Anda di halaman 1dari 17

KAPITA SELEKTA

SISTEM PERADILAN PIDANA

Mata Kuliah: Sistem Peradilan Pidana


Dosen Pengampu: Maya Shafira, S.H., M.H.

Disusun oleh
Bagas Pardana Siregar (1812011091)
Jose Pernandes Togatorop (1812011158)
Nirmala Rosa (1812011102)
Venny Fransisca Febriyany (1812011020)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2021
A. Pengadilan Tipikor
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) merupakan salah satu bagian dari hukum
pidana khusus yang memiliki ketentuan tertentu yang berbeda dengan hukum
pidana umum, khususnya dengan adanya penyimpangan dalam hukum pidana
formil. Namun, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengamanatkan dibentuknya
komisi independen pemberantasan tindak pidana korupsi, sama sekali tidak
mengamanatkan tentang pembentukan pengadilan khusus tindak pidana
korupsi. Ide pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi muncul dalam
proses pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (yang saat ini telah diperbaharui dengan
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 (UU KPK)), yang dimuat dalam Bab
VII tentang Pemeriksaan di Sidang Pengadilan pada Pasal s.d. Pasal 62.

Dasar Hukum Pengadilan Tipikor


Pembentukan Pengadilan Tipikor melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 telah diuji materiil yang dimuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor: 012-016- 019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 yang pada
pokoknya menyatakan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dimuat
dalam Pasal 53 s.d. 62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 adalah
inskonstitusional.1 Atas dasar Putusan MK tersebut, diterbitkan produk hukum
baru yaitu Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi (UU Pengadilan Tipikor) dan ketentuan Pasal 39 telah
mencabut berlakunya Pasal 53 s.d. 62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Pengadilan Tipikor ini berbeda dengan Pengadilan Tipikor sebelumnya yang
hanya memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana yang penuntutannya
diajukan oleh KPK.

Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Tipikor


1
Mudzakkir, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Tindak Pidana Biasa Penanganannya Luar Biasa,
Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 8 No. 2 - Juni 2011, hlm. 312.
Kedudukan Pengadilan Tipikor dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
setelah diundangkanya UU Pengadilan Tipikor membangun atau membentuk
sistem hukum di Indonesia. Kedudukan Pengadilan Tindak Pidana korupsi
dalam sistem peradilan juga dicita-citakan untuk dapat mewujudkan supremasi
hukum.2 Pasal 2 UU Pengadilan Tipikor yang merupakan Pengadilan Khusus
yang berada dibawah lingkungan Peradilan Umum. Dengan demikian,
Pengadilan Tipikor berada di lingkungan Peradilan Umum sebagai Pengadilan
Khusus sehingga kedudukannya akan sama dengan Pengadilan khusus lainnya
yang sudah dahulu ada seperti Pengadilan HAM. Pengadilan Tipikor ada di
setiap Pengadilan Negeri sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 3 UU
Tipikor. Hal ini juga menimbulkan konsekuensi bagi Komisi Pemberantasan
Korupsi untuk membentuk perwakilannya disetiap daerah dalam rangka
mempermudah proses baik penyelidikan, penuntutan, dan persidangan di
Pengadilan yang ada disetiap daerah sesuai dengan asas peradilan cepat,
sederhana, dan biaya ringan.

Pengadilan Tipikor merupakan “satu-satunya pengadilan” yang diberi


wewenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana
korupsi, tidak ada peradilan umum atau khusus lain yang berwenang untuk
memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi selain pengadilan
khusus yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009
yang berada pada pengadilan umum. Pengadilan Tipikor diberi wewenang
untuk mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana
pencucian uang yang tindak pidana asalnya dari Tindak Pidana Korupsi.
Kewenangan Pengadilan Tipikor diperluas bukan hanya berwenang mengadili
perkara tindak pidana korupsi tetapi juga diberi wewenang memeriksa,
mengadili dan memutus perkara tindak pidana pencucian uang yang tindak
pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi.

