Anda di halaman 1dari 20

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Labu madu ( Cucurbita moschata ) merupakan salah satu komoditas pertanian yang
memiliki banyak kelebihan dari labu yang lainnya. Labu madu merupakan jenis buah yang
memiliki daya simpan tinggi, mempunyai aroma dan cita rasa yang khas, sumber serta rasa
daging buahnya yang manis sehingga disebut sebagai labu madu. Walaupun labu madu
memiliki rasa manis. Namun kandungan gula dan kalorinya rendah sehingga bisa dijadikan
sebagai alternatif pangan yang aman dikonsumsi oleh siapa saja.
Penduduk kota Pekanbaru umumnya menyukai tanaman labu madu, untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat masih mendatangkan labu madu dari luar daerah Pekanbaru yang
menyebabkan harga labu madu menjadi mahal. Kebutuhan konsumen terhadap labu madu di
Riau terus meningkat sesiring dengan bertambahnya penduduk dan harga pasar yang tinggi
merupakan salah satu penyemangat para petani untuk mengembangkan usaha tanaman labu
madu tersebut, namun berbagai kendala yang dihadapi petani untuk memproduksi tanaman
labu madu tersebut sehingga membuat petani enggan untuk menanam labu madu .
Pada umumnya tanah di Pekanbaru didominasi oleh jenis tanah Podzolik Merah
Kuning (PMK) yang mengandung bahan organik rendah dan tingkat keasaman tinggi,
sehingga produksi labu madu yang dihasilkan masih rendah sedangkan untuk pertumbuhan
dan produksi tanaman labu madu yang baik sangat memerlukan unsur hara dalam jumlah
yang cukup. Alternatif yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki sifat fisik,
kimia dan biologi tanah adalah dengan cara pemupukan.
Pemupukan yang baik harus mengacu pada konsep efektifitas dan efesiensi yang
maksimum. Kecermatan dalam menentukan jenis pupuk diwarnai oleh pertimbangan teknis
ekonomis, sehingga pengetahuan teknis tentang fisiologi tanaman, sifat pupuk dan sifat tanah,
dimana pupuk akan diaplikasikan sangat menentukan tingkat efesiensi pemupukan.
Limbah merupakan bahan yang tidak mempunyai nilai atau tidak berharga lagi.
Limbah merupakan permasalahan yang masih sulit untuk dipecahkan namun sepertinya
belum terlihat adanya langkah yang kongkrit guna menanggulangi masalah limbah,
terutama limbah kulit nenas, konsekuensi dari adanya aktivitas manusia seiring meningkatnya
populasi penduduk dan pertumbuhan ekonomi saat ini pengolahan limbah kulit nenas
sebagian besar daerah terutama di Desa Kualu Nenas Kec. Tambang Propinsi Kampar masih
menimbulkan permasalahan yang sulit dikendalikan. Timbunan limbah kulit nenas yang

1
tidak terkendalikan yang kemudian berdampak negatif yang akan mempengaruhi berbagai
segi kehidupan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada permasalahan di
lingkungan yang menjadi sumber bakteri penyakit, pencemaran udara, tanah, air, dan lebih
jauh lagi terjadinya bencana ledakan gas metan, serta pencemaran udara akibat pembakaran
terbuka yang menyebabkan pemanasan global.
Saat ini masyarakat semakin peduli akan pentingnya kualitas produk. Penggunaan
pupuk – pupuk yang berasal dari bahan organik dipercaya membawa manfaat lebih bagi
produk – produk pertanian dimana produk menjadi lebih sehat, ramah lingkungan dan dapat
mengurangi dampak negatif dari bahan kimia yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan.
Harga pupuk yang semakin tinggi karena pencabutan subsidi dari Pemerintah dan
semakin sedikitnya bahan baku pupuk yang harus diimporkan, maka pemanfaatan limbah
kulit nenas sebagai alternatif pengguanaan pupuk yang tepat selain juga dapat mengurangi
dampak negatif penggunaan pupuk an organik, karena pupuk yang diolah dari limbah ikan
lebih ramah lingkungan.
Limbah kulit nenas yang sudah tidak bisa dimakan lagi, tetapi bisa dimanfaatkan
untuk pembuatan POC (Pupuk Organik Cair). Berdasarkan permasalahan tersebut, apakah
ada pengaruh dan pada konsentrasi berapakah pemberian POC limbah kulit nenas yang
terbaik untuk produksi tanaman labu madu maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul ” Respon Produksi Tanaman Labu Madu (Cucurbita moschata) Akibat
Pemberian Pupuk Organik Cair (POC) Limbah Kulit Nenas”

