Anda di halaman 1dari 8

REVIEW FENOMENA KIMIA PANGAN

“PROSES FERMENTASI PADA SAUERKRAUT”

Disusun oleh:
Atmelrina Miranti (4444230077)
Basiah (4444230070)
Elsa Fidhela Azahra (4444230092)
Fariha Ihda Fahrani (44442300791)
Nazwa Muji Afrisza (4444230084)
Kelas : 1C
Kelompok : 2 (Dua)

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia sangat kaya akan hasil sayur-sayuran, sayuran dapat berasal dari
berbagai bagian organ tumbuh-tumbuhan misalnya kubis, sawi, bayam, kangkung,
seledri, kentang, kacang-kacangan, jagung, ketimun, cabai, labu, tomat, terong dan
masih banyak lagi. Sayur-sayuran tersebut mempunyai arti penting sebagai sumber
vitamin, mineral, dan zat-zat lain dalam menunjang kecukupan gizi.
Komoditas sayuran diatas adalah komoditas yang sangat mudah rusak
(perishable) apalagi jika berada pada suhu ruang dan tanpa perlakuan pascapanen
yang baik. Maka dari itu perlu dilakukan pengawetan untuk mempertahankan
kualitas misalnya kubis, wortel, sawi, lobak. Mengingat keempat komoditas ini
sangat diminati oleh pasar. Selain itu untuk menambah umur simpan saat digunakan
oleh konsumen untuk diolah kembali. Pengawetan dilakukan dengan diolah
menjadi sauerkraut. Sauerkraut merupakan bahan makanan yang diawetkan,
dengan cara fermentasi dengan menggunakan garam. Tujuan utamanya adalah
untuk mencegah pembusukan, sehingga bahan makanan akan tahan lebih lama, dan
akan menghasilkan cita rasa yang lebih disukai. Di negara maju, Sauerkraut sudah
menjadi makanan yang sukar dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Proses
fermentasi yang diharapkan adalah yang dapat menghasilkan asam laktat dari gula.
Keberhasilan fermentasi atau tingginya mutu produk yang dihasilkan tergantung
pada jumlah, macam dan aktivitas bakteri-bakteri laktat yang mendominasi.
Bakteri-bakteri laktat cenderung mendominasi dengan adanya inhibitor-inhibitor,
garam dapur (NaCl) dan lingkungan anaerob.

1.2 Tujuan
Untuk mengetahui mikroba yang berperan, proses fermentasi, dan
perubahan yang terjadi selama proses fermentasi pada produk sauerkraut.

1
BAB II
ISI

Sauerkraut (kubis asam) adalah makanan khas Jerman yang terbuat dari
kubis yang diiris halus dan difermentasikan. Proses fermentasi sauerkraut dilakukan
dengan penambahan garam dengan konsentrasi tertentu. Tidak perlu ditambahkan
mikroorganisme lain sebagai starter (inoculum) atau ragi dalam fermentasi
sauerkraut karena bakteri asam laktat sudah ada pada kol. Pertumbuhan dan
aktivitas bakteri asam laktat dapat dirangsang secara selektif dengan adanya
penambahan garam sebelum proses fermentasi berlangsung. Penggunaan garam
mempengaruhi Aw sehingga mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme
(Hayati, Fadhil, dan Agustina, 2017).
Dalam fermentasi sauerkraut, semakin tinggi kadar garam maka kadar asam
laktat semakin menurun. Garam dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme
secara selektif. Gula dan komponen nutrisi lainnya yang terdapat dalam sayuran kol
dapat digunakan sebagai substrat untuk pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL).
Bakteri asam laktat memilki kemampuan memfermentasikan karbohidrat menjadi
asam laktat dan tumbuh secara alami pada pH rendah. Asam laktat yang dihasilkan
BAL dapat menghambat pertumbuhan khamir dan kapang yang tidak diinginkan.
Perendaman sayuran dalam larutan garam rendah atau tinggi akan menyebabkan
tumbuhnya bakteri Lactobacillus plantarum (Anggraeni, Lubis, dan Junaedi, 2021).
Sauerkraut dibuat melalui proses pengawetan yang disebut dengan
fermentasi asam laktat, sama seperti proses pengawetan secara tradisional (tanpa
ada proses pemanasan makanan) pada ketimun dan kimchi. Kubis yang telah
dirajang halus, kemudian ditaburi dengan garam dan dibiarkan mengalami proses
fermentasi. Sauerkraut yang telah matang atau sukses berfermentasi akan tahan
disimpan dalam wadah kedap udara selama beberapa bulan pada suhu kurang dari
15°C. Lemari es dan prosesp pemanasan (pasteurisasi) tidak diperlukan dalam
proses pembuatan sauerkraut walau dengan cara tersebut bisa memperpanjang masa
simpan (Shadrina, 2020).
Proses fermentasi oleh bakteri lactobacilli dilakukan secara alami (natural)
dan biologis, bakteri ini terkandung di dalam udara, menempel dan tumbuh di daun
kubis yang masih mentah. Ragi juga ditemukan di sauerkraut dan akan
menyebabkan teksturnya menjadi lunak dengan rasa yang kurang baik jika
fermentasi terjadi pada suhu yang terlalu tinggi. Proses fermentasi kubis saat
pembuatan sauerkraut sendiri terdiri atas tiga fase, secara kolektif kadang-kadang
disebut sebagai dinamika populasi. Pada tahap pertama, bakteri anaerob seperti
Klebsiella dan Enterobacter memulai proses fermentasi, dan menciptakan
lingkungan asam yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri berikutnya. Tahap kedua
dimulai ketika kadar asam menjadi terlalu tinggi untuk banyak bakteri, dan
Leuconostoc mesenteroides dan Leuconostoc spp. Lainnya, kemudian
mendominasi. Pada tahap ketiga, berbagai spesies Lactobacillus, termasuk L.

