Anda di halaman 1dari 93

Usulan Teknis

BAB – E
PENDEKATAN
DAN METHODOLOGI

E.1. LATAR BELAKANG

Pembangunan daerah pada dasarnya adalah upaya untuk meningkatkan


kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kegiatan yang direncanakan secara
matang dan terarah sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki oleh
daerah tersebut. Dalam pelaksanaannya, Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara
dan pengelola pembangunan di daerahnya akan menghadapi berbagai tantangan
yang timbul, baik yang berasal dari daerahnya sendiri maupun persaingan yang
timbul dari daerah lainnya. Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, maka Pemerintah
Daerah harus mengetahui kekurangan dan keunggulan komparatif yang ada di
daerahnya.

Dalam pelaksanaan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan di


Daerah terdapat hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama adalah meningkatnya
kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota dan kedua meningkatnya proporsi
komponen sumber pendapatan daerah dalam pembiayaan pembangunan di
wilayahnya. Kedua hal ini membawa konsekuensi kepada perlunya pemerintah
daerah untuk mereorientasi strategi pengembangan wilayahnya.

Dalam strategi tersebut, pertimbangan utama yang sangat menentukan adalah


bagaimana mendapatkan sumber-sumber pendapatan yang mampu memenuhi
kebutuhan pembiayaan pembangunan di wilayahnya. Berdasarkan prinsip ini, setiap
daerah kabupaten/kota akan berupaya semaksimal mungkin untuk dapat
memanfaatkan potensi-potensi yang dimilikinya sehingga dapat
menghasilkan nilai tambah yang besar. Konsekuensi dari hal ini adalah terciptanya
persaingan antar daerah kabupaten/kota dalam suatu wilayah propinsi maupun
dengan propinsi lainnya. Persoalan yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi ini
antara lain berupa kenyataan yang menunjukkan bahwa tidak semua daerah
kabupaten/kota memiliki potensi untuk bersaing yang sama. Beberapa daerah
memiliki potensi dan kemampuan untuk segera melaksanakan otonomi, sementara
beberapa daerah lainnya masih kesulitan dalam melaksanakannya.

Dalam konteks pengembangan wilayah, secara garis besar terdapat 3 (tiga) elemen
pokok yang menjadi sumber pertumbuhan wilayah, yakni sumber daya alam (lahan),
sumber daya manusia dan teknologi yang dimiliki. Ketiga elemen ini ditambah
dengan iklim yang mendukung akan menentukan sejauhmana suatu wilayah mampu
tumbuh dan berkembang.

Bab E - Pendekatan dan Metodologi E-1


Usulan Teknis

Berkaitan dengan persaingan antar daerah kabupaten yang terjadi pada masa
otonomi daerah, maka ketiga elemen pengembangan wilayah tersebut dapat
menjadi tolok ukur untuk menilai sejauh mana kemampuan suatu wilayah untuk
bersaing dengan wilayah lainnya. Dengan mengetahui status ke 3 (tiga) elemen
tersebut, maka suatu daerah dapat memiliki pertimbangan yang lebih jelas dalam
menentukan arah pengembangan wilayahnya.

Keunggulan daya saing wilayah akan tercipta apabila wilayah tersebut berhasil
menciptakan keunggulan (advantage) atas wilayah lain yang menjadi pesaingnya.
Untuk mendapatkan daya saing tersebut, setiap wilayah harus mampu
mengembangkan kompetensi inti (core competance) yang dapat dibedakan dari
wilayah lainnya.

Kompetensi inti dapat dikembangkan melalui penciptaan berbagai faktor produksi


yang bisa mendatangkan prestasi yang lebih baik dibandingkan dengan wilayah
pesaingnya. Untuk itu Pemerintah Kabupaten Empat Lawang memandang penting
untuk melakukan Pemetaan Jaringan Jalan (GIS) guna mendapatkan status
peluang daya saing yang dimiliki dan keakuratan dalam memberdayakannya.
Perencanaan dan Pemetaan Kabupaten Empat Lawang yang dibangun merupakan
alat bantu (tool) yang handal untuk menyediakan suatu keterpaduan data dan
informasi yang berkaitan dengan arahan pengembangan yang beraspek pada
dayadukung lingkungan, yang selanjutnya akan digunakan untuk membantu
Pemerintah Kabupaten Empat Lawang dalam pengambilan kebijaksanaan.

Pusat kegiatan dalam Wilayah Kabupaten/Kota Jalan yang memudahkan masyarakat


perindividu perjalanan, Jalan yang menjamin pengguna Jalan berkendara salah
satunya dengan selamat, Jalan yang menjamin kendaraan dapat berjalan dengan
nyaman dan selamat, Jalan yang menjamin Perjalanan kendaraan dapat dilakukan
sesuai dengan Kecepatan Rencana sejalan dengan dinamika kebutuhan terhadap
aksesiblitas,mobilitas, keselamatan, kondisi jalan dan Kecepatan maka dibutuhkan
suatu data base jalan di Kabupaten Empat Lawang Spemetaan jaringan jalan salah
satunya di laksanakan oleh Dinas Pekerjaan Umum dan penataan ruang Kabupaten
Empat lawang Tahun anggran 2017

Bab E - Pendekatan dan Metodologi E-2


Usulan Teknis

E.2. MAKSUD, TUJUAN DAN KEGUNAAN STUDI

Kegiatan Belanja JASA KONSULTANSI PEMETAAN JARINGAN JALAN (Gis) ini


dimaksudkan untuk melaksanakan penyusunanan shp data jalan kota, arteri,
sekunder, kolektor skunder, lokal dan pembuatan sistem informasinya, Tujuan dari
kegiatan ini adalah tersedianya Data Update Jalan kota, alah kepala arteri,
sekunder, kolektor skunder, lokal dan pembuatan sistem informasinya, lokal dan
sistem informasinya dalam bentuk software yang dapat dijadikan informasi dan
menjadi acuan dalam pelaksanaan Kegiatan Perencanaan Pembangunan Jalan di
kabupaten Empat Lawang

Tujuan ini diharapkan dapat terwujud dengan pencapaian beberapa sasaran sebagai
berikut :

1. Terbuatnya peta jaringan jalan Kabupaten Empat Lawang yang berfungsi sebagai
alat bantu bagi proses pengambilan kebijaksanaan, khususnya bagi keperluan
perencanaan wilayah serta terkompilasinya data-data yang berkaitan dengan
perkembangan jalan pada lingkup desa, kecamatan sampai dengan lingkup
kabupaten.
2. Tersedianya data spasial (sebagai materi dalam basis data spasial digital) berupa
Peta jaringan jalan yang dihasilkan dari survey lapangan dengan cakupan wilayah
di seluruh Kabupaten Empat Lawang.

E.3. PEMAHAMAN

Pada Jasa Konsultan Pemetaan Jaringan Jalan (GIS) Kabupaten Empat


Lawang ditentukan beberapa indikator kinerja yang sifatnya telah menjadi
kesatuan yang tergambarkan dalam karakteristikjaringan jalan. Indikator
tersebut adalah :

 Panjang jalan terklasifikasi


 Beban lalu lintas
 Kondisi jaringan jalan
 Kebutuhan dana pemeliharaan jaringan jalan
 Dan lain‐lain.

Bab E - Pendekatan dan Metodologi E-3


Usulan Teknis

Karakteristik yang spesifik dari kondisi jalan, juga telah diantisipasi oleh Jasa
Konsultan Pemetaan Jaringan Jalan (GIS) Kabupaten Empat Lawang. Upaya
penyelesaian dan pencapaian target/sasaran dari Pengumpulan Data Sistem Informasi
Jalan ini, dilakukan dengan menjabarkan metodologi secara rinci, dimana di
dalamnya mencakup masalah koordinasi pendanaan.

Proses atau uraian secara sistematis tersebut akan dilaksanakan dalam 6 (


enam ) tahap yang meliputi :
 Persiapan
 Pelaksanaan survei
 Pengumpulan data sekunder
 Pengolahan dan pemasukkan data
 Evaluasi

 Penyusunan Program Penanganan Jalan


 Peta Prioritas Jringan Jalan

Bab E - Pendekatan dan Metodologi E-4


E.4. PENDEKATAN DAN METHODOLOGI

Secara berurutan, setiap tahapan tersebut di atas selalu ditinjau ulang sesuai
dengan kebutuhan (bekerja sama dengan instansi‐instansi terkait), sehingga
perubahan atau perbaikan dapat dilakukan untuk mendapatkan sasaran yang
diinginkan secara maksimal. Untuk jelasnya, pendekatan studi yang akan
dilakukan disampaikan dalam Gambar E.1.

Bab E - Pendekatan dan Metodologi E-5


PERSIAPAN
PENGUMPULAN DATA SEKUNDER INPUTING DATA
RENCANA -RTRW KAB. EMPAT LAWANG DATA SEKUNDER DBASE SPASIAL DBASE TABULAR
KERANGKA -EMPATLAWANG DALAM ANGKA JARINGAN JALAN DRAFT
SISTEM -KEPUTUSAN MENTERI & GUBERNUR
KERJA
LAPORAN
PROGRAM PROGRAM
-STUDI-STUDI TERDAHULU RENCANA SPREATSHEET VEKTOR
AKHIR
LATAR PENGEMBANGAN (M.EXCEL)
BELAKANG
& TUJUAN
DATA PRIMER
STUDI SURVEI INSTANSIONAL / WAWANCARA PRSNTSI
PERSIAPAN JARINGAN JALAN DATABASE JARINGAN JALAN EKSISTING
SURVEI: DRAFT
-DISKUSI INTERAKTIF LAPORAN
-SURAT TUGAS -KONSEP & IDE POLA DATABASE
-DATA PENUNJANG
-METODOLOGI INSTANSIONAL SISTEM INFORMASI AKHIR
-PERUMUSAN/
-WAKTU -TUJUAN &
IDENTIFIKASI
PELAKSANAAN SASARAN
MASALAH
REVISI
ANALISA PENGEMBANGAN JARINGAN JALAN LAPORAN
PRESNTSI SURVEI UPDATING JARINGAN JALAN AKHIR
GMBARAN
UMUM KAB. LAP. RTRW & PERATURAN - JARINGAN
PENDHLAN PERATURAN ANALISA KEPAKARAN JALAN
EMPAT -SURVEI JARINGAN JALAN GAMBARAN EKSISTING
LAWANG DAN JEMBATAN KONDISI
EKSISTING -LAPORAN
JARINGAN AKHIR
JALAN -RINGKASAN
KONSEP PENGEMBANGAN JARINGAN JALAN EKSEKUTIF
KERANGKA SIST.INFORMASIN
METODOLO
GI & -PERUMUSAN
KERANGKA STRUKTUR
POLA KAJIAN PROGRAM PENGEMBANGAN &
RENCANA SISTEM
KERJA DATAABASE INFORMASI PELAKSANAANNYA
-IDENTIFIKASI DAN JARINGAN
STANDARISASI JALAN PRIORITAS KNSEP -EVALUASI RENCANA PENGEMBANGAN
-PEMUTAKHIRAN DATA PENGEMBANGAN -ASISTENSI JARINGAN JALAN
JARINGAN JALAN -DISKUSI

LAPORAN
PENDAHULUAN LAPORAN ANTARA

Gambar 5.1 Pendekatan Studi

E-6
E.3 METODE PENDEKATAN
Sesuai dengan pendekatan studi yang akan dilakukan oleh Konsultan dalam
rangka penyelesaian pekerjaan perlu disampaikan pula metode yang dipakai dari
setiap kegiatan agar metode ini amat penting dikuasai oleh Tim Pelaksana agar
supaya sasaran yang diinginkan dapat tercapai. Mengacu pada Term of
Reference/TOR, khususnya mengenai sasaran studi, ruang lingkup dan syarat‐syarat
pekerjaan, konsultan menyusun suatu kerangka pendekatan yang sifatnya
komprehensif dengan maksud agar semua tujuan dapat tercapai (Gambar E.2).

Gambar E.2 Metode Komprehensif

E.3.1 Assesment & Perencanaan


Tujuan :
o Mendapatkan gambaran yang jelas mengenai kondisi Data Jaringan Jalan saat
ini.
o Mendapatkan Kesepakatan Perencanaan Utama (Master Planning) dan
Perencanaan Detail (Detail Planning) pengembanganJaringan Jalan.
Kegiatan :
o Melakukan assessment ke dalam lingkungan Dinas PU Bina Marga dan
Pengairan Kabupaten Empat Lawang.

E-7
o Diskusi dan wawancara
o Perencanaan dan Perencanaan Bersama
o Persetujuan Perencanaan
o Dokumentasi

E.3.2 Pengembangan dan Perubahan


Tujuan :
o Terciptanya Peta Jaringan Jalan (GIS) Dalam Kabupaten Empat Lawang
sesuai dengan tahapan pengembangan yang telah direncanakan.
o Pembentukan infrastruktur baru yang mendukung Peta Prioritas Pembangunan
Jalan Dalam Kabupaten Empat Lawang.

Kegiatan :
o Perbaikan dan pembangunan infrastruktur.
o Dokumentasi
o Persetujuan dan Serah Terima Perkerjaan.

E.3.3 Sosialisasi
Tujuan :
Sosialisasi Jasa Konsultan Pemetaan Jaringan Jalan (GIS) Dalam Kabupaten
Empat Lawang.

Kegiatan:
o Jasa Konsultan Pemetaan Jaringan Jalan (GIS) Dalam Kabupaten Empat
Lawang Dokumentasi
o Serah Terima Pekerjaan.

E.3.4 Daily Operational Support


Tujuan:
o Menjaga kelancaran operasional perangkat IT dan aplikasi yang digunakan.

E-8
Kegiatan:
o Pemberian Technical Support (Dukungan Teknis).

E.4 INVENTARISASI DAN PENGUMPULAN DATA


E.4.1 Pemberian Kodefikasi
Proses kodefikasi merupakan kegiatan awal dari implementasi Jasa Konsultan
Pemetaan Jaringan Jalan (GIS) Dalam Kabupaten Empat Lawang, Kegiatan ini
dikerjakan di kantor (bukan di lapangan). Untuk kodefikasi ini digunakan data
sekunder. Kodefikasi merupakan suatu acuan yang mendasar dari bank data,
meliputi :
a. Kode Propinsi
b. Kode Kabupaten/Kota
c. Kode Kecamatan
d. KodeKelurahan
e. KodeJalan
f. Kode Simpul
g. Kode Ruas Jalan.

Kodefikasi nomor a sampai dengan d dapat diperoleh dari Biro Pusat Statistik atau
Pemda setempat. Untuk kodefikasi nomor e sampai dengan g dilakukan oleh Tim
Pelaksana di Kantor.

Kegiatan utama proses kodefikasi jaringan jalan yaitu:


a. Data yang diperlukan mencakup Data Induk Jaringan Jalan Kota, Peta Dasar
Kota, Kode Propinsi, Kode Kabupaten/Kota dan kecamatan, Klasifikasi Jalan,
Kondisi real lapangan mengenai jaringan jalan, dan Data Survei.
b. Pengkodean jaringan jalan kota mencakup Kode Grid pada peta dasar Kota,
Kecamatan, Keluarahan, Jalan, Simpul, Ruas Jalan.

E-9
Kodefikasi Propinsi, merupakan kode induk dalam Pemetaan Jaringan Jalan
(GIS) Dalam Kabupaten Empat Lawang dan digunakan secara langsung sebagai
acuan untuk Kode Kabupaten/Kota di dalamnya. Demikian juga pengkodean
administratif (misal Kabupaten/Kotamadya, dll) akan merupakan acuan untuk kode
adminstratif di dalamnya (misal Kecamatan, dll). Kode Kelurahan selalu diikuti
dengan Kode Administratif diatasnya,

contoh: PP KK CCC LLL


dimana : PP = Kode Propinsi
KK = Kode Kabupaten/Kotamadya
CCC = Kode Kecamatan
LLL = KodeKelurahan

E.5 ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA

Tahapan analisis dan pengolahan data akan dilakukan dengan 3 tahap besar, yaitu:

a. Tahap Input, terdiri dari kegiatan-kegiatan: kajian literatur berbagai peraturan


perundangan dan kebijakan, pengumpulan data sekunder berupa data teknis
dan instansional. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data primer yang akan
dikalibrasi untuk menentukan konsistensi dan keakuratannya.

b. Tahap Proses, terdiri dari kegiatan-kegiatan pemodelan lalulintas, simulasi


berbagai skenario penanganan dan analisis untuk menetapkan sistem
manajemen jalan kabupaten dan prioritas penanganan program jaringan jalan di
Kabupaten Empat Lawang,

c. Tahap Output terdiri dari kegiatan penyusunan rekomendasi kebijakan untuk


mencapai sasaran kajian yang diharapkan.

E - 10
E.5.1 Kajian Pendahuluan

Dalam mencapai maksud studi terdapat beberapa kegiatan dalam kajian


pendahuluan akan dilaksanakan, diantaranya mencakup :
a. Tinjauan ulang semua data dan studi yang telah ada sebelumnya yang berkaitan
dengan usulan proyek tersebut.

b. Pengumpulan data fisik, ekonomi dan sistem pengoperasian yang diperlukan


untuk mendukung kesimpulan studi kelayakan tersebut yang meliputi kelayakan
teknik, ekonomi, dan lingkungan.

c. Melakukan indikasi awal, adanya manfaat dari usulan proyek tersebut, baik bagi
pengguna jalan berupa peningkatan aksesibilitas, penurunan biaya transport
serta manfaat bagi lingkungan yang lebih luas.

E.5.2 Kelayakan Rekayasa

E.5.2.1 Data Kelayakan Rekayasa

Untuk melaksanakan Kelayakan Rekayasa akan digunakan data yang ada dalam
koridor yang dikaji. Diantaranya sebagai berikut:
a. Rincian tata guna lahan dan rincian dari tata guna lahan pertanian yang ada dan
yang potensial di area studi.

b. Identifikasi secara umum sumber-sumber material yang diperlukan untuk


kelayakan analisis ekonomis. Data tersebut dengan data lain akan digunakan
sebagai pertimbangan untuk pemilihan alinyemen, perkerasan, dan desain
permukaan secara tepat dan ekonomis

c. Deskripsi iklim dari area studi yang memuat rincian tentang faktor iklim yang
penting untuk pertimbangan rekayasa diantaranya: curah hujan (penyebaran
dan intensitas bulanan termasuk jumlah hari hujan per bulan), suhu (kisaran
minimum, rata-rata dan maksimum per bulan dalam setahun).

E - 11
E.5.2.2 Metodologi Kelayakan Rekayasa

Selain data di wilayah studi, pedoman-pedoman rekayasa yang relevan akan


digunakan, diantaranya standar geometris dan muatan serta standar desain yang
dikeluarkan Bina Marga. Dengan demikian metodologi yang diusulkan untuk desain
perkerasan, desain konstruksi jalan, pekerjaan tanah, dan struktur akan sesuai
dengan pedoman Bina Marga yang terbaru.

