Anda di halaman 1dari 3

DAKŞIŅA

Dakşiņa sebagai lambang Bhuväna Sthäna Hyang Widhi Wasa, nampak


dalam bahan-bahan yang membentuk Dakşiņa sbb:
1. Bebedogan: dibuat dari daun janur yang sudah hijau dibuat seperti sangku
dengan sebeh di tepinya, melambangkan Påthivé.
2. Serobong Dakşiņa: dibuat dari daun janur hijau yang masih agak putih
(sudamala), tanpa tepi atas dan bawah, lambang Äkäça yang tanpa tepi.
3. Porosan/Puruña, terdiri dari lima unsur: sirih (Viçëu), kapur (Içvara), pinang
(Brahma), Gambir (Mahädeva), Tembakau (Içana); lambang Païca-Devata.
4. Segenggam beras, lambang sifat tamas yang mengikat setiap ciptaan Tuhan
5. Uang upakara panca-datu: melambangkan sifat rajas; jumlah yang sering
dipergunakan, mulai dari 11 hingga 225 keping.
6. Benang/kapas: sifat sattvam yang menyertai setiap ciptaan Tuhan.
7. Tampak: dibuat dari empat helai janur disilang hingga membentuk padma.
8. Kelapa, lambang bhuvana agung dari Sapta-Patala hingga Sapta Loka,
sebaiknya dikupas hingga halus, bebas dari serabut, karena serabut kelapa
melambngan ikatan indria kita terhadap alam material.
9. Telor itik dengan urung ketipat taluh, lambang bhuvana alit yang menghuni
bumi ini.
10.Gegantusan, lambang penghuni dunia ini lahir berulang-ulang seseuai dengan
tingkatan karmanya
11.Pisang, lambang keinginan yang senantiasa tumbuh dan berkembang
12.Tebu, lambang anugrah Tuhan dapat diperoleh bila kita senantiasa bersyukur.
13.Disisipkan bagian belakang atas, camara atau dendeng-ai, lambang mendapat
restu dari Tuhan dalam wujud Sang Hyang Surya.
14.Diselipkan bunga pada dendeng-ai/cemara, bukan disusuni canang; lambang
persembahan yang suci (bunga Padmase-imbangtidak menolak
maupun meminta diperlakukan secara khusus oleh Tuhan).
Kata Dakşiņa memiliki arti antara lain : mampu, cakap, tangkas, bagian
selatan, tangan kanan, lengan kanan. Dalam kegiatan ritual, dakşiņa dalam bentuk
upakara mengandung makna Lingga Sthana Dewata, dan dalam bentuk Sesari
mengandung makna penyeimbang (selatan-kelod-lod-lot-laut), upah, tebusan,
ganjaran, hukum. Marilah kita bahas satu-persatu:
1. Dakşiņä dalam arti mampu, cakap, tangkas, tangan kanan; dalam Ayur Weda
XX.25 dinyatakan:
vratena dīkşam apnoti dīkşāya apnoti dakşinam
dakşina śraddham apnoti śraddhaya satyam apyate
Dengan menjalankan tapa brata seseorang mencapai dīkşa (penyucian diri),
dengan dīkşa seseorang memperoleh dakşina (penghargaan), dengan dakşina
seseorang dapat memantapkan śraddha (keyakinan), dan melalui śraddha
seseorang menyadari kebenaran (Tuhan Yang Maha agung).

Dakşiņa disini mengandung arti Dikşa atau Dakşa yaitu suatu keahlian atau
suatu kemampuan yang diperoleh dengan suatu disiplin yang ketat, sehingga
patut memperoleh suatu penghargaan.

1
Adapun besarnya dakşiņa yang patut dipersembahkan oleh pelaksana yajïa
adalah seperempat dari nilai yajïa yang dilakukan. Hal tersebut disebabkan
karena sang anangun yadnya tan pendah kadi anangun giri (gunung) atau
tumpeng (kemantapan lahir-batin). Hal tersebut dapat dilihat dari Pūja Tri-
bhuwana sbb :
Om Parama-Çiva tvaà guhyah Çiva tattva-paräyanah
Çivasya praëato nityaà Caëòésäya namo ‘stu te
Sang Hyang Çiva Tertinggi, Dikau sangat rahasya/tersembunyi, Hyang Çiva
tempat berlindung dari unsur-unsur kehidupan yang senantiasa patuh kepada-Mu.
Suami dari Devé Caëòé, sembah kehadapan-Mu
Neivedyaà Brahmä Viñëuçca bhoktä devo Maheçvaraá
Sarva-vyädhén älabhati sarva-käryänta-siddhäntam.
Brahma dan Viçëu diwujudkan dalam bentuk sasajian, dan Maheçvara-lah
sebagai pemnikmat sejati, meniadakan penderitaan, memberkahi keberhasilan
dalam segala kegiatan.
Jayärthé jaya äpnuyäd yaçärthi yaçam äpnoti
Siddhi-sakalam äpnuyät Parama-Çivam Labhati
Mereka yang mengharapkan kemenangan, akan diberkahi dengan kemenangan,
mengharapkan kemasyuran, keberhasilan, semua itu dianugrahi oleh beliau;
namun yang mengabaikan ketignya itu dan hanya karena rasa bhakti,
memperoleh kesucian (ketidakterikatan) tertinggi.
Kalau kita simak ketiga sloka di atas, mencerminkan kegiatan di ketiga loka;
bhur-bhuvah-svah yang memberi isyarat kepada kita, semestinya yajïa ditata
seperti segi tiga (tumpeng-gunung), yang bila dibagi ketinggiannya menjadi
tiga bagian, akan diperoleh untuk bhur-loka (urusan yang berhubungan
dengan penerimaan tamu undangan dan peserta upacara termasuk biaya
suguhan, penyiapan tempat acara, akomodasi lainnya) mempunyai 45% dari
seluruh biaya upacara yajïa; biaya upakara (bhuvah loka) sebesar 30% dan
Dakşiņa (punyam/sesari) sebagai unsur Sväá loka sebesar 25%.
Unsur Dakşiņa patut diperhatikan agar tidak memperoleh kutukan daksina
sesuai uraian dibawah ini :
Yad yat sa-dakñiëaà karma ta tad yajïa iti småtaù
Våthä hy adakñiëo yajïo yajïa-patné hi dakñiëa
Òakñiëa çlokäni, Stuti & Stava 932
Setiap upacara yang diselenggarakan disertai dengan pemberian dakñiëa,
dapat dipandang sebagai Yajïa, suatu upacara tanpa dakñiëa sungguh tidak
akan ada artinya, karena dakñiëa itu merupakan pasangan bagi yajïa.

