Anda di halaman 1dari 32

BAGIAN IV

TAHAP -TAHAP PENILAIAN KELAS

Sebagai sebuah proses, maka penilaian kelas dilaksanakan melalui beberapa tahap.
Tahap pertama, tahap perencanaan yang dimulai pada saat penyusunan silabus dengan
menentukan alat penilaian untuk mengukur pencapaian indikator, kemudian disusul
dengan penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Selanjutnya adalah
penyusunan kisi-kisi, dan penetapan kriteria ketuntasan minimal (KKM). Tahap kedua,
tahap pelaksanaan yang dimulai dengan penyusunan alat penilaian, penentuan bobot dan
skor sesuai dengan karakteristik alat penilaian, dan pendistribusian alat penilaian. Tahap
ketiga, tahap pengolahan hasil penilaian dan pelaporan hasil penilaian.

A. Tahap Perencanaan Penilaian


Setiap kegiatan sebaiknya diawali dengan perencanaan yang baik, tidak terkecuali
dalam melakukan penilaian. Pada kegiatan perencanaan, hal utama yang dijadikan acuan
adalah kompetensi apa yang akan dicapai. Dalam bahasa kurikulum KTSP, acuan tersebut
disebut Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Sebelum melaksanakan
penilaian, sebaiknya seorang penilai tahu terlebih dahulu mengenai aspek apa yang
terkandung pada SKKD yang akan dinilainya?, masuk dalam jenjang apa?, dan bagaimana
menjabarkannya. Kegiatan tersebut lazim disebut sebagai pemetaan/analisis SKKD.
Analisis SKKD dapat dilakukan dengan mengecek kata kerja yang digunakan pada
kalimat kompetensi yang akan dicapai. Selanjutnya menganalisis aspek yang terkandung
berdasarkan pengelompokan kata kerja tersebut. Setelah itu menjabarkan kata kerja tersebut
ke dalam bentuk kata kerja yang lebih operasional.
1. Penyusunan Indikator Pencapaian
Kegiatan penyusunan indikator dilakukan setelah menganalisis SKKD pada
kurikulum. Indikator pencapaian kompetensi adalah rumusan yang menjadi penanda
pencapaian kompetensi yang merupakan penjabaran kompetensi dasar yang akan dicapai
peserta didik. Penyusunan indikator pencapaian, dimaksudkan untuk memudahkan
pengukuran dan penyusunan alat penilaian.

Susunan indikator terdiri atas kata kerja operasional yang sesuai dengan aspek
pencapaian kompetensi ditambah dengan materi pelajaran. Selain itu, pengembangan
indikator hendaknya memperhatikan UKRK (urgensi, kontinuitas, relevansi, dan keterpakaian).
Urgensi, maksudnya penting dan harus dikuasai peserta didik. Kontinuitas, yaitu
pendalaman dan/atau perluasan dari kompetensi pada jenjang/tingkat sebelumnya.

71
Relevansi, diperlukan karena ada hubungannya untuk mempelajari atau memahami
kompetensi dan/atau konsep mata pelajaran lain. Keterpakaian, artinya memiliki nilai
terapan tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Rumusan Indikator Pencapaian setidaknya
memuat unsur-unsur sebagai berikut:

A = Audience ( Siapa yang akan mencapai kompetensi)


B = Behaviour (Perilaku terukur)
C = Condition (kondisi yang diharapkan=materi yang akan dicapai)
D = Degree (tingkat pencapaian)
Contoh pengembangan indikator mengacu pada SK dan KD mata pelajaran Biologi kelas
XI IPA.
Tabel 4.1
Contoh Pengembangan Indikator
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Indikator

2. Memahami keterkaitan 2.1. Mengidentifikasi Peserta didik dapat


antara struktur dan struktur jaringan menentukan fungsi dari dua
fungsi jaringan tumbuhan dan bagian tumbuhan yang
tumbuhan dan hewan, mengaitkan ditunjukkan pada gambar
serta penerapannya dengan fungsinya daun dengan tepat.
dalam konteks Saling –
temas

Contoh rumusan indikator pada tabel di atas mencakup empat komponen secara
lengkap. A (Audience) adalah peserta didik, B (Behaviour) atau perilaku yang dituntut yaitu
menentukan fungsi bagian tumbuhan yang ditunjukkan, C (Condition) adalah stimulusnya
yaitu gambar penampang melintang daun tumbuhan, dan D (Degree) adalah tingkat
pencapaian yaitu dua bagian dengan tepat.

2. Penyusunan Tabel Spesifikasi


Melaksanakan sebuah kegiatan sebaiknya dimulai dengan melakukan perencanaan.
Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam penyusunan soal.
Kesalahan tersebut, antara lain; soal yang menyimpang dari materi dan tidak
proporsionalnya aspek berpikir yang hendak diukur. Perencanaan dalam penyusunan tes
hasil belajar, sering disebut dengan nama tabel spesifisikasi.
Tabel spesifikasi adalah tabel yang berisikan perincian materi dan tingkah laku
beserta imbangan/proporsi yang dikehendaki oleh penilai, dimana tiap kotak diisi dengan
bilangan yang menunjukkan jumlah soal. Bentuk dari tabel spesifikasi sangat bergantung

72
pada bidang studi dan homogenitas materi yang akan diteskan. Bila sebuah bidang studi
memiliki variasi perilaku yang akan diukur berbeda-beda pada tiap materinya/SK, maka
bentuknya tentu akan berbeda dengan bidang studi yang homogen dalam pengukuran
perilakunya. Meskipun demikian secara umum format tabel spesifikasi dapat ditunjukkan
sebagai berikut:
Tabel 4.2
Contoh Format Tabel Spesifikasi

C1 C2 C3
Materi/SK/KD Aspek yang akan diukur Jumlah Soal
No

1.1

Dst

Jumlah Soal

Untuk mengisi kolom dan baris yang masih kosong pada tabel spesifikasi tersebut di
atas, maka teknik penyusunannya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Mengisi bobot materi sesuai dengan persentase bobot dari tiap materi. Teknik
penentuan bobot materi adalah dengan membandingkan satu materi dengan bobot
materi secara keseluruhan. Pertimbangan yang digunakan dalam menentukan bobot
yaitu dengan melihat luas dan dalamnya materi, juga pada lamanya waktu yang
digunakan untuk mengajarkan materi tersebut, juga pada kepentingannya dites
Contohnya; jika dalam satu semester pada satu mata pelajaran terdapat 4 pokok
bahasan dengan perimbangan bobot sebagai berikut:
1). Materi 1.1 (4)
2). Materi 1.2 (2)
3). Materi 1.3 (3)
4). Materi 1.4 (1)
Angka-angka yang tertera dalam kurung menggambarkan imbangan bobot dari tiap
materi. Penentuan angka-angka tersebut dilakukan berdasarkan perkiraan saja.
Langkah selanjutnya adalah dengan merubah angka-angka tersebut menjadi
persentase, sehingga diperoleh bobot; materi 1.1= 40%,
materi 1.2=20%,
materi 1.3=30%, dan

