ABSTRAK
Perubahan politik Indonesia bergerak ke arah penguatan aktor dengan munculnya pemimpin-
pemimpin populis yang diharapkan mampu membawa perubahan kehidupan masyarakat.
Kesadaran mengenai kekuasaan merupakan hal inheren dalam diri manusia ditunjang dengan
adanya kesempatan berkuasa melalui Pemilihan Umum sebagai bagian dari prasyarat
demokrasi, menjadi pintu masuk bagi para aktor populis untuk bisa berada dalam sistem.
Tulisan ini melihat bagaimana dan seberapa jauh kemungkinan populisme menjadi sebuah
gagasan untuk menjawab kebutuhan mencapai negara kesejahteraan ataukah populisme
hanya sebatas cara baru meraih kekuasaan politik yang artinya sebuah alasan terjadinya
sirkulasi elit semata.
ABSTRACT
The Changing in Indonesian political moving towards strengthening the actor with the
emergence of populist leaders who are expected to bring a change in society. Awareness of
power is inherent in man and supported by the opportunity to extant the power through
democratic elections, as an entrance for the populist to be able in the system. This article
discusses how and to what extent the possibility of populism become the ideology to fulfill the
needs of welfare state or it is only a new way to reach political power which means just a
reason for an elite sirculation mechanism.
1
Penulis adalah Dosen di Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran.
mustabsyirotul.ummah@unpad.ac.id
JISIPOL | 71
Mustabsyirotul Ummah Mustofa
menguatnya kontrol masyarakat pada sisi aktor. Aktor merupakan sebutan untuk
yang lain (Haryanto, 2009). Ketegangan subjek individu-individu atau perorangan
politik, kegagalan representasi dan bertindak dengan segala otonomi dan
hilangnya kepercayaan publik merupakan rasionalitas dimiliki (Trijono, 2011).
hal yang tidak terelakkan sebagai faktor Artinya bahwa aktor alternatif dengan
munculnya populisme dan lahirnya karakter populis berkecenderungan
pemimpin-pemimpin populis. Hal ini memposisikan dirinya sebagai agensi yang
karena manusia sebagai aktor politik merasa memiliki tanggungjawab untuk
memiliki kesempatan menjadi agensi yang menjawab masalah-masalah publik yang
merubah keadaan dengan tangan dan tidak terselesaikan oleh aktor-aktor utama
perbuatannya sebagai bagian dari (dibaca: menggantikan).
kesadarannya atas tanggungjawab yang
dimilikinya sebagai manusia6. Sehingga Elit dan Demokrasi
memunculkan agen-agen atau dalam bahasa Terdapat sebuah kalimat yang
lain di sebut aktor alternatif dengan menarik untuk ditelusuri yakni, “demokrasi
karakter populis merupakan sintesis dari dibajak elit”. Pertanyaannya adalah apakah
ketegangan politik (Samadhi & Warouw demokrasi benar-benar dibajak oleh elit?
2009, Deiwiks 2009, Pratikno & Lay 2013, Ataukah demokrasi memang kompatibel
Savirani, Tornquist, & Stoke, 2014)
untuk menumbuhkembangkan elitisme?
