Anda di halaman 1dari 20

HOṀA YAJÑA /AGNIHOTRA,

Shri Danu Dharma P. (I Wayan Sudarma)

Oṁ Swastyastu
Yatrā suhārdāṁ sukṛtam – agnihotrahutaṁ yatrā lokaḥ, taṁ lokaṁ
yamniyabhisambhuva sā no ma hiṁsit puruśān paśuṁūca – Di mana mereka yang
hatinya mulia bertempat tinggal, orang yang pikirannya damai dan mereka yang
mempersembahkan Agnihotra, di sanalah majelis (pimpinan masyarakat) bekerja dengan
baik, memelihara masyarakat, tidak menyakiti mereka dan binatang ternaknya.
Atharvaveda XXVIII.6

A. Hoṁa Yajña/Agnihotra dalam kitab suci Veda dan susastra Sanskerta


Sumber tertua tentang ūpacāra Hoṁa Yajña/Agnihotra dapat kita jumpai dalam kitab
suci Veda khususnya kitab Ṛgveda X.66.8. Demikian pula kitab Atharvaveda VI.97.1
dan yang lain-lain yang secara tradisional oleh umat Hindu di India disebut Yajña atau
Yaga. Jadi bila di India kita mendengar umat Hindu melakukan Yajña atau Yaga yang
dimaksud tidak lain adalah Agnihotra walaupun secara leksikal pengertian Yajña atau
Yaga jauh lebih luas dibandingkan dengan Agnihotra. Agnihotra dalam pengertian
leksikal (masculinum, neutrum dan femininum) yang dimaksud persembahan suci
kepada Sang Hyang Agni (api suci) teristimewa adalah persembahan susu, minyak
susu dan susu asam. Ada dua macam Agnihotra yaitu yang dilakukan secara rutin
(konstan) umumnya 2 kali sehari pagi dan sore (nitya atau nityakāla) dan Agnihotra
yang dilakukan secara insidental (kāmya atau naimitikakāla/Monier, 1993: 6).
Istilah yang lain untuk Hoṁa Yajña/Agnihotra adalah Huta (persembahan kepada
Sang Hyang Agni) oleh karena itu kita mengenal pula istilah Hotṛi yang juga berarti
api. Agnihotra juga disebut Havan dan kata Havani berarti sendok (yang dalam
bahasa Sanskerta disebut Juhu) untuk menuangkan persembahan cair. Nama Hoṁa
mengandung arti persembahan berbentuk cairan yang dituangkan ke dalam api suci
(Loc.Cit.). Sumber-sumber lainnya tentang ūpacāra Agnihotra adalah kitab-kitab
Brāhmaṇa di antaranya Kauśītaki, Sathapatha, dan Aitareya Brāhmaṇa. Selanjutnya
bila kita melihat-kitab-kitab Sūtra khususnya tentang Kalpasūtra, Gṛhyasūtra,
Śrautasūtra dan lain-lain selalu kita menemukan informasi tentang betapa pentingnya
ūpacāra Hoṁa Yajña/Agnihotra ini. Kitab-kitab Śrautasūtra (Aśvalāyana S.S.II.1.9,
Saṇkhāyana S.S.II.1, Lāthyāyana S.S.IV.9.10., Kātyāyana S.S.IV.7-10., Mānava
S.S.I.5.1., Vārāha S.S.I.4.1., Baudhayana S.S.II., Bhāradvāja S.S.V., Āpastamba
S.S.V.1., Hiraṅyakeśi S.S.III.1-6, Vaikhānasa S.S.I, Vādhūa S.S.1.,Vaitāna S.S.5-6)
menggambarkan bermacam-macam bentuk tentang persembahan Hoṁa Yajña /
Agnihotra yang secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut: Seorang pelaksana
Agnyadhāna hendaknya setiap hari mempersembahkan persembahan kepada api suci
Agnihotra pagi dan sore hari apakah dilakukan oleh perseorangan atau di bawah
pimpinan seorang Adhvaryu. Bila tiada seorang Adhvaryu yang memimpin, kepala
keluarga dapat melakukannya teristimewa pada waktu bulan purnama dan bulan baru
terbit. Dari kitab-kitab Śrautasūtra dan juga kitab Brāhmaṇa kita mendapat informasi
tentang betapa pahala yang diperoleh bagi mereka yang mempersembahkan atau
melaksanakan ūpacāra Agnihotra, dinyatakan bahwa segala keinginannya akan
tercapai. Api suci hendaknya tetap menyala pada rumah-rumah para Gṛhastha.
Mereka yang secara rutin melakukan Agnihotra, maka kemakmuran akan dapat
terwujud. Agnihotra dengan mempersembahkan biji-bijian, minyak susu, susu, susu
asam dan lain-lain yang kini di India disebut Samagri, diikuti dengan pengucapan
mantram-mantram, terutama mantram Veda dan hendaknya dilakukan seseorang
selama hidupnya atau sampai mencapai tingkatan hidup sebagai Saṁnyāsin (Ram
Gopal, 1983: 535). Hoṁa Yajña/Agnihotra merupakan persembahan wajib yang
dilakukan oleh setiap Gṛhastha karena hanya Gṛhastha secara sempurna dikatakan
dapat melakukan Yajña dan Agni yang dimaksud dalam Agnihotra adalah Tuhan Yang
Maha Esa yang bila dilaksanakan pada pagi hari maka persembahan itu ditujukan
kepada Sūrya, mantram yang selalu diucapkan adalah:
Oṁ Bhūr Bhūvaḥ Svaḥ Oṁ Sūrya Jyotiḥ Jyotiḥ Sūrya Svaha dan bila dilakukan
sore hari (menjelang malam) ditujukan kepada Agni dengan mengucapkan mantram:
Oṁ Bhūr Bhūvaḥ Svaḥ Oṁ Sūrya Jyotiḥ Jyotiḥ Agni Svaha (Abhinash Chandra Das,
1979: 493).
Selanjutnya dalam kitab-kitab Itihāsa dan Purāṇa dan juga kitab-kitab Agama atau
Tantra, ūpacāra Agnihotra senantiasa dilaksanakan dan tentu pula mantram yang
digunakan, di samping mantram-mantram Veda adalah mantram-mantram yang
bersifat Pauranic, Agamic atau Tantrik. Kini kita melihat umat Hindu di India, bahwa
setiap kegiatan ūpacāra, maka ūpacāra Agnihotra senantiasa merupakan persembahan
yang istimewa, artinya dalam perkawinan, ūpacāra kematian, ūpacāra Śarīra
Saṁskara (yang di Indonesia disebut Manusa Yajña) dan pada hari-hari raya
keagamaan, ūpacāra Agnihotra senantiasa dilaksanakan. Bagi Sampradaya Arya
Samaj yang didirikan oleh Swami Dayananda Sarasvati (1875) maka ūpacāra ini
merupakan kewajiban suci yang mesti dilaksanakan.