73
materi 1.4=10%. Contoh tersebut di atas, secara kebetulan jumlah angka
perimbangannya=10, sehingga mudah dalam menentukan persentasenya. Meskipun
demikian, jumlah angka perimbangan tersebut tidak harus 10.
b. Penentuan imbangan aspek yang akan diukur yang disesuaikan dengan tingkat
berpikir yang dikehendaki dalam SKKD dan materi pelajaran. Penentuan persentase
aspek yang akan diukur pada suatu bidang studi, sangat tergantung pada
kompetensi yang akan dicapai pada bidang studi tersebut. Pada kurikulum 2006, hal
ini biasanya dilakukan pada saat guru membuat pemetaan SKKD. Penentuan
persentase aspek ini juga dapat dilakukan dengan mengacu pada indikator yang
telah dibuat. Misalnya pada contoh ini, ditentukan hanya tiga aspek dari ranah
kognitif yang akan diungkap, dengan perimbangan sebagai berikut; aspek ingatan
20%, pemahaman 50%, penerapan 30%.
c. Menentukan jumlah soal dengan mempertimbangkan beberapa hal, antara lain;
waktu yang disiapkan untuk ujian, bentuk soal yang akan diujikan, dan tingkat
kesukaran soal yang dibuat. Misalnya saja jumlah soal yang akan dibuat sebanyak
40.
d. Mengisi kolom jumlah soal pada tiap materi, dengan cara mengalikan persentase
bobot materi dengan jumlah soal secara keseluruhan. Misalnya pada contoh di atas,
materi 1.1 bobot materinya 40%, maka jumlah soal yang dapat dibuat dari materi ini
sebanyak 40% X 40 = 16 soal; materi 1.2 bobot materinya 20%, maka jumlah soalnya =
20%X40 =8 soal; materi 1.3 bobot materinya 30%, maka jumlah soalnya =30%X40= 12
soal; materi 1.4 bobot materinya 10%, maka jumlah soalnya=10%X40= 4 soal.
e. Mengisi baris jumlah soal berdasarkan aspek yang hendak diukur, dengan cara
mengalikan bobot masing-masing aspek dengan jumlah soal. Pada contoh di atas,
jumlah soal untuk aspek ingatan (C1) yaitu 20%X40=8 soal, untuk aspek pemahaman
(C2) yaitu 50%X40=20 soal, dan pada aspek penerapan (C3) yaitu 30%X40=12 soal.

Selanjutnya angka-angka tersebut di atas dimasukkan kedalam format tabel spesifikasi


seperti berikut ini;

Tabel 4.3
Contoh Isi Tabel Spesifikasi
Aspek yang Akan diukur C1 C2 C3 Jumlah Soal

74
No Materi/SK/KD 20% 50% 30%

1.1 (10 %) (A) (B) (C) 4

1.2 (20 %) (D) (E) (F) 8

1.3 (30 %) (G) (H) (I) 12

1.4 (40 %) (J) (K) (L) 16

Jumlah Soal 8 20 12 40

Untuk mengisi banyaknya butir sel pada setiap sel di atas dilakukan dengan cara
sebagai berikut:

Sel A = 20/100 x 4 soal = 0,8 (1 soal)

Sel B = 50/100 x 4 soal = 2 soal

Sel C = 30/100 x 4 soal = 1,2 (1 soal)

Selanjutnya sel-sel yang lain dapat diisi dengan mengikuti cara yang dilakukan
dalam mengisi sel A, B dan C. sehingga akan diperoleh format yang lengkap seperti
berikut ini.

Tabel 4.4
Contoh Penyusunan Tabel Spesifikasi
Aspek yang Akan diukur C1 C2 C3
Jumlah Soal
Materi/SK/KD
No 20% 50%30%

1.1 (10 %) 1 2 1 4

1.2 (20 %) 2 4 2 8

1.3 (30 %) 2 6 4 12

1.4 (40 %) 3 8 5 16

Jumlah Soal
8 20 12 40

75
Setelah membuat perimbangan banyaknya soal pada tiap bagian materi, maka
selanjutnya disusun kisi-kisi soal. Adapun format kisi-kisi yang digunakan yaitu sebagai
berikut:

Tabel 4.5
Contoh Format Kisi-Kisi Penulisan Soal
Nama Sekolah : ........................ Waktu : ......................
Mata Pelajaran : ........................ Jumlah soal : .......................
Kurikulum : ........................ Penulis : ………………
Bahan Bentuk Tes
No. Kompetensi
Kelas/ (Tertulis/
Urut Dasar/ SKL Materi Indikator Soal No. Soal
smt. Praktik)

Pada format di atas, terlihat bahwa perencanaan soal yang akan dibuat harus
menyesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Dalam kurikulum KTSP,
tujuan pembelajaran tertuang dalam SKKD yang kemudian dijabarkan menjadi indikator
soal. Penjabaran SKKD ke indikator soal, dilakukan sebagai salah satu cara untuk
memastikan bahwa soal yang dibuat benar-benar sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Berikut ini akan digambarkan contoh penyusunan kisi-kisi.

Tabel 4.6
Contoh Kisi-Kisi Penulisan Soal Ulangan Tengah Semester
Nama Sekolah : SMA Mandiri Alokasi waktu : 2 x 45 menit
Mata Pelajaran : Biologi Jumlah soal : 30 Soal
Kurikulum acuan : KTSPSMAMandiri Penyusun : Nirina, S.Pd.
Standar Kompetensi Bahan Materi Indikator Soal Bentuk Nomor soal

76
Kelas
Kompetensi Dasar soal
/SMT

2.Memahami 2.1Mengidenti XI / 1 Struktur  Disajikan gambar PG 14


keterkaitan fi-kasi dan penampang
antara struktur fungsi melintang daun
struktur jaringan jaringan tumbuhan, peserta
dan fungsi tumbuhan tumbuh didik dapat
jaringan dan an menentukan fungsi
tumbuhan mengaitka dari dua bagian yang
dan n dengan ditunjuk dengan
hewan, fungsinya tepat.
serta  Diberikan gambar
penerapan penampang
nya dalam melintang dua
konteks macam batang tum-
Salingtema buhan, peserta didik
Uraian 41
s dapat menuliskan
jenis kedua batang
tersebut,
menyebutkan
bagian-bagian yang
ditunjuk, dan
mendeskripsikan
ciri-cirinya sesuai
dengan kondisi
bagian-bagian yang
tertera pada gambar
 Peserta didik dapat
membuat preparat
basah penampang
melintang batang
tumbuhan,
mengamatinya
menggunakan
Praktik
mikroskop,

77
menggambarnya,
dan menunjukkan
bagian-bagiannya

Pada contoh kisi-kisi di atas dapat dilihat bahwa KD dikembangkan menjadi tiga
indikator, dengan bentuk soal yang berbeda yaitu soal pilihan ganda, soal uraian, dan soal
praktik. Untuk indikator soal berbentuk pilihan ganda hanya ada satu kata kerja
operasional yaitu menentukan. Pada indikator soal uraian terdapat tiga kata kerja
operasional yaitu menuliskan, menyebutkan, dan mendeskripsikan. Sedangkan pada
indikator soal praktik terdapat empat kata kerja operasional yaitu membuat preparat,
mengamati menggunakan mikroskop, menggambar, dan menunjukkan.
Penggunaan tabel spesifikasi tidaklah sepopuler penggunaan kisi-kisi. Tetapi
meskipun penggunaan tabel spesifikasi tidak terlalu populer dikalangan guru, tetapi
penggunaannya masih sangat dibutuhkan dalam menentukan banyaknya jumlah soal
secara lebih proporsional baik dari segi materinya maupun aspek berpikir yang akan diukur.
Penggunaan kisi-kisi tidak hanya digunakan pada bentuk tes, tetapi juga pada bentuk
non tes. Contoh format kisi-kisi instrumen angket adalah sebagai berikut:

Tabel 4.7
Contoh Format Kisi-Kisi Angket
No Kompetensi Indikator Deskriptor Sumber No.
data Angket

Pada format kisi-kisi untuk bentuk penilaian non tes, ada perbedaan kompenen
dengan kisi-kisi soal. Perbedaannya yaitu adanya deskriptor dan sumber data, dan tidak
adanya materi atau bahan ajar. Ini disebabkan oleh karena pengukuran yang dilakukan

