Anda di halaman 1dari 19

DAVID HARVEY: HAK ATAS KOTA

Naskah David Harvey -- Right To The City, dimuat di New Left Review, edisi 53, Sept. - Okt.
2008 -- ini terlalu penting untuk dilewatkan. Terima kasih untuk Herra dan Ucok di S.14 yg
sudah bikin saya teringat kembali pada artikel ini. Saya terjemahkan sebisa saya dan saya
tampilkan dalam 3 bagian. (Bagi sobat-sobat yang kena Tag ulang, mohon maaf,
tampaknya ada setting yang berubah pada akun Face Book saya, tanpa saya ketahui
sebelumnya)

----------------------------------------------------------

Ditulis Oleh: David Harvey

Kita hidup pada masa ketika cita-cita hak asasi manusia berada di panggung utama baik
secara politis maupun etis. Sehimpunan besar energi telah dikerahkan untukmemajukan
pentingnya cita-cita tersebut dalam membangun sebuah dunia yang lebih baik. Namun
sebagian terbesar konsep-konsep yang bergulir itu, secara mendasar toh tidak menantang
hegemoni logika pasar liberal dan neoliberal, atau pun modus dominan dari tindakan dan
legalitas negara. Kita malah hidup di dunia dimana hak-hak pemilikan pribadi dan perkara
tingkat profit membayangi segenap pemaknaan tentang hak. Di sini saya akan mengkaji hak
asasi jenis yang lain, yakni hak atas kota.

Nah, apakah laju dan skala urbanisasi yang luar biasa sejak lebih dari seratus tahun
belakangan memberikan sumbangsihnya bagi kesejahteraan manusia?

Kota, menurut sosiolog urban, Robert Park, adalah:

”Upaya manusia paling berhasil untuk mencipta-ulang dunia tempatnya tinggal sejauh
hasrat terdalamnya. Sialnya, betapapun kota merupakan dunia yang diciptakan manusia,
nyatanya kota adalah juga tempat hidup yang paling ia kutuk. Alhasil,secara tak langsung
dan tanpa kesadaran yang jernih akan hakikat dari segala sepak terjangnya sendiri, dalam
membangun kota manusia toh telah mencipta-ulang dirinya sendiri.”

Pertanyaan tentang kota serupa apa yang kita kehendaki tidak bisa dipisahkan dengan
serupa apa pula ikatan sosial, relasi dengan alam, gaya hidup, nilai-nilai teknologis dan
estetik yang kita hasratkan. Hak atas kota bukanlah semata kemerdekaan individual untuk
mengakses sumberdaya urban: melainkan itu adalah hak untuk merubah diri kita sendiri
dengan cara merubah kota. Lebih jauh, ia lebih merupakan hak umum ketimbang individual,
mengingat transformasi ini secara tak tertolak bergantung pada perwujudan daya-kuasa
kolektif untuk membentuk-ulang proses urbanisasi. Kebebasan untuk mencipta dan
membuat-ulang kota-kota kita dan diri kita, saya tegaskan, adalah hak asasi manusia yang
paling berharga sekaligus yang paling terabaikan.

Sedari mulanya kota-kota lahir melalui pemusatan surplus produk secara geografis dan
sosial. Oleh sebab itu, urbanisasi senantiasa merupakan fenomena kelas mengingat surplus-
surplus diperas dari tempat tertentu dan dari (sejumlah) orang tertentu, sementara kontrol
atas keberlimpahannya biasanya berada dalam genggaman sedikit orang. Situasi umum ini
terjadi, tentu saja, di bawah kapitalisme; namun lantaran urbanisasi bergantung pada
mobilisasi surplus produk, keterkaitan intim pun terbentuk antara perkembangan
kapitalisme dengan urbanisasi. Kapitalis mesti memproduksi surplus produk guna
menghasilkansurplus nilai; ini pada gilirannya harus diinvestasikan kembali
untukmendongkrak lebih banyak lagi surplus nilai. Hasil reinvestasi tanpa henti ini adalah
ekspansi surplus produksi pada tingkatan yang saling bersesuaian dalam komposisinya –
yakni kurva logistik (uang, output dan populasi) yang tersertakan pada gerak sejarah
akumulasi modal, dan itu berseiring dengan jalur pertumbuhan urbanisasi di bawah
kapitalisme.

Kebutuhan abadi untuk menemukan ranah yang menguntungkan bagi modal-surplus


produksi dan penyerapannya, membentuk politik kapitalisme. Akan muncul ke hadapan
kapitalis sejumlah kendala bagi ekspansi yang berkelanjutan dan bebas masalah. Andaikata
pasokan buruh menjadi langka dan tingkat upah meninggi, maka buruh akan didisplinkan –
dengan dua metode utama ini : menurunkan kesempatan kerja melalui pengembangan
teknologi atau menggembosi kekuatan kelas pekerja terorganisir – atau mencari sumberdaya
buruh yang baru melalui imigrasi, ekspor kapital atau proletarianisasi elemen-elemen
independen dari populasi yang ada. Para kapitalis, secara umum, juga harus menemukan
alat-alat produksi baru dan, secara khusus, sumberdaya-sumberdaya alam, yang tentunya
akan semakin menjadi beban bagi lingkungan alam untuk menghasilkan bahan-bahan
mentah dan menyerap limbah. Para kapitalis butuh membuka kawasan-kawasan baru guna
memeras bahan mentah – kerap dengan tujuan serupa penaklukan oleh imperialis dan neo-
kolonial.

Hukum-hukum  kompetisi yang koersif juga mendorong penerapan teknologi baru dan
bentuk-bentuk organisasional baru yang terus-menerus. Dengan begitu, memungkinkan
para kapitalis menyaingi mereka yang menggunakan metode yang lebih rendah daya
hasilnya. Inovasi-inovasi mendefinisikan kebutuhan dan keinginan baru, mengurangi
lamanya waktu kembali modal dan mengurangi friksi keberjarakan yang membatasi lingkup
geografis dimana para kapitalis dapat mencari perluasan pasokan tenaga kerja, bahan-bahan
mentah dan seterusnya. Jika pada suatu pasar terjadi ketidakcukupan daya beli,maka pasar
baru harus mereka temukan dengan cara ekspansi melalui perdagangan luar negeri,
mempromosikan produk-produk dan gaya hidup terkini, menciptakan instrumen-instrumen
kredit baru dan pembiayaan belanja barang melalui hutang kepada negara atau swasta. Jika
pada akhirnya tingkat profit masih tetap rendah, maka regulasi negara yang “mengintervensi
kompetisi”, monopolisasi ( seperti merger dan akuisisi) dan ekspor kapital akan memberikan
jalan keluar.

