Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH LEGENDA AMAI RAWANG

Oleh :

Nama : Sinto

Nim : 19 13 006

Fakultas : Dharma Duta dan Brahma Widya

Prodi : kepanditaan

Mata Kuliah : purana

INSTITUT AGAMA HINDU NEGERI TAMPUNG PENYANG


( IAHN-TP ) PALANGKA RAYA
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ........................................................................................

DAFTAR ISI ........................................................................................................

KATA PENGANTAR ........................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .........................................................................................

B. Rumusan Masalah.................................................................................................

BAB 2 PEMBAHASAN

1. Legenda amai rawang ..............................................

BAB 3 PENUTUP

A. Kesimpulan ..............................................................................................

B. Saran .........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................


KATA PENGANTAR

Om swastyastu

Puji syukur saya panjatkan kehadapan Ida sang Hyang Widi Wasa/Ranying Hatalla Langit atas
berkat waranugraha-Nya, makalah mata kuliah nitisastra ini bisa terselesaikan.

Makalah yang saya buat ini sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran bagi
pembaca sangat diharapkan guna dijadikan pembelajaran pada pembuatan makalah yang akan
datang. Terima kasih atas partisipasinya semoga semua isi yang ada dalam makalah dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Om santi, santi, santi Om.


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Legenda ini bermula di sebuah desa yang pada jaman dahulu bernama Upun Batu (sekarang
bernama desa Tumbang Manange, Kecamatan Tewah, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi
Kalimantan Tengah).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa masyarakyat melakukan ritual najah antang
BAB II

PEMBAHASAN

1. LEGENDA AMAI RAWANG

Legenda ini bermula di sebuah desa yang pada jaman dahulu bernama Upun Batu
(sekarang bernama desa Tumbang Manange, Kecamatan Tewah, Kabupaten Gunung Mas,
Provinsi Kalimantan Tengah).

Alkisah, pada saat itu warga desa Upun Batu sedang memasuki musim panen, hampir
seluruh warga desa pergi memanen padi di ladang, sehingga yang tersisa hanya beberapa orang
saja terutama kaum wanita yang beraktifitas di desa. Di antara mereka yang tetap berada di desa
terdapat seorang wanita yang bergelar "Nyai Inai Rawang", isteri dari "Toendan" yang bergelar
"Tamanggung Amai Rawang".

Tanpa diduga ketika semua orang masih berada di ladang, tiba-tiba datanglah gerombolan
orang "Ot" dari hulu sungai yang terkenal dengan sebutan "Asang" (perampok dan pemburu
kepala) menyerang desa Upun Batu, saat itu para wanita yang tersisa menunggu desa tengah asik
mencuci pakaian di pinggir sungai Kahayan. Tanpa ada perlawanan gerombolan Asang
membunuh siapapun yang mereka jumpai di desa. Dalam waktu singkat korban pun berjatuhan,
beberapa orang langsung terbunuh, sebagian terluka, beberapa orang yang beruntung berusaha
melarikan diri.

Sementara di ladang, Tamanggung Amai Rawang tiba-tiba merasa gelisah, kepekaan


batinnya yang sudah terasah menangkap firasat buruk menandakan sesuatu yang tidak diinginkan
sedang terjadi. Lalu dengan ditemani adiknya yang bernama "Tewek", Tamanggung Amai
Rawang memutuskan untuk pulang ke desa Upun Batu.

Sesampai di desa terkejutlah mereka melihat pemandangan yang memilukan, mayat-


mayat bergelimpangan dan beberapa orang terluka parah. Setelah mengetahui kejadian dan siapa
pelakunya, Tamanggung Amai Rawang memerintahkan seseorang yang bernama "Singa Puai"
pergi ke ladang untuk memberitahukan kejadian tersebut kepada orang yang dituakan yang
bernama "Ucek" serta mengajaknya untuk "mambaleh bunu" (membalas dendam).

