Anda di halaman 1dari 20

Laporan Teknologi Fermentasi

Hari / Tanggal : Sabtu, 22 Februari 2014 Dosen : Ir. C.C. Nurwitri, DAA

Asisten Dosen : Novini Nur Adhifa, Amd

MAKANAN FERMENTASI (SAUERKRAUT)


AP2/ Kelompok

Lia Verani Nurdiani Afrilia Retno Angraini

J3E11 J3E112086 J3E11

SUPERVISOR JAMINAN MUTU PANGAN PROGRAM DIPLOMA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sayuran, terutama yang berdaun hijau merupakan salah satu bahan pangan yang baik karena mengandung vitamin dan mineral, antara lain vitamin C, provitamin A, zat besi, dan kalsium. Sayuran yang paling banyak di Indonesia adalah kangkung, bayam, katuk, daun melinjo, dan petsai (Oomen dkk). Sayuran dapat tumbuh pada berbagai kondisi lingkungan dan suhu yang berbeda, sehingga beragam jenisnya. Ada beberapa jenis sayuran yang dapat dimanfaatkan misalnya yang berbentuk buah seperti tomat, terung, dan labu; biji seperti kecipir, kelapa, dan kentang; umbi seperti wortel, bawang, dan bit; tunas (asparagus), bunga (kubis), dan daun seperti petsai, kangkung, bayam, dan lain-lain (Anonim, 2011). Salah satu sifat sayuran adalah cepat layu dan busuk akibat kurang cermatnya penanganan lepas panen. Untuk memperpanjang masa simpannya dapat dilakukan dengan berbagai pengolahan, misalya acar, sauerkraut, sayuran asin, kerupuk, dan lain-lain. Sauerkraut (kol asam) adalah makanan Jerman dari kubis yang diiris halus dan difermentasi oleh berbagai bakteri asam laktat, seperti Leuconostoc, Lactobacillus dan Pediococcus. Sauerkraut dapat bertahan lama dan memiliki rasa yang cukup asam, hal ini terjadi disebabkan oleh bakteri asam laktat yang terbentuk saat gula di dalam sayuran berfermentasi. Kubis yang dicampur dengan garam dan cairan yang bersifat asam sebenarnya sudah ada sejak zaman prasejarah namun kemungkinan dideskripsikan pertama kali oleh Gaius Plinius Secundus di abad pertama Masehi. Cara pembuatan sauerkraut seperti sekarang diperkirakan berkembang sekitar tahun 1550 hingga 1750. Pada tahun 1776, Kapten James Cook diberi penghargaan Medali Copley setelah membuktikan Sauerkraut berkhasiat sebagai makanan pencegah skorbut di kalangan pelaut Inggris ketika melakukan pelayaran jauh.

1.2 Tujuan Laporan ini bertujuan agar mahasiswa mengetahui cara pengolahan serta pengawetan sayuran dalam pembuatan Sauerkraut, mengerti prinsip isolasi BAL (Bakteri Asam Laktat) dan memahami prosedur pengawetan kultur mikroba.

BAB II METODOLOGI 2.1 Alat dan Bahan

Skala industri kecil : Bahan: 1. Kol atau kubis 2. Garam dapur 3. Air secukupnya Alat: 1. Pisau atau slicer 2. Panci fermentor besar dan tutup 3. Lilin atau lem plastik 4. Botol selai dan tutup yang sudah disterilkan 5. Panci besar 6. Baskom besar 2.2 Proses Pembuatan

1 ton 50 kg

Kol atau Kubis

Dilayukan

Diiris tipis (2-3 mm)

Dicampur dengan garam

Ditutup dalam panci fermentor besar rapat-rapat (2-3 minggu)

Ditiriskan Cairan Padatan

Disaring

Dipanaskan

Larutan garam panas

Didinginkan

Dipanaskan

Dimasukkan botol atau kaleng dalam botol

Cairan pengisi sauerkraut

Dimasukkan ke

Minuman sauerkraut 30 menit)

