Anda di halaman 1dari 4

KALIMATAN TENGAH

1. Rumah Adat

Rumah adat Kalimantan Tengah dinamakan Rumah Betang, Bentuk rumahnya panjang,
bawah kolongnya digunakan untuk pertenun dan menumbuk padi dan dihuni oleh lebih
kurang 20 kepala keluarga.

Rumah terdiri dari 6 kamar antara lain untuk penyimpanan alat-alat perang, kamar untuk
pendidikan gadis, tempat sesajian, tempat upacara adat dan agama, tempat penginapan dan
ruang tamu. Pada kiri-kanan ujung atap dihiasi tombak sebagai penolak mara bahaya.

Rumah Betang (Rumah Panjang)

2. Pakaian Adat

Pakaian adatnya pria Kalimantan Tengah berupa kepala berhiasankan bulu-bulu enggang,
rompi dan kain-kain yang menutup bagian bawah badan sebatas lutut. Sebuah tameng kayu
hiasan yang khas bersama mandaunya berada di tangan. Perhiasan yang dipakai berupa
kalung-kalung manik dan ikat pinggang.

Wanitanya memakai baju rompi dan kain (rok pendek), tutup kepala berhiaskan bulu-bulu
enggang, kalung manik, ikat pinggang dan beberapa gelang tangan.

Pakaian Adat Kalteng


3. Tari-tarian Daerah Kalimantan Tengah
a. Tari Tambun dan Bungai, merupakan sebuah tari yang mengisahkan kepahlawanan
Tambun dan Bungai dalam mengusir musuh yang akan merampas panen rakyat.
b. Tari Balean Dadas, merupakan tarian guna memohon kesembuhan bagi mereka yang sakit.
c. Tari Sangkai Tingang, tari garapan yang memanfaatkan perbendaharaan gerak tari tradisi
ini menggambarkan sikap sekelompok wanita dalam mencintai lingkungan hidupnya. Mereka
berusaha dan berdoa agar burung enggang yang indah itu tetap dilindungi kelestariannya.

Tari Tambun dan Bungai

4. Senjata Tradisional

Di Kalimantan Tengah senjata tradisionalnya adalah mandau. Bagian hulunya dihiasi ukiran
burung tinggang, sejenis burung enggang. Menurut kepercayaan mereka, burung tinggang
adalah penguasa seluruh alam. Senjata terkenal lainnya adalah lunjuk sumpit, randu (sejenis
tombak) dan perisai.

Mandau

5. Suku : Dayak, Ngaju, Maanyan, Dusun, Lawangan Bukupai, Ot Danun, dan lain-lain.

6. Bahasa Daerah : Dayak, Ngayu, Ot Danun, dan lain-lainnya.

7. Lagu Daerah : Kalayar, Palu Lempangpupoi.


CERITA RAKYAT

SILUMAN ANGKES DAN SILUMAN IKAN


TOMANG

Seorang gadis cantik tampak kebingungan menyusuri


Sungai Rungan. "Tapih, apa yang sedang kau cari?"
teriak ayahnya. Gadis bernama Tapih itu menjawab,
"Topiku Ayah, topiku hanyut saat aku mandi."
Mereka berdua menyusuri Sungai Rungan untuk mencari
topi itu. Tak terasa, mereka telah sampai di desa
tetangga, Desa Sepang Simin. Ternyata topi Tapih ada di
desa itu. Pemuda bernama Antang Taung
menemukannya.

Ayah Tapih menawarkan hadiah pada Antang Taung


sebagai ucapan terima kasih, namun pemuda itu
menolaknya. "Jika diizinkan, saya bermaksud menikahi
putri Bapak," pinta Antang Taung yang jatuh cinta pada
Tapih sejak pandangan pertama. Tapih tersipu
mendengar permintaan Antang Taung itu. Ketika
ayahnya meminta pendapatnya, Tapih hanya
mengangguk setuju. Pesta pernikahan pun digelar dengan meriah.

Setelah menikah, sesuai dengan adat setempat, pasangan pengantin baru harus tinggal di
rumah orangtua masing-masing secara bergantian. Adat itu dirasa berat oleh Antang Taung
dan Tapih karena perjalanan dari asal Tapih, Desa Baras Semayang, ke Desa Sepang Simin
harus melewati hutan yang lebat. Setelah berembuk, mereka memutuskan untuk membuat
jalan pintas yang menghubungkan kedua desa tersebut.