2
Brevis dan L. Plantarum, melakukan fermentasi pada gula yang tersisa, membuat
pH semakin menurun. Sauerkraut yang benar-benar sukses berfermentasi akan
mengandung cukup asam sehingga mampu mencegah pertumbuhan Clostridium
botulinum, racun yang menyebabkan penyakit botulisme. (Shadrina, 2020).
Proses fermentasi sauerkraut melibatkan sejumlah reaksi biokimia yang
terjadi di bawah pengaruh mikroorganisme tertentu, terutama bakteri asam laktat.
Berikut adalah beberapa reaksi utama yang terjadi selama fermentasi sauerkraut:
1. Fermentasi laktat: Bakteri asam laktat, seperti Lactobacillus spp. dan
Leuconostoc spp., adalah mikroorganisme yang paling aktif selama fermentasi
sauerkraut. Bakteri ini mengkonsumsi gula (glukosa) yang terdapat dalam kubis
dan mengubahnya menjadi asam laktat. Reaksi ini menurunkan pH lingkungan
(membuatnya menjadi lebih asam) dan menciptakan kondisi yang tidak sesuai
untuk pertumbuhan mikroorganisme berbahaya.
2. Penguraian gula: Selama fermentasi, bakteri asam laktat menguraikan gula
(glukosa) menjadi asam laktat, karbon dioksida, dan sedikit etanol (alkohol).
3. Peningkatan asam: Akumulasi asam laktat dalam sauerkraut membuatnya
memiliki rasa asam yang khas. Rasa ini juga merupakan faktor pengawet alami.
4. Produksi gas: Selama fermentasi, karbon dioksida dihasilkan sebagai produk
sampingan reaksi biokimia. Ini adalah alasan mengapa sauerkraut bisa berbusa
saat dibuka.
5. Penguraian senyawa lain: Selain gula, bakteri asam laktat juga dapat
menguraikan senyawa lain dalam kubis, seperti senyawa anti-gizi seperti
glukosinolat.
6. Pembentukan aroma dan rasa: Selama proses fermentasi, terjadi perubahan
kimia yang menghasilkan berbagai senyawa aroma dan rasa yang menghasilkan
karakteristik rasa dan aroma sauerkraut yang khas(Setiarto, 2020).
Selama berlangsungnya fermentasi, pH rendah (lebih asam) dan persaingan
yang kuat dari bakteri asam laktat menghambat pertumbuhan mikroorganisme
berbahaya seperti bakteri patogen. Oleh karena itu, sauerkraut menjadi produk yang
tahan lama dan aman untuk dikonsumsi. Penting untuk diingat bahwa kualitas akhir
sauerkraut sangat bergantung pada kondisi fermentasi, termasuk suhu, kebersihan
peralatan, dan jenis mikroorganisme yang berpartisipasi dalam proses tersebut.
Selama proses fermentasi, terjadi perubahan terhadap sayur kol. Perubahan
ini meliputi perubahan kandungan gizi, pH, kadar air, dan tekstur. Penambahan
garam pada kol membuat sayur kol menjadi kisut. Ini disebabkan karena Garam
yang dimasukkan ke dalam jaringan sayuran segar dapat mendesak keluar cairan
dari sayuran melalui proses osmosis, sehingga bobot sayuran tersebut semakin susut
untuk. Konsentrasi garam 2,25% adalah susut bobot 20,75%. Kol yang
mengandung gula alami dan komponen nutrisi lainnya dapat digunakan sebagai
substrat untuk pertumbuhan bakteri asam laktat. Sifat terpenting dari bakteri asam
laktat adalah memiliki kemampuan untuk memfermentasikan gula menjadi asam
laktat. Asam laktat dapat menghambat pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan

