Disusun oleh
Bagas Pardana Siregar (1812011091)
Jose Pernandes Togatorop (1812011158)
Nirmala Rosa (1812011102)
Venny Fransisca Febriyany (1812011020)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2021
A. Pengadilan Tipikor
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) merupakan salah satu bagian dari hukum
pidana khusus yang memiliki ketentuan tertentu yang berbeda dengan hukum
pidana umum, khususnya dengan adanya penyimpangan dalam hukum pidana
formil. Namun, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengamanatkan dibentuknya
komisi independen pemberantasan tindak pidana korupsi, sama sekali tidak
mengamanatkan tentang pembentukan pengadilan khusus tindak pidana
korupsi. Ide pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi muncul dalam
proses pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (yang saat ini telah diperbaharui dengan
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 (UU KPK)), yang dimuat dalam Bab
VII tentang Pemeriksaan di Sidang Pengadilan pada Pasal s.d. Pasal 62.
2
Dian Eka Prastiwi, Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-undang
Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan
Korupsi, Parlev Journal of Law, Volume 2 Issue 1, Agustus 2019, hlm. 68.
Perkara tindak pidana korupsi tidak lagi diproses melalui pengadilan ganda
seperti sebelumnya yaitu Pengadilan Umum yang memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan penuntut
umum dari kejaksaan dan Pengadilan Tipikor di Pengadilan Jakarta Pusat yang
penuntutannya diajukan oleh KPK, melainkan menjadi satu-satunya pengadilan
yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang penuntutannya
diajukan oleh penuntut umum, baik penuntut umum yang berada di bawah
manajemen Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Tindak Pidana Biasa
Penanganannya Luar Biasa Kejaksaan Agung maupun penuntut umum di
bawah manajemen KPK
Perkara tindak pidana korupsi diperiksa, diadili, dan diputus oleh Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi tingkat pertama dalam waktu paling lama 120 (seratus
dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perkara dilimpahkan ke
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pemeriksaan tingkat banding Tindak
Pidana Korupsi diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh
Pengadilan Tinggi. Pemeriksaan tingkat kasasi Tindak Pidana Korupsi
3
Mudzakkir, Op. Cit, hlm. 315.
diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
B. Pengadilan Tindak Pidana di Bidang Perikanan
Sejak diundangkannya UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
penegakan hukum di bidang perikanan harus didukung oleh perangkat hukum
yang memadai, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilaN. UU
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan kemudian diubah dalam Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 Tetang Perikanan (selanjutnya disebut “UU
Perikanan”). Adapun institusi negara yang berwenang melakukan penyidikan,
penuntutan, dan mengadili tindak pidana di bidang perikanan antara lain
Departemen Kelautan dan Perikanan, TNI Angkatan Laut, POLRI, Kejaksaan,
Dan Pengadilan Perikanan atau Pengadilan Negeri.
5
Ibid, hlm. 28.
terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan perkara dari penuntut umum,
hakim harus sudah menjatuhkan putusan”.
Kekhususan lain dalam Pengadilan Perikanan ialah proses persidangan dan
pembacaan putusan dapat dilakukan tanpa kehadiran terdakwa (in absentia)
sebagaimana Pasal 79 UU 31/2004 yang menyatakan bahwa “Pemeriksaan di
sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa” Jo. Pasal 80
ayat (2) UU 31/2004 mengatakan bahwa “Putusan perkara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh hakim tanpa kehadiran
terdakwa”.
7
Bambang Ali, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana di Indonesia, Wacana
Hukum, Vol VII No 2, Oktober 2008, hlm. 4.
8
Ibid, hlm. 5.
