Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL TANAMAN PANGAN


PEMBUATAN SAUERKRAUT

Oleh :
INDAH ZIAN NINGRUM
NIM. 1906124524

Asisten:
DIAJENG SRIYANA SARASWATRI
WINDY SABILLIANI

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2021
I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam

nabati, salah satunya adalah sayuran. Sayuran merupakan sebutan umum bagi

bahan pangan asal tumbuhan yang biasanya mengandung kadar air tinggi dan

dikonsumsi dalam keadaan segar atau setelah diolah secara minimal. Sayuran

merupakan komoditas penting dalam mendukung ketahanan pangan

nasional. Produksi sayuran Indonesia meningkat setiap tahun dan

konsumsinya tercatat 44 kg/kapita/tahun.

Sayuran terutama yang berdaun hijau, merupakan salah satu bahan

pangan yang baik karena mengandung vitamin dan mineral, antara lain

vitamin C, provitamin A, zat besi, dan kalsium. Sayuran termasuk bahan

pangan yang banyak mengandung zat gizi dan bermanfat bagi manusia. Selain

itu,sayuran merupakan penyumbang serat terbesar bagi tubuh. Serat makanan

tersebut berguna untuk kelancaran fungsi pencernan dan metabolisme dalam

tubuh.

Sayuran memiliki sifat cepat layu dan busuk akibat kurang

cermatnya penanganan lepas panen. Sayuran adalah substrat yang sangat

disukai oleh mikrobia, baik yeast, fungi maupun bakteri. Tetapi,

mikrobia yang pertumbuhannya di sayuran paling cepat adalah bakteri asam

laktat (BAL). Fermentasi asam laktat pada sayuran melibatkan sejumlah

spesies BAL. Sayuran ini diolah dengan cara menggunakan garam sebagi zat

pengawetnya. Oleh sebab itu untuk mengawetkan sekaligus meningkatkan


nilai tambah, seringkali dibuat dengan fermentasi. Salah satu sayuran yang bisa

difermentasi adalah kubis dan wortel.

Komoditi sayur di pasaran digolongkan menjadi tingkat (grade)

berdasarkan atribut mutu (warna, ukuran, bentuk). Demikian juga dengan wortel

dan kubis. Kubis dan wortel dengan grade tinggi umumnya menjadi incaran utama

konsumen terutama kalangan menengah ke atas dan umumnya dijual di

supermarket atau hotel-hotel. Adapun wortel dan kubis grade rendah mempunyai

nilai jual yang rendah dan hanya dipasarkan di pasar tradisional (Nakdiyani dan

Batubara, 2019).

Kubis dan wortel grade rendah dapat diolah menjadi sauerkraut untuk

memberikan nilai tambah. Sauerkraut adalah acar sayur kubis. Kubis dibersihkan,

dikeluarkan bagian yang cacat, sakit dan kotor, dicuci kemudian iiris selebar kira-

kira 5 mm, dengan proses yang dimulai oleh bakteri Leuconostoc mesenteroides,

lalu diteruskan oleh spesies yang lebih tahan terhadap keadaan yang lebih asam

seperti Lactobacillus brevis, Lactobacillus plantarum dan Pediococcus cerevisae

(Muchtadi et al., 2013).

Berdasarkan uraian di atas tentang pengolahan sayuran, oleh karena itu

dilakukan pratikum Teknologi Pengolahan Hasil Tanaman Pangan dengan judul

Pembuatan Sauerkraut.

1.2 Tujuan

Tujuan dari pratikum ini adalah untuk mengetahui cara pengolahan atau

pembuatan asinan kubis (sauerkraut).


M II TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Sauerkraut

Sauerkraut adalah hasil fermentasi kubis yang diambil larutan atau

ekstraknya (Abdarrianzah, 2013). Sauerkraut (kubis/kol asam) merupakan

makanan khas Jerman dari kubis yang diiris halus dan difermentasi oleh berbagai

bakteri asam laktat, seperti Leuconostoc ,Lactobacillus dan Pediococcus. Sayuran

ini diolah dengan cara peragian dan menggunakan garam sebagi zat pengawetnya.