B. Hoṁa Yajña/Agnihotra menurut sumber Jawa Kuno (Kawi)
Bila kita membuka sumber tertua Jawa Kuno, maka dalam bagian awal dari kakawin
Rāmāyana, yakni ketika prabhu Daśaratha memohon kelahiran putra-putranya
dipimpin oleh Maharsi Ṛṣyaśṛṅga keturunan Gadhi kita mendapatkan informasi
tentang ūpacāra Agnihotra sebagai berikut:
Saji ning yajña ta humadang, śrī wṛkṣa samiddha puṣpa gandha phala, dadhi ghṛta
kṛṣṇatila madhu. mwang kuśāgra wṛtti wetiḥ (24)
Lumekas ta sira mahoṁa , pretadi pisaca raksasa minantram, bhuta kabeh inilagaken,
asing mamighna rikang Yajña (25)
Sakali karana ginawe, awahana len pratista sannidhya, Parameswara inangen-angen,
umunggu ring kunda bahnimaya (26).
Sampun Bhatāra inenah, tinitisaken tang miñak sasomyamaya, lawan kṛṣṇatila
madhu, śrī wṛkṣa samiddha rowang nya (27)
Sang Hyang Kunda pinuja, caru makulilingan samatsyamāngsadadhi, kalawan sekul
niwedya. inames salwir nikang marasa (28)
Ri sedeng Sang Hyang dumilah, niniwedyaken ikanang niwedya kabeh, Ośadi len
phala mūla, mwang kembang gandha dhūpādi (29)
Sampun pwa sira pinuja, bhinojanan sang mahārṣi paripūrna, kalawan sang wiku
sāksi, winursita dinaksinān ta sira (30). Rāmāyana I. 24-30.
v Sesajen ūpacāra korban telah siap, kayu cendana, kayu bakar, bunga, harum-
haruman dan buah-buahan, susu kental, mentega, wijen hitam, madu, periuk, ujung
alang-alang, bedak dan bertih (24).
v Mulailah beliau melangsungkan ūpacāra korban api (Agnihotra), roh jahat dan
sebagainya, pisaca dan raksasa dimentrai. Bhuta Kala semuanya diusir, segala yang
akan menggangu ūpacāra korban itu (25).
v Segala perlengkapan ūpacāra telah tersedia. Doa dan tempat peralatan hadirnya
Devata. Bhatara Śiva yang dimohon kehadiran-Nya, hadir pada tunggu persembahan
(26).
v Sesudah Devata disthanakan, diperciki minyak “sOṁa”, wijen hitam dan kayu
cendana beserta kayu bakar (27).
v Api ditungku dipuja, di kelilingi dengan caru dan ikan, daging dan susu kental,
bersama nasi sesaji persembahan, dicampur dengan segala yang mengandung rasa
(28).
v Pada waktu api di tungku itu menyala-nyala, dipersembahkan sesaji itu semua,
tumbuh-tumbuhan bahan obat-obatan, buah-buahan dan akar-akaran, kembang
harum-haruiman, dupa dan sebagainya (29).
v Sesudah Beliau disembah (selesai acara pemujaan), disuguhkan suguhan kepada
para maharsi, bersama para wiku (pandita) yang menjadi saksi, mereka dihormati
dipersembahkan hadiah untuk beliau (30).
Sumber Jawa Kuna lainnya adalah Agastya parwa (355) yang menjelaskan berbagai
macam Yajña (Pañca Maha Yajña) yang dalam uraiannya tentang Deva Yajña secara
tegas menyatakan bahwa Deva Yajña adalah persembahan kepada Śivāgni yang
dimaksud tidak lain adalah Agnihotra sedang Korawāsrama, menyatakan bahwa Deva
Yajña adalah ūpacāra persembahan berupa makanan dan pengucapan mantram-
mantram Stuti dan Stava (Hooykaas, 1975: 247) menunjukkan bahwa mantram Veda
merupakan sarana dalam Deva Yajña yang tidak lain juga hampir sama dengan
pelaksanaan Agnihotra. Di dalam kakawin Sutasoma 79.8, Tantri Kāmanîaka 142 dan
Nāgarakṛtāgama 8.4 dinyatakan bahwa ūpacāra Agnihotra atau Hoṁa yajña tersebut
merupakan pusat dari ūpacāra korban.
Sumber lainya dalam bahasa Jawa Kuno adalah kitab Ādiparwa (197) yang
menyatakan: mangarpaṇaken udakañjali, magaway agnihortra, yang artinya
memper-sembahkan air penyuci tangan dan melaksanakan Agnihotra
(Mardiwarsito,1981: 13). Di samping sumber tersebut di atas, pelaksanaan Agnihotra
atau Hoṁa yajña dijelaskan pula dalam kitab-kitab susastra Jawa Kuno seperti:
Brahmanda Purāna 127 dan 178, Wirataparwa 12, Rāmāyana 5.9, SutasOṁa
1.11;109.4;110.6;119.12, Nāgarakṛtāgama 83.6, Nitiśāstra 8.1;1.114, Tantu Pagelaran
90, Kidung Harsawijaya 6.85; 6.93, Arjunawijaya 53.3; 53.4, Partayajña 11.10,
Sasasamuccaya 64, Ślokātara 41, Tantri Kāmandaka 38, Tantri Kadiri 1.38, Calon
Arang 122. Salah satu usaha untuk menyucikan diri bagi seorang Sadhaka adalah
dengan melakukan Agnihotra atau Hoṁa yajña:
Śuddha ngaranya eñjing-eñjing madyus, aśuddha śarīra, masūrya sewana, mamuja,
majapa, mahoṁa - Bersihlah namanya, tiap hari membersihkan diri, sembahyang
kepada Sang Hyang Sūrya , melakukan pemujaan, melakukan Japa dan melaksanakan
Hoṁa yajña. Śīlakrama, lamp.41.
Berdasarkan kutipan tersebut di atas, bahwa Agnihotra atau Hoṁa Yajña dilaksanakan
pula di Indonesia (Bali) dan sebagai pendukung data ini kita masih dapat
mengkajinya melalui peninggalan purbakala (arkeologi) dan tradisi yang hidup dalam
masyarakat. Salah satu peninggalan purbakala adalah adanya lobang api (Yajñaśala
atau Vedi) tempat dilaksanakan-nya ūpacāra Agnihotra. Tempat atau lobang api ini
dapat pula kita saksikan di salah satu Gua Pura Gunung Kawi yang diyakini oleh
penduduk sebagai Geria Brahmana terdapat sebuah lobang dalam sebuah altar di
tengah-tengah gua, yang rupanya dikelilingi duduk oleh pelaksana ūpacāra Agnihotra.
Peninggalan berupa lobang tempat api unggun itu adalah Yajñakunda (Yajñaśala)
dikuatkan pula dengan adanya lobang api di bagian atap sebagai ventilasi keluarnya
asap dari tempat dilangsungkannya ūpacāra Agnihotra. Nama-nama seperti Keren,
Kehen, Hyang Api Hyang Agni (Hyang geni) dan Śala menunjukkan tempat yang
berkaitan dengan dilangsungkannya ūpacāra Agnihotra.