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh dan untuk
mendapatkan konsentrasi yang baik akibat pemberian Pupuk Organik Cair (POC) limbah
kulit nenas terhadap produksi tanaman labu madu

1.3. Hipotesis
Respon Produksi Tanaman labu madu (Cucurbitamoschata) berpengaruh nyata
akibat pemberian pupuk organik cair (POC) limbah kulit nenas

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Labu Madu

Tanaman labu madu merupakan tanaman semusim yang bersifat menjalar atau
memanjat dengan perantaraan alat pemegang berbentuk pilin atau spiral, berbatang basah
dengan panjang 5-25 m. Tanaman labu madu mempunyai sulur dahan berbentuk spiral yang
keluar di sisi tangkai daun. Labu madu merupakan satu-satunya buah yang awet atau tahan
lama. Labu madu akan awet bila disimpan di tempat yang bersih dan kering, serta tidak ada
luka pada buah tersebut (Soedarya, 2006). Tanaman labu madu termasuk dalam keluarga
buah labu-labuan atau Cucurbitaceae, dan masih sekerabat dengan melon (Cucumis melo) dan
mentimun (Cucumis sativum). Biasanya yang dinamakan “labu” dalam pengertian waluh atau
pumpkin. Labu madu ini tergolong jenis tanaman semusim sebab setelah selesai berbuah akan
mati. Oleh karena itu tanaman labu madu di daerah pedesaan sering dijadikan tanaman
tumpangsari. Tanaman labu madu memerlukan suhu sekitar 25-30 o C, labu madu tidak
memerlukan ketinggian tempat yang khusus.
Klasifikasi Tanaman labu madu adalah sebagai beriku; Divisi: Spermatophyta,
Subdivisi : Agniospermae, Kelas : Dicotyledonae, Ordo : Cucurbitales, Familia :
Cucurbitaceae, Genus : Cucubita, Spesies : Cucubita Moschata Duch. (Pardede, 2014)
Labu madu/butternut squash (Cucurbita moschata Durch) memiliki banyak
kandungan karbohidrat juga kaya serat, vitamin A, C dan E dan mineral, membantu
meningkatkan kekebalan tubuh dan melawan radikal bebas. Warna oranye pada labu
mengandung beta-karoten tinggi, sebuah antioksidan yang mengubah vitamin A dan
membantu mengurangi risiko kanker. Labu madu juga mengandung B-Kompleks vitamin
seperti folat, niacin, vitamin B-6 (pyridoxine), thiamin, dan asam pantotenat, dan mineral
seperti tembaga, kalsium, besi dan fosfor (Logistik BPPI, 2016).

Beberapa manfaat labu madu jika dikonsumsi secara teratur yaitu: (1). Memperlancar
pencernaan dan baik untuk program Diet : Dengan mengkonsumsi Labu madu atau Butternut
pumkin (Cucurbita moschata) secara teratur membantu memperlancar pencernaan dan
mempermudah kerja usus, selain itu   mengkonsumsi labu madu sebagai makanan
pendamping untuk diet sangat baik, dikarenakan kandungan serat yang terdapat dalam labu
madu sangat tinggi. (2). Baik untuk Mata : Kandungan vitamin A yang terdapat dalam Labu
madu bisa mencukupi kebutuhan vitamin A dalam tubuh dan bisa membantu menyehatkan
mata. (3). Antioksidan : Banyaknya radikal bebas yang ada di luar, membuat menurunnya

3
daya tahan tubuh kita dan cenderung terserang penyakit seperti penyakit Flu dan batuk.
semua itu bisa dicegah dengan mengkonsumsi labu madu, dikarenakan kandungan vitamin C
yang terdapat dalam labu madu bisa mencukupi kebutuhan vitamin C didalam tubuh untuk
menagkal radikal bebas. (4). Mengobati gejala anemia : Zat besi yang terkandung dalam
Labu madu dapat mengobati gejala anemia, selain itu manfaat zat besi juga membantu
metabolisme di dalam tubuh sehingga membantu perkembangan otot, otak dan daya tahan
tubuh. (5). Baik untuk pendamping ASI bagi bayi : Folat yang terdapat dalam  Labu madu
baik untuk bayi yang sedang belajar untuk makan, manfaat folat bagi bayi untuk membantu
metabolisme asam amino, pembentukan eritrosit dan leukosit. selain itu folat baik untuk ibu
hamil karena membantu dalam perkembangan janin di dalam kandungan. Kandungan gizi
yang cukup lengkap pada labu madu membuat jenis labu ini semakin popular menjadi bahan
pangan, karena kecenderungan masyarakat mencari bahan pangan yang aman bagi kesehatan.
(Gardjito, 2006).