Sauerkraut merupakan sayuran yang telah diberi asam, akan tetapi

asamnya diperoleh dari proses fermentasi sakarida (gula) yang terdapat dalam

bahan baku oleh bakteri asam laktat. Asam yang dihasilkan berkisar pada rentang

1,5 ± 2,0 % pada akhir fermentasi dan di identifikasi berupa asam laktat.

Pembuatan sauerkraut yaitu dengan cara memotong-motong limbah pasar sayur

kemudian ditambahkan garam. Pelunakan pada sauerkraut berawal dari kerusakan

flavour karena penyebab kerusakan yaitu khamir dan kapang masuk ke dalam

seluruh bagian sauerkraut sehingga menjadi lunak. Di Jerman, sauerkraut dengan

rasanya yang asam-asam segar disajikan dengan hidangan utama berupa sosis

bratwurst atau roti (Afrianni, 2013).

2.2 Kubis

Kubis (Brassica oleracea L.) merupakan tanaman semusim atau dua

musim. Bentuk daunnya bulat telur sampai lonjong dan lebar seperti kipas. Sistem

perakaran kubis agak dangkal, akar tunggangnya segera bercabang dan memiliki

banyak akar serabut. kubis merupakan sayuran ekonomis dan serbaguna yang

mudah ditemukan dan memberikan nilai gizi yang sangat besar. Kubis kaya akan
fitonutrien dan berbagai vitamin seperti vitamin A, B, dan C. Ini semua adalah

antioksidan alami, yang membantu mencegah kanker dan penyakit jantung,

mencegah radikal bebas dan lain sebagainya (Bratakusuma et al., 2013).

Di Indonesia tanaman kubis atau kol merupakan salah satu jenis sayuran

dari genus Brassica yang tergolong kedalam famili Cruciferae (Brassicaeae).

Umumnya dapat ditanam di hampir semua jenis tanah, idealnya yaitu tanah liat

berpasir yang memiliki kandungan organik yang cukup dan ber pH kisaran 6,0.

Suhu optimum untuk tanaman kubis yaitu didaerah dingin antara 15℃ - 25℃.

Tanaman kubis (Brassica oleracea L. var. capitata L.) memiliki bentuk kepala

bulat dan kompak mirip seperti kepala berdiameter dapat mencapai lebih dari 20

cm, batangnya kadang-kadang bercabang dan panjangnya mencapai 1 m atau

lebih, daun berwarna hijau berukuran besar dan panjang mencapai lebih dari 50

cm tebal dan berdaging, akarnya serabut dan panjangnya mencapai 1 m dari

tanaman (Dewi, 2010).

2.3 Wortel

Wortel (Daucus carota L) adalah jenis sayuran yang berwarna kuning kemerahan

atau jingga kekuningan dengan tekstur yang mirip seperti kayu (Amiruddin,

2013). Bagian yang dapat dimakan dari wortel adalah bagian umbi atau akarnya.

Wortel memiliki batang yang pendek, akar tunggang yang bentuk dan fungsinya

berubah menjadi umbi bulat dan memanjang. Kulit umbi wortel tipis dan jika

dimakan mentah terasa renyah dan agak manis (Andarwulan et al., 2011).
Gambar 1. Morfologi Wortel (Berta et al., 2017)
Menurut Edwar (2014) wortel termasuk dalam divisi Embryophyta

siphonogama, sub divisi Angiospermae, kelas Dicotyledoneae, ordo Umbiliflorae,

dan termasuk ke dalam famili Umbiliflorae, yaitu tanaman yang bunganya

mempunyai susunan bentuk mirip dengan payung dan pertama kali ditemukan di

Eropa bagian selatan, Afrika utara di perbatasan Asia. Wortel juga termasuk

dalam genus Daucus dan spesies Daucus carota L, yang telah lama

dibudidayakan disekitar jalur Mediterania (Rukmana, 1995). Wortel akan tumbuh

baik pada daerah yang mempunyai suhu berkisar antara 16°C – 21°C. Wortel

dapat tumbuh dengan optimal pada tanah yang mempunyai struktur remah,

gembur dan kaya akan humus dengan pH berkisar antara 5,5 – 6,5 (Gandi, 2016).