Hasil identifikasikan karakteristik dan kondisi daerah studi akan digunakan sebagai
input untuk mengevaluasi kesinambungan pergerakan arus lalu lintas yang ada,
kemungkinan pembuatan rute alternative pada saat pelebaran jalan tidak layak
untuk dilaksanakan.

Dalam rekayasa tersebut akan dioptimalkan keseimbangan antara biaya investasi


dan biaya pemeliharaan. Termasuk didalam pertimbangan tersebut adalah kajian
terhadap berbagai pekerjaan tipe perkerasan/tipe konstruksi jembatan.

Berdasarkan analisis tersebut akan dihasilkan:


a. Estimasi kuantitas awal kebutuhan pelebaran jalan termasuk jembatan besar
dan struktur penting lainnya termasuk penentuan bentang dan jenis pondasinya.

b. Estimasi biaya awal berdasarkan harga satuan setempat.

Dalam estimasi ini akan diperhatikan kemungkinan perubahan ruang milik jalan
maupun ruang manfaat jalan yang diakibatkan dari pelebaran jalan.

E - 12
E.5.3 Analisa Lalulintas dan Angkutan

E.5.3.1 Kalibrasi Data untuk Analisis Lalu Lintas

Untuk analisis lalu lintas akan disediakan data yang diperlukan untuk kalibrasi
sebagai berikut:
a. data statistik (demografi, sosial ekonomi)

b. data spasial

c. hasil survei perhitungan lalulintas

d. hasil survei asal-tujuan

e. komposisi dan volume lalulintas

f. jenis angkutan

g. survei waktu perjalanan

Untuk keperluan analisis kompilasi hasil survei perhitungan lalulintas disajikan


menjadi komposisi jenis angkutan dan volume lalulintas. Analisis lalulintas dilakukan
dengan memperhitungkan besarnya arus lalulintas per jam, harian, bulanan, dan
tahunan. Sedangkan kompilasi hasil survei asal-tujuan digunakan sebagai input
untuk memperkirakan distribusi perjalanan dalam model peramalan lalulintas. Selain
itu dari hasil survei tersebut akan dapat diidentifikasi komposisi dan volume
perjalanan yang ada pada rute alternatif/lokasi jembatan di daerah studi.

Untuk pelaksanaan survei, mengidentifikasi karakteristik daerah studi, penentuan


lokasi, waktu (hari dan jam sibuk/tidak sibuk) dan luas daerah survei lalu lintas serta
prosedur survei yang digunakan disesuaikan dengan prosedur standar Bina Marga.

E - 13
E.5.3.2 Metodologi Peramalan Lalu lintas

Prediksi kebutuhan pelebaran jalan akan dilakukan peramalan lalu lintas 24 jam
untuk jangka waktu 20 tahun mendatang. Untuk peramalan tersebut akan
diperhitungkan tingkat pertumbuhan lalu lintas dalam berbagai skenario jaringan
jalan, termasuk didalamnya rencana pembangunan jalan baru serta kemungkina
perubahan guna lahan. Sebagai input peramalan akan diidentifikasikan daerah-
daerah potensial yang menimbulkan pertumbuhan lalulintas maupun daerah-daerah
potensial pengembangan ekonomi daerah yang terpengaruh dengan adanya
pelebaran jalan. Hasil peramalan ini akan dijadikan dasar untuk memperkirakan
kebutuhan angkutan jalan raya dimasa yang akan datang.

Untuk melaksanakan peramalan tersebut akan diterapkan pemodelan transportasi


dengan Four Step Model sebagaimana dijelaskan dalam bagian berikut.

E.5.4 Pemodelan Transportasi

Secara umum tujuan pemodelan transportasi adalah untuk mengetahui perilaku atau
karakteristik sistem transportasi, dalam arti bagaimana keterkaitan yang ada antara
komponen-komponen sistem, untuk memprediksi perubahan yang mungkin terjadi
pada karakteristik transport demand (misalnya arus lalulintas) sebagai akibat dari
perubahan yang terjadi pada komponen sistem (seperti perubahan tata guna lahan),
dan sebagai alat analisis dan evaluasi berbagai alternatif.

E.5.4.1. Trip Generation (Bangkitan Perjalanan)

Model ini bertujuan memperkirakan jumlah perjalanan yang akan mulai atau
berakhir pada masing-masing zona wilayah analisis dalam suatu wilayah untuk suatu
hari pada suatu tahun target tertentu. Model-model Trip Generation:

E - 14
Model pergerakan perjalanan dapat dinyatakan dalam fungsi matematis dari
beberapa atribut (X1, X2, ..., Xn)

P = f (X1, X2, ..., Xn)

A = f (X1, X2, ..., Xn)

Dengan:

P = bangkitan perjalanan

A = tarikan perjalanan.

Beberapa model bangkitan perjalanan adalah sebagai berikut ini:


Data tahun
Jaringan zona dasar Data perencanaan
masa depan

Data Base
Tahun dasar / masa depan

Trip Generation

Trip Distribution

Modal Split

Traffic Assignment

Evaluasi

Sumber: Ortuzar&Wilumsen, 1994

Gambar E.3. Model Perencanaan Transportasi

a. Growth Factor Method (Model Faktor Pertumbuhan). Model ini


merupakan model dengan metoda paling sederhana, yakni bahwa
jumlah perjalanan di masa datang merupakan perkalian jumlah
perjalanan saat ini dengan estimasi tingkat pertumbuhannya.

E - 15
Contoh formulasi pada model faktor pertumbuhan adalah sebagai berikut ini.

Ti  Fi .ti

f ( Pi d , Ii d , Ci d )
dan: Fi 
f ( Pi c , Ii c , Ci c )

dengan:

i = zona,

Ti = trip masa datang,

ti = trip masa sekarang,

F = faktor pertumbuhan,

P = populasi,

I = income,

C = car ownership,

d = masa datang,

c = masa sekarang.

b. Multiple Linear Regression (Model Regresi Linear Berganda), dengan


asumsi bahwa jumlah perjalanan dianggap sebagai fungsi dari faktor-
faktor penyebab, dalam bentuk misalnya seperti berikut ini.

Y  a 0  a 1 x1  a 2 x 2  a 3 x 3

dengan:

Y = jumlah perjalanan orang yang dibangkitkan dari suatu zona per


hari,

x1 = pendapatan keluarga rata-rata,

x2 = pemilikan kendaraan rata-rata dalam keluarga,

x3 = jumlah anggota keluarga rata-rata,

a0,a1,a2,a3 = konstanta.

E - 16
c. Cross Classification atau Category Analysis (Model Klasifikasi Silang),
dengan cara membagi suatu zona dalam beberapa kategori sesuai
sifat-sifat zona tersebut. Misalnya jumlah perjalanan rata-rata per hari
akan berbeda sesuai dengan pendapatan per keluarga atau jumlah
kendaraan bermotor yang dimiliki. Contoh :

Pi   hi ( c )  tp ( c )

dengan:

Pi = jumlah perjalanan yang dibangkitkan dari zona i,

hi(c) = jumlah keluarga di zona i untuk kategori c,

tp(c) = tingkat bangkitan perjalanan untuk kegiatan c.

Analisis klasifikasi silang ini memiliki lebih sedikit batasan dibandingkan dengan
analisis regresi, misalnya dengan tidak mengasumsikan adanya hubungan linier.
Kerugian secara teknik adalah data yang dibutuhkan sangat banyak untuk tiap
kategori, dan rata-rata bangkitan perjalanan untuk tiap kategori secara statistik
harus dapat diterima. Masalah lain adalah tidak terdapatnya uji statistik untuk
menguji keabsahan model.

E.5.4.2. Trip Distribution (Distribusi Perjalanan)

Distribusi perjalanan merupakan tahap yang menghubungkan interaksi antar zona


yang dipengaruhi tata guna lahan, jaringan transportasi dan arus lalulintas. Fungsi
model ini adalah untuk melihat/mengetahui trip yang dibangkitkan ke dalam zona-
zona lain. Model-model Trip Distribution:

E - 17
a. Model Faktor Pertumbuhan (Growth Factor):

1) Faktor Pertumbuhan Uniform, yang menyesuaikan bahwa pertumbuhan tiap


sel matriks adalah seragam.

2) Single Constraint Growth Factor Methods, yang berasumsi bahwa


pertumbuhan sel matriks antara baris dan kolom tidak sama karena dibatasi
informasi volume perjalanan tiap baris (Oi) atau kolom (Dj).

3) Doubly Constraint Growth Factor Methods, yang digunakan bila diperoleh


informasi tentang jumlah baris (Oi) dalam kolom (Dj), sehingga diperlukan
proses iterasi agar jumlah perjalanan total sama dengan target. Proses
iterasi ini dikenal dengan nama Metoda Furness.

b. Model Gravitasi, yang dikembangkan dari Teori Gravitasi di mana


jumlah perjalanan antar zona i dan j merupakan perkalian polarities
(oi dan dj) dengan deterence function (Fij).
c. Model Opportunity, dengan asumsi :

1) Asumsi pertama, bahwa seorang yang melakukan perjalanan akan


memaksimumkan keuntungan yang akan diperoleh dan meminimumkan
pengeluaran (Prinsip Costumer Surplus).

2) Asumsi kedua, adalah bahwa manfaat dan pengeluaran perjalanan pada


kondisi yang sama akan dinilai oleh tiap orang dengan cara pandang
berbeda. Variasi ini diekspresikan sebagai faktor stochastic.

d. Model Entropi Maksimum (Entrophy Maximization).

E.5.4.3. Modal Split (Pemilihan Moda)

Model ini merepresentasikan perilaku orang atau sekelompok orang dalam memilih
jenis kendaraan yang digunakan, dengan asumsi orang akan memilih jenis moda
yang memberikan kepuasan terbesar.

E - 18
E.5.4.4. Traffic Assignment (Pembebanan Lalulintas/Pemilihan Rute)

Model ini mengalokasikan perjalanan yang telah dipisahkan menurut moda masing-
masing ke dalam berbagai rute jaringan yang tersedia yang menghubungkan zona
asal tujuan yang ditentukan.

E.5.5 Analisa Biaya Proyek


Analisis biaya proyek didasarkan pada kebutuhan pelebaran jalan dengan
pendekatan sebagai berikut:
a. Usulan proyek penanganan jalan dibagi menjadi kelompok bagian-bagian yang
seragam (link homogin), untuk dilakukan analisis lebih lanjut. Homogenitas link
dapat dianalisis dari rata-rata lebar dalam link serta rata-rata lebar dalam
segment.

b. Analisis berbagai alternatif solusi untuk masing-masing ruas seandainya


pelebaran tidak memungkinkan dilakukan termasuk penyusunan perbaikan rute
yang ada.

c. Analisis alternatif jenis perkerasan beserta dasar-dasar pertimbangan


penggunaan jenis perkerasan tersebut untuk masing-masing ruas dan
memberikan rekomendasi yang paling tepat disertai perkiraan biaya yang
dibutuhkan.

E.5.6 Analisa Manfaat Ekonomi Proyek


Metode analisis manfaat proyek yang diusulkan adalah dengan menggunakan hasil
analisis Integrated Road Management System (IRMS). Keluaran yang diharapkan
dari perhitungan manfaat proyek adalah optimasi bagi pelaksanaan konstruksi yang
direkomendasikan dengan mempertimbangkan : besarnya biaya yang dibutuhkan,
manfaat yang diperoleh dengan adanya investasi tersebut, dan waktu konstruksi.
IRMS terdiri dari tiga komponen utama, yang tersebar dalam 11 modul yaitu:

E - 19
a. Sistem Manajemen Jalan Nasional dan Propinsi, yang terdiri atas:

- SMD (Sistem Masukan Data)

- Data Sectioning : pembentukan data SEGMENT dan agregasi SUBLINK serta


REPLINK (representative link)

- NAM (Network Analysis Module) : analisa ekonomi untuk jangka waktu 30


tahun berkaitan dengan penanganan pemeliharaan periodik dan
peningkatan jalan (betterment), sebagai masukan untuk PGM (network
screening mode) dan SEPM (strategic mode). Total penanganan maksimum
untuk PGM dan SEPM masing-masing adalah 13 dan 23 strategi (termasuk
reference atau do-minimum case).

- PGM (Programming Module) : penentuan program penanganan jalan 3


tahunan (sesuai agregasi panjang penanganan).

- ERM (Economic Review Module) : untuk mengevaluasi keuntungan ekonomi


dari proyek pemeliharaan dan peningkatan jalan, setelah tahapan desain
dan penyiapan lelang untuk pelaksanaan proyek.

- CIM (Construction Implementation Module) : untuk memonitor program


aktual dibandingkan perencanaan IRMS (menggunakan fasilitas KPE/Kotak
Pos Elektronik).

- BM (Budgeting Module)

- SAM (Statistical Analysis Module)

- EXIM (Export / Import Module)

b. Strategic Expenditure Planning Module (SEPM)

SEPM : mempunyai dua manfaat yaitu untuk strategic mode dan untuk optimasi
strategi penanganan (dari total 23 opsi strategi) yang memberikan keuntungan
ekonomi paling tinggi dengan kendala budget yang tersedia (menggunakan
pendekatan efficiency frontier yaitu incremental Net Present Value/Cost atau
INPV/IC).

E - 20
Selain mengoptimasi strategi penanganan jalan hasil keluaran dari IRMS, SEPM
juga dapat mengoptimasi output KRMS, URMS, dan BMS serta opsi
pembangunan jalan (hasil studi kelayakan untuk peningkatan kapasitas/CAPEX
dan jalan baru).

Selain direct benefit dari pengurangan biaya operasi kendaraan dan waktu
tempuh perjalanan (manfaat untuk pengguna jalan), model IIRMS juga dapat
memperhitungkan indirect benefit berdasarkan hasil analisa makro ekonomi
dengan menggunakan model computable general equilibrium (CGE) dan model
input-output (I-O).

c. Enhanced Highway Information Module (EHIM)

EHIM : dapat digabung dengan fasilitas URMS, KRMS, dan BMS untuk
penampilan jaringan jalan dan jembatan dalam peta GIS.

Dari berbagai modul yang tersedia dalam IRMS, beberapa pendekatan yang dapat
dilakukan untuk mengintegrasikannya dengan aspek makro pengembangan wilayah
(penataan ruang) adalah:

a. Database jaringan jalan nasional dan propinsi yang ada dalam IRMS digunakan
sebagai basis data fisik ruas jalan (termasuk data volume lalulintas yang
melewati ruas jalan tersebut).

b. Modul SMD, Data Sectioning, dan NAM digunakan untuk menentukan agregasi
SEGMENT/SUBLINK/RELINK dan parameter ekonomi (termasuk biaya pengguna
jalan dan agency cost) untuk berbagai strategi penanganan jalan.

c. Hasil keluaran modul pada tahap 2 di atas diekspor untuk dianalisis secara
eksternal. Secara eksternal, atribut data ruas jalan dilengkapi dengan data
makro pengembangan wilayah, bangkitan/tarikan perjalanan penumpang dan
barang, keterpaduan antar moda, dan sebagainya (sesuai variabel operasional

E - 21
yang tercantum dalam 7 kriteria program penanganan jalan antar
kota/kabupaten)

d. Hasil evaluasi keluaran modul NAM (dalam bentuk indikator ekonomi yaitu Net
Present Value/Cost atau NPV/C) digabung dengan kuantifikasi kriteria lain dan
selanjutnya dikalikan dengan bobot masing-masing kriteria. Hasilnya adalah total
skor masing-masing ruas jalan yang menjadi dasar optimasi (perangkingan)
program penanganan jalan.

e. Hasil optimasi secara eksternal tersebut dapat diintegrasikan kembali dengan


modul IIRMS yang lain seperti Programming dan Budgeting serta EHIM untuk
keperluan penampilan program penanganan jalan antar kota/kabupaten dalam
peta GIS.

E.6. KESELAMATAN JALAN

E.6.1 Tuntutan Jalan Berkeselamatan

Peran jalan yang sangat penting dalam mendukung semua kegiatan masyarakat
perlu dipelihara secara berkesinambungan agar berfungsi optimum sesuai dengan
standarnya. Standar jalan merupakan acuan perwujudan fisik prasarana transportasi
yang menggunakan jalan darat, ditetapkan dengan kriteria minimum sesuai dengan
sarana yang harus dilayaninya berikut karakteristiknya sehingga apapun suatu
perjalanan harus terlaksana secara aman, cepat, murah, dan nyaman.

Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting
terutama dalam mendukung kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya
serta lingkungan. Jalan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah
agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah,
membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan
dan keamanan nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka
mewujudkan sasaran pembangunan nasional.

E - 22
Dalam mewujudkan prasarana transportasi darat yang melalui jalan, harus terbentuk
wujud jalan yang menyebabkan pelaku perjalanan baik orang maupun barang,
selamat sampai di tujuan, dan dalam mendukung kegiatan ekonomi, sosial, budaya
dan lingkungan, perjalanan harus dapat dilakukan secepat mungkin dengan biaya
perjalanan yang adil sehingga dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Disamping itu, adalah hal yang ideal untuk pelaku perjalanan, selain dapat dilakukan
dengan selamat, cepat dan murah, juga nyaman, sehingga perjalanan tidak
melelahkan (Iskandar, 2009).

Tuntutan tersebut di atas mendasari pembangunan jaringan jalan yang sesuai


dengan sifat-sifat perjalanan, yaitu yang berjarak pendek dengan banyak variasi
tempat tujuan sampai dengan yang berjarak jauh dengan tempat tujuan yang lebih
menyatu. Karakter tersebut yang mendasari hirarki jalan, diturunkan menjadi konsep
klasifikasi jalan berdasarkan fungsinya. Setiap jalan dengan fungsi tertentu harus
dibangun dengan dimensi tertentu untuk mengakomodir jumlah dan beban
kendaraan yang akan melaluinya dengan kecepatan tertentu.

Bentuk dan dimensi optimum jalan inilah yang harus ditetapkan secara optimum
untuk mewujudkan jalan yang Aman yang menyebabkan perjalanan orang dan
barang selamat sampai ke tujuan. Bentuk dan dimensi ini menjadi standar minimum
jalan yang menjamin terwujudnya keselamatan transportasi darat.

E.6.2. Standar Jalan Menurut Fungsi

Prinsip keselamatan bagi pengguna jalan, bahwa seluruh kendaraan yang beroperasi
di jalan-jalan dapat memperoleh ruang yang cukup bagi kendaraan tersebut untuk
melakukan perjalanan dengan kecepatan yang ideal tanpa gangguan dalam lajurnya
maupun dari sampingnya, sesuai dengan tujuan perjalanan. Setiap perjalanan
kendaraan harus memiliki ruang yang jelas dengan batasan-batasan penggunaannya
agar tidak terjadi pergerakan yang tidak diharapkan.

E - 23
Mempertimbangkan sistem Pembinaan transportasi di Indonesia berada dibawah
beberapa institusi pemerintah, yaitu Departemen Pekerjaan Umum sebagai pembina
prasarana transportasi, Departemen Perhubungan sebagai pembina sarana
transportasi, Polri sebagai pembina utama Pengguna jalan pelaku perjalanan, dan
lain-lain, maka baik tanggung jawab maupun kewenangannya pun terpisah-pisah
tetapi dalam satu bijakan yang sama (Iskandar, 2009).

