BAB – E
PENDEKATAN
DAN METHODOLOGI
Dalam konteks pengembangan wilayah, secara garis besar terdapat 3 (tiga) elemen
pokok yang menjadi sumber pertumbuhan wilayah, yakni sumber daya alam (lahan),
sumber daya manusia dan teknologi yang dimiliki. Ketiga elemen ini ditambah
dengan iklim yang mendukung akan menentukan sejauhmana suatu wilayah mampu
tumbuh dan berkembang.
Berkaitan dengan persaingan antar daerah kabupaten yang terjadi pada masa
otonomi daerah, maka ketiga elemen pengembangan wilayah tersebut dapat
menjadi tolok ukur untuk menilai sejauh mana kemampuan suatu wilayah untuk
bersaing dengan wilayah lainnya. Dengan mengetahui status ke 3 (tiga) elemen
tersebut, maka suatu daerah dapat memiliki pertimbangan yang lebih jelas dalam
menentukan arah pengembangan wilayahnya.
Keunggulan daya saing wilayah akan tercipta apabila wilayah tersebut berhasil
menciptakan keunggulan (advantage) atas wilayah lain yang menjadi pesaingnya.
Untuk mendapatkan daya saing tersebut, setiap wilayah harus mampu
mengembangkan kompetensi inti (core competance) yang dapat dibedakan dari
wilayah lainnya.
Tujuan ini diharapkan dapat terwujud dengan pencapaian beberapa sasaran sebagai
berikut :
1. Terbuatnya peta jaringan jalan Kabupaten Empat Lawang yang berfungsi sebagai
alat bantu bagi proses pengambilan kebijaksanaan, khususnya bagi keperluan
perencanaan wilayah serta terkompilasinya data-data yang berkaitan dengan
perkembangan jalan pada lingkup desa, kecamatan sampai dengan lingkup
kabupaten.
2. Tersedianya data spasial (sebagai materi dalam basis data spasial digital) berupa
Peta jaringan jalan yang dihasilkan dari survey lapangan dengan cakupan wilayah
di seluruh Kabupaten Empat Lawang.
E.3. PEMAHAMAN
Karakteristik yang spesifik dari kondisi jalan, juga telah diantisipasi oleh Jasa
Konsultan Pemetaan Jaringan Jalan (GIS) Kabupaten Empat Lawang. Upaya
penyelesaian dan pencapaian target/sasaran dari Pengumpulan Data Sistem Informasi
Jalan ini, dilakukan dengan menjabarkan metodologi secara rinci, dimana di
dalamnya mencakup masalah koordinasi pendanaan.
Secara berurutan, setiap tahapan tersebut di atas selalu ditinjau ulang sesuai
dengan kebutuhan (bekerja sama dengan instansi‐instansi terkait), sehingga
perubahan atau perbaikan dapat dilakukan untuk mendapatkan sasaran yang
diinginkan secara maksimal. Untuk jelasnya, pendekatan studi yang akan
dilakukan disampaikan dalam Gambar E.1.
LAPORAN
PENDAHULUAN LAPORAN ANTARA
E-6
E.3 METODE PENDEKATAN
Sesuai dengan pendekatan studi yang akan dilakukan oleh Konsultan dalam
rangka penyelesaian pekerjaan perlu disampaikan pula metode yang dipakai dari
setiap kegiatan agar metode ini amat penting dikuasai oleh Tim Pelaksana agar
supaya sasaran yang diinginkan dapat tercapai. Mengacu pada Term of
Reference/TOR, khususnya mengenai sasaran studi, ruang lingkup dan syarat‐syarat
pekerjaan, konsultan menyusun suatu kerangka pendekatan yang sifatnya
komprehensif dengan maksud agar semua tujuan dapat tercapai (Gambar E.2).
E-7
o Diskusi dan wawancara
o Perencanaan dan Perencanaan Bersama
o Persetujuan Perencanaan
o Dokumentasi
Kegiatan :
o Perbaikan dan pembangunan infrastruktur.
o Dokumentasi
o Persetujuan dan Serah Terima Perkerjaan.
E.3.3 Sosialisasi
Tujuan :
Sosialisasi Jasa Konsultan Pemetaan Jaringan Jalan (GIS) Dalam Kabupaten
Empat Lawang.
Kegiatan:
o Jasa Konsultan Pemetaan Jaringan Jalan (GIS) Dalam Kabupaten Empat
Lawang Dokumentasi
o Serah Terima Pekerjaan.
E-8
Kegiatan:
o Pemberian Technical Support (Dukungan Teknis).
Kodefikasi nomor a sampai dengan d dapat diperoleh dari Biro Pusat Statistik atau
Pemda setempat. Untuk kodefikasi nomor e sampai dengan g dilakukan oleh Tim
Pelaksana di Kantor.
E-9
Kodefikasi Propinsi, merupakan kode induk dalam Pemetaan Jaringan Jalan
(GIS) Dalam Kabupaten Empat Lawang dan digunakan secara langsung sebagai
acuan untuk Kode Kabupaten/Kota di dalamnya. Demikian juga pengkodean
administratif (misal Kabupaten/Kotamadya, dll) akan merupakan acuan untuk kode
adminstratif di dalamnya (misal Kecamatan, dll). Kode Kelurahan selalu diikuti
dengan Kode Administratif diatasnya,
Tahapan analisis dan pengolahan data akan dilakukan dengan 3 tahap besar, yaitu:
E - 10
E.5.1 Kajian Pendahuluan
c. Melakukan indikasi awal, adanya manfaat dari usulan proyek tersebut, baik bagi
pengguna jalan berupa peningkatan aksesibilitas, penurunan biaya transport
serta manfaat bagi lingkungan yang lebih luas.
Untuk melaksanakan Kelayakan Rekayasa akan digunakan data yang ada dalam
koridor yang dikaji. Diantaranya sebagai berikut:
a. Rincian tata guna lahan dan rincian dari tata guna lahan pertanian yang ada dan
yang potensial di area studi.
c. Deskripsi iklim dari area studi yang memuat rincian tentang faktor iklim yang
penting untuk pertimbangan rekayasa diantaranya: curah hujan (penyebaran
dan intensitas bulanan termasuk jumlah hari hujan per bulan), suhu (kisaran
minimum, rata-rata dan maksimum per bulan dalam setahun).
E - 11
E.5.2.2 Metodologi Kelayakan Rekayasa
Hasil identifikasikan karakteristik dan kondisi daerah studi akan digunakan sebagai
input untuk mengevaluasi kesinambungan pergerakan arus lalu lintas yang ada,
kemungkinan pembuatan rute alternative pada saat pelebaran jalan tidak layak
untuk dilaksanakan.
Dalam estimasi ini akan diperhatikan kemungkinan perubahan ruang milik jalan
maupun ruang manfaat jalan yang diakibatkan dari pelebaran jalan.
E - 12
E.5.3 Analisa Lalulintas dan Angkutan
Untuk analisis lalu lintas akan disediakan data yang diperlukan untuk kalibrasi
sebagai berikut:
a. data statistik (demografi, sosial ekonomi)
b. data spasial
f. jenis angkutan
E - 13
E.5.3.2 Metodologi Peramalan Lalu lintas
Prediksi kebutuhan pelebaran jalan akan dilakukan peramalan lalu lintas 24 jam
untuk jangka waktu 20 tahun mendatang. Untuk peramalan tersebut akan
diperhitungkan tingkat pertumbuhan lalu lintas dalam berbagai skenario jaringan
jalan, termasuk didalamnya rencana pembangunan jalan baru serta kemungkina
perubahan guna lahan. Sebagai input peramalan akan diidentifikasikan daerah-
daerah potensial yang menimbulkan pertumbuhan lalulintas maupun daerah-daerah
potensial pengembangan ekonomi daerah yang terpengaruh dengan adanya
pelebaran jalan. Hasil peramalan ini akan dijadikan dasar untuk memperkirakan
kebutuhan angkutan jalan raya dimasa yang akan datang.
Secara umum tujuan pemodelan transportasi adalah untuk mengetahui perilaku atau
karakteristik sistem transportasi, dalam arti bagaimana keterkaitan yang ada antara
komponen-komponen sistem, untuk memprediksi perubahan yang mungkin terjadi
pada karakteristik transport demand (misalnya arus lalulintas) sebagai akibat dari
perubahan yang terjadi pada komponen sistem (seperti perubahan tata guna lahan),
dan sebagai alat analisis dan evaluasi berbagai alternatif.
Model ini bertujuan memperkirakan jumlah perjalanan yang akan mulai atau
berakhir pada masing-masing zona wilayah analisis dalam suatu wilayah untuk suatu
hari pada suatu tahun target tertentu. Model-model Trip Generation:
E - 14
Model pergerakan perjalanan dapat dinyatakan dalam fungsi matematis dari
beberapa atribut (X1, X2, ..., Xn)
Dengan:
P = bangkitan perjalanan
A = tarikan perjalanan.
Data Base
Tahun dasar / masa depan
Trip Generation
Trip Distribution
Modal Split
Traffic Assignment
Evaluasi
E - 15
Contoh formulasi pada model faktor pertumbuhan adalah sebagai berikut ini.
Ti Fi .ti
f ( Pi d , Ii d , Ci d )
dan: Fi
f ( Pi c , Ii c , Ci c )
dengan:
i = zona,
F = faktor pertumbuhan,
P = populasi,
I = income,
C = car ownership,
d = masa datang,
c = masa sekarang.
Y a 0 a 1 x1 a 2 x 2 a 3 x 3
dengan:
a0,a1,a2,a3 = konstanta.
E - 16
c. Cross Classification atau Category Analysis (Model Klasifikasi Silang),
dengan cara membagi suatu zona dalam beberapa kategori sesuai
sifat-sifat zona tersebut. Misalnya jumlah perjalanan rata-rata per hari
akan berbeda sesuai dengan pendapatan per keluarga atau jumlah
kendaraan bermotor yang dimiliki. Contoh :
Pi hi ( c ) tp ( c )
dengan:
Analisis klasifikasi silang ini memiliki lebih sedikit batasan dibandingkan dengan
analisis regresi, misalnya dengan tidak mengasumsikan adanya hubungan linier.
Kerugian secara teknik adalah data yang dibutuhkan sangat banyak untuk tiap
kategori, dan rata-rata bangkitan perjalanan untuk tiap kategori secara statistik
harus dapat diterima. Masalah lain adalah tidak terdapatnya uji statistik untuk
menguji keabsahan model.