Jika kendala-kendala di atas tidak bisa dijinakkan, para kapitalis tidak akan bisa secara
menguntungkan melakukan reinvestasi surplus produk mereka. Akumulasi kapital terhambat
sehingga mereka menghadapi krisis dimana kapital mereka bisa terdevaluasi dan pada
beberapa kasus bahkan tersapu habis. Surplus komoditi bisa kehilangan nilainya atau
terpaksa dihancurkan, sementara kapasitas produktif dan aset merosot nilainya dan tersisa
menganggur. Uang itu sendiri terdevaluasi melalui inflasi dan barisan buruh beralih menjadi
sekumpulan besar pengangguran. Nah, lantas bagaimanakah kebutuhan untuk menjinakkan
kendala-kendala tersebut dan ekspansi ke kawasan-kawasan yang menguntungkan
mendorong urbanisasi kapitalis?  Saya tegaskan di sini bahwa urbanisasi memainkan peran
yang sangat aktif, berseiring dengan fenomena seperti alokasi untuk pengeluaran militer,
dalam menyerap surplus produk yang dihasilkan tanpa henti oleh kapitalis guna meraup
profit.

REVOLUSI URBAN
Pertama-tama, simaklah kasus Dinasti Kedua Paris. Tahun 1848 menampilkan dengan jelas
untuk pertama kalinya dan berskala seluas daratan Eropa, sebuah krisis yang melanda
surplus kapital dan surplus buruh yang menganggur. Krisis ini khususnya amat merontokkan
Paris dan meledakkan revolusi di kalangan kaum buruh menganggur dan kaum borjuis
utopian yang menilai sebuah republik sosial sebagai jawaban kontra terhadap kerakusan dan
ketimpangan yang mewarnai kekuasaan Monarki Juli. Borjuasi Republikan dengan bengis
menumpas kaum revolusioner namun gagal mengatasi krisis. Hasilnya adalah terbentangnya
jalan mendaki kekuasaan bagi Louis-Napoleon Bonaparte yang merekayasa sebuah kudeta
pada 1851 dan ia memproklamasikan dirinya sebagai Kaisar pada tahun berikutnya. Agar
selamat secara politis, ia memperluas represi terhadap gerakan-gerakan politik alternatif.
Situasi ekonomi yang remuk ia hadapi dengan meluncurkan sebuah program besar investasi
infrastruktur baik di dalam maupun di luar negeri. Di luar negeri, itu berarti membangun
jalur kereta api seantero Eropa dan masuk ke dalam kawasan Asia Timur, sebagaimana juga
dukungan kepada proyek raksasa membangun Terusan Suez. Di dalam negeri tiada lain
dengan mengkonsolidasikan jejaring jalur kereta api, membangun pelabuhan-pelabuhan dan
saluran-saluran irigasi. Diatas semua itu tentunyalah sebuah penataan ulang infrastruktur
urban kota Paris. Bonaparte merekrut Georges-Eugène Haussmann untuk memimpin
proyek-proyek publik kota pada 1853.

Haussmann kontan memahami bahwa misi yang diembannya adalah guna mengatasi
masalah surplus kapital dan penganguran melalui urbanisasi. Membangun-ulang Paris jelas
menyerap sejumlah sangat besar tenaga kerja dan kapital berdasarkan standar pada masa
itu. Tak ketinggalan, bertaut dengan pemberangusan aspirasi barisan buruh Parisian, proyek
raksasa ini sekaligus merupakan wahana utama untuk menciptakan stabilisasi sosial.
Haussmann mengklaim rancangan hasil perdebatan kaum utopian Fourierist dan Saint-
Simonian pada tahun 1840-an tentang tata-ulang Paris. Namun dengan satu perbedaan
besar : ia mengubah skala tentang bagaimana proses urban itu dibayangkan. Manakala
arsitek Jacques Ignace Hittorff memperlihatkan rancangan jalan raya baru kepadanya,
Haussmann menampiknya : “terlalu sempit … kamu bikin selebar 40 meter dan aku ingin 120
meter”. Ia menggusur perkampungan-kota dan merancang-ulang keseluruhan permukiman
seperti kawasan Les Halles. Untuk itu Haussmann membutuhkan instrumen-instrumen
hutang dan lembaga-lembaga keuangan baru, yakni Crèdit Mobilier and Crèdit Immobilier,
yang menopang pelaksanaan konstruksi berdasarkan ajuan kaum Saint-Simonian. Hasilnya,
ia membantu mengatasi masalah macetnya surplus kapital dengan menerapkan sebuah
proto-sistem Keynesian untuk pembiayaan melalui hutang bagi perombakan besar
infrastruktur urban.

Sistem ini bisa berjalan dengan baik untuk selama lima belas tahun dan melibatkan bukan
hanya sebuah transformasi infrastruktur urban melainkan juga mengkonstruksi gaya hidup
dan tampilan baru yang serba mengilap. Paris menjadi ‘kota cahaya’, pusat besar konsumsi,
kawasan turisme dan kenyamanan. Kafe-kafe, pusat-pusat pertokoan, industri fashion dan
pameran-pameran akbar, semua mengubah kehidupan urban sehingga dapat menyerap
setumpukan maha besar surplus-surplus melalui konsumerisme. Namun kemudian sistem
finansial dan struktur kredit yang diguyurkan habis-habisan dan spekulatif, itu pun rontok
pada 1868. Haussmann dipecat; Napoleon III yang frustasi malah menyatakan perang
melawan kekaisaran Bismarck Jerman dan kalah. Di tengah kekosongan kekuasaan muncul
Komune Paris, yakni episode revolusioner terbesar dalam sejarah urban kapitalis. Komune
memperjuangkan, untuk sebagian, demi kenangan akan dunia yang telah dihancurkan oleh
Haussmann dan sebagian lainnya didorong hasrat merebut kembali kota demi mereka yang
telah dihabisi oleh proyek besar Haussmann.