Kemudian berangkatlah Singa Puai menuju ladang, setibanya di ladang Singa Puai
terkejut bukan kepalang, ternyata gerombolan Asang telah lebih dahulu tiba kemudian
menyerang dan membunuh orang-orang yang sedang asik memanen padi.

Selain menyerang dan membunuh, Asang juga meninggalkan pesan bahwa mereka akan kembali
menyerang desa Upun Batu tujuh hari lagi, jika ingin selamat maka warga desa Upun Batu harus
menyerahkan seluruh harta benda dan bersedia menjadi jipen (budak) mereka. Sebelum pergi
mereka meninggalkan "Totok Bakaka" (sandi) berupa "Sampalak" sebagai tanda bahwa mereka
akan menyerang lokasi tersebut.

Malam itu, Tamanggung Amai Rawang bersama Tewek, Singa Puai dan beberapa warga
yang selamat dari amukan Asang berkumpul dan berunding saling bertukar pikiran tentang
kejadian yang menimpa desa mereka, serta membahas apa yang harus mereka lakukan
selanjutnya.

Sedih, marah dan putus asa, demikianlah yang mereka rasakan. Niat membalas dendam telah
kandas karena hanya tinggal mereka kekuatan yang tersisa. Ketakutan pun melanda, tujuh hari
lagi mereka akan kembali diserang oleh Asang.

Akhirnya diputuskan untuk melakukan ritual "Manajah Antang" yaitu sebuah ritual di kalangan
suku Dayak Ngaju untuk meminta petunjuk dan bantuan kepada dewata melalui perantaraan
burung antang (elang), mereka sepakat melakukan ritual tersebut di sebuah tempat sakral berupa
bukit berbatu yang berada persis di seberang desa Upun Batu.

Keesokan hari, dalam ritual Manajah Antang tersebut, mereka mendapat petunjuk dari "Antang
Patahu" (kekuatan gaib penjaga desa), yaitu :

Tamanggung Amai Rawang diminta segera mendirikan "kuta" atau benteng di atas bukit batu
tempat mereka melakukan ritual Manajah Antang.

Apabila Asang datang menyerang dari arah matahari terbenam, maka Tamanggung Amai
Rawang beserta warga Upun Batu harus segera pergi menyelamatkan diri karena itu pertanda
mereka akan kalah.

Apabila Asang datang menyerang dari arah matahari terbit maka itu artinya mereka akan menang
melawan Asang.

Tamanggung Amai Rawang tidak diperkenankan "manyilak mandau" atau mengeluarkan


mandau dari kumpang (sarung mandau) untuk menghadapi musuh. Dan selama musuh
menyerang ia diperintahkan untuk duduk di atas sebuah "garantung" (gong) menyaksikan apa
yang terjadi nanti, karena Antang Patahu sendiri yang akan turun tangan menghadapi Asang.

Setelah menerima petunjuk dari Antang Patahu, segeralah Tamanggung Amai Rawang bersama
warga Upun Batu membuat benteng di puncak bukit tempat mereka melaksanakan ritual
Manajah Antang. Jika dipikir dengan akal, suatu hal yang mustahil membuat benteng dalam
waktu kurang dari tujuh hari. Namun atas bantuan Antang Patahu, mereka berhasil membuat
benteng tesebut dalam waktu yang sangat terbatas.
Tujuh hari pun berlalu, dan tepat di hari yang ke delapan, sayup-sayup terdengar pekik lahap dan
tukiw menggema, makin lama teriakan-teriakan khas perang itu makin jelas terdengar bersamaan
dengan kedatangan gerombolan Asang dari arah terbitnya matahari.

Ketika gerombolan Asang telah berada di depan benteng pertahanan Tamanggung Amai
Rawang, pekik lahap dan tukiw kembali menggema yang bertujuan untuk menggentarkan
semangat warga Upun Batu yang mendengarnya. Segera Tamanggung Amai Rawang mencari
tempat yang terbuka di puncak bukit lalu duduk di atas gong sesuai petunjuk Antang Patahu.