E - 17
a. Model Faktor Pertumbuhan (Growth Factor):
Model ini merepresentasikan perilaku orang atau sekelompok orang dalam memilih
jenis kendaraan yang digunakan, dengan asumsi orang akan memilih jenis moda
yang memberikan kepuasan terbesar.
E - 18
E.5.4.4. Traffic Assignment (Pembebanan Lalulintas/Pemilihan Rute)
Model ini mengalokasikan perjalanan yang telah dipisahkan menurut moda masing-
masing ke dalam berbagai rute jaringan yang tersedia yang menghubungkan zona
asal tujuan yang ditentukan.
E - 19
a. Sistem Manajemen Jalan Nasional dan Propinsi, yang terdiri atas:
- BM (Budgeting Module)
SEPM : mempunyai dua manfaat yaitu untuk strategic mode dan untuk optimasi
strategi penanganan (dari total 23 opsi strategi) yang memberikan keuntungan
ekonomi paling tinggi dengan kendala budget yang tersedia (menggunakan
pendekatan efficiency frontier yaitu incremental Net Present Value/Cost atau
INPV/IC).
E - 20
Selain mengoptimasi strategi penanganan jalan hasil keluaran dari IRMS, SEPM
juga dapat mengoptimasi output KRMS, URMS, dan BMS serta opsi
pembangunan jalan (hasil studi kelayakan untuk peningkatan kapasitas/CAPEX
dan jalan baru).
Selain direct benefit dari pengurangan biaya operasi kendaraan dan waktu
tempuh perjalanan (manfaat untuk pengguna jalan), model IIRMS juga dapat
memperhitungkan indirect benefit berdasarkan hasil analisa makro ekonomi
dengan menggunakan model computable general equilibrium (CGE) dan model
input-output (I-O).
EHIM : dapat digabung dengan fasilitas URMS, KRMS, dan BMS untuk
penampilan jaringan jalan dan jembatan dalam peta GIS.
Dari berbagai modul yang tersedia dalam IRMS, beberapa pendekatan yang dapat
dilakukan untuk mengintegrasikannya dengan aspek makro pengembangan wilayah
(penataan ruang) adalah:
a. Database jaringan jalan nasional dan propinsi yang ada dalam IRMS digunakan
sebagai basis data fisik ruas jalan (termasuk data volume lalulintas yang
melewati ruas jalan tersebut).
b. Modul SMD, Data Sectioning, dan NAM digunakan untuk menentukan agregasi
SEGMENT/SUBLINK/RELINK dan parameter ekonomi (termasuk biaya pengguna
jalan dan agency cost) untuk berbagai strategi penanganan jalan.
c. Hasil keluaran modul pada tahap 2 di atas diekspor untuk dianalisis secara
eksternal. Secara eksternal, atribut data ruas jalan dilengkapi dengan data
makro pengembangan wilayah, bangkitan/tarikan perjalanan penumpang dan
barang, keterpaduan antar moda, dan sebagainya (sesuai variabel operasional
E - 21
yang tercantum dalam 7 kriteria program penanganan jalan antar
kota/kabupaten)
d. Hasil evaluasi keluaran modul NAM (dalam bentuk indikator ekonomi yaitu Net
Present Value/Cost atau NPV/C) digabung dengan kuantifikasi kriteria lain dan
selanjutnya dikalikan dengan bobot masing-masing kriteria. Hasilnya adalah total
skor masing-masing ruas jalan yang menjadi dasar optimasi (perangkingan)
program penanganan jalan.
Peran jalan yang sangat penting dalam mendukung semua kegiatan masyarakat
perlu dipelihara secara berkesinambungan agar berfungsi optimum sesuai dengan
standarnya. Standar jalan merupakan acuan perwujudan fisik prasarana transportasi
yang menggunakan jalan darat, ditetapkan dengan kriteria minimum sesuai dengan
sarana yang harus dilayaninya berikut karakteristiknya sehingga apapun suatu
perjalanan harus terlaksana secara aman, cepat, murah, dan nyaman.
Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting
terutama dalam mendukung kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya
serta lingkungan. Jalan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah
agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah,
membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan
dan keamanan nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka
mewujudkan sasaran pembangunan nasional.
E - 22
Dalam mewujudkan prasarana transportasi darat yang melalui jalan, harus terbentuk
wujud jalan yang menyebabkan pelaku perjalanan baik orang maupun barang,
selamat sampai di tujuan, dan dalam mendukung kegiatan ekonomi, sosial, budaya
dan lingkungan, perjalanan harus dapat dilakukan secepat mungkin dengan biaya
perjalanan yang adil sehingga dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Disamping itu, adalah hal yang ideal untuk pelaku perjalanan, selain dapat dilakukan
dengan selamat, cepat dan murah, juga nyaman, sehingga perjalanan tidak
melelahkan (Iskandar, 2009).
Bentuk dan dimensi optimum jalan inilah yang harus ditetapkan secara optimum
untuk mewujudkan jalan yang Aman yang menyebabkan perjalanan orang dan
barang selamat sampai ke tujuan. Bentuk dan dimensi ini menjadi standar minimum
jalan yang menjamin terwujudnya keselamatan transportasi darat.
Prinsip keselamatan bagi pengguna jalan, bahwa seluruh kendaraan yang beroperasi
di jalan-jalan dapat memperoleh ruang yang cukup bagi kendaraan tersebut untuk
melakukan perjalanan dengan kecepatan yang ideal tanpa gangguan dalam lajurnya
maupun dari sampingnya, sesuai dengan tujuan perjalanan. Setiap perjalanan
kendaraan harus memiliki ruang yang jelas dengan batasan-batasan penggunaannya
agar tidak terjadi pergerakan yang tidak diharapkan.
E - 23
Mempertimbangkan sistem Pembinaan transportasi di Indonesia berada dibawah
beberapa institusi pemerintah, yaitu Departemen Pekerjaan Umum sebagai pembina
prasarana transportasi, Departemen Perhubungan sebagai pembina sarana
transportasi, Polri sebagai pembina utama Pengguna jalan pelaku perjalanan, dan
lain-lain, maka baik tanggung jawab maupun kewenangannya pun terpisah-pisah
tetapi dalam satu bijakan yang sama (Iskandar, 2009).
UU. 38/2004 beserta PP. No. 34/2006 tentang jalan dan UU. 22/2009 tentang
lalulintas dan angkutan jalan beserta PP. 43/1993 tentang prasarana transportasi,
mengatur klasifikasi jalan yang sesuai dengan karakter perjalanan dan karakter
kendaraan pengguna jalan ditinjau dari sisi dimensi kendaraan, fungsi jalan yang
direpresentasikan melalui kecepatan perjalanan kendaraan, dan berat kendaraannya.
Klasifikasi tersebut pada dasarnya menjadi ukuran standar minimum untuk
mewujudkan keselamatan transportasi darat yang menggunakan jalan, demikian
juga untuk perwujudan prasarana transportasi, mengacu kepada undangundang ini.
Standarisasi penggunaan jalan yang diatur sesuai dengan undang-undang dan
peraturan yang berlaku tersebut diringkaskan dalam Tabel E.1.
4200 kendaraan
dari 1,7 x lebar
E - 24
KELAS FUNGSI Dimensi Maksimum dan Muatan Sumbu
JALAN JALAN Terberat (MST) Kendaraan Bermotor yang
harus mampu ditampung
Lebar Panjang MST Tinggi (mm)
(mm) (mm) (Ton)
UU 22/2009, ps 19, dan PP 43/1993, ps 11 ayat PP 44/1993, ps
(1) RUU LLAJ/2006 ps 12 ayat (1) s.d (4) 115, ayat (1) huruf
b
lebih dari 18000 mm
Sumber: PP 43/1993,PP 44/1993, RUU LLAJ/2006
Tabel E.1 menyimpulkan ada 4 katagori kendaraan dengan “izin” beroperasi di jalan-
jalan umum, adalah sebagai berikut:
a. “Kendaraan kecil” dengan panjang dan lebar maksimum 9000x2100mm, dengan
Muatan Sumbu Terberat (MST)≤8ton, diizinkan menggunakan jalan pada semua
katagori fungsi jalan yaitu jalan lingkungan, jalan lokal, jalan kolektor, dan jalan
arteri.
c. “Kendaraan besar” dengan panjang dan lebar maksimum 18000x2500 mm, serta
MST≤10ton, diizinkan terbatas beroperasi di jalanjalan yang berfungsi arteri
saja; dan
E - 25
Izin yang terbatas kepada kendaraan-kendaraan besar khusus, besar, dan sedang
tidak berarti memotong arus aliran angkutan karena dimensi atau beratnya yang
besar, tetapi lebih mengatur lalulintas kendaraan sebagai perwujudan efisiensi.
Untuk memfasilitasi perjalanan orang dan barang yang menggunakan kendaraan
“besar”, maka pada setiap perubahan “izin” jalan kendaraan, perlu dibuat terminal
sebagai tempat pergantian moda, atau lebih tepatnya katagori kendaraan. Misalnya,
dari perjalanan arterial, dengan MST> 10ton, jika akan memasuki jalan arterial
dengan MST≤10ton, maka diperlukan tempat untuk merubah muatan kendaraan
agar MST kendaraan tidak lebih dari 10ton. Dalam hal ini, untuk memenuhi
MST≤10ton dapat juga dilakukan dengan berganti kendaraan. Disinilah diperlukan
terminal untuk angkutan barang. Prinsip yang sama berlaku pula untuk angkutan
orang.
Misalnya, kendaraan yang melakukan perjalanan arteri, dengan MST>10 ton, jika
memasuki jalan arterial dengan MST≤10ton, maka perlu menurunka n bebannya.
