnya. Seperti padaa bait
“Menyenadakan kasih tiada batas/Dan menggenggam erat sirna layunya” ini wajar apabila
muncul rasa empati ketika separuh dari hidupnya itu di rusak oleh sesame manusianya. Hal ini
tidak bisa dihindari karena manusia memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Sekalipun itu
adalah tindakan yang merugikan untuk manusia tersebut.

Aku-lirik telah menjelaskan pada bait “Namun, kayu sudah menjadi arang/Tanah Lelah
dan gentar/Mereka direnggut tanpa kenal waktu” ini memberitahu bahwa hutan-hutan itu telah
dibakar habis oleh manusia, tidak hanya tumbuhan yang hangus terbakar tapi tanah hutan
tersebut menjadi keras dan sulit tuk dijadikan lading untuk para petani. Berdasarkan pada bait
terakhir aku-lirik seolah menjadi alam tersebut dan menggunakan majas personfikasi, sebab alam
terasa hidup seperti manusia yang merasakan rindu dan kehadiran manusia seakan mengusik
keberadaanya yang semula damai menjadi berantkan seperti pada bait berikut “Alam tengah
haus kedamaian/Bumi rindu indahnya permadani hijau-biru” ini menjelaskan perihal sebuah
kehilangan yang telah direnggutnya dan mungkin tidak akan kembali untuk selamanya.

Pada bait terakhir sekaligus menutup puisi ini dengan memberi sebuah pertanyaan untuk
para pembaca seperti pada bait ini “Akankah tega biarkannya usang?/Digerogoti tanpa usaha
mengejar” aku-lirik menceritakan bahwa alam yang semula utuh dan indah, kini berubah
menjadi tak utuh dan semakin dikeruk habis-habisan oleh keserakahan manusia. Aku-lirik telah
menonjolkan bahwa pokok permasalahan dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
manusia itu sendiri adalah ada pada bagian penutup pada puisi ini. Maka dari itu, mereka hanya
bisa “menggerogoti” saja tanpa adanya usaha untuk menutup lubang yang ia gali sendiri.

Faktor-faktor dari tanah itu sudah tak subur adalah disebabkan oleh langkanya perairan di
hutan tersebut. adanya pembakaran hutan yang menyebabkan hutan menjadi gundul dan
berdampak pada tanah yang semakin mengeras.
26. Bumiku Tak Seperti Dulu

Oh bumiku
Mengapa virus mematikan itu tak kunjung surut dari badanmu.
Aku rindu dengan keadaan bumiku yang dulu,
yang sembuh dari virus
dan yang sehat akan lingkungan hijaumu.
Berapa lama bumiku?
Aku akan sabar menunggumu sembuh.

Oh bumiku
Mengapa ditahun ini beda dari yang lalu?
Mengapa keadaan badanmu saat ini beda dari yang lalu?
Jikalau aku bisa menyembuhkanmu
Aku akan menyembuhkanmu dengan cepat,
seperti aku tidak sulit untuk mengusap kedua tanganku.

Oh bumiku
Aku mengasihani keadaan badanmu.
Di badanmu, penuh dengan masyarakat yang tersakiti.
Aku lebih mengasihanimu,
disaat masyarakat tidak menerapkan protokol kesehatan.

Keadaanmu sekarang,
tak tega untuk kulihat dengan kedua bola mata ini.

Oh bumiku
Aku akan sabar menunggumu sampai bersih tak bernoda.
Aku terus melawan penyakit mematikan sekuat kemampuanku.
Aku akan panjatkan doa pada-Nya demi bumiku saat ini.
Dan semoga Allah mengabulkan permohonanku, Amin

(Karya: Ladia Anggi Lestari)

Pandemi COVID-19 yang merebak di seluruh penjuru dunia mengakibatkan bumi terkena
penyakit yang tak kunjung sembuh. Pada situasi seperti ini aktivitas yang biasa dilakukan oleh
manusia seketika berhenti dan membatas ruang gerak yang mampu membekuk kerusakan
lingkungan sedikit terhambat. Pada bait pertama aku-lirik menjelaskan perihal bumi yang seolah-
olah sakit karena COVID-19 ini sehingga ia tak mampu berbuat banyak hal dan ia hanya bisa
menunggu virus tersebut keluar dai bumi dan bumi kembali sehat.