Sumber tradisi di antaranya adalah penggunaan pasepan oleh para pamangku,
dedukun atau sedahan desa, menunjukkan pula pelaksanaan Agnihotra dalam
bentuknya yang sederhana, sayang tradisi menggunakan pasepan dengan
mempersembahkan darang asep atau kastanggi kini nampaknya semakin memudar,
pada hal yang penting dalam mempersembahkan pasepan adalah mempersembahkan
darang asep tersebut. Kami mendapatkan pula sebuah informasi lisan, yang perlu
dikaji kembali lebih seksama, bahwa ūpacāra Agnihotra terakhir terjadi pada masa
kerajaan Klungkung di bawah raja Dalem Dimade. Konon saat itu, ketika
pelaksanaan ūpacāra Agnihotra berlangsung, panggung tempat ūpacāra terbakar, dan
sejak itu raja memerintahkan untuk melaksanakan ūpacāra Agnihotra yang kecil dan
sederhana dengan menggunakan pasepan (padupan) saja. Bila informasi tersebut
benar, maka sejak itulah tradisi melaksanakan ūpacāra Agnihotra mulai memudar di
Bali.
C. Hoṁa Yajña/Agnihotra dalam stuti atau stava
Sayang sekali penelitian ke arah pūjā, stuti atau stava hampir tidak pernah lagi
dilakukan setelah meninggalnya Prof.Dr.Hooykaas. Syukur dalam karya bersamanya
dengan T.Goudriaan (dalam Stuti and Stava, Bauddha, Śaiva and Vaiṣṇava Balinesse
Brahman Priests, 1970: 23) kita menemukan informasi tentang 8 buah lontar yang
isinya adalah puja Hoṁa atau Agnihotra. Empat di antaranya menggunakan judul
Agni Janana, sedang sisanya menggunakan judul Hoṁa .
Memperhatikan stuti atau stava yang telah dikaji oleh T.Goudriaan dan C.Hooykaas
maka jelaslah bagi kita bahwa mantram-mantram yang disebutkan dalam lontar-lontar
tersebut di atas adalah mantram Agnihotra atau Hoṁa yajña, di antaranya memakai
judul Sūrya stava, Saptapūjā, stuti Bhatāra Tripuruṣa, Rudra Gāyatrī Dhyāna,
Brahmastava, Liṅgastava, Pṛthivīstava, Ātmakunda, Viṣṇu Gāyatrī, Rudra Gāyatrī,
Viṣṇustava dan lain-lain menunjukkan karakter mantra-mantra tersebut bersifat
Tantrik yang berbeda dengan Agnihotra seperti yang dikembangkan atau dilaksanakan
oleh Arya Samaj di India yang menekankan penggunaan mantram-mantram Veda.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka di masa yang lampau pelaksanaan
Agnihotra menggunakan mantram-mantram yang bersifat Tantrik, seperti juga yang
oleh sebagian digunakan oleh Sampradaya-Sampradaya di India Devasa ini. Sayang
kita belum menemukan praktek pelaksanaan Agnihotra yang pernah dilaksanakan
oleh para pandita Hindu di Bali di masa yang silam. Mengapa tradisi Agnihotra kini
tidak lagi kita jumpai di kalangan para pandita atau di masyarakat ? Untuk menjawab
permasalahan ini kiranya penelitian ke arah itu sangat perlu dilakukan.
D. Keutamaan ūpacāra Hoṁa Yajña/Agnihotra
Segala sesuatu yang diketahui atau dirasakan manfaatnya tentu akan dicari atau
dilaksanakan oleh umat manusia. Demikian pula halnya ūpacāra Hoṁa Yajña/
Agnihotra. Berbagai penelitian ilmiah membuktikan bahwa Agnihotra demikian
sangat penting artinya bagi kehidupan umat manusia. Salah satu buku yang
menguraikan tentang manfaat Agnihotra adalah Hoṁa Therapy, Or Last Chance
diterbitkan oleh Fivefold Path, Inc. Parama Dham (House of Almighty Father),
Madison, Virginia, USA,1989 yang menguraikan manfaatnya bagi kesehatan umat
manusia.
Sebagai telah diuraikan pada bagian depan dari tulisan ini, Agnihotra atau
persembahan kepada api suci adalah merupakan salah satu ūpacāra Veda yang
dilakukan setiap hari. Kitab Aitareya Brāhmana (V.26) menghubungkan ūpacāra ini
dengan seluruh Deva (Viśvedeva) yang diharapkan memberi perlindungan dan
kesuburan ternak, sedang kitab Kauśītaki Brāhmana (II.1) mengidentifikasikan
persembahan Agnihotra adalah persembahan kepada Deva Sūrya dan menurut kitab
suci Veda (Ṛgveda I.115.1) Sūrya adalah jiwa atau Ātma dari seluruh alam semesta,
yang bergerak dan yang tidak bergerak (sūrya ātma jagatas tasthusaś ca). Mantram-
mantram yang digunakan dalam ūpacāra Agnihotra umumnya dipetik dari kitab suci
Veda, Ṛgveda, Yajurveda (salah satu yang sangat terkenal adalah Agnir jyotir jyotir
agnir svāhā, Sūrya jyotir yotiḥ Sūrya svaha, III.9), dan beberapa mantram dari
Atharvaveda. mantram lainnya biasanya dari mantram sampradaya tertentu, misalnya
Śaivisme menggunakan mantram pemujaan kepada Ganeśa, Durgāsaptasati,
Śivamahimastotra dan lain-lain. Di dalam Śatapatha Brāhmana (II.3.1.1) dinyatakan
bahwa Agnihotra diidentikkan dengan Sūrya : Agnihotra tidak lain adalah (pemujaan
kepada) Sūrya . Karena ia muncul dari depan (agra) dari segala persembahan, oleh
karena itu Agnihotra adalah Sūrya . Agnihotra adalah persembahan sehari-hari berupa
cairan yang dituangkan ke dalam api, terdapat dua macam, yaitu ada yang dilakukan
sebulan sekali dan yang dilakukan sepanjang aktivitas hidup. Persembahan Havana
dilakukan pagi dan sore dan selanjutnya orang yang mempersembahkannyapun
ketika ia meninggal ia dibakar melalui ūpacāra Agnihotra. Persembahan Yajña ghṛta
(minyak mentega yang dijernihkan) dan biji-bijian yang harum dituangkan di atas
batang-batang kayu kering yang dibakar diikuti dengan pengucapan mantram-
mantram Veda. Yajña dilakukan pula pada bulan mati (Amavasya) dan pada bulan
purnama (Pūrṇamasi atau Pūrṇima). Agnihotra adalah ūpacāra yang sangat penting
dari ūpacāra-uapacara Veda yang dilakukan pada pagi dan sore hari oleh para
Gṛhastha (keluarga). Kitab Mahābhārata menyatakan: Seperti seorang raja di antara
umat manusia, seperti Gāyatrī mantram di antara seluruh mantram, demikian pula
ūpacāra Agnihotra adalah ūpacāra yang sangat penting di antara semua ūpacāra-
ūpacāra Veda ( Ganga Ram Garga, 1992: 217).
Mengingat peranan fungsi-fungsi mantram, khususnya mantram Gāyatrī dan
Mahāmṛtyuñjaya serta ūpacāra ini dapat mengusir kekuatan-keuatan jahat sebagai
digambarkan dalam kitab-kitab Itihāsa dan Purāṇa, maka ūpacāra Hoṁa Yajña/
Agnihotra yang sering disebut sebagai The Jewel of all Yajñas sangat besar
manfaatnya bila dilakukan dengan penuh kekhusukan sesuai dengan syarat
pelaksanaan sebuah Yajña.