Seandainya beban kendaraan tidak disesuaikan, maka perkerasan jalan akan
mengalami “overloading” sehingga akan cepat rusak. Jalan yang rusak tidak dapat
dilalui kendaraan dengan kecepatan yang diharapkan, karena permukaan perkerasan
yang tidak rata. Jalan yang tidak rata cenderung menyebabkan perjalanan
kendaraan yang tidak stabil dan membahayakan. Contoh lain, jika kendaraan besar
arterial masuk ke jalan lokal yang berdimensi jalan lebih kecil dengan izin MST yang
lebih rendah, maka perkerasan jalan akan rusak lebih awal dan dimensi kendaraan
yang besar akan menghalangi pergerakan kendaraan lain yang sedang operasi di
jalan lokal. Dengan demikian kinerja pelayanan jalan menjadi menurun, terjadi
E - 26
banyak konflik antar kendaraan dan perkerasan lebih cepat rusak. Dengan demikian
“disiplin” penggunaan jalan harus ditegakkan secara konsisten agar keselamatan
transportasi jalan dapat terwujud.
Jalan ditetapkan keberadaannya dalam suatu ruang yang disebut: (1) Ruang
Manfaat Jalan (Rumaja); (2) Ruang Milik Jalan (Rumija); dan (3) Ruang Pengawasan
Jalan (Ruwasja). Ruang-ruang tersebut dipersiapkan untuk menjamin kelancaran
dan keselamatan pengguna jalan disamping juga keutuhan konstruksi jalan. Dimensi
ruang yang minimum untuk menjamin keselamatan pengguna jalan diatur sesuai
dengan jenis prasarana dan fungsinya. Gambar E.4 menunjukkan ruang jalan
secara skematis, dan Tabel E.2 menjelaskan definisi ruang jalan termasuk ukuran
minimumnya.
E - 27
Sumber: Peraturan Pemerintah RI Nomor 34 tahun 2006
Dalam hal ukuran lebar Badan Jalan, besarnya sangat tergantung kepada jumlah
lajur jalan sesuai fungsinya dan tipe prasarana yang digunakan. Tabel E.2
menunjukkan standar lebar badan jalan minimum.
E - 28
Tabel E.2. Ruang Jalan dan Ukuran Bagian-bagian Jalan
RUANG JALAN Peruntukan UKURAN
Badan Jalan Pelayanan Lalu lintsa dan angkutan (Arteri & Kolektor), Lebar Rumaja =
(dilengkapi jalan (termasuk median jalan, Lebar Badan jalan)
ruang perkerasan jalan, jalur pemisah, (Arteri & Kolektor, tinggi minimum =
bebas)+ bahu jalan, saluran tepi jalan, 5,00 m)
Trotoar, lereng, Ambang (Arteri & Kolektor, kedalaman
Pengaman, Timbunan & Galian, minimum = 1,50 m)
RUMAJA
15 10 7 5
Dalam system jarinagn jalan
SEKUNDER
15 5 3 2
Kecepatan Lebar
Jenis
Rata- Badan
FUNGSI Angkutan Jarak Persimpangan Jumlah
rata/ Jalan
JALAN yang perjalanan sebidang Akses
Rencana Minimum
dilayani
(km/jam) (m)
Tinggi
Angkutan
ARTERI Jauh Vr min = 11,00
utama Diatur Dibatasi
60
KOLEKTOR Pengumpul Sedang Sedang 9,00
E - 29
atau Vr min =
pembagi 40
Rendah
Angkutan
LOKAL Vr min = 7,50
Setempat
20 Tidak
Dekat Tidak Diatur
Rendah Dibatasi
Angkutan
LINGKUNGAN Vr min = 3,50 - 6,50
Lingkungan
10-15
Sumber: Undang-undang Pemerintah RI Nomor 38/2004, Peraturan
Pemerintah RI Nomor 34/2006
E - 30
Tabel E.3. Spesifikasi dan Lebar Badan Jalan Minimum Berdasarkan
Penyediaan Prasarana Jalan
Untuk hal tersebut, bentuk akhir jalan sesuai dengan penyediaan prasarana yang
dituntut seperti ditunjukkan dalam Tabel 3.4 sebagai standar minimum yang harus
diwujudkan untuk menjamin terwujudnya keselamatan transportasi jalan.
Lebar badan jalan sesuai spesifikasi ini tergantung dari tipe jalan dan jumlah lajur
jalan yang dibutuhkan oleh jumlah lalulintas yang harus dilayaninya.
E - 31
E.6.4. Standar Kinerja Jalan
Bentuk prasarana jalan sebagaimana diuraikan dalam Tabel E.3, selanjutnya disusun
matrik klasifikasi jalan yang mengaitkan sistem jaringan jalan, klasifikasi fungsi jalan,
kelas jalan berdasarkan fungsi jalan, dan klasifikasi penyediaan prasarana, dimana
setiap kelas jalan tersebut diharapkan dapat memberikan tingkat kinerja sesuai
dengan yang diharapkan. Matriks tersebut ditunjukkan dalam Tabel E.4 dimana
kinerja jalan yang diharapkan (disebut Tingkat Pelayanan yang diinginkan) sesuai
dengan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No.14/2006 yang ditunjukkan
dalam Tabel 5 kolom akhir.
Matriks dalam Tabel 3.4 merupakan wujud standar jalan yang diharapkan oleh
Undang-undang yang menjamin keselamatan penggunanya dan memiliki tingkat
pelayanan jalan yang optimum.
E - 32
Tabel E.4.
Matriks Klasifikasi Jalan berdasarkan Fungsi, Kelas, dan Prasarana
E - 33
Di dalam prakteknya pada jalan-jalan umum, kinerja jalan yang ada masih jauh dari
yang diharapkan bila dikaitkan dengan amanat undang-undang dan peraturan
pemerintah yang lain, kondisi ini semakin terlihat pada aktivitas jam-jam sibuk.
Banyak hal yang secara kasat mata dapat diidentifikasikan sebagai penyebab adanya
kondisi ini, misalnya: (1) perwujudan dan pemanfaatan Rumija yang masih belum
konsisten seperti bahu atau trotoar yang digunakan bukan untuk lalulintas (misalnya
dipakai pedagang kaki lima); (2) pemanfaatan jalan yang bercampur antara fungsi
arteri, kolektor, dan lokal (misal kendaraan yang operasinya lokal dan “stop and go”
beroperasi di jalan arterial); serta (3) akses ke jalan arteri yang tidak terkontrol
sama sekali sehingga arus lalulintas arterial terganggu kecepatannya.
Standar jalan yang lebih detail diuraikan secara lebih lengkap dalam kebijakan
perencanaan yang tertuang dalam Ketentuan Desain Geometrik Jalan. Acuan
perencanaan geometrik jalan yang pernah diterbitkan misalnya Tata Cara
Perencanaan Geometrik Jalan antar kota (Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997).
Salah satu ketentuan untuk jalan antar kota (jalan dalam sistem jaringan jalan
Primer) yang masih dalam taraf penyusunan adalah seperti terlihat pada Tabel 3.6.
Pada konsep ini, yang dijadikan sebagai ketentuan adalah fungsi jalan, medan, lebar
RUMIJA minimum, kecepatan rencana, lebar jalur minimum, lebar median minimum,
lebar bahu luar minimum, super elevasi maksimum dan landai maksimum.
Sedangkan kelas jalan yang dibedakan adalah kelas jalan bebas hambatan, jalan
raya, jalan sedang dan jalan kecil.
E - 34
Tabel 3.5. Kriteria Tingkat Pelayanan Lalulintas
Sifat
TINGKA Kebebasan
Arus Kecepa Kepada Hambata
T PELA- Volume pengemud
Lalu tan tan n internal
YANAN i
lintas
Bebas
Tidak ada memilih
Arus Sangat
A Rendah Tinggi hambatn kecepatan
bebas rendah
internal dan lajur
yang dipakai
Masih
Tinggi
memiliki
dan Ada tetapi
kebebasan
dibatasi belum
memilih
B Stabil Sedang oleh Rendah mempenga
keceptan
volume ruhi
dan
lalu kecepatan
lajuryang
lintas
dipakai
Sedang Sedang,
Terbatas
dan hambat
Ada dan unutk
dikendal n
mulai memilih
ikan internal
C Stabil Tinggi mempenga kecepatan,
oleh lalu
ruhi pindah lajur,
volume lintas
kecepatan dan atau
Lalu meningk
mendahului
lintas at
Sedang,
sangat Sedang,
dipenga hambat Sangat
ruhi n Ada dan terbatas
Mendekat
oleh internal mempenga untuk
D i tidak Tinggi
perubah lalu ruhi memilih
Stabil
an lintas kecepatan kecepatan
volume meningk dan lajur
lalu at
lintas
Tidak
Rendah Tidak ada
Stabil,
dan kebebasan
arus Ada dan
terjadi pengemudi
mulai Mendeka tinggi serta
kemacet dalam
E tersendat ti Tinggi mempenga
an memilih
dan kapasitas ruhi
dalam kecepatan
terjadi kecepatan
durasi dan lajur
antrian
pendek jalan
pendek
E - 35
Sifat
TINGKA Kebebasan
Arus Kecepa Kepada Hambata
T PELA- Volume pengemud
Lalu tan tan n internal
YANAN i
lintas
Sangat
Tidak
rendah Tidak ada
Stabil, Ada dan
dan kebebasan
arus sangat
terjadi pengemudi
mulai tinggi,sang
kemacet sangat dalam
F tersendat Rendah at
an tinggi memilih
dan mempenga
dalam keceptan
terjadi ruhi
durasi dan lajur
antrian kecepatan
yang jalan
panjang
lama
Sumber: Permenhub 14/2006
E - 36
Di Indonesia, standar geometrik jalan masih perlu dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan. Banyak perencanaan geometrik jalan yang mengacu kepada standar dari
Negara lain, yang paling umum adalah AASHTO (2001). Salah satu hal yang nyata
misalnya “concrete barrier” sebagai alat pemisah jalur lalulintas di jalan Tol
Cipularang memiliki tinggi yang berbeda. Hal ini menunjukkan penggunaan standar
yang berbeda untuk suatu ruas jalan yang sama.
Satu hal yang masih perlu ditetapkan adalah keberadaan sepeda motor yang fasilitas
jalannya masih bergabung dengan kendaraan roda≥4. Catatan kecelakaan
menunjukkan bahwa keterlibatan sepeda motor dalam kecelakaan di Indonesia
sudah mencapai proporsi yang memprihatinkan, mencapai sekitar 60-81% dari
seluruh kecelakaan (Iskandar, 2007). Untuk itu, melengkapi jalan-jalan dengan lajur
khusus sepeda motor (LKSM) merupakan upaya yang perlu diprioritaskan dalam
mengurangi angka kejadian kecelakaan dimasa yang akan datang. Prioritas
melengkapi LKSM pada tahap awal perlu diletakkan pada jalan arterial untuk
menjaga kinerja jalan arterial tetap pada fungsinya (Iskandar, 2009).