Kemunculan aktor-aktor alternatif Dalam arti secara harfiah,
dengan karakter populisme ini hadir dalam demokrasi dapat diutarakan sebagai demos
struktur negara baik itu eksekutif maupun yang berarti rakyat serta kratos yang berarti
legislatif melalui mekanisme pemilu yang kekuasaan, sehingga demokrasi dirasa
terbuka dengan prinsip demokrasi sebagai kekuasaan rakyat. Menurut
kebebasan politik individu yang berhak seorang negarawan Athena yang hidup
untuk memilih maupun dipilih. Dalam pada tahun 430-an SM, Pericles, demokrasi
kerangka politik demokratis, kebanyakan mengandung beberapa kriteria penting: (1)
aktor mulai menerima demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat yang dibangun
„satu-satunya aturan main‟ (the only game dari dukungan atau partisipasi rakyat yang
in town)7 dan oleh karenanya keinginan mayoritas secara langsung; (2) kesamaan
menjadi pembaharu dari stagnansi warga Negara di depan hukum;
persoalan publik hanya bisa dilakukan oleh penghargaan terhadap wilayah privat
pemimpin populis yang memiliki (pemenuhan Hak Asasi Manusia –dalam
kekuasaan. Hal ini sepaham dengan apa konteks kekinian-) untuk memenuhi dan
yang Giddens sebut sebagai agensi, bahwa mengekspresikan kebebasan individual;
individu dengan kesadarannya bisa serta pluralisme. Yang menarik adalah
bertindak mengintervensi dunia, atau bahwa penafsiran ini merupakan makna
menjaga diri dari intervensi semacam itu peyoratif dari oligarki di Athena. Jika saat
dengan dampak memengaruhi suatu proses ini demokrasi masih dipahami sebagai
atau keadaan khusus dari urusan-urusan kekuasaan oleh rakyat maka sebenarnya
(Giddens, 2010). Agensi merupakan sebuah yang terjadi bukan rakyat yang memilih
kategori subjek politik khusus yang pemerintahannya tetapi lebih pada
menempati tempat khusus dalam kehidupan membuat pilihan yang memungkinkan
dan masyarakat politik yang disebut dengan rakyat memiliki derajat mengawasi
6
Seperti diungkap oleh Arnold Toynbee berikut ini, “as
pemerintahan yang telah dipilihnya
human beings, we are endowed with freedom of choice, (Kingsbury, 2007). Pemahaman ini
and we cannot shuffle off our responsibility upon the menimbulkan setidaknya pertanyaan
shoulders of God or nature. We must shoulder it ourselves.
It is our responsibility (Alfian, 2009). apakah yang „dipilih‟ untuk memerintah
7
Samandhi, Willi Purna & Warrouw, Nicholas. (2009). atas nama kekuasaan rakyat adalah benar
Demokrasi di Atas Pasir. Jakarta : PCD Press dan Demos.
Hlm 56. dipilih oleh rakyat dalam kebebasannya
ataukah pemilihan hanya bagiaan dari jangka waktu tertentu (Sirkulasi Elit :
oligarki atau elit politik. Seperti yang Promotion – Demotion); (4) Perubahan
diutarakan oleh Dahl, bahwasannya keanggotaan terjadi akibat masuknya
demokrasi adalah kompetisi oligarki yakni anggota baru dari lapian masyarakat yang
memilih pemerintahan rakyat adalah lebih rendah, kadang-kadang akibat
memilih antara pemimpin politik atau elit bergabungnya kelompok sosial baru, dan
politik (Kingsbury, 2007). sesekali juga akibat adanya pergantian
Terminologi elit sebagaimana menyeluruh atas elit yang mapan oleh
diungkapkan oleh Vilfredo Pareto, Gaetano suatu elit tandingan seperti halnya revolusi
Mosca, Suzanne Keller dan lain-lain (Alfian, 2009 : 29-30)
pemikir yang tergolong dalam „elite Golongan elit memang merupakan
theorists‟, memang menunjukkan pada golongan minoritas, meskipun tidak selalu
kelompok atau golongan yang ada di suatu secara eksplisit, yang mana mereka
masyarakat yang memiliki keunggulan atau memiliki keunggulan diantara masyarakat
superioritas apabila dibandingkan dengan lainnya yakni: (a) posisi yang mereka
kelompok atau golongan yang lainnya. duduki – ini merupakan hal yang paling
(Haryanto, 2005). Pareto membagi kelas penting atau merupakan yang sentral; (b)
elit menjadi governing elite dan non sifat-sifat yang menjadi dasar pemilihan
governing elite. Governing Elite (kelas terhadap mereka – memiliki atau
yang memerintah) terdiri dari individu- tampaknya memiliki semacam keunggulan,
individu yang secara langsung atau tidak baik itu berupa kebijaksanaan, keberanian,
langsung memainkan peran besar dalam intelegensi, turunan ataupun dalam bentuk
pemerintahan artinya elit ini merupakan elit keahlian dalam pengetahuan dan
yang berperan dalam penentu kebijakan. keterampilan; (c) tanggungjawab sosial
Sedangkan non governing elite lebih pada mereka – mempunyai tanggungjawab yang
elit yang memiliki sumber kekuasaan lebih besar dalam hal ini daripada
namun tidak ada dalam kapasitas sebagai penduduk lainnya; dan (d) imbalan mereka
elit penentu atau pembuat kebijakan. – memperoleh bagian yang lebih banyak
Sementara Mosca mendudukan menjadi dalam hal-hal untuk kebaikan hidup
dua kelas, yakni The Rulling Class, yang (Keller, 1984). Keunggulan yang dimiliki
jumlahnya lebih sedikit, melaksanakan oleh elit inilah yang memicu
semua fungsi politik, memonopoli ketidaksetaraan didalam masyarakat,
kekuasaan dan menikmati bebagai padahal demokrasi mengatakan adanya
keistimewaan yang diberikan oleh kesetaraan diantara masyarakat itu sendiri.
