Anda di halaman 1dari 15

TINJAUAN KRITIS POPULISME DI INDONESIA

ANTARA GAGASAN ATAU CARA BARU SIRKULASI ELIT?

Mustabsyirotul Ummah Mustofa1


Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran
mustabsyirotul.ummah@unpad.ac.id

ABSTRAK

Perubahan politik Indonesia bergerak ke arah penguatan aktor dengan munculnya pemimpin-
pemimpin populis yang diharapkan mampu membawa perubahan kehidupan masyarakat.
Kesadaran mengenai kekuasaan merupakan hal inheren dalam diri manusia ditunjang dengan
adanya kesempatan berkuasa melalui Pemilihan Umum sebagai bagian dari prasyarat
demokrasi, menjadi pintu masuk bagi para aktor populis untuk bisa berada dalam sistem.
Tulisan ini melihat bagaimana dan seberapa jauh kemungkinan populisme menjadi sebuah
gagasan untuk menjawab kebutuhan mencapai negara kesejahteraan ataukah populisme
hanya sebatas cara baru meraih kekuasaan politik yang artinya sebuah alasan terjadinya
sirkulasi elit semata.

Kata kunci : Populisme, Demokrasi, , Sirkulasi Elit

ABSTRACT
The Changing in Indonesian political moving towards strengthening the actor with the
emergence of populist leaders who are expected to bring a change in society. Awareness of
power is inherent in man and supported by the opportunity to extant the power through
democratic elections, as an entrance for the populist to be able in the system. This article
discusses how and to what extent the possibility of populism become the ideology to fulfill the
needs of welfare state or it is only a new way to reach political power which means just a
reason for an elite sirculation mechanism.

Keywords: Populism, Democracy, Elite Sirculation

1
Penulis adalah Dosen di Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran.
mustabsyirotul.ummah@unpad.ac.id

70 | JURNAL ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


Volume 3 No. 1 Januari 2019
ISSN: 2087 - 4742

PENDAHULUAN sebagai generasi pembaharu politik oleh


Tulisan ini didasari dari hasil Wall Street Journal Indonesia4, semakin
penelitian Demos pada tahun 2009, tulisan membuat bahsan populisme di Indonesia
Burhanuddin Muhtadi tentang populisme2 menarik untuk dikaji.
dan yang terbaru, hasil riset Power Welfare Tulisan ini menggunakan metode
and Democracy (PWD) UGM tentang kajian pustaka dengan memfokuskan pada
„Demokrasi di Indonesia : Antara Patronase bahasan tentang populisme dan bagaimana
dan Populisme‟. Temuan menariknya dari pemimpin populis diposisikan sebagai
tulisan-tulisan di atas adalah bahwa aktor. Kajian ini sekaligus melihat
hubungan patron-klien di Indonesia tidak bagaimana dan seberapa jauh antara
lagi menjadi satu-satunya alternatif kemungkinan populisme menjadi sebuah
hubungan politik dan Indonesia saat ini gagasan untuk menjawab kebutuhan
kecenderungan mengarah pada populisme mencapai negara kesejahteraan dan sebagai
(Savirani, Tornquist, & Stoke, 2014). cara memecahkan kebuntuan pembangunan
Namun ada indikasi bahwa populisme akan politik di Indonesia atau sebenarnya
mengarah pada persoalaan baru, meminjam kemunculan populisme hanya sebagai tren
istilah Burhanuddin yakni sebagai, „racun untuk mekanisme sirkulasi elit baru dalam
demokrasi‟ atau menurut Demos akan konteks yang lebih demokratis.
membawa „demokrasi ke bibir jurang‟. Berbicara demokrasi Indonesia
Seperti di ketahui, wacana maka akan diawali dari runtuhnya rezim
populisme di Indonesia semakin segar otoritarian Orde Baru pada tahun 1998
dibicarakan pasca kemunculan Jokowi di yang menandai demokratisasi5 dan
media dengan gaya kepemimpinannya di mulainya perubahan peta politik Indonesia,
Solo, Jawa Tengah yang berhasil dan dapat dibaca sebagai titik awal
membawanya hingga kursi Presiden pelemahan peran negara di satu sisi dan
periode 2014-2019. Selain itu ditambah
4
dengan adanya kecenderungan bahwa Wall Street Journal (WSJ) Indonesia menyebutkan
munculnya sejumlah pemimpin yang dapat dipercaya
politik saat ini berbasis pada individual atau membawa perubahan dan perbedaan di panggung politik
“figur-based politics” yang menduduki Indonesia, yakni Joko Widodo (Presiden Indonesia 2014-
2019), Ridwan Kamil (Walikota Bandung 2013-2018), Anies
posisi publik seperti pemimpin daerah Baswedan (Bakal Calon Presiden dari Partai Demokrat,
(provinsi dan kabupaten/kota) (Savirani, Rektor Universitas Paramadina, Penggagas Gerakan
Tornquist, & Stoke, 2014). Douglas Indonesia Mengajar), Ganjar Pranowo (Politisi PDI-P,
Gubernur Jawa Tengah), Sri Mulyani (Direktur Pelaksana
Ramage, pengamat politik Bower Group World Bank), Teten Masduki (Aktivis dan Pendiri
Asia menganalisis bahwa popularitas Indonesian Corruption Watch), Bima Arya (Walikota
Bogor), Kholiq Arif (Bupati Wonosobo), Yusril Ihza
adalah logika yang menjadi faktor Mahendra (Politikus dan Pakar Hukum), Budiman
pendorong politik Indonesia saat ini serta Sudjatmiko (Anggota DPR, Fraksi PDI-P), dan Yenny Wahid
(Pendiri Wahid Institute) (available at :
persepsi akan seorang kandidat yang bersih, http://graphics.wsj.com/lists/INDOGEN_INA, diakses 26
transparan dan otentik adalah hal-hal yang Desember 2014).
mendorong popularitas, ditambah Beberapa contoh kepala daerah lain misalnya Walikota
Surabaya, Tri Rismaharini yang berani membubarkan
perubahan tersebut paling terlihat dan lokalisasi Dolly serta Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja
terasa di Pulau Jawa, jantung politik dan Purnama atau yang dikenal dengan Ahok sebagai gubernur
dari etnis Tionghoa yang berhasil menggebrak
ekonomi Indonesia. Sejumlah wajah baru pemerintahan DKI Jakarta (Available at :
mendefinisi ulang arti dan makna menjadi http://www.dw.de/tentang-generasi-kepemimpinan-baru/a-
17766679, diakses 26 Desember 2014)
pejabat publik3. Kemunculan pemimpin- 5
Definisi tentang demokratisasi cenderung telah disepakati
pemimpin daerah dan para politisi yang yang mengacu pada karya Samuel Huntington yang
memiliki karakter populis, yang disebut memberikan kerangka substantif demokratisasi, yaitu (1)
berakhirnya sebuah rezim otoriter, (2) adanya proses
transisi yang memberikan kesempatan pada partisipasi
2
Burhanudin Muhtadi, 2013. “Populisme; Madu Atau Racun publik dan liberalisasi politik menuju pembentukan rezim
Bagi Demokrasi?”. Majalah Indonesia 2014, No. 3, Vol. 1, demokratis, dan (3) adanya konsolidasi rezim demokrasi.
2013. Hal 94 (Online) Secara terminologis, demokratisasi ialah proses perubahan
3
http://indo.wsj.com/posts/2013/10/08/wajah-baru- dari rezim nondemokratis menjadi reszim demokratis
pemimpin-indonesia, diakses pada 26 Desember 2014 (Kurniawan, Lutfi J. dan Puspitasari, Hesti, 2008).