Berdasarkan pada bait kelima, penghuni bumi juga ikut merasakan dampaknya dari bumi
sakit itu sendiri, khususnya manusia yang senantiasa memilki ruang gerak yang luas dan mudah
terinfeksi karen virus tersebut. seperti pada bait “Di badanmu, penuh dengan masyarakat yang
tersakiti/Aku lebih mengasihanimu/disaat masyarakat tidak menerapkan protokol kesehatan.” Ini
menjelaskan bahwa kesehatan adalah segalanya untuk manusia tapi ia terkadang lupa dengan
tugasnya untuk menjaga kesehatan. Tidak semua orang itu samadaya kekebalan dalam tubuhnya.
Dan sebagian orang juga yang mempunyai pikiran egois dan apatis hingga berdampak yang lain
yang mempunyai daya kebal tubuh yang rendah.

23. Lingkunganku

Lingkungan yang kini sudah rusak


Udara yang kita hirup sudah tidak bersih lagi
Manusia yang seakan tidak perduli lagi
Dengan alam dan lingkungan yang sudah dirusak

Tidak perlu bumi ini dirusak lagi


Hanya mementingkan kepentingan individu
Sementara banyak orang yang teraniaya karena lingkungan sudah rusak

Tidakkah kau melihat lingkungan ini rusak karena ulah orang yang tidak
bertanggung jawab atas kerusakan alam ini

Sudahlah,
Mari berubah dan berpikir
dan melakukan kegiatan yang tidak merugikan orang banyak,
Jaga lingkungan ini agar lebih baik kedepannya untuk masa depan
lingkungan lebih hijau.

(Karya: Ade Surya Dwi Putra)

Kerusakan alam yang diakibatkan oleh ulah tangan manusia mengakibatkan bencana
alam yang kembali pada manusia itu sendiri. Di sini, ada suatu pola pikir yang tak jernih pada
akal manusia dimana alam yang seharusnya dijaga dan dilestarikan itu malah terabaikan. Seperti
pada bait “Lingkunganku yang kini sudah rusak/Udara yang kita hirup sudah tak bersih
lagi/Manusia yang seakan tak peduli/Dengan alam dan lingkungan yang sudah dirusak” ini
menceritakan suatu keresahan yang dialami oleh manusia dengan adanya pencemaran
lingkungan dari mulai air, tanah sampai udara. Masalah-masalah semacam ini minim sekali
untuk tidak ditanggapi secara eksklusif alih-alih diabaikan begitu saja karena dianggap kaum elit
tidak ikut merasakannya. Namun, di balik semua itu masalah besar ada pada kaum menengah
kebawa dimana ia hidup berdampingan dengan pabrik-pabrik yang mengeluarkan uap atau
limbah yang dibuang sembarangan. Tidak ada penanggulangan yang befitu serius mengingat itu
hanya masalah kecil dan tak terlihat oleh kaum kapitalis.

Faktor rusaknya lingkungan adalah karena manusia itu sendiri. Dari mulai udara yang tak
bersih akibat polusi udara yang berasal dari asap pabrik dan kendaraan ditambah dengan limbah
yang tercecer di sungai-sungai. Mereka cenderung tak peduli pada terhadap apa yang mereka
lakukan, khususnya pada alam yang senantiasa tak terjaga dan tidak mensyukuri terhadap
pemberianNya.

09. Avicennia Marina

Aku hidup di rimba pesisir raya


Kakiku menjalar seperti pensil menjulang dari lumpur ke udara
Tubuhku setiap hari tergenang air pasang surut
Seluruh hidupku kuhabiskan di sekitar laut

Dahulu aku hidup harmonis bersama manusia


Kemudian tambak membuat komunitasku musnah
Aku ingin berkata pada mereka
Aku ini bisa mendatangkan banyak ikan,
namun mereka tak percaya

Lengan ku terkoyak dijadikan kayu bakar


Kakiku pengap terlilit sampah yang menjalar
Tubuhku sakit menahan limbah toksik
Hidupku tak lagi tenang sejak kehadiran manusia pengusik

Sampai suatu ketika tambak mereka hancur


Abrasi membuat seluruh kesombongan mereka luntur
Ketika bencana tsunami melanda
Seharusnya jika aku dan teman temanku ada, aku bisa melindungi mereka
Kini masih ada waktu untuk berubah
Marilah kita saling berdamai wahai manusia
Kalian bisa memelihara ikan di sekitar akarku
Kalian bisa memetik buah-buahan dari pohonku
Aku hanya meminta biarkanlah aku tumbuh
Salam cinta dariku,
Avicennia marina