kekuasaan; dan The Ruled Class, yang Sehingga apakah untuk mencapai
jumlahnya lebih banyak, diperintah dan kesetaraan masyarakat, apakah elit yang
dikendalikan oleh kelas yang pertama. harus dihilangkan atau demokrasi yang
Bottomore meringkas skema konseptual harus ditinjau kembali?
yang diurai oleh Pareto dan Mosca dalam Pertentangan antara gagasan tentang
gagasan umum sebagai berikut : (1) Dalam elit dan gagasan tentang demokrasi bisa
setiap masyarakat, ada suatu minoritas yang diungkapkan dalam dua bentuk : pertama,
menguasai anggota masyarakat lain yang keanggotaan dalam teori-teori tentang elit
mayoritas; (2) Minoritas ini disebut kelas mengenai ketidaksetaraan kualitas individu
politik atau elit yang memerintah. Terdiri berlawanan dengan gagasan politik
dari mereka yang menduduki jabatan- demokratis yang fundamental, yang lebih
jabatan komando politik dan secara lebih cenderung untuk menekankan kesetaraan
tersamar, yang secara langsung dapat mendasar pada individu-individu; dan
memengaruhi keputusan politik; (3) kedua, gagasan tentang minoritas yang
Minoritas yang memerintah ini mengalami memerintah adalah berlawanan dengan
perubahan dalam keanggotannya selama teori demokrasi tentang pemerintahan
JISIPOL | 73
Mustabsyirotul Ummah Mustofa
JISIPOL | 75
Mustabsyirotul Ummah Mustofa
Karenanya, pemilihan umum hingga saat sosial dari bekerjanya logika kesetaraan,
ini adalah salah satu sistem yang paling terutama seperti dijalankan melalui strategi
representatif atas berjalannya proses paratactical dalam pembentukan
demokrasi, hingga ada sebuah adagium kelembagaan politik demokrasi
bahwa “tidak pernah ada demokrasi tanpa populist/popular (Laclau, 2005).
pemilihan umum”. Namun demikian, Sistem pemilihan umum yang
makna pemilu sebagai sirkulasi elit justru dipakai oleh sebuah negara memiliki
meneguhkan jawaban bahwa demokrasi pengaruh yang signifikan terhadap eksitensi
sebenarnya kompatible untuk populisme itu sendiri. Seorang tokoh harus
menumbuhkembangkan elitisme. menentukan Ia harus menjadi populer di
Survey Demos (2009) menunjukkan kalangan mana agar memenangi sebuah
aktor demokrasi atau aktor alternatif kini pemilihan. Hal tersebut baru dapat
lebih aktif di arena politik dan cenderung ditentukan ketika sudah dipastikan sistem
untuk mengambil pilihan yang disebut pemilihan mana yang akan dipakai.