JISIPOL | 71
Mustabsyirotul Ummah Mustofa

menguatnya kontrol masyarakat pada sisi aktor. Aktor merupakan sebutan untuk
yang lain (Haryanto, 2009). Ketegangan subjek individu-individu atau perorangan
politik, kegagalan representasi dan bertindak dengan segala otonomi dan
hilangnya kepercayaan publik merupakan rasionalitas dimiliki (Trijono, 2011).
hal yang tidak terelakkan sebagai faktor Artinya bahwa aktor alternatif dengan
munculnya populisme dan lahirnya karakter populis berkecenderungan
pemimpin-pemimpin populis. Hal ini memposisikan dirinya sebagai agensi yang
karena manusia sebagai aktor politik merasa memiliki tanggungjawab untuk
memiliki kesempatan menjadi agensi yang menjawab masalah-masalah publik yang
merubah keadaan dengan tangan dan tidak terselesaikan oleh aktor-aktor utama
perbuatannya sebagai bagian dari (dibaca: menggantikan).
kesadarannya atas tanggungjawab yang
dimilikinya sebagai manusia6. Sehingga Elit dan Demokrasi
memunculkan agen-agen atau dalam bahasa Terdapat sebuah kalimat yang
lain di sebut aktor alternatif dengan menarik untuk ditelusuri yakni, “demokrasi
karakter populis merupakan sintesis dari dibajak elit”. Pertanyaannya adalah apakah
ketegangan politik (Samadhi & Warouw demokrasi benar-benar dibajak oleh elit?
2009, Deiwiks 2009, Pratikno & Lay 2013, Ataukah demokrasi memang kompatibel
Savirani, Tornquist, & Stoke, 2014)
untuk menumbuhkembangkan elitisme?
Kemunculan aktor-aktor alternatif Dalam arti secara harfiah,
dengan karakter populisme ini hadir dalam demokrasi dapat diutarakan sebagai demos
struktur negara baik itu eksekutif maupun yang berarti rakyat serta kratos yang berarti
legislatif melalui mekanisme pemilu yang kekuasaan, sehingga demokrasi dirasa
terbuka dengan prinsip demokrasi sebagai kekuasaan rakyat. Menurut
kebebasan politik individu yang berhak seorang negarawan Athena yang hidup
untuk memilih maupun dipilih. Dalam pada tahun 430-an SM, Pericles, demokrasi
kerangka politik demokratis, kebanyakan mengandung beberapa kriteria penting: (1)
aktor mulai menerima demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat yang dibangun
„satu-satunya aturan main‟ (the only game dari dukungan atau partisipasi rakyat yang
in town)7 dan oleh karenanya keinginan mayoritas secara langsung; (2) kesamaan
menjadi pembaharu dari stagnansi warga Negara di depan hukum;
persoalan publik hanya bisa dilakukan oleh penghargaan terhadap wilayah privat
pemimpin populis yang memiliki (pemenuhan Hak Asasi Manusia –dalam
kekuasaan. Hal ini sepaham dengan apa konteks kekinian-) untuk memenuhi dan
yang Giddens sebut sebagai agensi, bahwa mengekspresikan kebebasan individual;
individu dengan kesadarannya bisa serta pluralisme. Yang menarik adalah
bertindak mengintervensi dunia, atau bahwa penafsiran ini merupakan makna
menjaga diri dari intervensi semacam itu peyoratif dari oligarki di Athena. Jika saat
dengan dampak memengaruhi suatu proses ini demokrasi masih dipahami sebagai
atau keadaan khusus dari urusan-urusan kekuasaan oleh rakyat maka sebenarnya
(Giddens, 2010). Agensi merupakan sebuah yang terjadi bukan rakyat yang memilih
kategori subjek politik khusus yang pemerintahannya tetapi lebih pada
menempati tempat khusus dalam kehidupan membuat pilihan yang memungkinkan
dan masyarakat politik yang disebut dengan rakyat memiliki derajat mengawasi
6
Seperti diungkap oleh Arnold Toynbee berikut ini, “as
pemerintahan yang telah dipilihnya
human beings, we are endowed with freedom of choice, (Kingsbury, 2007). Pemahaman ini
and we cannot shuffle off our responsibility upon the menimbulkan setidaknya pertanyaan
shoulders of God or nature. We must shoulder it ourselves.
It is our responsibility (Alfian, 2009). apakah yang „dipilih‟ untuk memerintah
7
Samandhi, Willi Purna & Warrouw, Nicholas. (2009). atas nama kekuasaan rakyat adalah benar
Demokrasi di Atas Pasir. Jakarta : PCD Press dan Demos.
Hlm 56. dipilih oleh rakyat dalam kebebasannya