Kita meloncat ke Amerika Serikat tahun 1940-an. Upaya mobilisasi besar-besaran menuju
medan perang, untuk sementara bisa mengatasi masalah kemacetan surplus kapital yang
tampaknya begitu ngotot menjangkiti sejak 1930-an. Dan itu disertai gelombang
pengangguran yang parah. Namun setiap orang merasa sangat cemas akan apa yang terjadi
setelah perang. Secara politik ini situasi yang amat berbahaya : pemerintahan federal
sebagai akibatnya menjalankan nasionalisasi ekonomi dan bekerja sama dengan Uni Soviet
Komunis, sementara gerakan-gerakan sosial yang kuat dengan kecenderungan sosialis sudah
bermunculan sejak 1930-an. Sebagaimana pada masa Louis Bonaparte, sepaket besar
represi politik pada akhirnya diterapkan oleh kelas-kelas penguasa pada masa itu. Lalu
bergulir ke sejarah berikutnya tentang McCarthyism dan politik Perang Dingin, yang gejala-
gejalanya sudah tampil teramat banyak sejak awal 1940-an : sebuah cerita yang sangat
sering kita dengar. Pada hamparan ekonomi, tetap nangkring masalah bagaimana surplus
kapital dapat diserap.
Pada 1942, sebuah ulasan menyeluruh mengenai upaya Haussmann muncul di jurnal Forum
Arsitektural. Di sini terdokumentasikan dengan rinci tentang apa saja yang dilakukan
Haussmann, yang menghamparkan sebuah analisis akan kesalahan-kesalahannya sembari
berupaya menyembuhkan reputasinya sebagai urbanist terbesar sepanjang masa. Artikel ini
tiada lain adalah karya Robert Moses, yang setelah Perang Dunia Kedua menerapkan di New
York apa-apa yang dilakukan Haussmann di Paris. Begitulah, Moses mengubah skala
pemikiran tentang proses urban. Melalui sebuah sistem jalan bebas hambatan, transformasi
infrastruktur, sub-urbanisasi dan rekayasa-ulang secara total bukan hanya kota, melainkan
segenap kawasan metropolitan, ia amat membantu mengatasi masalah penyerapan surplus
kapital. Untuk itu ia mengundang tatanan manajemen perpajakan dan lembaga-lembaga
keuangan baru yang meliberalisasikan kredit menjadi pembiayaan-hutang untuk ekspansi
urban. Manakala dibawa ke lingkup nasional yakni ke seluruh pusat metropolitan utama di
Amerika – alias skala transformasi yang lain – proses ini memainkan peran krusial dalam
stabilisasi kapitalisme global setelah 1945. Ini sepenggalan periode dimana Amerika Serikat
sukses menguasai segenap perekonomian global non-komunis dengan menjalankan
perdagangan defisit.

Sub urbanisasi Amerika Serikat bukanlah sekedar persoalan infrastruktur-infrastruktur baru.


Seperti Dinasti Kedua Paris, ia juga menyertakan transformasi radikal dalam gaya hidup,
dalam menyodorkan produk-produk baru, dari perumahan hingga kulkas dan pendingin
ruangan. Sebagaimana juga dua jalur kendaraan di jalan raya dan tentunya diiringi
peningkatan luar biasa besar dalam konsumsi bahan bakar. Ia juga mengubah lanskap politik.
Boleh disimak, betapa subsidi pemilikan rumah bagi kelas-kelas menengah merubah fokus
dari aksi-aksi komunitas menjadi (semata) mempertahankan nilai properti dan identitas-
identitas individual, yang membelokkan pilihan suara sub urban menuju republikanisme
konservatif. Pemilik rumah yang dibebani hutang, demikian dinyatakan, pastinya kelewat
lemah tulang untuk berangkat melakukan aksi. Proyek ini berhasil menyerap surplus dan
menjamin stabilitas sosial. Tetapi dengan biaya terjadinya lubang kehampaan pada lingkaran
dalam kota-kota dan meletupkan gelombang kerusuhan, utamanya pada kalangan Afrika-
Amerika yang terabaikan aksesnya ke kesejahteraan baru.
Pada penghujung 1960-an, krisis jenis lain mulai mengintip. Moses, seperti Haussmann,
mulai tak disukai dan solusi-solusinya dipandang tidak sesuai dan tidak bisa diterima.
Kalangan Tradisionalis merubungi Jane Jacobs dan berupaya menghadang proyek-proyek
modernisme brutal dari Moses dengan estetika lokal lingkup ketetanggaan. Namun area-
area pinggiran kota atawa suburbs sudah terlanjur dibangun. Perubahan radikal dalam gaya
hidup yang menyertainya membawakan konsekuensi-konsekuensi sosial yang kadung
mendalam. Para feminis utama, misalnya, menyatakan kawasan pinggiran sebagai lokus bagi
seluruh kritik-kritik primer mereka. Jika Haussmannisasi ambil bagian dalam dinamika
Komune Paris, kualitas kehidupan tanpa jiwa di kawasan pinggiran juga memainkan peran
penting dalam peristiwa-peristiwa dramatis Amerika Serikat tahun 1968. Para mahasiswa
kelas menengah putih yang dibekap ketidakpuasan masuk ke tahapan pemberontakan.
Mereka berupaya bertaut dengan kelompok-kelompok terpinggirkan, menyerukan hak-hak
sipil dan berbaris menentang imperialisme Amerika guna menumbuhkan gerakan untuk
membangun dunia jenis yang lain – termasuk pengalaman urban dari ragam yang berbeda.

Di Paris, kampanye untuk menghentikan Left Bank Expressway dan penghancuran jaringan
ketetanggaan tradisional oleh serbuan “raksasasa-raksasa menjulang” seperti Place d’Italie
dan Tour Montparnasse, ikut menyuntikkan energi bagi dinamika yang lebih luas dari
kebangkitan ’68. Berdasarkan konteks inilah Henri Lefebvre menulis The Urban Revolution,
yang meramalkan tidak hanya bahwa urbanisasi merupakan pusat survival  kapitalisme dan
oleh karenanya terikat menjadi fokus krusial perjuangan kelas dan politik. Lebih dari itu,
malah urbanisasi menjadi penghapus selangkah demi selangkah perbedaan antara kota dan
desa atau pedalaman melalui produksi ruang-ruang terintegrasi yang meliputi wilayah
teritori nasional, atau bahkan melampaui kewilayahan itu. Hak atas kota tak bisa tidak
berarti hak untuk mengomando keseluruhan proses urban, yang dengan percepatan tinggi
kian mendominasi pedesaan melalui fenomena yang mulai dari agribisnis hingga rumah-
tinggal kedua dan turisme pedesaan.