E. Pelaksanaan ūpacāra Hoṁa Yajña / Agni Hotra dan Sarananya
Seperti telah diuraikan di atas, Hoṁa Yajña/Agnihotra adalah ūpacāra Veda yang
merupakan permata atau mutiara dari semua Yajña dalam agama Hindu. Seperti
pengamatan kami di india, ūpacāra ini dilaksanakan dalam berbagai kegiatan ūpacāra
Pañca Yajña, baik Deva Yajña, Pitra Yajña, Ṛṣi Yajña, Nṛ atau Manusa Yajña,
demikian pula dalam pelaksanaan ūpacāra-ūpacāra besar di Bali di masa yang silam,
dilaksanakan pula ūpacāra yang sangat utama ini.
Persembahan Hoṁa Yajña/Agnihotra sebaiknya dipimpin oleh seorang Dvijati atau
pandita (pūjāri), bila tidak memungkinkan dapat dilaksanakan oleh seorang
pamangku atau pinandita yang hidupnya senantiasa Vegetarian. Para peserta
mengiringi pemimpin ūpacāra dengan mengucapkan Svāha (untuk Deva Yajña dan
Yajña yang lain) dan Svādha khusus untuk ūpacāra Hoṁa Yajña yang dilakukan
dalam rangka Pitra Yajña, pada akhir setiap mantra dengan sekaligus
mempersembahkan persembahan yang telah disediakan dengan bahan persembahkan
ditempatkan di atas telapak tangan dalam posisi tengadah yang disorongkan kedalam
Kunda atau Vedi, tempat api persembahan berkobar. Hoṁa Yajña yang dilakukan
dalam rangka ūpacāra kematian, biasanya dilakukan setelah 12 hari selesai
pembakaran jenasah (Antyesti atau Ngaben), sebelum hari tersebut dipandang masih
dalam keadaan Cuntaka. Peserta yang mengikuti ūpacāra Hoṁa Yajña/Agnihotra
dilarang bercakap-cakap dengan sesama peserta, merokok, minum minuman keras
dan melakukan penyucian diri (mandi besar) seandainya sebelumnya melakukan
hubungan suami-istri.
Sebelum secara khusus membahas pelaksanaan ūpacāra Yajña ini, kiranya perlu
diketengahkan tata-tertib untuk melaksanakan dan mengikuti ūpacāra yang sangat
suci ini, antara lain: peserta telah datang 15 menit sebelum ūpacāra dimulai,
diharapkan memakai pakaian sembahyang, yang dibenarkan duduk di sekeliling
kunda, vedi atau lobang api hanyalah mereka yang telah didvijati (pandita) atau
pamangku (pinandita), sedang peserta lainnya mengambil posisi dari para pandita
atau pinandita tersebut. Sang Yajamana atau yang mempersembahkan ūpacāra dan
seluruh peserta ūpacāra tidak diperkenankan meninggalkan ūpacāra sebelum ūpacāra
selesai dilaksanakan. Posisi duduk peserta ūpacāra adalah: peserta wanita di sebelah
kiri dan laki-laki di sebelah kanan kunda atau vedi. Dilarang keras
mempersembahkan ke dalam api suci bahan-bahan kimia berupa plastik, lilin, dupa
atau bahan-bahan yang telah jatuh ke tanah, karena telah cemar atau lungsuran.
Pelaksanaan Hoṁa Yajña/Agnihotra dimulai dengan menyiapkan air suci (sedapat
mungkin Tirtha Gangga), dan sangat baik bila seorang atau beberapa Dvijati (pandita)
terlebih dahulu “ngarga” atau memohon Tīrtha dengan menghadirkan dewi Gangga
(dengan sarana Ganggastava) di dalam Kumbha (di atas Tripada) sebagai sarana
dalam acara Hoṁa Yajña/Agnihotra. Selanjutnya dilakukan penyucian diri
(acamana) dan Praṇāyama. Setelah penyucian diri dan praṇāyama dilanjutkan dengan
pemujaan kepada Agni (menggunakan mantra Agni Sūkta/Ṛgveda I.1-9), Gāyatri
mantram 108 atau 21 kali, Mahamṛtyuñjaya 21 kali dan dalam pemujaan tertentu
untuk kesejahtraan nusa dan bangsa menggunakan mantram-mantram seperti berikut:
Pṛthivī Sūkta, Puruśa Sūkta, Nasadiya Sūkta, Śāntiprakaraṇa dan ditutup dengan
Śānti mantra (Paramaśānti). Sarana ūpacāra persembahan adalah kayu bakar, sedapat
mungkin kayu mangga, intaran, beringin, cempaka, sandat, tulasi, majagau, batang
kelapa kering atau cendana yang telah kering dengan panjang + 10 -30 Cm dengan
diameter 1-2 Cm, supaya mudah terbakar. Gahvya (gobhar) diambil dari kotoran sapi-
sapi yang dipelihara dan disayangi oleh pemiliknya dan bukan berasal dari
tempat/rumah pemotongan hewan. Sarana lainnya adalah daun, batang, bunga, akar
dan ranting kayu tulasi (disebut Pañcāngga) dan juga daun mangga, di samping juga
susu segar, yoghurt, gula merah, ghee (susu asam), madhu (kelima materi tersebut
dinamakan Pañcāmṛta), kapulaga, biji kacang hijau, cengkeh, beras merah, putih dan
hitam serta wijen.
Sangat baik bila sebelum mempersembahkan Hoṁa Yajña didahului dengan
mempersembahkan pejati dan pesaksi kepada Devata yang bersthana di sebuah pura
bila ūpacāra itu dilaksanakan di dalam pura. Bila dikaitkan dengan ūpacāra besar,
sangat baik dilengkapi dengan Pañcadhatu (emas, perak, tembaga, kuningan dan
besi). Adapun bentuk kunda atau vedi umunya berbentuk piramid terbalik, dapat
dibuat dari tembaga atau besi, disamping juga dari batu bata atau sebuah paso
(belanga yang agak datar di Bali juga disebut dengan nama cobek dan semuanya
harus baru (payuk anyar). Bila ūpacāra Hoṁa Yajña/Agnihotra dilaksanakan pada
pagi hari sangat baik bila menghadap ke Timur, sore hari menghadap ke Barat. Bila
didepan altar atau pelinggih, sebaiknya menghadap altar atau pelinggih tersebut.
Demikian pula bila dilaksanakan di tepi pantai hendaknya menghadap ke laut, di
pegunungan diarahkan ke puncak gunung dan di tepi sungai atau mata air, di arahkan
ke sungai atau mata air.