Standar Jalan yang menjamin keselamatan bagi para penggunannya secara garis
besar telah diamanatkan oleh Undang-undang No.38/2004 tentang Jalan, Peraturan
Pemerintah No.34/2006 tentang Jalan, Undang-undang No. 22/2009 tentang
Lalulintas dan Angkutan Jalan, beserta peraturan-peraturan pemerintah yang
melengkapinya. Amanat tersebut diungkapkan dalam uraian dimuka yang
merupakan standar minimum jalan agar dapat terwujudnya lalulintas yang menjamin
keselamatan penggunanya ditinjau dari sisi prasarana jalan. Kebijakan lebih detail
dari standar minimum tersebut diuraikan dalam standar geometrik jalan yang masih
banyak mengadopsi dari standar luar, misalnya AASHTO (2001). Hal yang masih
belum diatur lebih khusus dalam sistem jaringan jalan di Indonesia adalah fasilitas
khusus untuk sepeda motor (LKSM).
E - 37
E.6.5. Analisis Perkerasan Jalan
E - 38
Pembangunan bertahap dari konstruksi perkerasan dapat merupakan alternatif yang
ekonomis. Suatu pembangunan bertahap akan menyebabkan elevasi permukaan
jalan meninggi dan hal ini perlu diantisipasi sehubungan dengan keterkaitannya
dengan prasarana sekelilingnya dan berubahnya ruang bebas di atas permukaan
jalan.
b. Peningkatan jalan lama, hal ini terjadi apabila sebagian ruas jalan melalui jalan
lama
2) Komposisi/jenis kendaraan
E - 39
Dengan mengetahui data tersebut di atas dapat dihitung lintas ekuivalen tengah
dengan menggunakan rumus berikut ini:
n
LEP LHR C E
1
n
LEA LHR (1 i ) n C E
1
Dengan:
LER = LET x FP
FP = UR/10
c. Faktor Regional
d. Indeks Permukaan
E - 40
Indeks permukaan ini menyatakan nilai dari kerataan/kehalusan serta
kekakuan permukaan yang berkaitan dengan tingkat pelayanan.
1) Lapis permukaan, yang dibuat dari campuran beton aspal berdasarkan nilai
uji Marshall.
b) Apabila digunakan batu pecah atau sirtu maka dihitung berdasarkan nilai
CBR.
E - 41
4) Tokoh dan pemuka masyarakat, serta pemimpin informal yang sering
menjadi panutan bagi masyarakat setempat.
- Kondisi topografi
3) Laporan studi kegiatan lain yang berada di daerah yang sama, dapat
menjadi sumber informasi.
E - 42
4) Peraturan perundangan, terutama strategi pemerintah dalam menetapkan
kawasan lindung, penetapan situs dan benda cagar budaya, maupun
penetapan tata ruang.
5) Informasi dari instansi terkait lain tentang kondisi wilayah setempat, seperti
keberadaan masyarakat adat dari Dinas Sosial.
E - 43
1) Harus diterbitkan Perda yang mengatur larangan untuk mendirikan
bangunan dan adanya aktifitas lain yang tidak sesuai dengan fungsi
kawasan.
Gambaran siklus pelaksanaan AMDAL untuk jalan dapat dilihat dalam Gambar E.5.
Sumber: Subdit. Teknik Lingkungan, Direktorat Bina Teknik, Ditjen. Bina Marga,
E - 44
Pada tahap studi kelayakan output dari kajian lingkungan adalah:
a. Data primer mengenai aspek-aspek lingkungan, seperti yang teridentifikasi
dalam pra studi kelayakan;
a. Lingkungan biologi
E - 45
wilayah jelajah binatang tertentu berkurang. Selain itu, jalan dapat
membahayakan migrasi beberapa hewan melata ataupun burung-burung
yang mungkin akan mempengaruhi populasi hewan-hewan tersebut.
Pemrakarsa kegiatan harus melakukan identifikasi secara akurat terhadap
keberadaan dan perilaku hewan tersebut sehingga dapat memberikan
rekomendasi bagi alternatif solusi yang diusulkan dalam pembangunan
prasarana transportasi.
1) Tanah
2) Kualitas air
3) Polusi udara
E - 46
4) Kebisingan dan vibrasi
1) Kependudukan
5) Keamanan;
6) Kesehatan masyarakat;
7) Pendidikan;
9) Estetika visual;
E - 47
E.6.7. Teknis penanganan
E - 48
E.8. METODOLOGI PELAKSANAAN
Dalam melaksanakan pekerjaannya konsultan mengacu kepada semua ketentuan
standar operasional, peraturan dan ketentuan yang berlaku khususnya juknis terkait,
yang dikeluarkan Departemen Pekerjaan Umum serta mengunakan formulasi ilmiah,
pendekatan akademik dan pengalaman teknis. Survey lapangan juga harus
dilengkapi dokumentasi kegiatan dan diharapkan dapat mengikut sertakan instansi
terkait.
A. Persiapan
Pada tahap ini Konsultan melakukan beberapa kegiatan dalam rangka
persiapan pelaksanaan kegiatan selanjutnya. Adapun kegiatan-kegiatan yang
dilakukan pada tahap ini yaitu :
E - 49
4. Tinjauan Metodologi
Penyesuaian dan penyusunan detail rencana kerja serta pembentukan dan
optimasi organisasi kerja yang akan melakukan studi ini.
E - 50
Pada Pemetaan Jaringan Jalan (GIS) Dalam Kabupaten Empat Lawang
ditentukan beberapa indikator kinerja yang sifatnya telah menjadi kesatuan
yang tergambarkan dalam karakteristik jaringan jalan . indikator tersebut
adalah :
2. Pemberian Kodefikasi
Proses Kodefikasi merupak kegiatan awal dari implementasi Pemetaan
Jaringan Jalan (GIS) Dalam Kabupaten Empat Lawang. Pekerjaan ini
dilakukan di kantor. Untuk kodefikasi ini digunakan data sekunder.
Kodefikasi merupakan suatu acuan yang mendasar dari bank data,
meliputi :
a. Kode Propinsi
b. Kode Kabupaten
c. Kode Kota
d. Kode Kecamatan
e. Kode Kelurahan/ Desa
f. Kode Grid
g. Kode Jalan
E - 51
h. Kode Simpul
i. Kode Ruas Jalan
Kodefikasi ini nomer a sampai dengan e dapat diperoleh dari Biro Pusat
Statistik atau pemda setempat. Untuk kodefikasi nomer f sampai dengan i
dilakukan oleh Tim Pelaksana di Kantor.
E - 52
Kode jalan dilakukan dengan cara :
- Siapkan peta fungsi jalan dengan telah memberi warna jalan sesuai
fungsinya :
Arteri Primer : Merah
Kolektor Primer : Kuning
Arteri Sekunder : Biru
Kolektor Sekunder : Coklat
Lokal : Hitam
- Titik awal jalan dimulai dari pusat kota ke arah luar kota atau dari grid
terdekat.
- Bila dalam satu grid terdapat jalan dengan fungsi sama, maka yang
diberi kode terlebih dahulu adalah jalan yang terdekat titik pusat kota.
Kode sampul dilakukan dengan cara memberikan penomeran di peta kota
pada :
- Setiap persimpangan/ pertemuan jalan
- Perubahan tipe jalan ( perubahan jumlah jalur)
- Perubahan arus lalulintas kelokan tajam 900
3. Survei Inventarisasi Jalan
Survei ini bertujuan untuk mendata geometrik jalan, guna mendafatkan
gambaran tentang geometrik jalan secara detail. Pekerjaan utama yang
dilakukan yaitu :
a. Konfirmasi ruas Jalan (nama jalan, panjang jalan, dll)
b. Potongan memanjang dan melintang jalan.
Inventarisasi ini dilakukan terhadap seluruh ruas jalan Arteri Pimer,
Kolektor Primer dan Arteri Sekunder sebagai data Primer dan data
Sekunder untuk ruas Jalan Kolektor Sekunder dan Lokal Sekunder. Data
sekunder untuk kegiatan ini bisa di singkronkan dengan kegiatan TPJK
(Tim Perencana Jalan dan Jembatan Kabupaten) yang dilakukan di Dinas
Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Empat Lawang.
E - 53
a. Survei Konfirmasi Ruas Jalan
Survei konfirmasi ruas jalan dilakukan dengan mengukur panjang ruas
jalan dan mendata yang memotong, disamping tipe persimpangan dan
jenis kontrolnya. Data lebar jalan jika memungkinkan (khusunya pada
saat pembaruan data) juga dapat dicatat. Survei ini dapat dilakukan
dengan 2 cara :
1. Dengan menggunakan Wheell rollmeter sambil berjalan ; dengan
cara data panjang jalan dapat diukur dengan lebih teliti.
2. Dengan menggunakan bacaan pada spedometer dari kendaraan ,
dengan cara ini dapat dilakukan dengan cepat, tetapi panjang ruas
jalan yang diukur kurang teliti (kelipatan 100m)
E - 54
Survei kerusakan jalan secara visual dilakukan untuk mendata setiap
kerusakan jalan dan fasilitas penunjang jalan secara visual. Pemeriksaan
visual jalan dilakukan secara menerus perlajur jalan. Pendataan dilakukan
dengan mendata jenis kerusakan, tingkat kerusakan, dimensi kerusakan
dan lokasi kerusakan yang dinyatakan dalam STA awal sampai STA akhir.
a. Survei Ketidakrataan Permukaan Jalan
Adapun data-data yang perlu dicatat waktu dalam (detik), jarak (feet)
dan perhitungan Intergator. Data-data tersebut dihihung untuk
medapatkan nilai IRI (International Roughnnes Index) dalam satuan
m/Km.
b. Survei Lendutan
Survei lendutan jalan dilakukan untuk penilaian struktur perkerasan
dan untuk perencanaan lapis tambahan. Alat yang digunakan
Benkelman Beam dengan interval jarak titik-titik pemeriksaan 100 m,
200 m, 500 m, 1000 m atau sesuai dengan Kondisi lapangan.
c. Survei Alur dan Kekesatan Jalan
Survei alur dan kekerasan permukaan jalan dilakukan bersama dan
pada lokasi yang sama dengan survei lendutan jalan. Survei ini
mencakup pemeriksaan data alur, lelereng melintang, kekesatan
permukaan dan kedalaman tekstur. Dalam kondisi perkerasan dapat
diisi dengan 0 (kondisi perkerasan baik), 1 (kondisi perkerasan kritis), 2
(kondisi perkerasan rusak).