2
Dian Eka Prastiwi, Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-undang
Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan
Korupsi, Parlev Journal of Law, Volume 2 Issue 1, Agustus 2019, hlm. 68.
Perkara tindak pidana korupsi tidak lagi diproses melalui pengadilan ganda
seperti sebelumnya yaitu Pengadilan Umum yang memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan penuntut
umum dari kejaksaan dan Pengadilan Tipikor di Pengadilan Jakarta Pusat yang
penuntutannya diajukan oleh KPK, melainkan menjadi satu-satunya pengadilan
yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang penuntutannya
diajukan oleh penuntut umum, baik penuntut umum yang berada di bawah
manajemen Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Tindak Pidana Biasa
Penanganannya Luar Biasa Kejaksaan Agung maupun penuntut umum di
bawah manajemen KPK

Prosedur Beracara dalam Pengadilan Tipikor


Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tipikor dilakukan berdasarkan hukum acara
pidana yang berlaku (KUHAP). Kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan yang dilakukan KPK sebagai kompetensi penanganan perkara
tindak pidana korupsi oleh KPK bukanlah kompetensi absolut, karena perkara
tindak pidana korupsi tersebut dapat juga ditangani oleh penyidik polisi dan
penyidik jaksa, dan penuntutannya dapatt dilakukan oleh penuntut umum pada
kejaksaan.3 Sedangkan dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
tindak pidana korupsi pada Pengadilan Tipikor, pengadilan tinggi, dan
Mahkamah Agung terdiri atas Hakim Karier dan Hakim ad hoc. Hakim Karier
ditetapkan berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung.

Perkara tindak pidana korupsi diperiksa, diadili, dan diputus oleh Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi tingkat pertama dalam waktu paling lama 120 (seratus
dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perkara dilimpahkan ke
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pemeriksaan tingkat banding Tindak
Pidana Korupsi diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh
Pengadilan Tinggi. Pemeriksaan tingkat kasasi Tindak Pidana Korupsi

3
Mudzakkir, Op. Cit, hlm. 315.
diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
B. Pengadilan Tindak Pidana di Bidang Perikanan
Sejak diundangkannya UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
penegakan hukum di bidang perikanan harus didukung oleh perangkat hukum
yang memadai, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilaN. UU
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan kemudian diubah dalam Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 Tetang Perikanan (selanjutnya disebut “UU
Perikanan”). Adapun institusi negara yang berwenang melakukan penyidikan,
penuntutan, dan mengadili tindak pidana di bidang perikanan antara lain
Departemen Kelautan dan Perikanan, TNI Angkatan Laut, POLRI, Kejaksaan,
Dan Pengadilan Perikanan atau Pengadilan Negeri.

Dasar Hukum Pengadilan Tindak Pidana di Bidang Perikanan


Dasar hukum pembentukan pengadilan perikanan terdapat dalam Pasal 71 UU
Perikanan yang mengatur tentang pembentukan pengadilan perikanan yang
merupakan pengadilan khusus yang berwenang memeriksa, mengadili, dan
memutus tindak pidana di bidang perikanan yang berada pada lingkungan
peradilan umum. Peradilan khusus perikanan dalam lingkungan peradilan
umum dibentuk dengan pertimbangan bahwa pembentukan badan peradilan
khusus ini diharapkan akan lebih memungkinkan bagi tercapainya asas
peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Pengadilan Perikanan secara
khusus juga telah diatur pada PERMA Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Pengadilan Perikanan. Pengadilan Perikanan bertugas dan berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan yang
dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang hakim karier
Pengadilan Negeri dan 2 (dua) orang hakim ad hoc. Pengadilan perikanan
pertama kali dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak,
Bitung, dan Tual.

Kewenangan Mengadili Pengadilan Tindak Pidana di Bidang Perikanan


Kewenangan absolut dari Pengadilan Perikanan hanya terhadap tindak pidana
di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Republik Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun
warga negara asing sebagaimana yang diamanatkan pada Pasal 71 UU
Perikanan yang menyatakan bahwa “Pengadilan perikanan berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tindak pidana di bidang
perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun warga
negara asing”.

Namun demikian, belum terbentuknya pengadilan perikanan di suatu wilayah,


tidak menghapuskan tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah tersebut.
Terhadap tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah yang belum dibentuk
pengadilan perikanan, maka perkara diperiksa, diadili, dan diputus oleh
pengadilan negeri sebagaimana dimaksud Pasal 106 UU Perikanan yang
menyatakan bahwa “Selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain
pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), perkara
tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar daerah hukum
pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) tetap
diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang.”