F. Mantra yang digunakan dan terjemahan
Mantram-mantra yang digunakan pada umumnya diambil dari mantram-mantram
kitab suci Veda, dan banyaknya Sūkta yang dirapalkan tergantung kepada tujuan
ūpacāra Hoṁa Yajña tersebut, demikian pula pilihan Sūkta umumnya disesuaikan
dengan situasi pada saat ūpacāra dilaksanakan, misalnya untuk ūpacāra Deva Yajña
dan lain-lain. Berikut kami sampaikan susunan mantram yang digunakan serta
terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia:
1. Asana: Oṁ Prasadha Sthiti Śarīra Śiva suci nirmalāya namaḥ svāha.
2. Acamana (penyucian diri) Penyucian tangan Kanan : Oṁ Śuddhamām svāha
Kiri : Oṁ Ati Śuddhamām svāha
Penyucian Pikiran: Oṁ tejo’asi tejo mayi dhehi, vīryamasi vīrya mayi dhehi,
balamasi balam mayi dhehi, ojo’as ojo mayi dhehi, matyurasi matyum mayi dhehi,
saho’asi saho mayi dhehi – Oṁ Tuhan Yang Maha Esa, Engkau adalah sumber dari
cahaya anugrahkanlah cahaya itu kepada kami, Engkau adalah pahlawan kami,
anugrahkanlah sifat kepahlawanan itu kepada kami, Engkaui adalah sumber
kekuatan, anugrahkan lah kekuatan itu kepada kami. Engkau memancarkan cahaya,
anugrahkanlah pancaran cahaya itu kepada kami. Engkau menaklukkan keagungan
dan cinta kasih, anugrahkanlah hal itu kepada kami. Semogalah kami menjadi pusat,
dan sumber dari kebajikan yang suci. Yajurveda XVI.6
Pengucapan Oṁkara 21 kali masing-masing 5 kali untuk Pañca Jñānendriya,
Karmendriya, Pañca Prāṇa, Pañca Mayakośa dan 1 kali untuk Ātman.
Praṇāyama (mengatur nafas sehingga aliran nafas sangat lembut): Oṁ Bhūr, Oṁ
bhuvaḥ, Oṁ Svaḥ, Oṁ Mahaḥ, Oṁ Janaḥ, Oṁ Tapaḥ, Oṁ Satyam Oṁ Tat savitur
vareṇyam bhargo devasya dhīmahi dhiyoyonaḥ pracodayat. Oṁ āpo jyotī raso
amṛtam brahma Bhūr Bhuvas Suvar Oṁ.- (Oṁ adalah Tuhan yang Maha Esa
penguasa sapta Loka.
Oṁ Tuhan Yang Maha Agung, kami bermeditasi kepada kemaha muliaan-Mu, Tuhan
Maha Pencipta yangmenciptakan segalanya, anugrahkanlah kecerdasan dan budhi
pekerti yang luhur kepada kami. Oṁ adalah air, cahaya, dan bumi yang
menganugrahkan makanan yang lezat, udara segar mendukung kehidupan, yang
meresapi angkasa dan pikiran, intelek dan kami senantiasa ditandai oleh kebesaran
dari Bhūr, Bhuvaḥ dan Svaḥ)
Ganeśa pūjā Ganeśa adalah putra Sang Hyang Śiva sebagai Vighneśvara, penangkal
dan penolak segala rintangan dan bencana. Pemujaan kepada Sang Hyang Ganeśa
dimaksudkan untuk memohon keselamatan setiap ūpacāra Yajña dan aktivitas
kehidupan.
Oṁ Vaktratunda mahākaya Sūrya koti sāma prabha Nirvighnam kurume deva sarva
karyesu sarvada. (Oṁ Hyang Vidhi, kami memuja dalam wujud-Mu sebagai Ganeśa
yang belalainya panjang dan badannya besar, yang cahayanya bagaikan ribuan
matahari, yang melenyapkan segala bencana, semua karya dalam kesuksesan).
Agni Sūkta Ṛgveda I.1-9:(Agni sebagai purohita para Devata yang mewakili semua
Devata untuk menerima bhakti persembahan dari umat-Nya):
Oṁ Agnim īle purohitaṁ/ yajñasya devam ṛtvijam/ hotāraṁ ratnadhātamam// (Kami
memuja Agni, Pandita Utama, Deva penyelenggara ūpacāra Yajña, kami memuja
(Engkau), pemberi anugrah (kekayaan) utama.)
Agniḥ pūrvebhir ṛṣibhir/ īíio nutanair uta/ sa devām eha vakṣati// (Agni, Engkau
dipuja oleh para mahāṛṣi di masa yang silam dan kini, semoga Engkau
mendatangkan para Deva hadir di sini).
Agniḥ rayim aśnavat/ poṣam eva dive-dive/ yaśasaṁ vīravattamam// (Melalui Agni,
umat manusia memperoleh harta benda (dan) kebahagiaan setiap hari, sangat mulia
(dan) pahlawan yang agung).
Agne yaṁ yajñam adhvaraṁ/ viśvātaḥ paribhūr asi/ sa id deveṣu gacchati// (Oh
Agni, pemujaan dan persembahan yang ditujukan kepada-Mu dari setiap sisi,
(semuanya) itu sampai kepada para Deva).
Agnir hotā kavikratuḥ/ satyas citraśravastamaḥ/ devo devebhir ā gamat// (Semoga
Agni, Pandita yang bijaksana, sangat cerdas, kebenaran dan kebijaksanaannya yang
maha agung datang bersama para Deva).
Yad aṛga dāśuṣe tvam/ Agne bhadraṁ kariṣyasi/ tavet tat satyam Aṅgiraḥ// (Rakhmat
apapun wahai Hyang Agni yang Engkau karuniakan kepada pemuja- Mu, wahai
Aṅgira, itulah kebenaran-Mu.
Upa tvāgne dive-dive/ dosāvastar dhiyḥ vayam/ namo bharanta emasi// (Kepada,
wahai Hyang Agni siang dan malam, yang menerangi kegelapan, kami datang
menghadap-Mu dengan kebaktian (yang mantap).
Rājantam adhvarānam/ gopam ṛtasya dīdivim/ vardhamānam sve dame// (Hyang Agni
pengatur persembahan, pengendali hukum abadi yang senantiasa bercahaya,
berkilauan di rumah kami).
Sa naḥ pīteva sunave/ Agne sūpāyano bhava/ sacasva nah svastaye// (Wahai Hyang
Agni, mudahkanlah mendekati kami, seperti seorang ayah kepada anaknya.
Tinggallah bersama kami untuk kebahagiaan kami).
VI. Gāyatri 108 kali
Gāyatri mantram disebut mantram disebut Vedamātā, ibu dari semua mantram Veda.
Mantram ini disebut juga dengan nama Savitrī atau Savitā mantram, merupakan
Samanya yang dapat diucapkan oleh siapa saja bila dilakukan dengan kesungguhan,
akan tercapai permohonannya.
Oṁ Bhur Bhuvaḥ Svaḥ Tat savitur vareṇyam bhargo devasya dhīmahi dhīyoyonaḥ
pracodayat. (Oṁ Tuhan Yang Maha Agung, kami bermeditasi kepada kemaha
muliaan- Mu, Tuhan Maha Pencipta yangmenciptakan segalanya, anugrahkanlah
kecerdasan dan budhi pekerti yang luhur kepada kami).
VII. Mahāmṛtyuñjaya (21 kali)
Mantram ini memohon kemahakuasaan Sang Hyang Śiva sebagai Sang Hyang Rudra
yang melindungi dari berbagai bahaya dan menjauhkannya dari penderitaan: Oṁ
Tryaṁbhakaṁ yajamahe sugandhim puṣti vardhanam, urvārukam iva bandhanān
mṛtyor mukśīya māmṛtāt (Ya Tuhan Yang Maha Esa, kami memuja sebagai Sang
Hyang Śiva Rudra yang menyebarkan keharuman dan menganugrahkan makanan.