5. Survei Lalulintas
Survei dilakukan untuk mengetahui :
a. Volume Lalulintas
b. Komposisi Lalulintas
c. Kecepatan Kendaraan
Survei dilakukan pada hari kerja selama 16 – 24 jam tergantung dari
karakteristik jalan. Klasifikasi jenis kendaraan didasarkan pada manual
survei perhitungan lalulintas secara manual.
E - 55
Survei lalulintas ini dilakukan untuk seluruh ruas jalan Arteri Primer,
Kolektor Primer, Arteri Sekunder sebagai data Primer dan Kolektor
Sekunder Lokal Sekunder seagai data Sekunder. Formulir survei dan peta
lokasi survei lalulintas disajikan pada lampiran.
2. Penyusunan Program
Pada tahap ini program penaganan jalan disusun dengan
mengkonsultasikan dengan Project Officer sebagai personil yanga akan
membimbing dan mengarahkan Tim dalam menyelesaikan pekerjaan.
E - 56
PENDEKATAN TEKNIS PEMBUATAN PETA
Salah satu citra satelit resolusi tinggi yang akan digunakan adalah citra (image)
satelit Quickbird dengan resolusi 0.6 meter. Dengan menggunakan citra resolusi 0.6
meter ini akan dapat diperoleh kenampakan-kenampakan geografis yang cukup
detail, seperti jalan, rel kereta api, bangunan rumah-rumah penduduk, unsur-unsur
permukaan lainnya. Kelemahan dari citra quickbird ini adalah akurasinya. Meskipun
citra ini mempunyai resolusi 0.6 meter (1 pixel = 0.6 meter di tanah) akan tetapi
akurasi dilapangannya bisa meleset sampai 30 meter. Oleh sebab itu citra Quickbird
ini perlu dikoreksi sehingga akurasinya bisa mencapai 1 meter hingga 2.5 meter,
sesuai dengan kebutuhan skala peta yang akan dibuat pada pelaksanaan pekerjaan
ini.
Data Foto Udara maupun Citra Quickbird Ortho ialah data citra yang menyajikan
gambaran objek pada posisi ortografik yang benar. Oleh karena itu citra ortho
secara geometrik ekivalen terhadap peta garis konvensional dan peta simbol
planimetrik yang juga menyajikan posisi orthografik objek secara benar. Masing-
masing data citra perlu di Orthorektifikasi karena kedua data citra ini mempunyai
kemampuan off-Nadir dalam perekaman datanya. Artinya bahwa kamera dapat
dimiringkan beberapa derajat untuk merekam suatu daerah, akibatnya citra yang
dihasilkan akan mengalami distorsi akibat kesendengan.
Bahkan, untuk data foto udara sendiri, banyak sekali faktor pengaruh yang dapat
menyebabkan adanya distorsi, baik akibat perubahan arah gerak wahana
pemotretan maupun akibat perbedaan sudut pandang kamera pada saat
pemotretan. Untuk mengembalikan masing-masing data citra dalam posisi tegak,
maka perlu dilakukan orthorektifikasi, dengan teknik dan metode tertentu.
E - 57
Data Citra Quickbird dapat diperoleh dengan mudah dan tanpa harus melalui izin.
Seperti diterangkan di atas, bahwa akurasi dari citra ini sekitar 30 meter, sehingga
untuk memperoleh akurasi tinggi perlu dilakukan koreksi hingga mencapai kurang
dari 2.5 meter. Karena untuk meningkatkan akurasi ke level 2.5 meter tersebut
membutuhkan data Titik Kontrol Tanah (Ground Control Point) yang dapat diperoleh
dari hasil pengukuran lapangan.
Mengingat pekerjaan ini tidaklah sederhana dan dengan waktu yang sangat
terbatas, maka dalam penyusunan metodologi kerja, konsultan membuat simplikasi
dalam tahapan pekerjaan, yang pada intinya tetap sesuai dengan maksud dan
tujuan serta produk yang akan dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan dalam
Kerangka Acuan Kerja.
Metodologi kerja disusun terinci atas beberapa tahap pekerjaan utama yang dalam
pelaksanaannya terdiri atas :
1. Persiapan
2. Pengumpulan Data
6. Identifikasi Lapangan
E - 58
PERSIAPAN
PENGUMPULAN DATA
PENGEMBANGAN APLIKASI
IDENTIFIKASI LAPANGAN
KARTOGRAFI &
PENCETAKAN
E - 59
DIAGRAM ALIR PEMBUATAN PETA FOTO/CITRA DAN PETA GARIS
MENGGUNAKAN DATA FOTO UDARA DAN CITRA SATELIT
Ekstrak Metadata
Triangulasi Udara (Informasi Orbit, dll)
Pengukuran GCP
- Horizontal Control Point
- Vertical Control Point
Perataan Blok
Orthorektifikasi Orthorektifikasi
Pembuatan Pembuatan
Mosaik Mosaik
E - 60
METODOLOGI
1.Persiapan
1) Persiapan Umum
2) Penyusunan Rencana Kerja
A. Persiapan Umum
Setelah Surat Perintah Kerja diterima, Konsultan akan segera mengurus administrasi
yang berkaitan dengan pembuatan kontrak, termasuk didalamnya pengurusan dan
pembuatan Surat Jaminan Pelaksanaan, peminjaman data dari pemberi pekerjaan,
penyusunan rencana kerja dan jadwal pelaksanaan pekerjaan, serta konfirmasi atas
areal pemetaan dan jenis data.
Persiapan personil dilakukan seiring dengan persiapan kontrak dan pengurusan izin
diatas. Terhadap personil yang akan dilibatkan pada pekerjaan ini, akan dilakukan
penataran/pengarahan kerja terlebih dahulu.
E - 61
B. Penyusunan Rencana Kerja
C. Pengumpulan Data
Data utama yang akan digunakan dalam kegiatan ini adalah data citra satelit resolusi
tinggi sesuai dengan kebutuhan pekerjaan.
Data citra satelit resolusi tinggi yang akan digunakan pada pelaksanaan pekerjaan ini
adalah data citra satelit Quickbird dengan spesifikasi sebagai berikut:
ITEM QUICKBIRD
Jenis Data 0.6 meter Color
Level Data Standard Ortho Ready
Format Geo Tiff 16 bit belum
terkoreksi
Koreksi Radiometrik Sudah Terkoreksi
Radiometrik
Liputan Awan / Noise < 20 % dari Total Cakupan
Tolerance Area
Overlaping 1 Km
File Header * TIL
* RPB
* IMD
E - 62
Data lain yang juga perlu disiapkan untuk mendukung pelaksanaan pekerjaan ini
adalah data koordinat titik referensi horisontal dan referensi vertikal (titik tinggi)
orde 1 atau orde 2 yang direlease oleh Bakosurtanal. Data koordinat referensi
tersebut akan digunakan sebagai titik ikat (referensi) dalam pengukuran Bench Mark
(BM) yang berfungsi sebagai titik kontrol tanah (Ground Control Point).
Ground Control Point (GCP) adalah titik kontrol tanah yang diukur/ditentukan
koordinatnya di lapangan dalam sistem koordinat global, yang ditandai di lapangan
dengan bangunan berbentuk tugu/patok dari beton bertulang yang kemudian biasa
dikenal sebagai Bench Mark (BM).
Penggunaan GCP pada pelaksanaan Pemetaan Jaringan Jalan (GIS) antara lain
untuk titik kontrol pada saat proses triangulasi udara dan orthorektifikasi data
foto/citra.
Oleh karena itu, pemasangan BM untuk keperluan GCP dipilih sedemikian rupa
sehingga lokasinya dapat dipastikan aman, stabil dan dapat dengan mudah
diidentifikasi secara visual melalui foto udara maupun citra satelit. Dalam upaya
mendukung kelancaran dan kemudahan tahap pemrosesan data foto/citra
selanjutnya, maka untuk setiap BM dibuat dokumentasi berupa foto dan dibuatkan
uraian deskripsi lokasinya.
Jumlah dan konfigurasi penyebaran GCP dibuat sedemikian rupa sehingga memadai
untuk proses triangulasi udara. Sebaran (distribusi) pemasangan GCP ditentukan
berdasarkan metode strength of figure (kekuatan bentuk) jaringan titik kontrol yang
dirancang sesuai blok perekaman foto udara dan cakupan data citra satelit yang
digunakan.
E - 63
Pada tahap pelaksanaan kegiatan monumentasi (pemasangan BM) untuk keperluan
GCP, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:
Setiap tugu pada setiap stasiun akan dilengkapi dengan tablet logam/kuningan
yang diletakkan diatas tugu beton. Tugu tersebut dibuat dari campuran semen,
pasir dan kerikil dengan perbandingan (1:2:3). Hal ini sesuai dengan bentuk,
konstruksi dan cara pemasangan tugu yang umum.
Tugu terpasang dalam keadaan datar dan dalam jangka panjang tidak
terganggu aktivitas manusia.
Mudah dijangkau bagi pengukuran GPS maupun untuk penggunaannya sebagai
titik kontrol tanah.
Minimal waktu sebelum dilakukan pengukuran adalah 3 hari kerja setelah tugu
dipasang.
Untuk membedakan jenis stasiun dan untuk menyederhanakan sistem
pengarsipan, dibuat sistem penomoran titik GPS dengan berdasar pada
ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
Sketsa lapangan dan deskripsi BM akan dibuat untuk setiap tugu baru,
demikian juga dengan foto dari 4 (empat) arah (utara, timur, selatan, dan
barat) akan dibuat sehingga dapat diperoleh gambaran latar belakang lokasi
dari setiap arah.
B. Pengukuran GCP
E - 64
Jaringan titik kontrol horisontal dan titik kontrol tinggi diukur menggunakan GPS
(Global Positioning System). Dengan metode GPS ini maka penyediaan data titik
kontrol tanah dengan akurasi tinggi akan dapat diperoleh secara cepat, dengan
tetap memperhitungkan faktor fleksibilitas dan efisiensi biaya.