2.2. Tanah Podzolik Merah Kuning (PMK)

Pemupukan merupakan kegiatan yang tidak dapat dielakkan mengingat kesuburan


tanah Indonesia relatif rendah. Tanah di Propinsi Riau secara umum didominasi oleh
jenis tanah Podzdolik Merah Kuning (PMK), yang mempunyai solum tanah yang agak
dalam ( 90-100 cm ), dengan batas-batas horizon yang nyata. Kandungan unsur hara dan pH
tanah umumnya rendah yaitu berkisar 4 - 5. Sarief (1986) dan Pulungan (1987)
mengatakan tanah PMK mempunyai kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa rendah
dengan kejenuhan aluminium ciri ini merupakan kendala bagi tanaman, selain itu tanah
tersebut peka terhadap erosi. Sutari, (1983) mengatakan bahwa tanah PMK sifatnya
mudah tercuci, struktur tanah mudah rusak, kapasitas tukar kation dan anoin yang
kurang baik, miskin bahan organik dan unsur hara yang tersedia bagi tanaman rendah.

Tanah Podzdolik Merah Kuning (PMK), mempunyai tingkat perkembangan yang


cukup lanjut, dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan
kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada umumnya tanah ini
mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik. Tanah ini juga
miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan
K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah, dan peka terhadap erosi. Di Indonesia,
Ultisol umumnya belum tertangani dengan baik. Dalam skala besar, tanah ini telah
dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, karet dan hutan tanaman industri, tetapi pada

4
skala petani kendala ekonomi merupakan salah satu penyebab tidak terkelolanya tanah ini
dengan baik. (Sri Adiningsih dan Mulyadi 1993)

Warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik yang
menyebabkan warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi ringan seperti kuarsa
dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta oksida besi seperti goethit dan
hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga merah. Makin coklat warna tanah
umumnya makin tinggi kandungan goethit, dan makin merah warna tanah makin tinggi
kandungan hematit (Eswaran dan Sys 1970; Allen dan Hajek 1989; Schwertmann dan Taylor
1989).

Reaksi tanah PMK pada umumnya masam hingga sangat masam (pH 5−3,10), kecuali
tanah Ultisol dari batu gamping yang mempunyai reaksi netral hingga agak masam (pH
6,80−6,50). Kapasitas tukar kation pada tanah Ultisol dari granit, sedimen, dan tufa tergolong
rendah masing-masing berkisar antara 2,90−7,50 cmol/kg, 6,11−13,68 cmol/kg, dan
6,10−6,80 cmol/kg, sedangkan yang dari bahan volkan andesitik dan batu gamping tergolong
tinggi (>17 cmol/kg). Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa tanah Ultisol dari bahan
volkan, tufa berkapur, dan batu gamping mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi.
Kandungan hara pada tanah PMK umumnya rendah karena pencucian basa berlangsung
intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena proses dekomposisi berjalan
cepat dan sebagian terbawa erosi. Pada tanah PMK yang mempunyai horizon kandik,
kesuburan alaminya hanya bergantung pada bahan organik di lapisan atas. Dominasi kaolinit
pada tanah ini tidak memberi kontribusi pada kapasitas tukar kation tanah, sehingga kapasitas
tukar kation hanya bergantung pada kandungan bahan organik dan fraksi liat. Oleh karena itu,
peningkatan produktivitas tanah PMK dapat dilakukan melalui perbaikan tanah (ameliorasi),
pemupukan, dan pemberian bahan organik. (Prasetyo et al. 2000; Prasetyo et al. 2005

Kendala yang sering dihadapi pada tanah mineral PMK yaitu : pertama, pH tanah
yang rendah, kelarutan Al, Fe, dan Mn yang tinggi, ketersediaan P dan Mo yang rendah.
Kedua, ketersediaan kation-kation basa dan kejenuhan basa yang rendah mengakibatkan
tanah bersifat masam dan miskin hara. Ketiga, dominasi mineral liat kaolinit dan oksida-
oksida besi dan aluminium yang menyebabkan tanah ini memiliki kapasitas tukar kation yang
rendah. Keempat, tingginya kandungan mineral-mineral dan apabila terlarut menyebabkan
kejenuhan kation akan bersifat toksik bagi tanaman, serta anion-anion akan mudah terfiksasi
menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Untuk itu perlu adanya penambahan bahan organik

5
tanah (BOT) untuk mengatasi permasalahan kesuburan tanah mineral dan tujuannya
meningkatkan hasil budidaya seperti penambahan limbah kelapa sawit dalam bentuk abu dan
limbah padat yang kemungkinan dapat meningkatkan unsur hara pada tanah mineral (Sasli,
2011). Tanah mineral PMK memiliki ketebalan material organik tanah < 60 cm dan masih
sebagian mengalami dekomposisi sehingga masih banyak mengandung serat sehingga
agroekosistem pada tanah ini akan menuai banyak kendala terutama pada wilayah kering
berkelerengan tinggi (Yuliana, 2012).