Seiring pemberontakan 68 muncul krisis finansial yang menjangkiti institusi-institusi kredit


yang, melalui pembiayaan-hutang, menjadi tulang punggung boom properti pada dekade-
dekade sebelumnya. Krisis ini menggumpalkan momentum hingga penghujung 1960-an
sampai kemudian seluruh sistem kapitalis ambruk. Dimulai dengan meledaknya gelembung
pasar properti global pada 1973, diikuti oleh kebangkrutan fiskal New York City pada 1975.
Sebagaimana ditegaskan William Tabb, respon atas konsekuensi-konsekuensi dari
perkembangan yang belakangan tersebut, secara efektif menjadi cikal bakal konstruksi
sebuah jawaban neoliberal akan masalah tak berujung mengenai kuasa antar kelas dan
penyegaran kapasitas untuk menyerap surplus-surplus yang harus diproduksi kapitalisme
untuk bisa survive.

(maaf ya, catatan kaki terpaksa tidak termuat di sini. Susah sih)

MERANTAI BOLA BUMI

Kita meloncat lagi ke konjungtur masa kini kita. Kapitalisme internasional tengah meluncur di
atas roller-coaster krisis dan keambrukan regional – Asia Timur dan Tenggara pada 1997-98,
Rusia 1998, Argentina 2001 – namun sampai kini terhindarkan dari keambrukan global
meskipun dijangkiti kelumpuhan kronis untuk mencetak surplus kapital. Serupa apakah
peran urbanisasi dalam menstabilkan situasi ini? Di Amerika Serikat ada kebijaksanaan yang
dipercayai umum bahwa sektor perumahan merupakan stabilisator penting perekonomian,
khususnya setelah kejatuhan sektor teknologi-tinggi pada akhir 1990-an. Kendati sektor yang
terakhir ini merupakan komponen aktif ekspansi pada awal dekade tersebut. Pasar properti
secara langsung menyerap sejumlah besar surplus kapital melalui pembangunan pusat
perkotaan dan perumahan serta perkantoran di ruang-ruang suburban. Sementara inflasi
harga-harga aset perumahan yang meroket naik – didukung oleh gelombang pemborosan
mortgage refinancing pada tingkat suku bunga yang terendah sepanjang sejarah –
mendongkrak pasar domestikAS untuk barang dan jasa konsumsi. Ekspansi urban Amerika
untuk sebagian sukses menjinakkan perekonomian global. Sambil secara berbarengan AS
menjalankan perdagangan defisit yang maha besar terhadap perdagangan dunia, dengan
melakukan pinjaman sekitar US $ 2 milyar setiap harinya guna melicinkan kerakusan
konsumerismenya dan (pembiayaan) perang-perang di Afghanistan dan Irak.

Namun proses urban toh pernah menjalani skala tranformasi yang lain. Ia, ringkas kata, telah
mendunia. Pasar properti yang berkilau di Inggris dan Spanyol, sebagaimana juga di banyak
negara lainnya, menyuntikkan tenaga bagi dinamika kapitalis secara meluas berseiring
dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat. Urbanisasi di Cina pada dua puluh tahun terakhir
menampilkan karakter yang berbeda dengan tekanan utama pada pembangunan
infrastruktur. Namun ini malah lebih penting ketimbang yang dijalankan di AS. Kecepatannya
melesat luar biasa setelah resesi singkat pada 1997, sampai kemudian Cina menguasai nyaris
setengah dari pasokan semen dunia sejak tahun 2000. Lebih dari seratus kotanya telah
melewati jumlah populasi satu juta orang dalam periode ini dan yang dulunya kampung
kecil, seperti Shenzen, telah menjadi metropolis raksasa dengan jumlah penduduk mencapai
6 hingga 10 juta orang. Proyek infrastruktur raksasa termasuk bendungan dan jalan tol – lagi-
lagi dengan semua atas pembiayaan-hutang – telah mentransformasi habis lanskap kawasan.
Konsekuensi-konsekuensi terhadap ekonomi global dan penyerapan surplus kapital
menunjukkan peran signifikan : boom ekonomi Chili berterima kasih kepada tingginya harga
timah dunia, kesuksesan pulihnya Australia dan bahkan Brasil serta Argentina untuk
sebagian lantaran kuatnya permintaan dari Cina akan bahan-bahan mentah.

Apakah lantas urbanisasi Cina menjadi stabilisator primer kapitalisme global kini? Jawabanya
mesti dikualifikasikan ya. Lantaran Cina adalah satu-satunya pusat ‘gempa’ (episentrum)
sebuah proses urbanisasi yang sekarang menjadi sepenuhnya global. Itu, untuk sebagian,
berkat integrasi yang dahsyat dari pasar-pasar keuangan yang memanfaatkan kelenturan
untuk memberikan pembiayaan-hutang pembangunan urban di seantero dunia. Bank
Sentral Cina, misalnya, telah sangat aktif terjun ke pasar sekunder surat-surat berharga di AS,
sementara Goldman Sachs justru amat jauh melibatkan diri dalam penyelamatan pasar
properti di Mumbai, dan kapital Hongkong diinvestasikan di Baltimore. Di tengah-tengah
gelombang pemiskinan migran, sektor konstruksi mencetak booming di Johannesburg,
Taipei, Moscow, sebagaimana juga dikota-kota negera-negara utama kapitalis seperti London
dan Los Angeles. Proyek-proyek mega-urbanisasi yang bikin melongo, jika tidak mau
dikatakan absurd kriminal, bermunculan di Timur Tengah menggantikan tempat-tempat
seperti Dubai dan Abu Dhabi. Dan itu sekalian mencuci surplus yang dihasilkan dari kekayaan
minyak yang sangat gamblang menampilkan ketimpangan sosial dan penghancuran
lingkungan alam sejauh dimungkinkan.