(Karya: Novi Utami Rosyid)

Avicennia Marina adalah bahasa latin dari hutan mangrove. Ia biasa tumbuh di pesisir
pantai maupun di tengah-tengah hutan. Keberadaan mereka (mangrove) kini sudah tak lagi aman.
Banyak dari mereka di bumihangus oleh nafsu manusia tanpa memikirkan dampak selanjutnya.
Selain mendatangkan ikan dan pelbagai satwa, ia mampu mencegah luapan air laut atau banjir
yang melanda persinggahan manusia itu sendiri. Seperti pada bait “Aku ini bisa mendatangkan
ikan/namun mereka tak memercayainya” ini aku-lirik di sini berusaha menjadi mangrove yang
mengetahui akan datangnya ikan. Tapi karena manusia tak mempunyai nalar yang begitu sehat.
Ia merasa mangrove tersebut tidak ada manfaatnya melainkan merusak pemandangan atau hanya
hutan yang tak berguna. Padahal, itu adalah banyak manfaatnya untuk akalnya yang sehat.
Kerusakan lingkungan tak hanya merugikan bagi alam semata tapi bagi perusaknya itu sendiri,
sebab datanganya bencana alam itu dari alam untuk manusia dan seharusnya manusia
merawatnya dengan baik. Bukan malah merusaknya dijadikan sebagai wahana bermain atau
wisata alam yang merusak alam. Pada bait ini menjelaskan bahwa “Sampai suatu ketika tambak
mereka hancur/Abrasi membuat seluruh kesombongan mereka luntur/Ketika bencana tsunami
melanda/Seharusnya jika aku dan teman temanku ada, aku bisa melindungi mereka”

Taman Nasional Gunung Palung:


Kututurkan Kisahmu, Aku Sayang Kamu.
Hutanmu lebar habis dibabat
Binatang yang lewat ikut disikat
Hukum mengikat dapat diloncat
Akibat pejabat ada yang terlibat.

Apabila cukong berkuasa


Yang peduli pun tak berdaya
segelintir orang mengumpul harta
kebanyakan orang kena bencana

akibat serakah semua musnah


para penjarah tidak disalah
orang mengalah dianggap lemah
yang mencegah menjauhi

hutan yang ada telah menipis


semua orang akan menipis
kekayaannya telah terkikis
penduduk sekitar bernasib miris.

Hama belalang datang menyerang


Tanaman menghijau sekejap hilang
Bencana banjir datang menerjang
Harta yang ada pun bisa melayang.

Setelah kemarau panjang tiba


Hutan yang ada tidak tersisa
Asap menerpa ke mana-mana
Negara tetangga marah dan mencela
Laman Satong, 1 Oktober 2001.
Yang berjuang tidak dengan kekerasan.

Menyemai puisi-puisi “Menjaga yang tersisa” karya Yohanes Terang ini


membawa pembaca untuk melihat alam di sekitar kita yang harus dijaga. Ia menumpahkan
keresahanya lewat puisi yang menjadi tempat proses kreatifnya. Sebagai salahsatu aktivis alam
yang menjaga alam yang masih tersisa aku-lirik seakan mengajak berkomunikasi dengan
pembaca melalaui bait-bait puisinya. Aku-lirik di sini secara tidak langsung mewakili perasaan
alam yang telah dibabat habis oleh sang peneroka dimana seluruh yang hijau-teduh kini menjadi
abu-gersang. Seperti yang dijelaskan pada bait “Hutanmu lebat habis dibabat/Binatang yang
lewat ikut disikat” ini meyakinkan kita terhadap kerusakan alam yang sudah dirusak oleh sang
peneroka tersebut. Mungkin, tak hanya hutan lebat yang hilang tapi hewan-hewan langka yang
populasinya terancam karena hilangnya habitat mereka. “Apabila cukong berkuasa/Yang peduli
pun tak berdaya” Aku-lirik menyebut penguasa adalah “Si Cukong yang berkuasa,” dimana ia
yang menjadi otak dari segala kerusakan yang diperbuatnya bahkan sempat ada perlawanan
dalam bait di atas yang kebanyakan orang-orang peduli itu tak mempunyai kekuatan yang cukup
untuk menumbangkan Si Cukong tersebut. Mungkin bisa jadi boomerang untuk dirinya sendiri
ketika melawan Si Cukong tersebut. Pada bait menjelang berakhirnya puisi “hutan yang ada
telah menipis/semua orang akan menipis/kekayaannya telah terkikis/penduduk sekitar bernasib
miris.” Ini menyeruakan dampak-dampak kerusakan alam yang mengakibatkan hutan kehilangan
kesejukan dan kelembaban nya karena tipis dalam arti taka da lagi daun-daun yang tumbuh pada
pohon-pohon. Tak sampai pada itu saja, dampak tersebut lari kepada orang-orang yang hidup di
sekitar hutan tersebut. Nasib yang digantungkannya pada hutan, kini telah lenyap dan taka da
yang tersisa kecuali untaian air mata dan kecemasan.