2.3. Pupuk Organik Cair (POC) Limbah Kulit Nenas

Tanah pertanian pada umumnya tidak dapat menyediakan semua unsur hara yang
dibutuhkan oleh tanaman dalam waktu yang cepat dan tersedia dalam proses
pertumbuhannya, karena sebagian besar unsur hara di dalam tanah belum siap diserap oleh
tanaman, sedangkan untuk pertumbuhan tanaman yang baik memerlukan unsur hara dalam
jumlah yang cukup. Untuk itu perlu dilakukan pemupukan terutama pupuk organik guna
untuk menambah unsur hara dalam tanah, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah,
juga supaya zat-zat hara yang sulit diserap oleh tanaman menjadi mudah diserap oleh
tanaman (AAK, 1992).
Pemupukan bertujuan untuk memelihara atau memperbaiki kesuburan dan memberi
zat-zat kepada tanah langsung maupun tidak langsung menyumbang bahan makanan bagi
tanaman. Dengan kata lain pemupukan adalah usaha penambahan unsur hara sehingga dapat
memperbaiki sifat fisik,Biologi dan kimia tanah sehingga sesuai dengan tuntunan tanaman
untuk meningkatkan kualitas dan produksi hasil tanaman (Sarif,1986).

Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari pelapukan sisa-sisa makhluk hidup
seperti tanaman, hewan, dan kotoran hewan. Pupuk ini merupakan pupuk lengkap artinya
mengandung unsur-unsur makro dan mikro meskipun dalam jumlah yang sedikit. Walaupun
demikian, pupuk organik lebih unggul dibandingkan dengan pupuk anorganik karena
beberapa hal sebagai berikut : memperbaiki struktur tanah, bahan organik dapat mengikat
butir-butir tanah menjadi butir-butir yang lebih besar dan remah sehingga tanah menjadi lebih
gembur, menaikkan daya serap tanah terhadap air, bahan organik dapat mengikat air lebih
banyak dan lebih lama, menaikkan kondisi kehidupan jasad renik di dalam tanah yang amat
berperan dalam perubahan bahan organik. Dengan adanya pupuk organik jasad renik tersebut
dapat terurai sehingga pupuk organik mudah diserap oleh tanaman (Perihmantoro, 2001).

6
Penggunaan pupuk organik disamping dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan
biologi tanah, menambah unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman, dan juga diharapkan
dapat meningkatkan kadar hormon yang ada pada tanaman sehingga mempercepat
pertumbuhan tanaman, karena hormon tumbuh memainkan peranan yang penting melalui
pengaruhnya pada pembelahan sel, pembesaran dan differensiasi sel (Heddy, 2003).
Untuk menghasilkan teknologi yang dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan
mengurangi penggunaan pupuk kimia buatan telah banyak di lakukan, salah satu teknologi
yang saat ini dikembangkan adalah pengelolaan hara terpadu yang mendukung pemupukan
organik dan pemanfaatan pupuk hayati. Pemanfaatan mikroorganisme sebagai bahan-bahan
perbaikan tanah dalam meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah dan khususnya
untuk memperbaiki kesuburan kimia dan biologi pada tanah lahan gambut merupakan
alternatif yang tepat, hal ini sejalan dengan kebijakan yang dipilih dalam budidaya tanaman
yakni efisiensi energi dan selaras dengan lingkungan (Suriadikarta, Ardi, Simanungkalit,
2006).
Pertanian yang berkelanjutan harus memperhatikan 3 aspek utama, yaitu aspek
kimia, aspek fisika, dan aspek biologi. Jika hanya bertumpu satu aspek saja, terlebih jika
hanya 3 unsur N, P, dan K maka berdampak buruk untuk jangka panjang, padahal yang
dibutuhkan 16 unsur hara dan multihormon. Maka pentingnya untuk kembali bertani ke
essensinya, yaitu dengan cara penggunaan pupuk organik dan anorganik yang berimbang
(Rachman, 2002).
Pupuk organik dapat berupa padat maupun cair. Pupuk organik cair adalah pupuk
yang kandungan bahan kimia dapat memberikan hara yang sesuai dengan kebutuhan tanaman
pada tanah. Keunggulan dari pupuk organik cair adalah dapat menyehatkan lingkungan,
revitalisasi produktivitas tanah, menekan biaya, dan meningkatkan kualitas produk
(Hadisuwito, 2012). Buah nanas mengandung vitamin A dan C, kalsium, fosfor, magnesium,
besi, natrium, kalium, dekstrosa, sukrosa (gula tebu), dan enzim bromelain. Bromelain,
berkhasiat anti radang. Berdasarkan kandungan nutriennya, ternyata kulit buah nanas
mengandung karbohidrat dan gula yang cukup tinggi. Menurut Wijana, dkk (1991) kulit
nanas mengandung 81,72% air; 20,87% serat kasar; 17,53% karbohidrat; 4,41% protein dan
13,65 % gula reduksi. Mengingat kandungan karbohidrat, gula, dan protein yang cukup
tinggi, maka kulit nanas memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan
pupuk melalui proses fermentasi. salah satunya adalah Pupuk Organik Cair (POC).