„jalan pintas populis‟ untuk menghindari Kesadaran pemimpin populis (baca: agensi)
representasi dengan memilih membangun untuk berkompetisi melalui mekanisme
hubungan „langsung‟ antara para pemimpin pemilu diikuti dengan kesadaran membaca
masyarakat dengan para elit, di satu sisi dan peta politik masyarakat yang jenuh dengan
masyarakat disisi lain. Pilihan untuk aktif aktor-aktor utama dan elit-elit lama yang
di politik ini berarti terkait pula dengan tidak membawa perubahan. Terutama
membaiknya kapasitas para aktor alternatif dalam pemilihan pemimpin politik di
sejalan dengan peralihan posisi dalam tingkat eksekutif baik itu presiden,
kaitannya dengan instrumen-instrumen gubernur, bupati atau walikota, mudah
demokrasi, seperti pemilu yang bebas dan untuk membedakan mana pemimpin
adil, representasi yang baik, partisipasi populis yang merupakan aktor alternatif
langsung, dan partisipasi politik lainnya mana yang elit lama. Berbekal modal
(Samadhi dan Warouw, 2009). Pemilu yang „particular demand‟ pemimpin populis
demokratis memberikan kesempatan bagi memenangkan pemilu dengan strategi yang
para pemimpin populis yang lahir dari sudah tentu berbeda dengan aktor utama
sebuah ketegangan dan permintaan. lainnya yakni dengan kampanye-kampanye
Menempatkan pemilu sebagai alat yang menjual nilai-nilai demokrasi dan
demokrasi sama dengan memosisikan orientasi pembangunan „atas nama rakyat‟.
pemilu dalam fungsi aslinya sebagai jalan
pembentuk pemerintahan yang Kepemimpinan Populis yang Menggeser
representatif. Nilai demokratis sebuah Elit Politik Lama : Sirkulasi Elit?
pemilu dinilai dari tingkat kompetisi yang
Ada dua kesulitan mendasar yang
berjalan di dalamnya. Semakin kompetitif
bisa dikonfrontasi mengenai sirkulasi Elit.
sebuah pemilu semakin demokratis pula
Yang pertama, apakah sirkulasi elit itu
pemilu tersebut. Hal itu guna menjawab
mengacu pada proses dimana individu-
bagaimana sistem demokrasi mengatasi
individu berputar antara elit dan nonelite,
ketegangan-ketegangan politik ini, antara
atau yang kedua mengacu pada proses
politik eksklusi dan politik inklusi, sejauh
dimana elit satu digantikan dengan elit
ini telah melahirkan berbagai model
yang lain? Kelompok sosial baru dapat
kelembagaan dalam politik demokrasi.
terbentuk dalam masyarkat sebagai akibat
pada tatanan cara atau strategi tersendiri
perubahan ekonomi atau kultural, bahwa
dengan kelebihan dan kelemahan masing-
kelompok itu kemudian bisa meningkatkan
masing bagaimana mengatasi eksklusi
pengaruh sosial mereka sejauh ini dalam
jenis-jenis aktivitas dimana mereka berada
Ia akan mengerti dan memahami posisinya sebagai menjadi jenis-jenis aktivitas yang sangat
pemegang kedaulatan yang sangat menentukan gerak
serta perjalanan bangsa dan negaranya (Hikam, 1999). vital untuk masyarakat luas, dan bahwa
JISIPOL | 77
Mustabsyirotul Ummah Mustofa
aktivitas tersebut pada saatnya bisa didukung oleh sistem patronase11. Ketika
membuat perubahan dalam sistem politik, memenangkan kontes dan memegang
dan struktur sosial secara keseluruhan pucuk kekuasaan, tokoh populis harus tetap
(Bottomore, 2006). sadar bahwa aktifitasnya tetap terikat dalam
Perubahan-perubahan dalam skala kerangka demokrasi apalagi ditambah
nasional maupun dalam skala global dengan pelekatan identitas sebagai agensi.
