Anda di halaman 1dari 17

Manu J.

Widyasěputra
Ketua Bagian Penelitian Paguyupan Trah Paŋéran Dipaněgara
Yogyakarta
 Penelitian Stephen Lansing menyatakan bahwa
orang-orang Nusantara telah berkomunikasi
interkultural dengan penduduk di daratan Asia
Selatan dan Asia Tenggara bahkan sampai ke
Malagasi sejak masa prehistori, hal itu
dibuktikannya dengan diteukannya DNA
Khromosom Y di desa-desa daratan Asa Selatan dan
Asia Tenggara. Dengan demikian proses komunikasi
interkultural itu sudah mulai sejak masa Pra-
Sejarah kemudian berlanjut ke masa Proto-Sejarah,
sehingga pada masa era Masehi kebudayaan di
Nusantara sudah sangat matang
 Matarām berasal dari Bahasa Sansekerta Mātṛ, yang
mempunyai gender kata feminin dan berarti ‘Ibu’.
Matarām merupakan bentuk Akusatif dalam sistem
deklinasi Bahasa Sansekerta. Dalam gramatika
Sansekerta, kasus Akusatif mempunyai 4 macam
fungsi, tetapi di sini hanya dua yang dibahas. (1).
Akusatif sebagai Predikat Kalimat Nominal, seperti
misalnya Bhūmi Matarām, yang artinya ‘Tanah
adalah Ibu, Wilayah adalah Ibu’; (2). Akusatif
sebagai Obyek dalam Kalimat Verbal, seperti
misalnya: Běksa Matarām, berarti, ‘Berhasrat sekali
memuji Ibu, Pujilah Ibu sugguh-sungguh’; Baṭik
Matarām, berarti, ‘Lukislah Ibu’
 Dalam ekologi di Bhūmi Mātaram, elemen-elemen ekologi menjadi faktor yang
sangat penting dalam menopang kehidupan umat manusia pada masa itu:

 Mandarâgni, yang dalam hal ini Gunung Měrapi dan Gunung Měrbabu yang
meletus terakhir pada tahun 1500-an setelah itu lalu “istirahat” sampai hari ini.
Mineral-mineral dari kedua gunung itu sangat diperlukan untuk kesuburan tanah-
tanah di dataran rendah di bawahnya, sehingga tumbuh berbagai macam tanaman,
baik tanaman agraria maupunn hutan tropis.

 Nadī, di samping untuk pengairan daerah agraris, kepentingan ritual pada masa
itu, dan juga sebagai sarana maritim sungai, yang mampu menjadi penghubung
wilayah Mātaram bagian utara maupun bagian selatan. Di samping juga menjadi
sarana komunikasi intra- dan interkultural pada masa itu