7
Kandungan hara yang terdapat pada POC kulit nenas yaitu : adalah Phosphat (23,63
%), Kalium (08,25%), Nitrogen (01,27 %), Calsium (27,55%), Magnesium(137,25%),
Natrium (79,525), Besi 01,27%, Mangan 28,75%, Tembaga 00,17%, Seng 00,53% dan
Organik Karbon 03,10% (Susi dkk 2018).
Penelitian pemakaian POC limbah nenas terhadap tanaman terung telah dilakukan
oleh Sukmaida (2019), dimana hasil menunjukkan pemakaian 400 cc/l air merupakan hasil
yang terbaik, sedangkan Putra (2016) terhadap bibit jeruk dan Susi terhadap tanaman selada
menunjukkan hasil yang terbaik adalah 300 cc/l.

8
III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan UPT BBI Dinas Pertanian Tanaman
Pangan Propinsi Riau Jalan Kaharudin Nasution KM 10 Padang Marpoyan Pekanbaru dengan
topografi datar, dan ketinggian tempat 16 meter dari permukaan laut, dengan jenis tanah
Podzolik Merah Kuning (PMK). Waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah tiga
bulan yang dimulai dari bulan Oktober sampai Desember 2019.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan antara lain: Labu madu cap panah merah , pupuk kandang
sapi, polybag, NPK Mutiara 16:16:16 , Dithane M-45, Curacron, MPHP ( Mulsa Plastik
Hitam Perak ) dan POC kulit nenas. Sedangkan alat yang digunakan cangkul, gembor,
ember, mistar, timbangan dan alat tulis

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan secara eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak


Lengkap (RAL) non faktorial yang terdiri dari 5 taraf perlakuan dan 4 kali ulangan sehingga
diperoleh 20 plot percobaan. Setiap plot terdiri dari 4 tanaman dan 2 diantaranya dijadikan
sampel.

Adapun perlakuannya:

Mo : Tanpa pemberian pupuk POC limbah kulit nenas


M1 : Pemberian POC limbah kulit nenas 150 cc / l
M2 : Pemberian POC limbah kulit nenas 300 cc / l
M3 : Pemberian POC limbah kulit nenas 450 cc / l
M4 : Pemberian POC limbah kulit nenas 600 cc / l

Adapun model matematika Rancangan Acak Lengkap (RAL) adalah sebagai berikut :

Yij= µ + Hi + εij

Keterangan :

Yij = Hasil pengamatan pada perlakuan ke-I dan ulangan ke-j

9
µ = Nilai tengah umum
Hi = Pengaruh perlakuan MOL (M) pada taraf ke-i
εij = Pengaruh galat akibat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan analisa sidik ragam, apabila F
hitung ≥ F tabel, maka dilanjutkan dengan uji lanjut DMRT pada taraf 5 %.

3.4. Pelaksanaan Penelitian


3.4.1. Persiapan lahan
Lahan yang digunakan terlebih dahulu dibersihkan dari sampah dan gulma yang ada.
Setelah itu lahan diukur sesuai dengan kebutuhan yaitu 6 x 7 m. Pengolahan tanah dilakukan
dua kali, pengolahan tanah pertama bertujuan untuk membalikkan tanah dengan kedalaman 0-
20 cm dan di diamkan selama seminggu. Pengolahan tanah kedua dilakukan setelah
pengolahan tanah pertama bertujuan untuk menggemburkan tanah, bersamaan dengan itu
dilakukan pembuatan plot dengan ukuran 1 x 1, m. Pemberian pupuk kandang dilakukan
bersamaan dengan pengolahan tanah kedua sebanyak 20 ton/Ha (2,4 kg/plot) dengan cara
mencampur dan mengaduk rata dalam plot.

