Anda di halaman 1dari 8

ANALISIS PUTUSAN ARTIDJO ALKOSTAR DALAM MEMBERATKAN

HUKUMAN ANGELINA SONDAKH TERKAIT TINDAK PIDANA KORUPSI

Terpidana tindak pidana korupsi Angelina Patricia Pingkan Sondakh (Angelina

Sondakh) didakwa oleh jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

dengan pada Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Adapun isi dari Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut ialah sebagai berikut:

“pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal

diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk

menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang

bertentangan dengan kewajibannya”

Dakwaan tersebut diberikan oleh jaksa penuntut umum kepada terpidana Angelina

Sondakh, karena terpidana telah terbukti secara sah menerima pembayaran imbalan (fee) dari

Permai Grup terkait dengan kewenangannya sebagai Anggota Badan Anggaran (Banggar)

dan Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Anggaran mewakili komisi X DPR RI dalam

membahas dan menetapkan Anggaran Proyek-Proyek Universitas Negeri Kemendiknas

maupun Anggaran Pembangunan Wisma Atlet Kemenpora sesuai dengan permintaan Permai

Grup yang mana nantinya proyek-proyek tersebut akan dikerjakan oleh Permai Grup ataupun

rekan perusahaan lainnya yang diatur oleh Permai Grup.

Terkait dengan dakwaan yang dibacakan oleh jaksa penuntut umum tersebut, judex

facti (Pengadilan Negeri) dalam pertimbangannya menyatakan bahwa terpidana Angelina


Sondakh terbukti melanggar Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Kemudian judex facti (Pengadilan Negeri) menjatuhkan pidana pokok penjara

terhadap terpidana Angelina Sondakh selama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan dan denda

sebesar Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Putusan judex facti (Pengadilan

Negeri) ini dikuatkan pada tingkat banding oleh judex facti (Pengadilan Tinggi).

Yang menjadi dasar pertimbangan dari judex facti (Pengadilan Negeri) dan judex facti

(Pengadilan Tinggi) dalam menjatuhkan hukuman hanya dengan Pasal 11 jo Pasal 18

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal

64 ayat (1) KUHP yang hanya dilihat dari kedudukan terpidana sebagai Anggota DPR RI dan

sebagai Anggota Komisi X dalam Bidang Anggaran, dalam hubungan dengan mitra kerja

Komisi X.

Judex facti (Pengadilan Negeri) dan judex facti (Pengadilan Tinggi) berpendapat

bahwa kewenangan yang dimiliki oleh terpidana selaku Anggota Komisi X dalam Bidang

Anggara bukan merupakan kewenangan tunggal dari terpidana, akan tetapi merupakan

kewenangan Badan Anggaran RI dan Pemerintah yang diputuskan melalui Rapat Kerja

Komisi dan Pemerintah mengenai Alokasi Anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan

kemeterian / lembaga.

Oleh karena itu, menurut judex facti (Pengadilan Negeri) dan judex facti (Pengadilan

Tinggi) Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jongan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 lebih tepat diterapkan mengingat kewenangan yang dimiliki oleh terdakwa

bukan merupakan kewenangan yang berhubungan langsung dengan jabatannya.


Atas kedua putusan dari judex facti (Pengadilan Negeri) dan judex facti (Pengadian

Tinggi) tersebut, jaksa penuntut umum mengajukan permohonan kasasi pada Mahkamah

Agung. Hal ini dikarenakan menurut jaksa penuntut umum selaku Pemohon Kasasi, baik

judex facti (Pengadilan Negeri) dan judex facti (Pengadian Tinggi) tidak memperhatikan

fakta bahwa selain sebagai anggota DPR RI, terpidana Angelina Sondakh juga merupakan

Anggota Badan Anggaran (Banggar) dan Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Anggaran

mewakili komisi X DPR RI.

Selain mengenai pasal yang dikenakan pada terpidana, jaksa penuntut umum juga

mempermasalahkan mengenai penjatuhan pidana tambahan uang pengganti kepada terpidana

Angelina Sondakh oleh judex facti (Pengadilan Tinggi). Judex facti (Pengadilan Tinggi)

menyatakan bahwa mengenai pidana tambahan uang pengganti tidak dapat diterapkan pada

delik korupsi yang terkait dengan suap menyuap. Sehingga menurut jaksa penuntut umum

selaku pemohon kasasi, judex facti (Pengadilan Negeri) telah melakukan kekhilafan atau

kekeliruan dalam menerapkan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Atas beberapa permohonan kasasi tersebut, Hakim Agung Mahkamah Agung pada

tingkat kasasi yang pada saat itu diketuai oleh Hakim Agung Artidjo Alkostar mengabulkan

permohonan kasasi dari jaksa penuntut umum. Dalam putusannya, Hakim Agung Artidjo

Alkostar membatalkan putusan dari judex facti (Pengadilan Negeri) yang dikuatkan oleh

judex facti (Pengadian Tinggi).