 Āraṇya, penting untuk sarana penyimpanan air dan menjadi tempat hidup segala
macam kehidupan hayati: tanaman dan binatang. Bagi umat manusia Āraṇya ini
menjadi tampat untuk membentuk peradaban, karena di dalam Āraṇya umat
manusia menempa diri dalam sebuah ruang yang disebut Āśrama
 Pada masa Mātaram sistem kehidupan yang dianut adalah
Caturāśrama, yang meliputi: Brahmacāri, Gṛhastha,
Vanapraṣñha atau Parivrajaka dan Saṃnyāsa atau Bhikṣuka.
Pada tataran Brahmacāri seseorang ditempa dirinya menjadi
seorang yang berintelektual panjang dan berat sehingga ia menjadi
orang yang rendah hati. Setelah mengalami proses inisiasi
Upanayana yang ditandai dengan seremopang Upavita, ia
memasuki tataran hidup yang berikutnya, yakni Gṛhastha:
membangun rumah tangaa untuk meneruskan keturunan. Setelah
putra-putranya selesai menjadi Brahmacāri, ia meninggalkan
Gṛha untuk hidup di Vana atau Āraṇya untuk menyempurnakan
kehidupannya secara spiritual, terlepas dari ikatan keduniawian
Pada tataran terakhir yakni Saṃnyāsa atau Bhikṣuka ia menunggu
masa-masa untuk mencapai ke-mokṣa-annya. Pada kesempatan ini
dibahas tataran yang pertama yaitu Brahmacāri pada saat
seseorang menjadi seorang Śāstrī/Śāstrinī atau Śīṣyā/Śīṣyā
Para Brahmacāri tinggal dan belajar di Āśrama di bawah
bimbingan Brāhmaṇa. Secara Nirukta, etimologi‟ kara Āśrama
berasal dari dua elemen gramatikal, yakni ā dan śrama, Ā adalah
prefiks verbal Sansekerta, yang menunjukkan aktivitas mengalir
dari atas ke bawah atau dari masa lalu ke masa kini, sedangkan
śrama berasal dari akar kata Bahasa Sansekerta √śram dengan
bentuk presens śramyati yang mempunyai arti, Pertama:
„melelahkan diri, membuat capai dirinya sendiri, meletihkan diri
sendiri‟: sebagai contoh: Para dewa menjadi sangat lelah
(śramayuvaḥ) setelah mengejar Agni (ṚgVeda 1.72.2); Seekor
burung sangat lelah (aśramayat: AiB 3,25; śrāntaḥ: BāU
4.3.19) setelah terbang jauh; Sungai-sungai, yang dialirkan oleh
Vāruṇa, merasa tidak lelah (na śramyanti ṚgVeda
2,28.4).kendati tidak pernah berhenti mengalir; Perahan Soma
mengalit tanpa lelah (na saśramuḥ: ṚgVeda 9.28.4)
Arti Kedua: Āśrama juga mempunyai makna, „bekerja keras,
mengerahkan tenaganya sendiri, bekerja membanting tulang‟. Āśrama
menyiratkan aktivitas atau ujian yang berat, yang diarahkan untuk
menerima hasil yang positif atau diharapkan untuk memperoleh anugerah.
ṚgVeda 10.114.10 menyatakan bahwa kuda-kuda memperoleh inbalan
jasanya yang berupa kerja keras (śrama). Istilah itu paling sering
dipergunakan dalam kepustakaan Vedis untuk mengekspresikan usaha
keras yang berkaitan erat dengan penyelenggaraan yang bersifat religius,
terutama yang bertalian dengan ritual-ritual yajña. Śrama dihubungkan
erat dengan yajña Vedis, dan dari situ śrama dipertalikan dengan dua
aktivitas ritual yang lain: tapas. „memanaskan diri‟ dan arcana,
„pemujaan‟. Seorang laki-laki dengan tenaga yang keras (śaśramānaḥ)
untuk membawa minyak bagi yajña (ṚgVeda 4,12,2). Āditya
menganugerahkan kesejahteraan bagi “ia yang memerah Soma” (ṣrāntāya
sunvate: ṚgVeda 8.67.6).
 Berdasarkan Nirukta di atas dapat diketahui secara lebih mendalam
bahwa Āśrama memili dua macam pengertian: (1). Āśrama sebagai
ruang untuk mendempa diri bagi orang-orang yang belajar yang
disebut dengan śramaṇa. Di sini para śramaṇa bekerja keras dengan
cara tapas, „memanaskan diri‟ untuk mempelajari bahan-bahan yang
diberikan oleh para Brāhmaṇa selaku pembimbingnya dan juga
melaksanakan arcana, yakni melakukan pemujaan kepada Saŋ
Iṣṭadevatā yang menjadi “pemilik” inti pengetahuan yang dipelajari
mereka. Aktivitas ini sungguh memeras tenaga baik raga maupun
jīva, sehingga mereka sungguh-sungguh menjadi lelah; (2). Āśrama
sebagai jalan hidup. Terutama dalam hal sebagai jalan hidup, Āśrama
merupan jalan utama untuk menuju penyelengaraan aktivitas religius.
Dalam hal ini Sharma sependapat dengan Winternitz dan Spockhoff
bahwa model atau jalan kehidupan ini terutama dipersembahkan
untuk pelaksanaan aktivitas-aktivitas ritual, yang dalam hal ini
mengkaji Śruti dan Smṛti untuk mencapai kesucian atau untuk hidup
Śānta.
 Para śramaṇa dalam belajar di Āśrama diwajibkan: Pertama,
melaksanakan Upaniṣad, Berdasarkan Nirukta kata upaniṣad
berasal dari: akar kata Sansekerta √sad, sidati, yang berarti „duduk‟
kemudian diberi prefiks upa- dan ni-.; upaniṣad berarti, „duduk di
dekat di kaki Brāhmaṇa untuk mendengarkan kata-kata atau
ajaran-ajarannya, terutama pengetahuan-pengetahuan suci dan
rahasia, masalah yang esoteris, masalah suci, arti-arti yang
misterius atau mistis, kata-kata misterius, tulisan-tulisan filosofis‟.

 Setiap Anuśāsana dimulai saŋ Brāhmaṇa selalu menuntujn para


śramaṇa-nya untuk melakukan tapas dan arcana. Telah menjadi
adat kebiasaannya para śramaṇa melakukan penghormatan kepada
saŋ Brāhmaṇa sebagai Guru, dengan sebelum itu saŋ Brāhmaṇa
yang akan memberi Anuśāsana selalu terlebih dahulu
menghaturkan pujaan kepada Saŋ Iṣṭadevatā, agar para śramaṇa
sungguh-sungguh menerima kemahiran dalam hal pengetahuan
 Kedua, seorang śramaṇa harus melaksanakan Tīrthayātra, „Berkunjung
di tempat-tempat suci;‟. Pemahaman lebih jauh dimulai dengan Nirukta
dari kompositum Tīrthayātra. Kompositum ini terdiri atas dua kata: tīrtha
dan yatra. Tīrtha berasal dari akar kata Sansekerta 1. √tṝ, dengan bentuk
presens tarati dan bentuk kausatif tarayati, yang berarti „menyeberang
dan menyeberangkan‟; dan yātra, dari akar kata Sansekerta √yā, yang
berarti „berjalan‟ dan -tra berasal dari akar kata Sansekerta 2. √tṛ, „tarati
atau tarayati‟ yang berarti „menyelamatkan‟. Dengan demikian yātra
berarti „berjalan yang menyelamatkan‟.