Lingkup berskala global ini membuat sulit untuk menolak bahwa apa yang terjadi pada
prinsipnya serupa dengan transformasi-transformasi yang dijalankan Haussmann di Paris.
Boleh disimak, booming urbanisasi global yang semakin dalam, sebagaimana dijalani semua
yang lain sebelumnya, tak lain berkat konstruksi institusi-institusi keuangan baru dan
pemapanan tatanan untuk mengelola kredit yang dibutuhkan untuk menopang proses
tersebut. Inovasi-inovasi manajemen finansial terjadi berangkaian sejak 1980-an– proses
penjaminan dan bentukan paket-paket mortgages lokal untuk ditawarkan kepada para
investor di seluruh dunia, dan penciptaan wahana-wahana baru untuk memapankan
penjaminan kewajiban-kewajiban hutang – memainkan peranan yang sangat penting. Profit
yang dijanjikan oleh pranata-pranata finansial tersebut, sungguh melimpah. Termasuk
pelebaran risiko dan terbuka lebarnya kemungkinan  meraup surplus tabungan untuk
mengakses dengan lebih mudah ke surplus demand sektor perumahan. Perkembangan
tersebut juga menurunkan tingkat suku bunga agregat sembari menciptakan kesempatan
emas bagi kalangan pemain keuangan untuk menangguk ‘mukjizat’. Namun pelebaran risiko
tidak menghapuskan ini. Lebih jauh, fakta bahwa ia dapat didistribusikan begitu meluas,
melahirkan pemain-pemain lokal yang bahkan lebih nekat berisiko, lantaran liability dapat
ditransfer kemana saja. Tanpa kontrol risk-assessmentyang cermat, gelombang finansialisasi
ini akan beralih menjadi apa yang dinamakan sebagai krisis sub-prime mortgage dan krisis
nilai-aset perumahan. Kegagalan pertama-tama terkonsentrasi di kota-kota USA dan
sekitarnya, dengan akibat yang serius. Khususnya menimpa kalangan berpendapatan rendah
di lingkar-dalam kota-kota berwargaAmerika-Afrika dan keluarga-keluarga yang hanya
ditopang oleh seorang ibu sebagai orangtua tunggal. Krisis juga sangat memukul mereka
yang terdepak ke kawasan semi-pinggiran metropolitan – yakni mereka yang tak mampu
membeli rumah yang harga-harganya meroket naik di pusat-pusat urban, khususnya di
belahan Barat Daya. Di sini mereka mendapatkan perumahan yang secara spekulatif
dibangun di area perladangan dengan tingkat bunga yang murah, namun kini mendadak
harus menghadapi ongkos transportasi pulang-pergi yang selangit seiring naiknya harga
bahan bakar dan meningkatnya cicilan kredit akibat dorongan tingkat bunga pasar.

Krisis belakangan tersebut, yang secara tak langsung memukul keras kehidupan dan
infrastruktur urban lokal, juga mengancam keseluruhan arsitektur sistem finansial global dan
boleh jadi memicu terjadinya resesi besar. Keserupaanya dengan era 1970-an tampil
mengherankan – termasuk respon mendadak pengucuran uang-gampangan (catatan : atawa
easy-money yang biasanya berupa kucuran kredit berbunga rendah) yang dilakukan Bank
Sentral pada 2007-2008. Itu, tentunya sangat mungkin memancing arus besar inflasi yang
tak terkontrol, jika bukan stagflasi, pada masa akan datang yang tak terlalu lama lagi.
Meskipun demikian, situasinya kini jauh lebih rumit dan masih merupakan pertanyaan
terbuka apakah Cina, sebagaimana Amerika Serikat mampu memulihkan diri dari krisis
ekonomi yang serius. Maklum, nyatanya bahkan di Cina kecepatan urbanisasi mengalami
perlambatan. Dorongan perdagangan komputer yang sekejap waktu senantiasa mengancam
menciptakan keterpecahan besar di pasar– ia toh sudah menghasilkan perdagangan saham
yang sangat rentan – yang akan secara cepat mengakibatkan krisis masif. Dengan kata lain,
itu semua membutuhkan pemikiran-ulang tentang bagaimana sebaiknya mesin finansial
permodalan dan pasar uang bekerja, termasuk keterkaitan eratnya dengan urbanisasi.

Ini bagian 3 dari 3, yg ditutup dengan ""Merumuskan Tuntutan" : pekerjaan rumah bersama
bagi kolektif kemanusiaan

PENGGUSURAN

Penyerapan surplus melalui transformasi urban bahkan memiliki sisiyang lebih gelap. Ia
menyertakan arena berulang-ulang akan restrukturisasiurban melalui ‘penghancuran
kreatif’. Pola ini nyaris selalu memiliki dimensikelas mengingat adalah kaum miskin, yang
terbungkam tak punya suara dan merekayang terpinggirkan dari kekuatan politik, yang
pertama-tama dan palingmenderita akibat proses ini. Kekerasan menjadi bahasa utama
dalam membangundunia urban baru ini, di atas puing-puing dunia lama. Haussmann
merobek-robekkawasan kumuh Paris, mengerahkan pasukan ekspropriasi (hak negara
untukmengambil tanah atau hak milik partikelir untuk kepentingan umum dengan
memberiganti rugi), atas nama perbaikan dan renovasi sipil. Dengan enteng ia merekayasa
penggusuran sejumlah besar kelas pekerja dan kalangan miskin non-formal lainnya dari
pusat kota, sembari mencap mereka sebagai ancaman bagi tatanan publik dan kekuasaan
politik. Ia menciptakan bentuk urban yang diyakini– secara keliru sebagaimana terbukti pada
1871 – bahwa setingkatan tertentu pengawasan ketat dan kontrol militer bisa diterapkan
guna menjamin bahwa gerakan revolusioner dapat dengan mudah dipojokkan. Meskipun
demikian,sebagaimana ditunjukkan Engels pada 1872 :

“Pada kenyataannya, kaum borjuis hanya punyasatu cara sebagai solusi terhadap masalah
perumahan sesuai selera mereka –yakni mengatasi masalah dengan cara bahwa solusinya
akan terus-menerus mereproduksi masalah baru. Metode ini bernama ‘Haussmann’ … Tak
peduli betapa berbeda-beda penyebabnya, hasilnya senantiasa sama; cara dan pola penuh
skandal ini hilang tak tercium ditilep oleh puja-puji berlebihan akan diri sendiri dari kaum
borjuasi atas pencapaian sukses yang luar biasa, namun toh cara-cara itu dengan segera
muncul kembali di tempat yang lain… Dorongan  ekonomi yang sama yang memproduksi
langgam itu pada langkah pertama, memproduksi lagi mereka pada langkah berikutnya.”