Salah satu yang membedakan antara kejahatan korporasi dengan kejahatan
konvensional/tradisional pada umumnya, terletak pada karakteristik yang
melekat pada kejahatan korporasi itu sendiri, antara lain9:
1. Kejahatan tersebut sulit dilihat (low visibility), karena biasanya tertutup oleh
kegiatan pekerjaan yang normal dan rutin, melibatkan keahlian profesional
dan sistem organisasi yang kompleks;
2. Kejahatan tersebut sangat kompleks (complexity) karena selalu berkaitan
dengan kebohongan, penipuan dan pencurian serta sering kali berkaitan
dengan sebuah yang ilmiah, teknologi, finansial, legal, terorganisasikan, dan
melibatkan banyak orang serta berjalan bertahun-tahun;
3. Terjadinya penyebaran tanggung jawab (diffusion of responsibility) yang
semakin luas akibat kompleksitas organisasi;
4. Penyebaran korban yang sangat luas (diffusion of victimization) seperti
polusi dan penipuan;
5. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan (detection and prosecution)
sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara aparat penegak
hukum dengan pelaku kejahatan;
6. Peraturan yang tidak jelas (ambiguitas law) yang sering menimbulkan
kerugian dalam penegakan hukum; dan
7. Sikap mendua status pelaku tindak pidana. Harus diakui bahwa pelaku
kejahatan korporasi pada umumnya tidak melanggar peraturan perundang-
undangan, tetapi apa yang dilakukan memang merupakan perbuatan yang
ilegal (Mahrus Ali, 2013).
Tahap Ketiga, pada tahap ini merupakan permulaan adanya tanggung jawab
yang langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu sesudah Perang Dunia
II. Pada tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta
pertanggungjawaban menurut hukum pidana. Alasan diaturnya korporasi
sebagai pembuat dan pihak yang harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya secara pidana adalah karena dalam delik-delik ekonomi dan
fiskal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita
masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang
bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja.
11
Ibid, hlm. 25-34.
1. Direct Corporate Criminal Liability, yakni berdasarkan doktrin ini
perbuatan pejabat senior dianggap juga sebagai perbuatan korporasi.
Doktrin ini telah mantap di Inggris, dengan konsep bahwa suatu korporasi
dapat bertanggungjawab secara pidana, baik sebagai pembuat atau peserta
untuk tiap delik, meskipun disyaratkan adanya mens rea dengan
menggunakan asas identifikasi.
2. Strict Liability, yaitu pertanggungjawaban terhadap korporasi dapat dapat
dimintakan tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan dari
pelaku tindak pidana.
3. Vicarious Liability, merupakan doktrin yang didasarkan pada prinsip
employment principle yang memiliki makna majikan adalah
penanggungjawab utama dari perbuatan para buruhnya atau karyawannya.
Doktrin ini dibatasi pada keadaan tertentu dimana majikan (korporasi)
hanya bertanggungjawab atas perbuatan salah pekerja yang masih dalam
ruang lingkup pekerjaannya. Hal ini dikarenakan majikan memiliki kontrol
dan kekuasaan atas mereka dan keuntungan yang mereka peroleh secara
langsung dimiliki oleh majikan (korporasi).
Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah hukum yang
mengatur bagaimana perlakuan-perlakuan yang harus dilakukan terhadap
seseorang yang mulai disangka melakukan perbuatan pidana, sampai kemudian
dijatuhi hukuman di dalam sidang pengadilan.
Bambang Poernomo berpendapat, hukum acara pidana memuat ketentuan
tentang tata cara tentang suatu proses perkara pidana, mengatur hak dan
kewajiban bagi mereka yang bersangkut paut dalam proses perkara, serta
mengatur pelaksanaan peradilan menurut undang – undang. 12 Sejak
diberlakukannya Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada 31 Desember 1981,
maka sejak itu pula tidak ada lagi hukum acara pidana lain yang berlaku di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
KUHAP yang ada sekarang ini ialah sebagai pengganti dari Het Herziine
Inlandsch Reglement (HIR atau RIB) produk peninggalan kolonial Belanda,
yang telah dinyatakan tidak berlaku oleh UU tentang KUHAP itu sendiri.
Berdasarkan KUHAP tersebut, telah memberikan pendekatan system pada
peradilan pidana di Indonesia. Suatu pendekatan system yang mempergunakan
segenap unsur yang terlibat di dalamnya, sebagai satu kesatuan dan saling
berhubungan satu sama lain, yaitu polisi, jaksa, pengadilan, dan lembaga
pemasyarakatan.