Dipanaskan (+

Sauerkraut

BAB III PEMBAHASAN 3.1 Pembahasan Sauerkraut pada dasarnya adalah kubis asam. Pengawetannya dengan melakukan fermentasi spontan dengan tidak menambahkan starter bakteri. Bakteri asam laktat secara alami terdapat dalam sayuran kol dan wortel. Sayuran kol atau kubis yang telah ditekan-tekan dan mengeluarkan air serta telah diberi garam harus tercelup semua dalam larutan garam, hal ini dilakukan yakni untuk mencegah terjadinya pertumbuhan khamir dan kapang yang tidak diinginkan selama proses fermentasi. Bila selama fermentasi terjadi pertumbuhan khamir dan kapang pada permukaan maka dapat menimbulkan rasa yang tidak diinginkan yang dapat masuk ke dalam seluruh sauerkraut sehingga menghasilkan produk yang lunak dan berwarna gelap. Kubis termasuk species Brassica olaracea, family Cruciferae (Pracaya, 1987). Tanaman kubis berasal dari Eropa dan Asia kecil, terutama tumbuh didaerah Great Britain dan Mediteranean. Kubis merupakan tanaman sayuran semusim yang dipanen sekaligus, yaitu sumber vitamin, garam mineral dan lain-lain yang dikonsumsi dari bagian tanaman yang berupa daun yang berumur kurang dari 1 tahun dan pemanenannya dilakukan sekali kemudian dibongkar untuk diganti dengan tanaman baru (BPS, 2000). Kubis mengandung vitamin dan mineral yang tinggi. Kandungan dan komposisi gizi kubis tiap 100 gr bahan segar yaitu: kalori 25 kal, protein 1.7 gr, lemak 0,2 gr, karbohidrat 5.3 gr, kalsium 64 mg, phosphor 26 mg, Fe 0.7 mg, Na 8 mg, Niacin 0,3 mg, serat 0.9 mg, abu 0.7 mg, vitamin A 75 SI, Vitamin B1 0.1 mg, Vitamin C 62 mg dan air 91-93% (Direktorat Gizi Depkes RI, 1981). Garam menarik air dan zat-zat gizi dari jaringan sayuran. Zat-zat gizi tersebut melengkapi substrat untuk pertumbuhan bakteri asam laktat yang telah terdapat di permukaan daun-daun kubis. Garam bersama dengan asam yang dihasilkan oleh fermentasi menghambat pertumbuhan dari organism yang tidak diinginkan dan

menunda pelunakan jaringan kubis yang disebabkan oleh kerja enzim. Kadar garam yang cukup memungkinkan pertumbuhan serangkaian bakteri asam laktat dalam urutannya yang alamiah dan menghasilkan sauerkraut dengan imbangan garamgaram yang tepat. Jumlah garam yang kurang bukan hanya dapat mengakibatkan pelunakan jaringan, tetapi juga kurang menghasilkan rasa. Terlalu banyak garam menunda fermentasi alamiah dan menyebabkan warna menjadi gelap dan memungkinkan pertumbuhan khamir. Manfaat sauerkraut ini jika dikonsumsi memiliki banyak manfaat bagi tubuh yaitu untuk memperlancar proses pencernaan dalam tubuh karena dalam sauerkraut sangat banyak mengandung bakteri probiotik (bakteri baik) seperti Lactobacillus plantarum yang bisa mengusir gas dalam perut dan ketidaknyamanan yang terkait dengan gangguan buang air besar. Disebabkan karena kandungan dalam sauerkraut mengandung 0,3% asam laktat dan 0,5% etanol. Juga terdapat kandungan CO2 dan senyawa volatile lainnya. Kerusakan sauerkraut sebagian besar disebabkan oleh kontaminasi mikroba. Hal ini terjadi karena kondisi proses tidak terkontrol dengan baik, terutama suhu fermentasi dan konsentrasi garam. Jika suhu > 300C dan konsentrasi garam > 3%, maka BAL heterofermentatif menjadi terhambat pertumbuhannya sehingga terbentuk flavor yang tidak diinginkan. Jika suhu <100C dan konsentrasi garam <2%, bakteri gram negative akan tumbuh yang menyebabkan tekstur pada produk menjadi tidak sempurna. Produk-produk fermentasi seperti sauerkraut (kubis atau kol asam) merupakan hasil proses fermentasi yang berlangsung secara selektif dan spontan. Pembuatannya cukup mudah sehingga banyak dilakukan secara tradisional atau dalam skala rumah tangga. Fermentasi spontan adalah fermentasi yang terjadi tanpa penambahan mikroba dari luar (starter), mikroba yang tumbuh terdapat secara alami pada medium (yang dalam hal tentu sebagai mediumnya adalah sayuran) dan medium tersebut dikondisikan sehingga mikroba tertentu yang melakukan fermentasinya yang dapat tumbuh dengan baik. Walau awalnya terjadi secara tidak disengaja, fermentasi sayuran dapat mengawetkan sayuran tersebut dan