72 | JURNAL ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


Volume 3 No. 1 Januari 2019
ISSN: 2087 - 4742

ataukah pemilihan hanya bagiaan dari jangka waktu tertentu (Sirkulasi Elit :
oligarki atau elit politik. Seperti yang Promotion – Demotion); (4) Perubahan
diutarakan oleh Dahl, bahwasannya keanggotaan terjadi akibat masuknya
demokrasi adalah kompetisi oligarki yakni anggota baru dari lapian masyarakat yang
memilih pemerintahan rakyat adalah lebih rendah, kadang-kadang akibat
memilih antara pemimpin politik atau elit bergabungnya kelompok sosial baru, dan
politik (Kingsbury, 2007). sesekali juga akibat adanya pergantian
Terminologi elit sebagaimana menyeluruh atas elit yang mapan oleh
diungkapkan oleh Vilfredo Pareto, Gaetano suatu elit tandingan seperti halnya revolusi
Mosca, Suzanne Keller dan lain-lain (Alfian, 2009 : 29-30)
pemikir yang tergolong dalam „elite Golongan elit memang merupakan
theorists‟, memang menunjukkan pada golongan minoritas, meskipun tidak selalu
kelompok atau golongan yang ada di suatu secara eksplisit, yang mana mereka
masyarakat yang memiliki keunggulan atau memiliki keunggulan diantara masyarakat
superioritas apabila dibandingkan dengan lainnya yakni: (a) posisi yang mereka
kelompok atau golongan yang lainnya. duduki – ini merupakan hal yang paling
(Haryanto, 2005). Pareto membagi kelas penting atau merupakan yang sentral; (b)
elit menjadi governing elite dan non sifat-sifat yang menjadi dasar pemilihan
governing elite. Governing Elite (kelas terhadap mereka – memiliki atau
yang memerintah) terdiri dari individu- tampaknya memiliki semacam keunggulan,
individu yang secara langsung atau tidak baik itu berupa kebijaksanaan, keberanian,
langsung memainkan peran besar dalam intelegensi, turunan ataupun dalam bentuk
pemerintahan artinya elit ini merupakan elit keahlian dalam pengetahuan dan
yang berperan dalam penentu kebijakan. keterampilan; (c) tanggungjawab sosial
Sedangkan non governing elite lebih pada mereka – mempunyai tanggungjawab yang
elit yang memiliki sumber kekuasaan lebih besar dalam hal ini daripada
namun tidak ada dalam kapasitas sebagai penduduk lainnya; dan (d) imbalan mereka
elit penentu atau pembuat kebijakan. – memperoleh bagian yang lebih banyak
Sementara Mosca mendudukan menjadi dalam hal-hal untuk kebaikan hidup
dua kelas, yakni The Rulling Class, yang (Keller, 1984). Keunggulan yang dimiliki
jumlahnya lebih sedikit, melaksanakan oleh elit inilah yang memicu
semua fungsi politik, memonopoli ketidaksetaraan didalam masyarakat,
kekuasaan dan menikmati bebagai padahal demokrasi mengatakan adanya
keistimewaan yang diberikan oleh kesetaraan diantara masyarakat itu sendiri.
kekuasaan; dan The Ruled Class, yang Sehingga apakah untuk mencapai
jumlahnya lebih banyak, diperintah dan kesetaraan masyarakat, apakah elit yang
dikendalikan oleh kelas yang pertama. harus dihilangkan atau demokrasi yang
Bottomore meringkas skema konseptual harus ditinjau kembali?
yang diurai oleh Pareto dan Mosca dalam Pertentangan antara gagasan tentang
gagasan umum sebagai berikut : (1) Dalam elit dan gagasan tentang demokrasi bisa
setiap masyarakat, ada suatu minoritas yang diungkapkan dalam dua bentuk : pertama,
menguasai anggota masyarakat lain yang keanggotaan dalam teori-teori tentang elit
mayoritas; (2) Minoritas ini disebut kelas mengenai ketidaksetaraan kualitas individu
politik atau elit yang memerintah. Terdiri berlawanan dengan gagasan politik
dari mereka yang menduduki jabatan- demokratis yang fundamental, yang lebih
jabatan komando politik dan secara lebih cenderung untuk menekankan kesetaraan
tersamar, yang secara langsung dapat mendasar pada individu-individu; dan
memengaruhi keputusan politik; (3) kedua, gagasan tentang minoritas yang
Minoritas yang memerintah ini mengalami memerintah adalah berlawanan dengan
perubahan dalam keanggotannya selama teori demokrasi tentang pemerintahan