Pada umumnya, GPS digunakan hanya untuk penentuan posisi horisontal. Hal ini
disebabkan sistem referensi (datum) tinggi yang digunakan dalam GPS adalah
datum global WGS’84, sehingga data tinggi yang diperoleh dari hasil pengamatan
dengan GPS merupakan tinggi terhadap ellipsoid, sedangkan data tinggi yang
diperoleh dari hasil pengukuran secara konvensional (levelling) merupakan tinggi
orthometrik dengan sistem referensi tinggi permukaan laut rata-rata (Mean Sea
Level).
Metode penentuan posisi vertikal (tinggi) dengan GPS yang digunakan pada
pelaksanaan pekerjaan ini adalah dengan menentukan beda tinggi antar titik (BM)
yang diamati dengan GPS, dengan salah satu titik (BM) yang diamati merupakan BM
referensi sudah diketahui posisi horisontal dan tingginya. Sehingga hasil perhitungan
data tinggi yang diperoleh tetap merupakan tinggi orthometrik. Teknik penentuan
beda tinggi dengan GPS ini pernah dilakukan oleh Peneliti dari pihak Bakosurtanal
sejak tahun 2005 dengan hasil yang cukup memuaskan dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Persyaratan dan ketentuan yang harus dipenuhi dalam proses penentuan posisi
horisontal dan vertikal dengan melalui pengamatan satelit dengan GPS ini antara
lain:
E - 65
Alat penentuan posisi yang digunakan adalah GPS tipe geodetik dual frequency
(L1, L2).
Panjang baseline untuk setiap pengamatan tidak lebih dari 10 Km.
Effect dari multipath, seluruh sumber-sumber potensial dari multipath dalam
jarak 50 meter harus dicatat. Prosedur ini mengharuskan kendaraan harus parkir
diluar jarak 20 meter (diharapkan 50 meter) dari titik tersebut.
Pemasangan antene harus mempunyai tinggi lebih dari 0.3 m karena
pemasangan yang lebih rendah dari itu mengakibatkan kesalahan sistematik dari
multipath.
Seluruh sumber-sumber potensial dari inteferensi listrik atau radio dalam radius
titik yang diukur dilakukan pencatatan.
Untuk pencatatan data lapangan digunakan formulir data lapangan yang telah
disiapkan dan disetujui oleh Pemerintah Daerah Kota Balikpapan.
Pengamatan GPS Carrier phase dipergunakan dalam model penentuan posisi
relatif untuk menentukan komponen baseline antara dua titik. Pengamatan
satetit yang sama dilakukan secara bersamaan dan mengumpulkan data dengan
kecepatan dan epoch yang sama.
Teknik dan lama pengamatan setiap session dilakukan sesuai dengan tabel
berikut:
Minimal
Panjang Pengamatan Minimal Pengamatan
Baseline (Horisontal & (Horisontal)
Vertikal)
1 Km – 3 Km 2 jam ( L1 + L2 ) 20 menit ( L1 + L2 )
3 Km – 5 Km 2,5 jam ( L1 + L2 ) 30 menit ( L1 + L2 )
5 Km – 8 Km 3 jam ( L1 + L2 ) 40 menit ( L1 + L2 )
8 Km – 10 Km 3,5 jam ( L1 + L2 ) 45 menit ( L1 + L2 )
10 Km – 20 Km Tidak diamati 2 jam ( L1 + L2 )
> 20 Km Tidak diamati > 2 jam ( L1 + L2 )
E - 66
Catatan : Lama pengamatan seperti dalam tabel diatas digunakan dengan
syarat :
- Tersedia minimal 6 satelit
- GDOP lebih kecil dari 8
- Kondisi atmosfer dan ionosfer yang memadai
- Interval epoch 15 detik
Pengamatan dimulai dari titik kontrol horisontal dan vertikal orde 1 atau orde 2
yang direlease oleh Bakosurtanal.
Setiap titik diamati dari minimal 2 session.
Ketinggian antenna diukur sebelum dan sesudah pengamatan pada setiap titik,
dimana perbedaan kedua pengukuran tersebut tidak lebih dari 2 (dua) mm.
Pengamatan dilakukan dengan mengunakan 3 (tiga) receiver GPS dengan merk
dan jenis yang sama secara bersamaan dalam satu session pengamatan.
Setiap receiver GPS mampu menyimpan data selama minimum delapan jam dari
minimum enam satelit dengan interval epoch 15 detik.
Terdapat minimum satu titik sekutu / common point antara dua session
pengamatan dan pada titik tersebut (common point) dilakukan centring/setup
ulang guna memperoleh kontrol kesalahan.
Pengamatan satelit dilakukan dengan elevasi diatas 15 derajat.
Setelah selesai pengamatan, seluruh data harus didownload dan disimpan dalam
media hard disc, cd atau dvd.
Pemasukan data awal yang telah ditentukan kedalam receiver GPS penting artinya
bagi pemberian nama file. Pemasukan data awal ini dilakukan sesudah dan atau
sebelum pengamatan dilakukan. Data awal yang dimasukan adalah :
Nama Proyek
Nomor Job/session
Nama/Nomor session
Tinggi Antenna
Julian Day
E - 67
Nama Pengamat
Antena Offset.
Perekaman data dilakukan setelah semua peralatan terhubung dengan baik dan
benar. Receiver dihidupkan 5 (lima) menit sebelum waktu pengamatan yang telah
direncanakan (yang tertera dalam jadwal pengamatan). Waktu ini digunakan untuk
melakukan inisialisasi dan menjejak satelit yang berada diatas horison tempat
pengamatan.
Hasil pemrosesan pengamatan GPS akan berbeda satu sama lain tergantung dari
perangkat lunak dari jenis receiver yang digunakan. Dibawah ini akan dijelaskan
beberapa karakteristik perangkat lunak pemrosesan baseline sehingga pemprosesan
dapat berjalan optimal, yaitu :
E - 68
Mampu mengolah (memproses) data carrier beat phase dan pseudorange.
Mampu memecahkan cycle slips dan dual frequency.
Mampu menghitung besarnya koreksi troposfer untuk data pengamatan.
Mampu menghitung besarnya koreksi ionosfer untuk data pengamatan.
Pemrosesan menyertakan tinggi antenna di atas titik (pilar) dan dapat dikonversi
kedalam komponen vertical.
Dapat melakukan pemrosesan untuk semua metode pengukuran.
Mudah digunakan.
Pengukuran Baseline
Pengolahan Baseline
Tidak
Kontrol
Kualitas
Ya
Trnsformasi Kooordinat
Gambar 5.3 Diagram Alir Tahap Pengukuran Dan Pengolahan Data GCP
Dari diagram di atas, proses penentuan posisi absolute dengan mengunakan proses
pseudorange tidak dilakukan karena telah terdapat titik kontrol (referensi) yang
telah diketahui koordinatnya.
E - 69
Pengolahan data dilakukan dari titik kontrol (referensi) dan pengolahan baseline
selanjutnya menggunakan koordinat titik yang diperoleh dari pengolahan baseline
sebelumnya.
Dalam proses perhitungan baseline diatas terdapat tiga tahap proses yaitu :
Triple-Difference
Float Double-Difference
Fixed Double-Difference
Pada tahap ketiga, besaran parameter yang dihitung adalah parameter posisinya
saja, dengan terlebih dahulu meng-integerkan nilai integer-ambiguity yang
diperoleh dari tahap sebelumnya (Float Double-Defference). Solusi pada tahap ini
dikenal dengan istilah Fixed Doble-Difference Solution.
Keluaran dari pemrosesan baseline adalah parameter koordinat baik dalam system
kartesian maupun lintang bujur geodetic pada datum WGS’84 dan komponen
baseline. Selain itu dihasilkan estimasi standard deviasi dan matriks korelasi
parameter dan indicator dari kualitas hasil hitungan.
E - 70
Tahap akhir dari pengolahan data GCP hasil pengukuran dengan GPS adalah proses
transformasi koordinat. Trasformasi koordinat untuk setiap BM dalam jaring
dilakukan untuk memperoleh koordinat BM dalam sistem proyeksi UTM pada datum
WGS’84.
Dalam hal kontrol kualitas (evaluasi hasil pengukuran dan pengolahan) data posisi
horisontal dan vertikal, pada pelaksanaan pekerjaan ini digunakan minimal 2 titik
referensi horisontal dan vertikal yang direlease oleh Bakosurtanal pada setiap jaring
pengukuran / poligonnya.
Khusus untuk penentuan beda tinggi dengan GPS, dilakukan juga pengukuran
dengan metode konvensional menggunakan Waterpass pada beberapa ruas
pengukuran tertentu yang dipilih secara acak yang akan berfungsi sebagai sebagai
pembanding.
A. Triangulasi Udara
Triangulasi udara merupakan suatu teknik perbanyakan titik kontrol yang diperlukan
untuk proses restitusi foto atau orientasi foto ke dalam referensi tertentu, titik
kontrol ini biasa disebut titik minor. Titik kontrol tersebut umumnya diperlukan
minimum sebanyak 6 (enam) buah pada setiap model foto stereo dan diperoleh
sebagai hasil hitungan matematis fotogrametri dengan menggunakan data hasil
pengukuran pada model stereo dan hasil pengukuran kontrol lapangan.
Sehubungan dengan jumlah foto udara digital yang banyak dimana konsekuensinya
akan membutuhkan jumlah titik kontrol yang cukup banyak.
E - 71
Namun hal ini dapat diatasi dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Menggunakan data setiap eksposure sebagai titik kontrol tambahan, teknik tersebut
akan mengurangi jumlah titik kontrol yang diperlukan untuk proses triangulasi
udara. Jumlah dan sebaran titik kontrol GPS disesuaikan dengan kebutuhan dan
akurasi peta yang diinginkan.
B. Perataan Blok
Perataan blok merupakan kegiatan perhitungan perataan jaringan hasil pengukuran
titik kontrol, semua titik sudah mempunyai sistem koordinat yang sama yang sudah
diratakan. Hasil ini akan digunakan untuk melakukan rektifikasi foto udara. Perataan
blok dilakukan dengan menggunakan teknik bundle adjustment.
Hasil proses triangulasi udara kemudian dianalisa. Jika telah memenuhi ketentuan
teknis yang disyaratkan, maka hasilnya dapat dipergunakan untuk proses
fotogrametris selanjutnya.