TerhadaptTindak pidana perikanan warga negara asing di wilayah Zona


Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia berlaku UNCLOS dan hukum
internasional lainnya. Berdasarkan Article 73 Paragraph 2 UNCLOS yang
menyatakan bahwa “Arrested vessels and their crews shall be promptly
released upon the posting of reasonable bond or other security”, maka hanya
nahkodah kapal yang dapat dipidana sedangkan awak kapal dipulangkan.4

Prosedur Beracara dalam Pengadilan Tindak Pidana di Bidang Perikanan


Proses penyidikan pada UU Perikanan pada dasarnya sama dengan hukum
acara pada pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
4
Ade Hari Siswanto, Peran Pengadilan Perikanan Dalam Illegal Fishing Oleh Kapal Asing Di
Wilayah Kedaulatan Laut Indonesia, Forum Ilmiah Volume 16 Nomor 1, Januari 2019, hlm. 26.
1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut
“KUHAP”). Pasal 72 UU Perikanan yang menyatakan bahwa “Penyidikan
dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan, dilakukan berdasarkan
hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”.
Pada tingkat penyidikan, terdapat 3 (tiga) instansi yang berwenang melakukan
penyidikan, yaitu POLRI, PPNS Perikanan, dan TNI AL.

Penuntutan pada tindak pidana perikanan juga menggunakan KUHAP sebagai


dasar dalam proses penuntutan kecuali bila ditentukan lain oleh UU Perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 UU Perikanan yang mengatakan bahwa
“Penuntutan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan dilakukan
berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-
Undang ini”. Penuntutan terhadap tindak pidana di bidang perikanan dilakukan
oleh penuntut umum yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis di
bidang perikanan. Jangka waktu pemberkasan perkara pidana perikanan di
tingkat penuntutan dibatasi paling lama 30 (tiga puluh) hari harus sudah
disampaikan ke tingkat pengadilan, sejak berkas perkara tersebut diterima
lengkap dari penyidik. Penuntutan dalam tindak pidana perikanan dilakukan
oleh penuntut umum yang ditetapkan oleh Jaksa Agung dan telah memenuhi
syarat yang telah ditetapkan oleh UU perikanan sebagaimana dimaksud Pasal
75 UU 45/2009 yang menyatakan bahwa:
“(1) Penuntutan terhadap tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh
penuntut umum yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
(2) Penuntut umum perkara tindak pidana di bidang perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berpengalaman menjadi penuntut umum sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun;
b. telah mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis di bidang perikanan; dan
c. cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama menjalankan
tugasnya”.

Penuntutan perkara tindak pidana perikanan dimulai sejak berkas perkara


penyidikan dari penyidik dinyatakan sudah lengkap, dengan batas waktu paling
lama 30 hari penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri
sebagaimana dimaksud Pasal 76 Ayat (9) UU Perikanan yang mengatakan
bahwa “Penuntut umum menyampaikan berkas perkara kepada ketua
pengadilan negeri yang berwenang paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
tanggal penerimaan berkas dari penyidik dinyatakan lengkap”.

Apabila terhadap suatu perkara pidana telah dilakukan penuntutan, maka


perkara tersebut diajukan ke pengadilan. Pada dasarnya, proses Pemeriksaan di
Sidang Pengadilan Perikanan menggunakan Proses yang sama dalam Pengailan
SIdang Pengadilan Pidana Umum, hanya terdapat beberapa kekhususan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 UU No. 31/2004 yang menyatakan
bahwa “Pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana di
bidang perikanan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”.

Kekhususan yang pertama ialah bahwa tindak pidana perikanan diperiksa,


diadili dan diputus oleh majelis hakim pada Pengadilan Negeri yang berjumlah
3 (tiga) Orang; 2 (dua) di antaranya merupakan hakim ad-hoc dan 1 (satu)
hakim lainya merupakan hakim karir sebagaimana Pasal 78 ayat (2) UU
Perikanan yang menyatakan bahwa “Susunan majelis hakim terdiri atas 2 (dua)
hakim ad hoc dan 1 (satu) hakim karier”.