menghasilkan produk dengan aroma dan cita rasa yang khas. Pada produk

fermentasi sayuran, mikroba yang melakukan fermentasi adalah jenis bakteri penghasil asam laktat. Dalam pembuatannya, sayuran direndam dalam larutan garam berkadar 5-15% atau diberi garam secara kering sebanyak 2,5% berat sayuran . Larutan garam tersebut menyebabkan hanya bakteri asam laktat yang dapat tumbuh. Adanya garam menjadikan air dan zat gizi seperti gula tertarik keluar secara osmosis dari sel-sel sayuran. Gula-gula dalam cairan tersebut merupakan makanan bagi bakteri asam laktat, yang selanjutnya diubah menjadi asam laktat. Asam laktat inilah yang berfungsi sebagai pengawet produk tersebut. Kondisi yang anaerobic diperlukan agar fermentasi berjalan dengan baik. Suhu selama proses fermentasi juga sangat menentukan jenis mikroba dominan yang akan tumbuh. Umumnya diperlukan suhu 300C untuk pertumbuhan mikroba. Bakteri asam laktat (BAL) yang berperan adalah yang bersifat homofermentatif dan heterofermentatif. Jenis BAL yang bersifat homofermentatif hanya menghasilkan asam laktat hasil fermentasi gula yang dilakukannya, seperti Pediococcus cerevisae, Lactobacillus plantarum, dan Streptococcus faecalis. Sedangkan BAL yang bersifat heterofermentatif selain menghasilkan asam laktat juga membentuk CO2, asam asetat, dan etanol. Contohnya adalah Leuconostoc mesenteroides akan menghambat pertumbuhan bakteri lainnya. Produksi asam dan karbondioksida meningkat sehingga menurunkan pH dan tercipta kondisi yang anaerobic. Fermentasi dilanjutkan oleh jenis-jenis bakteri yang lebih tahan terhadap ph rendah, yaitu Lactobacillus brevis, Pediococcus cereviceae, dan Lactobacillus plantarum. Lactobacillus plantarum merupakan bakteri yang paling tahan terhadap asam dan ph rendah sehingga merupakan mikroba akhir yang dapat tumbuh. Bakteri ini juga penghasil asam laktat terbanyak. 3.2 Bakteri Asam Laktat BAL telah banyak diteliti dan dikoleksi oleh peneliti dan praktisi industri di dalam dan luar negeri. Namun demikian, eksplorasi BAL yang banyak terdapat di alam Indonesia perlu untuk menambah koleksi mikroba. BAL yang banyak tersebar di alam Indonesia ini dapat diisolasi dari berbagai sumber antara lain buah-buahan busuk, sayuran busuk, berbagai produk asinan tradisional, susu terfermentasi, feses ternak, feses bayi, dan lain-lain. BAL yang digunakan dalam fermentasi perlu