3
(mikroba pengganggu). Fermentasi asam laktat dapat mengelminasi parasit-parasit
dan mikroba-mikroba patogen tinja yang terdapat pada sayur-sayuran apabila tinja
manusia atau hewan digunakan sebagai pupuknya. Asam laktat yang dihasilkan
selama proses fermentasi adalah 0,0096%. Semakin tinggi kadar garam yang
diberikan maka kandungan asam laktat semakin menurun. Hal ini disebabkan
karena garam dapat menghambat laju pertumbuhan mikroorganisme secara selektif
(Hayati, Fadhil, dan Agustina, 2017).
Aktifitas air (Aw) merupakan sejumlah air dalam bahan pangan yang
dibutuhkan bagi pertumbuhan mikroorganisme. Nilai Aw garam non-yodium
adalah sama untuk semua taraf perlakuan. Sauerkraut yang dihasilkan masih dapat
tergolong aman dikonsumsi karena bakteri baik (Lactobacillus plantarum) bekerja
dalam nilai Aw tersebut. pH sauerkraut selama fermentasi untuk semua perlakuan
adalah 3,56, Kandungan vitamin C sauerkraut selama fermentasi untuk semua
perlakuan adalah berkisar antara 7,4 -61,6 mg/100g (Hayati, Fadhil, dan Agustina,
2017).fak
Dalam kondisi tidak adanya udara (anaerob), mikroorganisme pada sayur
kol akan menghasilkan asam laktat antara 1,5%-2% dengan penambahan garam
1,5% (Mennes,1994). Karena semakin tinggi konsentrasi garam yang diberikan
maka semakin rendah asam laktat yang dihasilkan, begitu juga sebaliknya.
Kandungan asam laktat sauerkraut yaitu berkisar antara 0,0022-0,0095 %. Semakin
tinggi konsentrasi garam yang diberikan maka kandungan asam laktat semakin
rendah (Hayati, Fadhil, dan Agustina, 2017).
Aroma merupakan salah satu faktor penting bagi konsumen dalam memilih
produk makanan yang disukai. Berdasarkan hasil analisis keragaman sauerkraut
variasi konsentrasi garam bepengaruh nyata terhadap aroma sauerkraut. Variasi
konsentrasi garam memberikan respon yang berbeda terhadap aroma sauerkraut.
Sauerkraut memiliki rasa yang khas yaitu rasa masam pada sayur kol yang telah
difermentasi, perbedaan tingkat kesukaan terhadap rasa sauerkraut ini juga
disebabkan karena adanya penambahan merica, beberapa panelis menyukai rasa
pedas dari sauerkraut (Hayati, Fadhil, dan Agustina, 2017).
Suatu bahan makanan yang bernilai gizi tinggi, enak dan teksturnya sangat
baik tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak menarik. Warna
membuat makanan terlihat menarik dan merupakan daya tarik utama sebelum
panelis mengenal dan menyukai sifat-sifat lainnya. Variasi konsentrasi garam
bepengaruh sangat nyata terhadap warna sauerkraut (Hayati, Fadhil, dan Agustina,
2017).