Kemudian secara serentak gerombolan Asang ini berusaha menaiki benteng, yang segera
disambut dan dijatuhkan oleh Antang Patahu yang kehadirannya tidak disadari oleh para
penyerang. Gelombang demi gelombang serangan selalu dipatahkan oleh Antang Patahu, korban
dari pihak Asang pun berjatuhan.

Pada akhirnya pemimpin Asang menyadari bahwa yang mereka hadapi adalah suatu kekuatan
gaib yang tidak akan mampu mereka lawan. Pemimpin gerombolan Asang kemudian berteriak
minta pengampunan kepada Antang Patahu, mereka mengaku kalah dan menyerahkan diri
sebagai jipen Tamanggung Amai Rawang.

Setelah peristiwa itu, tidak ada lagi Asang-asang lainnya yang berani menyerang desa Upun
Batu. Desa Upun Batu kembali aman dan warganya hidup sejahtera.

Bukit yang berada di seberang desa Upun Batu kemudian lebih dikenal dengan sebutan "Puruk
Amai Rawang" (puruk = bukit). Adapun batu besar di tepi sungai Kahayan yang berdampingan
dengan Puruk Amai Rawang disebut "Batu Suli" karena bentuknya menyerupai buah suli (buah
khas Kalimantan)

Kini lokasi Puruk Amai Rawang dan Batu Suli telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten
Gunung Mas sebagai obyek wisata. Di lokasi tersebut dapat dijumpai Batu Antang (Batu
Tingkes) yang konon dipercaya merupakan tempat Tamanggung Amai Rawang melakukan ritual
Manajah Antang.

Pada Batu Antang tersebut terdapat celah kecil yang menurut kepercayaan masyarakat setempat
barang siapa yang berhasil merayap melalui celah tersebut maka akan memperoleh umur panjang
dan kekayaan yang melimpah.

Selain Batu Antang, di lokasi Puruk Amai Rawang juga terdapat kuburan Tamanggung Amai
Rawang.
Keterangan :

Jipen = budak

Totok Bakaka = sandi atau bahasa isyarat yang pada awalnya hanya dimengerti masyarakat suku
Dayak Ngaju. Penggunaan Totok Bakaka sejak jaman dahulu bertujuan antara lain untuk
pernyataan perang, minta bantuan saat bahaya, larangan masuk atau melintas, bahkan untuk
sekedar menunjukan status sosial dalam masyarakat.

Lahap dan Tukiw = pekikan atau teriakan penuh semangat khas suku Dayak Ngaju. Dalam
peperangan lahap atau tukiw diteriakan sebagai pemompa semangat para ksatria Dayak sekaligus
bertujuan melemahkan mental musuh yang akan diserang.

Puruk = bukit atau dataran tinggi

Suli atau buah Suli = buah dari tanaman endemik hutan Kalimantan Tengah yang rasanya asam
manis, namun lebih dominan asamnya.

Legenda ini ditulis kembali dalam bahasa Indonesia berdasarkan sumber cerita berbahasa Dayak
Ngaju, dengan beberapa penambahan tanpa mengubah makna dan alur cerita.
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Legenda Tamanggung Amai Rawang Manajah Antang, merupakan legenda di Desa Upun
Batu atau Tumbang Manange di hulu Kahayan yang menceritakan berdirinya Kuta atau Benteng
diatas Batu Suli Puruk Tamanggung.

B. SARAN
Penulis mengharapkan makalah ini dapat menambah wawasan pengetahuan pembaca tentang
Legenda yang ada di Kalimantan tengah, contohnya seperti cerita amai rawang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber :

Sergius Tigoi. 2012. "Lengenda Batu Antang - Tamanggung Amai Rawang", URL:
http://giusbuyuttigoi.blogspot.co.id/2012/11/lengenda-batu-antang-tamanggung-amai.html

Anda mungkin juga menyukai