JISIPOL | 73
Mustabsyirotul Ummah Mustofa

mayoritas. Namun gagasan yang Secara beragam, populisme


berlawanan ini tidak terlihat sangat didefinisikan oleh para ilmuan berdasarkan
kontradiktif dan konfliktual. Bila apa yang terjadi secara empiris yang
demokrasi dipandang sebagai terdiri dari dianalisisnya masing-masing namun hal ini
lebih daripada satu sistem politik, dianggap masih belum bisa menjawab
demokrasi tetap berkesesuaian dengan teori secara eksplisit apa definisi sebenarnya dari
elit; karena gagasan tentang kesetaraan populisme dan justru menjadi tantangan
yang demokrasi sebagai suatu bentuk tersendiri untuk memahami populisme
masyarakat mungkin dipandang sebagai (Deiwiks, 2009). Untuk menjawab
implikasinya dapat dengan mudah kebingungan definisi menganai populisme,
direintepretasikan sebagai kesetaraan Girdon dan Bonikowski melakukan
kesempatan. Demokrasi kemudian akan literatur review dan menarik kesimpulan
diperlakukan sebagai suatu tipe masyarakat terkait definisi dari populisme melalui
dimana elit-elit – ekonomi dan kultural juga pendekatan politik dan sosiologi yang
politis – secara prinsip adalah „terbuka‟; meliputi ; populisme sebagai gagasan,
dan dalam kenyataan direkrut dari lapisan- populisme sebagai sebuah discursive stlye
lapisan sosial yang berbeda berdasarkan dan populisme sebagai bentuk mobilisasi
keunggulan individu. Konsepsi posisi elit politik (Laclau 2005, Girdon and
dalam demokrasi secara aktual disiratkan Bonikowski 2013).
oleh teori pergantian elit (sirkulasi elit), dan Laclau juga menyimpulkan
secara eksplisit dinyatakan dalam tulisan- populisme dari hasil analisisnya yakni
tulisan Mosca (Bottomore, 2006). sebagai sebuah political logic yakni sebuah
konsekuensi dari kondisi politik yang
Kajian Populisme dan Kepemimpinan terjadi pada masyarakat; naming and effect
Populis yakni pendefinisan kata populisme ataupun
Seperti kajian kontemporer lainnya, populis akan memberikan konsekuensi
khusus untuk menentukan kategori tujuan
populisme hadir sebagai sebuah konsep
yang dapat diisi oleh berbagai ide. Kajian yakni utamanya berorientasi pada rakyat
atau „the people‟, dan particular demand
mengenai populisme sudah lebih dulu dan
yakni sebagai sebuah permintaan sosial
banyak dibahas yang berawal dari
(demand, request) dari ketidakpuasan
pergerakan petani di Rusia dan Amerika
masyarakat dengan kondisinya sosial
Serikat pada akhir abad ke 19, dilanjutkan
ekonominya (Laclau, 2005). Dari analsis
kemunculan populisme di Amerika Latin
definisi yang ditawarkan oleh Laclau
pada pertengahan abad ke 20, hingga saat
sebenarnya ia sekaligus menyebutkan
ini populisme bangkit di negara-negara
indikator faktor berkembangnya populisme.
Eropa, Amerika serikat dan Amerika Latin
Populisme akan kemungkinan besar
(Deiwiks 2009, Girdon and Bonikowski
berkembang dalam kondisi tatanan sosial
2013). Bahasan mengenai populisme
yang sudah rusak dimana publik kehilangan
umumnya didefinisikan berdasarkan kajian
kepercayaannya terhadap sistem politik
ekonomi, sosial dan politik dan dianalisis
karena kegagalan partai politik menjadi
dari berbagai perspektif dan pendekatan
saluran representasi yang efektif sehingga
teori termasuk diantaranya strukturalisme,
memunculkan apatisme politik masyarakat.
pots-strukturalism, teori modernisasi, teori
Selain itu adanya pengaruh dari perubahan
social movement, teori partai politik,
kondisi ekonomi, sosial, dan politik baik di
psikologi politik, ekonomi politik dan teori
dalam maupun di luar negeri yang akan
demokrasi. (Girdon and Bonikowski,
mempengaruhi gejolak masyarakat untuk
2013). Oleh karenanya dapat ditemui
menuntut perubahan. Sementara dalam riset
beragam definisi dan pemaknaan terkait
PWD, populisme dipahami sebagai gaya
dengan populism.
politik Manichean yang mencakup tiga

74 | JURNAL ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


Volume 3 No. 1 Januari 2019
ISSN: 2087 - 4742

dimensi pokok yakni; Pertama, populisme ketidakpuasan dimana korupsi merajalela


mengacu pada “rakyat”. Para pemimpin dan penegakkan hukum yang tidak adil,
populis umumnya mengaku mewakili dan selain itu masyarakat tidak merasakan
bertindak atas nama “rakyat” dalam kehadiran pemerintahan yang berfungsi
pengertian orang kebanyakan. Kedua, dengan baik untuk menyelesaikan semua
populisme juga berkaitan dengan gagasan persoalan yang akhirnya hanya menyisakan
menciptakan dan memperkuat hubungan ketegangan politik yang dari waktu ke
antara para pemimpin populis dan rakyat waktu terus berdinamisasi sementara isu-
yang bersifat langsung. Ketiga, gaya politik isu publik tidak terurus (Savirani,
ini secara pekat mengandung sentiment- Tornquist, & Stoke, 2014). Dari perjalanan
sentimen anti kemapanan dan anti elit sejarah ini, populisme di Indonesia merujuk
(Savirani, Tornquist, & Stoke, 2014). pada analisis Laclau sebagai political logic
Pemahaman populisme seperti ini dan particular demand, sebagai antitesis
mengandung dua implikasi yang saling dari keadaan masyarakat saat ini, dengan
berhimpit, antara sebuah gerakan melawan gaya kepemimpinan dan cara bertindak
dominasi oligarkis dengan mobilisasi massa „atas nama rakyat‟ dan „anti kemapanan‟
dan kelompok terpinggirkan atau gagasan Populis sebagai subjek politik
politik tentang cara pandang pembangunan dengan gagasan populisme memiliki
yang berorientasi pada rakyat. Perbedaan identitas yang membedakan dirinya dengan
ini sangat tipis dan perlu melihat kajian aktor politik lainnya. Hubungan subjek
populisme secara induktif agar populisme politik dengan struktur kekuasaan dalam
tidak dibaca secara sinis, hanya dilihat menjadi penting untuk dielaborasi.
tentang kepemimpinan dan pemimpin Pembentukan agensi-agensi politik sebagai
namun juga harus dilihat dari posisi dan subjek kekuasaan pada dasarnya
sudut pandang masyarakatnya8 merupakan bagian penting dari persoalaan
Kajian populisme dalam konteks pembentukan identitas politik, khususnya
ke-Indonesia-an sendiri tidak bisa dilepas dalam pembentukan atau konstruksi politik
begitu saja dari perjalanan sejarah transisi tentang „saya I‟ dan „orang lain the other‟
menuju demokrasi yang mana sepanjang sebagai subjek politik, atau konstruksi
perjalanannya menemui beragam hambatan tentang „saya I‟ mewakili „kita We‟
dan tantangan dalam mendemokrasikan dihadapan „mereka they‟. Konstruksi
Indonesia9. Beragam kondisi sosial tentang „I – O‟ atau „I = We – They‟, ini
ekonomi mewarnai kehidupan masyarakat saling mendeterminasi dan secara
namun dalam kecenderungan konstitutif membentuk identitas politik
sebagai subjek kekuasaan atau agensi
8
Pribadi, Airlangga. 2013. “Menjernihkan Politik Populisme”. politik (Trijono, 2011). Hal mengenai
Majalah Indonesia 2014. Vol 1, No. 8. 2013. (online).
9
Populisme, dalam pengertian umumnya adalah sebuah
pembentukan identitas politik agensi ini
rezim yang mengutamakan kepentingan rakyat di atas yang kemudian serupa dengan pelekatan
kepentingan yang bukan rakyat, yakni kalangan identitas pemimpin populis yang selalu
oligarki.Secara umum, populisme sedang berkembang di
Indonesia, yang di dalamnya ada lebih banyak kalangan mengacu „atas nama rakyat‟ yang
yang bisa memberikan suaranya tanpa adanya tekanan membedakan kedudukan antara „Kita Vs
politik lagi. Meskipun masih ada problem soal populisme,
tetapi dari sudut pandang demokrasi dapat dilihat bahwa Mereka‟, dimana „kita‟ adalah lowest sector
populisme memberi peluang bagi pemimpin kharismatik society yang diperjuangkan dan „mereka‟
dan media untuk menjangkau langsung masyarakat umum,
dan menawarkan skema kesejahteraan sebagai sebuah
adalah para elit politik yang dianggap tidak
solusi. Ketika hari ini para petani, pekerja perkebunan, dan peduli dan bertanggungjawab terhadap
nelayan dan kaum miskin kota dihadapkan pada persoalan masalah publik terutama masyarakat yang
penggusuran, penebangan hutan, perumahan, dan
infrastruktur fisik, populisme bisa menyelesaikan masalah terksklusi. Identitas ini menjadi instrumen
ini. Di sisi lain, skema ini juga digunakan untuk menarik demokrasi yang membuat para aktor
kelas menengah perkotaan yang dihadapkan pada
persoalan korupsi, kemacetan lalu lintas, dan ide-ide soal populis berjuang untuk meraih kesetaraan
desain pembangunan kota yang ramah lingkungan. politik dengan memasuki ranah politik,
(Pontoh 2012, Savirani, Tornquist, & Stoke, 2014)