UU. 38/2004 beserta PP. No. 34/2006 tentang jalan dan UU. 22/2009 tentang
lalulintas dan angkutan jalan beserta PP. 43/1993 tentang prasarana transportasi,
mengatur klasifikasi jalan yang sesuai dengan karakter perjalanan dan karakter
kendaraan pengguna jalan ditinjau dari sisi dimensi kendaraan, fungsi jalan yang
direpresentasikan melalui kecepatan perjalanan kendaraan, dan berat kendaraannya.
Klasifikasi tersebut pada dasarnya menjadi ukuran standar minimum untuk
mewujudkan keselamatan transportasi darat yang menggunakan jalan, demikian
juga untuk perwujudan prasarana transportasi, mengacu kepada undangundang ini.
Standarisasi penggunaan jalan yang diatur sesuai dengan undang-undang dan
peraturan yang berlaku tersebut diringkaskan dalam Tabel E.1.

Tabel 3.1. Kelas Jalan berdasarkan fungsi dan penggunaannya


KELAS FUNGSI Dimensi Maksimum dan Muatan Sumbu
JALAN JALAN Terberat (MST) Kendaraan Bermotor yang
harus mampu ditampung
Lebar Panjang MST Tinggi (mm)
(mm) (mm) (Ton)
UU 22/2009, ps 19, dan PP 43/1993, ps 11 ayat PP 44/1993, ps
(1) RUU LLAJ/2006 ps 12 ayat (1) s.d (4) 115, ayat (1) huruf
b
I Arteri 2500 18000 > 10
tidak lebih tinggi

4200 kendaraan
dari 1,7 x lebar

II 2500 18000 < 10


IIIA Arteri atau 2500 18000 <8
Kolektor
IIIB Kolektor 2500 12000 <8
IIIC Lokal & 2100 9000 <8
Lingkungan
Catatan Dalam keadaan tertentu daya dukung jalan (MST) kelas IIIC dapat
diterapkan lebih rendah dari 8 ton
Panjang maksimum kendaraan penarik 12000, jika ditambah
gandengan atau tempelan maka panjang maksimum tidak boleh

E - 24
KELAS FUNGSI Dimensi Maksimum dan Muatan Sumbu
JALAN JALAN Terberat (MST) Kendaraan Bermotor yang
harus mampu ditampung
Lebar Panjang MST Tinggi (mm)
(mm) (mm) (Ton)
UU 22/2009, ps 19, dan PP 43/1993, ps 11 ayat PP 44/1993, ps
(1) RUU LLAJ/2006 ps 12 ayat (1) s.d (4) 115, ayat (1) huruf
b
lebih dari 18000 mm
Sumber: PP 43/1993,PP 44/1993, RUU LLAJ/2006

Tabel E.1 menyimpulkan ada 4 katagori kendaraan dengan “izin” beroperasi di jalan-
jalan umum, adalah sebagai berikut:
a. “Kendaraan kecil” dengan panjang dan lebar maksimum 9000x2100mm, dengan
Muatan Sumbu Terberat (MST)≤8ton, diizinkan menggunakan jalan pada semua
katagori fungsi jalan yaitu jalan lingkungan, jalan lokal, jalan kolektor, dan jalan
arteri.

b. “Kendaraan sedang” dengan panjang dan lebar maksimum 18000x 2500mm,


serta MST≤8ton, diizinkan terbatas hanya beroperasi di jalanjalan yang
berfungsi kolektor dan arteri; Kendaraan Sedang dilarang memasuki jalan lokal
dan jalan lingkungan.

c. “Kendaraan besar” dengan panjang dan lebar maksimum 18000x2500 mm, serta
MST≤10ton, diizinkan terbatas beroperasi di jalanjalan yang berfungsi arteri
saja; dan

d. “Kendaraan besar khusus” dengan panjang dan lebar maksimum


18000x2500mm, serta MST>10ton, diizinkan sangat terbatas hanya beroperasi
di jalanjalan yang berfungsi arteri dan kelas I (satu) saja. Baik kendaraan besar
maupun kendaraan besar khusus dilarang memasuki jalan lingkungan, jalan
lokal, dan jalan kolektor.

E - 25
Izin yang terbatas kepada kendaraan-kendaraan besar khusus, besar, dan sedang
tidak berarti memotong arus aliran angkutan karena dimensi atau beratnya yang
besar, tetapi lebih mengatur lalulintas kendaraan sebagai perwujudan efisiensi.
Untuk memfasilitasi perjalanan orang dan barang yang menggunakan kendaraan
“besar”, maka pada setiap perubahan “izin” jalan kendaraan, perlu dibuat terminal
sebagai tempat pergantian moda, atau lebih tepatnya katagori kendaraan. Misalnya,
dari perjalanan arterial, dengan MST> 10ton, jika akan memasuki jalan arterial
dengan MST≤10ton, maka diperlukan tempat untuk merubah muatan kendaraan
agar MST kendaraan tidak lebih dari 10ton. Dalam hal ini, untuk memenuhi
MST≤10ton dapat juga dilakukan dengan berganti kendaraan. Disinilah diperlukan
terminal untuk angkutan barang. Prinsip yang sama berlaku pula untuk angkutan
orang.

Ketentuan tersebut menjadi dasar diwujudkannya prasarana transportasi (Jalan)


yang aman. Jalan arteri diwujudkan dalam ukuran geometrik dan kekuatan
perkerasan yang sesuai dengan katagori kendaraan yang harus dilayaninya (lihat
Tabel 3.1). Demikian juga jalan kolektor, lokal, dan lingkungan, dimensi jalannya
dan kekuatan perkerasannya disesuikan dengan penggunaannya. Dengan demikian,
dalam penggunaan jalan sehari-hari, pelanggaran terhadap ketentuan tersebut akan
menimbulkan dampak inefisiensi berupa menurunnya kinerja pelayanan jalan.

Misalnya, kendaraan yang melakukan perjalanan arteri, dengan MST>10 ton, jika
memasuki jalan arterial dengan MST≤10ton, maka perlu menurunka n bebannya.
Seandainya beban kendaraan tidak disesuaikan, maka perkerasan jalan akan
mengalami “overloading” sehingga akan cepat rusak. Jalan yang rusak tidak dapat
dilalui kendaraan dengan kecepatan yang diharapkan, karena permukaan perkerasan
yang tidak rata. Jalan yang tidak rata cenderung menyebabkan perjalanan
kendaraan yang tidak stabil dan membahayakan. Contoh lain, jika kendaraan besar
arterial masuk ke jalan lokal yang berdimensi jalan lebih kecil dengan izin MST yang
lebih rendah, maka perkerasan jalan akan rusak lebih awal dan dimensi kendaraan
yang besar akan menghalangi pergerakan kendaraan lain yang sedang operasi di
jalan lokal. Dengan demikian kinerja pelayanan jalan menjadi menurun, terjadi

E - 26
banyak konflik antar kendaraan dan perkerasan lebih cepat rusak. Dengan demikian
“disiplin” penggunaan jalan harus ditegakkan secara konsisten agar keselamatan
transportasi jalan dapat terwujud.

Dari klasifikasi tersebut, karena pembatasannya ditetapkan berdasarkan dimensi dan


MST maksimum yang diizinkan, maka kendaraan-kendaraan kecil baik yang
bermotor maupun yang tidak bermotor, masih tersirat diizinkan menggunakan jalan
dalam semua kelas jalan. Dewasa ini, jenis kendaraan roda dua sepeda motor
sangat popular digunakan masyarakat sebagai moda transport untuk 2 orang.
Populasi sepeda motor sudah mencapai sekitar 10 kali kendaraan roda≥4,
sementara itu fasilitasnya masih bersatu dengan jalan bagi kendaraan roda≥4.
Sementara itu statistik kecelakaan sepeda motor menunjukkan keterlibatannya yang
signifikan, mencapai lebih dari 50% (Iskandar, 2007; 2009). Dengan demikian,
sepeda motor perlu fasilitas yang lebih memadai.

E.6.3. Standar Jalan Menurut Ketentuan Teknis

Jalan ditetapkan keberadaannya dalam suatu ruang yang disebut: (1) Ruang
Manfaat Jalan (Rumaja); (2) Ruang Milik Jalan (Rumija); dan (3) Ruang Pengawasan
Jalan (Ruwasja). Ruang-ruang tersebut dipersiapkan untuk menjamin kelancaran
dan keselamatan pengguna jalan disamping juga keutuhan konstruksi jalan. Dimensi
ruang yang minimum untuk menjamin keselamatan pengguna jalan diatur sesuai
dengan jenis prasarana dan fungsinya. Gambar E.4 menunjukkan ruang jalan
secara skematis, dan Tabel E.2 menjelaskan definisi ruang jalan termasuk ukuran
minimumnya.

E - 27
Sumber: Peraturan Pemerintah RI Nomor 34 tahun 2006

Gambar E.4. Ruang Jalan

Baik Rumaja, Rumija, maupun Ruwasja peruntukannya khusus diatur dalam


Undang-Undang. Rumaja dan Rumija mutlak diperuntukan hanya untuk keperluan
transportasi jalan yang menggunakan kendaraan. Sementara penggunaan Ruwasja
masih dapat dimanfaatkan untuk keperluan yang lain yang tidak mengganggu
kelancaran dan keselamatan pengguna jalan. Pelanggaran terhadap ketentuan
tersebut diancam dengan tindak pidana yang keras seperti tercantum dalam UU
38/2004 pasal 63-65.

Dalam hal ukuran lebar Badan Jalan, besarnya sangat tergantung kepada jumlah
lajur jalan sesuai fungsinya dan tipe prasarana yang digunakan. Tabel E.2
menunjukkan standar lebar badan jalan minimum.

E - 28
Tabel E.2. Ruang Jalan dan Ukuran Bagian-bagian Jalan
RUANG JALAN Peruntukan UKURAN
Badan Jalan Pelayanan Lalu lintsa dan angkutan (Arteri & Kolektor), Lebar Rumaja =
(dilengkapi jalan (termasuk median jalan, Lebar Badan jalan)
ruang perkerasan jalan, jalur pemisah, (Arteri & Kolektor, tinggi minimum =
bebas)+ bahu jalan, saluran tepi jalan, 5,00 m)
Trotoar, lereng, Ambang (Arteri & Kolektor, kedalaman
Pengaman, Timbunan & Galian, minimum = 1,50 m)
RUMAJA

gorong gorong, Perlengkapan jalan,


dan Bagian pelengkap
Saluran Tepi Penampungan dan Penyaluran Air Disesuaikan dengan lebar muka jalan
Jalan + agar badan jalan bebas air dan keadaan lingkungan dalam hal
tertentu, dapat dipakai sebagai saluran
lingkungan
Ambang Pengaman Konstruksi Tergantung situasi
Pengaman
RUMAJA + Rumaja, pelebaran jalan, LEBAR MINIMUM (m)
Sejalur penambahan jalur LL, pengaman. Jalan Jalan Jalan Jalan
RUMIJA

tertentu Bebas Raya Sedang Kecil


Hambatan
Jalur tertentu, dpaat untuk ruang 30 25 15 11
terbuka hijau (lansekap)

Ruang Pandangan bebas pengemudi, LEBAR MINIMUM (m)


tertentu pengaman konstruksi, dan Dalam system jalringan jalan
diluar RUMIJA pengaman fungsi jalan. PRIMER
Arteri Kolekto Lokal Lingku
r ngan
RUWASJA

15 10 7 5
Dalam system jarinagn jalan
SEKUNDER
15 5 3 2

Jembata 100 m kehilir dan 100 m


n kehulu

Kecepatan Lebar
Jenis
Rata- Badan
FUNGSI Angkutan Jarak Persimpangan Jumlah
rata/ Jalan
JALAN yang perjalanan sebidang Akses
Rencana Minimum
dilayani
(km/jam) (m)
Tinggi
Angkutan
ARTERI Jauh Vr min = 11,00
utama Diatur Dibatasi
60
KOLEKTOR Pengumpul Sedang Sedang 9,00

E - 29
atau Vr min =
pembagi 40
Rendah
Angkutan
LOKAL Vr min = 7,50
Setempat
20 Tidak
Dekat Tidak Diatur
Rendah Dibatasi
Angkutan
LINGKUNGAN Vr min = 3,50 - 6,50
Lingkungan
10-15
Sumber: Undang-undang Pemerintah RI Nomor 38/2004, Peraturan
Pemerintah RI Nomor 34/2006

Catatan: VRmin= Kecepatan rencana , km/jam

Sumber: Peraturan Pemerintah RI Nomor 34 tahun 2006

Sesuai dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat, volume lalulintas


yang membutuhkan perjalanan semangkin meningkat. Pada awal penggunaan suatu
jalan baru dimungkinkan penggunanya masih rendah, tetapi seiring dengan effek
ganda (multiflier effects) dari keberadaan jalan yang menghubungkan pusatpusat
kegiatan serta memicu pertumbuhan ekonomi, maka sejalan dengan waktu, volume
lalulintas dimungkinkan berkembang sehingga pada umumnya, untuk mengantisipasi
pertumbuhan ini, jalan didesain berdasarkan kondisi akhir lalulintas, sedangkan
pembangun jalannya dilakukan “tumbuh” bertahap (stages) sesuai dengan
perkembangan lalulintas. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan efisiensi, agar tidak
ditemukan jalan dengan fungsi dan kelas yang tinggi, dan dimensi yang besar tetapi
hanya digunakan oleh hanya sedikit kendaraankendaraan yang lewat. Jalan perlu
dibangun sesuai dengan kebutuhan lalulintasnya.

E - 30
Tabel E.3. Spesifikasi dan Lebar Badan Jalan Minimum Berdasarkan
Penyediaan Prasarana Jalan

KELAS JALAN Spesifikasi jalan


(Berdasarkan Diperuntuk- Pengenda- Persim- Jumlah Lebar Median Pagar
Penyediaan kan bagi lian akses pangan jalur Lajur
Prasarana lalu- Sebidang minimum atau
Jalan) lintas jalur
minimum
JALAN Umum, Terkontrol Tidak ada 2 lajur per 3,50 m median Pagar
BEBAS menerus Penuh arah per lajur Rumija
HAMBATAN berjarak jauh
JALAN RAYA Terbatas ada
2 lajur per 3,50 m median -
arah per lajur
JALAN Umum, jarak Tidak diatur ada 2 lajur jalur min - -
SEDANG sedang untuk 2 7,00 m
arah
JALAN KECIL Umum, Tidak diatur ada 2 lajur jalur min - -
setempat untuk 2 5,50 m
arah
Sumber: Undang-undang Pemerintah RI Nomor 38/ 2004, Peraturan
Pemerintah RI Nomor 34/2006

Untuk hal tersebut, bentuk akhir jalan sesuai dengan penyediaan prasarana yang
dituntut seperti ditunjukkan dalam Tabel 3.4 sebagai standar minimum yang harus
diwujudkan untuk menjamin terwujudnya keselamatan transportasi jalan.

Lebar badan jalan sesuai spesifikasi ini tergantung dari tipe jalan dan jumlah lajur
jalan yang dibutuhkan oleh jumlah lalulintas yang harus dilayaninya.

Semua standar teknis untuk keselamatan transportasi tersebut ditetapkan


aplikasinya dalam bentuk perencanaan geometrik jalan yang detail. Geometrik jalan
ditetapkan untuk mengatur terwujudnya spesifikasi yang diharapkan. Pada dasarnya,
perencanaan geometrik jalan di tetapkan oleh Kecepatan Rencana sesuai terrain di
mana jalan tersebut berada, dan volume lalulintasnya.

E - 31
E.6.4. Standar Kinerja Jalan

Bentuk prasarana jalan sebagaimana diuraikan dalam Tabel E.3, selanjutnya disusun
matrik klasifikasi jalan yang mengaitkan sistem jaringan jalan, klasifikasi fungsi jalan,
kelas jalan berdasarkan fungsi jalan, dan klasifikasi penyediaan prasarana, dimana
setiap kelas jalan tersebut diharapkan dapat memberikan tingkat kinerja sesuai
dengan yang diharapkan. Matriks tersebut ditunjukkan dalam Tabel E.4 dimana
kinerja jalan yang diharapkan (disebut Tingkat Pelayanan yang diinginkan) sesuai
dengan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No.14/2006 yang ditunjukkan
dalam Tabel 5 kolom akhir.

Matriks dalam Tabel 3.4 merupakan wujud standar jalan yang diharapkan oleh
Undang-undang yang menjamin keselamatan penggunanya dan memiliki tingkat
pelayanan jalan yang optimum.

Kriteria Tingkat Pelayanan tersebut secara kualitatif didefinisikan dalam Permenhub


14/2006 dan diringkaskan dalam Tabel 3.5 yang mengaitkan antara sifat arus lalu-
lintas, kecepatan, volume, kepadatan, hambatan internal dan kebebasan pengemudi.
Kriteria tersebut selanjutnya dijadikan dasar dalam penentuan kriteria tingkat
pelayanan yang diharapkan secara kualitatif.

E - 32
Tabel E.4.
Matriks Klasifikasi Jalan berdasarkan Fungsi, Kelas, dan Prasarana

KELAS JALAN (berdasarkan Tingkat


Dimensi & MST Kendaraan) Pelayana
SISTEM
n
JARING FUNGSI
minimum
AN JALAN III
I II IIIA IIIC yang
JALAN B
diharapk
an
Jalan Bebas
Hambatan (JBH)
ARTERI Jalan Raya B
Jalan
Sedang
JBH
PRIMER Jalan Raya
KOLEKTOR B
Jalan
Sedang
Jalan
LOKAL C
Kecil
LINGKUNGA Jalan
-
N Kecil
Jalan Bebas
B
Hambatan (JBH)
ARTERI Jalan Raya
Jalan C
Sedang
JBH
SEKUND
Jalan Raya
ER KOLEKTOR C
Jalan
Sedang
Jalan
LOKAL
Kecil
C
LINGKUNGA Jalan
N Kecil
Sumber: Undang-undang Pemerintah RI Nomor 38/ 2004, Peraturan
Pemerintah RI Nomor 34/2006

E - 33
Di dalam prakteknya pada jalan-jalan umum, kinerja jalan yang ada masih jauh dari
yang diharapkan bila dikaitkan dengan amanat undang-undang dan peraturan
pemerintah yang lain, kondisi ini semakin terlihat pada aktivitas jam-jam sibuk.
Banyak hal yang secara kasat mata dapat diidentifikasikan sebagai penyebab adanya
kondisi ini, misalnya: (1) perwujudan dan pemanfaatan Rumija yang masih belum
konsisten seperti bahu atau trotoar yang digunakan bukan untuk lalulintas (misalnya
dipakai pedagang kaki lima); (2) pemanfaatan jalan yang bercampur antara fungsi
arteri, kolektor, dan lokal (misal kendaraan yang operasinya lokal dan “stop and go”
beroperasi di jalan arterial); serta (3) akses ke jalan arteri yang tidak terkontrol
sama sekali sehingga arus lalulintas arterial terganggu kecepatannya.

