Analisis Putusan Artidjo
Analisis Putusan Artidjo
Sondakh) didakwa oleh jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dengan pada Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Adapun isi dari Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut ialah sebagai berikut:
“pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang
Dakwaan tersebut diberikan oleh jaksa penuntut umum kepada terpidana Angelina
Sondakh, karena terpidana telah terbukti secara sah menerima pembayaran imbalan (fee) dari
Permai Grup terkait dengan kewenangannya sebagai Anggota Badan Anggaran (Banggar)
dan Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Anggaran mewakili komisi X DPR RI dalam
maupun Anggaran Pembangunan Wisma Atlet Kemenpora sesuai dengan permintaan Permai
Grup yang mana nantinya proyek-proyek tersebut akan dikerjakan oleh Permai Grup ataupun
Terkait dengan dakwaan yang dibacakan oleh jaksa penuntut umum tersebut, judex
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
terhadap terpidana Angelina Sondakh selama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan dan denda
sebesar Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Putusan judex facti (Pengadilan
Negeri) ini dikuatkan pada tingkat banding oleh judex facti (Pengadilan Tinggi).
Yang menjadi dasar pertimbangan dari judex facti (Pengadilan Negeri) dan judex facti
64 ayat (1) KUHP yang hanya dilihat dari kedudukan terpidana sebagai Anggota DPR RI dan
sebagai Anggota Komisi X dalam Bidang Anggaran, dalam hubungan dengan mitra kerja
Komisi X.
Judex facti (Pengadilan Negeri) dan judex facti (Pengadilan Tinggi) berpendapat
bahwa kewenangan yang dimiliki oleh terpidana selaku Anggota Komisi X dalam Bidang
Anggara bukan merupakan kewenangan tunggal dari terpidana, akan tetapi merupakan
kewenangan Badan Anggaran RI dan Pemerintah yang diputuskan melalui Rapat Kerja
Komisi dan Pemerintah mengenai Alokasi Anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan
kemeterian / lembaga.
Oleh karena itu, menurut judex facti (Pengadilan Negeri) dan judex facti (Pengadilan
Tahun 2001 lebih tepat diterapkan mengingat kewenangan yang dimiliki oleh terdakwa
Tinggi) tersebut, jaksa penuntut umum mengajukan permohonan kasasi pada Mahkamah
Agung. Hal ini dikarenakan menurut jaksa penuntut umum selaku Pemohon Kasasi, baik
judex facti (Pengadilan Negeri) dan judex facti (Pengadian Tinggi) tidak memperhatikan
fakta bahwa selain sebagai anggota DPR RI, terpidana Angelina Sondakh juga merupakan
Anggota Badan Anggaran (Banggar) dan Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Anggaran
Selain mengenai pasal yang dikenakan pada terpidana, jaksa penuntut umum juga
Angelina Sondakh oleh judex facti (Pengadilan Tinggi). Judex facti (Pengadilan Tinggi)
menyatakan bahwa mengenai pidana tambahan uang pengganti tidak dapat diterapkan pada
delik korupsi yang terkait dengan suap menyuap. Sehingga menurut jaksa penuntut umum
selaku pemohon kasasi, judex facti (Pengadilan Negeri) telah melakukan kekhilafan atau
Atas beberapa permohonan kasasi tersebut, Hakim Agung Mahkamah Agung pada
tingkat kasasi yang pada saat itu diketuai oleh Hakim Agung Artidjo Alkostar mengabulkan
permohonan kasasi dari jaksa penuntut umum. Dalam putusannya, Hakim Agung Artidjo
Alkostar membatalkan putusan dari judex facti (Pengadilan Negeri) yang dikuatkan oleh
Pidana pokok penjara yang semula dijatuhkan oleh judex facti (Pengadilan Negeri)
yang dikuatkan oleh judex facti (Pengadian Tinggi) hanya berupa 4 (empat) tahun 6 (enam)
bulan diperberat oleh Hakim Agung Artidjo Alkostar menjadi 12 (dua belas) tahun penjara
dan denda Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Kemudian Hakim Agung Artidjo
Alkostar juga menghukum terpidana Angelina Sondakh dengan pidana tambahan uang
pengganti sebesar Rp 12.580.000.000 (dua belas miliyar lima ratu delapan puluh juta rupiah)
dan US $2.350.000.000 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu dolar amerika).