Tahap memeriksaan perkara pidana di pengadilan perikanan dilakukan setelah


tahap pemeriksaan pendahuluan selesai. Pemeriksaan ini dilandaskan pada
sistem atau model accusatoir, yakni pendakwa (penuntut umum) dan terdakwa
berhadapan sebagai pihak yang sama haknya, yang melakukan pertarungan
hukum (rectsstrijd) di muka hakim yang hendak memihak.5 Jangka waktu
persidangan adalah 30 hari semenjak tanggal penerimaan pelimpahan perkara
dari penuntut umum. Hal ini berarti bahwa hakim harus memutus perkara
tersebut dalam waktu 30 hari sebagaimana Pasal 80 ayat (1) UU Perikanan
yang menyatakan bahwa “Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari

5
Ibid, hlm. 28.
terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan perkara dari penuntut umum,
hakim harus sudah menjatuhkan putusan”.
Kekhususan lain dalam Pengadilan Perikanan ialah proses persidangan dan
pembacaan putusan dapat dilakukan tanpa kehadiran terdakwa (in absentia)
sebagaimana Pasal 79 UU 31/2004 yang menyatakan bahwa “Pemeriksaan di
sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa” Jo. Pasal 80
ayat (2) UU 31/2004 mengatakan bahwa “Putusan perkara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh hakim tanpa kehadiran
terdakwa”.

C. Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya


Kehadiran korporasi pada dasarnya adalah akibat dari perkembangan
modernisasi dalam rangka mempermudah pemenuhan kebutuhan manusia
dalam bermasyarakat. Pengertian korporasi dalam bidang hukum perdata
adalah “badan hukum”, sedangkan dalam hukum pidana pengertian korporasi
bukan hanya yang berbadan hukum, tetapi juga yang tidak berbadan hukum.
Korporasi merupakan sebutan yang lazim dipergunakan dikalangan pakar
hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang lain, khususnya
bidang hukum perdata, sebagai hukum dagang. Menurut Mardjono
Reksodiputro, tindak pidana korporasi merupakan bagian dari White Collar
Crime yang dikemukakan oleh Shutherland berikut ini: “…is a violation of
criminal law by the person of the upper socioeconomic class in the course of
his occupational activities” (kejahatan kerah putih adalah suatu kejahatan yang
dilakukan oleh seseorang yang mempunyai tingkat sosial ekonomi kelas atas
yang berhubungan dengan jabatannya)6.

Kejahatan korporasi (corporate crime) merupakan salah satu wacana yang


timbul dengan semakin majunya kegiatan perekonomian dan teknologi.
Adanya korporasi memang banyak mendatangkan keuntungan bagi masyarakat
dan negara, seperti adanya kenaikan pemasukan kas negara dari pajak dan
devisa, membuka lapangan pekerjaan, peningkatan alih teknologi dan lain-lain.
6
Kristian, Urgensi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Magister Ilmu Hukum Universitas
Parahyangan, hlm. 4.
Adanya korporasi juga dapat mendatangkan dampak negatif, seperti
pencemaran lingkungan, eksploitasi atau penguasaan sumber daya alam,
bersaing secara curang, manipulasi pajak, eksploitasi terhadap pekerja/buruh,
menghasilkan produk di bawah standar atau cacat yang membahayakan
konsumen dan lain sebagainya. Munculnya dampak negative ini diakibatkan
korporasi terlalu mengejar keuntungan yang cukup besar.

Tindak pidana yang dilakukan korporasi sangat beraneka ragam. Dibidang


ekonomi, menurut Joseph F. Sheley bentuk tindak pidana korporasi adalah
sebagai berikut: Defrauding stockholders, yaitu menggelapkan atau menipu
para pemegang saham. Defauding the public, yaitu menipu masyarakat.
Defauding the government, yaitu menipu Pemerintah. Endangering the public
welfare, yaitu membahayakan kesejahteraan umum. Endangering employees,
yaitu membahayakan pekerja. Illegal intervention in the political process, yaitu
intervensi illegal dalam proses politik7. Salah satu contoh perbuatan pidana
yang seringkali dilakukan oleh suatu korporasi, misalnya adalah korporasi
melakukan pencemaran lingkungan, melakukan unfair business atau bahkan
melakukan suatu tindak pidana dibidang ekonomi seperti tindak pidana korupsi
atau tindak pidana pencucian uang (tindak pidana korupsi dan tindak pidana
pencucian uang secara pasif bahkan secara aktif) yang tidak hanya merugikan
orang perseorangan ataupun masyarakat luas tetapi juga sangat berpotensi
menimbulkan suatu kerugian negara.