 Tīrthayātra seseorang śramaṇa melakukan perjalanan yang


menyelamatkan dengan menyeberang dari keadaan awal yang belum
sempurna menuju ke keadaan yang lebih sempurna. Oleh karena itu
seorang śramaṇa yang telah selesai mendapat Anuśāśana dari Guru-nya,
ia harus menambah pengetahuan di Āśarama lain di bawah bimbingan
Guru yang lain, yang memiliki pengetahuan yang berlainan. Dengan
melaksanakan sejumlah banyak Tīrthayātra, pengetahuan śramaṇa itu
menjadi lebih matang dan sempurna
 Selam melaksanakan proses Anuśāsana, anrata Brāhmaṇa sebagai Guru san
śramaṇa menggunakan metode Upanivada, „Berdialog atau berdiskusi secara
langsung. Setiap Guru menjelaskan suatu permasalahan yang belum dianggap
cukup oleh śramaṇa, ia akan menanyakan dengan langsung, sehingga
perbincangan itu lama-lama menjadi sebuah teks yang panjang dan utuh
pengertiannya. Sebagai contoh: Teks Mahājñāna

 sājñā hyaŋ mami, aparan têki maturu ŋkêŋ śarīra, aparan têki mataŋhi wih, mvaŋ
aparan têki mahas ŋkêŋ śarīra, lavan paran têki masyuh ŋkêŋ avak, maŋkana
takvan saŋ kumāra riŋ bhaṭara, deva uvāca, sumahur bhaṭara, liŋ nira

 he kamuŋ kumāra, anuŋ sinaŋguh maturu, ikaŋ daśêndriya, ikaŋ mataŋhi, vāyu
lavan teja, ya sinaŋguh pañcāvāyu ŋaranya, lvirnya, prāṇa, apāna, samāna,
udāna, vyāna, ika sinaŋguh teja prabhāva, sūb niŋ śarīra, ya têkâmaŋĕnaha riŋ
avak, ikaŋ mahas riŋ daśadeśa, manah bhrāntâvaknya, pinakasahāya niŋ
maŋhipi, ikaŋ masyuh, lmah lavan vvayika, kady aŋgan iŋ hariŋĕt pravṛttinya
 Substansi Anuśāsana yang diberikan oleh saŋ Brāhmaṇa
sebagai Guru kepada śramaṇa meliputi Śruti dan Smṛti.
Ajaran Śruti merupakan Anuśāsana yang bersifat esotris,
rahasia dan suci, terutama yang berkaitan dengan masalah
Theologi dan Arcana-nya. Kemudian ajaran yang berkategori
Smṛti adalah pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan
langsung dengan masalah Ekologi. Kedua kategori
pengetahuan itu dpandang sama pentingnya bagi śramaṇa
yang kelak akan melewati jenjang Gṛhaṣṭha, Vanapraṣṭha
dan Saṃnyāsa. Untuk pengetahuan Śruti bahkan dimulai
dengan pendidikan pra-natal, pengetahuan tentang hakikat
manusia, pengetahuan bahasa, pengetahuan pengolahan
intelektual, hingga pengetahuan tentang ketika orang akan
mengundurkan diri dari kehidupan duniawi untuk menuju ke
alam ke-mokṣa-an
 Teks Śruti:

 Agastyaparva
 Vṛhaspatitattva
 Aṣṭadhyāyi
 Mahājñāna
 Tattvajñāna
 Jñānasiddhānta
 Ślokântara

 Teks Smṛti

 Sarasamuccāya
 Tantu Paŋgělaran
 Koravâśrama
 Navaruci
 Cantakaparva
 Pārthayajña
Ketika kita mempelajari atau meneliti kebudayaan
Mātaram, kita tidak dapat melepaskan diri pada
permasalahan ekologi Mātaram itu sendiri, karena
peradaban di situ terbentuk seiring dengan gerakan dan
aktivitas ekologi Mātaram: Mandarâgni, Nadī, Āraṇya.
Ekologi ini lah yang membentuk peradaban Mātaram
ini menjadi matang, maju dan sangat khas berlainan
dengan ekologi-ekologi di wilayah lain.
Matur nuwun

Anda mungkin juga menyukai