ANALISIS :
Terhadap putusan yang dikeluarkan oleh Hakim Agung Artidjo Alkostar tersebut,
dapat dianalisis beberapa hal dari perspetif filsafat hukum, sebagai berikut:
Dalam menentukan pasal tindak pidana korupsi yang akan dikenakan kepada
terpidana Angelina Sondakh sebagai landasan hukum untuk menjatuhkan pidana pokok
penjara, Hakim Agung Artidjo Alkostar pertama-tama melihat kedudukan terpidana sebagai
Anggota Badan Anggaran. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 104 Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan ketentuan Pasal 65 ayat
(1), (2), dan (3) Peraturan Dewan Perwailan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 01/DPR
Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang
bersifat tetap:
pokok-pokok kebijakan fiscal umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan
dapat diwakili oleh Menteri dengan mengacu pada Keputusan Rapat Kerja
Komisi dan Pemerintah mengenai Alokasi Anggaran untuk fungsi, program, dan
- Membahas laporan realisasi dan prognosis yang berkaitan dengan APBN; dan
(2) Badan Anggaran hanya membahas Alokasi Anggaran yang sudah diputuskan oleh
Komisi;
(3) Anggota Komisi dalam Badan Anggaran harus mengupayakan Alokasi anggaran
Sondakh yang mejabat sebagai Anggota Badan Anggaran dari Komisi X DPR RI dan
Komisi X DPR RI memiliki tugas pokok dan fungsi serta kewenangan untuk membahas
Usulan Anggaran yang diajukan oleh Pemerintah termasuk di dalamnya Usulan Alokasi
Atas dasar pertimbangan tersebut, Hakim Agung Artidjo Alkostar menilai bahwa
memang benar terpidana Angelina Sondakh memiliki kedudukan dan kewenangan yang ada
pada jabatannya. Sehingga Hakim Agung Artidjo Alkostar sependapat dengan jaksa penuntut
umum selaku Pemohon Kasasi bahwa pembayaran imbalan (fee) yang diberikan kepada
terpidana Angelina Sondakh oleh Permai Grup untuk menggerakan terpidana selaku
penyelenggara negara untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya.
Jika dilihat dari perspektif filsafat hukum, Hakim Agung Artidjo Alkostar
Sondakh. Hanya saja sedikit berbeda dengan judex facti (Pengadilan Negeri) dan judex facti
Tahun 1999, sebelum melihat kepada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Hakim
Agung Artidjo Alkostar terlebih dahulu melihat pada aturan mengenai status dan kewenangan
Anggota Badan Anggaran yang dalam hal ini dijabat oleh terpidana Angelina Sondakh.
Selain dipengaruhi oleh aliran positvisme, Hakim Agung Artidjo Alkostar dalam
memutus perkara tersebut juga melihat dari segi konteks sosial yang ada pada perkara tindak
pidana korupsi tersebut. Hal ini dilihat dari pertimbangan-pertimbangan hakim mengenai hal-
1. Perbuatan terdakwa tidak mendukung program Pemerintah yang saat ini sedang
2. Perbuatan terdakwa telah merenggut hak sosial dan hak ekonomi masyarakat
kepentingan masyarakat;
3. Terdakwa yang merupakan wakil rakyat dan publik figur justru tidak memberikan
Agung Artidjo Alkostar juga mengambil keputusan dari sisi hukum-sosiologik dalam
Hakim Agung Artidjo Alkostar juga menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti
dengan jumlah yang sesuai dengan yang dicantumkan di dalam dakwaan dan yang
Berbeda dengan judex facti (Pengadilan Negeri) dan judex facti (Pengadilan Tinggi)
yang tidak menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti dengan alasan bahwa Pasal
tentang pidana tambahan uang pengganti tidak dapat diterapkan pada delik korupsi yang
terkait dengan suap menyuap, Hakim Agung Artidjo Alkostar berani mengambil langkah
Nomor 20 Tahun 2001 tidak menyebutkan secara eksplisit tentang penjatuhan pidana
tambahan berupa uang pengganti pada delik korupsi terkait dengan suap menyuap, tetapi jika
ditinjau dari segi filosofi atau tujuan dijatuhkannya pidana tambahan berupa pembayaran
uang pengganti tersebut sebenarnya karena terpidana tidak layak mendapatkan kekayaan dan
keuntungan yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi, sehinga untuk itu Negara dapat
merampas kekayaan atau keuntungan yang merupakan hasil dari kejahatan tersebut.
Meskipun uang yang telah terbukti diterima oleh terpidana tersebut berasal dari
Permai Grup, akan tetapi uang tersebut tetap terkait dengan keuangan Negara yang
bersumber dari proyek-proyek yang didanai APBN 2010 dan APBN-P 2010, karena uang
tersebut berasal dari Permai Grup atas proyek-proyek Pemerintah yang telah disetting sejak
awal.
Hal ini menunjukkan bahwa putusan yang diambil oleh Hakim Agung Artidjo
Alkostar tidak hanya dipengaruhi dari segi aliran positivisme yang hanya mengacu pada
peraturan perundang-undangan, namun juga dilihat dari konteks yang lebih besar.
Lengkah tersebut menjadi bukti bahwa Hakim Agung Artidjo Alkostar telah
menggunakan filsafat hukum dalam mengambil keputusannya sebagai alat untuk melengkapi
sisi undang-undang yang tidak lengkap dan menggunakan filsafat hukum tersebut untuk
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan argumentasi hukum yang
tepat merupakan lompatan pertimbangan hukum yang dilakukan oleh seorang hakim dengan
Berdasarkan tinjauan filsafat di atas, maka dapat dikatakan bahwa Hakim Agung
Artidjo Alkostar telah berhasil menciptakan suatu yurisprudensi (create law) yang dapat
mejadi cerminan bagi hakim yang lain dalam memeriksa dan mengadili perkara yang serupa
di kemudian hari.