Gunung Palung Ratapan Untukmu

Dulu semua orang kagum serta memujimu


Kini keadaanmu sudah sangat tidak menentu
Ke depan seperti apa lagi nasibmu
Kalau tidak ada yang peduli hilanglah kisahmu.

Dari semua arah engkau diserbu


Yang menjarah beribu-ribu
Mulai ke hulu
Dari yang dekat sampai ke buntu

Dahan dan ranting telah menyatu


Lahan yang kering siap menunggu
Saat yang genting di ambang pintu
Kumpulan yang penting siap berlalu

Si raja merah datang menyerbu


Semua disikat tak pandang bulu
Yang menghijau menjadi abu
Yang berkicau menjadi bisu.

Setelah semua menjadi debu


Para pemodal cepat tutup buku
Tukang kerja merasa ditipu
Utang seratus jadi seribu.

Para penjilat mengangka bahu


Bagi yang peduli tinggal gerutu
Masyarakat setempat tak ada lagi dituju
Akhirnya semua kita dibuat malu.

Laman Satong, 5 Oktober 2001.


Pada himpunan puisi karya Yohanes Terang ini pembaca diajak untuk merenungi
kembali apa yang telah dilakukan oleh sang penguasa terhadap alam kita miliki satu-satunya.
Paku bumi di berbagai belahan Indonesia memilki kekayaannya tersendiri. Para pemilik modal
berlomba-lomba menyerbu harta karun tersebut. Mula-mulanya orang-orang memuji karena
memiliki paku bumi yang begitu agung nun indah. Tiba-tiba sang pemilik modal datang
menawarkan kehidupan baru dan nasib baik dengan cara menukar nasib dengan paku bumi
mereka. Seperti pada bait “Dulu semua orang kagum serta memujimu/Kini keadaanmu sudah
sangat tidak menentu/Ke depan seperti apa lagi nasibmu.” Pembodohan kepada orang-orang
kecil dan tidak mengerti sama sekali teknologi atau pun literasi yang mereka miliki, Sang
pemilik modal lebih mudah tuk menjarah kekayaan alam yang mereka miliki dengan iming-
iming yang tak masuk akal. Dimulai dari Si raja merah yang melahap hutan dan hutan melepas
warna hijau menjadi merah bara dan berakhir menjadi abu. “Si jago merah datang
menyerbu/Semua disikat tak pandang bulu /Yang menghijau menjadi abu/Yang bericau menjadi
bisu.” Bait ini seolah menceritakan betapa kehilangannya yang semula pemndangan hijau di
mana-mana, kini berganti kuning dan gersang. Yang semula banyak ceracau burung di antara
pohon-pohon di sekiling rumahnya, kini menjadi sepi akibat para pemburu yang illegal yang
hanya mengambil keuntungan belaka.

Pada saat orang-orang kecil kehilangan air mata dan sebagian dari mata pencahariannya
di hutan, Sang pemilik modal datang berbondong-bondong memberikan surga ilusi untuk
mereka. Ia tak hanya menjajah tapi sekaligus merusak alam dan mental yang mereka punya dan
ditukar dengan hidup makmur yang bersifat sementara. Di sekitar paku bumi itu sang pemilik
modal merampas dan mengakuinya dengan berkedok milik pemerintah dan menjamur taman-
taman nasional yang dilingkupi pemukiman warga yang telah mereka rebut hak miliknya.