Dibutuhkan lebih dari seratus tahun untuk menuntaskan pemborjuisan pusat kota Paris.
Konsekuensinya, pada tahun-tahun kemudian meledak kerusuhandan perusakan di
pinggiran urban terisolasi yang memerangkap kaum imigran, para buruh menganggur dan
kaum muda. Titik menyedihkan di sini, adalah apa yang dikatakan Engels bahwa pola itu
terulang-ulang terus sepanjang sejarah. Ungkapan sadis Robert Moses “bawalah kapak
daging ke Bronx”, menimbulkan ratapan panjang dan keras dari komunitas-komunitas
ketetanggaan dan gerakan-gerakan perlawanan. Dalam kasus Paris dan New York, sekali
kekuatan ekspropriasi negara sukses membendung dan menindas, gerak majunya pun makin
tersembunyi dan menjalar. Yakni, melalui disiplin fiskal pemerintahan lokal, spekulasi
properti dan pemilah-milahan penggunaan lahan berdasarkan tingkat kembali-hasil yang
‘tertinggi dan terbaik’. Engels paham benar soal tersebut :

“Pertumbuhan kota-kota besar modern, khususnya di area-area yang menjadi pusat situasi,
memicu meningkatnya nilai tanah secara luar biasa dan artifisial. Bangunan-bangunan lama
yang tegak di area ini memandekkan dan bukannya meningkatkan nilai lokasi, lantaran
gedung-gedung tersebut bukan lagi milik dari perubahan situasi. Mereka diruntuhkan dan
digusur oleh yang lain. Ini terutama menimpa perumahan para pekerja yang berada persis di
tengah-tengah perubahan situasi dan harga sewanya, bahkan yang ramai dan padat, tidak
pernah atau hanya sangat lambat meningkat dari harga standar. Mereka diruntuhkan dan
langsung berganti menjadi pertokoan, pergudangan dan gedung-gedung publik.”

Meskipun amatan itu ditulis Engels pada 1872, namun toh juga langsung menjelaskan
pembangunan urban kontemporer di banyak kawasan Asia –Delhi, Seoul, Mumbai –
sebagaimana juga gentrifikasi atau penataan-ulang di New York. Sebuah proses
ketercerabutan atau saya menyebutnya ‘akumulasi melalui penggusuran’ menjadi jantung
dari urbanisasi di bawah kapitalisme. Ia adalah cermin dari penyerapan kapital melalui
pembangunan-ulang urban. Ia menyulut peningkatan sejumlah besar konflik terkait
penyerobotan tanah-tanah bernilai dari populasi berpendapatan rendah, yang tinggal di
sana sejak bertahun-tahun sebelumnya.

Simaklah kasus Seoul pada 1990-an : perusahaan konstruksi dan para pengembang
menyewa sekumpulan pegulat sumo menjadi pasukan penyerbu komunitas-komunitas
ketetanggaan di perbukitan kota. Pasukan itu memartil runtuh bukan hanya rumah-rumah
tetapi juga harta benda milik mereka yang telah membangun rumah tinggal mereka sendiri
sejak 1950-an. Lahan itu mendadak menjadi kawasan ‘emas’. Gedung-gedung pencakar
langit yang nyaris tidak meninggalkan jejak brutalitas tersebut kini menutupi perbukitan itu.
Sementara di Mumbai, 6 juta manusia secara resmi dianggap sebagai gelandangan kumuh
yang menghuni tanah-tanah tanpa status hukum – semua peta kota menampilkannya
sebagai kawasan kosong. Sehubungan upaya menyulap Mumbai menjadi pusat keuangan
global guna menandingi Shanghai, boom pembangunan properti pun berancang-ancang dan
kawasan yang diduduki para gelandangan kontan meningkat nilainya. Dharavi, salah satu
kawasan kumuh paling terkenal di Mumbai, ditaksir menjadi senilai 2 milyar dollar. Tekanan
untuk membersihkan kawasan ini – atas alasan kesehatan lingkungan dan sosial –digembar-
gemborkan setiap hari. Kuasa-kuasa keuangan yang didukung penuh negara mendorong
pembersihan kekumuhan secara paksa. Dalam beberapa kasus dengan tindakan kekerasan
merampas kawasan yang sudah diduduki selama beberapa generasi. Akumulasi kapital
melalui aktivitas real-estate mencetak boom antara lain berkat perampasan tanah tersebut
yang nyaris tanpa mengeluarkan biaya.

Apakah rakyat yang digusur memperoleh kompensasi? Yang beruntung memang mendapat
sedikit. Konstitusi India menandaskan bahwa negara berkewenangan untuk melindungi
kehidupan dan kemakmuran seluruh populasi, tanpa menimbang kasta atau kelas, dan untuk
menjamin hak-hak akan perumahan dan tempat bernaung. Mahkamah Agung meluncurkan
penilaian yang menggergaji pesan konstitusional tadi. Lantaran penghuni kekumuhan itu
merupakan pendudukan ilegal dan banyak yang tak dapat membuktikan masa tinggal
mereka yang lama, maka mereka tidak berhak memperoleh ganti rugi. Jika memaksakan hak
itu, demikian menurut Mahkamah Agung, akan sama saja dengan memberi hadiah kepada
para pencopet atas aktivitas mereka. Alhasil pilihan bagi para penduduk itu hanya bertahan
lalu bertempur. Atau pindah dengan harta benda sekedarnya untuk berkemah di sepanjang
sisi jalan tol dan tempat-tempat kecil lain yang bisa mereka temukan. Contoh perampasan
juga ditemukan di Amerika kendati prosesnya cenderung tidak terlalu brutal dan lebih
legalistik : hak-hak pemerintah akan lokasi-lokasi publik diselewengkan guna menggusur
perumahan-perumahan yang sudah mapan demi menggaruk pemanfaatan lahan yang lebih
menguntungkan, seperti kondominium dan pertokoan. Jika ini digugat ke Mahkamah Agung
Amerika, lembaga peradilan mengatur bahwa merupakan sesuatu yang konstitusional bagi
keputusan hukum lokal untuk berlaku demikian guna memperluas basis pajak mereka.