Menurut Hendrawan (2016) kantong minyak dalam ruang antarsel

perisikel pada umbi wortel mengandung minyak esensial yang 4 menyebabkan

aroma yang khas dari wortel dan akar tunggangnya menyimpan gula dalam

jumlah yang cukup banyak. Gula-gula yang terdapat pada wortel umumnya terdiri

dari sukrosa, glukosa, fruktosa dan maltosa. Menurut Hutagalung et al., (2016),

kandungan gula dan asam amino pada wortel tergantung dari jenis varietas wortel,

lingkungan, pertanian, dan penyimpanannya. Menurut Khumairoh (2016), wortel


termasuk dalam divisi Embryophyta siphonogama, sub divisi Angiospermae,

kelas Dicotyledoneae, ordo Umbiliflorae, dan termasuk ke dalam famili

Umbiliflorae, yaitu tanaman yang bunganya mempunyai susunan bentuk mirip

dengan payung dan pertama kali ditemukan di Eropa bagian selatan, Afrika utara

di perbatasan Asia. Wortel juga termasuk dalam genus Daucus dan spesies

Daucus carota L, yang telah lama dibudidayakan disekitar jalur Mediterania

(Ramadhan dan wini, 2017).

2.4 Penambahan Garam Pada Fermentasi

Garam merupakan komponen penting dalam proses fermentasi pembuatan

pikel. Garam berfungsi untuk mengeluarkan substrat tertentu. Menurut Mika

(2010), garam dapat menarik air keluar dari buah-buahan yang mengandung

padatan terlarut seperti protein, karbohidrat, mineral, dan vitamin yang penting

bagi bakteri asam laktat. Garam juga membantu mengontrol mikroflora selama

fermentasi yang dapat bersaing dengan mikroba yang diinginkan, terutama bakteri

proteolitik, bakteri aerob, dan bakteri pembentuk spora (Prayoga, 2014). Garam

bersama asam yang dihasilkan akan menghambat pertumbuhan mikroba yang

tidak diinginkan.

Pada tahap ini bakteri asam laktat yang sesungguhnya mulai berperan

dalam proses fermentasi dan akan mencapai puncak pertumbuhan pada hari

pertama fermentasi. Jika konsentrasi garam yang digunakan untuk proses

fermentasi terlalu rendah, maka yang terjadi selanjutnya adalah proses pelunakan

jaringan buah-buahan dan sayur- sayuran akibat aktivitas enzim pektinolitik.

Enzim ini berfungsi untuk mendegradasi molekul pektin yang banyak ditemukan
pada sel tananaman. Sebaliknya apabila jumlah garam yang terlalu banyak justru

akan menunda fermentasi alamiah, menyebabkan warna menjadi gelap, dan

memungkinkan pula pertumbuhan khamir (Richana,2013). Proses penggarama

dimulai dengan penambahan garam konsentrasi rendah 8 kemudian ditambah lagi

secara bertahap sampai pertumbuhan bakteri terhenti. Konsentrasi garam yang

digunakan untuk pembuatan pikel adalah 5-8% . Konsentrasi garam sebesar itu

sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri asam laktat.


III METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu

Praktikum Teknologi Pengolahan Hasil Tanaman Pangan dilaksanakan

dirumah masing-masing secara via daring daring melalui Google Meet pada hari

Rabu, 06 Oktober 2021 pukul 15.00-16.40 WIB.

3. 2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah kubir, garam dan

wortel.