JISIPOL | 75
Mustabsyirotul Ummah Mustofa

dimana demokrasi sejatinya juga memberi pemilihan. Menurutnya, metode demokratis


mereka kesempatan untuk tidak lagi adalah penataan kelembagaan untuk sampai
tereksklusikan dari politik. kepada keputusan politik di mana individu
meraih kekuasaan untuk mengambil
HASIL DAN PEMBAHASAN keputusan melalui perjuangan kompetitif
Pemilihan Umum Sebagai Pintu Masuk untuk meraih suara. Demokrasi itu seperti
Pemimpin Populis „pasar‟, satu mekanisme institusional untuk
menyisihkan yang terlemah dan
Dalam perkembangnya, demokrasi
mendukung mereka yang paling kompeten
saat ini memasuki tahap representasi politik
dalam perjuangan kompetitif untuk suara
yang tinggi. Pemilihan umum dianggap
dan kekuasaan (Held, 2007). Seperti
sebagai sarana partisipasi politik. Pemilihan
lazimnya kontes atau kompetisi lain, dalam
umum atau demokrasi prosedural ini adalah
proses demokrasi peserta-peserta juga harus
pengejawantahan dari pengertian
menyiapkan diri menjadi yang paling layak
pemerintahan yang diselenggaralan dari
untuk menang. Dalam hal pemilihan umum
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
ini, peserta pemilihan umum dituntut untuk
Pemilu adalah lembaga sekaligus prosedur
menggunakan berbagai cara agar menjadi
praktik politik untuk mewujudkan
layak dipilih oleh masyarakat, atau paling
kedaulatan rakyat yang memungkinkan
tidak terlihat layak dipilih. Pada akhirnya
terbentuknya sebuah pemerintahan
pemilihan umum dimaknai sebagai proses
perwakilan (representative government)
demokrasi untuk menentukan aktor-aktor
yang menurut Robert Dahl merupakan
yang menduduki jabatan pemerintah yang
gambaran ideal dan maksimal bagi suatu
nantinya berperan besar dalam penentuan
pemerintahan demokrasi di zaman modern.
arah pemerintahan. Pemilu sebagai salah
Lev mendeskripsikan demokrasi sebagai
satu mekanisme demokrasi menjadi elemen
„virtous conceit‟ yang berarti bahwa
kunci dalam demokrasi itu sendiri. Tanpa
demokrasi adalah sistem pemilihan
kompetisi pemilu bebas, adil dan teratur,
representatif dengan aktualisasi dan potensi
pemerintah tidak dapat diadakan benar-
partisipasi yang derajatnya cukup tinggi
benar bertanggung jawab terhadap rakyat.
(Kingsbury, 2007). Demokrasi kini tidak
Pemilu adalah sebuah mekanisme politik
dapat secara harfiah hadir sebagai
untuk mengartikulasikan aspirasi dan
pemerintahan oleh rakyat, rakyat harus
kepentingan warga Negara. Setidaknya ada
menunjuk wakil-wakilnya untuk mengelola
empat fungsi pemilu yang terpenting:
negara. Nilai-nilai demokrasi yang
legitimasi politik, terciptanya perwakilan
mementingkan kepentingan rakyat tentu
politik, sirkulasi elite politk, dan
tidak dapat begitu saja dihilangkan dalam
pendidikan politik10 (Hikam, 1999).
demokrasi kekinian. Pihak yang dipilih
oleh masyarakat sebagai wakilnya harus 10
Melalui pemilu, legitimasi pemerintah/penguasa
benar-benar mampu menjadi wakil dan dikukuhkan karena ia adalah hasil pilihan warga negara
mendapat legitimasi dari masyarakat. yang memiliki kedaulatan. Selanjutnya, melalui pemilu
Schumpeter, dikutip oleh seleksi kepemimpinan dan perwakilan dapat dilakukan
secara lebih fair karena keterlibatan warga negara. Praktek
Kingsbury, mendefinisikan demokrasi demokrasi modern, yaitu melalui perwakilan dapat
sebagai kompetisi terbuka diantara seluruh dilakukan sepenuhnya di sini. Dengan pemilu pula maka
akan terjadi pergantian elit kekuasaan secara lebih adil
pemimpin politik dimana peran masyarakat karena warga negaralah yang langsung menentukan siapa
adalah mengalokasikan legitimasi kepada yang masih dianggap memenuhi syarat dan siapa yang
tidak. Secara tidak langsung, ini berarti pula bahwa pemilu
seseorang atau sekelompok orang yang adalah alat kontrol warga negara kepada penguasa apakah
akan menjadi penguasa (Kingsbury, 2007). yang terakhir itu masih dipercaya atau tidak. Akhirnya,
Demokrasi sebagai sebuah model politik, pemilu adalah sebuah alat untuk melakukan pendidikan
politik bagi warga negara agar mereka memahami hak dan
sebuah mekanisme untuk memilih kewajibannya. Dengan terlibat dalam proses pelaksanaan
pemimpin politik dan kemampuan dalam pemilu, diharapkan bahwa warga negara akan
mendapatkan pengalaman langsung bagaimana selayaknya
memilih para pemimpin politik pada saat seorang warga negara berkiprah dalam sistem demokrasi.