diseleksi untuk memperoleh isolat yang memiliki kemampuan unggul, sehingga memiliki kelebihan-kelebihan: 1. Memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap kondisi lingkungan sehingga memiliki tingkat efisiensi yang tinggi. 2. Ketersediaan mikroba terjamin, sebab bersumber dari lingkungan alam Indonesia yang dapat diisolasi dari banyak sumber. 3. Memungkinkan dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat dengan biaya yang relatif murah untuk industri besar, maupun industri kecil, karena ketersediaan yang cukup serta biaya relatif murah. Dengan berhasil diisolasi, diidentifikasi serta dikoleksi BAL lokal yang unggul meningkatkan kekayaan dan keragaman koleksi kultur BAL unggul di Indonesia. Ketersediaan, kemudahan untuk memperoleh, relatif murah pengadaan BAL lokal yang unggul dan ketersediaan teknologi yang sederhana untuk proses fermentasi serta produk fermentasi yang disukai oleh konsumen akan mendorong tumbuhnya industri kecil dalam masyarakat yang akan meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan masyarakat luas. Tujuan penelitian ini ialah (1) memperoleh isolat bak-teri asam laktat (BAL) unggul dan (2) mengkarakterisasi BAL hasil isolasi. 3.2.1 Bahan dan Metode Isolasi BAL Mikroba yang digunakan pada penelitian ini adalah Lactobacillus bulgaricus dan L. casei. L. bulgaricus dan L. casei disimpan pada media de Man Rogosa Sharpe Agar/MRS Komposisi media MRS agar adalah pepton 10 g, beef extract 10 g, yeast extract 5 g, K2HPO4 2 g, amonium sitrat 2 g, glukosa 2 g, sodium aseta 3H2O 20 g, MgSO4 7H2O 0,58 g, MnSO4 4H2O 0,28 g, agar 15 g, akuades 1000 ml. Isolasi BAL BAL diperoleh dengan cara mengisolasi dari berbagai sumber, yaitu kobis busuk, asinan sawi, sawi busuk, kacang panjang busuk, selada busuk, tomat busuk, limbah tahu, feses bayi, feses sapi, susu terkontaminasi, susu kedelai, pisang busuk, pepaya busuk, nanas busuk, dan sirsak busuk. Pada pembuatan Sauerkrauet sampel untuk mengisolasi BAL dari kol dalam sauerkraut.

5 gram

Aquades steril 45 Ml

Hancurkan dengan stomacher (P=10-1)

10-2

103

104

10
-5

10
-6

107

Dengan metode sebar pada media MRS agar, Inkubasi 48 jam pada suhu 30oC. Kultur dimurnikan lagi pada media MRS, dan kultur murni disimpan pada agar MRS miring.

Identifikasi BAL Isolat yang diperoleh, dilakukan identifikasi dengan pengujian; pengecatan gram, pewarnaan endospora, pengujian katalase, motilitas dan uji kemampuan