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah baskom, jar kaca, pisau

dan talenan.

3.3 Cara Kerja


Kubis dan
Wortel

Dibuang bonggol kubis kemudian dicuci, setelah itu dikeringkan

Dikupas wortel sampai bersih, dibuang bagian atas wortel kemudian


dicuci bersih

Dirajang tipis sebesar 2-5 mm kubis dan wortel, lalu dimasukkan kedalam
baskom

Diberikan garam 2,5% kedalam rajangan kubis dan wortel

Diremas-remas sampai keluar air 35% b/v dari kubis


Dimasukkan kedalam wadah (jar kaca) dan diberikan pemberat dan
dipastikan kubis terendam seluruhnya didalam air

Difermentasikan selama 7 hari pada suhu ruang

Hasil
IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Kubis segar yang difermentasi menjadi sauerkraut menggunakan garam

dengan konsentrasi tertentu, sehingga tidak perlu ditambahkan mikroorganisme

lain sebagai starter (inoculum) atau ragi, karena bakteri asam laktat sudah ada

pada kubis. Oleh karena itu garam mempunyai peran yang penting terhadap mutu

sauerkraut yang dihasilkan. Adanya penambahan garam dengan konsentrasi yang

berbeda bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh konsentrasi garam yang

digunakan (Koswara, 2010).

Sauerkraut merupakan produk fermentasi yang dibuat dengan cara dengan

menambahkan garam konsentrasi tertentu pada irisan kubis (Ika dan Yenny,

2010).Pratikum yang telah dilakukan, pembuatan sauerkraut diolah menggunakan

kubis, wortel dan penambahan garam. Berdasarkan pratikum yang telah dilakukan

diperoleh tabel hasil sebagai berikut.

Tabel 1. Range Sauerkraut terhadap organoleptic

Kelompok Warna Rasa Aroma Tekstur


1 2 2 3 3
2 2 4 5 3
3 2 4 5 4
4 2 4 5 5
5 2 4 5 4
6 2 5 5 3
Warna membuat makanan terlihat menarik dan merupakan daya tarik

utama sebelum panelis mengenal dan menyukai sifat-sifat lainnya. Tabel di atas

menunjukkan bahwa range yang diperoleh oleh masing-masing kelompok datanya

hampir semuanya sama hanya ada sedikit yang berbeda. Pada warna semua

kelompok memiliki range yang sama yaitu 2 (putih kekuningan). Warna tersebut

terbentuk dari penambahan garam pada kubis dan wortel. Hal tersebut sependapat
dengan penelitian Hayati et al, (2017) bahwa variasi konsentrasi garam

bepengaruh sangat nyata terhadap warna sauerkraut. Hal ini menunjukkan variasi

konsentrasi garam memberikan respon yang berbeda terhadap warna sauerkraut.

Sauerkraut dapat bertahan lama dan memiliki rasa yang cukup asam, hal

ini terjadi disebabkan oleh bakteri asam laktat yang terbentuk saat garam di dalam

sayuran berfermentasi. Rasa yang diperoleh oleh setiap kelompok 2,3,4,5

memiliki range yang sama yaitu 4 (asam), sedangkang kelompok 1 dan 6

memiliki masing-masing range sebagai berikut yaitu 2 (sedikit asam) dan 5

(sangat asam). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Nakdiyani dan Batubara

(2019) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi garam semakin berkurang

rasa asamnya namun cenderung ke pahit karena banyaknya garam yang

ditambahkan

Aroma yang dihasilkan pada proses fermentasi mempunyai karakteristik

bau asam, begitupun aroma yang ditimbulkan dari hasil fermentasi sauerkraut

yaitu bauasam, aroma asinan sayur pada umumnya. Berdasarkan tabel yang

diperoleh pada kelompok 2,3,4,5,dan 6 memili range yang sama yaitu 5 ( sangat

kuat aroma asam) sedangkan pada kelompok 1 (agak beraroma asam). Namun,

yang menjadi ciri khas aroma dari sauerkraut sendiri yaitu aroma dari bahan baku

untuk pembuatan sauerkraut masihada. Saurkraut yang telah dibuat berbahan baku

kubis, sehingga aroma sayur kubis masih ada pada produk hasil fermentasi ini.

