KemenkeuTepercaya
dan
Pendapat Hukum
Bagus Pinandoyo Basuki
1
Apa Itu Telaahan
Hukum dan Telaahan dan Pendapat Hukum yang merupakan tugas Biro
Advokasi berdasarkan PMK 118/2020 dapat didefinisikan
2
Tujuan dari
Pembuatan Telahaan Telahaan dan Pendapat Hukum dibuat dengan tujuan
mengidentifikasi dan menganalisis permasalah hukum
dan Pendapat Hukum yang sedang dihadapi oleh stakeholders atau unit-unit di
lingkungan Kementerian Keuangan.
3
Siapa yang
Membutuhkan
Telaahan dan Pendapat
Hukum?
Stakeholders dan Unit-unit di lingkungan
Kementerian Keuangan,
4
Berbagai Hal Yang
Harus Diperhatikan 1. Berlandaskan peraturan perundang-undangan
Dalam Telaahan yang berlaku;
5
Kedudukan Telahaan
dan Pendapat Hukum Telahaan dan Pendapat Hukum diatau biasa juga dikenal
sebagai Legal Opinion, di dalam suatu proses persidangan di
Pengadilan dapat digunakan oleh Hakim dalam memberikan
Sebagai Sumber putusan,
yang berarti legal opinion dapat dijadikan sumber hukum oleh
Hukum
hakim. Akibatnya, Legal opinion yang semula bersifat tidak
mengikat dapat menjadi mengikat bagi para pihak yang
berperkara.
6
KemenkeuTepercaya
Rekomendasi
Hukum
7
Pemberian
Rekomendasi Hukum
Merupakan tindak lanjut dari proses penanganan perkara (baik proses sebelum, saat, dan setelah
beracara di pengadilan), guna melakukan perbaikan atau penyempurnaan kebijakan/proses
bisnis/aturan/ketentuan yang dapat mengakibatkan permasalahan hukum.
8
KemenkeuTepercaya
Contoh Telaahan
Pendapat
9
Kali ini sobat Kemenkeu akan lebih mengenal terkait Telaahan
Pendapat Hukum melalui salah satu contoh hasil telaahan hukum
yang telah dikeluarkan oleh Biro Advokasi.
Semoga melalui contoh ini, Sobat memiliki gambaran lebih terkait
pelaksanaan Telaahan Pendapat (TP) Hukum yaa … ☺
Contoh TP Hukum yang akan kita angkat dalam sesi ini adalah terkait
telaahan dan penyusunan pendapat hukum atas permintaan
pembayaran uang ganti rugi tanah oleh suatu pihak masyarakat
(selanjutnya kita sebut masyarakat A).
Masyarakat A menyampaikan permintaan tersebut melalui surat dan
ditujukan kepada Menteri Desa PDT dan Transmigrasi RI dan Menteri
Keuangan RI cq DJKN cq Direktorat Hubungan dan Hukum
Masyarakat.
Atas surat tersebut, oleh DJKN diteruskan kepada Sekretariat Jenderal
c.q. Biro Advokasi, dan Sekretaris Jenderal memberikan arahan
kepada Biro Advokasi untuk melakukan Telahaan dan menyusun
pendapat hukum atas isi surat yang dikirimkan oleh Masyarakat A.
Surat tersebut pada intinya berisi permintaan pembayaran ganti rugi
atas tanah milik masyarakat A yang dijadikan tempat transmigrasi
oleh Pemerintah Kabupaten A dengan nilai ganti rugi sebesar Rp.
3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah) berdasarkan Putusan Pengadilan
Berdasarkan penelitian Biro Advokasi atas surat dan dokumen terkait diketahui hal-hal sebagai berikut :
a. Perkara tersebut diajukan oleh beberapa orang yang mengaku sebagai pemilik tanah seluas 200 Ha yang
terletak di Desa A, dimana tanah tersebut dijadikan lahan pemukiman transmigrasi asal pulau Jawa dan Bali
pada tahun 1971-1975. Para Penggugat kemudian meminta Hakim menyatakan bahwa Bupati A melakukan
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) karena menggunakan tanah tersebut sebagai lahan pemukiman
transmigrasi. Dengan dalil PMH yang dilakukan Bupati A Penggugat menuntut ganti rugi sebesar Rp.
