Anda di halaman 1dari 8

Hubungan keaktifakn kader posyandu balita dengan status gizi balita dengan pendekatan

konsep model keperawatan

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelayanan posyandu mencakup pelayanan kesehatan ibu dan anak. Di dalam

pelayanan posyandu terdiri dari kader kader yang bekerja secara sukarela

menjalankan tugas untuk kelancaran kegiatan posyandu. keaktifan kader dalam

pelayanan posyandu dapat meningkatkan taraf kesehatan masyarakat terutama

kesehatana bayi dan balita. Ada tidak nya masalah gizi anak disuatu daerah tidak jauh

dari kontribusi peran kader posyandu.

Secara teknis, tugas atau peran kader yang terkait dengan gizi adalah

melakukan pendataan balita, melakukan penimbangan serta mencatat dalam kartu

sehat (KMS), memberikan makanan tambahan, mendistribusikan vitamin A,

melakukan penyuluhan gizi serta kunjunga rumah ibu yang memiliki balita. Kader

diharapkan berperan aktif dan menjadi pendorong, motifator dan penyuluh

masyarakat (Onthonie et al., 2015)

Di Indonesia masalah gizi anak masih banyak dijumpai di berbagai daerah di

Indonesia. Pada tahun 2017 sejumlah 3,80% untuk gizi buruk mengalami peningkatan

yang sebelum nya pada tahun 2016 sejumlah 3,40% pada gizi buruk yang dialami

balita usia 0-59 bulan dengan indikator (BB/U) dan sedangkan gizi kurang pada balita

usia 0-59 bulan pada tahun 2017 sebanyak 14% ini mengalami penurunan yang

sebelumnya 14,43% pada tahun 2016 (Profil Kesehatan, 2017).

Berdasarkan laporan kesehatan Kabupaten Jombang tahun 2017 jumlah balita

yang mengalami gizi kurang dengan menggunkan indikator (BB/U) sebanyak 3331
( 4,36%) dan gizi buruk 106 (0,62%), mengalami kenaikan yang sebelumnya pada

tahun 2016 balita yang menderita gizi kurang sebanyak 3221 (4,12 %) dan untuk gizi

buruk 495 (0,63%), Dari data dinas kesehatan kabupaten Jombang daerah yang rawan

gizi buruk dengan jumlah kasus gizi buruk berkisar antara 9 -17 kasus tersebar di

jombang diantaranya daerah cukir, brambang, ngoro, bareng, mojowarno, mayangan,

japanan, gambiran, sumobito, tapen, bawangan, megaluh, dan tambakrejo sedangkan

daerah yang memiliki kasus gizi buruk terbanyak ada di pukesmas perak dan Bandar

kedung mulyo Jombang dengan kasus sekitar 18-25 kasus gizi buruk (Dinas

kesehatan kabupaten jombang, 2017).

Cakupan pelayanan anak balita tertinggi terdapat di Puskesmas

Pulorejo (107,64 %), Gambiran (101,74%), Bareng (98,65%).

Cakupan terendah berada di Puskesmas Blimbing Kesamben

(52,43%), Jatiwates (59,86%), dan Brambang (65,99%). Terdapat 2 (dua)

Puskesmas yang memiliki cakupan pelayanan kesehatan anak balita yang

melebihi 100%. Yaitu Puskesmas Pulorejo dan Gambiran (Dinas kesehatan kabupaten

jombang, 2017).

Permasalahan status gizi dipegaruhi oleh faktor langsung dan faktor tidak

langsung, faktor tidak langsung ialah seperti dipengaruhi karena ketahanan pangan

dalam keluarga, pola asuh anak, pelanyanan kesehatan, kesehatan lingkungan, tingkat

pendidikan, sedangkan faktor langsung ialah dikarenakan makanan anak dan penyakit

infeksi (Khomsan, 2010).

Pelayanaan kesehatan sangat penting bagi ibu dan balita. Fasilitas kesehatan

yang sudah di buat oleh pemerintah bertujuan mempermudah masyarakat untuk

mendapatkan infomasi kesehatan khusus nya informasi gizi yang tepat untuk balita,
kesadaran masyarakat yang kurang akan pentingnya gizi pada balita membuat gizi

buruk sulit untuk dideteksi. Diperlukan nya keaktifan ibu balita untuk mengikuti

posyandu sehingga akan menaikan status gizi balita (Sulistyo et al., 2018).