76 | JURNAL ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


Volume 3 No. 1 Januari 2019
ISSN: 2087 - 4742

Karenanya, pemilihan umum hingga saat sosial dari bekerjanya logika kesetaraan,
ini adalah salah satu sistem yang paling terutama seperti dijalankan melalui strategi
representatif atas berjalannya proses paratactical dalam pembentukan
demokrasi, hingga ada sebuah adagium kelembagaan politik demokrasi
bahwa “tidak pernah ada demokrasi tanpa populist/popular (Laclau, 2005).
pemilihan umum”. Namun demikian, Sistem pemilihan umum yang
makna pemilu sebagai sirkulasi elit justru dipakai oleh sebuah negara memiliki
meneguhkan jawaban bahwa demokrasi pengaruh yang signifikan terhadap eksitensi
sebenarnya kompatible untuk populisme itu sendiri. Seorang tokoh harus
menumbuhkembangkan elitisme. menentukan Ia harus menjadi populer di
Survey Demos (2009) menunjukkan kalangan mana agar memenangi sebuah
aktor demokrasi atau aktor alternatif kini pemilihan. Hal tersebut baru dapat
lebih aktif di arena politik dan cenderung ditentukan ketika sudah dipastikan sistem
untuk mengambil pilihan yang disebut pemilihan mana yang akan dipakai.
„jalan pintas populis‟ untuk menghindari Kesadaran pemimpin populis (baca: agensi)
representasi dengan memilih membangun untuk berkompetisi melalui mekanisme
hubungan „langsung‟ antara para pemimpin pemilu diikuti dengan kesadaran membaca
masyarakat dengan para elit, di satu sisi dan peta politik masyarakat yang jenuh dengan
masyarakat disisi lain. Pilihan untuk aktif aktor-aktor utama dan elit-elit lama yang
di politik ini berarti terkait pula dengan tidak membawa perubahan. Terutama
membaiknya kapasitas para aktor alternatif dalam pemilihan pemimpin politik di
sejalan dengan peralihan posisi dalam tingkat eksekutif baik itu presiden,
kaitannya dengan instrumen-instrumen gubernur, bupati atau walikota, mudah
demokrasi, seperti pemilu yang bebas dan untuk membedakan mana pemimpin
adil, representasi yang baik, partisipasi populis yang merupakan aktor alternatif
langsung, dan partisipasi politik lainnya mana yang elit lama. Berbekal modal
(Samadhi dan Warouw, 2009). Pemilu yang „particular demand‟ pemimpin populis
demokratis memberikan kesempatan bagi memenangkan pemilu dengan strategi yang
para pemimpin populis yang lahir dari sudah tentu berbeda dengan aktor utama
sebuah ketegangan dan permintaan. lainnya yakni dengan kampanye-kampanye
Menempatkan pemilu sebagai alat yang menjual nilai-nilai demokrasi dan
demokrasi sama dengan memosisikan orientasi pembangunan „atas nama rakyat‟.
pemilu dalam fungsi aslinya sebagai jalan
pembentuk pemerintahan yang Kepemimpinan Populis yang Menggeser
representatif. Nilai demokratis sebuah Elit Politik Lama : Sirkulasi Elit?
pemilu dinilai dari tingkat kompetisi yang
Ada dua kesulitan mendasar yang
berjalan di dalamnya. Semakin kompetitif
bisa dikonfrontasi mengenai sirkulasi Elit.
sebuah pemilu semakin demokratis pula
Yang pertama, apakah sirkulasi elit itu
pemilu tersebut. Hal itu guna menjawab
mengacu pada proses dimana individu-
bagaimana sistem demokrasi mengatasi
individu berputar antara elit dan nonelite,
ketegangan-ketegangan politik ini, antara
atau yang kedua mengacu pada proses
politik eksklusi dan politik inklusi, sejauh
dimana elit satu digantikan dengan elit
ini telah melahirkan berbagai model
yang lain? Kelompok sosial baru dapat
kelembagaan dalam politik demokrasi.
terbentuk dalam masyarkat sebagai akibat
pada tatanan cara atau strategi tersendiri
perubahan ekonomi atau kultural, bahwa
dengan kelebihan dan kelemahan masing-
kelompok itu kemudian bisa meningkatkan
masing bagaimana mengatasi eksklusi
pengaruh sosial mereka sejauh ini dalam
jenis-jenis aktivitas dimana mereka berada
Ia akan mengerti dan memahami posisinya sebagai menjadi jenis-jenis aktivitas yang sangat
pemegang kedaulatan yang sangat menentukan gerak
serta perjalanan bangsa dan negaranya (Hikam, 1999). vital untuk masyarakat luas, dan bahwa