10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah).
b. Gugatan tersebut dikabulkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri dan memutuskan Bupati Kabupaten A selaku
Tergugat telah melakukan PMH dan karena itu dihukum untuk membayarkan ganti kerugian kepada para
Penggugat sebesar Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah) dengan rincian 200 Ha x Rp. 15.000.000,- /ha.
Putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi pada tingkat Banding. Selanjutnya Pemerintah Kabupaten
A tidak lagi mengajukan upaya hukum kasasi sesuai tenggat waktu dan juga tidak melakukan upaya Hukum
luar biasa Peninjauan Kembali.
c. Dari sisi proses berperkara, sesuai hukum acara perdata, dengan tidak adanya upaya hukum kasasi atas
putusan Pengadilan Tinggi (PT), maka putusan tersebut telah inkracht. Dengan telah inkrachtnya putusan PT
maka PN berwenang (atas permintaan Penggugat) melakukan teguran (aanmaning) kepada Tergugat untuk
melaksanakan eksekusi putusan, dalam hal ini melakukan pembayaran ganti rugi.
d. Eksekusi putusan melalui aanmaning (teguran) telah dilakukan pada tanggal 15 Januari 2013 oleh Ketua
Pengadilan Negeri A kepada Bupati Kabupaten A.
e. Diketahui pula bahwa pada tahun 2018, Pemerintah Kabupaten A pernah menyampaikan surat kepada Menteri
Terhadap permasalahan tersebut, Biro Advokasi melakukan
analisa dan berikut merupakan hasil analisa serta pendapat
hukum atas permasalahan permintaan ganti rugi tersebut yang
disampaikan kepada Sekretaris Jenderal :
a. Terkait putusan
1) Penggugat dalam perkara tersebut adalah 100 orang yang
merupakan pemegang hak milik tanah adat yang terletak di
Desa A (objek sengketa perkara a quo).
2) Pemerintah Kabupaten A tidak melakukan upaya hukum
secara maksimal dalam penanganan perkara karena tidak
melakukan upaya hukum kasasi maupun PK sebagai upaya
hukum luar biasa.
3) Kementerian Keuangan dan Kementerian Desa bukan pihak
dalam perkara.
b. Terkait anggaran
1) Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah
Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran (PP No. 90 Tahun 2010), diatur bahwa:
Pasal 15 ayat (1):
“Dalam tahun berjalan, Kementerian/Lembaga melakukan perubahan 3) Berdasarkan ketentuan tersebut
RKA-K/L dalam hal: a. Terdapat tambahan dan/atau pengurangan
alokasi anggaran akibat Perubahan APBN dan/atau realokasi maka pengajuan anggaran untuk
anggaran belanja dari yang telah ditetapkan dalam dokumen pelaksanaan putusan dilakukan
pelaksanaan anggaran; dan/atau b. Terdapat perubahan dokumen oleh instansi yang menjadi pihak
pelaksanaan anggaran yang memerlukan persetujuan DPR.” dalam perkara sesuai dengan
Pasal 15 ayat (4): mekanisme penganggaran yang
“RKA-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar berlaku.
penyusunan revisi dokumen pelaksanaan anggaran berkenaan.”
2) Selanjutnya terkait penganggaran untuk pelaksanaan putusan 4) Permohonan Bupati A untuk
inkracht diatur dalam Pasal 13 ayat (1) huruf l Peraturan Menteri alokasi anggaran di Kementerian
Keuangan Nomor 208 Tahun 2020 tentang Tata Cara Revisi Desa tidak sejalan dengan
Anggaran Tahun Anggaran 2021 (PMK No. 208 Tahun 2020), yang ketentuan tersebut.
berbunyi:
“Revisi Anggaran berupa pergeseran anggaran dalam 1 (satu)
program untuk substansi tertentu yang menjadi kewenangan
Direktorat Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf c butir 2 meliputi:
l. Pergeseran anggaran untuk penyelesaian putusan Pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht).”
c. Pendapat
1) Sesuai dengan PSAK terkait perlakuan akuntansi putusan inkracht
sebagaimana Surat Direktur Jenderal Perbendaharaan No. S-3224/PB/2015
tanggal 21 April 2015 yang telah dituangkan kembali dalam Surat Direktur
Jenderal Perbendaharaan No. SR-10/PB/2019 tanggal 12 April 2019 dan
telah bersesuaian dengan PMK No. 234/PMK.05/2020 tentang Perubahan
atas PMK No. 225/PMK.05/2019 tentang Kebijakan Akuntansi Pemerintah
Pusat, putusan inkracht baru dapat dicatat sebagai kewajiban setelah
disediakan anggaran dalam APBN. Pengalokasian anggaran dalam APBN
dilakukan apabila tidak ada lagi upaya hukum dan upaya lain yang dapat
dilakukan terhadap putusan tersebut.