12
Dudung Indra, Pembaharuan Hukum Sistem Peradilan Pidana Dalam RUU KUHAP, Universitas
Wiralodra, Indramayu, hlm. 3.
13
Ibid, hlm. 4.
tugas para penegak hukum untuk menyelesaikan perkaranya secara baik dan
adil.
Kedua, perkembangan hukum dan perubahan peta politik yang dibarengi
dengan perkembangan ekonomi, transportasi, dan teknologi yang global
berpengaruh pula terhadap makna dan keberadaan substansi KUHAP.
Dalam RUU KUHAP yang ada sekarang, setidaknya terdapat 2 (dua) isu yang
menarik untuk kita kaji, yaitu perihal pra peradilan dan penggunaan upaya
paksa, serta putusan dan upaya hukum.
Pertama, perihal isu pra peradilan dan penggunaan upaya paksa. Pra peradilan
yang diatur di dalam KUHAP diantaranya menyatakan pra peradilan
berwenang menguji sah atau tidak sahnya suatu penahanan (Pasal 77 huruf a
KUHAP). Kemudian, yang menjadi persoalan adalah KUHAP tidak
menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud perkataan sah atau tidaknya
tersebut. Akibatnya, selalu menjadi kontroversi ketika praktek hukum
memaknai perkataan sah atau tidaknya itu semata – mata sebagai jawaban dari
pernyataan, sejauhmana prosedur penahanan telah dilakukan oleh pejabat yang
berwenang untuk itu. Dengan demikian, lembaga pra peradilan hanya menjadi
lembaga pemeriksa kelengkapan administratif.
Apabila semangat perlindungan hak asasi tersangka dan terdakwa menjadi
pangkal tolak pembentukan lembaga pra peradilan dalam KUHAP, maka
seharusnya lembaga pra peradilan melakukan pemeriksaan yang bersifat
substansial. Untuk itu, di dalam RUU KUHAP terdapat pengaturan mengenai
peran Hakim Komisaris.14
Kedua, perihal isu putusan dan upaya hukum. Dalam realita, pengadilan
banyak memutuskan terdakwa bersalah atau tidak bersalah tanpa
mempertimbangkan keseluruhan fakta yang terungkap di persidangan. Dalam
kasus korupsi yang melibatkan Gubernur non aktif Kalimantan Timur, Letjen
Suwarna yang divonis bersalah melakukan turut serta melakukan tindak pidana
korupsi, sementara vonis tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan bahwa
pembuat prinsipilnya belum diperiksa apalagi dinyatakan bersalah melakukan
tindak pidana tersebut. Pada sisi yang lain, kecenderungan meningkatnya
respeksitas terhadap hak asasi manusia, termasuk hak tersangka dan terdakwa
tidak dapat dibendung. Ditambah lagi kecenderungan meningkatnya kesadaran
hukum masyarakat, termasuk tersangka dan terdakwa membuat semua profesi
hukum kerap menjadi sorotan masyarakat.
Hukum acara pidana kita pada dasarnya sudah menyediakan institusi yang
dapat secara professional menguji suatu putusan pengadilan, diantaranya yang
terpenting adalah upaya hukum. Dalam penanganan perkara pidana, baik
putusan pengadilan maupun upaya hukum, keduanya merupakan bagian dalam
sistem peradilan pidana. Pemahaman mengenai keduanya tidak dapat
dilepaskan dari design sistem peradilan pidana itu sendiri.
14
Ibid, hlm. 11.
REFERENSI
Indra, Dudung. Pembaharuan Hukum Sistem Peradilan Pidana Dalam RUU KUHAP.
Universitas Wiralodra. Indramayu.
Prastiwi, Dian Eka. Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-
undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Terhadap Pemberantasan Korupsi. Parlev Journal of Law. Volume 2 Issue 1.
Agustus 2019.
Siswanto, Ade Hari. Peran Pengadilan Perikanan Dalam Illegal Fishing Oleh Kapal Asing
Di Wilayah Kedaulatan Laut Indonesia. Forum Ilmiah Volume 16 Nomor 1.
Januari 2019.