78
biasanya pada objek yang tidak muncul secara jelas pada satu materi saja. Misalnya
pengukuran terhadap minat peserta didik terhadap satu mata pelajaran.
3. Tindak Lanjut Setelah Pembuatan Tabel Spesifikasi dan Kisi-kisi
Setelah penyusunan tabel spesifikasi, maka dilanjutkan dengan dua kegiatan yang
merupakan tindak lanjut dari penyusunan tabel spesifikasi; yaitu penentuan bentuk soal dan
menuliskan soal-soal yang telah direncanakan.
a. Penentuan bentuk soal
Dalam menentukan bentuk soal, ada dua hal yang harus dipertimbangkan yaitu;
waktu yang tersedia dan sifat materi yang akan dimuat dalam tes. Untuk pertimbangan
yang berhubungan dengan waktu yang disiapkan untuk ujian, Suharsimi (2009) menyatakan
bahwa; masing-masing bentuk soal membutuhkan waktu yang berbeda dalam
mengerjakannya. Bentuk betul-salah membutuhkan waktu lebih singkat daripada isian atau
pilihan ganda. Selanjutnya bentuk menjodohkan membutuhkan waktu lebih banyak untuk
menyelesaikan. Dan bentuk soal yang memakan waktu lebih banyak adalah bentuk soal
uraian, meskipun masih perlu dirinci lagi berdasarkan jenis uraian yang dikehendaki.
Selain waktu, sifat materi sangat menentukan bentuk soal. Hal tersebut disebabkan
oleh karena tidak semua materi dapat diukur dengan menggunakan satu jenis bentuk soal.
Sebagai contoh materi yang berupa fakta-fakta, lebih mudah dibuat dalam bentuk pilihan
ganda dan isian, tapi sangat tidak tepat bila dibuat dalam bentuk soal uraian. Berdasarkan
hal tersebut, maka sebelum menentukan bentuk soal yang akan dibuat, sebaiknya
mengetahui terlebih dahulu karakteristik materi yang akan digunakan.

B. Penyusunan Alat Evaluasi


Setelah menentukan bentuk soal, maka langkah selanjutnya yang juga merupakan
langkah yang menentukan adalah penyusunan soal. Langkah ini sangat menentukan
keberhasilan penilaian, sebab soal yang disusun dengan baik, akan menghasilkan hasil yang
dapat memberikan gambaran secara lebih objektif.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun soal, yaitu;
1. Penggunaan bahasa sederhana dan mudah dipahami. Adakalanya testee salah dalam
memberikan jawaban, disebabkan karena salah paham terhadap maksud soal. Salah
paham ini umumnya disebabkan penggunaan bahasa yang susah dipahami.
2. Penggunaan bahasa yang mengandung multitafsir atau membingungkan agar dihindari.
Sebagai contoh, soal essai yang berbunyi;
Siapakah nama presiden RI?.

79
Soal tersebut dapat multitafsir, karena tidak jelas nama presiden yang dimaksud yang
menjabat tahun berapa? Sehingga jawaban yang muncul akan beraneka ragam.
3. Penempatan symbol pada tempat yang tepat, misalnya penempatan symbol pangkat pada
angka.
4. Penulisan petunjuk mengerjakan soal dengan jelas, sehingga siswa tidak menyimpang
dari yang dikehendaki.
Selain hal-hal tersebut di atas, untuk mendapatkan soal yang valid baik dari segi isi
maupun konstruksi, harus dilakukan uji coba (try out) berulang kali. Uji coba yang berulang-
ulang, dapat memberikan pengalaman kepada pembuat tes. Pengalaman yang dmaksud,
meliputi pengetahuan tentang kelemahan-kelemahan dari tiap soal yang dibuat, tingkat
kesukaran soal, juga waktu yang digunakan testee dalam mengerjakan soal. Soal-soal yang
telah berulangkali diuji coba dan telah dianalisis dengan menggunakan teknik yang benar
akan menghasilkan soal-soal terstandar. Soal-soal ini kemudian dapat dikumpulkan dan
disusun dalam bentuk “bank soal” yang berisi koleksi soal.
Uji validitas dan reliabilitas tidak hanya dilakukan pada alat penilaian yang berbentuk
tes, tetapi juga pada alat penilaian yang berbentuk non tes. Teknik ujinya sama dengan uji
pada tes.
Mengenai teknik penyusunan alat evaluasi, telah dipaparkan pada bagian sebelumnya
di buku ini. Setelah soal/ alat evaluasi tersusun, maka selanjutnya dilakukan
pengadministrasian alat penilaian. Tahapan ini meliputi; kegiatan penggandaan dan
pendistribusian ke peserta didik dan pemeriksaan hasil penilaian dan pengolahan hasil
penilaian. Pada tahap pendistribusian alat penilaian dalam bentuk tes, diperlukan adanya
pengawasan yang baik untuk menghindari terjadinya kebocoran soal.
C. Pengolahan Hasil Penilaian
Pada tahap pengolahan hasil penilaian, ada beberapa hal yang terkait dengan kegiatan
pengolahan hasil penilaian. Pertama tentang pemberian skor dan nilai,
1. Pengertian Skor dan Nilai
Kadang-kadang kita masih sering menganggap bahwa skor memiliki pengertian yang
sama dengan nilai, padahal anggapan semacam itu, belum tentu benar.
Menurut Anas Sudijono (2003), Skor adalah hasil pekerjaan menskor (memberikan
skor) yang diperoleh dengan jalan menjumlahkan angka-angka bagi setiap butir item yang
oleh testee (istilah bagi orang yang mengerjakan tes) telah dijawab dengan betul, dengan
memperhatikan bobot jawaban betulnya.
Contohnya; dalam sebuah tes hasil belajar dalam bidang studi aqidah akhlak
menyajikan lima butir soal tes uraian, dimanauntuk setiap butir soal yang dijawab dengan

80
betul diberikan bobot 10. Siswa bernama Aminah, untuk kelima soal tersebut memberikan
jawaban sebagai berikut:
a Untuk butir soal nomor 1 dapat dijawab dengan sempurna, sehingga diberi
skor 10.
b Untuk butir soal nomor 2 hanya dijawab betul setengahnya, skor yang diberikan 5
c Untuk butir soal nomor 3 hanya dijawab betul sekitar seperempat bagian,
diberikan skor 2,5
d Untuk butir soal no 4 dan 5 dijawab betul sekitar ¾ . sehingga diberi skor 7,5.
Nilai menurut Suharsimi (2006) adalah angka ubahan dari skor dengan menggunakan
acuan tertentu, yakni acuan norma dan acuan patokan. Dengan demikian kegiatan
mengubah/mengkonversi skor menjadi nilai disebut kegiatan menilai.
2. Cara pemberian skor
Pemberian skor pada jawaban yang diberikan testee, dapat ditentukan dengan
mempertimbangkan dua hal yaitu; bentuk soal dan tingkat kesukaran soal. Bentuk benar
salah dan pilihan ganda skornya lebih kecil dibandingkan dengan soal isian dan begitupula
skor soal isian lebih kecil dari soal essay. Soal yang sukar skornya lebih besar jika
dibandingkan dengan soal yang lebih mudah. Penentuan tingkat kesukaran soal sebelum
soal tersebut diujikan, dapat dilihat pada aspek yang hendak diukur. Semakin tinggi tingkat
aspek berpikir yang akan diukur, semakin sukar soal tersebut.
Biasanya skor dari tiap jawaban, telah ditentukan sebelumnya pada rubrik penilaian.
Format rubrik penilaian memuat bentuk soal, banyaknya soal dan skor dari tiap jawaban
yang dijawab dengan benar.