Standar jalan yang lebih detail diuraikan secara lebih lengkap dalam kebijakan
perencanaan yang tertuang dalam Ketentuan Desain Geometrik Jalan. Acuan
perencanaan geometrik jalan yang pernah diterbitkan misalnya Tata Cara
Perencanaan Geometrik Jalan antar kota (Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997).

Salah satu ketentuan untuk jalan antar kota (jalan dalam sistem jaringan jalan
Primer) yang masih dalam taraf penyusunan adalah seperti terlihat pada Tabel 3.6.
Pada konsep ini, yang dijadikan sebagai ketentuan adalah fungsi jalan, medan, lebar
RUMIJA minimum, kecepatan rencana, lebar jalur minimum, lebar median minimum,
lebar bahu luar minimum, super elevasi maksimum dan landai maksimum.
Sedangkan kelas jalan yang dibedakan adalah kelas jalan bebas hambatan, jalan
raya, jalan sedang dan jalan kecil.

E - 34
Tabel 3.5. Kriteria Tingkat Pelayanan Lalulintas
Sifat
TINGKA Kebebasan
Arus Kecepa Kepada Hambata
T PELA- Volume pengemud
Lalu tan tan n internal
YANAN i
lintas
Bebas
Tidak ada memilih
Arus Sangat
A Rendah Tinggi hambatn kecepatan
bebas rendah
internal dan lajur
yang dipakai
Masih
Tinggi
memiliki
dan Ada tetapi
kebebasan
dibatasi belum
memilih
B Stabil Sedang oleh Rendah mempenga
keceptan
volume ruhi
dan
lalu kecepatan
lajuryang
lintas
dipakai
Sedang Sedang,
Terbatas
dan hambat
Ada dan unutk
dikendal n
mulai memilih
ikan internal
C Stabil Tinggi mempenga kecepatan,
oleh lalu
ruhi pindah lajur,
volume lintas
kecepatan dan atau
Lalu meningk
mendahului
lintas at
Sedang,
sangat Sedang,
dipenga hambat Sangat
ruhi n Ada dan terbatas
Mendekat
oleh internal mempenga untuk
D i tidak Tinggi
perubah lalu ruhi memilih
Stabil
an lintas kecepatan kecepatan
volume meningk dan lajur
lalu at
lintas
Tidak
Rendah Tidak ada
Stabil,
dan kebebasan
arus Ada dan
terjadi pengemudi
mulai Mendeka tinggi serta
kemacet dalam
E tersendat ti Tinggi mempenga
an memilih
dan kapasitas ruhi
dalam kecepatan
terjadi kecepatan
durasi dan lajur
antrian
pendek jalan
pendek

E - 35
Sifat
TINGKA Kebebasan
Arus Kecepa Kepada Hambata
T PELA- Volume pengemud
Lalu tan tan n internal
YANAN i
lintas
Sangat
Tidak
rendah Tidak ada
Stabil, Ada dan
dan kebebasan
arus sangat
terjadi pengemudi
mulai tinggi,sang
kemacet sangat dalam
F tersendat Rendah at
an tinggi memilih
dan mempenga
dalam keceptan
terjadi ruhi
durasi dan lajur
antrian kecepatan
yang jalan
panjang
lama
Sumber: Permenhub 14/2006

Tabel 3.6. Ketentuan Desain Geometrik Jalan antar Kota


Jalan
Kelas Jalan Jalan Bebas Hambatan Jalan Raya Jalan Kecil
Sedang
Lokal &
Fungsi Jalan Arteri dan Kolektor Arteri dan Kolektor Kolektor
Lingkungan
Medan D B G D B G D B G D B G
Lebar
RUMIJA
30 25 15 11
minimum
(m)
Kecepatan
100- 60- 40- 20- 20- 20-
Rencana 80-100 80 80-100 60-80 40-60 40
120 80 60 40 40 40
(km/jam)
Lebar Jalur
2 2 2 2 2 2
minimum 2 X 3,5 5,5
(2X3,6) (2X3,6) (2X3,5) (2X3,6) (2X3,5) (2X3,5)
(m)
Lebar
median
6 4,5 3 6 4 2 Tanpa median Tanpa median
minimum
(m)
Lebar bahu
luar
3,5 3 2 3,5 3 2 2 2
minimum
(m)
Superelevasi Tanpa
8% 10% 10%
maksimum superelevasi
Landai
6% 7% 8% 6% 7% 8% 6% 7% 8% 8% 9% 10%
maksimum
Catatan: D:Datar; B:Perbukitan; G:Pegunungan.

Sumber: Iskandar, Balitbang Dep. PU (2009)

E - 36
Di Indonesia, standar geometrik jalan masih perlu dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan. Banyak perencanaan geometrik jalan yang mengacu kepada standar dari
Negara lain, yang paling umum adalah AASHTO (2001). Salah satu hal yang nyata
misalnya “concrete barrier” sebagai alat pemisah jalur lalulintas di jalan Tol
Cipularang memiliki tinggi yang berbeda. Hal ini menunjukkan penggunaan standar
yang berbeda untuk suatu ruas jalan yang sama.

Satu hal yang masih perlu ditetapkan adalah keberadaan sepeda motor yang fasilitas
jalannya masih bergabung dengan kendaraan roda≥4. Catatan kecelakaan
menunjukkan bahwa keterlibatan sepeda motor dalam kecelakaan di Indonesia
sudah mencapai proporsi yang memprihatinkan, mencapai sekitar 60-81% dari
seluruh kecelakaan (Iskandar, 2007). Untuk itu, melengkapi jalan-jalan dengan lajur
khusus sepeda motor (LKSM) merupakan upaya yang perlu diprioritaskan dalam
mengurangi angka kejadian kecelakaan dimasa yang akan datang. Prioritas
melengkapi LKSM pada tahap awal perlu diletakkan pada jalan arterial untuk
menjaga kinerja jalan arterial tetap pada fungsinya (Iskandar, 2009).

Standar Jalan yang menjamin keselamatan bagi para penggunannya secara garis
besar telah diamanatkan oleh Undang-undang No.38/2004 tentang Jalan, Peraturan
Pemerintah No.34/2006 tentang Jalan, Undang-undang No. 22/2009 tentang
Lalulintas dan Angkutan Jalan, beserta peraturan-peraturan pemerintah yang
melengkapinya. Amanat tersebut diungkapkan dalam uraian dimuka yang
merupakan standar minimum jalan agar dapat terwujudnya lalulintas yang menjamin
keselamatan penggunanya ditinjau dari sisi prasarana jalan. Kebijakan lebih detail
dari standar minimum tersebut diuraikan dalam standar geometrik jalan yang masih
banyak mengadopsi dari standar luar, misalnya AASHTO (2001). Hal yang masih
belum diatur lebih khusus dalam sistem jaringan jalan di Indonesia adalah fasilitas
khusus untuk sepeda motor (LKSM).

E - 37
E.6.5. Analisis Perkerasan Jalan

Analisis perkerasan jalan dipengaruhi oleh volume lalulintas yang menggunakannya.


Apabila terjadi perubahan volume lalulintas, secara otomatis perlu dilakukan update
perhitungan analisis tebal perkerasan, dan apabila tidak ada perubahan volume
lalulintas dari hasil studi awal maka tidak diperlukan perhitungan ulang. Hasil analisis
perkerasan jalan adalah tebal perkerasan jalan untuk setiap lapis strukturnya.

Perkerasan jalan berfungsi untuk menerima dan menyebarkan beban lalulintas ke


tanah dasar secara ekonomis. Jenis konstruksi perkerasan jalan meliputi perkerasan
lentur dan pekerasan kaku. Penentuan jenis konstruksi disesuaikan dengan kondisi
eksisting dan memperhatikan aspek ekonomis, dan merupakan konstruksi terbaik
yang mungkin dilaksanakan, dan tidak perlu merupakan konstruksi terbaik secara
teknis.

Perancangan kekuatan konstruksi perkerasan jalan terutama dipengaruhi oleh beban


lalulintas yang melewatinya selama umur rencana, daya dukung tanah dasar, serta
kondisi lingkungan di sekitarnya. Untuk jenis perkerasan lentur, beban lalulintas
pada lajur yang dibebani paling besar menentukan kekuatan konstruksi dari
keseluruhan konstruksi perkerasan. Berat gandar yang bervariasi dari lalulintas
dikonversikan ke suatu beban gandar standar sebesar 8,16 ton/equivalent standard
axle load (ESAL). Dengan demikian umur konstruksi perkerasan sebenarnya adalah
dalam kemampuan melewatkan sejumlah total (jutaan) ESAL selama umur rencana.
Untuk perhitungan perkerasan lentur menggunakan metoda analisis komponen,
yang mengacu pada pedoman perencanaan tebal perkerasan lentur Nomor Pt.T-01-
2002-B.

E - 38
Pembangunan bertahap dari konstruksi perkerasan dapat merupakan alternatif yang
ekonomis. Suatu pembangunan bertahap akan menyebabkan elevasi permukaan
jalan meninggi dan hal ini perlu diantisipasi sehubungan dengan keterkaitannya
dengan prasarana sekelilingnya dan berubahnya ruang bebas di atas permukaan
jalan.

Analisis perkerasan jalan mengacu pada buku Petunjuk Perencanaan Tebal


Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan Metode Analisis Komponen Tahun 1987.
Perencanaan perkerasan jalan dapat terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu:

a. Pembuatan jalan baru (full depth pavement)

b. Peningkatan jalan lama, hal ini terjadi apabila sebagian ruas jalan melalui jalan
lama

Parameter-parameter yang diperlukan untuk analisis perkerasan jalan meliputi:


a. Lalulintas

Data lalulintas yang digunakan adalah:

1) Lalulintas harian rata-rata (LHR) saat ini

2) Komposisi/jenis kendaraan

3) Pertumbuhan lalulintas per tahun

4) Angka ekuivalen beban sumbu kendaraan

E - 39
Dengan mengetahui data tersebut di atas dapat dihitung lintas ekuivalen tengah
dengan menggunakan rumus berikut ini:
n
LEP   LHR  C  E
1

n
LEA   LHR  (1 i ) n  C  E
1

LET  0.5( LEP  LEA)

Dengan:

LHR = lalulintas harian rata-rata

LEP = lintas ekivalen permukaan

LEA = lintas ekivalen akhir

LET = lintas ekivalen tengah

n = umur rencana (tahun)

i = pertumbuhan lalu lintas

Lintas ekuivalen Rencana (LER) dihitung dengan rumus:

LER = LET x FP

FP = UR/10

b. Daya Dukung Tanah Dasar (DDT) dan CBR

California Bearing Ratio (CBR) ditentukan dengan alat Dynamic Cone


Penetromter (DCP) serta data sekunder yang sudah ada. Dari data CBR tersebut
dihitung CBR rencana yang mewakili angka persentase 90% nilai CBR yang ada.
Dengan menggunakan grafik korelasi DDT dan CBR, maka nilai DDT dapat
ditentukan.

c. Faktor Regional

Faktor Regional ditentukan berdasarkan kelandaian, persen kendaraan


berat dan iklim.

d. Indeks Permukaan

E - 40
Indeks permukaan ini menyatakan nilai dari kerataan/kehalusan serta
kekakuan permukaan yang berkaitan dengan tingkat pelayanan.

e. Koefisien Kekuatan Relatif

Koefisien kekuatan relatif (a) untuk masing-masing lapisan perkerasan


ditentukan berdasarkan korelasi sebagai berikut:

1) Lapis permukaan, yang dibuat dari campuran beton aspal berdasarkan nilai
uji Marshall.

2) Lapis pondasi atas dan bawah

a) Apabila digunakan bahan stabilitasi dengan semen atau kapur, maka


dihitung berdasarkan kuat tekan.

b) Apabila digunakan batu pecah atau sirtu maka dihitung berdasarkan nilai
CBR.

f. Batas Minimum Tebal Lapis Perkerasan

Tebal minimum lapis perkerasan tergantung dari nilai indeks tebal


perkerasan (ITP) dan bahan lapis perkerasan.

g. Perencanaan Tebal Perkerasan

E.6.6 Analisa Lingkungan


Dalam pelaksanaan review analisis lingkungan akan dikaji kembali kelayakan
lingkungan, terhadap setiap rute rencana jalan alternatif.
a. Penilaian kelayakan teknis, ekonomi dan lingkungan merupakan
analisis dari informasi yang didapat dari berbagai sumber seperti:
1) Bappeda Provinsi/Kota/Kabupaten dalam kaitannya dengan rencana
pengembangan wilayah, serta rencana pembangunan jalan lain di wilayah
tersebut.

2) Dinas Kehutanan Provinsi/Kota/Kabupaten, apabila rute jalan yang


direncanakan melalui kawasan lindung atau berdekatan dengan kawasan
tersebut.

3) Aparat desa/kelurahan dan kecamatan di mana rute jalan tersebut berada.

E - 41
4) Tokoh dan pemuka masyarakat, serta pemimpin informal yang sering
menjadi panutan bagi masyarakat setempat.

5) Masyarakat umum yang berada di sekitar rute jalan yang di studi.

b. Bila rute rencana jalan di lokasi kawasan lindung, lokasi situs


purbakala dan benda cagar budaya, serta melalui pemukiman
masyarakat adat, maka hal tersebut perlu disampaikan kepada instansi
yang terkait, untuk mendapatkan masukan-masukan khusus.
c. Bila dalam penggunaan kawasan lindung tersebut dipersyaratkan
adanya pengkajian lingkungan yang mendalam, maka perlu dilakukan
survei lapangan yang lebih teliti untuk mengetahui kondisi flora dan
fauna, kondisi fisik permukaan tanah dan kondisi sosial termasuk
keberadaan situs purbakala dan benda cagar budaya secara rinci,
sehingga akan dapat diketahui dengan jelas dampak yang akan timbul.
d. Informasi studi literatur dapat diperoleh dari berbagai sumber, seperti:

1) Foto udara pada umumnya tersedia di Departemen Pekerjaan Umum,


Departemen Transmigrasi, atau BAKOSURTANAL, yang antara lain memuat
informasi tentang:

- Sungai-sungai dan aliran anak sungai

- Penyebaran dari tumbuh-tumbuhan

- Keberadaan bangunan, jalan dan prasarana umum lainnya

- Kondisi topografi

2) Peta, termasuk peta topografi, rencana penggunaan lahan, rencana umum


tata ruang, peruntukan lahan, peta rencana penatagunaan hutan
kesepakatan, serta peta persebaran benda cagar budaya yang ada di lokasi
tersebut, yang dapat diperoleh dari Dinas PU, Dinas Sumber Daya Air, Dinas
Kehutanan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, dan sebagainya.

3) Laporan studi kegiatan lain yang berada di daerah yang sama, dapat
menjadi sumber informasi.

E - 42
4) Peraturan perundangan, terutama strategi pemerintah dalam menetapkan
kawasan lindung, penetapan situs dan benda cagar budaya, maupun
penetapan tata ruang.

5) Informasi dari instansi terkait lain tentang kondisi wilayah setempat, seperti
keberadaan masyarakat adat dari Dinas Sosial.

e. Melakukan survai lapangan yang lebih rinci untuk:


1) Mengkonfirmasikan data sekunder yang diperoleh, serta memastikan
keberadaan kawasan lindung, cagar budaya, keberadaan jenis-jenis flora
dan fauna yang dilindungi, serta keberadaan masyarakat adat.

2) Mengkoordinasikan rencana jalan dengan instansi terkait di daerah.

3) Mengkonsultasikan lingkup survai untuk studi kelayakan, termasuk AMDAL,


kepada intansi terkait.

4) Menyiapkan laporan hasil survai lapangan, termasuk dampak terhadap


lingkungan dan sosial atas penentuan rute terpilih.

f. Dalam studi kelayakan, pertimbangan lingkungan dan sosial dalam


pelestarian kawasan sensitif, agar mencakup:
1) Peta yang menunjukkan semua lokasi konservasi dengan daerah
penyangganya, termasuk peta sebaran benda cagar budaya.

2) Gambaran nilai konservasi lahan pada wilayah studi dan penilaian


pentingnya dampak ekologi untuk diperhitungkan dalam rencana
penanganannya.

3) Informasi tentang dampak, apakah merupakan dampak sementara atau


menerus, serta kepentingan dampaknya apakah bersifat local, regional, atau
nasional.

4) Laporan studi kelayakan hendaknya dapat mencerminkan layak atau


tidaknya rencana rute jalan terpilih ditinjau dari segi kelestarian sumber
daya alam.

g. Bila alinyemen jalan terpilih melalui kawasan sensitif, maka


persyaratan dari pengendalian kawasan sensitif diperketat, seperti:

E - 43
1) Harus diterbitkan Perda yang mengatur larangan untuk mendirikan
bangunan dan adanya aktifitas lain yang tidak sesuai dengan fungsi
kawasan.

2) Melakukan pengendalian pemanfaatan ruang, sebagaimana dimaksud dalam


Undang-undang No. 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang.

3) Melakukan survei lanjutan dengan intansi terkait, termasuk keberadaan situs


purbakala dan benda cagar budaya, dan keberadaan masyarakat adat, serta
menyusun rencana pengelolaan dampak yang timbul.

Gambaran siklus pelaksanaan AMDAL untuk jalan dapat dilihat dalam Gambar E.5.

Sumber: Subdit. Teknik Lingkungan, Direktorat Bina Teknik, Ditjen. Bina Marga,

Departemen PU, 2006

Gambar E.5. Siklus Pelaksanaan AMDAL pada Studi Kelayakan

E - 44
Pada tahap studi kelayakan output dari kajian lingkungan adalah:
a. Data primer mengenai aspek-aspek lingkungan, seperti yang teridentifikasi
dalam pra studi kelayakan;

b. Formulasi keperluan penyusunan AMDAL, UPL-UKL;

c. KAK untuk studi aspek lingkungan;

d. Estimasi biaya untuk keperluan studi aspek lingkungan;

e. Kajian peran jalan kaitannya dengan tata guna lahan/tanah di sekitarnya.

Review analisis lingkungan yang dilakukan meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

a. Lingkungan biologi

1) Pengaruh terhadap flora

Rencana pembangunan prasarana pada suatu lokasi harus


memperhatikan kemungkinan adanya vegetasi asli dan vegetasi langka
yang dilindungi pada rencana lokasi pembangunan ataupun wilayah
pengaruhnya. Keberadaan vegetasi-vegetasi semacam ini dapat menjadi
kendala bagi kelanjutan pembangunan apabila diperkirakan akan timbul
gangguan dari dampak pembangunan terhadap kelangsungan keberadaan
vegetasi-vegetasi tersebut dan tidak tersedianya alternatif untuk
mempertahankan keberadaan vegetasi tersebut. Informasi mengenai
keberadaan vegetasi asli atau langka tersebut biasanya tersedia pada Balai
Konservasi Sumber Daya Alam terdekat atau Dinas Kehutanan.