Di bidang sosial budaya, tindak pidana korporasi yang dilakukan berupa


tindakan-tindakan yang berupa tindakan yang merugikan pemegang hak cipta,
kurang memerhatikan keamanan dan kesehatan kerja para pekerja/buruh,
tindak pidana yang berakibat merusak pendidikan dan generasi muda, seperti
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dan lain sebagainya8.

7
Bambang Ali, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana di Indonesia, Wacana
Hukum, Vol VII No 2, Oktober 2008, hlm. 4.
8
Ibid, hlm. 5.
Salah satu yang membedakan antara kejahatan korporasi dengan kejahatan
konvensional/tradisional pada umumnya, terletak pada karakteristik yang
melekat pada kejahatan korporasi itu sendiri, antara lain9:
1. Kejahatan tersebut sulit dilihat (low visibility), karena biasanya tertutup oleh
kegiatan pekerjaan yang normal dan rutin, melibatkan keahlian profesional
dan sistem organisasi yang kompleks;
2. Kejahatan tersebut sangat kompleks (complexity) karena selalu berkaitan
dengan kebohongan, penipuan dan pencurian serta sering kali berkaitan
dengan sebuah yang ilmiah, teknologi, finansial, legal, terorganisasikan, dan
melibatkan banyak orang serta berjalan bertahun-tahun;
3. Terjadinya penyebaran tanggung jawab (diffusion of responsibility) yang
semakin luas akibat kompleksitas organisasi;
4. Penyebaran korban yang sangat luas (diffusion of victimization) seperti
polusi dan penipuan;
5. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan (detection and prosecution)
sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara aparat penegak
hukum dengan pelaku kejahatan;
6. Peraturan yang tidak jelas (ambiguitas law) yang sering menimbulkan
kerugian dalam penegakan hukum; dan
7. Sikap mendua status pelaku tindak pidana. Harus diakui bahwa pelaku
kejahatan korporasi pada umumnya tidak melanggar peraturan perundang-
undangan, tetapi apa yang dilakukan memang merupakan perbuatan yang
ilegal (Mahrus Ali, 2013).

Pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dalam perkembangannya


melalui berbagai tahapan, diantaranya yaitu10 :
Tahap Pertama, pada tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik
yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan. Apabila suatu tindak
pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana tersebut
dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut.
9
Michelle Kristina, “Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dengan Adanya
Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016”, Jurnal Yustika, Vol 20 No 10, Desember 2019,
hlm. 3.
10
Ibid, hlm. 20-22.
Tahap Kedua, pada tahap ini tanggungjawab perlahan-lahan beralih dari
anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau dengan larangan
melakukan apabila melalaikan memimpin secara sesungguhnya atau dengan
perkataan lain bahwa pertanggungjawaban pidana tetap dimintakan terhadap
pengurus yang secara nyata memimpin korporasi tersebut.

Tahap Ketiga, pada tahap ini merupakan permulaan adanya tanggung jawab
yang langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu sesudah Perang Dunia
II. Pada tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta
pertanggungjawaban menurut hukum pidana. Alasan diaturnya korporasi
sebagai pembuat dan pihak yang harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya secara pidana adalah karena dalam delik-delik ekonomi dan
fiskal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita
masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang
bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja.

Terdapat beberapa doktrin yang membenarkan korporasi sebagai subjek hukum


pidana, yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara pidana. Pada umumnya, pertanggungjawaban
korporasi didasarkan pada doktrin respondeat superior yaitu suatu doktrin
yang menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak bisa melakukan kesalahan.
Dalam hal ini hanya agen-agen korporasilah yang bertindak untuk dan atas
nama korporasi. Oleh sebab itu, hanya agen-agen korporasi saja yang dapat
melakukan kesalahan. Doktrin respondeat superior inilah yang kemudian
menghasilkan tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu direct
corporate criminal liability, strict liability, dan vicarious liability.