Tabel 4.8
Contoh Penggunaan Rubrik Penilaian
No. Soal Bentuk Soal Jumlah butir soal Skor Skor Total

01-10 Benar Salah 10 1 10x1 = 10

11-30 Pilihan Ganda 20 1,5 20x1,5 =30

31-35 Menjodohkan 5 1,5 5x1,5 =7,5

36-40 Uraian 5 5 5 x 5 = 25

Jumlah Soal = 40 Skor maksimun = 72,5

a. Skor pada tes uraian

81
Pemberian skor pada tes uraian, umumnya didasarkan pada bobot yang ditentukan
kepada suatu soal. Penentuan bobot ini didasarkan pada tingkat kesukaran dari tiap soal,
atau atas banyak sedikitnya komponen yang harus ada pada jawaban soal tersebut.
Sebagai contoh seorang tester (pembuat soal) membuat soal fiqhi yang terdiri dari 5
nomor. Setiap nomor pada tes uraian tersebut memiliki tingkat kesukaran yang sama,
begitupula dalam hal jumlah komponen jawaban yang dikehendaki. Atas pertimbangan
tersebut, kelima soal tersebut diberi skor yang sama, misalnya dengan skor 10 pada jawaban
sempurna. Skor 10 yang telah ditetapkan ini akan berkurang jika jawaban yang diberikan
testee kurang sempurna. Contohnya, testee hanya menjawab setengah dari jawaban yang
diminta, maka testee tersebut hanya mendapat skor 5, begitu seterusnya.
Cara lain dicontohkan oleh Arifin (2009) yaitu dengan beberapa cara yaitu sebagai
berikut:
Contoh 1.
Seorang peserta didik diberi tiga soal dalam bentuk uraian. Setiap soal diberi skor (x)
maksimun dalam rentang 1-10 sesuai dengan kualitas jawaban peserta didik.

Tabel 4.9
Contoh Perhitungan Skor Soal Bentuk Uraian dengan Sistem Bobot Pertama
No. Soal Tingkat Kesukaran Jawaban Skor (X)
1 Mudah Betul 6
2 Sedang Betul 7
3 Sukar Betul 10
Jumlah 23
∑X
Rumus : Skor =
∑S
Keterangan:
∑ X = Jumlah skor
S = Jumlah soal
Jadi, Skor peserta didik A = 23/3 = 7,67

Contoh 2.
Seorang peserta didik di tes dengan tiga soal dalam bentuk uraian. Masing-masing
soal diberi bobot sesuai dengan tingkat kesukarannya, yaitu bobot 5 untuk soal sukar, 4
untuk soal sedang, dan 3 untuk soal mudah. Tiap-tiap soal diberi skor (X) dengan rentang 1-
10 sesuai dengan kualitas jawaban yang betul. Kemudian skor (X) yang dicapai oleh peserta
didik dikalikan dengan bobot setiap soal. Hasil perhitungannya adalah sebagai berikut:
Tabel 4.10

82
Contoh Perhitungan Skor Soal Bentuk Uraian dengan Sistem Bobot Kedua

Nomor Tingkat Jawaban Skor (X) Bobot (B) XB


Soal Kesukaran
1 Mudah Betul 10 3 30
2 Sedang Betul 10 4 40
3 Sukar Betul 10 5 50
Jumlah 12 120

∑ XB
Rumus : Skor =
∑B
Keterangan:
∑ X = Jumlah skor
B = Bobot soal
∑ XB= Jumlah Skor kali Bobot
Jadi, Skor peserta didik A = 120/12 = 10

Pemberian skor pada soal uraian yang mempunyai tingkat kesukaran yang bervariasi,
lebih baik menggunakan cara kedua. Hal ini lebih adil dilakukan, karena pemberian skornya
disesuaikan dengan kemampuan peserta didik dalam menjawab soal sesuai tingkat
kesukarannya. Cara penskoran seperti tersebut di atas, hanya dapat digunakan pada bentuk
uraian biasa, yaitu uraian bebas dan terbatas.
Pada soal uraian objektif atau tes jawaban singkat, pedoman skor yang digunakan
dapat dicontohkan sebagai berikut:
Contoh Soal
Sebutkan lima tanda baca dalam al-Qur’an
Pedoman Skoringnya adalah:
No Kunci jawaban Skor
01 Fathah 1
02 Kasrah 1
03 Dammah 1
04 Mad atau panjang 1
05 Tasydid 1
Skor Maksimum 5

Pada pedoman di atas, setiap jawaban diberi skor 1. Ini bertujuan untuk memudahkan guru
dalam menghitung skor. Jadi bila siswa hanya menjawab 4 dari jawaban 5 jawaban yang
diminta, maka skornya dapat dengan mudah ditentukan yaitu 4.
b. Skor pada tes objektif
Pemberian skor pada tes objektif, dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan
menggunakan sistem denda dan tanpa denda.

83
Pada bentuk tes objektif bentuk benar salah, misalnya setiap item diberi skor
maksimun 1 (satu). Hal ini berarti, jika testee menjawab betul akan mendapat skor 1, tetapi
jika menjawab salah akan mendapat skor nol. Adapun cara menghitung skor terakhir dari
seluruh item tes objektif bentuk benar salah dapat menggunakan rumus sebagai berikut:
1) Jika menggunakan sistem denda

R-W
S=
O–1
Keterangan :
S = Skor yang akan diperoleh
R = Jumlah jawaban betul, yaitu jawaban yang sesuai dengan kunci jawaban (R adalah
singkatan dari Right = betul)
W = Jumlah jawaban salah, yaitu jawaban yang tidak sesuai dengan kunci jawaban (W
adalah singkatan dari Wrong = salah)
O = Option atau alternatif (= kemeungkinan jawaban), dimana pada tes bentuk benar
salah ini optionnya hanya 2 yaitu benar atau salah
1 = Bilangan konstan
2). Tanpa denda

S=R

Keterangan :
S = Skor yang akan diperoleh
R = Jumlah jawaban betul, yaitu jawaban yang sesuai dengan kunci jawaban.
Pada tes objektif bentuk pilihan ganda (multiple choice), pemberian skor dapat
dilakukan dengan menggunakan salah satu dari sistem yang dapat digunakan, yaitu
dengan denda atau tanpa denda. Rumus yang dapat digunakan adalah sebagai berikut :
1) Jika menggunakan sistem denda

W
S=R-
O–1

2) Tanpa denda

S=R

84
Keterangan :
S = Skor yang akan diperoleh
R = Jumlah jawaban betul
W = Jumlah jawaban salah
O = Option atau alternatif jawaban, dimana pada tes bentuk pilihan ganda ini
optionnya minimal 3 dan maksimal 5
1 = Bilangan konstan
Hal yang berbeda dalam pemberian skor pada tes objektif bentuk isian dan
menjodohkan, pada kedua bentuk tes ini tidak mengenal sistem denda, sehingga skor yang
diperoleh testee adalah banyaknya jumlah jawaban yang dijawab betul.
Contoh pemberian skornya adalah sebagai berikut:
Soal Menjodohkan: Pasangkanlah nama kitab yang ada pada bagian A dengan nama nabi
penerima kitab tersebut yang berada pada bagian B berikut ini.

Bagian A Bagian B
1. Taurat a. Nabi Isa as.
2. Al-Qur’an b. Nabi Daud as.
3. Injil c. Nabi Musa as.
4. Zabur d. Nabi Muhammad saw.
e. Nabi Ibrahim as.

Pedoman skornya adalah sebagai berikut:


No Kunci Jawaban Skor
1 c. Nabi Musa as. 1
2 d. Nabi Muhammad saw 1
3 a. Nabi Isa as. 1
4 b. Nabi Daud as. 1
Skor maksimum 4

c. Penentuan Skor pada instrumen non tes


Hasil belajar yang akan diukur dalam penilaian kelas bukan hanya dalam domain
kognitif, tetapi juga dalam domain afektif dan psikomotor. Tidak hanya pada dimensi hasil
tapi juga pada dimensi proses.