Selain keberadaan vegetasi langka dan vegetasi asli, rencana


pembangunan prasarana harus memperhitungkan dampak lain terhadap
vegetasi, seperti terjadinya perubahan kerapatan dan keragaman vegetasi.
Konsultasi dengan ahli biologi dan konservasi kehutanan sangat disarankan
apabila dampak ini diperkirakan akan terjadi.

2) Pengaruh terhadap fauna

Pembangunan prasarana baru akan berpengaruh terhadap fauna


yang ada di sekitar lokasi pembangunan. Pelaksanaan pembangunan
maupun operasional infrastruktur dapat mengganggu habitat fauna tertentu
karena jalan dapat menjadi pembatas pergerakan binatang sehingga

E - 45
wilayah jelajah binatang tertentu berkurang. Selain itu, jalan dapat
membahayakan migrasi beberapa hewan melata ataupun burung-burung
yang mungkin akan mempengaruhi populasi hewan-hewan tersebut.
Pemrakarsa kegiatan harus melakukan identifikasi secara akurat terhadap
keberadaan dan perilaku hewan tersebut sehingga dapat memberikan
rekomendasi bagi alternatif solusi yang diusulkan dalam pembangunan
prasarana transportasi.

b. Lingkungan fisika – kimia

1) Tanah

Penelitian terhadap tanah yang meliputi kesuburan tanah dan tata


guna lahan/tanah, juga harus dilakukan dalam rencana pembangunan
prasarana baru. Hal ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana
perubahan struktur tanah terhadap pemanfaatan lahan/tanah di sekitar
lokasi pembangunan tersebut.

2) Kualitas air

Air merupakan komponen lingkungan yang sangat penting bagi


kehidupan. Adanya perubahan terhadap kualitas air akan menimbulkan
dampak negatif terhadap habitat dan lingkungan disekitarnya. Rencana
pembangunan prasarana baru harus memperhatikan kualitas air yang ada
di sekitar lokasi pembangunan, baik air permukaan maupun air tanah,
karena akan berpengaruh terhadap konstruksi dari jalan yang akan
dibangun tersebut.

3) Polusi udara

Penilaian penetapan prakiraan dampak penting dan nilai ambang


kualitas udara mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor
45/10/1997 mengenai standar polusi udara dan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 35/10/1993 mengenai buangan dari kendaraan
bermotor, serta Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 tentang baku
mutu udara.

E - 46
4) Kebisingan dan vibrasi

Penilaian penetapan prakiraan dampak penting dan nilai ambang


kebisingan mengacu pada pedoman teknis prediksi kebisingan akibat lalu
lintas Nomor Pd. T-10-2004-B dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor 48/11/1996 mengenai bunyi di lingkungan. Sedangkan untuk
penilaian prakiraan dampak penting dan nilai ambang getaran/vibrasi
mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 49/11/1996
mengenai getaran.

c. Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya

1) Kependudukan

Penilaian penetapan prakiraan dampak penting kependudukan/sosial


mengacu pada pedoman teknis metode identifikasi dan analisis komponen
sosial pada pekerjaan konstruksi jalan, yang diterbitkan oleh Departemen
Pekerjaan Umum dan Keputusan Ketua Bapedal Nomor 229/11/1996
mengenai pedoman teknis kajian aspek sosial dalam penyusunan AMDAL;

2) Perubahan mata pencaharian ;

3) Pengaruh terhadap kekerabatan ;

4) Ganti kerugian dalam pengadaan tanah ;

5) Keamanan;

6) Kesehatan masyarakat;

7) Pendidikan;

8) Cagar budaya dan peninggalan sejarah;

9) Estetika visual;

10) Perubahan pola interaksi.

E - 47
E.6.7. Teknis penanganan

Untuk melakukan langkah simulasi dalam menentukan Pemetaan Jaringan Jalan


(GIS) Dalam Kabupaten Empat Lawang dan prioritas penanganan diperlukan
suatu langkah yang berfungsi sebagai alur kerja sebelum dilakukan suatu
perencanaan. Indikasi penanganan teknis yang akan digunakan sebagai langkah
simulasi dan data yang diperlukan dapat ditunjukkan pada Gambar E.6. dalam
langkah kerja dibagi menjadi 2 data inti, yaitu observasi lapangan dan pemodelan
transportasi.

Sumber: Mulyono (2009)


Gambar E.6. Kerangka berpikir indikasi teknis dan data masukan

E - 48
E.8. METODOLOGI PELAKSANAAN
Dalam melaksanakan pekerjaannya konsultan mengacu kepada semua ketentuan
standar operasional, peraturan dan ketentuan yang berlaku khususnya juknis terkait,
yang dikeluarkan Departemen Pekerjaan Umum serta mengunakan formulasi ilmiah,
pendekatan akademik dan pengalaman teknis. Survey lapangan juga harus
dilengkapi dokumentasi kegiatan dan diharapkan dapat mengikut sertakan instansi
terkait.

A. Persiapan
Pada tahap ini Konsultan melakukan beberapa kegiatan dalam rangka
persiapan pelaksanaan kegiatan selanjutnya. Adapun kegiatan-kegiatan yang
dilakukan pada tahap ini yaitu :

1. Mobilisasi personil dan tenaga penunjang lainnya sesuai dengan


kebutuhan. Selanjutnya Tim Pelaksana pekerjaan mempelajari hal-hal
yang berkaitan dengan Peta Prioritas Pembangunan Jalan Dalam
Kabupaten Empat Lawang sehingga dapat diketahui langkah-langkah apa
saja yang harus dilakukan dalam menyelesaikan pekerjaan ini.
2. Setelah data dan informasi lapangan diperoleh , maka Tim menyusun
strategi untuk melakukan survei lapangan, antara lain mengenai :
- Menyiapkan Perizinan Survei
- Menetapkan titik-titik lokasi survei
- Jumlah tenaga suveyor yang diperlukan
- Peralatan survei
- Dan lain-lain.
3. Indetifikasi Dokumen Berkaitan
Literatur, baik dalam bentuk buku-buku referensi, laporan-laporan maupun
data awal lainnya dikaji untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik
mengenai bidang yang terkait dalam pelaksanaan studi yang menyangkut
SIJJD, perangkat keras dan lunak SIJJ.

E - 49
4. Tinjauan Metodologi
Penyesuaian dan penyusunan detail rencana kerja serta pembentukan dan
optimasi organisasi kerja yang akan melakukan studi ini.

B. Inventarisasi dan Pengumpulan Data


Kegiatan untuk survei lapangan dilakukan dengan melibatkan Tim Teknis dari
PU Bina Marga dan Pengairan Kaupaten Muara Enim. Survei lapangan
dilakukan serentak bersamaam guna efisiensi waktu pelaksanaan. Survei
dibagi dalam 2 jenis yaitu :
1. Survei Instansional yaitu ; kegiatan untuk mendapatkan data/ informasi
antara lain mengenai :
- Peta kota terakhir yang menggambarkan jaringan jalan kota dan IKK.
- Kodefikasi.
- Rencana Umum Tata Ruang.
- Tata Guna Lahan (Land Use).
- Data Statistik.
- Hal-hal yang berkaitan dengan Jalan dan Transportasi kemampuan
daerah dalam Pendanaan pembangunan.
- Harga satuan guna menghitung pembanguanan, peningkatan dan
pemeliharaan jalan.
2. Survei non Institusional yaitu ; survei yang dilakukan oleh Tim secara
langsung dengan dibantu oleh tenaga-tenaga surveyor. Adapun survei
yang dilakukan antara lain : Inventarisai Jaringan Jalan, kondisi jalan,
kondisi lalulintas dimana tergambarkan mengenai volume dan komposisi
lalulintas, waktu dan kepadatan lalulintas, kecepatan kendaraan, aspek
Sosial, Budaya, Ekonomi, Lingkungan dan Teknis.

E - 50
Pada Pemetaan Jaringan Jalan (GIS) Dalam Kabupaten Empat Lawang
ditentukan beberapa indikator kinerja yang sifatnya telah menjadi kesatuan
yang tergambarkan dalam karakteristik jaringan jalan . indikator tersebut
adalah :

- Panjang jalan terklasifikasi


- Bahan lalulintas
- Kondisi jaringan jalan
- Kebutuhan Dana Pemeliharaan jaringan jalan
-
1. Penyempurnaan Peta
Pemetaan Jaringan Jalan (GIS) Dalam Kabupaten Empat Lawang
dalam penyajiannya memerlukan peta digital yang akurat. Dari peta
Bakorsutanal/ BPN yang didapat, dilakukan pengecekan dan
penyempurnaan kembali di lapangan, terhadap ruas-ruas jalan yang
belum tergambar di peta dilakukan survei dengan menggunakan alat
Global Position System (GPS).

2. Pemberian Kodefikasi
Proses Kodefikasi merupak kegiatan awal dari implementasi Pemetaan
Jaringan Jalan (GIS) Dalam Kabupaten Empat Lawang. Pekerjaan ini
dilakukan di kantor. Untuk kodefikasi ini digunakan data sekunder.
Kodefikasi merupakan suatu acuan yang mendasar dari bank data,
meliputi :
a. Kode Propinsi
b. Kode Kabupaten
c. Kode Kota
d. Kode Kecamatan
e. Kode Kelurahan/ Desa
f. Kode Grid
g. Kode Jalan

E - 51
h. Kode Simpul
i. Kode Ruas Jalan
Kodefikasi ini nomer a sampai dengan e dapat diperoleh dari Biro Pusat
Statistik atau pemda setempat. Untuk kodefikasi nomer f sampai dengan i
dilakukan oleh Tim Pelaksana di Kantor.

Kegiatan utama proses kodefikasi jaringan jalan yaitu :


a. Data yang diperlukan mencakup data induk jaringan jalan kota, jalan
kelurahan, jalan desa, peta dasar, kode propinsi, kode kabupaten dan
kota, klasifikasi jalan kondisi real lapangan mengenai jaringan jalan
dan data survei.
b. Pengkodean jaringan jalan kota mencakup Kode Grid pada peta dasar
Kota, Kecamatan, Kelurahan, Jalan, Simpul dan Ruas Jalan.

Kodefikasi Propinsi, merupakan kode induk dalam Pemetaan Jaringan


Jalan (GIS) Dalam Kabupaten Empat Lawang dan digunakan secala
langsung sebagai acuan untuk Kode Kabupaten di dalamnya. Demikian
juga pengkodeaan adminsitratif (misal Kabupaten) akan merupakan
acuan untuk kode administratif di dalamnya (misal Kecamatan, dll). Kode
Kota selalu dikaitkan dengan kode jaringan jalan didalamnya.

Pengkodean Grid pada peta Kota dilakukan dengan cara :


- Tantukan titik pusat kota .
- Buat Grid ukuran 1 x 1 km sesuai skala peta dengan memposisikan
kota grid terletak pada titik pusat kota.
- Beri nomor masing-masing grid sebanyak 3 digit dimulai 001 sampai
999. Penomoran dimulai dari kota grid sebelah kiri atas titik pusat
kota mengikuti arah jarum jam, contoh :
021 022 023 024 025
020 007 008 009 010
019 006 001 002 011
018 005 004 003 012

E - 52
Kode jalan dilakukan dengan cara :
- Siapkan peta fungsi jalan dengan telah memberi warna jalan sesuai
fungsinya :
 Arteri Primer : Merah
 Kolektor Primer : Kuning
 Arteri Sekunder : Biru
 Kolektor Sekunder : Coklat
 Lokal : Hitam
- Titik awal jalan dimulai dari pusat kota ke arah luar kota atau dari grid
terdekat.
- Bila dalam satu grid terdapat jalan dengan fungsi sama, maka yang
diberi kode terlebih dahulu adalah jalan yang terdekat titik pusat kota.
Kode sampul dilakukan dengan cara memberikan penomeran di peta kota
pada :
- Setiap persimpangan/ pertemuan jalan
- Perubahan tipe jalan ( perubahan jumlah jalur)
- Perubahan arus lalulintas kelokan tajam 900
3. Survei Inventarisasi Jalan
Survei ini bertujuan untuk mendata geometrik jalan, guna mendafatkan
gambaran tentang geometrik jalan secara detail. Pekerjaan utama yang
dilakukan yaitu :
a. Konfirmasi ruas Jalan (nama jalan, panjang jalan, dll)
b. Potongan memanjang dan melintang jalan.
Inventarisasi ini dilakukan terhadap seluruh ruas jalan Arteri Pimer,
Kolektor Primer dan Arteri Sekunder sebagai data Primer dan data
Sekunder untuk ruas Jalan Kolektor Sekunder dan Lokal Sekunder. Data
sekunder untuk kegiatan ini bisa di singkronkan dengan kegiatan TPJK
(Tim Perencana Jalan dan Jembatan Kabupaten) yang dilakukan di Dinas
Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Empat Lawang.

E - 53
a. Survei Konfirmasi Ruas Jalan
Survei konfirmasi ruas jalan dilakukan dengan mengukur panjang ruas
jalan dan mendata yang memotong, disamping tipe persimpangan dan
jenis kontrolnya. Data lebar jalan jika memungkinkan (khusunya pada
saat pembaruan data) juga dapat dicatat. Survei ini dapat dilakukan
dengan 2 cara :
1. Dengan menggunakan Wheell rollmeter sambil berjalan ; dengan
cara data panjang jalan dapat diukur dengan lebih teliti.
2. Dengan menggunakan bacaan pada spedometer dari kendaraan ,
dengan cara ini dapat dilakukan dengan cepat, tetapi panjang ruas
jalan yang diukur kurang teliti (kelipatan 100m)

b. Potongan Memanjang dan Melintang Jalan


Pengukuran dimensi potongan melintang jalan dilakukan dengan
menggunakan pita meter. Sedangkan jarak memanjangdiukur pada
bacaan odometer. Jarak memanjang tersebut juga diukur secara lebih
teliti , misalnya mengacu pada desain atau dari hasil pengukuran
dengan menggunakan Wheell rollmeter dan sebagainya.

4. Survei Kondisi Jalan


Survei kondisi jalan dilakukan guna mengamati nilai kondisi jalan secara
umum, kerusakan, keretakan dan kekeraasan jalan. Survei nilai dapat
dilakukan dengan cara :
- Visual
- Benkelmann Beam
- Roughness (ketidakrataan jalan)
Survei kondisi jalan dilakukan untuk setiap 50 meter atau 250 meter
panjang jalan pada lajur jalan yang mewakili masing-masing jalur jalan.

E - 54
Survei kerusakan jalan secara visual dilakukan untuk mendata setiap
kerusakan jalan dan fasilitas penunjang jalan secara visual. Pemeriksaan
visual jalan dilakukan secara menerus perlajur jalan. Pendataan dilakukan
dengan mendata jenis kerusakan, tingkat kerusakan, dimensi kerusakan
dan lokasi kerusakan yang dinyatakan dalam STA awal sampai STA akhir.
a. Survei Ketidakrataan Permukaan Jalan
Adapun data-data yang perlu dicatat waktu dalam (detik), jarak (feet)
dan perhitungan Intergator. Data-data tersebut dihihung untuk
medapatkan nilai IRI (International Roughnnes Index) dalam satuan
m/Km.
b. Survei Lendutan
Survei lendutan jalan dilakukan untuk penilaian struktur perkerasan
dan untuk perencanaan lapis tambahan. Alat yang digunakan
Benkelman Beam dengan interval jarak titik-titik pemeriksaan 100 m,
200 m, 500 m, 1000 m atau sesuai dengan Kondisi lapangan.
c. Survei Alur dan Kekesatan Jalan
Survei alur dan kekerasan permukaan jalan dilakukan bersama dan
pada lokasi yang sama dengan survei lendutan jalan. Survei ini
mencakup pemeriksaan data alur, lelereng melintang, kekesatan
permukaan dan kedalaman tekstur. Dalam kondisi perkerasan dapat
diisi dengan 0 (kondisi perkerasan baik), 1 (kondisi perkerasan kritis), 2
(kondisi perkerasan rusak).
5. Survei Lalulintas
Survei dilakukan untuk mengetahui :
a. Volume Lalulintas
b. Komposisi Lalulintas
c. Kecepatan Kendaraan
Survei dilakukan pada hari kerja selama 16 – 24 jam tergantung dari
karakteristik jalan. Klasifikasi jenis kendaraan didasarkan pada manual
survei perhitungan lalulintas secara manual.

E - 55
Survei lalulintas ini dilakukan untuk seluruh ruas jalan Arteri Primer,
Kolektor Primer, Arteri Sekunder sebagai data Primer dan Kolektor
Sekunder Lokal Sekunder seagai data Sekunder. Formulir survei dan peta
lokasi survei lalulintas disajikan pada lampiran.

C. Analisa dan Pengolahan Data


1. Pengolahan Data
Semua data dan informasi yang diperoleeh diapangan diolah, dianalisis
dan dirangkum dalam format Pemetaan Jaringan Jalan (GIS) Dalam
Kabupaten Empat Lawang, sehingga akan memudahakan dalam proses
pemasukan data kedalam perangkat lunak Peta Prioritas Pembangunan
Jalan Dalam Kabupaten Empat Lawang. Sebagai kelanjutan pengolahan
data, kegiatan dibagi menurut bagian-bagiannya seperti Data Base, GIS
dan Data Lalulintas. Setelah pengolahan aplikasi data telah selesai, maka
dalam pernengkingan yang sebagai Feed Back dari pemodelan dari Peta
Prioritas Pembangunan Jalan Dalam Kabupaten Empat Lawang yaitu ;
Korelasi Teknik, Model Optimasi dan Form Survei.

2. Penyusunan Program
Pada tahap ini program penaganan jalan disusun dengan
mengkonsultasikan dengan Project Officer sebagai personil yanga akan
membimbing dan mengarahkan Tim dalam menyelesaikan pekerjaan.

E - 56
PENDEKATAN TEKNIS PEMBUATAN PETA

Data utama yang diperlukan pada pelaksanaan pekerjaan Pemetaan Jaringan


Jalan (GIS) adalah data citra satelit resolusi tinggi.

Salah satu citra satelit resolusi tinggi yang akan digunakan adalah citra (image)
satelit Quickbird dengan resolusi 0.6 meter. Dengan menggunakan citra resolusi 0.6
meter ini akan dapat diperoleh kenampakan-kenampakan geografis yang cukup
detail, seperti jalan, rel kereta api, bangunan rumah-rumah penduduk, unsur-unsur
permukaan lainnya. Kelemahan dari citra quickbird ini adalah akurasinya. Meskipun
citra ini mempunyai resolusi 0.6 meter (1 pixel = 0.6 meter di tanah) akan tetapi
akurasi dilapangannya bisa meleset sampai 30 meter. Oleh sebab itu citra Quickbird
ini perlu dikoreksi sehingga akurasinya bisa mencapai 1 meter hingga 2.5 meter,
sesuai dengan kebutuhan skala peta yang akan dibuat pada pelaksanaan pekerjaan
ini.