19. Elegi Penghujung Hari

Pagi tadi, masih ku dengar cumbu rayu burung kenari


Bernyanyi riang di bawah siraman sinar mentari
Pagi tadi, masih ku hirup udara sejuk yang menyelusup di antara
urat nadi.
Riuh pawana membelai nyiur
Melambai mesra menghalau jelaga

Tuan dan puan selamat datang


Mari menangkul sesuka hati
Tuan dan puan bercocoklah di ladang
Semai kehidupan setiap hari

Tuan dan puan puaslah diri


Kala pundi-pundi penuh terisi
Tuan dan puan bersumpahlah
Hendak kau gigit erat janji
Tumbang!
Bangun!
Tumbang!
Bangun!
Tumbang!
Bangun!
Tumbang tiang hijau
Bangun beton risau

Duhai tuan dan puan pendatang baru


Berhentilah!
Hari kini telah berganti senja
Cukupkanlah!

Duhai tuan dan puan,


ingatlah kita hanya sedang meminjam sebait napas dari anak
cucu
Jangan kalian pura-pura tak tahu!
Duhai tuan dan puan,
ingatlah kita hanya sedang meminjamsebait napas dari anak
cucu
Jangan kalian pura-pura tak tahu!

Sang Kenari merintih pilu


Kini jelaga memenuhi setiap ruang paru
Dalam senja ia menyesali
Salah iba salah berbagi

(Karya: Y. Ariyanti)

Berdasarkan puisi di atas si aku-lirik menggambarkan bahwa situasi sebelum di rusak


oleh sang perusak, ia merasakan suasana masih alami dan masih mendengar cericau burung di
jelaga. Pada saat itu udara masih segar dan belum tercampur apa pun. Ladang-ladang masih hijau
dan tumbuh subur disertai tanah yang gembur. Ladang adalah separuh nyawa dari masyarakat
desa di sekitar jelaga itu. Pada bait-bait awal si aku-lirik masih merasa biasa saja terhadap yang
dihadapinya sehari-hari.

Puisi karya Y. Ariyanti ini banyak membawa pembaca kepada renungan yang mendalam,
sebab ia berkali-kali menggunakan kata-kata satir yang merujuk pada yang dimaksud oleh aku-
lirik ini. Di bait“Tumbang!/Bangun!/Tumbang!/Bangun!/Tumbang!/Bangun!/Tumbang tiang
hijau/Bangun beton risau//Duhai tuan dan puan pendatang baru/Berhentilah!/Hari kini
telah/berganti senja/Cukupkanlah!” ini menunjukan bahwa mereka yang datang lalu
menumbangkan apa yang mereka anggap mengganggu dan membangun apa yang mereka mau.
Siklus seperti itu akan terus berulang-ulang hingga alam di bumi habis terbabat oleh mereka.
Aku-lirik di sini melihat secara langsung tentang perusakan lingkungan yang dilakukan
oleh Tuan dan Puan tersebut. pada bait di atas yang ditulis dengan repetisi yang cukup banyak
menggambarkan suatu emosi si aku-lirik ini menyeruak dan ingin mencegahnya. Pada bait
“Tumbang tiang hjau/bangun beton risau” adalah sebuah kerusakan yang begitu nampak terlihat
seperti tiang hijau yang dimaksud dengan pohon-pohon, dan berganti menjadi beton-beton yang
membuat risau tidak hanya dialami oleh si aku-lirik saja tapi beserta dengan penghuni hutan
yang dijadikan kepentingan oleh Tuan dan Puan tersebut.
Akibat yang diberikan oleh kerusakan tersebut, dijelaskan pula pada penutup puisi karya
Y. Ariyanti ini yang berbunyi “Sang Kenari merintih pilu/Kini jelaga memenuhi setiap ruang
paru/Dalam senja ia menyesali/Salah iba salah berbagi” simbol burung di sini mewakili hewan
yang hidup di hutan itu dan sekaligus melambangkan kesedihan melewati rintihan pilu itu, sebab
tempat tinggalnya sudah berganti beton-beton yang keras dan tak bisa ia tempati. Perasaan iba
yang dimiliki si aku-lirik ini, seringkali berdampak positif tapi berbeda dengan saat ini ia merasa
salah berbagi dengan Tuan dan Puan tersebut sehingga hilang masa depannya dan berelegi
sepanjang hari.

Mula-mula terjadinya burung tak berkicau dan hutan dibabat habis oleh mereka adalah
adanya suatu perjanjian dimana keduanya saling sepakat tuk menjaga bersama-sama. Tapi karena
suatu lain hal salah satu pihak mengingkarinya dan terjadilah pengerusakan hutan mereka dan
merebut sebagian napas mereka hingga tak tersisa sedikitpun.