JISIPOL | 77
Mustabsyirotul Ummah Mustofa

aktivitas tersebut pada saatnya bisa didukung oleh sistem patronase11. Ketika
membuat perubahan dalam sistem politik, memenangkan kontes dan memegang
dan struktur sosial secara keseluruhan pucuk kekuasaan, tokoh populis harus tetap
(Bottomore, 2006). sadar bahwa aktifitasnya tetap terikat dalam
Perubahan-perubahan dalam skala kerangka demokrasi apalagi ditambah
nasional maupun dalam skala global dengan pelekatan identitas sebagai agensi.
menyebabkan ledakan antisistem dengan Pemimpin populis harus berpegang pada
karakter ; pertama, terdapat perasaan demokrasi sebagai “the only game in
terasing dari penguasa dengan tanggapan town”, karena satu-satu nya ide dan
yang berbeda-beda dan secara politis gagasan yang bisa membuatnya bersaing
ambivalen; dan kedua, penolakan yang luas dengan para elit baru juga sama-sama
untuk menerima keputusan kelompok yang demokrasi. Meskipun demikian, aktor
sedang memegang kekuasaan, baik yang populis memiliki kelamahan dengan
dipilih secara demokratis atau tidak, karena bersandar pada sumber daya - sumber daya
elit penguasa sering dipandang berada di sosial dan informasi serta ketidakmampuan
luar jangkauan perasaan aspirasi rakyat yang disebabkan lemahnya kapasitas untuk
jelata yang seharusnya dibawa oleh mempertemukan banyak kepentingan
demokrasi untuk menaikkan tingkat organisasi-organisasi popular berbasis
keterwakilan dan pengaruh kemasyarakatan massa dengan organisasi-organisasi
(Haynes, 2000). Melihat hal tersebut, aktor masyarakat sipil, para aktor demokrasi
demokrasi kini lebih aktif di berbagai arena sedang mendorong demokrasi ke bibir
politik dan cenderung mengambil pilihan jurang (sama dengan krisis representasi)
yang disebut “jalan pintas populis” untuk (Samadhi dan Warouw, 2009). Alih-alih
menghadirkan representasi dengan memilih sebagai jalan keluar mengatasi masalah
membangun hubungan „langsung‟ antara representasi yang tidak terselesaikan oleh
para pemimpin masyarakat dengan para elit elit lama, kondisi ini justru menimbulkan
di satu sisi dan masyarakat disisi lain. masalah representasi baru karena
Dengan memperhitungkan kapasitas politik kurangnya kemampuan deliberasi dari
para aktor alternatif, data Demos pemimpin populis. Pada akhirnya aktor
menunjukkan bahwa para aktor kerap populis yang berhasil mencapai kekuasaan
memilih jalan pintas populis dalam sistem politik memiliki jabatan elit politik yang
politik. Rakyat pada umumnya dimobilisasi terlegitimasi, belum sampai pada cita-cita
ke dalam politik melalui cara-cara demokrasi dan negara kesejahteraan.
klientalisme dan populisme (Samandhi dan Legitimasi kekuasaan akan
Warouw, 2009). menentukan seberapa lama suatu aktor
Dalam pemilu, aktor populis akan bertahan dalam kekuasaannya atau
diharuskan mengetahui kewajibannya justru terganti oleh kelompok orang lainnya
sebagai kontestan untuk menaati aturan yang disebut dengan sirkulasi elit. Adanya
main yang ada. Cara-cara mobilisasi masa sirkuliasi elit yang diisyaratkan oleh Pareto
melalui popularitas dan identitas „anti-elit‟ dan Mosca menunjukkan bahwa golongan
dan „anti-kemapanan‟ mengantarkan aktor elit nyatanya mengalami perkembangan
populis ini mampu merangsek dalam yang disebabkan oleh proses sosial utama
jajaran elit politik melalui mekanisme yakni, pertumbuhan penduduk,
pemilu yang diakui oleh semua pihak pertumbuhan spesialisasi jabatan,
sebagai satu-satunya jalan kekuasaan pertumbuhan organisasi formal/birokrasi,
politik. Aktor populis juga cenderung dan perkembangan keragaman moral.
memanfaatkan dukungan dari pemimpin- Dengan berjalannya keempat proses itu,
pemimpin informal kharismatik yang
11
Samandhi, Willi Purna & Warrouw, Nicholas. (2009).
Demokrasi di Atas Pasir. Jakarta : PCD Press dan Demos.
Hlm 167.