Data Foto Udara maupun Citra Quickbird Ortho ialah data citra yang menyajikan
gambaran objek pada posisi ortografik yang benar. Oleh karena itu citra ortho
secara geometrik ekivalen terhadap peta garis konvensional dan peta simbol
planimetrik yang juga menyajikan posisi orthografik objek secara benar. Masing-
masing data citra perlu di Orthorektifikasi karena kedua data citra ini mempunyai
kemampuan off-Nadir dalam perekaman datanya. Artinya bahwa kamera dapat
dimiringkan beberapa derajat untuk merekam suatu daerah, akibatnya citra yang
dihasilkan akan mengalami distorsi akibat kesendengan.

Bahkan, untuk data foto udara sendiri, banyak sekali faktor pengaruh yang dapat
menyebabkan adanya distorsi, baik akibat perubahan arah gerak wahana
pemotretan maupun akibat perbedaan sudut pandang kamera pada saat
pemotretan. Untuk mengembalikan masing-masing data citra dalam posisi tegak,
maka perlu dilakukan orthorektifikasi, dengan teknik dan metode tertentu.

E - 57
Data Citra Quickbird dapat diperoleh dengan mudah dan tanpa harus melalui izin.
Seperti diterangkan di atas, bahwa akurasi dari citra ini sekitar 30 meter, sehingga
untuk memperoleh akurasi tinggi perlu dilakukan koreksi hingga mencapai kurang
dari 2.5 meter. Karena untuk meningkatkan akurasi ke level 2.5 meter tersebut
membutuhkan data Titik Kontrol Tanah (Ground Control Point) yang dapat diperoleh
dari hasil pengukuran lapangan.

Mengingat pekerjaan ini tidaklah sederhana dan dengan waktu yang sangat
terbatas, maka dalam penyusunan metodologi kerja, konsultan membuat simplikasi
dalam tahapan pekerjaan, yang pada intinya tetap sesuai dengan maksud dan
tujuan serta produk yang akan dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan dalam
Kerangka Acuan Kerja.

Metodologi kerja disusun terinci atas beberapa tahap pekerjaan utama yang dalam
pelaksanaannya terdiri atas :

1. Persiapan

2. Pengumpulan Data

3. Installasi dan Pengukuran GCP (Ground Control Point)

4. Pengembangan Aplikasi Database

5. Pengolahan Data Foto/Citra

6. Identifikasi Lapangan

7. Kartografi dan Pencetakan

8. Pelaporan dan Pelatihan

Secara umum, metodologi pelaksanaan Pemetaan Jaringan Jalan (GIS) dapat


digambarkan dalam bentuk diagram alir sebagai berikut:

DIAGRAM ALIR SURVEY DAN PEMETAAN

E - 58
PERSIAPAN

PENGUMPULAN DATA

FOTO UDARA, INSTALLASI &


PENGUKURAN GCP

PENGEMBANGAN APLIKASI

IDENTIFIKASI LAPANGAN

KARTOGRAFI &
PENCETAKAN

PETA PETA GARIS


FOTO/CITRA

PELAPORAN & PELATIHAN

Gambar 5.1 Proses Survey dan Pemetaan

E - 59
DIAGRAM ALIR PEMBUATAN PETA FOTO/CITRA DAN PETA GARIS
MENGGUNAKAN DATA FOTO UDARA DAN CITRA SATELIT

Foto Udara PERSIAPAN Citra Satelit

Scanning Installasi/Pemasangan GCP

Ekstrak Metadata
Triangulasi Udara (Informasi Orbit, dll)
Pengukuran GCP
- Horizontal Control Point
- Vertical Control Point
Perataan Blok

Pengolahan Data GCP

Orthorektifikasi Orthorektifikasi

Pembuatan Pembuatan
Mosaik Mosaik

Digital Plotting Kartografi & Kartografi & Digital Plotting


Pencetakan Pencetakan

Identifikasi Lapangan Identifikasi Lapangan

Kartografi & Pencetakan Kartografi & Pencetakan

PETA FOTO PETA CITRA


SKALA 1:5.000 SKALA 1:2 500

PETA GARIS PETA GARIS


SKALA 1:5.000 SKALA 1:5.000

Gambar 5.2 Proses Pembuatan Peta Foto/Citra dan Peta Garis

E - 60
METODOLOGI

1.Persiapan

Pada tahap ini akan dilakukan berbagai persiapan yang melingkupi :

1) Persiapan Umum
2) Penyusunan Rencana Kerja

A. Persiapan Umum

Setelah Surat Perintah Kerja diterima, Konsultan akan segera mengurus administrasi
yang berkaitan dengan pembuatan kontrak, termasuk didalamnya pengurusan dan
pembuatan Surat Jaminan Pelaksanaan, peminjaman data dari pemberi pekerjaan,
penyusunan rencana kerja dan jadwal pelaksanaan pekerjaan, serta konfirmasi atas
areal pemetaan dan jenis data.

Persiapan personil dilakukan seiring dengan persiapan kontrak dan pengurusan izin
diatas. Terhadap personil yang akan dilibatkan pada pekerjaan ini, akan dilakukan
penataran/pengarahan kerja terlebih dahulu.

Setelah persiapan personil, maka team kerja akan langsung mempersiapkan


mengenai bahan dan peralatan yang akan digunakan, baik bahan dan peralatan
lapangan maupun studio. Dalam hal ini akan dilakukan pengecekan yang berkaitan
dengan ketelitian alat yang akan digunakan.

E - 61
B. Penyusunan Rencana Kerja

Berdasarkan informasi yang telah dikumpulkan, konsultan akan membuat suatu


rencana kerja yang lengkap dan terinci mengenai personil pelaksana, peralatan,
serta Time Schedule Rencana pelaksanaan Pekerjaan. Rencana kerja tersebut
dituangkan dalam bentuk laporan pendahuluan yang harus diserahkan kepada
pemberi pekerjaan untuk diperiksa mengenai kesiapan personil, peralatan, lokasi
studio, serta jadwal pelaksanaan.

C. Pengumpulan Data

Data utama yang akan digunakan dalam kegiatan ini adalah data citra satelit resolusi
tinggi sesuai dengan kebutuhan pekerjaan.

Data citra satelit resolusi tinggi yang akan digunakan pada pelaksanaan pekerjaan ini
adalah data citra satelit Quickbird dengan spesifikasi sebagai berikut:

Tabel 5.2 Spesifikasi Citra Satelit Quickbird

ITEM QUICKBIRD
Jenis Data 0.6 meter Color
Level Data Standard Ortho Ready
Format Geo Tiff 16 bit belum
terkoreksi
Koreksi Radiometrik Sudah Terkoreksi
Radiometrik
Liputan Awan / Noise < 20 % dari Total Cakupan
Tolerance Area
Overlaping 1 Km
File Header * TIL
* RPB
* IMD

E - 62
Data lain yang juga perlu disiapkan untuk mendukung pelaksanaan pekerjaan ini
adalah data koordinat titik referensi horisontal dan referensi vertikal (titik tinggi)
orde 1 atau orde 2 yang direlease oleh Bakosurtanal. Data koordinat referensi
tersebut akan digunakan sebagai titik ikat (referensi) dalam pengukuran Bench Mark
(BM) yang berfungsi sebagai titik kontrol tanah (Ground Control Point).

D. Installasi Dan Pengukuran Ground Control Point (GCP)

A. Installasi/Pemasangan GCP (Monumentasi)

Ground Control Point (GCP) adalah titik kontrol tanah yang diukur/ditentukan
koordinatnya di lapangan dalam sistem koordinat global, yang ditandai di lapangan
dengan bangunan berbentuk tugu/patok dari beton bertulang yang kemudian biasa
dikenal sebagai Bench Mark (BM).

Penggunaan GCP pada pelaksanaan Pemetaan Jaringan Jalan (GIS) antara lain
untuk titik kontrol pada saat proses triangulasi udara dan orthorektifikasi data
foto/citra.

Oleh karena itu, pemasangan BM untuk keperluan GCP dipilih sedemikian rupa
sehingga lokasinya dapat dipastikan aman, stabil dan dapat dengan mudah
diidentifikasi secara visual melalui foto udara maupun citra satelit. Dalam upaya
mendukung kelancaran dan kemudahan tahap pemrosesan data foto/citra
selanjutnya, maka untuk setiap BM dibuat dokumentasi berupa foto dan dibuatkan
uraian deskripsi lokasinya.

Jumlah dan konfigurasi penyebaran GCP dibuat sedemikian rupa sehingga memadai
untuk proses triangulasi udara. Sebaran (distribusi) pemasangan GCP ditentukan
berdasarkan metode strength of figure (kekuatan bentuk) jaringan titik kontrol yang
dirancang sesuai blok perekaman foto udara dan cakupan data citra satelit yang
digunakan.

E - 63
Pada tahap pelaksanaan kegiatan monumentasi (pemasangan BM) untuk keperluan
GCP, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:

 Setiap tugu pada setiap stasiun akan dilengkapi dengan tablet logam/kuningan
yang diletakkan diatas tugu beton. Tugu tersebut dibuat dari campuran semen,
pasir dan kerikil dengan perbandingan (1:2:3). Hal ini sesuai dengan bentuk,
konstruksi dan cara pemasangan tugu yang umum.
 Tugu terpasang dalam keadaan datar dan dalam jangka panjang tidak
terganggu aktivitas manusia.
 Mudah dijangkau bagi pengukuran GPS maupun untuk penggunaannya sebagai
titik kontrol tanah.
 Minimal waktu sebelum dilakukan pengukuran adalah 3 hari kerja setelah tugu
dipasang.
 Untuk membedakan jenis stasiun dan untuk menyederhanakan sistem
pengarsipan, dibuat sistem penomoran titik GPS dengan berdasar pada
ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
 Sketsa lapangan dan deskripsi BM akan dibuat untuk setiap tugu baru,
demikian juga dengan foto dari 4 (empat) arah (utara, timur, selatan, dan
barat) akan dibuat sehingga dapat diperoleh gambaran latar belakang lokasi
dari setiap arah.

B. Pengukuran GCP

Ground Control Point (GCP) yang diperlukan pada pelaksanaan Pemetaan


Jaringan Jalan (GIS) adalah Titik Kontrol Horisontal dan Titik Kontrol Vertikal
(Tinggi), yang sebaran lokasinya ditentukan berdasarkan metode strength of figure
(kekuatan bentuk) jaringan titik kontrol yang dirancang sesuai blok perekaman foto
udara dan cakupan data citra satelit yang digunakan.

E - 64
Jaringan titik kontrol horisontal dan titik kontrol tinggi diukur menggunakan GPS
(Global Positioning System). Dengan metode GPS ini maka penyediaan data titik
kontrol tanah dengan akurasi tinggi akan dapat diperoleh secara cepat, dengan
tetap memperhitungkan faktor fleksibilitas dan efisiensi biaya.

Pada umumnya, GPS digunakan hanya untuk penentuan posisi horisontal. Hal ini
disebabkan sistem referensi (datum) tinggi yang digunakan dalam GPS adalah
datum global WGS’84, sehingga data tinggi yang diperoleh dari hasil pengamatan
dengan GPS merupakan tinggi terhadap ellipsoid, sedangkan data tinggi yang
diperoleh dari hasil pengukuran secara konvensional (levelling) merupakan tinggi
orthometrik dengan sistem referensi tinggi permukaan laut rata-rata (Mean Sea
Level).

Metode penentuan posisi vertikal (tinggi) dengan GPS yang digunakan pada
pelaksanaan pekerjaan ini adalah dengan menentukan beda tinggi antar titik (BM)
yang diamati dengan GPS, dengan salah satu titik (BM) yang diamati merupakan BM
referensi sudah diketahui posisi horisontal dan tingginya. Sehingga hasil perhitungan
data tinggi yang diperoleh tetap merupakan tinggi orthometrik. Teknik penentuan
beda tinggi dengan GPS ini pernah dilakukan oleh Peneliti dari pihak Bakosurtanal
sejak tahun 2005 dengan hasil yang cukup memuaskan dan dapat
dipertanggungjawabkan.

Berbeda dengan penentuan posisi horisontal, teknik penentuan posisi vertikal


dengan GPS ini memerlukan persyaratan dan penanganan yang lebih spesifik.

Persyaratan dan ketentuan yang harus dipenuhi dalam proses penentuan posisi
horisontal dan vertikal dengan melalui pengamatan satelit dengan GPS ini antara
lain:

E - 65
 Alat penentuan posisi yang digunakan adalah GPS tipe geodetik dual frequency
(L1, L2).
 Panjang baseline untuk setiap pengamatan tidak lebih dari 10 Km.
 Effect dari multipath, seluruh sumber-sumber potensial dari multipath dalam
jarak 50 meter harus dicatat. Prosedur ini mengharuskan kendaraan harus parkir
diluar jarak 20 meter (diharapkan 50 meter) dari titik tersebut.
Pemasangan antene harus mempunyai tinggi lebih dari 0.3 m karena
pemasangan yang lebih rendah dari itu mengakibatkan kesalahan sistematik dari
multipath.
 Seluruh sumber-sumber potensial dari inteferensi listrik atau radio dalam radius
titik yang diukur dilakukan pencatatan.
 Untuk pencatatan data lapangan digunakan formulir data lapangan yang telah
disiapkan dan disetujui oleh Pemerintah Daerah Kota Balikpapan.
 Pengamatan GPS Carrier phase dipergunakan dalam model penentuan posisi
relatif untuk menentukan komponen baseline antara dua titik. Pengamatan
satetit yang sama dilakukan secara bersamaan dan mengumpulkan data dengan
kecepatan dan epoch yang sama.
 Teknik dan lama pengamatan setiap session dilakukan sesuai dengan tabel
berikut:

Tabel 5.3 Waktu Pengamatan Satelit Dengan GPS

Minimal
Panjang Pengamatan Minimal Pengamatan
Baseline (Horisontal & (Horisontal)
Vertikal)
1 Km – 3 Km 2 jam ( L1 + L2 ) 20 menit ( L1 + L2 )
3 Km – 5 Km 2,5 jam ( L1 + L2 ) 30 menit ( L1 + L2 )
5 Km – 8 Km 3 jam ( L1 + L2 ) 40 menit ( L1 + L2 )
8 Km – 10 Km 3,5 jam ( L1 + L2 ) 45 menit ( L1 + L2 )
10 Km – 20 Km Tidak diamati 2 jam ( L1 + L2 )
> 20 Km Tidak diamati > 2 jam ( L1 + L2 )

E - 66
Catatan : Lama pengamatan seperti dalam tabel diatas digunakan dengan
syarat :
- Tersedia minimal 6 satelit
- GDOP lebih kecil dari 8
- Kondisi atmosfer dan ionosfer yang memadai
- Interval epoch 15 detik

 Pengamatan dimulai dari titik kontrol horisontal dan vertikal orde 1 atau orde 2
yang direlease oleh Bakosurtanal.
 Setiap titik diamati dari minimal 2 session.
 Ketinggian antenna diukur sebelum dan sesudah pengamatan pada setiap titik,
dimana perbedaan kedua pengukuran tersebut tidak lebih dari 2 (dua) mm.
 Pengamatan dilakukan dengan mengunakan 3 (tiga) receiver GPS dengan merk
dan jenis yang sama secara bersamaan dalam satu session pengamatan.
 Setiap receiver GPS mampu menyimpan data selama minimum delapan jam dari
minimum enam satelit dengan interval epoch 15 detik.
 Terdapat minimum satu titik sekutu / common point antara dua session
pengamatan dan pada titik tersebut (common point) dilakukan centring/setup
ulang guna memperoleh kontrol kesalahan.
 Pengamatan satelit dilakukan dengan elevasi diatas 15 derajat.
 Setelah selesai pengamatan, seluruh data harus didownload dan disimpan dalam
media hard disc, cd atau dvd.

Pemasukan data awal yang telah ditentukan kedalam receiver GPS penting artinya
bagi pemberian nama file. Pemasukan data awal ini dilakukan sesudah dan atau
sebelum pengamatan dilakukan. Data awal yang dimasukan adalah :

 Nama Proyek
 Nomor Job/session
 Nama/Nomor session
 Tinggi Antenna
 Julian Day

E - 67
 Nama Pengamat
 Antena Offset.

Perekaman data dilakukan setelah semua peralatan terhubung dengan baik dan
benar. Receiver dihidupkan 5 (lima) menit sebelum waktu pengamatan yang telah
direncanakan (yang tertera dalam jadwal pengamatan). Waktu ini digunakan untuk
melakukan inisialisasi dan menjejak satelit yang berada diatas horison tempat
pengamatan.

Pengolahan data dilapangan untuk mengecek validasi pengamatan, “preliminary


adjustment”, dan sebagainya dilakukan setiap hari di besecamp. Hal ini dilakukan
untuk mengantisipasi apabila diperlukan penambahan atau pengamatan baru. Selain
itu data-data berikut ini dicatat dalam formulir data lapangan yang telah disiapkan :
 Hari, Tanggal, Bulan dan tahun pengamatan
 Nama Stasion
 Lokasi Stasion
 Nomor Stasion
 Koordinat Pendekatan
 Nomor Receiver
 Tinggi Antena awal dan akhir pengamatan
 Nomor satelit yang terekam receiver
 Sketsa dari lokasi pengukuran terutama bila ada obstruksi
 Keadaan atau kondisi saat pengamatan.

C. Pengolahan Data GCP

Hasil pemrosesan pengamatan GPS akan berbeda satu sama lain tergantung dari
perangkat lunak dari jenis receiver yang digunakan. Dibawah ini akan dijelaskan
beberapa karakteristik perangkat lunak pemrosesan baseline sehingga pemprosesan
dapat berjalan optimal, yaitu :

E - 68
 Mampu mengolah (memproses) data carrier beat phase dan pseudorange.
 Mampu memecahkan cycle slips dan dual frequency.
 Mampu menghitung besarnya koreksi troposfer untuk data pengamatan.
 Mampu menghitung besarnya koreksi ionosfer untuk data pengamatan.
 Pemrosesan menyertakan tinggi antenna di atas titik (pilar) dan dapat dikonversi
kedalam komponen vertical.
 Dapat melakukan pemrosesan untuk semua metode pengukuran.
 Mudah digunakan.

Tahapan pengolahan data dilakukan setelah tahap pengukuran atau pengambilan


data selesai dilaksanakan. Tujuan pengolahan data adalah untuk mendapatkan
koordinat titik-titik GPS dalam jaringan. Secara garis besar proses pengolahan data
dapat dilihat di bawah ini :

Pengukuran Baseline

Pengolahan Baseline

Tidak
Kontrol
Kualitas

Ya
Trnsformasi Kooordinat

Gambar 5.3 Diagram Alir Tahap Pengukuran Dan Pengolahan Data GCP

Dari diagram di atas, proses penentuan posisi absolute dengan mengunakan proses
pseudorange tidak dilakukan karena telah terdapat titik kontrol (referensi) yang
telah diketahui koordinatnya.

E - 69
Pengolahan data dilakukan dari titik kontrol (referensi) dan pengolahan baseline
selanjutnya menggunakan koordinat titik yang diperoleh dari pengolahan baseline
sebelumnya.