85
Komponen yang akan diukur pada domain afektif antara lain menyangkut minat dan
sikap peserta didik terhadap mata pelajaran. Sikap dan minat yang positif akan membantu
peserta didik dalam meningkatkan prestasi belajarnya. Dengan adanya informasi mengenai
sikap dan minat mereka terhadap mata pelajaran akan membantu guru dalam menentukan
perlakuan yang akan diberikannya selama proses pembelajaran. Untuk mengukur sikap dan
minat tersebut, dapat menggunakan model skala sikap dengan lima skala, sangat setuju (SS),
setuju (S), tidak tahu (TT), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Skor yang dapat
digunakan pada tiap skala adalah 5, 4, 3, 2, 1 (bila pernyataannya positif), dan 1, 2, 3, 4, 5
(bila pernyataannya negatif. Untuk mengukur minat skala yang digunakan adalah sangat
berminat (SB), berminat (B), sama saja (SS), kurang berminat (KB), dan tidak berminat (TB).
Contoh penentuan skornya adalah sebagai berikut;
Seorang guru yang akan mengukur sikap peserta didiknya terhadap mata pelajaran yang
diajarkannya. Dia kemudian menyusun skala sikap dengan sepuluh pernyataan. Jika
rentang skala yang digunakan 1 sampai 5, maka skor minimal dari peserta didik adalah 10
(1x 10 ) dan skor maksimalnya adalah 50 (5 x 10). Selanjutnya menentukan mediannya yaitu
(10 + 50)/2= 30. Jika kategori sikap yang digunakan adalah empat kategori maka akan
diperoleh tingkatan sikap sebagai berikut:
Skor 10 – 20 termasuk tidak baik
Skor 21 – 30 termasuk kurang baik
Skor 31 – 40 termasuk baik
Skor 41 – 50 termasuk baik sekali
Selanjutnya pada domain psikomotor, pada umumnya aspek yang dukur dalam
bentuk tampilan kinerja. Untuk mengukurnya, dapat menggunakan penilaian kinerja (lihat
penjelasannya pada bagian 3 buku ini). Untuk menentukan skornya, dapat digunakan model
skala sangat sempurna (dengan skor 5), sempurna (skor 4), cukup (skor 3), kurang sempurna
(skor 2), dan tidak sempurna (skor 1). Contoh penentuan skoringnya adalah sebagai berikut;
Seorang guru yang melakukan penilaian terhadap kemampuan membaca al-Qur’an peserta
didiknya. Kemudian dia membuat daftar cek dengan mengembangkan aspek yang akan
diukur terkait dengan kompetensi yang akan diukur dalam membaca al-Qur’an, meliputi
aspek Tajwid, makhraj, dan kefasihannya dalam membaca al-Qur’an. Formatnya adalah
seperti berikut ini.
Tabel 4.11
Contoh Format Skoring Pada Penilaian Unjuk Kerja
Skala Penilaian
No Aspek yang akan diukur
1 2 3 4 5
1 Tajwid

86
2 Makharijil Huruf
3 Kefasihan

Pada format di atas, penilaia cukup memberi centang pada skala yang sesuai dengan
tampilan peserta didik dalam membaca alQur’an.
Pada contoh di atas, skor minimalnya adalah 3 (1 x 3), dan skor maksimalnya 15 (5 x 3),
dengan demikian mediannya= (3 + 15)/2 = 9. Bila penilaiannya akan dibagi menjadi empat
kategori, maka akan diperolah tingkatan nilai sebagai berikut:
Skor 3 – 5 berarti tidak sempurna
Skor 6 – 8 berarti kurang sempurna
Skor 9 –11 berarti sempurna
Skor 12 – 15 berarti sempurna
2. Penentuan nilai
Secara umum penentuan nilai atau pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi
nilai dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu:
a. Pengolahan dan pengubahan skor dengan mengacu pada kriterium atau patokan. Cara ini
lazim dikenal dengan nama criterium referenced evaluation, yang biasa kita kenal dengan
istilah Penilaian Acuan Patokan (PAP).
Pada teknik pengolahan jenis ini, penentuan nilai mutlak ditentukan oleh besar kecilnya
atau tinggi rendahnya skor yang diperoleh oleh testee. Sehingga penentuan nilai dengan
menggunakan teknik ini, dilakukan dengan cara skor perolehan testee dengan skor
maksimun ideal dan mengalikannya dengan skala penilaian yang digunakan. Teknik
Pengolahan skor ini sering juga disebut penilaian dengan menggunakan standar mutlak.
Hal ini didasarkan oleh asumsi bahwa hasil belajar siswa dibandingkan dengan sebuah
standar mutlak atau skor teringgi yang diharapkan, maka tingkat penguasaan siswa akan
terlihat dalam berbagai bentuk kurva. Sebagaimana gambar berikut:

1 10 1 10

Gambaran prestasi siswa jika soal Gambaran prestasi siswa jika soal
ulangan yang disusun oleh guru ulangan yang disusun oleh guru
sangat mudah. Kurva ini disebut sangat sukar. Kurva ini disebut juling
juling negatif karena ekornya di positif karena ekornya di sebelah
sebelah kiri kanan

87
Adapun bentuk formula yang dapat digunakan adalah:

Skor perolehan
Nilai = X 100
Skor maksimal

Contoh: Seorang peserta didik memperoleh skor 35 pada suatu tes yang skor
maksimumnya = 50, maka nilai yang diperoleh siswa tersebut adalah:

35
Nilai = X 100
50
Nilai = 70

b. Pengolahan dan pengubahan skor dengan mengacu pada norma atau kelompok, teknik
ini sering dikenal dengan istilah Norm Referenced Evaluation atau Penilaian acuan norma
yang disingkat PAN atau Penilaian acuan kelompok yang disingkat PAK. Pada
pengolahan nilai jenis ini, yang menjadi acuan besar kecilnya nilai seorang testee adalah
rata-rata nilai kelompok atau prestasi kelompok. Hal inilah yang menyebabkan sehingga
penilaian ini disebut juga penilaian yang menggunakan standar relatif, karena
penilaiannya tidak didasarkan pada patokan-patokan yang bersifat teoritik atau ideal.
Selain itu, menggunakan standar relatif dimaksudkan bahwa kedudukan seorang siswa
selalu dibandingkan dengan kawan-kawannya di dalam kelas/kelompok, tanpa harus
memperhatikan apakah kurvanya juling positif atau juling negatif.

Adapun standar nilai yang lazim digunakan dalam standar relatif ini, adalah sebagai
berikut;

1). Standar eleven (stanel)

Sistem penilaian membagi skala menjadi 11 golongan, yaitu 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9,10


yang satu sama lain berjarak sama. Tiap-tiap angka menempati interval sebesar 0,55
SD (standar deviasi) bertitik tolak dari Mean =5 yang menempati jarak -0,275 SD
sampai +0.275 SD.

Tabel 4.12
Tabel Konversi Angka kedalam Nilai Berskala 0-10

Skala Sigma Skala 0-10 Skala Angka

>=+ 2,25 SD 10 Mean + 2,25 SD

88
>=+ 1,75 SD 9 Mean + 1,75 SD

>=+ 1,25 SD 8 Mean + 1,25 SD

>=+ 0,75 SD 7 Mean + 0,75 SD

>=+ 0,25 SD 6 Mean + 0,25 SD

>=- 0,25 SD 5 Mean - 0,25 SD

>=- 0,75 SD 4 Mean - 0,75 SD

>=- 1,25 SD 3 Mean - 1,25 SD

>=- 1,75 SD 2 Mean - 1,75 SD

>=- 2,25 SD 1 Mean - 2,25 SD

<- 2,25 SD 0 Mean - 2,25 SD

2). Standar Lima

Sistem penilaian membagi skala menjadi 5 golongan, yaitu 0,1,2,3,4 yang satu sama
lain berjarak sama.