Pidana pokok penjara yang semula dijatuhkan oleh judex facti (Pengadilan Negeri)

yang dikuatkan oleh judex facti (Pengadian Tinggi) hanya berupa 4 (empat) tahun 6 (enam)

bulan diperberat oleh Hakim Agung Artidjo Alkostar menjadi 12 (dua belas) tahun penjara

dan denda Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Kemudian Hakim Agung Artidjo
Alkostar juga menghukum terpidana Angelina Sondakh dengan pidana tambahan uang

pengganti sebesar Rp 12.580.000.000 (dua belas miliyar lima ratu delapan puluh juta rupiah)

dan US $2.350.000.000 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu dolar amerika).

ANALISIS :

Terhadap putusan yang dikeluarkan oleh Hakim Agung Artidjo Alkostar tersebut,

dapat dianalisis beberapa hal dari perspetif filsafat hukum, sebagai berikut:

Dalam menentukan pasal tindak pidana korupsi yang akan dikenakan kepada

terpidana Angelina Sondakh sebagai landasan hukum untuk menjatuhkan pidana pokok

penjara, Hakim Agung Artidjo Alkostar pertama-tama melihat kedudukan terpidana sebagai

Anggota Badan Anggaran. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 104 Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan ketentuan Pasal 65 ayat

(1), (2), dan (3) Peraturan Dewan Perwailan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 01/DPR

RI/I/2009-2010 tanggal 29 September 2009 diatur sebagai berikut:

Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang

bersifat tetap:

(1) Badan Anggaran bertugas :

- Membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh Menteri untuk menentukan

pokok-pokok kebijakan fiscal umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan

bagi setiap Kementerian / Lembaga dalam menyusun usulan anggaran;

- Menetapkan pendapatan Negara bersama Pemerintah dengan mengacu pada

usulan Komisi Terkait;

- Membahas rancangan Undang-Undang tentang APBN bersama Presiden yang

dapat diwakili oleh Menteri dengan mengacu pada Keputusan Rapat Kerja
Komisi dan Pemerintah mengenai Alokasi Anggaran untuk fungsi, program, dan

kegiatan Kementerian / Lembaga;

- Melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di Komisi mengenai Rencana

Kerja dan Anggaran Kementerian / Lembaga;

- Membahas laporan realisasi dan prognosis yang berkaitan dengan APBN; dan

- Membahas pokok-pokok penjelasan atas rancangan Undang-Undang tentang

Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN.

(2) Badan Anggaran hanya membahas Alokasi Anggaran yang sudah diputuskan oleh

Komisi;

(3) Anggota Komisi dalam Badan Anggaran harus mengupayakan Alokasi anggaran

yang diputuskan Komisi dan menyampaikan hasil pelaksanaan tugas

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Komisi.

Berdasarkan ketentuan tersebut terlihat bahwa kedudukan terpidana Angelina

Sondakh yang mejabat sebagai Anggota Badan Anggaran dari Komisi X DPR RI dan

selanjutnya ditunjuk sebagai Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Anggaran mewakili

Komisi X DPR RI memiliki tugas pokok dan fungsi serta kewenangan untuk membahas

Usulan Anggaran yang diajukan oleh Pemerintah termasuk di dalamnya Usulan Alokasi

Anggaran Proyek-Proyek Universitas Negeri Dirjen Dikti Kemendiknas maupun Usulan

Anggaran Pembangunan Wisma Atlet Kemepora.

Atas dasar pertimbangan tersebut, Hakim Agung Artidjo Alkostar menilai bahwa

memang benar terpidana Angelina Sondakh memiliki kedudukan dan kewenangan yang ada

pada jabatannya. Sehingga Hakim Agung Artidjo Alkostar sependapat dengan jaksa penuntut

umum selaku Pemohon Kasasi bahwa pembayaran imbalan (fee) yang diberikan kepada

terpidana Angelina Sondakh oleh Permai Grup untuk menggerakan terpidana selaku

penyelenggara negara untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya.
Jika dilihat dari perspektif filsafat hukum, Hakim Agung Artidjo Alkostar

menggunakan aliran positivisme dalam menjatuhkan hukuman kepada terpidana Angelina

Sondakh. Hanya saja sedikit berbeda dengan judex facti (Pengadilan Negeri) dan judex facti

(Pengadilan Tinggi) yang langsung menggunakan Pasal 11 pada Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999, sebelum melihat kepada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Hakim

Agung Artidjo Alkostar terlebih dahulu melihat pada aturan mengenai status dan kewenangan

Anggota Badan Anggaran yang dalam hal ini dijabat oleh terpidana Angelina Sondakh.