Di Cina jutaan manusia dirampas ruangke hidupannya yang telah amat lama mereka tinggali
– mencapai tiga juta oranghanya di Beijing saja. Oleh sebab mereka tidak mengantongi hak
pemilikan properti, secara gampangan saja negara dengan otoritasnya, menggusurmereka.
Sejumlah kecil pembayaran membuat mereka pergi. Dan lahan pun dialihkan kepada para
pengembang demi keuntungan yang besar. Dalam beberapa kasus, orang-orang berpindah
secara sukarela, namun toh ada beberapa kabar tentang perlawanan yang meluas. Mudah
ditebak, responnya  adalah penindasan yang brutal oleh partai Komunis. Di Republik Rakyat
Cina kerapkali mereka yang tercerabut paksa adalah populasi di pedesaan pinggiran, yang
sekaligus menggambarkan betapa pentingnya argumen Levebfre, yang sudah
memperkirakan dari sejak tahun 1960-an. Persisnya soal perbedaan jelas yang pernah ada
antara yang urban dengan yang pedesaan, untuk kemudian secara berangsur-angsur
menghilang menjadi sekumpulan ruang-ruang serba bolong sebagai tampilan ketimpangan
pembangunan geografis, di bawah komando hegemoni kapital dan negara. Hal inijuga terjadi
di India dimana pemerintahan pusat dan daerah memilih pemapanan Zona-zona Khusus
Ekonomi – yang pastinyalah untuk pembangunan industrial meskipun kebanyakan kawasan
dirancang untuk urbanisasi. Kebijakan ini meledakkan perlawanan keras dari kalangan
produsen pertanian.Yang terbesar adalah kasus pembantaian di Nandigram di Bengalia
Barat, pada Maret 2007, yang dilakukan oleh pemerintahan negara bagian yang justru
berhaluan Marxis. Berniat membuka dan membersihkan lahan untuk Grup Salim,
konglomerat bisnis dari Indonesia, partai yang berkuasa mengerahkan polisi bersenjata
untuk membungkam protes penduduk pedesaan. Sedikitnya  14 penduduk ditembak mati
dan puluhan luka-luka berat. Hak pemilikan pribadi, dalam kasus ini, dihantam tanpa
perlindungan.
Merujuk Hernando de Soto, maka ajuan progresif apakah yang tampaknya dikedepankan
untuk memberi hak pemilikan properti kepada populasi yang menduduki suatu kawasan
tanpa status formal, yakni semacam pemberian aset guna memungkinkan mereka beranjak
dari kemiskinannya?  Salah satu contoh, sebuah skema tertentu kini dijalankan bagi kaum
gelandangan di kota Rio, Brasil. Masalahnya, lantaran amat terjerat oleh situasi morat-marit
ketiadaan penghasilan dan sangat sering dibelit kesulitan keuangan, kaum miskin ini
gampang terbujuk menjual aset tersebut dengan harga murah yang sekenanya. Adapun
kaum kayanya, tentu menolak memberikan asetnya yang bernilai dengan harga berapa pun.
Itu sebabnya Mosses enteng memilih menenteng kapak ke golongan miskin di Bronx dan
bukan ke kaum makmur di Park Avenue. Sementara itu, akibat belakangan dari gelombang
privatisasi perumahan sosial yang diluncurkan Margaret Thatcher di Inggris, telah
menciptakan struktur sewa dan harga di sekujur metropolitan London. Bukan hanya
kalangan berpendapatan rendah, bahkan juga kelas menengah pun terdepak aksesnya untuk
mengakomodasi dari penjuru mana pun yang terdekat ke pusat urban. Saya kira dalam
tempo lima belas tahun, jika pola yang sekarang masih berlanjut, segenap perbukitan di Rio
yang kini masih dihuni kaum gelandangan, akan penuh tertutupi oleh kondominium
menjulang dengan jendela-jendelanya berpemandangan pantai yang bikin takjub. Adapun
para gelandangan bekas penghuni di sana akan tersaring raib ke pinggiran jauh.

MERUMUSKAN TUNTUTAN

Urbanisasi, boleh kita simpulkan, memainkan peran amat krusial dalam menyerap surplus-
surplus kapital, pada setiap peningkatan skala geografis. Namun dengan biaya proses
borjuisasi melalui penghancuran kreatif yang merampok setiap hak massa akan kota di mana
pun. Planet sebagai situs bangunan bertubrukan dengan ‘planet kekumuhan’,  meminjam
istilah Mike Davis. Secara periodik ini berujung pada pemberontakan, sebagaimana pecah di
Paris pada 1871 atau di USA tak lama sesudah pembunuhan Martin Luther King pada 1968.
Jika, kelihatannya, kebuntuan-kebuntuan fiskal memuncak dan hingga sekarang tahapan
neoliberal, posmodernis dan konsumeris -- yang berjaya dari penyerapan surplus kapitalis
melalui urbanisasi -- tengah menjurus pada ujungnya dan krisis luas merebak, maka
pertanyaannya : dimanakah kebangkitan 68 kita, atau lebih dramatisnya, versi kita akan
Komune? Sebagaimana sistem finansial, jawabannya akan membelit jauh lebih rumit,
persisnya karena proses urban sekarang berada dalam lingkup global. Tanda-tanda
pemberontakan ada dimana-mana : kronisnya kerusuhan sosial di Cina dan India, perang
kebencian antar sipil di Afrika, Amerika Latin yang membara. Setiap pecahan kerusuhan atau
pemberontakan, dari mana pun, itu bisa saja menjalar kemana-mana. Namun, berbeda
dengan sistem fiskal, oposisi gerakan sosial urban dan pinggiran urban, yang seabrek
jumlahnya di seluruh dunia, toh tidak ketat saling terkait. Malah kebanyakan tidak saling
berhubungan. Andaikata, entah bagaimana, mereka berada dalam kebersamaan, apakah
seharusnya tuntutan mereka?

Jawabannya cukup simpel, pada prinsipnya : kontrol demokratis yang lebih besar terhadap
produksi dan pemanfaatan surplus.Mengingat proses urban adalah kanal utama penggunaan
surplus, mewujudkan manajemen demokratis terhadap eksploitasi urban akan
mengkonstruksi hak atas kota. Sepanjang sejarah kapitalisme, sebagian nilai surplus toh
telah dikenai pajak, dan dalam fase-fase demokrasi-sosial proporsi pengurangan peran
negara meningkat secara signifikan. Proyek neoliberal selama tiga puluh tahun belakangan
telah menjurus pada privatisasi kontrol itu. Betapapun, data semua negara-negara OECD
menunjukkan bahwa porsi negara atas output nasional kotor secara kasar berada pada garis
konstan sejak 1970-an. Pencapaian utama serbuan neoliberal, tiada lain, adalah
membendung meluasnya peran atau porsi publik sebagaimana juga terjadi pada 1960-an.
Neoliberalisme juga telah menciptakan sistem kepemerintahan baru yang mengawinkan
kepentingan-kepentingan negara dengan korporasi. Dengan penerapan kekuasaan uang,
neoliberalisme menjamin bahwa belanja-belanja surplus melalui aparat negara harus
memanjakan kapital korporasi dan kelas atas, dalam membentuk proses urban.
Meningkatkan proporsi surplus yang dipegang negara hanya akan berdampak positif jika
negara itu sendiri ditarik dibawah kontrol demokratis.