Penjelasan terhadap ketiga cabang doktrin respondeat superior adalah11 :

11
Ibid, hlm. 25-34.
1. Direct Corporate Criminal Liability, yakni berdasarkan doktrin ini
perbuatan pejabat senior dianggap juga sebagai perbuatan korporasi.
Doktrin ini telah mantap di Inggris, dengan konsep bahwa suatu korporasi
dapat bertanggungjawab secara pidana, baik sebagai pembuat atau peserta
untuk tiap delik, meskipun disyaratkan adanya mens rea dengan
menggunakan asas identifikasi.
2. Strict Liability, yaitu pertanggungjawaban terhadap korporasi dapat dapat
dimintakan tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan dari
pelaku tindak pidana.
3. Vicarious Liability, merupakan doktrin yang didasarkan pada prinsip
employment principle yang memiliki makna majikan adalah
penanggungjawab utama dari perbuatan para buruhnya atau karyawannya.
Doktrin ini dibatasi pada keadaan tertentu dimana majikan (korporasi)
hanya bertanggungjawab atas perbuatan salah pekerja yang masih dalam
ruang lingkup pekerjaannya. Hal ini dikarenakan majikan memiliki kontrol
dan kekuasaan atas mereka dan keuntungan yang mereka peroleh secara
langsung dimiliki oleh majikan (korporasi).

D. Selayang Pandang RUU KUHAP


Hukum pidana formal atau hukum acara pidana adalah hak negara untuk
melaksanakan hukum pidana materiel, dan bertujuan untuk mencari dan
mendapatkan kebenaran, memperoleh keputusan dari hakim serta mewujudkan
atau melaksanakan putusan hakim. Hukum acara pidana juga berupaya
mencapai kebenaran dan keadilan demi terwujudnya suatu ketertiban,
keamanan, kepastian hukum, dan kesejahteraan masyarakat Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945).

Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah hukum yang
mengatur bagaimana perlakuan-perlakuan yang harus dilakukan terhadap
seseorang yang mulai disangka melakukan perbuatan pidana, sampai kemudian
dijatuhi hukuman di dalam sidang pengadilan.
Bambang Poernomo berpendapat, hukum acara pidana memuat ketentuan
tentang tata cara tentang suatu proses perkara pidana, mengatur hak dan
kewajiban bagi mereka yang bersangkut paut dalam proses perkara, serta
mengatur pelaksanaan peradilan menurut undang – undang. 12 Sejak
diberlakukannya Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada 31 Desember 1981,
maka sejak itu pula tidak ada lagi hukum acara pidana lain yang berlaku di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

KUHAP yang ada sekarang ini ialah sebagai pengganti dari Het Herziine
Inlandsch Reglement (HIR atau RIB) produk peninggalan kolonial Belanda,
yang telah dinyatakan tidak berlaku oleh UU tentang KUHAP itu sendiri.
Berdasarkan KUHAP tersebut, telah memberikan pendekatan system pada
peradilan pidana di Indonesia. Suatu pendekatan system yang mempergunakan
segenap unsur yang terlibat di dalamnya, sebagai satu kesatuan dan saling
berhubungan satu sama lain, yaitu polisi, jaksa, pengadilan, dan lembaga
pemasyarakatan.

Keberlakuan KUHAP di Indonesia sudah 40 (empat puluh) tahun. Sebagai


sebuah karya agung Bangsa Indonesia, KUHAP sudah berisikan pasal – pasal
yang melindungi hak asasi manusia tersangka maupun terdakwa dan ini
merupakan sebuah prestasi bagi Bangsa Indonesia. Namun demikian, KUHAP
dewasa kini dipandang tidak sesuai lagi dengan perubahan sistem
ketatanegaraan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, sehingga perlu
diganti dengan hukum acara pidana yang baru.
Terdapat beberapa indikator yang menunjukkan KUHAP sudah ketinggalan
zaman, yakni :13
Pertama, KUHAP masih belum mampu memenuhi kebutuhan hukum dalam
masyarakat, terutama dalam praktik penanganan perkara pidana yang menjadi

12
Dudung Indra, Pembaharuan Hukum Sistem Peradilan Pidana Dalam RUU KUHAP, Universitas
Wiralodra, Indramayu, hlm. 3.
13
Ibid, hlm. 4.
tugas para penegak hukum untuk menyelesaikan perkaranya secara baik dan
adil.
Kedua, perkembangan hukum dan perubahan peta politik yang dibarengi
dengan perkembangan ekonomi, transportasi, dan teknologi yang global
berpengaruh pula terhadap makna dan keberadaan substansi KUHAP.

Secara konseptual, urgensi pembaharuan KUHAP tidak sesederhana


sebagaimana diterangkan di atas. Setiap usaha untuk membaharui hukum,
termasuk pembaharuan hukum acara pidana di dalam KUHAP, bukanlah
semata – mata untuk memperbaiki hukum yang ada, tetapi justru mengganti
hukum tersebut dengan yang lebih baik. Sementara itu, harus diingat pula
bahwa pembangunan hukum merupakan proses perencanaan, yang selalu
berpangkal tolak dari kenyataan aktual menuju kepada keyakninan ideal. Oleh
karena itu, pikiran – pikiran untuk menjaga kesinambungan hukum juga harus
diperhatikan.