menyebabkan ledakan antisistem dengan Pemimpin populis harus berpegang pada
karakter ; pertama, terdapat perasaan demokrasi sebagai “the only game in
terasing dari penguasa dengan tanggapan town”, karena satu-satu nya ide dan
yang berbeda-beda dan secara politis gagasan yang bisa membuatnya bersaing
ambivalen; dan kedua, penolakan yang luas dengan para elit baru juga sama-sama
untuk menerima keputusan kelompok yang demokrasi. Meskipun demikian, aktor
sedang memegang kekuasaan, baik yang populis memiliki kelamahan dengan
dipilih secara demokratis atau tidak, karena bersandar pada sumber daya - sumber daya
elit penguasa sering dipandang berada di sosial dan informasi serta ketidakmampuan
luar jangkauan perasaan aspirasi rakyat yang disebabkan lemahnya kapasitas untuk
jelata yang seharusnya dibawa oleh mempertemukan banyak kepentingan
demokrasi untuk menaikkan tingkat organisasi-organisasi popular berbasis
keterwakilan dan pengaruh kemasyarakatan massa dengan organisasi-organisasi
(Haynes, 2000). Melihat hal tersebut, aktor masyarakat sipil, para aktor demokrasi
demokrasi kini lebih aktif di berbagai arena sedang mendorong demokrasi ke bibir
politik dan cenderung mengambil pilihan jurang (sama dengan krisis representasi)
yang disebut “jalan pintas populis” untuk (Samadhi dan Warouw, 2009). Alih-alih
menghadirkan representasi dengan memilih sebagai jalan keluar mengatasi masalah
membangun hubungan „langsung‟ antara representasi yang tidak terselesaikan oleh
para pemimpin masyarakat dengan para elit elit lama, kondisi ini justru menimbulkan
di satu sisi dan masyarakat disisi lain. masalah representasi baru karena
Dengan memperhitungkan kapasitas politik kurangnya kemampuan deliberasi dari
para aktor alternatif, data Demos pemimpin populis. Pada akhirnya aktor
menunjukkan bahwa para aktor kerap populis yang berhasil mencapai kekuasaan
memilih jalan pintas populis dalam sistem politik memiliki jabatan elit politik yang
politik. Rakyat pada umumnya dimobilisasi terlegitimasi, belum sampai pada cita-cita
ke dalam politik melalui cara-cara demokrasi dan negara kesejahteraan.
klientalisme dan populisme (Samandhi dan Legitimasi kekuasaan akan
Warouw, 2009). menentukan seberapa lama suatu aktor
Dalam pemilu, aktor populis akan bertahan dalam kekuasaannya atau
diharuskan mengetahui kewajibannya justru terganti oleh kelompok orang lainnya
sebagai kontestan untuk menaati aturan yang disebut dengan sirkulasi elit. Adanya
main yang ada. Cara-cara mobilisasi masa sirkuliasi elit yang diisyaratkan oleh Pareto
melalui popularitas dan identitas „anti-elit‟ dan Mosca menunjukkan bahwa golongan
dan „anti-kemapanan‟ mengantarkan aktor elit nyatanya mengalami perkembangan
populis ini mampu merangsek dalam yang disebabkan oleh proses sosial utama
jajaran elit politik melalui mekanisme yakni, pertumbuhan penduduk,
pemilu yang diakui oleh semua pihak pertumbuhan spesialisasi jabatan,
sebagai satu-satunya jalan kekuasaan pertumbuhan organisasi formal/birokrasi,
politik. Aktor populis juga cenderung dan perkembangan keragaman moral.
memanfaatkan dukungan dari pemimpin- Dengan berjalannya keempat proses itu,
pemimpin informal kharismatik yang
11
Samandhi, Willi Purna & Warrouw, Nicholas. (2009).
Demokrasi di Atas Pasir. Jakarta : PCD Press dan Demos.
Hlm 167.