3.4.2. Pemasangan Mulsa


Pemasangan mulsa di lakukan setelah plot penelitian di lapangan sudah siap di
bentuk, dengan cara menutup plot penelitian dengan mulsa. Bedengan yang di bentuk
berukuran 1 x 1 m dan panjang serta lebar mulsa adalah 1,2 x 1,2 m.

3.4.3. Pemasangan Label

Pemasangan label dilapangan dilakukan sesudah pembuatan plot, label terbuat dari
map tulang dengan ukuran 15 x 20 cm dengan warna dasar kuning dan tulisan hitam. Label
diberikan pada tiap-tiap plot sesuai dengan lay out percobaan.

3.4.4. Persemaian

Benih yang digunakan dalam penelitian terlebih dahulu direndam dengan air selama
24 jam kemudian dibungkus dengan kain lembab selama 3 hari sampai muncul akar kecil
pada biji labu tersebut. Setelah berkecambah benih disemai dan dipindahkan dalam polybag
kecil dan media yang digunakan untuk persemaian diambil dari tanah lapisan atas (topsoil)

10
disekitar lokasi penelitian dan diberi pupuk kandang dengan perbandingannya 2 : 1, setelah
disemai benih ditutup tanah setebal 1cm lalu disiram . Penyiraman berikutnya dilakukan
setiap sore hari. Persemaian benih labu madu dalam polybag selama 3 minggu dengan kriteria
telah berdaun 4 helai, serta tinggi bibit seragam dan bebas dari hama dan penyakit.
3.4.5. Pemasangan Lanjaran
Pemasangan lanjaran dilakukan satu hari sebelum tanam dengan ketinggian 2 m.
Lanjaran terbuat dari kayu.
3.4.6. Penanaman
Setelah bibit berumur 3 minggu dipersemaian, bibit dipilih dengan pertumbuhan
bibit yang baik, kriteria tinggi dan jumlah daun seragam serta bebas dari hama dan penyakit.
Pemindahan bibit beserta tanah dalam polybag dilakukan dengan cara menyobek polybag
menggunakan pisau dan bibit ditanam ke plot penelitian dengan membuat lubang sedalam 10
cm dan jarak tanam 50 x 50 cm (4 tanaman/plot), bibit ditanam sebatas leher akar kemudian
tanah disekitar pangkal bibit dipadatkan.

3.4.7. Pemupukan
Pupuk NPK Mutiara 16:16:16 diberikan sebanyak 3 kali. Pemberian pertama
dilakukan saat tanam dengan dosis 10 gram pertanaman. Pemberian berikutnya dengan
interval 3 minggu sekali

3.4.8. Perlakuan

POC limbah kulit nenas diberikan pertama kali 1 minggu setelah tanam dengan cara
disemprotkan merata ke tanaman. Pemberian selanjutnya dengan interval 1 minggu sekali
dan diakhiri satu minggu menjelang panen. Untuk perlakuan yang tidak diberi POC pada
saat pemberian perlakuan diberikan air saja dengan cara yang sama dengan cara tanaman
yang diberi POC .

3.4.9. Penyulaman

Penyulaman dilakukan setelah tanaman labu berumur 1 minggu setelah tanam,


ditanam dengan tanaman yang sama dipersemaian dan dengan perlakuan yang sama agar
terjadi keseragaman dalam pertumbuhannya. Sedangkan kriteria tanaman yang digunakan
sama dengan kriteria bibit sebelumnya.

11
3.4.10. Pemeliharaan
3.4.10.1. Penyiraman

Penyiraman dilakukan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari. Apabila hujan maka
penyiraman tetap dilakukan dengan tujuan untuk membersihkan tanah-tanah yang menempel
saat hujan. Penyiraman dilakukan dengan menggunakan gembor sampai tanah basah dan
tidak tergenang.

3.4.10.2. Penyiangan

Penyiangan dilakukan setiap ada gulma yang tumbuh, baik di dalam plot maupun
disekitar plot. Penyiangan didalam plot dilakukan secara manual yaitu mencabut gulma yang
tumbuh disekitar tanaman dengan hati – hati agar tanaman yang diteliti tidak terganggu,
sedangkan penyiangan diluar plot dilakukan dengan menggunakan cangkul.

3.4.10.3. Pengendalian Hama dan Penyakit


Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara preventif dengan menggunakan
insektisida Curacron 2 cc/l dan fungisida Dhithane M-45 2 gram/l. Pemberian pertama
dilakukan 2 minggu setelah tanam dengan interval pemberian 2 minggu sekali dan diberikan
dengan cara disemprotkan ketanaman dengan selang seling hari.