C. Orthorektifikasi
Untuk mendapatkan peta foto digital dilakukan proses orthorektifikasi pada foto
udara hasil pemotretan dengan menggunakan kordinat titik kontrol tanah hasil
pengukuran survey GPS. Proses ini dilakukan secara digital menggunakan perangkat
lunak. Hasil dari proses ini berupa foto-foto yang memiliki sistem kordinat yang
seragam. Pada dasarnya orthorektifikasi merupakan pengkoreksian terhadap data
foto, yakni koreksi untuk menghilangkan tilt kamera pada saat exposure, dan
pergeseran karena perbedaan relief pada objek yang dipotret, dan lain sebagainya.
E - 72
Orthorektifikasi juga dilakukan terhadap data citra satelit. Dalam hal pengolahan
data citra, proses orthorektifikasi dikenal juga dengan proses koreksi geometrik.
Koreksi geometrik adalah suatu proses untuk menghilangkan distorsi geometrik dari
suatu citra dan untuk memperoleh hubungan antar sistem koordinat citra dan sistem
koordinat geografi. Adapun penyebab terjadinya distorsi geometrik pada satelit
penginderaan jauh diantaranya adalah akibat pengaruh rotasi bumi, kelengkungan
permukaan bumi, serta perbedaan ketinggian dan kecepatan pada saat perekaman.
E - 73
Sumber
Kesalahan DESKRIPSI
Geometrik
tetap normal terhadap permukaan bumi dan
sensor yang lainnya pararel terhadap arah
pergerakan wahana. Jika permukaan sensor tidak
mengikuti kondisi ini, maka akan menimbulkan
distorsi geometrik.
Penghamburan sinyal pada atmosfer dapat
mengubah distribusi spasial dari radiasi yang
dipantulkan oleh target (kaufman, 1989). Sebagai
Atmosfer
hasil resolusi spasial dari sistem penginderaan
jauh dapat terpengaruh oleh atmosfer (kaufman,
1989).
Pergeseran letak gambar oleh relief (relief
displacment) merupkan pergeseran atau
perpindahan letak suatu kedudukan gambar objek
yang disebabkan karena relief, yaitu letak
ketinggiannya di atas atau di bawah bidang datum
yang dipakai (Wolf, 1993). Dalam kaitannya
dengan suatu bidang datum, maka perpindahan
letak karena relief ini mengarah keluar bagi titik-
titik yang ketinggiannya ada diatas bidang datum,
Pergeseran relief
dan mengarah kedalam bagi titik-titik yang
ketinggiannya di bawah bidang datum. Pergeseran
relief bertambah besar sesuai dengan
pertambahan jarak radial antara titik pusat line
detector kegambaran objek, dan juga sejalan
dengan bertambahnya tingginya titik pada objek di
atas datum. Sebaliknya perpindahan semakin
berkurang sesuai dengan pertambahan tinggi
terbang diatas datum.
E - 74
Rektifikasi geometrik atau rektifikasi citra
Registrasi citra ke citra lain (raster to raster)
Registrasi citra ke citra lain (raster to raster) adalah suatu proses translasi dan
rotasi antara dua citra yang memiliki persamaan area geografis tertentu. Proses
yang dilakukan adalah mentransformasikan sistem koordinat citra yang belum
terkoreksi ke sistem koordinat citra yang telah terkoreksi (geo-referenced).
Registrasi citra ke peta (raster to vector). Registrasi citra ke peta adalah proses
untuk membuat geometrik citra agar sesuai posisi planimetriknya dengan keadaan
sebenarnya pada permukaaan bumi. Pada proses ini akan dilakukan seleksi terhadap
titik ikat tanah (ground control point) koordinat citra (row and column) dengan
koordinat peta (contoh: meter, easting, northing dalam proyeksi peta UTM). Pada
transformasi ini akan dihasilkan citra dalam sistem proyeksi tertentu.
Pada proses koreksi ini diletakkan sejumlah titik ikat tanah (ground control point).
Penempatan posisi titik ikat tanah tersebut harus tepat posisinya pada sistem
koordinat citra (row and column) dan pada sistem koordinat yang diinginkan. Jumlah
pemilihan titik kontrol tanah dan distribusinya, sangat mempengaruhi ketelitian dari
proses koreksi geometrik.
Proses registrasi pada citra dibagi menjadi dua tahap, yaitu proses rekonstruksi citra
atau sering disebut juga proses interpolasi spasial citra, dan proses resampling
disebut proses interpolasi intensitas.
Dalam pelaksanaan koreksi geometrik yang harus diperhatikan adalah distribusi titik-
titik kontrol harus menyebar rata. Penempatan titik kontrol tanah pada peta acuan
harus sesuai atau tepat dengan posisi pada citra yang akan dikoreksi. Hasil dari
RMSerror yang kecil hasil proses koreksi geometrik belum tentu menghasilkan
ketelitian yang baik.
E - 75
Gambar : Contoh Citra Satelit Quickbird Setelah Koreksi Geometrik
D. Pembuatan Mosaik
Mosaik adalah menggabungkan beberapa objek baik raster atau vektor menjadi
satu kesatuan dalam bidang proyeksi dan datum yang sama. Berikut adalah
contoh mosaik yang belum tepat antara citra kiri dan kanan yang diakibatkan
belum sempurnanya proses geometrik.
Citra Kanan
Citra Kiri
E - 77
Gambar : Citra Satelit Setelah Dilakukan Proses Mosaik
Proses mosaik merupakan salah satu langkah yang sangat penting dalam pekerjaan
pembuatan peta vektor/garis, sebab citra yang telah dimosaik akan digunakan dalam
proses intepretasi dan digitasi on screen. Proses interpretasi dan digitasi on screen
akan lebih mudah dikerjakan dengan menggunakan citra yang sudah dimosaik
dibandingkan dengan citra yang masih terpisah-pisah. Mosaik yang dihasilkan dalam
pelaksanaan pekerjaan ini adalah full controlled mosaic (mosaik terkontrol penuh)
dimana proses pengolahannya diikatkan dengan titik kontrol yang mempunyai
akurasi tinggi dan dilakukan secara digital.
Data penginderaan jauh yang diperoleh baik dari pemotretan melalui pesawat udara
maupun dari penyiaman satelit terhadap permukaan bumi biasanya berbentuk
digital. Citra digital tersebut disimpan dalam bentuk dua dimensi yang elemen-
elemennya mewakili suatu daerah yang sangat kecil yang disebut piksel (picture
element) dan setiap piksel berhubungan secara ruang dengan suatu luas pada
permukaan bumi.
E - 78
Agar data foto/citra digital dapat ditampilkan atau dimanfaatkan untuk keperluan
interpretasi, maka data citra harus diolah dengan melalui berbagai teknik
pengolahan citra secara digital. Salah satu tahapan pemrosesan dan pengolahan
data foto/citra yang paling penting dan sangat diperlukan dalam membantu proses
analisa dan interpretasi obyek yang terekam didalamnya adalah proses penajaman
(enhancement) dan filtering.
Nilai radiometrik suatu objek lain ada kalanya mempunyai perbedaan yang kecil
sehingga subyek tersebut sulit dibedakan satu dengan lainnya. Untuk memperoleh
informasi yang baik maka tingkat keabuan data piksel harus diubah.
Perubahan tingkat keabuan data piksel akan memperjelas beda nilai radiometrik
objek yang terdapat dalam satu citra.
100
80
Relative sensisivity
Green
60
Blue Red
40 ( x 20 )
20
E - 79
Berdasarkan uraian tersebut maka tujuan melakukan penajaman citra adalah untuk
menambah kemampuan para analis untuk penyadapan data dan interpretasi.
Penajaman citra merupakan pekerjaan untuk memperoleh satu citra baru dari citra
yang telah ada dengan mengubah nilai radiometrik setiap piksel.
Penajaman citra dilakukan untuk visualisasi data digital dalam rangka interpretasi
untuk memperoleh informasi secara visual melalui tayangan citra pada layar
pantauan (screen monitor).
Suatu karakteristik dari citra penginderaan jauh adalah parameter yang disebut
dengan frekuensi spasial. Frekuensi spasial didefinisikan sebagai perubahan nilai
kecerahan (brightness) untuk setiap satuan jarak di atas suatu citra. Apabila terjadi
sedikit perubahan dari nilai kecerahan pada suatu bagian citra, maka disebut
sebagai berfrekuensi rendah. Sebaliknya apabila nilai kecerahan berubah secara
mendadak, maka hal ini disebut daerah yang berfrekuensi tinggi. Teknik filtering ini
dapat digunakan untuk menghilangkan pengaruh adanya noise akibat
ketidakseimbangan detektor.
Secara garis besar tujuan filtering tersebut dapat dilakukan untuk ekstraksi informasi
yang dibentuk oleh radiasi frekuensi rendah (low-pass filter), yang akan berakibat
terbentuknya citra baru yang lebih halus, dan ekstraksi yang dibentuk oleh radiasi
frekuensi tinggi (high-pass filter), yang akan menghasilkan citra baru yang lebih
tajam. Disamping itu filtering juga dapat dilakukan untuk tujuan khusus seperti
untuk keperluan penajaman batas (directional filter).
Proses filtering dari data citra digital dilakukan dengan mendefinisikan filter digital
yang berupa matrik (filter kernel) dengan dimensi tertentu (3x3, 5x5, 7x7) dan
dengan komponen yang berbeda-beda sesuai dengan tujuan filtering (low-pass,
high-pass, directional).
E - 80
Karakteristik citra penginderaan jauh (inderaja) adalah sebuah parameter yang
sering dinamakan frekuensi spasial, didefinisikan sebagai angka perubahan nilai
kecerahan per unit jarak dari bagian-bagian tertentu pada citra.
Jika ada beberapa perubahan dalam nilai kecerahan melebihi dari area yang
diberikan maka hal ini menjadi daerah dengan frekuensi rendah. Sebaliknya, jika
nilai kecerahan berubah drastis melebihi jarak yang sangat pendek, maka area ini
adalah area detail dengan frekuensi tinggi.
Karena frekuensi spasial menunjukkan nilai kecerahan pada wilayah spasial, maka
sangat perlu membuat pendekatan spasial untuk mengumpulkan informasi spasial
kuantitatif.
E - 81
bobot nilai di sekitar piksel yang dinamakan convolution dua dimensi (two–
dimensional convolution). (Rosenfeld dan Kak, 1976 dalam Jensen, 1986).