Menurut Nakdiyani dan Batubara (2019) menyatakan bahwa semakin banyak

penambahan garam menyebabkan aroma semakin tidak kuat karena kadar

keasaman semakin berkurang


Tekstur yang dihasilkan dari pembuatan sauerkraut dari masing-masing

kelompok yaitu kelompok 1,2, dan 6 yaitu 3 (agak renyah), kelompok 3 dan 5

yaitu 4(renyah), dan kelompok 4 yaitu 5 (sangat renyah). Hal ini terjadi karena

kandungan air yang ada dalam sayur kol terdorong keluar, sehingga menghasilkan

air walaupun sedikit dan membuat tekstur pada sauerkraut beragam. Menurut

Nakdiyani dan Batubara (2019) menyatakan bahwa hal ini disebababkan karena

tekstur yang semakin tidak renyah dan lembek. Dipengaruhi oleh penambahan

garam yang memperoleh kandungan air pada sauerkrauet. Konsistensi lunak yang

dihasilkan sauerkraut sesuai dengan karakteristik keberhasilan pembuatan

sauerkraut yaitu lunak.

Kerusakan sauerkraut ditandai dengan perubahan warna menjadi jingga

yang disebabkan oleh pertumbuhan khamir berpigmen sehingga menimbulkan bau

busuk. Pembusukan sauerkraut juga disebabkan karena wadah fermentasi tidak

tertutup rapat dan pelumuran garam yang tidak merata (Koswara, 2013). Faktor-

faktor yang harus diperhatikan dalam pembuatan sauerkraut adalah konsentrasi

garam, suhu selama fermentasi dan wadah yang digunakan.

V KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari pratikum ini adalah sauerkraut merupakan

produk fermentasi yang dibuat dengan cara dengan menambahkan garam


konsentrasi tertentu pada irisan kubis dan wortel. kubis segar yang difermentasi

menjadi sauerkraut menggunakan garam dengan konsentrasi sebanyak 2,5%,

sehingga tidak perlu ditambahkan mikroorganisme lain sebagai starter (inoculum)

atau ragi, karena bakteri asam laktat sudah ada pada kubis. Maka dari itu

konsentrasi garam sangat mempengaruhi mutu dan organoleptic pada sauerkraut.

Organoleptik yang diukur dari pembuatan sauerkraut adalah warna, rasa,

aroma,dan tekstur. Tekstur pada sauerkraut dipengaruhi oleh adanya kandungan

air yang terdapat pada bahan yang ditambahkan konsentrasi garam.


DAFTAR PUSTAKA

Abdarrianzah. (2013). Isolasi Bakteri Asam Laktat pada Pembuatan Sauerkraut.

Skripsi , Kendari : Jurusan Teknologi Pangan. Fakultas Pertanian.

Universitas Haluoleo

Afrianni, L. H. (2013). Teknologi Pengawetan Pangan. Cv. Alfabeta. Bandung.

Amiruddin, C. 2013. Pembuatan Tepung Wortel (Daucus carota, L.) dengan

Variasi Suhu Pengering. [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Universitas

Hasanuddin. Makassar. hal: 3-4.

Andarwulan, N., F. Kusnandar., dan D. Herawati. 2011. Analisis Pangan. Dian

Rakyat. Jakarta.

Berta, S., T. Koapaha., dan L. Mandey. 2017. Pemanfaatan Kolang-kaling Buah

Aren dan Nanas (Ananas comosus, L.Merr.) dalam Pembuatan

Sliced Jam. Skripsi .Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas

Pertanian Universitas Sam Ratulangi. Manado. hal: 7-8.