Dalam RUU KUHAP yang ada sekarang, setidaknya terdapat 2 (dua) isu yang
menarik untuk kita kaji, yaitu perihal pra peradilan dan penggunaan upaya
paksa, serta putusan dan upaya hukum.

Pertama, perihal isu pra peradilan dan penggunaan upaya paksa. Pra peradilan
yang diatur di dalam KUHAP diantaranya menyatakan pra peradilan
berwenang menguji sah atau tidak sahnya suatu penahanan (Pasal 77 huruf a
KUHAP). Kemudian, yang menjadi persoalan adalah KUHAP tidak
menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud perkataan sah atau tidaknya
tersebut. Akibatnya, selalu menjadi kontroversi ketika praktek hukum
memaknai perkataan sah atau tidaknya itu semata – mata sebagai jawaban dari
pernyataan, sejauhmana prosedur penahanan telah dilakukan oleh pejabat yang
berwenang untuk itu. Dengan demikian, lembaga pra peradilan hanya menjadi
lembaga pemeriksa kelengkapan administratif.
Apabila semangat perlindungan hak asasi tersangka dan terdakwa menjadi
pangkal tolak pembentukan lembaga pra peradilan dalam KUHAP, maka
seharusnya lembaga pra peradilan melakukan pemeriksaan yang bersifat
substansial. Untuk itu, di dalam RUU KUHAP terdapat pengaturan mengenai
peran Hakim Komisaris.14

Kedua, perihal isu putusan dan upaya hukum. Dalam realita, pengadilan
banyak memutuskan terdakwa bersalah atau tidak bersalah tanpa
mempertimbangkan keseluruhan fakta yang terungkap di persidangan. Dalam
kasus korupsi yang melibatkan Gubernur non aktif Kalimantan Timur, Letjen
Suwarna yang divonis bersalah melakukan turut serta melakukan tindak pidana
korupsi, sementara vonis tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan bahwa
pembuat prinsipilnya belum diperiksa apalagi dinyatakan bersalah melakukan
tindak pidana tersebut. Pada sisi yang lain, kecenderungan meningkatnya
respeksitas terhadap hak asasi manusia, termasuk hak tersangka dan terdakwa
tidak dapat dibendung. Ditambah lagi kecenderungan meningkatnya kesadaran
hukum masyarakat, termasuk tersangka dan terdakwa membuat semua profesi
hukum kerap menjadi sorotan masyarakat.

Hukum acara pidana kita pada dasarnya sudah menyediakan institusi yang
dapat secara professional menguji suatu putusan pengadilan, diantaranya yang
terpenting adalah upaya hukum. Dalam penanganan perkara pidana, baik
putusan pengadilan maupun upaya hukum, keduanya merupakan bagian dalam
sistem peradilan pidana. Pemahaman mengenai keduanya tidak dapat
dilepaskan dari design sistem peradilan pidana itu sendiri.

14
Ibid, hlm. 11.
REFERENSI

Ali, Bambang. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana di Indonesia.


Wacana Hukum. Vol VII No 2. Oktober 2008.

Indra, Dudung. Pembaharuan Hukum Sistem Peradilan Pidana Dalam RUU KUHAP.
Universitas Wiralodra. Indramayu.

Kristian. Urgensi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Magister Ilmu Hukum


Universitas Parahyangan.

Kristina, Michelle. “Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dengan Adanya


Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016”. Jurnal Yustika. Vol 20 No 10.
Desember 2019.

Mudzakkir. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Tindak Pidana Biasa Penanganannya


Luar Biasa. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 8 No. 2 - Juni 2011.

Prastiwi, Dian Eka. Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-
undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Terhadap Pemberantasan Korupsi. Parlev Journal of Law. Volume 2 Issue 1.
Agustus 2019.

Siswanto, Ade Hari. Peran Pengadilan Perikanan Dalam Illegal Fishing Oleh Kapal Asing
Di Wilayah Kedaulatan Laut Indonesia. Forum Ilmiah Volume 16 Nomor 1.
Januari 2019.

Anda mungkin juga menyukai