3.4.10.4. Penjarangan buah


Penjarangan buah dilakukan 45 hari setelah tanam dengan cara memotong buah yang
tumbuhnya kurang sempurna dan meninggalkan 2 buah terhadap buah yang tumbuhnya sehat
dan bagus.

3.5. Panen
Labu madu dipanen dengan kriteria buah sudah berwarna kuning kecoklatan.

3.6. Pengamatan

Seluruh parameter diamati pada akhir penelitian. Adapun parameter yang diamati
adalah sebagai berikut:

12
3.6.1. Hari berbunga

Hari berbunga dihitung dengan menghitung jumlah hari semenjak tanam sampai
tumbuh bunga pertama.
3.6.2. Panjang Buah (cm)

Pengukuran panjang buah dilakukan dari pangkal buah sampai ujung buah tanpa
tangkai buah. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan mistar.

3.6.3. Berat Buah (kg)

Buah ditimbang dengan menggunakan timbangan

13
DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2012. Luas dan Jenis Satuan Tanah Provinsi Riau. http://www.bps.go.id/tab_sub.
(Diakses tanggal 26 Oktober 2016)

Endang, S.Y. 2001 Teknik Pemberian Biofertilizer Emas pada Tanah Podsolik (Ultisol)
Rangkasbitung. Buletin Teknik Pertanian 7(1): 1.

Hadisuwito. 2007. Membuat Kompor Cair. Jakarta: PT Agromedia Pustaka

Hananto. 2012. Pengaruh Pengomposan Limbah Organik Sebagai Bahan pembuatan Pupuk
Terhadap Kandungan C,N,P dan K Dalam Pupuk Cair yang Terbentuk. Tesis.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.

Juarsah I. 2014. Pemanfaatan Pupuk Organik untuk Pertanian Organik dan Lingkungan
Berkelanjutan. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pertanian Organik Balai
Penelitian Tanah. Bogor, 18 – 19 Juni.

Lestari, W., T. M. Linda dan A. Martina. 2011. Kemampuan Bakteri Pelarut FosfatIsolat Asal
Sei Garo dalam Penyediaan Fosfat Terlarut dan Serapannya pada Tanaman Kedelai.
Jurnal Biospecies, 4(2): 1-5

Lindung. 2014. Teknologi aplikasi zat pengatur tumbuh. Jambi: Balai Pelatihan Pertanian.
Logistik Bimbingan Pupuk Dan Pemupukan Indonesia. 2016. Acuan pupuk dan pemupukan
labu madu/butternutsquash. http://booslem.com/ budi daya-butternut-labu-madu/.
Diunduh November 2016.

Murni, P. 2009. Peningkatan pH Tanah Podsolik Merah Kuning Melalui Pemberian Abu dan
Hubungannya Dengan Aktivitas Mikroorganisme Pengikat Nitrogen. Jurnal
Biospesies, 2 (2): 18-20.

14
Pardede G. 2014. Labu berpotensi menjadi pengganti beras. yayasan bina tani sejahtera.
http://www.pikiran-rakyat.com/horison/2014/10/08/ 00064/labu-berpotensi-menjadi-
pengganti-beras. Diunduh Desember 2017.

Prasetyo, B.H., D. Suriadikarta. 2006. Karakteristik, Potensi, dan Teknologi Pengelolaan


Tanah Ultisol Untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering Di Indonesia. Jurnsl
Litbang Pertanian, 25(2).

Purwowidodo. 1992. Telaah Kesuburan Tanah. Bandung: PT Angkasa

Rukmana, 1996. Nanas Budidaya dan Pascapanen. Yogyakarta: Kanisius.


Saefas SA, S Rosniawaty, Y Maxiselly. 2017. Pengaruh konsentrasi zat pengatur tumbuh
alami dan sintetik terhadap pertumbuhan tanaman teh (Camelia sinensis (L.) O.
Kuntze) klon GMB 7 setelah centering. Jurnal Kultivasi.16 (2): 368-372.
Suriawira. 2003. Pupuk Organik Kompos dari Sampah. Bandung: Humaniora.
Susanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Susi, N. Surtinah, S., & Rizal, M. (2018). Pengujian Kandungan Unsur Hara Pupuk Organik
Cair (POC) Limbah Kulit Nenas. Jurnal Ilmiah Pertanian, 14(2)

Sysetya, D. 2012. Panduan Lengkap Membuat Pupuk Cair Organik. Jakarta: Baru Press.
Tjokrowardojo, A.S., Rosihan Rosman, dan Dyah Iswantini Pradono. 2009. Pengaruh zat
pengatur tumbuh terhadap perkecambahan benih dan pertumbuhan bibit kamarandah
(Croto tiglium L.). Jurnal Agrotropika. 14(2): 55-60.

