Anda di halaman 1dari 3

Apa Agamamu?

Oleh Syamsul Bahri

“Apa agamamu?”

“Agamaku adalah air yang menghapus pertanyaanmu.”

- Joko Pinurbo

Ia tak pernah bertanya perihal agamaku dan agama bapaknya, sejak kecil kami
menanamkan apa yang seharusnya anak kecil hidup Bahagia dan aku tak membatasinya ia mau
bergaul dengan agama apapun. Di kampung kami, ada beraneka macam agama dan kami hidup
damai tak ada masalah apapun dengan mengatasnamakan agama. Islam adalah agama warisan
yang diturunkan ke Nyala. Di perbatasan kota yang begitu panas. Ada seseorang tak dikenal
yang datang ke kedai buku kami, ia mengaku bercita-cita menjadi penyair di kota yang katanya
istimewa itu. Ia juga sering makan dan menginap di rumah kami yang sederhana itu. “Nama saya
Gody, tapi panggil sa Pace saja!” sambil mengulurkan tangan.

Aku mengenalnya ketika aku duduk di jejeran bangku Malioboro, melamun sembari
mencari inspirasi menulis puisi. “Maaf Kaka bisa saya lihat tulisan Kaka itu?” tanyanya. Aku
mengangkat kepala dan mengernyitkan dahiku, aku tak kenal siapa ia dan darimana asalnya juga
aku tentu tak tahu?. Aku menyodorkan kertas kuning itu ke tangan kanannya yang dari tadi
menungguku untuk melihat tulisanku. “Wah…bagus sekali Kaka tulisannya, Sa juga mau belajar
menulis puisi seperti Kaka, Boleh?” tanyanya lagi. Kapan-kapan datang saja ke rumahku, Pace.
Nanti, kita belajar menulis disana bareng suami saya,” jawabku sederhana. Ia pun datang
seminggu tiga kali, ke rumahku untuk belajar bersama menulis puisi.

***

Nyala namanya, anak perempuan kami yang umurnya belum genap 5 tahun. Ia seringkali
menanyakan agama setiap kali tamu datang ke rumah dan aku bersama suami hanya mesam-
mesem saja. Aku dan suamiku memanggilnya, Pace. Ia adalah lelaki yang cita-citanya jadi
penyair itu karena ia berasal dari Papua dan ia juga senang dengan panggilan itu tanpa menyebut
namanya langsung. Ketika kami makan bersama Pace di kedai buku kami, Nyala berlari
menghampiriku dan mulutnya terbuka, tanda ia sudah lapar dan segera meluncurkan makanan
kearah mulutnya. “Oh iya, aku lupa berdoa!” katanya bergaya sila dan mengangkat tanganya
tinggi-tinggi sambil suaranya dikeraskan. Akhir-akhir ini, Nyala seringkali menanyai orang yang
sedang makan untuk berdoa terlebih dahulu sebelum makan seolah ia menjadi polisi bagi siapa
saja yang dia tuduh belum berdoa.

Aku dan suamiku saling berpandangan, lalu mbathin dan benar saja Nyala memaksa Pace
untuk berdoa seperti Nyala tadi. Sejenak Pace berhenti makan dan wajahnya mulai di selimuti
kebingungan perihal perilaku Nyala kepadanya. Lalu, saya menyahut “Doa Pace dengan Nyala
itu berbeda jadi jangan paksa Pace tuk berdoa seperti Nyala, ya!”. Kemudian, Nyala kembali
bertanya “Apa agama orang Papua, Mamah?” tanyanya penasaran.

Dengan ragu akhirnya pace berdoa dengan agama “Orang Papua” seperti yang ingin
Nyala dengarkan “Dalam nama Bapak, Putra dan Roh Kudus, Aamiiin.” Nyala ikutan
kebingungan dengan gerakan Pace yang membentuk isyarat bentuk salib di dadanya. Setelah
kejadian itu, akhirnya Nyala mengikuti gaya berdoa seperti Pace setiap kali hendak makan-
makan bersama. Tiba-tiba tak ada hujan atau pun angin, tak seperti biasanya suamiku menelpon
ketika kami luburan ke rumah kakek dan nenek di Kotagede. “Kenapa Nyala baca doa orang
katolik setiap kali sebelum makan?” Saya mesam-mesem tak karuan melihat kelakuan Nyala
yang akhir-akhir ini sering menirukan gaya apapun dari Pace termasuk gerakan Pace saat ia
tengah berdoa itu.

Hari sudah senja dan kami bersiap-siap untuk pulang. Sebelum itu kami beserta kakek
dan nenek berdiskusi tentang agama-agama yang ada di bumi tentunya bersama Nyala yang
memelukku dari belakang. “Nyala ingat tidak, sewaktu kita pergi ke kuil, wihara, gereja
menemui Pace yang rencana mau pergi ke pasar itu. Semua agama itu baik dan mengajarkan
kasih sayang. Tapi cara berdoanya beda-beda.” Tampak Nyala mengamati ku serius sekali. Doa
Pace beda, Doa Nyala pun berbeda.” “Nyala nggak akan lagi paksa-paksa Pace lagi tuk baca doa
seperti Nyala. Nyala sayang Mamah!!!” sahutnya kemudian memeluk ku erat.

Yogyakarta, 30 Maret 2021.


Biodata Penulis

Syamsul bahri, lahir di Subang 12 Juli 1995. Sekarang tinggal di Yogyakarta. Sajak-
sajaknya pernah tersiar di berbegai platform media daring dan luring. Salah satu puisinya
termuat dalam antologi bersama, antara lain: Carpe diem (Penerbit Halaman Indonesia,
2020). Buku pertamanya adalah Dandelion untuk Nala! (G Pustaka, 2020). Buku keduanya
adalah Sekuntum Bunga Tidur (J-Maestro, 2021)..
IG: @dandelion_1922.
Wa: 082138096686

Anda mungkin juga menyukai