Prosedur ini dilakukan untuk mengubah karakteristik frekuensi spasial dari sebuah
citra. Sebagai contoh, filter spasial linier yang ditekankan pada frekuensi spasial
rendah dapat digunakan untuk mengurangi noise dalam sebuah citra.
E - 82
F. Pembuatan Peta Foto/Citra
Tahap akhir dari pembuatan Peta Foto/Citra pada pelaksanaan pekerjaan ini adalah
penyiapan format cetak dengan menggunakan kaidah-kaidah kartografi yang
disesuaikan dengan standar yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah..
Penyiapan format cetak ini meliputi penyusunan bingkai peta, indeks peta,
penomoran lembar peta, pemberian sistem grid dan koordinat peta, yang kemudian
disusun dalam bentuk Album Peta Foto/Citra.
E - 83
G. Interpretasi Citra dan Digital Plotting
Interpretasi citra merupakan proses pengenalan objek dan elemen yang tergambar
pada citra serta penggambarannya ke dalam suatu peta tematik dalam bentuk
digitasi citra secara on screen. Interpretasi citra dapat dilaksanakan secara visual
maupun digital.
A. Interpretasi Citra
Interpretasi citra terdiri dari dua kegiatan utama yaitu: penyadapan data dari citra
dan penggunaan data tersebut untuk tujuan tertentu. Interprestasi visual secara
luas digunakan untuk mengamati segala fenomena alam, karena cara ini sangat
efektif untuk mengingatnya. Interprestasi visual ini dimaksudkan sebagai perbuatan
mengamati citra secara visual dengan maksud untuk mengindentifikasi objek dan
menilai pentingnya objek tersebut.
E - 84
Penguasaan ilmu yang dimiliki interprestasi, pengetahuan tentang hubungan antara
objek dan kenampakan pada citra serta banyaknya latihan yang dilakukan akan
menentukan ketelitian hasil interprestasinya.
Terdapat tiga prinsip metoda interprestasi citra yaitu : pengenalan, analisis dan
kombinasi dari pengambilan keputusan dan penentuan. Juga dikatakan bahwa ada
tiga urutan yang berbeda dalam interprestasi yaitu :
Elemen pertama yaitu objek yang secara langsung dapat dikenali, seperti jalan,
pohon, sungai, rumah dan hutan.
Elemen kedua yaitu yang biasanya tidak nampak, akan tetapi keberadaannya
dapat diketahui seperti kenampakan arkeologis dan pola anak sungai yang sudah
lama.
Elemen ketiga yaitu objek yang dapat ditentukan berdasarkan analisis atau
investigasi dari objek yang dikenali dari elemen pertama dan kedua. Contohnya
interprestasi penggunaan lahan, bentuk lahan, dll.
Pada akhirnya identifikasi objek melalui Interprestasi visual dipengaruhi oleh latar
belakang pengetahuan interpreter. Perlu dicatat bahwa ada identifikasi objek yang
hanya dapat dilakukan secara visual seperti penggunaan lahan, bentuk lahan dan
batas jenis lahan.
Unsur-unsur interpretasi visual adalah karakteristik objek yang terdapat pada citra
yang digunakan sebagai kunci pengenalan objek. Ada enam kunci interpretasi
utama, yaitu rona/warna, bentuk, bayangan, ukuran, tekstur dan pola, ditambah
dengan tiga kunci tambahan yaitu lokasi, asosiasi dan resolusi.
E - 85
Rona yaitu gelap terangnya citra berdasarkan tingkat keabuan. Warna yaitu
perbedaan antara warna RGB dan kombinasi ketiganya. Warna citra satelit
Ikonos dan Quickbird dapat ditampilkan dalam warna asli atau warna semu.
Bentuk yaitu konfigurasi umum suatu objek. Bentang budaya biasanya lebih
teratur daripada bentang alamiah, misalnya saluran irigasi lebih teratur dari pada
bentuk sungai.
Ukuran dapat berupa ukuran luas, panjang, tinggi, kemiringan dan volume.
Dengan melihat ukuran dapat ditentukan antara jalan tol dan jalan komplek
perumahan atau antara rumah pemukiman dan industri.
Bayangan dapat mencerminkan bentuk objek. Bayangan juga kadang dapat
membantu dalam analisis geomorfologi untuk memperjelas kenampakan bentuk
jalan.
Tekstur merupakan frekwensi perubahan rona/warna pada citra. Tekstur
dibedakan menjadi kasar, halus, seragam, tidak seragam, granulair, dsb.
Pola merupakan susunan keruangan suatu objek, pola pemukiman linier
disepanjang sungai, jalan atau pada guguk pantai.
Lokasi yaitu letak suatu objek dan hubungannya dengan sekitarnya. Banyak
objek yang mempunyai karakteristik terikat pada lokasinya seperti tanggul sungai
didekat sungai.
Asosiasi pengenalan objek dapat dilakukan karena objek lain.
Resolusi digunakan sebagai ukuran bagi kualitas citra dalam mengenali objek.
Ada beberapa prosedur interprestasi visual hasil modifikasi yang perlu dikemukakan,
yaitu :
E - 86
objek yang lebih kecil. Jika tersedia citra dengan berbagai skala maka
interprestasi dimulai dari skala terkecil.
Interprestasi dimulai dari objek yang diketahui menuju ke objek yang tidak
diketahui. Kenampakan yang tidak diketahui didekati dari objek lain yang terkait
yang telah diketahui, kemudian dicoba untuk diklasifikasi dari kelas yang umum
menuju kelas yang lebih khusus.
Analisis terhadap karakteristik citra yang digunakan. Ketika interpretasi
dilakukan, interprestasi harus memperhatikan karakteristik citranya seperti sifat
band yang digunakan. Juga penting diperhatikan kualitas citra, yang disebabkan
oleh proses pencetakan atau pra pengolahan.
Digitasi adalah sebuah proses penelusuran objek-objek yang ada pada sebuah citra
atau peta sehingga dapat memudahkan dalam membedakan kenampakan suatu
objek. Digitasi sering juga disebut sebagai proses deliniasi atau proses tracing. Hasil
digitasi ini akan berupa data digital dalam bentuk vektor yang dapat digunakan
untuk berbagai keperluan, seperti updating peta, proses interpretasi, mencari luas
lahan dan sebagainya.
Menurut jenisnya, digitasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu: digitasi
meja dan digitasi on screen. Pebedaan mendasar dari keduanya terletak pada alat
yang digunakan. Digitasi meja menggunakan sebuah meja digitizer sedangkan
digitasi on screen dilakukan dengan menggunakan seperangkat komputer.
Dibandingkan dengan digitasi on screen, ketelitian hasil digitasi meja jauh lebih baik.
Hal ini disebabkan karena objek-objek yang dideliniasi dengan menggunakan meja
digitizer tampak lebih jelas. Berikut ini adalah contoh peta garis skala 1:5.000 yang
merupakan hasil dari proses digitasi on screen terhadap data foto udara
menggunakan software AutoCAD Map 2006:
E - 87
Gambar : Contoh Peta Garis Skala 1:5.000
Hasil dari Proses Digitasi On Screen dari Data Foto Udara
Pada awal survey setiap team akan berkoordinasi dengan aparat setempat untuk
mengumpulkan/menginventarisir data-data sekunder yang ada. Survey lapangan
dilakukan untuk mengumpulkan nama obyek-obyek yang penting dengan bantuan
alat GPS Navigasi dan kompas untuk menentukan letak unsur tersebut dan kamera
untuk dokumentasi. Pada saat yang sama setiap unsur yang disurvey langsung di
plot pada peta manuskrip.
E - 88
a. skala foto Blow up adalah 1 : 5000, sedangkan skala citra Blow up adalah
1:10.000
b. Image dan tone harus jelas dan tajam
c. Pada setiap Blow up diberi informasi mengenai:
Identifikasi lapangan dilakukan pada blow up foto udara maupun citra satelit dengan
detail obyek yang diidentifikasi meliputi:
Nama dan type jalan, baik jalan yang diperkeras atau yang tidak (jalan tanah)
harus dicatat. Penulisan nama-nama jalanharus benar dan jelas.
E - 89
b. Detail perairan yang penting diidentifikasi nama dan arah alirannya, yaitu :
sungai, saluran besar, danau.
Hal lain yang perlu dilakukan pada saat survey lapangan adalah kegiatan ground
truth. Kegiatan ground truth dilakukan untuk memperoleh kebenaran hasil
interpretasi dengan menguji training sample (training areas) hasil identifikasi awal
kenampakan pada data foto/citra. Disamping untuk menguji ketepatan penentuan
sample, survey lapangan juga untuk mendapatkan posisi obyek dilapangan,
sehingga dapat digunakan sebagai titik kontrol ketepatan koordinat citra.
E - 90
Kegiatan survey lapangan adalah untuk mengadakan pengamatan/ pengukuran
pada training areas, yang meliputi:
Penggambaran peta secara digital disesuaikan dengan kaidah kartografi, antara lain
:
a. Penulisan nama –nama geografis, jalan, bangunan, sungai harus sesuai dengan
data lapangan.
b. Semua obyek / detail planimetris digambarkan sesuai dengan simbol yang telah
ditentukan.
c. Pemberian simbol pada daerah yang cukup luas diwakili oleh beberapa simbol
dan distribusi merata.
E - 91
d. Detail dalam satu lembar peta harus bersambung pada lembar sebelahnya (edge
matching).
e. Jika terdapat dua atau lebih garis batas administrasi pada satu lokasi, hanya
garis batas administrasi yang paling tinggi tingkatannya yang digambar.
Adapun tahapan dari proses kartografi ini meliputi kompilasi, desain, evaluasi,
penggambaran, generalisasi, pemberian warna, pencetakan peta dan revisi peta.
Proses ini dapat dilakukan pada berbagai jenis perangkat lunak (software), salah
satunya dapat dibuat pada software ArcView versi 3.3, dengan contoh seperti
dibawah ini :
E - 92
E.7. PELAPORAN
Draft Laporan Akhir pada intinyan berisi sejauh mana kegiatan sudah dilaksanakan
oleh pelaksana sesuai dengan rencana pelaksanaan yang telah dibuat pada Laporan
Pendahuluan. Secara rinci pada laporan ini akan berisi :
E - 93