Semoga Engkau melepaskan kami dari penderitaan seperti buah mentimun (yang
masak) dari batangnya, dari kematian dan bukan dari kekekalan). Ṛgveda VII.59.12
VIII. Guru Pūjā
Dengan Guru Pūjā dimaksudkan kita memohon karunia dan rakhmat Tuhan Yang
Maha Esa sebagai guru agung alam semesta, termasuk juga pemujaan kepada para
guru atau maharsi yang suci yang telah mencapai alam kedevataan, yang
membimbing umat manusia; Oṁ Gurur Brahma gurur Viṣṇu gurur devo maheśara
gurur sakṣat paraṁ Brahma Tasmai śrī gurave namah. (Kami memuja Tuhan Yang
Maha Esa sebagai guru agung alam semesta, sebagai Brahma, Visnu dan Śiva, hamba
bersujud mohon karunia-Mu).
IX. Pṛthivī Sūkta
Pṛthivī adalah wujud Tuhan yang Maha Esa sebagai penguasa bumi. Ia digambarkan
sebagai seorang ibu yang penuh cinta kasih yang sejati memelihara semua mahluk di
bumi ini dengan menjadikan bumi seperti seorang ibu yang memberikan segalanya
kepada putra-putinya yang baik.
Oṁ tvamasyāvapanā janānāmaditiḥ kāmadughā parathāna. Yat ta śnam tat ta ā
pūrayati
prajāpatiḥ prathamajā ṛtasya - Wahai Ibu pertiwi Engkaulah yang memberikan
kesuburan dan selalu memenuhi keinginan umat manusia. Deva Prajāpati akan
melengkapi bilamana ada yang kurang untuk ibu pertiwi. Atharvaveda XII.1.61.
Upasthāste anamīvā ayaksmā asmabhayaṁ santu pṛthivī prasūtāḥ. Dīrghaṁ na
āyaḥḥ pratibudhyamānā vayaṁ tubhyaṁ balihṛtaḥ syāma – Ya Tuhan Yang Maha
Esa! Kami tidur (istirahat) dipelukan ibu pertiwi dan berikanlah karunia supaya kami
hidup tanpa penyakit apapun, dan mendapatkan kehidupan yang panjang, kami akan
selalu memuja-Mu dengan sepenuh hati. Atharvaveda XII.1.62.
Bhūme mātarnidhehi mā bhadrayā supratiṣthitam. Samvi dānā divā kave śrīyāṁ
mā dhehi bhūtaum - Wahai Ibu Pertiwi lindungilah kami dan berikanlah karunia-Mu
supaya kita hidup dalam kedamaian. Oh Ibu Pertiwi, tetapkanlah kami dalam
kekayaan dan kebahagiaan. Atharvaveda XII.1.63
XI. Puruṣa Sūkta (Yajña Tuhan Yang Maha Esa )
Tuhan Yang Maha Esa ketika menciptakan alam semesta beserta segala isinya
menjadikan Diri-Nya sendiri sebagai Yajña, oleh karena itu umat manusia masti ikut
memutar Cakra Yajña dengan jalan melaksanakan Yajña tiada hentinya dalam rangka
Tri Ṛṇa, hutang jasa kepada-Nya dan ciptaan-Nya.
Oṁ Sahasraśīrṣā puruṣaḥ sahasrākṣaḥ sahasrapāt, sa bhūmim viśvāto vṛtvaty
atiṣthad daśāṅgulam.(Puruṣa berkepala seribu, bermata seribu, berkaki seribu,
memenuhi dunia, pada semua arah, mengisi angkasa selebar sepuluh jari).
Puruṣa evedaṁ sarvaṁ yad bhūtam yac ca bhavyamutāmritatvasyeśano yad
annenātirohati.(Sesungguhnya Puruṣa adalah semua ini semua yang ada sekarang dan
yang akan datang, ia adalah raja keabadian yang terus membesar dengan makanan).
Etāvān asya mahimāto jyāyāmas ca puruṣa āpado’sya viśvā bhūtāni tripād
asyamṛtaṁ divi.(Demikian hebat kebenarannya. Dan Puruṣa bahkan lebih besar dari
ini. Semua wujud ini adalah seperempat dari dirinya. Tiga perempat lagi adalah
keabadian ada di sorga).
Tripād ūrdhva ud ait Puruṣaḥ pādo syehabhavat punaḥ,tato viṣan vya krāmat
sāśanānaśane abhi.(Tiga perempat sari Puruṣa pergi membubung jauh.Seperempat
lagi lagi berada di dunia ini yang berproses terus menerus berselang-seling dalam
berbagai wujud yang bernyawa dan yang tidak bernyawa).
Tasmād virāj ajāyata virājo adhi puruṣaḥ, sa jāto aty aricyata paścad bhūmiṁ atho
puraḥ.(Dari dia Virāj kahir dan dari Viraj kembali. Segera setelah ia lahir ia
mengembang ke timur mengembang kebarat mengatasi dunia).
Yat puruśeṅa haviṣā devāyajñam atanvata, vasanto asyāsid ājyam grīṣma idhmaḥ
śarad dhaviḥ.(Ketika para sewa mengadakan ūpacāra kurban dengan Purusa sebagai
persembahan, maka minyaknya adalah musim semi, kayu bakarnya adalah musim
panas dan sajian persembahannya adalam musim gugur).
Taṁ yajñam barhiṣi prauksan puruṣaṁ jātam agrataḥ, tena devā ayajanta sādhya
ṛṣayas ca ye. (Mereka mengorbankan sebagian korban pada rumput Purusa yang lahir
pada awal penjadian. Pada dia para Deva dan semua sadhyas dan para ṛṣi
mempersembahkan kurban).
Tasmād yajñāt sarvahutaḥ sambhṛtaṁ pṛsadājyampasūn tāmś cakre vāyavyān
aranyān grāmyāś ca ye.(Dari korban itu , yang padanya universal di persembahkan
keluarlah dadih dan mentega yang sudah bercampur.Kemudian ia jadikan binatang-
binatang yang padanya Vāyu berbeda. Baik binatang buas maupun binatang jinak).
Tasmād yajñāt sarvahuta ṛcaḥ sāmāni jajñire, chandānsi jajñire tasmād yajus tasmād
ajāyata.(Dari korban itu, yang padanya universal dipersembahkan, ṛca dan nyanyian
Sāma lahir. Dari dia lahirnya metrik. Dari dia lahirnya Yajus).
Tasmād aśva ajāyanta yeke chobayadataḥ, gavo ha yajñire tasmāt tasmāj jāta
ajāvayaḥ.(Dari dia lahirlah kuda dan binatang apa saja yang mempunyai gigi dua
baris. Sapi lahir dari dia. Dari dialah lahirnya kambing dan biri-biri).
Yat puruṣaṁ vyadadhuḥ katidhā vyakalpayan mukhaṁ kim asya kau bāhū kā ūrū
pādā ucyete.(Ketika meraka menjadikan Purusa korban,menjadi berapa bagiankah
mereka bagi dia ? Dan apakah mereka sebut paha kakinya ?)