Negeri yang Luka

Di setiap sudut negeri tercinta


Kutemui kebanyakan orang wajahnya
Bermuram durja
Keceriaan terlihat tak tersisa
Keluhan panjang yang keluar dari mulut mereka

Hutan sebelumnya menghijau Lelah merah merona


Satwa berkicau entah hilang ke mana
Sungai danau mengering di mana-mana
Asap mendera sampai negara tetangga

Ulah raja bermuka dua


Kuasa membuat lupa segalanya
Kepentingan sesaat dapat menghilangkan cinta
Karena uang bumi binasa

Untuk kita ingatkan karena hari esok masih ada


Anak cucu kita berharap masih ada yang tersisa
Jalan yang panjang terbentang di depan sana
Jangan kita titipkan perkara besar buat mereka

Laman Satong
Hari ini karena ada hari kemarin
Hari esok karena ada hari ini
Kemarin kurang baik
Hari ini harus sedikit lebih baik
Besok harus sangat baik

Berdasarkan pada puisi yang ditulis oleh Yohanes Terang dalam buku kumpulan puisinya
yang berjudul menjaga yang tersisa ini diawali dengan melihat banyak orang di negeri ini yang
wajahnya muram dan tak lagi punya gairah untuk memerjuangkan hidupnya. Keadaan seperti ini
tidak serta-merta lahir begitu saja tapi ada suatu dampak yang menimpa orang yang mempunyai
wajah durja itu. Hal tersebut dituangkan dalam sajak baris berikutnya yaitu pada bait “Hutan
sebelumnya menghijau Lelah merah merona/Satwa berkicau entah hilang ke mana/Sungai
danau mengering di mana-mana/Asap mendera sampai negara tetangga,” ini menjelaskan
bahwa situasi yang sebelumnya hutan itu rimbun dengan pepohonannya dan membentang warna
hijau di segala penjuru arah dan setelah itu hutan berganti warna menjadi merah yakni oleh
adanya pembakaran yang membumihanguskan segala yang ada di dalamnya termasuk satwa
yang semula selalu berkicau di setiap paginya tapi kini entah hilang ke mana. Mungkin, tidak
berhenti hanya disitu tapi kerusakan hutan yang diakibatkan oleh pembakaran tersebut, kini
menimbulkan dampak yang sangat besar yaitu asap yang tak henti-hentinya mengepul ke kota-
kota dan ruang bernafas seolah ikut berkurang karena adanya asap tersebut.
Berdasarkan pada muasal terjadinya peristiwa tersebut si aku-lirik menyebut biang
keladinya adalah raja bermuka dua seperti pada bait “Ulah raja bermuka dua/Kuasa membuat
lupa segalanya/Kepentingan sesaat dapat menghilangkan cinta/Karena uang bumi binasa,” ini
memberitahu pembaca bahwa sang penguasa itu memiliki dua wajah yang berbeda, di mana ia
memerankan peranan yang berbeda. Di tangan sang penguasa, kepentingan-kepentingan yang tak
bermutu bisa saja mempertaruhkan kehidupan rakyat kecil yang tak punya apa-apa akibat
kerakusannya dalam berkuasa. Segalanya hanya untuk uang, uang, dan uang, ia tak lagi
memikirkan cinta atau rasa kasihan tapi perasaan itu telah lenyap oleh nafsu dalam dirinya.
Dalam menutup puisinya, pada bait “Jalan yang panjang terbentang di depan
sana/Jangan kita titipkan perkara besar buat mereka,” ini mereka yang tak punya masa depan
itu terpaksa menanggung beban yang berat untuk generasi kedepannya. Sang penguasa memang
tak sedikitpun memikirkan masa depan untuk generasi selanjutnya, sebab mereka terkesan
dikejar-kejar oleh waktu dan sekaligus mengejar uang yang hanya lewat sementara dan fana.
Dalam bait terakhirnya penulis ingin menyampaikan pesan untuk para pembaca dan khsusnya
mereka yang merusak hutan sebagai kepentingannya semata. Hari ini adalah cerminan masa
depan jadi jaga dan lestarikan apa yang ada di sekitar kita.

Faktor yang menyebabkan hutan menjadi merah karena api dan satwa yang pergi meninggalkan
habitatnya adalah oleh raja bermuka dua dimana mereka telah merusak dan mengusik habitatnya
akibat kerasukannya. Kepentingan-kepentingan yang sebenarnya tidak penting untuk
kemaslahatan bersama. Ia lebih memilih uang daripada bumi menjadi binasa.

Anda mungkin juga menyukai