Wareing PF, I.D.J. Phillips. 1981. The control of growth and differentiation in plants.
Pergamon Press. New York.

Wijana, dkk. 1991. Optimalisasi Penambahan Tepung Kulit Nanas dan Proses Fermentasi
pada Pakan Ternak terhadap Peningkatan Kualitas Nutrisi. ARMP (Deptan).
Universitas Brawijaya. Malang

15
Lampiran 1. Deskripsi Tanaman Labu Madu

Nomor SK Kementan : 111/Kpts/SR.120/D.2.7/10/2016


Rekomendasi Dataran : Rendah
Ketahanan Penyakit :
Umur Panen (HST) : 85 HST
Bobot per Buah (g) : 1.5 - 2 Kg
Potensi Hasil (ton/ha) : 40 ton/ha
Rasa manis : 14 - 18%,
Panjang buah : ± 33 cm
Bentuk buah : bentuk yang cantik dan panjang
( Sumber : PT. East West Seed Indonesia )

16
Lampiran 2. Pembuatan POC Nenas

Bahan – bahan :

1. 5 kg Limbah Kulit Nenas yang sudah membusuk


2. 10 butir air kelapa
3. 1 kg gula jawa
4. Air cucian beras

Cara pembuatannya:
1. Limbah Kulit Nenas dihaluskan, bisa dengan cara ditumbuk atau diparut
2. Masukkan ke dalam wadah/tempat (Drum/Ember)
3. Tambahkan Air kelapa atau Cucian beras
4. Tambahkan gula
5. Semua bahan diaduk sampai tercampur merata
6. Tutup drum/ember dengan penutup. Beri lubang untuk aerasi. Lubang aerasi ini bisa
menggunakan selang agar tidak dimasuki oleh lalat atau serangga lain.
7. Semua bahan kemudian di fermentasi selama dua (2) minggu.
Sumber : (Susi, 2018).

17
Lampiran 3. Tabel Pengamatan dan Sidik Ragam
Tabel Pengamatan
perlakua Ulangan
TOTAL Rata-rata
n I II III IV
L0 L0I L0II L0III L0IV TL0 TL0/4
L1 L1I L1II L1III L1IV TL1 TLI/4
L2 L2I L2II L2III L2IV TL2 TL2/4
L3 L3I L3II L3III L3IV TL3 TL3/4
L4 L4I L4II L4III L4IV TL4 TL4/4
TOTAL ∑ TL

Tabel Sidik Ragam


FTABEL
SK db JK KT FHIT
5%
P t-1 JK P JK P/t-1
KT P/KT S
Sisa t(n-1) JK S JK S/t(n-1)
Total txn-1 JK T

KK = √ KTP
Y /¿nu × 100 % ¿
Analisis Data
FK = 1 / t x n (T2)
JKtotal = P0I2 +…….+ P4IV2 – FK
JKperlakuan =1 / 4( TP02 + ........+TP4 2 ) – FK

Kuadrat Tengah :
KTperlakuan = JKperlakuan/ dbperlakuan
KT sisa = JKsisa / dbsisa
Fhitung = KTperlakuan / KTsisa
Ftabel = dbperlakuan .dbsisa = tabel ficher
Bila Fhitung> Ftabel 5% maka Hipotesis diterima
Bila Fhitung< Ftabel 5% maka Hipotesis ditolak

Keterangan :

18
SK = Sumber Keragaman db = derajat bebas
P = perlakuan JK = jumlah kuardat
T = perlakuan KT = kuadrat tengah
N = ulangan KK = koefisien keragaman

Lampiran 4. Tata Letak Unit Percobaan Menurut Rancangan Acak Lengkap (RAL).

L0 I L4 I L1 I L2 II L4 IV

L3 I L2 III L3 II L0 IV L3 III U
19
L1 II L3 IV L0II L4 III L1 III

L4 II L2 I L1 IV L2 IV L0 III

50 cm

50 cm

120 cm

120 cm
Keterangan :
L0, L1, L2, L3, L4 = Perlakuan
I, II, II, IV = Ulangan
- Jarak antar plot 50 cm
- Ukuran plot 120 cm x 100 cm
- Luas Area Percobaan 15 m x 10 m
- Jarak tanam 50 cm x 50 cm
- Jumlah Tanaman per plot 4 tanaman.

20

Anda mungkin juga menyukai