Tabel 4.13
Tabel Konversi Angka kedalam Nilai Berskala 0-5
Skala Sigma Skala 0-5 Skala Angka

>=+ 1,5 SD 4 Mean + 1,5 SD

>=+ 0,5 SD 3 Mean + 0,5 SD

>=- 0,5 SD 2 Mean - 0,5 SD

>=- 1,5 SD 1 Mean - 1,5 SD

<- 1,5 SD 0 Mean - 1,5 SD

Untuk menentukan nilai dengan menggunakan teknik penilaian acuan norma (Norm
Referenced Evaluation), dibutuhkan gamabaran tentang prestasi kelompok atau rata-rata
kelas, dimana rata-rata kelas itu adalah identik dengan arithmatic mean (rata-rata hitung).
Adapun rumus yang dapat digunakan untuk memperoleh nilai mean adalah sebagai
berikut:

∑ X ∑ fX
Mx = atau M= atau

89
N N

∑ fX'
Mx= M' + i N

Selain rata-rata hitung sebagai salah satu ukuran statistik yang mencerminkan
prestasi kelompok, maka penilaian ini juga mempertimbangkan variasi atau
variabilitas dari nilai-nilai hasil tes yang diperoleh testee. Variasi itu perlu
diperhitungkan untuk mengetahui tingkat homogenitas sekaligus heterogenitas dari
nilai-nilai hasil tes tersebut. Untuk mendapatkan ukuran tentang variasi data, dalam
ilmu statistik suatu ukuran variabilitas data yang dipandang memiliki kadar ketelitian
yang tinggi, yaitu deviasi standar (standard deviation), yang dapat diperoleh dengan
menggunakan salah satu rumus di bawah ini:

∑ X2 ∑fx
SDx= √ atau SDx= √
N N

∑ fX2 ∑ fX 2

atau SDx= √ -
N N

∑ fX2 ∑ fX 2

atau SDx= i√ -
N N

Setelah diperoleh nilai mean dan standar deviasi, selanjutnya nilai-nilai tersebut
digunakan untuk mengubah skor mentah menjadi nilai standar.

Contoh.

Jika diketahui Mean dari data nilai siswa sebesar 63,25 dan standar deviasi 12,2, maka
tentukanlah batas lulusnya dengan menggunakan skala 1-10

Penyelesaian.

Skala Angka Skala 0-10 Batas lulus

Mean + 2,25 SD 10 63,25 + 2,25 12,2 = 90,7 = 91

90
Mean + 1,75 SD 9 63,25 + 1,75 12,2 = 84,6 = 85

Mean + 1,25 SD 8 63,25 + 1,25 12,2 = 78,5 = 78

Mean + 0,75 SD 7 63,25 + 0,75 12,2 = 72,4 = 72

Mean + 0,25 SD 6 63,25 + 0,25 12,2 = 66,3 = 66

Mean - 0,25 SD 5 63,25 - 0,25 12,2 = 60,2 = 60

Mean - 0,75 SD 4 63,25 - 0,75 12,2 = 54,1 = 54

Mean - 1,25 SD 3 63,25 - 1,25 12,2 = 48

Mean - 1,75 SD 2 63,25 - 1,75 12,2 = 42

Mean - 2,25 SD 1 63,25 - 2,25 12,2 = 35,8 =36

<Mean - 2,25 SD 0 < 35,8

Berdasarkan perhitungan di atas, maka selanjutnya dibuatlah batas lulus sebagai


berikut:

Nilai 10 = Skor 91 keatas

Nilai 9 = Skor 85 sampai dengan 90

Nilai 8 = Skor 78 sampai dengan 84

Nilai 7 = Skor 72 sampai dengan 77

Nilai 6 = Skor 66 sampai dengan 71

Nilai 5 = Skor 60 sampai dengan 65

Nilai 4 = Skor 54 sampai dengan 59

Nilai 3 = Skor 48 sampai dengan 53

Nilai 2 = Skor 42 sampai dengan 47

Nilai 1 = Skor 36 sampai dengan 41

Nilai 0 = Skor 35 kebawah

D. Penyusunan Laporan Hasil Penilaian

91
Setelah hasil belajar diolah, maka selanjutnya hasil belajar tersebut harus dilaporkan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengetahui. Laporan hasil belajar ini,
dapat bermanfaat bagi beberapa pihak yaitu kepada peserta didik, guru, kepala sekolah,
pemakai lulusan dan orang tua siswa.
1. Manfaat laporan hasil belajar
Adapun manfaat laporan hasil belajar adalah sebagai berikut:
a. Peserta didik
Bagi siswa laporan hasil belajar akan sangat bermanfaat, karena:
1) Naluri manusia yaitu rasa ingin tahu terhadap hasil yang diperolehnya setelah
melakukan suatu kegiatan. Menurut pendapat ilmu jiwa Gestalt “ perbuatan hasil”.
Artinya perbuatan dan hasil tidak dapat dipisahkan. Dalam arti bahwa sebuah
perbuatan belum lengkap bila belum melihat hasilnya. Sehingga setiap siswa yang
sudah mengikuti kegiatan penilaian, pasti akan mengharapkan untuk dapat segera
melihat hasil yang diperoleh dari penilaian tersebut.
2) Dengan mengetahui hasil positif yang diperolehnya, maka akan menjadi sebuah
penguatan terhadap pengetahuan yang telah diketahuinya.
3) Jika siswa mendapat informasi bahwa jawabannya salah, maka lain kali ia tidak
akan menjawab seperti itu lagi.
b. Guru yang mengajar
Sama halnya dengan peserta didik, guru juga mempunyai rasa ingin tahu
terhadap hasil yang dicapai siswanya, karena pada dasarnya nilai yang ditunjukkan
siswa, juga memberikan umpan balik terhadap pelaksanaan pembelajaran yang telah
dilakukan guru.
Dengan melihat hasil belajar siswanya, seorang guru akan mendapatkan informasi
tentang bagian-bagian mana yang belum dan sudah dikuasai siswa, sehingga
membantu guru dalam menentukan langkah yang akan diambil terkait dengan
masalah tersebut. Terhadap bagian yang tidak dikuasai secara merata oleh siswa,
dapat menjadi unpan balik untuk melihat kembali bagaimana seorang guru
mengajarkan materi tersebut, untuk selanjutnya menuntun guru untuk melakukan
tidakan perbaikan dalam proses mengajarnya.
c. Guru lain
Yang dimaksud guru lain dalam konteks ini adalah guru yang akan mengajar
menggantikan guru sebelumnya. Manfaat laporan hasil belajar terhadap guru lain
adalah guru akan mendapatkan gambaran mengenai kemampuan peserta didik yang

92
akan diajarnya. Informasi tentang kemampuan peserta didik akan sangat membantu
bagi guru dalam menentukan strategi mengajar yang akan diterapkannya.
d. Petugas lain disekolah
Dalam organisasi sekolah terdapat beberapa unsur. Selain guru dan siswa, juga
ada kepala sekolah dan tenaga kependidikan lain yaitu karyawan yang bertugas dalam
administrasi sekolah. Semua unsur disekolah membutuhkan informasi mengenai hasil
belajar dari siswa, karena salah satu indikator keberhasilan suatu sekolah adalah pada
hasil belajar siswanya. Dengan mengetahui hasil belajar siswa, maka akan
memudahkan pihak-pihak tersebut dalam mengambil keputusan, khususnya yang
terkait dengan peningkatan hasil belajar.
e. Orang tua
Pada dasarnya tanggung jawab mendidik anak berada pada orangtua. Akan
tetapi karena kesempatan untuk mendidik dibatasi oleh kesibukan orang tua untuk
memenuhi kebutuhan hidup, maka umumnya orang tua menyerahkan tanggung
jawab tersebut kesekolah.
Dengan menyerahkan tanggung jawab tersebut kesekolah, tidak berarti bahwa
orang tua dapat lepas dan tidak ikut memikirkan pendidikan anaknya. Untuk itu,
maka orang tua selalu ingin tahu tentang perkembangan belajar anaknya.
Perkembangan prestasi anaknya dapat tergambar dalam buku laporan hasil belajar
yang dibuat guru disekolah.
f. Pemakai Lulusan
Laporan hasil belajar merupakan gambaran tentang pengetahuan dan
keterampilan yang telah dimiliki peserta didik. Dengan demikian, seorang lulusan dari
sebuah lembaga pendidikan yang akan mencari pekerjaan, tidak harus selalu
menunjukkan kemampuannya, tetapi cukup membawa laporan hasil belajarnya.
Begitupula bagi seorang lulusan yang ingin melanjutkan studinya kesuatu
program tertentu. Lembaga yang akan menerima lulusan tersebutm memerlukan
informasi mengenai kemampuan calon peserta didiknya. Setidaknya ini akan
digunakan untuk; memupuk apa yang sudah berhasil dilembaga sebelumnya dan
mengetahui masalah yang ada, baik yang sudah dicoba untuk diatasi maupun yang
belum.
2. Jenis-Jenis dan Cara Membuat Laporan Hasil Evaluasi
Laporan yang baik adalah laporan yang dapat menampilkan apa yang akan
dilaporkan secara lengkap. Akan tetapi untuk membuat laporan secara lengkap juga
bukan merupakan hal yang mudah. Hal tersebut disebabkan oleh terbatasnya waktu.