Balita membutuhkan gizi yang cukup dalam proses tumbuh dan berkembang.

Gizi balita dipengaruhi oleh besar nya keluarga karena semakin banyak anggota

dalam keluarga sehingga pembagian makanan untuk setiap anak akan berkurang.

Jumlah anak yang banyak diikuti pemberiaan makanan yang tidak merata akan

mengakibatkan anak balita dalam keluarga tersebut mengalami kurang gizi

(Ihsan,2012).

Pengetahuan orang tua yang masih rendah juga mempengaruhi status gizi pada

balita, khususnya pengetahuan tentang gizi balitanya. Hal ini sesuai dengan penelitian

yang dilakukan Ismi (2014) bahwa adanya hubungan antara pengetahuan ibu dengan

status gizi balita mengenai pemahaman pemberian makanan serta penerapan

pengetahuan yang di terima dalam kehidupan sehari hari (Wynsdy dkk. 2017).

Tinggkat pendidikan ibu balita juga salah satu faktor yang berperan dalam

penentuan gizi balita khusus nya tingkat pendidikan formal ibu. Semakin tinggi

tingkat pendidikan yang dimiliki ibu maka akan semakin mudah dalam menerima

suatu informasi dan semakin mudah juga untuk mengimplementasikan

pengetahuannya dalam prilaku khusus nya dalam hal kesehatan gizi. Tingkat

pendidikan ibu yang relative rendah akan berkaita dengan sikap dan tindakan ibu

tentang masalah kurang gizi pada anak balitannya (Atmarita.2004)

Dampak dari ketidakcukupan pemenuhan gizi balita akan berakhibat buruk

pada masa perkembangan balita. Status gizi balita adalah tolak ukur kesehatan disuatu

masyarakat. Usia balita ialah usia yang rawan akan terjadinya masalah gizi dan
penyakit. Kelompok usia balita merupakan kelompok yang sangat besar jumlah

populasi yang terdampak karena masalah gizi. Balita yang mendapatkan nutrisi yang

cukup dapat berkembang dan tumbuh serta tidak mudah terserang penyakit, jika

nutrisi balita tidak terpenuhi secara optimal balita akan mudah terserang penyakit

bahkan bisa menyebabkan kematian. Oleh karena itu harus ada perhatian yang besar

dalam perkembangan di usia balita dinyatakan dalam fakta kurang nya gizi yang

terjadi pada priode emas ini bersifat tidak dapat di pulihkan (Marmi, 2013).

Banyak cara dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi masalah status gizi

pada balita, diantaranya dengan memperluas proses sosialisasi, kunjungan rumah ke

rumah untuk penderita masalah gizi, pelatihan petugas lapangan, serta kordinasi lintas

elemen pemerintah yang saling terhubung untuk pemenuhan pangan dan gizi

(Nurapriyanti and Sarwinanti, 2015).

Posyandu merupakan garda terdepan untuk pelayanan kesehatan masyarakat

dengan tujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dari layanan sosial dasar

masyarakat. Penyelenggaraan kegiatan posyandu merupakan program yang di bentuk

oleh pemerintah, posyandu adalah tempat untuk memudahkan mendapatkan

pelayanan kesehatan dasar yang dikelolah oleh masyarakat (kementerian kesehatan,

2012).

Kesuksesan posyandu salah satu nya dikarenakan kerja keras dari kader dan

petugas kesehatan yang mengelolah dengan sukarela untuk kelancara posyandu di

wilayah kerja nya. Kader posyandu merupakan kelompok yang dekat dengan

masyarakat oleh karena itu kader posyandu memiliki posisi yang penting dan sebagai

pendukung yang baik dalam menginformasikan pendidikan kesehatan, sehingga

masyarakat dapat mengatasi masalah kesehatan nya sendiri. Pelaksaan peran kader
sesuai dengan upaya pemerintah dalam mengaktifkan masyarakat untuk mengurangi

tingkat kematian bayi dan balita serta menaikan taraf kesehatan masyarakat , terutama

kesehatan ibu dan anak balita. Kader bergerak di bidang promotif dan prefentif dalam

penanganan gizi balita dengan mengadakan penyuluhan gizi kepada ibu balita, Dalam

proses peningkatan status gizi balita, peran kader diposyandu sangat penting karena

memegang tanggung jawab program posyandu, (Onthonie et al., 2015).