Dalam proses perhitungan baseline diatas terdapat tiga tahap proses yaitu :

 Triple-Difference
 Float Double-Difference
 Fixed Double-Difference

Pada tahap pertama yaitu mebentuk persamaan pengamatan Triple-Defference


bertujuan untuk mendeteksi, melokalisir serta sekaligus mengeliminasi Cycle slips
sehingga dapat ditentukan besar parameter integer-ambiguity. Selain itu solusi
hitungan parameter posisinya digunakan sebagai harga koordinat pendekatan untuk
tahap hitungan selanjutnya.

Tahapan berikutnya adalah menghitung parameter posisi dari semua integer-


ambiguity berdasarkan persamaan pengamatan double-difference. Solusi parameter
ini dikenal dengan Float Double-Difference solution, yang pada dasarnya posisi
baseline dihitung dengan menggunakan nilai integer-ambiguity dalam bentuk
bilangan real.

Pada tahap ketiga, besaran parameter yang dihitung adalah parameter posisinya
saja, dengan terlebih dahulu meng-integerkan nilai integer-ambiguity yang
diperoleh dari tahap sebelumnya (Float Double-Defference). Solusi pada tahap ini
dikenal dengan istilah Fixed Doble-Difference Solution.

Keluaran dari pemrosesan baseline adalah parameter koordinat baik dalam system
kartesian maupun lintang bujur geodetic pada datum WGS’84 dan komponen
baseline. Selain itu dihasilkan estimasi standard deviasi dan matriks korelasi
parameter dan indicator dari kualitas hasil hitungan.

E - 70
Tahap akhir dari pengolahan data GCP hasil pengukuran dengan GPS adalah proses
transformasi koordinat. Trasformasi koordinat untuk setiap BM dalam jaring
dilakukan untuk memperoleh koordinat BM dalam sistem proyeksi UTM pada datum
WGS’84.

Dalam hal kontrol kualitas (evaluasi hasil pengukuran dan pengolahan) data posisi
horisontal dan vertikal, pada pelaksanaan pekerjaan ini digunakan minimal 2 titik
referensi horisontal dan vertikal yang direlease oleh Bakosurtanal pada setiap jaring
pengukuran / poligonnya.

Khusus untuk penentuan beda tinggi dengan GPS, dilakukan juga pengukuran
dengan metode konvensional menggunakan Waterpass pada beberapa ruas
pengukuran tertentu yang dipilih secara acak yang akan berfungsi sebagai sebagai
pembanding.

E. Pengolahan Data Foto/Citra

A. Triangulasi Udara
Triangulasi udara merupakan suatu teknik perbanyakan titik kontrol yang diperlukan
untuk proses restitusi foto atau orientasi foto ke dalam referensi tertentu, titik
kontrol ini biasa disebut titik minor. Titik kontrol tersebut umumnya diperlukan
minimum sebanyak 6 (enam) buah pada setiap model foto stereo dan diperoleh
sebagai hasil hitungan matematis fotogrametri dengan menggunakan data hasil
pengukuran pada model stereo dan hasil pengukuran kontrol lapangan.

Sehubungan dengan jumlah foto udara digital yang banyak dimana konsekuensinya
akan membutuhkan jumlah titik kontrol yang cukup banyak.

E - 71
Namun hal ini dapat diatasi dengan langkah-langkah sebagai berikut:

 Menggunakan jalur terbang tambahan berupa jalur yang memotong sehingga


menambah kekuatan blok pemetaan.
 Menggunakan unsur-unsur alam yang mempunyai sifat pasti sebagai titik kontrol
tambahan (misalnya beda tinggi antara atap suatu rumah yang umumnya sama
tinggi).

Menggunakan data setiap eksposure sebagai titik kontrol tambahan, teknik tersebut
akan mengurangi jumlah titik kontrol yang diperlukan untuk proses triangulasi
udara. Jumlah dan sebaran titik kontrol GPS disesuaikan dengan kebutuhan dan
akurasi peta yang diinginkan.

B. Perataan Blok
Perataan blok merupakan kegiatan perhitungan perataan jaringan hasil pengukuran
titik kontrol, semua titik sudah mempunyai sistem koordinat yang sama yang sudah
diratakan. Hasil ini akan digunakan untuk melakukan rektifikasi foto udara. Perataan
blok dilakukan dengan menggunakan teknik bundle adjustment.

Hasil proses triangulasi udara kemudian dianalisa. Jika telah memenuhi ketentuan
teknis yang disyaratkan, maka hasilnya dapat dipergunakan untuk proses
fotogrametris selanjutnya.

C. Orthorektifikasi
Untuk mendapatkan peta foto digital dilakukan proses orthorektifikasi pada foto
udara hasil pemotretan dengan menggunakan kordinat titik kontrol tanah hasil
pengukuran survey GPS. Proses ini dilakukan secara digital menggunakan perangkat
lunak. Hasil dari proses ini berupa foto-foto yang memiliki sistem kordinat yang
seragam. Pada dasarnya orthorektifikasi merupakan pengkoreksian terhadap data
foto, yakni koreksi untuk menghilangkan tilt kamera pada saat exposure, dan
pergeseran karena perbedaan relief pada objek yang dipotret, dan lain sebagainya.

E - 72
Orthorektifikasi juga dilakukan terhadap data citra satelit. Dalam hal pengolahan
data citra, proses orthorektifikasi dikenal juga dengan proses koreksi geometrik.

Koreksi geometrik adalah suatu proses untuk menghilangkan distorsi geometrik dari
suatu citra dan untuk memperoleh hubungan antar sistem koordinat citra dan sistem
koordinat geografi. Adapun penyebab terjadinya distorsi geometrik pada satelit
penginderaan jauh diantaranya adalah akibat pengaruh rotasi bumi, kelengkungan
permukaan bumi, serta perbedaan ketinggian dan kecepatan pada saat perekaman.

Tabel : Sumber Distorsi Geometrik yang terjadi pada Wahana


Penginderaan Jauh
Sumber
Kesalahan DESKRIPSI
Geometrik
Distorsi Sistematik :
Disebakan oleh pergerakan maju wahana, selama
dilakukannya penyapuan oleh cermin penyiam.
Hasil citra yang diperoleh tidaklah normal
Scan skew
berbentuk persegi panjang yang tegak lurus,
melainkan agak sedikit miring menyerupai jajaran
genjang.
Kecepatan scanning cermin pada sensor tidaklah
Kecepatan scanning
seragam, sehingga menimbulkan distorsi
cemin
geometrik pada citra hasil scanning tersebut.
Citra yang diambil berbanding proporsional
terhadap tangen sudut scanning darpada terhadap
Distorsi panoramik sudut itu sendiri, karena data diambil pada interval
yang reguler, maka peristiwa ini menimbulkan
distori sepanjang scanning.
Bila kecepatan wahana berubah, maka akan
Kecepatan wahana
menimbulkan distorsi skala.
Rotasi bumi menimbulkan pergeseran terhadap
Rotasi bumi lajur sapuan bumi dan menimbulkan distorsi
sepanjang jalur scanning.
Perspektif menimbulkan distorsi sepanjang jalur
Perspektif scanning, karena menyebabkan seluruh garis
proyeksinya tidak normal terhadap bidang.
Distori Acak :
Bila wahana mengalami perubahan ketinggian,
Ketinggian maka skala citra yang dihasilkan akan
terpengaruh.
Posisi Satu sistem sumbu sensor biasanya dijaga agar

E - 73
Sumber
Kesalahan DESKRIPSI
Geometrik
tetap normal terhadap permukaan bumi dan
sensor yang lainnya pararel terhadap arah
pergerakan wahana. Jika permukaan sensor tidak
mengikuti kondisi ini, maka akan menimbulkan
distorsi geometrik.
Penghamburan sinyal pada atmosfer dapat
mengubah distribusi spasial dari radiasi yang
dipantulkan oleh target (kaufman, 1989). Sebagai
Atmosfer
hasil resolusi spasial dari sistem penginderaan
jauh dapat terpengaruh oleh atmosfer (kaufman,
1989).
Pergeseran letak gambar oleh relief (relief
displacment) merupkan pergeseran atau
perpindahan letak suatu kedudukan gambar objek
yang disebabkan karena relief, yaitu letak
ketinggiannya di atas atau di bawah bidang datum
yang dipakai (Wolf, 1993). Dalam kaitannya
dengan suatu bidang datum, maka perpindahan
letak karena relief ini mengarah keluar bagi titik-
titik yang ketinggiannya ada diatas bidang datum,
Pergeseran relief
dan mengarah kedalam bagi titik-titik yang
ketinggiannya di bawah bidang datum. Pergeseran
relief bertambah besar sesuai dengan
pertambahan jarak radial antara titik pusat line
detector kegambaran objek, dan juga sejalan
dengan bertambahnya tingginya titik pada objek di
atas datum. Sebaliknya perpindahan semakin
berkurang sesuai dengan pertambahan tinggi
terbang diatas datum.

Kesalahan sistematik dikoreksi oleh stasiun penerima (Ground Receiving) yang


berada di bumi dan kesalahan nonsistematik masih ada dalam citra hasil perekaman.
Oleh karena itu perlu dilakukan rektifikasi citra. Berikut ini adalah metode atau cara
untuk melakukan proses rektifikasi citra satelit yaitu:

E - 74
 Rektifikasi geometrik atau rektifikasi citra
 Registrasi citra ke citra lain (raster to raster)

Registrasi citra ke citra lain (raster to raster) adalah suatu proses translasi dan
rotasi antara dua citra yang memiliki persamaan area geografis tertentu. Proses
yang dilakukan adalah mentransformasikan sistem koordinat citra yang belum
terkoreksi ke sistem koordinat citra yang telah terkoreksi (geo-referenced).

Registrasi citra ke peta (raster to vector). Registrasi citra ke peta adalah proses
untuk membuat geometrik citra agar sesuai posisi planimetriknya dengan keadaan
sebenarnya pada permukaaan bumi. Pada proses ini akan dilakukan seleksi terhadap
titik ikat tanah (ground control point) koordinat citra (row and column) dengan
koordinat peta (contoh: meter, easting, northing dalam proyeksi peta UTM). Pada
transformasi ini akan dihasilkan citra dalam sistem proyeksi tertentu.

Pada proses koreksi ini diletakkan sejumlah titik ikat tanah (ground control point).
Penempatan posisi titik ikat tanah tersebut harus tepat posisinya pada sistem
koordinat citra (row and column) dan pada sistem koordinat yang diinginkan. Jumlah
pemilihan titik kontrol tanah dan distribusinya, sangat mempengaruhi ketelitian dari
proses koreksi geometrik.

Proses registrasi pada citra dibagi menjadi dua tahap, yaitu proses rekonstruksi citra
atau sering disebut juga proses interpolasi spasial citra, dan proses resampling
disebut proses interpolasi intensitas.

Dalam pelaksanaan koreksi geometrik yang harus diperhatikan adalah distribusi titik-
titik kontrol harus menyebar rata. Penempatan titik kontrol tanah pada peta acuan
harus sesuai atau tepat dengan posisi pada citra yang akan dikoreksi. Hasil dari
RMSerror yang kecil hasil proses koreksi geometrik belum tentu menghasilkan
ketelitian yang baik.

E - 75
Gambar : Contoh Citra Satelit Quickbird Setelah Koreksi Geometrik

D. Pembuatan Mosaik

Mosaik adalah menggabungkan beberapa objek baik raster atau vektor menjadi
satu kesatuan dalam bidang proyeksi dan datum yang sama. Berikut adalah
contoh mosaik yang belum tepat antara citra kiri dan kanan yang diakibatkan
belum sempurnanya proses geometrik.

Citra Kanan

Citra Kiri

Gambar : Dua Scene Citra Satelit Sebelum Dilakukan Proses Mosaik

E - 77
Gambar : Citra Satelit Setelah Dilakukan Proses Mosaik

Proses mosaik merupakan salah satu langkah yang sangat penting dalam pekerjaan
pembuatan peta vektor/garis, sebab citra yang telah dimosaik akan digunakan dalam
proses intepretasi dan digitasi on screen. Proses interpretasi dan digitasi on screen
akan lebih mudah dikerjakan dengan menggunakan citra yang sudah dimosaik
dibandingkan dengan citra yang masih terpisah-pisah. Mosaik yang dihasilkan dalam
pelaksanaan pekerjaan ini adalah full controlled mosaic (mosaik terkontrol penuh)
dimana proses pengolahannya diikatkan dengan titik kontrol yang mempunyai
akurasi tinggi dan dilakukan secara digital.

E. Image Enhancement dan Filtering

Data penginderaan jauh yang diperoleh baik dari pemotretan melalui pesawat udara
maupun dari penyiaman satelit terhadap permukaan bumi biasanya berbentuk
digital. Citra digital tersebut disimpan dalam bentuk dua dimensi yang elemen-
elemennya mewakili suatu daerah yang sangat kecil yang disebut piksel (picture
element) dan setiap piksel berhubungan secara ruang dengan suatu luas pada
permukaan bumi.

E - 78
Agar data foto/citra digital dapat ditampilkan atau dimanfaatkan untuk keperluan
interpretasi, maka data citra harus diolah dengan melalui berbagai teknik
pengolahan citra secara digital. Salah satu tahapan pemrosesan dan pengolahan
data foto/citra yang paling penting dan sangat diperlukan dalam membantu proses
analisa dan interpretasi obyek yang terekam didalamnya adalah proses penajaman
(enhancement) dan filtering.

Penajaman citra dilakukan dalam proses pengolahan citra digital untuk


mempertinggi kekontrasan yang terdapat dalam citra. Penajaman citra dilaksanakan
dengan tujuan mempermudah dalam interpretasi secara visual. Hal ini dilakukan
dengan mengubah nilai piksel dengan cara tertentu.

Pada umumnya gangguan yang terjadi menyebabkan kualitas citra penginderaan


jauh mempunyai berbagai variasi. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Nilai radiometrik suatu objek lain ada kalanya mempunyai perbedaan yang kecil
sehingga subyek tersebut sulit dibedakan satu dengan lainnya. Untuk memperoleh
informasi yang baik maka tingkat keabuan data piksel harus diubah.
Perubahan tingkat keabuan data piksel akan memperjelas beda nilai radiometrik
objek yang terdapat dalam satu citra.

100

80
Relative sensisivity

Green
60

Blue Red
40 ( x 20 )

20

400 500 600 700


Violet Wavelength nm Red

Gambar : Contoh Perbedaan Nilai Radiometrik

E - 79
Berdasarkan uraian tersebut maka tujuan melakukan penajaman citra adalah untuk
menambah kemampuan para analis untuk penyadapan data dan interpretasi.
Penajaman citra merupakan pekerjaan untuk memperoleh satu citra baru dari citra
yang telah ada dengan mengubah nilai radiometrik setiap piksel.

Penajaman citra dilakukan untuk visualisasi data digital dalam rangka interpretasi
untuk memperoleh informasi secara visual melalui tayangan citra pada layar
pantauan (screen monitor).

Suatu karakteristik dari citra penginderaan jauh adalah parameter yang disebut
dengan frekuensi spasial. Frekuensi spasial didefinisikan sebagai perubahan nilai
kecerahan (brightness) untuk setiap satuan jarak di atas suatu citra. Apabila terjadi
sedikit perubahan dari nilai kecerahan pada suatu bagian citra, maka disebut
sebagai berfrekuensi rendah. Sebaliknya apabila nilai kecerahan berubah secara
mendadak, maka hal ini disebut daerah yang berfrekuensi tinggi. Teknik filtering ini
dapat digunakan untuk menghilangkan pengaruh adanya noise akibat
ketidakseimbangan detektor.

Secara garis besar tujuan filtering tersebut dapat dilakukan untuk ekstraksi informasi
yang dibentuk oleh radiasi frekuensi rendah (low-pass filter), yang akan berakibat
terbentuknya citra baru yang lebih halus, dan ekstraksi yang dibentuk oleh radiasi
frekuensi tinggi (high-pass filter), yang akan menghasilkan citra baru yang lebih
tajam. Disamping itu filtering juga dapat dilakukan untuk tujuan khusus seperti
untuk keperluan penajaman batas (directional filter).

Proses filtering dari data citra digital dilakukan dengan mendefinisikan filter digital
yang berupa matrik (filter kernel) dengan dimensi tertentu (3x3, 5x5, 7x7) dan
dengan komponen yang berbeda-beda sesuai dengan tujuan filtering (low-pass,
high-pass, directional).

E - 80
Karakteristik citra penginderaan jauh (inderaja) adalah sebuah parameter yang
sering dinamakan frekuensi spasial, didefinisikan sebagai angka perubahan nilai
kecerahan per unit jarak dari bagian-bagian tertentu pada citra.

Jika ada beberapa perubahan dalam nilai kecerahan melebihi dari area yang
diberikan maka hal ini menjadi daerah dengan frekuensi rendah. Sebaliknya, jika
nilai kecerahan berubah drastis melebihi jarak yang sangat pendek, maka area ini
adalah area detail dengan frekuensi tinggi.

Karena frekuensi spasial menunjukkan nilai kecerahan pada wilayah spasial, maka
sangat perlu membuat pendekatan spasial untuk mengumpulkan informasi spasial
kuantitatif.

Teknik matematik untuk memisahkan citra menjadi komponen frekuensi spasial


tertentu dinamakan analisa fourier. Pembahasan yang dilakukan pada teknik ini tidak
ditanpilkan disini, kecuali jika setelah image (citra) dipisahkan dalam frekuensi
komponen spasial, (hasilnya dalam transformasi fourier pada citra) memungkinkan
untuk penekanan pada band dari frekuensi relatif yang lainnya dan frekuensi spasial
tersebut dikombinasikan kembali sehingga menghasilkan penajaman citra. Algoritma
untuk melakukan penajaman citra dinamakan filter, karena filter menahan
(suppress) frekuensi tertentu dan melakukan penekanan (emphasize) pada yang
lain. Filter yang melewati frekuensi tinggi dan lebih ditekankan pada tepi dan detail
yang sesuai dinamakan sebagai filter frekuensi tinggi (High-Filters Frequency).
Sebaliknya, filter frekuensi rendah (Low-Filters Frequency) ditekankan pada
frekuensi tinggi yang dimiliki citra ketika menahan perubahan secara perlahan.

Walaupun teknik spasial filter ditunjukkan dengan konsep analisis fourier,


implementasinya tidak harus menggunakan transformasi fourier. Filter Spasial Linier
adalah filter dimana penempatan tingkat kecerahan pada lokasi (i, j) dalam citra
output adalah fungsi rata–rata bobot (kombinasi linier) dari penempatan tingkat
kecerahan dalam bentuk spasial tertentu pada citra input. Proses ini mengevaluasi

E - 81
bobot nilai di sekitar piksel yang dinamakan convolution dua dimensi (two–
dimensional convolution). (Rosenfeld dan Kak, 1976 dalam Jensen, 1986).