menghasilkan asam laktat dengan fermentasi menggunakan media MRS broth, skala 100 ml, selama 24 jam dengan gojogan shaker 125 rpm. Pewarnaan Gram (Hadioetomo, 1985) Preparat ulas dibuat pada gelas benda, difiksasi di atas api bunsen. Preparat ditetesi dengan larutan kristal ungu, didiamkan selama 60 detik dan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Preparat ditetesi dengan larutan iodin dan didiamkan selama 2 menit, dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Preparat ditetesi dengan alkohol 96% sampai warna ungu hilang. Preparat ditetesi safranin dan didiamkan selama 30 detik, dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Preparat ditetesi dengan minyak imersi. Preparat diamati dengan mikroskop, uji gram positif jika sel berwarna ungu dan negatif jika sel berwarna merah. Pewarnaan Endospora (Lay, 1994) Preparat ulas dibuat pada gelas benda, difiksasi diatas api bunsen. Preparat ditutup dengan kertas merang dan ditetesi dengan malachit hijau, didinginkan. Preparat diletakkan di atas kawat yang dipanaskan diatas air mendidih selama 5 menit. Preparat dicuci secara hati-hati dengan air mengalir. Preparat ditetesi dengan menggunakan safranin, didiamkan selama 60 detik, kemudian dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan dengan hati-hati. Preparat diamati dengan mikroskop, uji positif jika sel vegetatif berwarna merah dan spora berwarna hijau. Uji katalase (Lay, 1994) Isolat dari agar miring diambil satu ose, kemudian dioleskan pada gelas benda yang telah diberi alkohol. Gelas benda ditetesi dengan larutan H2O2 3%. Diamati terbentuknya gelembung gas pada preparat. Jika terdapat gelembung gas berarti uji katalase tersebut positif. Uji motilitas (Barrow et al., 1993) Isolat dari agar miring ditusukkan pada agar tegak semi solid kemudian diinkubasi selama 48 jam pada suhu 30oC. Diamati uji motilitas bakteri. Uji motilitas positif jika pertumbuhan koloni menyebar luas pada agar. Total asam tertitrasi (Fardiaz, 1989) Sampel 10 g dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan diencerkan sampai tanda tera dengan air destilasi. Sampel yang sudah diencerkan sebanyak 5 ml dipindahkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 2 tetes fenolftalein 1%. Titrasi

dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH 0,1 N sampai timbul warna merah muda. Total asam tertitrasi diasumsikan sebagai total asam laktat. Total asam tertitrasi (% asam laktat) = Identifikasi positif atau negatif BAL Isolat mikroba yang berhasil diisolasi menggunakan media MRS agar ialah BAL berdasarkan sifat-sifat umum BAL. BAL adalah bakteri yang mampu menghasilkan asam laktat pada media pertumbuhannya. Beberapa studi

pendahuluan diketahui sifat-sifat umum BAL. Sifat-sifat umum BAL itu antara lain bentuk batang atau bulat (coccus), sifat gram positif, katalase negatif, endospora negatif, motilitas negatif, dan mampu menghasilkan asam laktat. Sampel Bentuk Gram + Katalase Endospora Motilitas Asam laktat +

Sauerkraut Bulat & batang 3.2.2 Propagasi BAL

3.2.3 Cara Pengawetan Kultur Teknik pengawetan kultur atau mikroba dengan metode pengering-bekuan (freeze drying) telah dikenal dan dipergunakan sejak 3 dasawarsa yang lalu (Lapage et al., 1970) dan dianggap cocok untuk mengawetkan sebagian besar jenis bakteri, khamir, dan kapang yang berspora serta virus, namun tidak cocok untuk mengawetkan jenis kapang yang tak berspora, ganggang, protozoa, sel mamalia dan bakteri tertentu. Pada umumnya mikroba hasil pengawetan dengan metode pengeringbekuan mampu bertahan dalam jangka waktu yang lama dengan kemampuan daya hidup (viability) dan sifat-sifat yang relatif stabil. Bahkan ada beberapa jenis mikroba yang mampu bertahan hingga 20-40 tahun (Sly, 1985). Ada dua cara metode dalam pengering-bekuan yang dibedakan menurut tahapan perlakuannya (Lapage et al., 1970), yaitu : a. Metode sentrifugasi, yaitu suspensi mikroba dipusingkan untuk menghindari terjadinya gelembung-gelembung udara ketika berlangsung proses pengisapan sampai suspensi beku, yang kemudian terjadi proses sublimasi.