93
Berdasarkan hal tersebut, maka laporan hasil evaluasi ini kadang-kadang ditampilkan
dengan mempertimbangkan hal yang mendesak saja.
Ada beberapa jenis laporan yang dikenal dalam dunia pendidikan, khususnya di
Indonesia, yang secara garis besar dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu:
a. Dalam bentuk catatan lengkap
Catatan lengkap adalah catatan tentang siswa yang bukan hanya berisi prestasi
belajar siswa, tapi juga aspek-aspek pribadi yang lain, misalnya kejujuran
kebersihan, kerajinan, sikap sosial, kebiasaan kerja, kepercayaan terhadap diri
sendiri, disiplin, ketelitian, dan sebagainya.
Contoh dari catatan lengkap dapat ditunjukkan pada model LHBS yang sekarang
digunakan dalam kurikulum 2006 (KTSP). Cara membuat laporannya adalah
sebagai berikut;

Tabel 4.14
Laporan Hasil Belajar Siswa
Sekolah dasar

Nama Siswa : ……………… Nama Sekolah : …………………


Nomor Induk : ……………… Tahun Pelajaran : …………………
Kelas/Semester : IV /1

Nilai Hasil Belajar


Kriteria Pengetahuan
Mata Sikap/
No Ketuntasan dan Pemahaman Praktik
Pelajaran Afektif
Minimal *) Konsep
Angka Huruf Angka Huruf Predikat
1. Pendidikan 75
Agama
2. Pendk. 75
Kewargane
garaan
3. Bhs dan 70
Sastra
Indonesia
4. Bahasa 65

94
Inggris
5. Matematik 60
a
6. Pendidikan 78
Seni

Pada contoh di atas, terlihat bahwa laporan yang ditampilkan bukan hanya
menyangkut pengetahuan dan pemahaman konsep, tetapi juga praktik dan nilai
sikap/afektif.
Selain itu, pada LHBS ini juga dicantumkan kriteria ketuntasan minimal (KKM)
setiap mata pelajaran. Hal tersebut dibuat sebagai sebuah konsekuensi dari sistem
penilaian yang digunakan pada kurikulum KTSP yaitu penilaian yang berpatokan pada
kriteria. Begitupula dengan sistem belajar yang digunakan yang berorientasi pada
ketuntasan pencapaian kompetensi peserta didik. Dengan demikian, untuk mengetahui
gambaran pencapaian kompetensi peserta didik pada laporan model ini, dapat dilakukan
dengan membandingkan nilai yang diperoleh dengan kriteria ketuntasan minimal setiap
mata pelajaran. Apabila nilai yang diperoleh berada dibawah KKM, maka dapat
disimpulkan bahwa siswa tersebut belum mencapai kompetensi yang diinginkan,
sebaliknya bila nilai yang diperoleh berada di atas nilai KKM, maka dapat dikatakan
bahwa siswa tersebut telah mencapai kompetensi yang diharapkan.
Pada penentuan nilai ketuntasan belajar siswa, nilai Ketuntasan Idealnya adalah = 100,
batas minimum menurut konsep belajar tuntas Peserta didik harus mencapai skor 75-80 %
sebelum beralih pada pembahasan berikutnya. Guru dan sekolah dapat menetapkan nilai
Ketuntasan Minimum secara bertahap dan terencana agar memperoleh nilai ideal. Nilai
ketuntasan minimum per-mata pelajaran dan per- kompetensi dasar dan per-indikator
ditetapkan berdasarkan tingkat kesulitan dan kedalaman mata pelajaran dan kompetensi
dasar yang harus dicapai peserta didik. Setiap mata pelajaran dapat berbeda batas minimal
nilai ketuntasannya. Setiap awal tahun ajaran baru, guru (dengan melalui forum guru
serumpun) dapat menetapkan standar ketuntasan belajar minimal (SKBM) atau kriteria
ketuntasan minimal (KKM). SKBM atau KKM tersebut harus diinformasikan kepada
seluruh warga sekolah/madrasah dan orang tua. Penetapan nilai ketuntasan belajar
minimum (tiap indikator, KD, SK) harus memperhatikan hal-hal berikut:
1) Tingkat kompleksitas (kerumitan dan kesulitan) setiap indikator, KD dan SK per
mata pelajaran yang harus dicapai oleh siswa.
2) Tingkat kemampuan (intake) rata-rata siswa pada sekolah/madrasah yang

95
bersangkutan.
3) Kemampuan sumber daya pendukung dalam penyelenggaraan pembelajaran pada
masing-masing sekolah/madrasah.
Dasar penetapan tingkat kompleksitas (kerumitan dan kesulitan) setiap indikator, KD
dan SK per mata pelajaran adalah pengalaman dan analisis guru bidang studi terhadap
tingkat kerumitan dan kesulitan setiap Indikator, KD, dan SK mata pelajaran.
Dasar pertimbangan analisis tingkat kemampuan (intake) rata-rata siswa adalah:
1) Untuk kelas awal didasarkan pada rata-rata tingkat kemampuan awal peserta hasil
seleksi PSB, NUN, Rapor kelas 3 SMP, test seleksi masuk atau psikotes, dan hasil
belajar semester sebelumnya.
2) Untuk kelas di atasnya didasarkan pada tingkat pencapaian KKM siswa pada
semester atau kelas sebelumnya.
Adapun teknik penetapan KKM adalah:
1) Menggunakan penilaian skala, yaitu dengan memberikan poin angka pada setiap
kriteria yang ditetapkan:
a) Kompleksitas
 Sangat Tinggi :1
 Tinggi :2
 Sedang :3
 Rendah :4

b) Intake:
 Sangat Tinggi :4
 Tinggi :3
 Sedang :2
 Rendah :1
c) Daya Dukung:
 Sangat Tinggi :4
 Tinggi :3
 Sedang :2
 Rendah :1
Contoh: Jika indikator memiliki kriteria: kompleksitas tinggi (2), intake sedang (2), daya
dukung tinggi (3), maka KKM-nya:
(2+2+3)

96
x 100 = 58,33
12

Jadi KKM-nya = 58,33


Dalam praktek disekolah. penentuan skor pada tiap tingkatan ada yang membagi kategori
hanya pada tiga kategori yaitu tinggi dengan skor 3, sedang dengan skor 2, dan rendah
dengan skor 1. Sehingga bentuknya seperti berikut ini.
a) Kompleksitas
 Tinggi :1
 Sedang :2
 Rendah :3
b) Intake:
 Tinggi :3
 Sedang :2
 Rendah :1
c) Daya Dukung:
 Tinggi :3
 Sedang :2
 Rendah :1
Contoh: Jika indikator memiliki kriteria: kompleksitas tinggi (1), intake sedang (2), daya
dukung tinggi (3), maka KKM-nya:

(1+2+3)
x 100 = 77,78
9

Jadi KKM-nya = 77,78


2) Menggunakan rentang nilai pada setiap kriteria yg ditetapkan:
a) Kompleksitas
 Sangat Tinggi : < 54
 Tinggi : 55 - 69
 Sedang : 70 - 85
 Rendah : 86 – 100
b) Intake:
 Sangat Tinggi : 86 - 100
 Tinggi : 70 - 85
 Sedang : 55 - 69