Selain dipengaruhi oleh aliran positvisme, Hakim Agung Artidjo Alkostar dalam

memutus perkara tersebut juga melihat dari segi konteks sosial yang ada pada perkara tindak

pidana korupsi tersebut. Hal ini dilihat dari pertimbangan-pertimbangan hakim mengenai hal-

hal yang memberatkan terpidana, yaitu:

1. Perbuatan terdakwa tidak mendukung program Pemerintah yang saat ini sedang

giat-giatnya memberantas tindak pidana korupsi akan tetapi justru memanfaatkan

jabatannya selaku Anggota DPR RI untuk melakukan tinda pidana korupsi;

2. Perbuatan terdakwa telah merenggut hak sosial dan hak ekonomi masyarakat

karena anggaran yang telah ditetapkan tidak sepenuhnya digunakan untuk

kepentingan masyarakat;

3. Terdakwa yang merupakan wakil rakyat dan publik figur justru tidak memberikan

teladan yang baik kepada masyarakat;

4. Terdakwa tidak mengakui dan tidak menyesali perbuatannya.

Terlihat jelas bahwa selain memiliki paradigma berfikir legal-positivistik yang

mengutamakan kepastian hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Hakim

Agung Artidjo Alkostar juga mengambil keputusan dari sisi hukum-sosiologik dalam

melakukan interpretasi hukum.


Selain memperberat pidana pokok penjara kepada terpidana Angelina Sondakh,

Hakim Agung Artidjo Alkostar juga menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti

dengan jumlah yang sesuai dengan yang dicantumkan di dalam dakwaan dan yang

dimohonkan oleh jaksa penuntut umum pada permohonan kasasi nya.

Berbeda dengan judex facti (Pengadilan Negeri) dan judex facti (Pengadilan Tinggi)

yang tidak menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti dengan alasan bahwa Pasal

18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang pidana tambahan uang pengganti tidak dapat diterapkan pada delik korupsi yang

terkait dengan suap menyuap, Hakim Agung Artidjo Alkostar berani mengambil langkah

yang berbeda dari kedua putusan sebelumnya.

Meskipun Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tidak menyebutkan secara eksplisit tentang penjatuhan pidana

tambahan berupa uang pengganti pada delik korupsi terkait dengan suap menyuap, tetapi jika

ditinjau dari segi filosofi atau tujuan dijatuhkannya pidana tambahan berupa pembayaran

uang pengganti tersebut sebenarnya karena terpidana tidak layak mendapatkan kekayaan dan

keuntungan yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi, sehinga untuk itu Negara dapat

merampas kekayaan atau keuntungan yang merupakan hasil dari kejahatan tersebut.

Meskipun uang yang telah terbukti diterima oleh terpidana tersebut berasal dari

Permai Grup, akan tetapi uang tersebut tetap terkait dengan keuangan Negara yang

bersumber dari proyek-proyek yang didanai APBN 2010 dan APBN-P 2010, karena uang

tersebut berasal dari Permai Grup atas proyek-proyek Pemerintah yang telah disetting sejak

awal.
Hal ini menunjukkan bahwa putusan yang diambil oleh Hakim Agung Artidjo

Alkostar tidak hanya dipengaruhi dari segi aliran positivisme yang hanya mengacu pada

peraturan perundang-undangan, namun juga dilihat dari konteks yang lebih besar.

Lengkah tersebut menjadi bukti bahwa Hakim Agung Artidjo Alkostar telah

menggunakan filsafat hukum dalam mengambil keputusannya sebagai alat untuk melengkapi

sisi undang-undang yang tidak lengkap dan menggunakan filsafat hukum tersebut untuk

create law (yurisprudensi).

Keberanian Hakim Agung Artidjo Alkostar dalam menerapkan Pasal 12 huruf a

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan

mengesampingkan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 serta menyandingkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan argumentasi hukum yang

tepat merupakan lompatan pertimbangan hukum yang dilakukan oleh seorang hakim dengan

tetap pada koridor undang-undang.

Berdasarkan tinjauan filsafat di atas, maka dapat dikatakan bahwa Hakim Agung

Artidjo Alkostar telah berhasil menciptakan suatu yurisprudensi (create law) yang dapat

mejadi cerminan bagi hakim yang lain dalam memeriksa dan mengadili perkara yang serupa

di kemudian hari.

Anda mungkin juga menyukai