Brāhmano’sya mukham āsīd bāhū rājanyah kṛtaḥ, ūrū tad asya yad vaiśyaḥ
pādbhyam śūdro ajāyata.(Mulutnya menjadi Brāhmana, lengannya menjadi
Rājanya,pahanya menjadi Vaiśya, Sudra lahir dari kakinya.
Candramā manaso jātās cakṣoḥ sūryo ajāyata, mukhād Indraścāgniśca prānād
vāyur ajāyata.(Bulan lahir dari pikirannya, matahari dari matanya,Indra dan Agni
lahir dari mulutnya, Vāyu dari nafasnya).
Nābhyā āsīd antarikṣaṁ śirṣo dyauḥ sam avartata, pādbhyām bhūmir disahśrotrat
tathā lokān akalpayan.(Dari pusarnya cakrawala ini lahir, dari kepalanya lahir langit,
dari kakinya lahir dari bumi, dari telinganya lahir keempat penjuru mata angin,
demikianlah mereka membentuk dunia ini).
Saptāsyāsan paridhayas triḥ sapta samidhaḥ kṛtāḥ devā yad yajñaṁ tanvānā
abadhnam puruṣaṁ paśum.(Tujuh pagar kelilingnya ūpacāra korban itu, tiga kali
enam potong kayu bakar sisiapkan, ketika para Deva mempersembahkan ūpacāra itu
yang mengikut Purusa sebagai kurban).
Yajñena yajñam ajāyanta devās tāni dharmāni prathamāmy āsan,te ha nākam
mahimānaḥ sacanta yatra pūrve sādhyaḥ śānti devāḥ.(Deva-Deva dengan
mengandalkan ūpacāra korban memuja (dia yang juga) ūpacāra korban. Mereka yang
agung mencapai sorga yang mulia tempat para Sadhyas, Deva-Deva jaman dahulu).
Rgveda X.90.1-16
XII. Nasadiya Sukta ( proses kejadian alam semesta )
Nasad āsīn no sad āsīt tadanī ṁ nāsīd rājo no vyoṁā paro yat, kim avarīvaḥ kuha
kasya śarman nambhaḥ kim āsīd gahanaṁ gabhīram.(Pada waktu itu dia tidak ada
yang bukan ada maupun yangh ada. Waktu itu tidak ada dunia,tidak ada langit pun
pula tidak ada yang di atas itu. Apakah yang menutupi dan dimana ? Airkah di sana,
air yang tak terduga dalamnya).
Na mṛtyur āsīd amṛtaṁ na na tarhi na rātrya ahna āsīt praketa ḥ, anīd avātaṁ
svadhayā tad ekaṁ tasmād dhānyan na paraḥ kiṁ canāsa.(Waktu itu tidak ada
kematian, pun pula tidak ada kehidupan. Tidak ada tanda yang menandakan siang dan
malam. Yang Esa bernafas tanpa nafas menurut kekuatannya sendiri. Bernafas
menurut kekuatanya sendiri. Di luar Dia tidak apapun juga).
Tama āsīt tamasā gūlham agre praketaṁ salilaṁsarvam ā idaṁ tuchyenābhv
apihitaṁ yad āsīd tapasas tan mahina jāyataikam.(Pada mula pertama kegelapan di
tutupi oleh kegelapan. Semua yang ada ini adalah keterbatasan yang tak dapat
dibedakan. Yang ada waktu itu adalah kekosongan dan yang tanpa bentuk. Dengan
tenaga panad yang luar biasa lahirlah kesatuan yang kosong).
Kāmas tad agre sam avartatadhi manaso reta ḥ prathamaṁyad āsīt sato bandhum
asātī nir avindan hṛdi pratīṣyā kavayo maniṣā.(Pada awal mulanya, setelah itu,
timbullah keinginan. Yang merupakan benih awal dan benih semangat.Para Rsi
setelah meditasi dalam hatinyamenemukan dengan kearifannya hubungan antara yang
ada dan yang bukan ada).
Tiraścīno vitato raśmir eṣām adhaḥ svid āsīd upari svid āsīt, rethodā āsan mahimāna
āsan svadhā avastat prayatiḥ parastāt.(Sinarnya terentang ke luar, apakah ia
melintang, apakah ia di bawah atau diatas. Beberapa menjadi pencurah benih, yang
lain amt hebat. Makanan adalah benih rendah, pemakan adalah benih unggul).
Ko addhā veda ka iha pra vocat kuta ājātā kuta iyaṁ viśṛṣtiḥ,arvāg devā asya
viṣarjanenāthā ko veda yata ābabhūva.(Siapakah yang sungguh-sungguh mengetahui
?Siapakah di dunia ini dapat menerangkannya ?Dari manakah penjadian ini, dari
manakah timbulnya ?Deva-Deva ada setelah penjadian ini, kemudian siapakah yang
tahu, dari manakah ia muncul).
Iyaṁ viśrṣtir yata ābabhuva yadi vādadhe yadi vā na, yo asyādhyak ṣaḥ parame
vyOṁan so āṅga veda yadi vā na veda. (Dia, yang dari padanya penjadian timbul
yang membentuknya atau mungkin pula tidak. Dia yang mengawasi alam ini berada
di langit yang tertinggi, sesungguhnya ia mengetahui atau barang kali
tidak.mengetahui). Ṛgveda X.129.1-7
XIII. Śāntiprakaranam
Mantram untuk memohon kerahayuan jagat beserta semua mahluk hidup didalamnya.
Oṁ saṁnaḥ soṁo bhavatu bahma sam nah sa ṁ no gravanaḥ samu santu
yajñah.Saṁ naḥ svarunam mitayo bhavantu saṁ naḥ prasvah saṁvastu vedih.
(Soṁa rasa (amṛta) yang digunakan dalam Yajña memberikan damai kepada kami,
mantra-mantra dari veda memberikan damai kepada kami, alat-alat untuk
mendapatkan soṁarasa memberikan damai, Yajña memberikan kedamaian kepada
kami, stupa untuk Yajña memberikan damai kepada kami. Usada memberikan damai
kepada kami, dan tempat Yajña (vedi) memberikan damai kepada kami. Ṛgveda
VII.35.7
Oṁ saṁ no vātaḥ pavataṁ saṁ nastapatu Sūryaḥ. Saṁ naḥ kanikradad devaḥ
parjanyoabhi vārsatu. (Ya Tuhan Yang Maha Esa, semogalah udara yang berhembus
memberikan kedamaian kepada kami, surya bersinar untuk kedamaian kami, awan
dengan suaranya menurunkan hujan menimbulkan kesuburan pada tumbuh-tumbuhan
untuk kedamaian kami). Yajurveda XXXVI.1.10
Oṁ agne naya supathā raye asmān viśvāni deva vayunāni vidvan.Yuyodhy asmaj
juhurānam eno bhuyistham te nama uktim vidhema. (Ya Tuhan Yang Maha Esa dalam
wujud-Mu sebagai Agni ! Yang maha bijaksana, tunjukkanlah jalan yang benar dan
untuk mencari kebahagiaan dan kekayaan, kita akan menjalani utama karma agar
supaya kita dijauhi dari papakarma (perbuatan yang penuh dengan papa). Untuk itu
kita dengan penuh sujud dan selalu memuja dan mendapatkan ananda). Ṛgveda
I.189.1.