kaum elit pun menjadi semakin banyak dan soal baru. Artinya bahwa demokrasi secara
semakin beraneka ragam dan bersifat lebih tersirat menjadi wadah yang subur untuk
otonom (Keller, 1984 : 91), ditunjukkan meneguhkan ekisistensi elitisme melalui
dengan banyaknya kemunculan aktor mekanisme sirkulasi elit, entah itu elit lama
alternatif yang sama juga bersifat populis. atau nonelit yang bertransformasi menjadi
Sekali aktor populis yang sudah menjadi elit politik baru. Seperti disampaikan
elit politik tidak menjalankan kekuasaannya Burhanudin Muhttadi bahwa, „populisme
untuk tujuan kesejahteraan, maka ia juga adalah “cermin demokrasi,” untuk
bisa disingkirkan oleh aktor populis lainnya meminjam istilah Panizza (2005) agar elit
yang sedang mengintai. Hal ini sebagai tidak lupa menyerap sebesar-besar
isyarat bahwa sirkulasi elit adalah suatu kepentingan rakyat dalam proses
keniscayaan mengancam posisi siapapun pembuatan kebijakan‟12. Pada intinya
entah sirkulasi antar elit maupun sirkulasi menegaskan bahwa dalam kehidupan
dari nonelit menjadi elit. masyarakat posisi menguasai dan dikuasi
Sirkulasi elit tersebut memaksa para dalam politik pasti ada dan tidak
elit untuk berada dalam status quo atau terbantahkan, setidaknya inilah paradoks
unity agar keberadaan dan kepentingan dari demokrasi.
mereka sama-sama terjaga. Mills
mengemukakan untuk melihat unity dari Populisme : Antara Gagasan atau Cara
kekuasaan elit kita harus memahami 3 hal Baru Meraih Kekuasaan Politik?
penting, yakni (a) psikologi dari setiap elit
Demokrasi tidaklah lepas dari
yang terlibat, dimana hal ini menyangkut
politik dan kekuasaan. Kekuasaan politik
motivasi, kehidupan sosial, namun
adalah kemampuan untuk meyakinkan,
menentukan style dan posisi dari elit
membujuk, memaksa, merubah,
tersebut; (b) struktur dan mekanisme
mempengaruhi, memodifikasi, atau
institusional yang secara hirarkis sudah
memanipulasi tindakan, kepercayaan atau
dibangun, bagaimana koneksi diantara para
nilai yang dimiliki individu lain. Dapat
elit tersebut; (c) bukan hanya sekedar
dikatakan bahwa kekuasaan politik adalah
psikologis dan struktur komando melainkan
tentang bagaimana mengubah atau
lebih dari kordinasi eksplisit diantara para
memodifikasi arah tujuan. Semua
elit (Mills, 1956). Konsensus ini yang
kekuasaan adalah politis karena memiliki
kemudian melahirkan kebutuhan integrasi
kecenderungan luas dan variatif dimana
para elit yang dapat dilihat dari pola relasi
efeknya dapat dirasakan dan dilihat tapi
yang mereka lakukan.
tidak dapat disentuh karena bisa jadi
Pada akhirnya keberadaan elit
dilakukan secara tidak langsung. Oleh
bukanlah sesuatu yang solid dan pasti akan
karenanya terdapat perbedaan pandangan
bertahan selamanya. Yang akan ada mengenai struktur kuasa, ada yang
sepanjang masa adalah keberadaan entitas berpandangan bahwa kuasa politik hanya
yang dinamakan elit yang merupakan
ada dan terdapat dalam struktur lembaga
minoritas yang unggul. Sementara aktor
negara ada juga yang berpandangan bahwa
dari elit itu sendiri akan berubah sesuai kuasa ada dalam setiap lini kehidupan
dengan perubahan sosial atau disebut manusa. Argumen ini dadasari bahwa
mengalami sirkulasi. Pareto mengatakan
kekuasaan itu seperti pedang bermata dua
bahwa perputaran individu antara elit dan yang ada dimanapun selama disana ada
nonelit merupakan hal yang konstan dan kehidupan sosial manusia yang mana
fenomena yang reguler (Bottomore, 2006). manusia diyakini sebagai mahluk hidup
Oleh karenanya jika aktor alternatif dengan yang memiliki hasrat, motivasi dan
tampilan populis ini hadir kemudian
menggantikan aktor lama yang sebelumnya 12
Burhanudin Muhtadi, 2013. “Populisme; Madu Atau Racun
merupakan elit ternama bukanlah menjadi Bagi Demokrasi?”. Majalah Indonesia 2014, No. 3, Vol. 1,
2013. Hal 94 (Online)
JISIPOL | 79
Mustabsyirotul Ummah Mustofa
JISIPOL | 81
Mustabsyirotul Ummah Mustofa
lama ke nonelit. Karena kemunculan oleh segelintir orang atas nama representasi
populisme diringi oleh, dan tampaknya bukan keseluruhan orang. Jangan sampai
berujung pada, tampilnya sejumlah figur populisme dikatakan hanya sebatas cara elit
populer. Para figur populer lebih peduli berganti baju untuk tetap eksis dalam
pada upaya memperkuat basis kekuasaan permainan dengan nuansa demokrasi dan
dan popularitasnya, daripada membuka dan populisme bisa menjadi kendaraan bagi
mengajak perdebatan tentang kebijakan, aktor yang bukan asalnya bukan siapa-siapa
yang bisa sangat menyulitkan untuk menjadi bagian dari elit yang berkuasa.
