Anda di halaman 1dari 3

Teks Bhismaparwa

“pahuwusan juga kitâpraṅ, at gawe ta pwa ṅ sandhi patūt padulur lawan saṅ Dhananjaya;
pěṅpĕṅ tapwan akweh dahat kṣayanta, eman wwaṅ sanakta saśeṣa niṅ mati, sambahakĕnte
maharaja Yudhiṣṭhira, wodhanani saṅ Bhīma Nakula Sahadewa, wahuyakĕn kawwaṅ-
sanakanta.
Byatītâṅ hiḍĕp wedanâturu riṅ śaratalpa bhagawān Dewabrata, tamolah winodhanenāśwāsa
tĕkap saṅ Korawa-Pândawa, mwaṅ watĕk ratu sāmanta sakulagotra, irikaṅ kāla, ḍataṅ ta
bhagawān Nārada, ahyun tumontona saṅ sĕḍĕṅ maṅiḍĕp kālawaśa. Anuṅsuṅ ta sira kabeh,
maswāgatâmūjā maṅadaṅaken pañcopacāra,”

pahuwusan : pa+huwus+an sambahakĕnte : sambahaken+ta+i


huwus : selesai, berhenti, sambah : menyembah
sudah, berakhir maharaja : raja yang mashyur
juga : juga, hanya, semata-mata wodhanani : wodhana+ni
kita : kata ganti orang kedua wodhana : menjaga,
atau ketiga, kamu, engkau, kalian, kita wahuyakĕn : wahu+ya+aken
apraṅ : berperang wahu : tadi, baru saja
at : partikel penghubung kawwaṅ-sanakanta. : hubungan keluarga
konotasi orang kedua atau partikel Byatītâṅhiḍĕp : byatīta+aṅhiḍĕp
pembentuk imperatif byatīta : lampau, sesudah
gawe : membuat aṅhiḍĕp : mengetahui,
ta pwa : partikel pewatas penegas memikirkan, mempertimbangkan,
ṅ : aṅ (partikel penentu) menurut, menyadari, menganggap,
sandhi : hubungan mengira
patūt : bersatu, berpadu wedanâturu : wedana+aturu
padulur : pa+dulur wedana : sakit
dulur : saudara aturu : tidur
lawan : dan, dengan riṅ : di
saṅ : śaratalpa : kasur dari anak
Dhananjaya : nama lain Arjuna panah
pěṅpĕṅ : berhenti, bendung, halang tamolah : diam, selalu, tetap
tapwan : belum, tidak, tanpa winodhanenāśwāsa :
akweh : banyak in+wodhana+ināśwāsa
dahat : sangat, terlalu winodhana : dijaga, dijagakan,
kṣayanta : kṣaya+nta ditimbulkan, ditegur, dibangunkan
kṣaya : binasa ināśwāsa : dihibur
eman : sayang tĕkap : oleh, dari, untuk,
wwaṅ : orang dengan cara
sanakta : sanak+ta mwaṅ : dan, dengan,
sanak : saudara bersama
saśeṣa : seluruh sisa watĕk : keturunan, bangsa,
niṅ : di golongan
mati : meninggal ratu : raja, penguasa
sāmanta : negara tetangga, kālawaśa : maut yang
berbatasan cepat, sakaratul maut
sakulagotra, : dengan sekeluarga Anuṅsuṅ : menyongsong,
irikaṅ : irika + ng menyalami, menjumpai
kāla : waktu, saat, sejak maswāgatâmūjā :
ma+swāgata+amūjā
ḍataṅ : datang swāgata : penyambutan,
ahyun : berkeingingan, penghormatan
mengingini, menghendaki amūjā : memuja,
tumontona : hendak menonton, menyembah
hendak melihat, akan memperhatikan maṅaḍaṅaken : maN-+aḍaṅ+aken
sĕḍĕṅ : sedang, bertepatan aḍaṅ : sedia, selesai
dengan, pañcopacāra : pañca+upacāra
maṅiḍĕp : maN-+iḍĕp upacara yang kelima (pemujaan
iḍĕp : pikiran, yang diwakili dengan lima elemen ‘panca
pengetahuan, pandangan, pendapat maha bhuta’)

Terjemahan lengkap :
Hentikanlah perangmu, buatlah hubunganmu bersatu seperti halnya saudara dengan
Dhananjaya; berhentilah sebelum terlalu banyak yang binasa, sayang jika seluruh sisa
saudaramu meninggal, hormatlah kepada maharaja Yudhistira, jagalah sang Bima, Nakula,
Sahadewa, itu merupakan keluargamu.
Sesudah memikirkan betapa sakitnya tidur di kasur anak panah, Bhagawan Dewabrata tetap
dijaga dan dihibur oleh Korawa-Pandawa, bersama seluruh penguasa negara sekutu dan
keluarga, pada saat bhagawan Narada datang, beliau telah mengharapkan dan menyaksikan
bahwa pikirannya telah dekat dengan kematian. Semua orang menyongsongnya dan
memberikan penghormatan dan pemujaan berbentuk pañcopacāra (pemujaan yang diwakili
dengan lima elemen ‘panca maha bhuta’).