b. Metode prapembekuan, yaitu suspensi mikroba dibekukan terlebih dahulu, lalu dilakukan proses pengisapan, kemudian proses sublimasi. Prinsip pengering-bekuan adalah sebagai berikut : pertama, larutan mikroba dibekukan dan kandungan airnya dikeluarkan atau dikurangi dengan cara sublimasi, yaitu penguapan langsung dari fase es menjadi fase gas (uap). Dalam proses pembekuan ini, akan terbentuk kristal-kristal es yang

mengakibatkan terjadinya peningkatan konsentrasi elektrolit dan proses ini akan memindahkan air dari protein dan DNA sehingga akan merusak sel-sel mkroba. Untuk menghindari kerusakan ini, maka suatu medium pelindung berupa pelarut (cryoprotective medium/suspending fluid) perlu ditambahkan.

Bahan dan Alat yang Diperlukan

a. Biakan mikroba Mikroba yang akan diawetkan harus sudah murni, teridentifikasi serta mempunyai data yang lengkap. Umur inkubasi mikroba yang baik dan siap diawetkan dengan pengering-bekuan ini yaitu umur yang sudah melewati fase kulminasi (fase log). Banyaknya biakan mikroba yang diperlukan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan konsentrasi sel mikroba yang dianjurkan adalah sekitar 108-1010 per ml. Misalnya Escherichia coli dengan konsentrasi >1010 sel per ml memerlukan 10 tabung biakan agar miring untuk dilarutkan dalam 22,5 ml medium pelarut (Lapage et al., 1970). b. Medium pelarut Medium pelarut merupakan cairan yang banyak mengandung protein dan ditambah glukosa atau gula lainnya sebanyak 7,5%. Jenis-jenis medium pelarut yang biasa digunakan, yaitu : kaldu glukosa 7,5%, serum glukosa 7,5%, mist. dessicans, serum janin sapi-glukosa 7,5%, susu skim. Dalam prakteknya, pemakaian ketiga jenis medium pelarut tersebut disesuaikan dengan genus dan spesies mikroba, contoh untuk medium pelarut skim milk hanya digunakan untuk pengawetan jenis kapang dan khamir (Arx dan Schipper, 1978). c. Ampul

Ampul terbuat dari bahan gelas netral yang tidak terlalu tahan panas dan bebas garam. Jenis ampul dari pyrex tidak dapat dijumpai, karena terlalu tahan panas sehingga akan menyulitkan dalam proses penutupan dan pembentukan leher ampul (dengan dibakar) atau ketika membuka ampul pada saat menghidupkan kembali awetan mikroba. Ukuran ampul adalah bagian dalam ampul bergaris tengah 6 mm, panjang 100 mm, dan tebal 0,5 mm (Gambar 1a).

d. Bahan penunjang Di dalam ampul perlu dimasukkan kertas label sebagai identitas biakan berupa nomor kode isolat dan tanggal proses pengering-bekuan. Kertas label ini terbuat dari kertas HVS 80 g atau kertas saring Whatman berukuran 5 mm x 35 mm (Gambar 1b dan 1c). Selain itu, dalam proses pengering-bekuan dibutuhkan kapas sebagai penyumbat mulut ampul. Kain penutup ampul terbuat dari kain flanel (berbentuk sebuah tudung yang dijahit) perlu disiapkan untuk menutupi kelompok (batch) isolate terdiri atas 20 ampul.