Tekstur merupakan salah satu karakteristik yang harus diamati pada proses
pengolahan bahan pangan. Variasi konsentrasi garam bepengaruh nyata terhadap
tekstur sauerkraut. Variasi konsentrasi garam memberikan respon yang berbeda
terhadap tekstur sauerkraut. Penerimaan keseluruhan sauerkraut berada pada
tingkat kesukaan yang berbeda-beda untuk setiap panelis. Hal ini disebabkan karena

4
sauerkraut masih tergolong makanan yang jarang di konsumsi di negara
Indonesia(Hayati, Fadhil, dan Agustina, 2017).
Variasi konsentrasi garam bepengaruh nyata terhadap penerimaan
keseluruhan sauerkraut. Variasi konsentrasi garam memberikan respon yang
berbeda terhadap penerimaan keseluruhan sauerkraut. Kerusakan sauerkraut
ditandai dengan perubahan warna menjadi jingga yang disebabkan oleh
pertumbuhan khamir berpigmen sehingga menimbulkan bau busuk. Pembusukan
sauerkraut juga disebabkan karena wadah fermentasi tidak tertutup rapat dan
pelumuran garam yang tidak merata (Koswara, 2013). Faktor-faktor yang harus
diperhatikan dalam pembuatan sauerkraut adalah konsentrasi garam, suhu selama
fermentasi dan wadah yang digunakan (Hayati, Fadhil, dan Agustina, 2017).

5
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Berdasarkan literasi yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa dalam
fermentasi sauerkraut, tidak perlu ditambahkan mikroorganisme lain sebagai starter
(inoculum) atau ragi karena bakteri asam laktat sudah ada pada kol. Perendaman
sayuran dalam larutan garam akan menyebabkan tumbuhnya bakteri Lactobacillus
plantarum. Sauerkraut dibuat melalui proses pengawetan yang disebut dengan
fermentasi asam laktat, sama seperti proses pengawetan secara tradisional (tanpa
ada proses pemanasan makanan) pada ketimun dan kimchi. Pada tahap pertama,
bakteri anaerob seperti Klebsiella dan Enterobacter memulai proses fermentasi, dan
menciptakan lingkungan asam yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri berikutnya.
Tahap kedua dimulai ketika kadar asam menjadi terlalu tinggi untuk banyak bakteri,
dan Leuconostoc mesenteroides dan Leuconostoc spp. lainnya, kemudian
mendominasi. Pada tahap ketiga, berbagai spesies Lactobacillus, termasuk L. brevis
dan L. plantarum, melakukan fermentasi pada gula yang tersisa, membuat pH
semakin menurun. Sauerkraut yang benar-benar sukses berfermentasi akan
mengandung cukup asam sehingga mampu mencegah pertumbuhan Clostridium
botulinum, racun yang menyebabkan penyakit botulisme. Proses fermentasi
sauerkraut melibatkan sejumlah reaksi biokimia yang terjadi di bawah pengaruh
mikroorganisme tertentu, terutama bakteri asam laktat. Penting untuk diingat bahwa
kualitas akhir sauerkraut sangat bergantung pada kondisi fermentasi, termasuk
suhu, kebersihan peralatan, dan jenis mikroorganisme yang berpartisipasi dalam
proses tersebut. Dalam proses fermentasi sauerkraut, terjadi perubahan signifikan
terhadap sayur kol, termasuk perubahan dalam kandungan gizi, pH, kadar air,
tekstur, dan aroma. Penambahan garam berdampak pada penyusutan bobot sayur
kol melalui osmosis, dan semakin tinggi konsentrasi garam, semakin rendah
kandungan asam laktatnya. Fermentasi asam laktat memiliki efek positif dalam
menghilangkan mikroba patogen. Aktivitas air (Aw) dan pH sauerkraut juga
berperan penting dalam menjaga keamanan produk. Selain itu, variasi konsentrasi
garam memengaruhi warna, aroma, rasa, dan tekstur sauerkraut. Keberhasilan
produksi sauerkraut bergantung pada pengendalian faktor-faktor seperti konsentrasi
garam, suhu fermentasi, dan kebersihan wadah yang digunakan.

6
DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, L., Lubis, N., dan Junaedi, E. C. 2021. Pengaruh Konsentrasi Garam
Terhadap Produk Fermentasi Sayuran. Jurnal Sains dan Kesehatan. 3(6):
891-899.
Hayati, R., Fadhil, R., Agustina, R. 2017. Analisis Kualitas Sauerkraut (Asinan
Jerman) Dari Kol (Brassica oleracea) Selama Fermentasi Dengan Variasi
Konsentrasi Garam. Jurnal Rona Teknik Pertanian. 10(2): 18-34.
Koswara, S. 2013. Teknologi Fermentasi Sayuran. http://tekpan .unimus.ac.id/. [19
November 2014]
Setiarto, R. H. B. (2020). Teknologi Fermentasi Pangan Tradisional dan Produk
Olahannya. Guepedia.

Anda mungkin juga menyukai