Penduduk Desa Baras Semayang dan Sepang Simin bergotong-royong membangun jalan itu.
Mereka juga mendirikan pondok untuk tempat melepas lelah. Suatu hari, barang-barang yang
mereka Ietakkan di pondok itu raib. Dan bukan sekali itu saja. Bahan makanan, beras, bahkan
pakaian juga hilang. Karena penasaran, penduduk memutuskan untuk menjebak si maling.
Mereka berpura-pura meninggalkan pondok, seolah-olah pergi bekerja, tapi sebenarnya
mereka mengintip dari balik semak-semak. Saat itulah mereka melihat seekor angkes (sejenis
landak) masuk ke pondok.

Mereka mengintai Iebih dekat lagi. Hewan itu menggoyang-goyangkan tubuhnya dan tiba-
tiba, wusss... angin bertiup sangat kencang dan hewan angkes itu berubah menjadi pemuda
tampan. Serentak, para penduduk itu menyerbu pondok dan menangkap pemuda siluman
angkes itu.

"Ampun, jangan hukum aku. Aku akan menebus semua kesalahanku!" teriak pemuda itu.

"Memangnya apa yang bisa kau lakukan? Mengembalikan semua hasil curianmu?" tanya
penduduk.
"Aku bisa membantu menyelesaikan pekerjaan kalian. Dalam waktu tiga hari, jalan pintas ini
akan siap digunakan," kata siluman angkes itu Semua yang hadir mengangguk setuju. Dan
memang benar, jalan itu selesai dalam waktu tiga hari. Antang Taung dan Tapih terkagum-
kagum mendengar berita tersebut. Suami-istri itu ingin mengangkat pemuda itu menjadi anak
mereka. Tak dinyana tawaran itu diterima.

Beberapa bulan kemudian, Tapih mengandung. Suatu hari, ia ingin sekali makan ikan
tomang. Untuk mengabulkan keinginan istrinya itu, Antang Taung pergi ke sungai dan
berhasil menangkap seekor ikan tomang. Karena terburu-buru pulang, malah meninggalkan
ikan tomang itu di perahunya. Begitu Antang Taung menyadari perbuatannya, ia kembaIi ke
perahunya. Namun alangkah terkejutnya ia, bukan ikan tomang yang ia temukan melainkan
bayi perempuan yang cantik jelita. Dengan sukacita, Antang Taung membawa bayi itu dan
mengerahkannya pada Tapih.

Bayi jelmaan ikan tomang itu ternyata tumbuh dengan cepat. Beberapa bulan saja, ia sudah
menjelma menjadi seorang gadis yang cantik. Ia jatuh cinta pada pemuda siluman angkes.
Rupanya perasaan itu tidak bertepuk sebelah tangan. Dengan restu dari Antang Taung dan
Tapih, keduanya melangsungkan pernikahan. Mereka sangat bahagia, tapi kebahagiaan itu
tak bertahan lama. Tak berapa lama setelah lahir, bayi pertama mereka meninggal. Ditambah
lagi dengan berita tentang kematian bayi yang dilahirkan oleh Tapih. Mereka semua sangat
berduka.

Sesuai adat, Antang Taung dan Tapih harus mengadakan dua upacara kematian untuk kedua
bayi tersebut. Yang pertama adalah upacara penguburan, dan yang kedua adalah upacara
pembakaran tulang-belulang. Melalui kedua upacara tersebut, arwahnya dipercaya akan
menempati Lewu Tatau (surga). Upacara kedua, yang disebut tiwah dianggap lebih penting
daripada upacara pertama. Pada upacara tiwah, roh orang yang meninggal dipercaya akan
lepas dari tubuhnya.

Siluman angkes dan siluman ikan tomang mengetahui upacara itu. Meskipun mereka adalah
siluman, mereka ingin melaksanakan upacara itu. Namun saat kuburan anak mereka digali,
bukan tulang-belulang manusia yang mereka dapati, melainkan tulang-belulang hewan dan
ikon. Warga yang menyaksikan kejadian tersebut berbisik-bisik satu sama lain. Karena malu,
pasangan siluman itu meninggalkan desa dan mengembara ke hutan.

Sampai akhir hayatnya, mereka tinggal di sana dan melahirkan banyak keturunan. Keturunan
mereka disebut hantuen. Banyak juga hantuen ini yang meninggalkan hutan dan menikah
dengan manusia biasa.

Saat ini, keturunan hantuen dipercaya mampu berubah wujud menjadi hantu jadi-jadian.
Meski pada siang hari wujud mereka adalah manusia, pada malam hari mereka akan berubah
menjadi hantu tanpa tubuh. Mereka berkeliaran mencari bayi yang baru lahir untuk diisap
darahnya.

Anda mungkin juga menyukai