Sialnya, kita melihat hak atas kota semakin digenggam oleh kepentingan swasta atau semi-
swasta. Di New York City, misalnya, walikota yang milyuner, Michael Bloomberg, menata-
ulang kota segaris dengan selera para pengembang, Wall Street dan elemen-elemen kelas
kapitalis transnasional. Bloomberg rajin mempromosikan kota sebagai lokasi optimal bagi
bisnis bernilai tinggi dan tujuan fantastis bagi turisme. Pada gilirannya ia merubah
Manhattan menjadi gerbang yang sepenuhnya diperuntukkan bagi komunitas kaya. Di
Meksiko, Carlos Slim menutupi jalanan pusat kota dengan pavingblock guna kenyamanan
turis. Tidak hanya perorangan makmur yang menerapkan kekuasaan langsungnya. Di kota
New Haven, lantaran kekurangan sumberdaya reinvestasi urban, maka adalah Yale, salah
satu universitas terkaya di dunia, yang menebar penataan-ulang sebagian besar tatanan
urban yang sesuai kebutuhannya. Begitu juga universitas Johns Hopkins terhadap Baltimore
Timur dan rancangan-rancangan universitas Columbia untuk beberapa area di New York. Dua
terakhir ini meletupkan perlawanan gerakan komunitas-komunitas ketetanggaan. Hak atas
kota, sebagaimana tengah kita konstruksikan, tampak terkotakkan sempit dan dalam banyak
kasus amat terbatas pada kalangan elite politik dan ekonomi yang memegang posisi
membentuk kota secara terus-terusan sesuai hasrat mereka sendiri.

Setiap bulan Januari, kantor Kontroler negara bagian New York menerbitkan perkiraan
bonus-bonus total Wall Street selama 12 bulan sebelumnya. Pada 2007, tahun bencana bagi
pasar keuangan berdasarkan ukuran apa pun, angka bonus yang terbagikan mencapai 33,2
milyar dollar, atau cuma 2 persen lebih kecil dari tahun sebelumnya. Pada pertengahan
musim panas 2007, Federal Reserve dan Bank Sentral Eropa menggelontorkan milyaran
dollar kredit jangka pendek bagi sistem finansial guna menjamin stabilitasnya. Disusul
dengan  penurunan tingkat bunga secara drastis oleh Fed sembari memompakan sejumlah
besar likuiditas saban bursa Dow Jones terancam jatuh secara drastis. Sementara sekitar dua
juta orang sudah dan senantiasa terdepak menggelandang kehilangan rumahnya akibat
foreclosure (pengambilan surat2 rumah yang termasuk mortgages atau hipotek, oleh
lembaga keuangan karena a.l. cicilan macet). Banyak ranah ketetanggaan kota dan bahkan
segenap komunitas-komunitas pinggiran urban di Amerika terbungkam dan dirangsek,
terobek-robek oleh praktik predator utang-piutang lembaga-lembaga keuangan. Tak ada
bonus untuk populasi ini. Malah, lantaran foreclosure  yang berarti pengampunan hutang,
yang di Amerika dianggap sebagai pendapatan, banyak yang mendadak didobrak oleh
tagihan pajak pendapatan teramat tinggi atas uang yang tidak pernah mereka pegang
sebagai milik mereka. Ketimpangan ganjil ini tidak bisa ditafsirkan secara lain kecuali sebagai
bentuk konfrontasi kelas yang amat keras. Demikianlah, tergerainya badai ‘Katrina finansial’, 
yang membuka peluang (bagi para pengembang) namun mengancam tergusurnya
komunitas-komunitas berpendapatan rendah penghuni lahan berpotensi tinggi di
kebanyakan lingkar pusat kota, menjadi badai yang jauh lebih efektif dan lebih cepat
menyapu habis ketimbang cara-cara lain yang sudah dikenal sebelumnya.

Kita juga menyaksikan oposisi yang berarti terhadap perkembangan ini pada abad ke-21. Ada
banyak, tentunya, gerakan sosial yang luas beragam yang memusatkan perhatian pada
problem urban – dari India dan Brasil hingga Cina, Spanyol, Argentina dan Amerika Serikat.
Pada 2001 gerakan sosial d iBrasil berhasil menyelipkan sebuah Statuta Kota ke dalam
Konsitusi Brasil, yang menegaskan hak kolektif atas kota. Di Amerika, terhadap sejumlah 700
milyar dollar yang dicadangkan untuk menjamin lembaga-lembaga keuangan (bail-out)
diserukan untuk dialihkan ke Bank Rekonstruksi. Yakni Bank yang membantu menghadapi
foreclosure dan mendanai upaya-upaya  merevitalisasi ranah hidup ketetanggaan dan
pembaharuan infrastruktur pada tingkatan munisipal. Maka kemudian krisis urban yang
amat berdampak terhadap jutaan orang, menjadi diprioritaskan diatas kebutuhan para
investor besar dan pemain keuangan. Sayangnya gerakan-gerakan sosial tidak cukup kuat
atau kurang termobilisasi untuk mendesakkan solusi-solusi versi mereka. Juga pergerakan ini
belum terpadu pada bidikan tunggal untuk merebut kontrol yang lebih besar atas
pemanfaatan surplus– atau katakanlah kontrol terhadap kondisi-kondisi produksi surplus.

Pada titik sejarah ini, ia harus merupakan perjuangan global, terutama melawan kapital
keuangan karena berkat itulah proses urbanisasi pada skala terkininya bisa beroperasi.
Memanglah, upaya politik untuk mengorganisasikan sebuah perlawanan bukan soal mudah,
untuk tidak dikatakan bisa merontokkan tulang. Betapapun demikian, kesempatan dan
kemungkinannya berlipat-lipat. Sebab, sebagaimana ditunjukan oleh sejarah ringkas ini,
krisis-krisis  muncul berulang di seputar urbanisasi baik lokal maupun global. Dan juga
karena metropolis kini adalah titik benturan masif – beranikah kita menyebutnya perjuangan
kelas? – atas ‘akumulasi melalui penggusuran’ yang menghampiri kaum kaya dan dorongan
pembangunan yang berupaya mengkoloni ruang bagi kenyamanan kaum makmur.

Satu langkah ke depan untuk memadukan perjuangan ini adalah dengan mengadopsi hak
atas kota baik sebagai slogan yang operasional maupun sebagai ideal politik. Persisnya
karena ia memusatkan perhatian pada masalah siapa yang memberi komando terhadap
keterkaitan tak tertolak antara urbanisasi dengan surplus produksi beserta penggunaannya.
Demokratisasi akan hak tersebut dan membangun gerakan sosial yang meluas untuk
menegakkan hak tersebut, adalah sesuatu yang mendesak, jika mereka yang dirampok
memang berkehendak merebut kembali kendali (hidup) yang sudah lama terabaikan dan
juga jika mereka berkehendak membangun urbanisasi dengan langgam baru. Levebfre benar
dengan menegaskan bahwa revolusi haruslah urban, dalam makna terluasnya, atau tidak
sama sekali.

Anda mungkin juga menyukai