2) Memperhatikan bahwa upaya hukum yang dilakukan PemKab A belum
optimal, maka penganggaran atas putusan ini tidak sesuai dengan
ketentuan PSAK tersebut.
3) Mengingat surat diajukan oleh kuasa hukum Penggugat (Masyarakat A),
pada dasarnya cukup untuk dijawab dengan menyatakan bahwa
Kementerian Keuangan bukan pihak terkait dalam perkara tersebut,
sehingga tidak mempunyai kapasitas untuk menjawab permohonan dari
Pemohon.
Atas hasil telaahan dan pendapat di atas, maka Biro Advokasi kemudian
membalas surat Masyarakat A dan pada intinya menyampaikan bahwa
Kementerian Keuangan bukan pihak dalam perkara tersebut sehingga terkait
eksekusi putusan dimaksud Kementerian Keuangan tidak mempunyai kapasitas
untuk memberikan tanggapan.
Contoh Konsep
KemenkeuTepercaya
Rekomendasi
Hukum
Pelaksanaan Lelang Hak Tanggungan
pada Pembiayaan Syariah
17
Permasalahan
• Berdasarkan UU Perbankan Syariah (UU 21/2008) : Prinsip Bank Syariah ≠ Prinsip Bank Konvensional
→ Prinsip Bagi Hasil
• Peraturan Pelaksanaan UU Perbankan Syariah belum ada sehingga saat terjadi dispute,
penyelesaiannya tidak mencerminkan prinsip Syariah, seperti :
• Belum terdapat aturan khusus terkait pembiayaan Syariah → pengikatan agunan s.d. penjualannya
masih mengacu tata cara pembiayaan bank konvensional yaitu diikat sbg jaminan sesuai UU UHT dan
pelaksanaan lelang berdasarkan PMK 27/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang
• Berbagai Pertimbangan hukum oleh hakim Pengadilan Agama menggunakan fatwa DSN-MUI karena
adanya perbedaan mendasar antara pola transaksi pembiayaan Syariah dengan perbankan
konvensional.
Rekomendasi
1. Kemenkeu cq. DJKN sebagai regulator di bidang lelang memiliki kewenangan untuk menyusun peraturan
tentang lelang baik dari pembiayaan konvensional maupun dari pembiayaan syariah;
2. Sesuai aturan perUUan, Menkeu diberikan wewenang untuk mengatur jenis-jenis lelang, maka juga
berwenang mengatur lelang yang berasal dari pembiayaan syariah, yang berdasarkan prinsip:
a. Adanya ukuran yang mencerminkan bagi hasil;
b. Penyelesaian sengketa antara para pihak melalui musyawarah;
c. Nasabah diberikan kesempatan untuk menjual agunan;
d. Kesepakatan tentang nilai limit barang agunan yang akan dijual.
3. Disadari bahwa sulit untuk mencapai kesepakatan apabila terjadi dispute antara para pihak, maka sekiranya
dalam Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara No. 2/KN/2017 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Lelang, ditambahkan ketentuan khusus yang mengatur tentang syarat formil permohonan lelang pada
pembiayaan syariah.
4. Adapun ketentuan yang dapat ditambahkan pada Juknis Lelang bagi pelelangan untuk barang jaminan pada
pembiayaan syariah, antara lain:
• Sudah pernah dilakukan musyawarah antara Debitur dan Kreditur;
• Keterlibatan Debitur dalam menentukan harga limit; dan
• Mengingat pembiayaan syariah menganut prinsip bagi hasil, maka disarankan agar sektor perbankan juga
membuat batasan/ukuran bahwa kredit macet disebabkan oleh kesalahan nasabah atau bukan, hal ini
penting karena prinsip dalam pembiayaan syariah, resiko yang timbul akan ditanggung bersama Debitur
dan Kreditur.
Terima kasih
Biro Advokasi
Jakarta Pusat
20