mewujudkan negara kesejahteraan yang Fenomena ini penting untuk dikaji karena
demokratis. mempelajari kondisi kekinian akan
Kebijakan yang populis tentu dapat mengantarkan kita untuk dapat
menjaga image pemimpin tersebut dan memprediksi apa yang terjadi di masa
mempertahankan popularitasnya sendiri, mendatang, tentunya untuk tujuan
namun pemimpn populis akan menemui masyarakat yang lebih baik mencapai
sebuah dilema ketika dihadapkan pada negara demokrasi yang sejahtera, seperti
kondisi untuk memilih antara kualitas diungkap oleh John Naisbitt, “the most
kebijakan atau popularitas kebijakan. reliable way to forecast the future is to try
Seperti kita ketahui, tidak semua kebijakan understand the present” (Alfian, 2009).
yang berkualitas adalah kebijakan yang
populer, begitu pun dengan kebijakan yang
populer, tidak semua kebijakan populer itu DAFTAR PUSTAKA
merupakan kebijakan yang mempunyai
kualitas paling baik untuk menyelesaikan Buku
masalah yang ada. Dilema ini adalah ujian Alfian, M. Alfan. (2009). Menjadi
lain bagi ketahanan kepemimpinan Pemimpin Politik. Jakarta : PT.
pemimpin populis dengan gagasan Gramedia Pustaka Utama.
populisme yang diusungnya. Jika Bottomore, T.B. (2006). Elit dan
pemimpin populis ini tidak mampu Masyarakat (Terjemahan). Jakarta :
memenuhi janji pencapaian kesejahteraan Akbar Tandjung Institute.
maka ia sebenarnya sedang dibayang- Giddens, Anthony. (2010). Teori
bayangi oleh aktor populis lainnya dan elit- Strukturasi (Terjemahan).
elit lama yang terdepak dalam kekuasaan Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
politik, untuk siap sedia disingkirkan, Haryanto. 2005. Kekuasaan Elit.
dengan alasan yang sama : „atas nama Yogyakarta : Program Pascasarjana
rakyat‟ dan „untuk kesejahteraan‟. (S2) PLOD Universitas Gajah Mada
Bisa jadi klaim Burhanuddin Haynes, Jeff. (2000). Demokrasi dan
Muhtadi bahwa populisme adalah politik Masyarakat Sipil Dunia Ketiga.
yang mundur ke belakang tidaklah Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
sepenuhnya benar. Populisme menyadarkan Held, David. (2007). Models of
dan mengembalikan semangat para politisi Democracy. Jakarta : Akbar
untuk berorientasi pada rakyat, sekalipun Tandjung Institute.
ada yang memanipulasi perkembangan Hikam, Muhammad AS. 1999. Politik
gagasan populisme untuk keuntungan Kewarganegaraan : Landasan
pribadi, karena dampaknya adalah Redemokrasi di Indonesia. Jakarta :
mempertahankan status quo politik PT. Gelora Aksara Pratama.
oligarki. Oleh karenanya harus ada kajian Keller, Suzanne. 1984. Penguasa dan
kembali apakah benar elitisme merupakan Kelompok Elit, Peranan Elit
musuh dari demokrasi? Atau tidak ada Penentu dalam Masyarakat Modern
demokrasi tanpa elit? Karena pada (terjemahan). Jakarta : CV.
kenyatannya demokrasi hanya dipimpin Rajawali.
JISIPOL | 83
Mustabsyirotul Ummah Mustofa