e. Peralatan Beberapa peralatan penting untuk proses pengering-bekuan mikoba adalah : o Mesin pengering-bekuan o Mesin pembentuk leher ampul o Alat penutup ampul o Alat penguji/pendeteksi kehampaan ampul o Alat pemotong ampul a. Tahap-Tahap Pengering-Bekuan 1. Biakan mikroba murni pada media agar cawan petri atau media agar miring dalam tabung yang telah cukup umur dipanen dengan cara disuspensikan dalam medium pelarut yang sesuai dengan jenis mikrobanya. 2. Sebanyak 0,2 ml suspensi mikroba diisikan ke dalam ampul-ampul steril yang sudah berisi label di dalamnya, kemudian ampul-ampul ditempatkan pada rak ampul per kelompok galur lalu ditutup dengan kain flanel penutup steril dan diikat dengan karet gelang. 3. Rak ampul yang sudah berisi ampul dimasukkan ke dalam ruang silinder sentrifugasi yang ada di atas ruang silinder refrigerator mesin pengering beku, dan selanjutnya mesin dioperasikan. b. Penyimpanan Ampul-ampul berisi awetan mikroba tersebut disimpan dalam lemari berlaci yang disusun dalam kelompok (batch) dan diurut berdasarkan nomor yang tertera pada label. Dalam proses pengering-bekuan ini kandungan air bahan tidak dihilangkan secara total, tetapi disisakan. Pada pengeringan tahap awal kandungan air bahan adalah 5-10%, sedangkan pada pengeringan tahap kedua kandungan air yang tersisa berkisar antara 1-2% (Lapage et al., 1970). Walaupun metode pengering-bekuan merupakan metode yang efektif dan efisien, namun dalam investasi awalnya cukup besar sehingga cukup menyulitkan bagi yang menginginkan tetapi mempunyai dana terbatas. Untuk biakan pokok yang sering dipergunakan sehari-hari maka akan lebih cocok bila digunakan metode pengawetan sistem pemindahbiakan pada agar miring yang disimpan pada suhu rendah atau sistem pembekuan.

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Sauerkraut dengan nama lain adalah kubis asam merupakan makanan khas Jerman yang terbuat dari kubis. Sauerkraut pengawetannya dengan melakukan fermentasi spontan atau dengan tidak menambahkan starter bakteri. Bakteri asam laktat secara alami terdapat dalam sayuran kubis. Sauerkraut ini memiliki rasa asam, aroma asamnya menyengat seperti cuka dan teksturnya seperti sayuran segar pada umumnya atau sama pada saat proses pembuatan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pada pembuatan sauerkraut dengan proses fermentasi akan sempurna jika tanpa adanya kontaminasi mikroba yang tidak diinginkan. 4.2 Saran Bila ingin membuat sauerkraut, maka pembuatannya harus sesuai dengan prosedur yang ada dan harus memperhatikan setiap langkah pembuatannya agar produk sauerkraut yang dihasilkan menghasilkan produk sauerkraut yang baik dan memiliki cita rasa, aroma dan tekstur yang khas.

DAFTAR PUSTAKA http://hettymediapembelajaran.wordpress.com/2013/05/03/latar-belakangpembahasan-pikle-dan-sauerkraut-_/(diakses 16 Februari 2014 ) http://id.wikipedia.org/wiki/Sauerkraut (diakses 16 Februari 2014) www.uaf.edu/sauerkraut.pdf (diakses 16 Februari 2014) Misgiyarta. Sri Widowati. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Sumber : www.google.com. (diakses pada : 17 Februari 2014) Planck, Nina. 2006. Real food Hidup Bebas Penyakit dengan Makanan. Yogyakarta. PT.Bentang Pustaka. Sugiawan Wawan. 2000. Teknik Pengawetan Bakteri, Khamir dan Kapang dengan Metode Pengering-Bekuan (Freeze Drying).

LAMPIRAN

Matriks Produksi Sauerkraut :

Keterangan

Waktu (Hari) Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Miggu Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Miggu Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Miggu

1. Persiapan Alat Apron Sarung tangan Hairnet Masker Panci fermentor Pisau atau slicer Baskom Penyaring Botol Jar steril 2. Persiapan Bahan Kol atau Kubis 1 ton Garam 50 kg Air 10000 liter 3. Proses Pembuatan Pencucian Pomotongan Penambahan garam Fermentasi Pemanenan Pengemasan dalam jar Pengisian cairan Sealing 4. Pasca produk jadi Penggudangan Distrbusi Pemanenan dilakukan dua minggu sekali Produksi dilakukan enam hari dalam seminggu

Anda mungkin juga menyukai