Prosedur ini dilakukan untuk mengubah karakteristik frekuensi spasial dari sebuah
citra. Sebagai contoh, filter spasial linier yang ditekankan pada frekuensi spasial
rendah dapat digunakan untuk mengurangi noise dalam sebuah citra.

a) Filtering frekuensi rendah dalam spatial domain


Penajaman citra yang ditekankan pada ketelitian frekuensi adalah frekuensi
rendah atau low–pass filters. Filter Frekuensi Rendah yang termudah
mengevaluasi tingkat kecerahan piksel input tertentu, BV in dan piksel yang
berada di sekitar piksel input, dan output tingkat kecerahan baru BV out memiliki
arti convolution. Ukuran dari convolution atau kernel (n) biasanya 3 x 3, 5 x 5,
7 x 7, 9 x 9 dan seterusnya.

Misalnya, dengan menggunakan Kernel 3 x 3 dapat menghasilkan citra low–


pass dengan menjadikan dua baris dan dua kolom yang lebih kecil dari citra
original.

b) Filtering frekuensi tinggi dalam spasial domain


Filtering high pass digunakan pada citra untuk memindahkan kembali
komponen yang mengubah secara perlahan dan menerima berbagai macam
frekuensi tinggi lokal. Satu Filter Frekuensi Tinggi (HFF 5,out) dihitung dengan
mengurangi output Frekuensi Rendah (LFF5,out) dari dua kali nilai piksel tengah
BV5, yaitu :

HFF5, out = ( 2 x BV5 ) – LFF5,out

E - 82
F. Pembuatan Peta Foto/Citra

Setelah data foto/citra dikoreksi dan dipertajam dengan melalui proses


orthorektifikasi dan image enhancement, maka dapat dikatakan bahwa data
foto/citra sudah siap untuk dianalisa dan diinterpretasi. Pada pelaksanaan pekerjaan
Pemetaan Jaringan Jalan (GIS), data foto/citra yang digunakan adalah data foto
udara warna dan citra satelit multispektral (berwarna) dengan resolusi tinggi,
sehingga proses interpretasi dapat dilakukan dengan mudah secara visual.

Untuk keperluan pembuatan Peta Foto/Citra, data foto/citra yang sudah di


orthorektifikasi, di-enhance dan dimosaik dapat langsung di-cropping melalui proses
pemotongan citra (image subsetting) dengan mengacu pada ukuran bingkai peta
(frame) sesuai dengan skala peta yang akan dibuat. Dalam hal ini, ukuran dan
penomoran bingkai/lembar peta skala 1:5.000 dan skala 1:10.000 yang akan
digunakan mengacu pada standar ukuran dan penomoran lembar peta yang
ditentukan oleh Bakosurtanal.

Tahap akhir dari pembuatan Peta Foto/Citra pada pelaksanaan pekerjaan ini adalah
penyiapan format cetak dengan menggunakan kaidah-kaidah kartografi yang
disesuaikan dengan standar yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah..

Penyiapan format cetak ini meliputi penyusunan bingkai peta, indeks peta,
penomoran lembar peta, pemberian sistem grid dan koordinat peta, yang kemudian
disusun dalam bentuk Album Peta Foto/Citra.

E - 83
G. Interpretasi Citra dan Digital Plotting

Interpretasi citra merupakan proses pengenalan objek dan elemen yang tergambar
pada citra serta penggambarannya ke dalam suatu peta tematik dalam bentuk
digitasi citra secara on screen. Interpretasi citra dapat dilaksanakan secara visual
maupun digital.

A. Interpretasi Citra

Interpretasi citra terdiri dari dua kegiatan utama yaitu: penyadapan data dari citra
dan penggunaan data tersebut untuk tujuan tertentu. Interprestasi visual secara
luas digunakan untuk mengamati segala fenomena alam, karena cara ini sangat
efektif untuk mengingatnya. Interprestasi visual ini dimaksudkan sebagai perbuatan
mengamati citra secara visual dengan maksud untuk mengindentifikasi objek dan
menilai pentingnya objek tersebut.

Interprestasi visual adalah interprestasi menggunakan mata, sedangkan interprestasi


digital menggunakan komputer.

Pada pengolahan citra dengan melakukan interpretasi secara visual, pengenalan


objek merupakan hal utama dalam interpretasi. Prinsip pengenalan objek
berdasarkan atas karakteristik pada unsur interpretasi. Unsur-unsur interpretasi
tersebut terdiri dari sembilan butir, yaitu: rona dan warna, ukuran, bentuk, tekstur,
pola, tinggi bayangan, situs, dan asosiasi. Identifikasi suatu objek secara visual
diawali dengan pengenalan batas pada semua elemen kunci interpretasi. Tahap
berikutnya dianalisis dan akhirnya interpreter menggunakan semua pengetahuan
dan pengalaman tematiknya, untuk interpretasi kajiannya.

Pemahaman interprestasi visual diperlukan karena tingkat pemahamannya akan


mendasari luasnya pemanfaatan citra satelit Ikonos dan Quickbird dalam berbagai
aplikasi. Selain itu interprestasi visual juga mendasari pengambilan keputusan dalam
interprestasi digital.

E - 84
Penguasaan ilmu yang dimiliki interprestasi, pengetahuan tentang hubungan antara
objek dan kenampakan pada citra serta banyaknya latihan yang dilakukan akan
menentukan ketelitian hasil interprestasinya.

Terdapat tiga prinsip metoda interprestasi citra yaitu : pengenalan, analisis dan
kombinasi dari pengambilan keputusan dan penentuan. Juga dikatakan bahwa ada
tiga urutan yang berbeda dalam interprestasi yaitu :

 Elemen pertama yaitu objek yang secara langsung dapat dikenali, seperti jalan,
pohon, sungai, rumah dan hutan.
 Elemen kedua yaitu yang biasanya tidak nampak, akan tetapi keberadaannya
dapat diketahui seperti kenampakan arkeologis dan pola anak sungai yang sudah
lama.
 Elemen ketiga yaitu objek yang dapat ditentukan berdasarkan analisis atau
investigasi dari objek yang dikenali dari elemen pertama dan kedua. Contohnya
interprestasi penggunaan lahan, bentuk lahan, dll.

Pada akhirnya identifikasi objek melalui Interprestasi visual dipengaruhi oleh latar
belakang pengetahuan interpreter. Perlu dicatat bahwa ada identifikasi objek yang
hanya dapat dilakukan secara visual seperti penggunaan lahan, bentuk lahan dan
batas jenis lahan.

Unsur-unsur interpretasi visual adalah karakteristik objek yang terdapat pada citra
yang digunakan sebagai kunci pengenalan objek. Ada enam kunci interpretasi
utama, yaitu rona/warna, bentuk, bayangan, ukuran, tekstur dan pola, ditambah
dengan tiga kunci tambahan yaitu lokasi, asosiasi dan resolusi.

E - 85
 Rona yaitu gelap terangnya citra berdasarkan tingkat keabuan. Warna yaitu
perbedaan antara warna RGB dan kombinasi ketiganya. Warna citra satelit
Ikonos dan Quickbird dapat ditampilkan dalam warna asli atau warna semu.
 Bentuk yaitu konfigurasi umum suatu objek. Bentang budaya biasanya lebih
teratur daripada bentang alamiah, misalnya saluran irigasi lebih teratur dari pada
bentuk sungai.
 Ukuran dapat berupa ukuran luas, panjang, tinggi, kemiringan dan volume.
Dengan melihat ukuran dapat ditentukan antara jalan tol dan jalan komplek
perumahan atau antara rumah pemukiman dan industri.
 Bayangan dapat mencerminkan bentuk objek. Bayangan juga kadang dapat
membantu dalam analisis geomorfologi untuk memperjelas kenampakan bentuk
jalan.
 Tekstur merupakan frekwensi perubahan rona/warna pada citra. Tekstur
dibedakan menjadi kasar, halus, seragam, tidak seragam, granulair, dsb.
 Pola merupakan susunan keruangan suatu objek, pola pemukiman linier
disepanjang sungai, jalan atau pada guguk pantai.
 Lokasi yaitu letak suatu objek dan hubungannya dengan sekitarnya. Banyak
objek yang mempunyai karakteristik terikat pada lokasinya seperti tanggul sungai
didekat sungai.
 Asosiasi pengenalan objek dapat dilakukan karena objek lain.
 Resolusi digunakan sebagai ukuran bagi kualitas citra dalam mengenali objek.

Ada beberapa prosedur interprestasi visual hasil modifikasi yang perlu dikemukakan,
yaitu :

 Interprestasi sebaiknya dilakukan secara metodik. Disarankan untuk melakukan


interprestasi satu topik pada waktu yang sama. Cara ini akan mengurangi
pengenalan objek yang beragam menjadi lebih terfokus sebagai suatu dasar
untuk identifikasi. Jika interprestasi harus dilakukan untuk daerah yang luas,
dipilih daerah yang mewakili untuk diinterprestasi secara detail.
 Interprestasi dimulai dari objek secara umum menuju ke objek yang lebih
spesifik. Interprestasi diawali dengan mengamati keseluruhan citra menuju ke

E - 86
objek yang lebih kecil. Jika tersedia citra dengan berbagai skala maka
interprestasi dimulai dari skala terkecil.
 Interprestasi dimulai dari objek yang diketahui menuju ke objek yang tidak
diketahui. Kenampakan yang tidak diketahui didekati dari objek lain yang terkait
yang telah diketahui, kemudian dicoba untuk diklasifikasi dari kelas yang umum
menuju kelas yang lebih khusus.
 Analisis terhadap karakteristik citra yang digunakan. Ketika interpretasi
dilakukan, interprestasi harus memperhatikan karakteristik citranya seperti sifat
band yang digunakan. Juga penting diperhatikan kualitas citra, yang disebabkan
oleh proses pencetakan atau pra pengolahan.

B. Digital Plotting (Digitasi On Screen)

Digitasi adalah sebuah proses penelusuran objek-objek yang ada pada sebuah citra
atau peta sehingga dapat memudahkan dalam membedakan kenampakan suatu
objek. Digitasi sering juga disebut sebagai proses deliniasi atau proses tracing. Hasil
digitasi ini akan berupa data digital dalam bentuk vektor yang dapat digunakan
untuk berbagai keperluan, seperti updating peta, proses interpretasi, mencari luas
lahan dan sebagainya.

Menurut jenisnya, digitasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu: digitasi
meja dan digitasi on screen. Pebedaan mendasar dari keduanya terletak pada alat
yang digunakan. Digitasi meja menggunakan sebuah meja digitizer sedangkan
digitasi on screen dilakukan dengan menggunakan seperangkat komputer.
Dibandingkan dengan digitasi on screen, ketelitian hasil digitasi meja jauh lebih baik.
Hal ini disebabkan karena objek-objek yang dideliniasi dengan menggunakan meja
digitizer tampak lebih jelas. Berikut ini adalah contoh peta garis skala 1:5.000 yang
merupakan hasil dari proses digitasi on screen terhadap data foto udara
menggunakan software AutoCAD Map 2006:

E - 87
Gambar : Contoh Peta Garis Skala 1:5.000
Hasil dari Proses Digitasi On Screen dari Data Foto Udara

H. Identifikasi dan Pengecekan Lapangan

Pada awal survey setiap team akan berkoordinasi dengan aparat setempat untuk
mengumpulkan/menginventarisir data-data sekunder yang ada. Survey lapangan
dilakukan untuk mengumpulkan nama obyek-obyek yang penting dengan bantuan
alat GPS Navigasi dan kompas untuk menentukan letak unsur tersebut dan kamera
untuk dokumentasi. Pada saat yang sama setiap unsur yang disurvey langsung di
plot pada peta manuskrip.

Untuk keperluan identifikasi lapangan diperlukan blow up citra satellite sebagai


bahan pelaporan. Pembuatan Blow up foto udara maupun citra satelit harus
mengikuti kriteria berikut ini:

E - 88
a. skala foto Blow up adalah 1 : 5000, sedangkan skala citra Blow up adalah
1:10.000
b. Image dan tone harus jelas dan tajam
c. Pada setiap Blow up diberi informasi mengenai:

- Nama propinsi, kabupaten, kecamatan, dan kelurahan/desa


- Nama kontraktor pelaksana

Identifikasi lapangan dilakukan pada blow up foto udara maupun citra satelit dengan
detail obyek yang diidentifikasi meliputi:

1). Batas Administratif


Batas administrasi pemerintahan yaitu batas propinsi, kabupaten, dan kecamatan
dan kelurahan / desa diidentifikasi serta dikonfirmasi ke instansi-instansi
pemerintah terkait daerah setempat, tetapi dicantumkan namanya.

2). Obyek Peta


Obyek peta yang akan diidentifikasi adalah :
a. Detail bangunan yang penting, dilengkapi dengan data yang menyangkut
fungsi bangunan (penggunaan) dan namanya, antara lain meliputi :
 Bangunan perkantoran, baik pemerintah maupun swasta
 Bangunan tempat pendidikan seperti SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi
(Akademi, Universitas, dan lain-lain)
 Bangunan tempat pelayanan masyarakat seperti Kantor Pos dan Giro,
Rumah Sakit, Kantor Kelurahan / Desa, Kantor Kecamatan, Pasar dan lain
sebagainya.

Nama dan type jalan, baik jalan yang diperkeras atau yang tidak (jalan tanah)
harus dicatat. Penulisan nama-nama jalanharus benar dan jelas.

E - 89
b. Detail perairan yang penting diidentifikasi nama dan arah alirannya, yaitu :
sungai, saluran besar, danau.

c. Detail untuk perkebunan, yakni kebun-kebun homogen yang besar (satu


macam tanaman yang diusahakan baik oleh pemerintah, swasta, atau
masyarakat. Jenis tanaman perkebunan dimaksud antara lain adalah : karet,
kelapa, kelapa sawit, dan sebagainya.

d. Batas konsesi pertambangan.

e. Detail Kawasan wilayah.

f. Tugu-tugu Titik Dasar Teknik harus diidentifikasi, ditandai letaknya, serta


dicatat nomer dan kodenya.

Hal lain yang perlu dilakukan pada saat survey lapangan adalah kegiatan ground
truth. Kegiatan ground truth dilakukan untuk memperoleh kebenaran hasil
interpretasi dengan menguji training sample (training areas) hasil identifikasi awal
kenampakan pada data foto/citra. Disamping untuk menguji ketepatan penentuan
sample, survey lapangan juga untuk mendapatkan posisi obyek dilapangan,
sehingga dapat digunakan sebagai titik kontrol ketepatan koordinat citra.

Dalam pemilihan sample mempertimbangkan beberapa faktor sebagai berikut :

 Posisi training area pada foto/citra.


 Kemudahan keterjangkauan (accessibility).
 Sampel mewakili populasi data secara keseluruhan.

E - 90
Kegiatan survey lapangan adalah untuk mengadakan pengamatan/ pengukuran
pada training areas, yang meliputi:

 Pengamatan lokasi obyek tutupan lahan.


 Pengukuran posisi lokasi sample.
 Pengambilan gambar / foto setiap tutupan lahan yang diamati.

Pengamatan atau pengecekan jenis kelas tutupan lahan dimaksudkan untuk


mengecek kebenaran jenis tutupan lahan yang berfungsi sebagai training areas
untuk keperluan proses analisa hasil interpretasi secara visual.

I. Kartografi dan Pencetakan

Seiring dengan perkembangan teknologi baik pada pengambilan data, pengolahan


maupun analisis data, kartografi/layout juga berkembang. Perkembangan yang
mengarah kepada otomatisasi yang memunculkan ilmu baru yaitu kartografi digital,
yang memproduksi peta digital serta peta–peta lain seperti peta animasi dari
berbagai teknik pengambilan data yang baru seperti citra satelit. Kartografi digital
memiliki proses dengan memanfaatkan teknik penggunaan komputer sebagai teknik
yang mendasar dan utama dalam otomasi kartografi, dengan perkataan lain bahwa
kartografi digital adalah seni, ilmu dan teknik membuat peta digital dengan
memperhatikan aspek-aspek kartografi seperti proyeksi peta dan skala.

Penggambaran peta secara digital disesuaikan dengan kaidah kartografi, antara lain
:

a. Penulisan nama –nama geografis, jalan, bangunan, sungai harus sesuai dengan
data lapangan.
b. Semua obyek / detail planimetris digambarkan sesuai dengan simbol yang telah
ditentukan.
c. Pemberian simbol pada daerah yang cukup luas diwakili oleh beberapa simbol
dan distribusi merata.

E - 91
d. Detail dalam satu lembar peta harus bersambung pada lembar sebelahnya (edge
matching).
e. Jika terdapat dua atau lebih garis batas administrasi pada satu lokasi, hanya
garis batas administrasi yang paling tinggi tingkatannya yang digambar.

Adapun tahapan dari proses kartografi ini meliputi kompilasi, desain, evaluasi,
penggambaran, generalisasi, pemberian warna, pencetakan peta dan revisi peta.
Proses ini dapat dilakukan pada berbagai jenis perangkat lunak (software), salah
satunya dapat dibuat pada software ArcView versi 3.3, dengan contoh seperti
dibawah ini :

Gambar 5: Contoh Layout Peta Foto Pada Software AutoCAD Map

E - 92
E.7. PELAPORAN

Selama melaksanakan pekerjaan konsultan secara berkala wajib memberikan


laporan sebagai bahan untuk pemantauan kemajuan pekerjaan. Adapun laporan-
laporan yang harus dibuat konsultan terdiri dari :

1. Laporan Pendahuluan (Inception Reporf)

Laporan Pendahuluan pada intinya berisi rencana peiaksanaan kegiatan, baik


metode maupun rencana waktu pelaksanaan. Secara rinci pada laporan ini akan
berisi mengenai; metoda pelaksanaan, rencana kegiatan konsuttan, rencana dan
jadwal kegiatan. Laporan dibuat sebanyak 5 (lima) eksemplar dan disampaikan
selambat-lambatnya 2 (dua) minggu sejak Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK)
diterbitkan.

2. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir pada intinyan berisi sejauh mana kegiatan sudah dilaksanakan
oleh pelaksana sesuai dengan rencana pelaksanaan yang telah dibuat pada Laporan
Pendahuluan. Secara rinci pada laporan ini akan berisi :

Kemajuan pelaksanaan pembuatan peta serta kemajuan pekerjaan kompilasi


Konversi dan integrasi data
Kendala yang ditemukan, rencana solusi serta perkiraan penyelesaian pekerjaan.

Laporan ini dibuat sebanyak 5 (lima) eksemplar dan disampaikan selambat-


lambatnya pada 4 (empat) minggu sejak Surat Perintah Mulai Kerja/SPMK
diterbitkan.

3. Laporan Akhir (Final report)

Laporan Akhir berisi rangkuman laporan keseluruhan pelaksanaan kegiatan, beserta


hasil-hasil pekerjaannya. Pada intinya Laporan akhir ini berisi materi penyempurnaan
Draft Laporan Akhir yang dilengkapi dengan hasil-hasil pekerjaan. Laporan dibuat
sebanyak 5 (lima) eksemplar dan disampaikan 1.5 (satu koma lima) bulan sejak
Surat Perintah Mulai Kerja/SPMK diterbitkan.

E - 93

Anda mungkin juga menyukai