Bratakusuma, N., Sahami, N. F dan Nursinar, S. 2013. Komposisi Jenis,

Kerapatan dan Tingkat Kemerataan Lamun di Desa Otiola

Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara. Jurnal

Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 1(3) : 139-146.

Dewi, P. S. 2010. Perbedaan Efek Pemberian Lendir Bekicot (Achatina fulica)

dan Gel Bioplacenton Terhadap Penyembuhan Luka Bersih pada

Tikus Putih. [Skripsi]. Surakarta : Fakultas Kedokteran, Universitas

Sebelas Maret.
Edwar, H. 2014. Pengaruh Penambahan Sari Daun Sirsak Terhadap Karakteristik

Selai Lembaran Buah Sirsak (Annona muricata, L). [Skripsi].

Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas. Padang. hal: 13

Gandi, F. 2016. Pengaruh Penambahan Sari Kulit Buah Manggis (Garcinia

mangostana, L.) terhadap Selai Kolang-kaling. [Skripsi]. Fakultas

Teknologi Pertanian Universitas Andalas. Padang. hal: 36-37.

Hayati, R., Fadhil, R., & Agustina, R. (2017). Analisis kualitas sauerkraut (asinan

Jerman) dari kol (Brassica oleracea) selama fermentasi dengan

variasi konsentrasi garam. Rona Teknik Pertanian, 10(2), 23-

34.Cendikia.

Hendrawan, R. 2016. Perbedaan Metode Pengeringan Sayuran Kering Wortel

terhadap Sifat Fisik dan Kimia dari Sayuran Kering Wortel yang

dihasilkan. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas

Andalas. Padang. hal: 22

Hutagalung, T., N. Rona, dan N. Mimi. 2016. Pengaruh Perbandingan Bubur

Buah Nanas dengan Bubur Wortel dan Jenis Zat Penstabil terhadap

Mutu Selai Lembaran. Jurnal Rekayasa Pangan dan Pertanian 4(1):

58-64.

Khumairoh, F.S. 2016.Pembuatan Selai Lembaran dari Campuran Kolang-kaling

(Arenga pinnata, Merr.) dan Kulit Buah Naga (Hylocereus

polyrhizus). [Skripsi].Padang: Fakultas Teknologi Pertanian.

Universitas Andalas. hal: 14-46.


Koswara, S. 2009. Teknologi Pengolahan Sayuran dan Buah-Buahan (Teori dan

Praktek). eBookPangan.com.

Koswara, S. 2013. Teknologi Fermentasi Sayuran. http://tekpan .unimus.ac.id/.

Mika, M. 2010. Pengaruh Jenis Bakteri Asam Laktat dan Lama Fermentasi

terhadap Karakteristik Pikel Ubi Jalar Kuning. Skripsi. Lampung:

Universitas Lampung.

Muchtadi, T.R,. Sugiyono, Ayustaningwarno, F.2013. Ilmu Pengetahuan Bahan

Pangan. Penerbit Alfabeta. Bandung.

Prayoga, Deska. 2014. Kandungan Gula Pereduksi pada Ubi Kuning, Bilangan

Asam, Bilangan Penyabunan, Serta Bilangan Penyabunan pada

Minyak Goreng. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah.

Ramadhan, W. dan T. Wini. 2017. Formulasi Hidrokoloid Agar, Sukrosa, dan

Acidulant pada Pengembangan Produk Selai Lembaran. JPHPI

20(1): 95-108.

Richana, Nur. 2013. Mengenai Potensi Ubi Kayu & Ubi Jalar. Bandung: Nuansa.
LAMPIRAN

Gambar 1. Bahan dan alat

Gambar 2. Pengupasan

Gambar 3. Pemotongan Wortel

Gambar 4. Pemotongan kubis


Gambar 5. Pencampuran bahan

Gambar 6. Pengadukan

Gambar 7. Sebelum difermentasi

Gambar 8. Setelah difermentasi

Anda mungkin juga menyukai