Kajian Bhismaparwa
Dalam cuplikan teks Bhismaparwa di atas, ada suatu hal yang menarik untuk dibahas
dan dikaji lebih lanjut. Yaitu dalam kalimat ‘Anuṅsuṅ ta sira kabeh, maswāgatâmūjā
maṅadaṅaken pañcopacāra’. Disebutkan adanya pañcopacāra yang berasal dari kata pañca
‘lima’ dan upacāra ‘pemujaan, upacara’. pañcopacāra adalah salah satu bentuk upacara yang
berkaitan dengan lima elemen dasar alam atau panca maha bhuta. Dalam pañcopacāra puja
lima elemen tersebut disimbolkan dengan beberapa hal. Mulai dari Pushpa, Dhupa, Dipa,
Naivedya, dan Gandha sebagai simbol dari panca maha bhuta. Secara kosmologi panca
maha bhuta merupakan lima elemen dasar penciptaan alam semesta bersamaan dengan 19
unsur materi lainnya dalam Sankhya Yoga (Marselinawati, 2018: 85-88). Sebagai lima
elemen dasar, panca maha bhuta terdiri atas pṛthiwī, apah, teja, bayu, dan akasa. Pṛthiwī
adalah unsur padat, pembentuk segala unsur padat pada alam semesta. Apah merupakan unsur
cair. Teja unsur panas atau unsur yang menghasilkan cahaya. Bayu merupakan unsur gas atau
udara. Dan akasa adalah unsur kekosongan atau ether sebagai bentuk kelengkapan dari segala
unsur yang lain, sunyi dan kosong. Lima unsur tersebut berperan besar dalam pembentukan
makrokosmos atau jagad gedhe dan jagad cilik atau mikrokosmos. Sumber dari panca maha
bhuta juga berkaitan dengan konsep dualisme, dalam Tattwa Jñāna disebut sebagai cetana
‘sumber kesadaran’ dan acetana ‘ketidaksadaran’ (Windya, 2019: 31-36) atau biasa disebut
sebagai purusa pradana sebagai sumber terciptanya kehidupan dalam alam semesta.
Panca maha bhuta juga tidak hanya sekedar elemen dasar, namun sebagai salah satu
sebab adanya alam semesta, yang juga berkaitan dengan konsep panca tan matra sebagai
lima benih kehidupan yang saling bersinggungan dengan panca maha bhuta. Bisa dilihat
bahwa alam semesta secara fisik dibentuk oleh lima unsur tersebut. Paling jelas dapat
menggunakan bumi sebagai contoh. Bumi secara umum terbentuk atas dua unsur besar yaitu
unsur cair dan padat. Samudra sebagai unsur cair, serta ada kerak bumi dan lempeng sebagai
unsur padat. Dua unsur ini berasal dari pṛthiwī dan apah. Kemudian panas bumi dan adanya
aktivitas vulkanik menjadi salah satu bentuk teja. Selain hal tersebut bumi juga memiliki
atmosfer dan udara yang mengandung beberapa gas semacam Nitrogen, Oksigen, dan
Karbondioksida sebagai unsur pembantu adanya kehidupan. Atmosfer dan udara terbentuk
dari unsur bayu. Selain keempat unsur tersebut perlu adanya rongga untuk tempat kosong dan
sebagai bentuk keseimbangan hal inilah yang kemudian disebut sebagai ether yang berasal
dari bentuk akasa. Konsep kosmologi sudah dikenal jauh bahkan sejak zaman Jawa Kuno
dibuktikan dari teks Bhismaparwa di atas. Bahkan kosmologi telah dikenal secara beriringan
dengan pañcopacāra puja sebagai salah satu bentuk upacara yang menggunakan lima simbol
pembentuk elemen dasar alam semesta. Hal ini membuktikan bahwa manusia sejak jaman
dahulu telah maju beriringan dengan alam, bahkan menghargai alam dilihat dari puja
tersebut.

Referensi

Marselinawati, Putu Sri. “KOSMOLOGI HINDU DALAM SANKHYA-YOGA.”

GENTA HREDAYA, vol. 2, no. 2, 2018, pp. 85-88.

https://stahnmpukuturan.ac.id/jurnal/index.php/genta/article/view/456,

https://core.ac.uk/download/pdf/322509984.pdf.

Windya, Ida Made. “KONSEP TEOLOGI HINDU DALAM TATTWAJÑĀNA.”

Jñānasiddhânta, vol. 1, no. 1, 2019, pp. 31-34.

http://jurnal.stahnmpukuturan.ac.id/index.php/jnanasidanta/issue/view/24,

http://jurnal.stahnmpukuturan.ac.id/index.php/jnanasidanta/article/view/343/302.

Anda mungkin juga menyukai