Indriyaëi yaçaù svargam äyuù kértià prajäù paçūn


Atyalpa-dakñiëe yajïe na yajeta kadäcana
Janganlah hendaknya seseorang mengorbankan perasaannya (kewarasan
pikirannya), nama baik/kemasyuran, tempat kediaman di alam surga
(kebahagiaan), umur panjang (kesehatan), keturunan dan kekayaan ternak
(peralatan pendukung kehidupan) karena kesalahan mempersembahkan
dakñina terlalu kecil. (Òakñiëa çlokäni, Stuti & Stava 932)
Dakşiņa dapat dipersembahkan dalam bentuk punyam yang mempunyai
makna sesuai sloka berikut:

2
DÄNAÇTAVA
Dänaà vibhūñaëaà nityam dänaà Durgäti-väraëaà
Dänaà svargasya sopänaà dänaà çakti-karaà Çivaà
Däna-mantra, Stuti & Stava 181
Keikhlasan berderma senantiasa menghiyasi rohani, dengan ikhlas berderma
memberkati pembebasan dari segala hambatan, berderma dengan ikhlas,
merupakan tangga menuju wilayah terang-benerang, keikhlasan merupakan
kekuatan hebat karunia Çiva.
Yac ca krodhe parä-jitaà kurute triòaçälaye
Tad dänasya phalam jätaà vara-daà paramaà hutaà.
Däna-mantra, Stuti & Stava 181
Keikhlasan berderma juga dapat meredam kemarahan lawan, melebur trikaya,
memperoleh anugrah keturunan mulia, pada mereka yang mempersembahkan
dana punya sebagai persembahan tertinggi.
2. Dakşiņa sebagai Liìga Sthana Dewata dipergunakan sebagai Lingga
sementara untuk mensthanakan Dewata sebagai Pemimpin upacara. Setelah
selesai upacara, segera Dakşiņa tersebut di bongkar.
Dakşiņa Liìga yang dipergunakan sebagai tapakan saat pembangunan
parhyangan atau pada saat ngenteg linggih, sepatutnya dipertahankan selama
12 hari (dvā-daśäditya), baru dipralina, semua bekasnya termasuk dendeng-ai,
orthi (pemberitahuan rohani), sat-asat (sapsat), gantungan-gantungan (restu
Akasa-Påthivé) dibakar dialaskan dengan penggorengan (simbul Ang /
pradana), membakar semua ini dilakukan oleh seorang wanita tertua atau yang
mewakili nya di keluarga penyungsung parhyangan itu; kemudian ketika
sudah go-song, seorang pria tertua atau yang mewakilinya memecahkan
kelapa di atas penggorengan tadi hingga airnya merendam (nyaheb) api yang
sedang membara tersebut diatas (simbul Ah / Puruña) sasantun penuntun
kalipatan 11 keteng uang païca-dhätu yang dianyam melingkar (Padma-
lekeh) yang terdapat pada dakşiņa, ditanam di belakang palinggih
bersangkutan sedalam satu hasta-muñöi, dengan urutan: setelah tersedia
lubang, orang yang menggoreng tadi memecahkan telur dakşiņa dengan
melempar keras-keras ke dalam lubang, memasukan arang bekas dakşiņa,
uang lekeh (teleh tetap menghadap ke atas), orang yang memecahkan kelapa
tadi, menutup dengan pecahan kelapa bagian bawah (tempurung tetap
menghadap keatas) kemudian pecahan kelapa bagian atas, lalu ditimbun
bersama. Hal ini dilakukan pada tiap-taip palinggih mulai dari palinggih yang
berstatus paling rendah ke yang berstatus tertinggi. Selama tidak ada
pamugaran palinggih, tidak diperlukan ngunggahin daksina pada palinggih
bersangkutan.
3. Dakşiņa juga berarti arah ke selatan atau bawah. Contoh :
Dakşiņapaçcät/dakşiņapaçcima = Barat daya, Dakşiņa-desa = wilayah
selatan; Dakşiņapūrvā = tenggara. Dakşiņetara = kebenaran, kebajikan, utara.
Dakşiņapati = Penguasa Naraka.
Mataram, 17-12-03
ttd.
Pinandita I Gusti Ngurah Sunarta
Hp.081339196894;081805298933
3

Anda mungkin juga menyukai