Dalam konsep Lawren Green mengkaji masalah prilaku manusia dan faktor –

faktor yang mempengaruhi nya, serta menindak lanjuti nya degan berusaha

mengubah, memelihara atau meningkatkan perilaku tersebut kearah lebih positif.

Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau berbentuk dari tiga faktor , yaitu

faktor-faktor predisposisi, faktor-faktor pendukung, faktor-faktor pendorong. Dapat

disimpulkan bahwa perilaku itu sendiri ditentukan oleh pengetahuan, sikap,

kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang tua atau masyarakat yang

bersangkutan. Disamping itu, ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas

kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuk nya

perilaku. (Nursalam,2017).

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang “Hubungan Keaktifan Kader Posyandu Balita dengan Status Gizi

Bayi Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas ......”.

1.2 Identifikasi Masalah


Kebehasilaan dalam pemenuhan status gizi balita yaitu :
1. ketahanan pangan dalam keluarga,
2. pola asuh anak,
3. pelanyanan kesehatan,
4. kesehatan lingkungan,
5. tingkat pendidikan,
1.3 Rumusan masalah

Apakah ada hubungan keaktifan kader posyandu balita dengan status gizi balita di

wilayah kerja pukesmas …

1.4 Batasan Masalah

Berdasakan uraian latar belakang diatas maka peneliti membatasi masalah difokuskan

pad balita yang memanfaatkan posyandu ….

1.5 Tujuan

1.5.1 Tujuan umum

Menganalisis hubungan keaktifan kader posyandu balita dengan status gizi balita

1.5.2 Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi keaktifan kader posyandu balita

2. Mengidentifikasi status gizi balita

3. Menganalisis hubungan keaktifan kader posyandu balita dengan status gizi

balita

1.6 Manfaat penelitian

1.6.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan hubungan keaktifan

kader posyandu balita dengan status gizi balita sehingga dapat digunakan sebagai

kerangka dalam pengembangan ilmu keperawatan khususnya di bidang

Keperawatan Anak.

1.6.2 Manfaat praktis

1. Bagi Institusi pendidikan


Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi yang

bermanfaat dan menambah bahan kepustakaan, khususnya tentang hubungan

keaktifan kader posyandu balita dengan status gizi balita. Serta dapat dijadikan

sebagai masukan dan bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.

2. Bagi peneliti

Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan, pengalaman, dan

wawasan dalam melakukan skrining hubungan keaktifan kader posyandu

balita dengan status gizi balita. Serta dapat menerapkan ilmu yang diperoleh

dalam bentuk praktik lapangan

3. Saran

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan data awal penelitian

selajutnya mengenai hubungan keaktifan kader posyandu balita dengan status

gizi balita

4. Bagi Tenaga kesehatan

Dapat memberikan informasi tentang hubungan keaktifan kader

posyandu balita dengan status gizi balita.

5. Bagi Responden

Hasil penelitian ini dapat dijadikan pembelajaran pada kader untuk

lebih aktif memantau gizi balita pada wilayah kerjanya


Konsep teori Lowrence W.Green

Faktor
Faktor Predisposisi pendukung Faktor pendorong

1. Pengetahuan 1. Adanya sarana 1. Keluarga


2. Pendidikan kesehatan 2. Sebaya
3. Umur 2. Terjangkaunya 3. Petugas
4. Pekerjaan saranan kesehatan kesehatan
5. Sikap 3. Keterampilan terkait 4. Tokoh
6. Kepercayaan kesehatan masyarakat
7. Keyakinan 4. Peraturan pemerintah 5. Pengambil
8. budaya keputusa

Keaktifan kader posyandu Lingkungan : fisik,


balita biologis dan social budaya

Status gizi balita

Keterangan :

Diteliti

Tidak di Diteliti

Anda mungkin juga menyukai