Oṁ prajāpate na nadetanyanyo viśvā jatani parita babhuva.Yatkāmaste
juhumastanno astu vāyam syāma patayo patayo rayinam. (Ya Tuhan Yang Maha Esa
sebagai Prajāpati ! Tiada selain-Mu yang berada dimana-mana di dunia ini. Apapun
keinginan kami dan untuk memenuhi keinginan tersebut, kami datang kepada-Mu.
Penuhilah semua keinginan kami supaya semua terwujud dan kami menjadi kaya raya
di dunia ini). Ṛgveda X.121.10
Oṁ svasti na indro vṛddhaśravaḥ svasti naḥ puśa viśvāvedaḥ.Svasti nastar kṣyo
aristanemiḥ svasti no bṛhaspati ṛdadhatu. Deva indra ! Maha besar tersebar dimana-
mana berikanlah kebahagiaan kepada kami, Wahai Deva yang maha tahu, peliharalah
dunia, berikanlah kebahagiaan kepada kami. Jalinkanlah tali rasa-mu yang tidak
pernah putus dan melalui karunia-mu seseorang bisa melewati dunia ini dan mencapai
tujuan akhir, berikanlah kebahagiaan. He pelindung yang maha besar berikanlah
kebahagiaan kami. Ṛgveda I.89.6
Oṁ taccakṣur devahitaṁ purastacchukramuccarat.Paśyema śaradaḥ śataṁ jīvema
śaradaḥ śataṁ śranuyāma śaradaḥ śataṁ pra bravama śaradaḥ śatamadinah syāma
śaradaḥ śataṁ bhūyaśca śaradaḥ śatāt.(Tuhan Yang Maha Esa adalah saksi seluruh
u,at manusia dan maha karunianya bagi para sarjana. Beliaulah yang pertama sebagai
cahaya (teja). Untuk itu agar kami dapat melihat beliau seratus tahun, kami dapat
hidup seratus tahun, mendengar seratus tahun, untuk itu keagungan tuhan dapat kami
ceritakan seratus tahun dan kami bisa hidup seratus tahun dengan kebebasan, dan
kemudian kita hidup lebih dari seratus tahun).
Oṁ bhadraṁ karnebhiḥ śṛnuyāma deva bhadraṁ paśyemākṣabhir yajatraḥ.Sthirair
angaiṣtustuvāmsas tanūbhirvyasemahidevahitam yad āyuh. (Ya Tuhan Yang Maha
Esa! Anugrahkanlah karunia-Mu supaya kami mendengar yang baik dari telinga
kami, melihat selalu yang baik dari mata kami, berikanlah kekuatan badan yang sehat
supaya kami selalu memujamu dan sesuai dengan karma kami mendapatkan hidup
yang lengkap dan tidak meninggal sebelum waktunya). Ṛgveda I.89.10
Oṁ saṁ no dyavapṛthivī pūrvahutau sam antarikṣam dṛśaye no astu.Saṁ na
osadhirvanino bhavantu saṁ no rājaspatirastu jiśnuḥ.(Ya Tuhan Yang Maha Esa!
Pagi-pagi setelah bangun kami selalu memohon supaya Dyuloka dan Prithiviloka
memberikan kedamaian kepada kami, demikian juga pada waktu setelah bangun, kita
mlihat antariksaloka, dan memohon supaya antariksaloka memberikan damai kepada
kami. Usada memberikan damai kepada kami. Ya Tuhan Yang Maha Besar rajanya
dunia yang selalu jaya anugrahkanlah kebahagiaan kepada kami). Ṛgveda VII.35.5
XIV. Abhaya dan Śivasaṁkalpa
Mantram ini mendorong umat-Nya senantiasa tegar dalam menghadapi berbagai
cobaan, tidak ada rasa takut atau khawatir dan hidup dalam ketenangan.
Oṁ Abhayaṁ mitrād abhayam amitrād abhayam jñātād ajñātād abhaya ṁ puroyaḥ.
abhayaṁ naktaṁ abhayam divanaḥ sarva āsā mama mitram bhavatu (Ya Tuhan
Yang Mahakuasa ! Semoga saya tidak takut kepada kawan-lawan, dan tidak takut
kepada yang tidak dikenal, semoga malam dan siang hari kami tanpa takut. Semoga
semua arah memberikan sahabat kepada kami). Ṛgveda IX.15.6
Oṁ yajjāgrato dūramudaiti daivaṁ tadu suptasya tathaivaiti. Dūraṁ gamaṁ
jyotisām jyotirekaṁ tanme manaḥ śivasaṁkalpamastu. Pikiran yang dengan
kekuatan dengan kesadaran pada saat sedang bergadang (Jagratah) pergi jauh
kemana-mana (Duramdaiti), demikian juga pada waktu tidur (Tatu Suptasya) pergi
(berjalan) kemana-mana (Tatha Eva Eti). Pikiran yang demikian (Tat) yang pergi
kemana-mana (Duram Gamam) dan paling bercahaya atau bersinar dalam semua
cahaya (Jyotisam Jyoti) adalah hanya satu, yaitu pikiran (Ekam), dengan demikian
“He Tuhan pikiran seperti itu (Tat Memana) menjadi baik, damai dan memiliki
pikiran yang baik (Śivasṁkalpamastu)”. Yajurveda XXXIV.1
XV. Śānti mantra
Setiap mengakhiri suatu kegiatan keagamaan hendaknya ditutup dengan permohonan
kedamaian seperti diamanatkan dalam Śānti mantram berikut:
Oṁ Dyauḥ śāntir antarikṣaṁ śāntiḥ pṛthivī śāntir āpaḥ śāntir oṣadhayaḥ śāntiḥ
vanaspatayaḥ śāntir viśve devaḥ śāntir brahma śāntiḥ sarvaṁ śāntiḥ śāntir eva
śāntiḥ sā mā śāntir edhi (Ya Tuhan Yang Maha Kuasa, anugerahkamlah kedamain di
langit, damai di angkasa, damai di bumi, damai di air, dami pada tumbuh-tumbuhan,
damai pada pepohonan, dami bagi par Devata, damilah Brahma, damilah alam
semesta. Semogalah kedamian senantiasadatang pada kami). Yayurveda XXXVI.17.
Oṁ sarve bhavantu sukhinaḥ sarve śāntu niramayaḥ sarve bhadrāni paśyantu mā
kaścid duḥkha bhāg bhavet (Ya Hyang Widhi, semoga semuanya memperleh
kebahagiaan, semoga semuanya memperoleh kedamaian, semoga semuanya
memperoleh kebajikan dan saling pengertian dan semoga semuanya terbatas dari
penderitaan).
G. Penutup
Demikian keutamaan ūpacāra Hoṁa Yajña/Agnihotra menurut kitab suci Veda, sudah
tentu banyak hal yang mesti perlu dilakukan penelitian dan pengkajian kembali terhadap
sumber-sumber yang ada baik dalam bahasa Sanskerta maupun Jawa Kuno. Semoga kata
pengantar ini bermanfaat dalam rangka penyempurnaan tulisan ini dan semua pikiran
yang baik dari segala penjuru.
Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ

Anda mungkin juga menyukai