97
 Rendah : …. <54
c) Daya Dukung:
 Sangat Tinggi : 86 - 100
 Tinggi : 70 - 85
 Sedang : 55 - 69
 Rendah : …. <54
Contoh: Jika indikator memiliki kriteria: kompleksitas rendah, intake sedang, daya dukung
tinggi, maka KKMnya:

(90+65+85)
= 80
3
Jadi KKM-nya = 80
Penentuan KKM pada setiap mata pelajaran sebagaimana dijelaskan di atas,
didahului dengan penentuan KKM pada setiap indikator, untuk selanjutnya diakumulasi
menjadi KKM pada setiap KD, dan seterusnya menjadi KKM SK, dan rata-rata KKM SK
adalah merupakan KKM mata pelajaran.
Selanjutnya nilai setiap mata pelajaran dilaporkan meliputi nilai pengetahuan dan
penguasaan konsep, praktik, nilai afektif yang dilaporkan secara terpisah. Nilai pada aspek
pengetahuan dan praktik dilaporkan dalam bentuk angka, sedangkan nilai sikap/afektif
dilaporkan dalam bentuk kata-kata/predikat amat baik, baik, cukup, kurang baik, dan
sangat kurang.
b. Dalam bentuk catatan tidak lengkap
Catatan tidak lengkap adalah laporan yang berisi catatan tentang siswa yang hanya
berisi gambaran tentang prestasi siswa dan hanya sedikit menyinggung tentang kepribadian
siswa.
Selanjutnya dalam menyusun catatan prestasi belajar siswa, dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu:
1). Dengan pernyataan lulus dan belum lulus
Catatan penilaian dengan cara ini biasanya digunakan pada sistem belajar tuntas,
yang mendasarkan pada berhasil atau belumnya peserta didik dalam mencapai tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Apabila siswa telah mencapai tujuan
(paling sedikit 75 % tujuan), maka pada unit tersebut diberi tanda (misalnya dengan
tanda cek atau tanda silang). Hal ini dilakukan untuk membedakannya dari unit yang
belum tuntas. Dengan demikian akan tergambar banyak sedikitnya unit yang telah
diselesaikan pada setiap mata pelajaran.

98
2). Dengan nilai siswa
Pencatatan dengan nilai dilakukan apabila seluruh siswa dalam satu kelompok
belajar secara klasikal. Pada cara ini, prinsip belajar tuntas sangat sukar dilaksanakan dan
pencatatan nilai didasarkan pada nilai-nilai ulangan yang telah diikuti.
Nilai yang dimasukkan kedalam laporan, baik itu laporan lengkap maupun tidak
lengkap adalah nilai akhir yang menggambarkan nilai akumulatif peserta didik yang
diperoleh selama mengikuti satu program. Untuk menentukan nilai akhir ada beberapa
cara yang digunakan yaitu:
a) Nilai akhir diperoleh dengan cara memperhitungkan nilai hasil tes formatif, yaitu nilai
rata-rata hasil ulangan harian, dengan nilai sumatif yaitu nilai yang diperoleh dari
ulangan umum atau final test. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
(F1 + F2+F3 …….Fn)
+ 2S
n
NA =
3
Dimana:
NA = Nilai akhir
F1 = Nilai hasil formatif ke 1
F2 = Nilai hasil formatif ke 2
F3 = Nilai hasil formatif ke 3
Fn = Nilai hasil formatif ke n
n =frekuensi ujian formatif/ banyaknya kali tes formatif dilaksanakan
S = Nilai sumatif
2 &3 = Angka konstan yang menunjukkan bobot dari unsur-unsur nilai.
Contoh.
Dari hasil ulangan harian mata pelajaran fiqhi yang dilaksanakan sebanyak 4 kali dan
ulangan akhir semester diperoleh nilai seorang siswa bernama Aminah, dengan
rincian sebagai berikut:
- Nilai ulangan harian 1 = 7,5
- Nilai ulangan harian 2 = 8,0
- Nilai ulangan harian 3 = 7,0
- Nilai ulangan harian 4 = 6,5
- Nilai ulangan semester = 7,0
Dengan demikian nilai akhir yang dapat diberikan kepada Aminah adalah :
(7,5 + 8,0+7,0+6,5)
+2x7
4

99
NA =
3

7,25 + 14
NA =
3
NA = 7,08 = 7 (dibulatkan kebawah)

a. Nilai akhir diperoleh dengan cara menjumlahkan nilai tugas (T), nilai ulangan harian,
dan nilai ulangan akhir, yang masing-masing diberi bobot 2 untuk nilai tugas(T), 3
untuk nilai harian (H), dan 5 untuk nilai ulangan umum (U), lalu dibagi 10 sesuai
dengan jumlah bobot keseluruhan unsur. Jika diformulasi dalam bentu rumus,
bentuknya sebagai berikut:
2T+3H+5U
NA =
10

2 NH + 3 UTS + 5 UAS
NA =
10

Contoh:
Tentukanlah nilai akhir seorang siswa Madrasah Aliyah bernama Abdullah
memperoleh nilai pada mata pelajaran bahasa Arab, dengan rincian sebagai berikut:

Nilai Harian 1 = 80
Nilai Harian 2 = 85
Nilai harian 3 = 75
Nilai harian 4 = 65
Nilai harian 5 = 85
Nilai UTS = 80
Nilai sumatif = 75
Penyelesaian:
Nilai akhir yang diberikan kepada Abdullah adalah:
- Nilai rata-rata ulangan harian adalah = (80+85+75+65+85)/5 = 78
- Nilai UTS = 80

100
- Nilai Sumatif = 75
2(78)+3(80)+5(75)
NA =
10

771
NA =
10
NA = 77,1 = 77 (dibulatkan ke bawah)
b. Cara selanjutnya adalah cara yang digunakan dalam penentuan nilai ijazah atau Surat
Tanda Tamat Belajar (STTB). Dalam penentuan nilai akhir dengan cara ini, nilai akhir
diperoleh dari nilai rata-rata hasil ulangan harian (H), yang diberi bobot 1, ditambah
dengan nilai hasil Evaluasi Tahap Akhir (EBTA), diberi bobot 2. Rumusnya adalah
sebagai berikut:

∑H
+2E
N
NA =
3
Contoh:
Tentukanlah nilai akhir seorang siswa bernama Aisyah yang memperoleh nilai pada mata
pelajaran Matematika dengan rincian sebagai berikut:
Nilai ulangan harian 1 = 7
Nilai ulangan harian 2 = 7,5
Nilai ulangan harian 3 = 8
Nilai EBTA =8
Penyelesaian:
Nilai akhir yang diberikan kepada Aisyah adalah sebagai berikut:
- Rata-rata nilai harian adalah = (7+7,5+8)/3 = 7,5
- Nilai EBTA adalah =8
22,5
+2x8
3
NA =
3

7,5 + 16
NA =
3

23,5

101
NA = = 7,83 = 8 (dibulatkan ke atas)
3

Dalam pembulatan nilai-nilai yang akan dicantumkan dalam buku rapor atau ijazah,
umumnya dipergunakan pedoman sebagai berikut:
a). Jika dibelakang tanda desimal terdapat bilangan yang lebih kecil dari 50, maka
pembulatan dilakukan ke bawah. Contohnya nilai 6,43 dibulatkan menjadi nilai 6.
b). Jika dibelakang tanda desimal terdapat nilai bilangan yang besarnya = 50, maka nilai
akhir tidak dibulatkan, jadi dituliskan apa adanya. Contohnya nilai 7,5 tetap ditulis 7,5.
c). Jika dibelakang tanda desimal terdapat bilangan yang lebih besar dari 0,50 dibulatkan
ke atas. Contohnya nilai 5,75 dibulatkan ke atas menjadi 6.

102

Anda mungkin juga menyukai