78 | JURNAL ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


Volume 3 No. 1 Januari 2019
ISSN: 2087 - 4742

kaum elit pun menjadi semakin banyak dan soal baru. Artinya bahwa demokrasi secara
semakin beraneka ragam dan bersifat lebih tersirat menjadi wadah yang subur untuk
otonom (Keller, 1984 : 91), ditunjukkan meneguhkan ekisistensi elitisme melalui
dengan banyaknya kemunculan aktor mekanisme sirkulasi elit, entah itu elit lama
alternatif yang sama juga bersifat populis. atau nonelit yang bertransformasi menjadi
Sekali aktor populis yang sudah menjadi elit politik baru. Seperti disampaikan
elit politik tidak menjalankan kekuasaannya Burhanudin Muhttadi bahwa, „populisme
untuk tujuan kesejahteraan, maka ia juga adalah “cermin demokrasi,” untuk
bisa disingkirkan oleh aktor populis lainnya meminjam istilah Panizza (2005) agar elit
yang sedang mengintai. Hal ini sebagai tidak lupa menyerap sebesar-besar
isyarat bahwa sirkulasi elit adalah suatu kepentingan rakyat dalam proses
keniscayaan mengancam posisi siapapun pembuatan kebijakan‟12. Pada intinya
entah sirkulasi antar elit maupun sirkulasi menegaskan bahwa dalam kehidupan
dari nonelit menjadi elit. masyarakat posisi menguasai dan dikuasi
Sirkulasi elit tersebut memaksa para dalam politik pasti ada dan tidak
elit untuk berada dalam status quo atau terbantahkan, setidaknya inilah paradoks
unity agar keberadaan dan kepentingan dari demokrasi.
mereka sama-sama terjaga. Mills
mengemukakan untuk melihat unity dari Populisme : Antara Gagasan atau Cara
kekuasaan elit kita harus memahami 3 hal Baru Meraih Kekuasaan Politik?
penting, yakni (a) psikologi dari setiap elit
Demokrasi tidaklah lepas dari
yang terlibat, dimana hal ini menyangkut
politik dan kekuasaan. Kekuasaan politik
motivasi, kehidupan sosial, namun
adalah kemampuan untuk meyakinkan,
menentukan style dan posisi dari elit
membujuk, memaksa, merubah,
tersebut; (b) struktur dan mekanisme
mempengaruhi, memodifikasi, atau
institusional yang secara hirarkis sudah
memanipulasi tindakan, kepercayaan atau
dibangun, bagaimana koneksi diantara para
nilai yang dimiliki individu lain. Dapat
elit tersebut; (c) bukan hanya sekedar
dikatakan bahwa kekuasaan politik adalah
psikologis dan struktur komando melainkan
tentang bagaimana mengubah atau
lebih dari kordinasi eksplisit diantara para
memodifikasi arah tujuan. Semua
elit (Mills, 1956). Konsensus ini yang
kekuasaan adalah politis karena memiliki
kemudian melahirkan kebutuhan integrasi
kecenderungan luas dan variatif dimana
para elit yang dapat dilihat dari pola relasi
efeknya dapat dirasakan dan dilihat tapi
yang mereka lakukan.
tidak dapat disentuh karena bisa jadi
Pada akhirnya keberadaan elit
dilakukan secara tidak langsung. Oleh
bukanlah sesuatu yang solid dan pasti akan
karenanya terdapat perbedaan pandangan
bertahan selamanya. Yang akan ada mengenai struktur kuasa, ada yang
sepanjang masa adalah keberadaan entitas berpandangan bahwa kuasa politik hanya
yang dinamakan elit yang merupakan
ada dan terdapat dalam struktur lembaga
minoritas yang unggul. Sementara aktor
negara ada juga yang berpandangan bahwa
dari elit itu sendiri akan berubah sesuai kuasa ada dalam setiap lini kehidupan
dengan perubahan sosial atau disebut manusa. Argumen ini dadasari bahwa
mengalami sirkulasi. Pareto mengatakan
kekuasaan itu seperti pedang bermata dua
bahwa perputaran individu antara elit dan yang ada dimanapun selama disana ada
nonelit merupakan hal yang konstan dan kehidupan sosial manusia yang mana
fenomena yang reguler (Bottomore, 2006). manusia diyakini sebagai mahluk hidup
Oleh karenanya jika aktor alternatif dengan yang memiliki hasrat, motivasi dan
tampilan populis ini hadir kemudian
menggantikan aktor lama yang sebelumnya 12
Burhanudin Muhtadi, 2013. “Populisme; Madu Atau Racun
merupakan elit ternama bukanlah menjadi Bagi Demokrasi?”. Majalah Indonesia 2014, No. 3, Vol. 1,
2013. Hal 94 (Online)

JISIPOL | 79
Mustabsyirotul Ummah Mustofa

kebutuhan atas pengharagaan. Bahwa kuasa transformatif lebih berpeluang untuk


bisa bersifat langsung maupun tidak berhasil manakala digalang oleh elit, dalam
langsung tergantung pada relasi kuasa yang hal ini elit yang dimaksud adalah pemimpin
dibentuk. Semakin besar level relasi kuasa yang populis (Haryanto, 2009). Sebagai
yang dibentuk maka akan semakin besar aktor, pemimpin populis melihat peluang
pula pengaruh yang dihasilkan untuk sekaligus tantangan yang diberikan oleh
membuat perubahan terhadap lingkungan struktur dalam sistem politik yang baru
atau konten yang diinginkan13. (dari sistem otoritarian menjadi sistem
Relasi kuasa ini adalah situasi yang demokratis) untuk dapat meraih atau
dipengaruhi oleh banyak aspek dan kehilangan kekuasaannya. Tidak semua
berdampak pada aspek kehidupan lainnya. masyarakat kemudian menggunakan
Selama ada interaksi antar individu, maka kekuasaan yang melekat dalam dirinya
relasi kuasa akan bisa terjadi, lagi-lagi hal untuk melakukan perubahan sosial.
ini berkaitan dengan human being dan Masyarakat yang menyadari potensi dan
human nature bahwa sifat-sifat kuasa berupaya melakukan tindakan politik
melekat dalam diri manusia. Yang disebut dengan “aktor”15, yang dalam
membedakan kemudian adalah gagasan demokrasi ala Beetham,
keberhasilan menguasai antara satu merupakan agensi yang membentuk
manusia dengan manusia lainnya. Bahwa keterwakilan popular, dan mengakar pada
manusia memiliki potensi kuasa adalah kekuatan popular ini. Jadi, dalam gagasan
benar, namun apakah semua manusia Beetham, “aktor” lebih dari sekedar
berhasil menggunakan potensi kuasanya “elit”atau “pemimpin” (Savirani, Tornquist,
untuk dapat berkuasa adalah belum tentu. & Stoke, 2014). Oleh karenanya, aktor
Hal ini bergantung pada sebarapa besar populis, membaca dari penafsiran PWD,
manusia memahami potensi kuasanya, baik jauh lebih unggul dibanding elit itu sendiri.
yang dari sisi manusia yang akan Keunggulan aktor alternatif dibanding elit
menguasai atau manusia yang akan ini apakah diakui atau tidak. Yang jika
dikuasai, jika masing-masing individu diakui maka aktor populis akan membuat
sadar akan potensi kuasanya maka tafsir baru mengenai elit politik dan jika
kemungkinan akan terjadi resistensi, yang tidak diakui, maka aktor populis setara
artinya “menguasai” akan mungkin tidak dengan elit itu sendiri.
terjadi dan apabila resistensi dari individu Kalaulah memang aktor berbeda
lainnya kecil, maka “menguasi” besar dengan elit, namun apa yang dilakukan
kemungkinan terjadi. aktor dalam upayanya masuk ke dalam
Kekuasaan, menurut Focault, institusi politik dan menggantikan posisi
melekat pada manusia dan milik elit lama, teori elit akan membacanya
masyarakat secara utuh bukan segelintir sebagai sirkulasi elit. Dan oleh karenanya
orang, sebagaimana dijelaskan Giddens,14 akan sangat membingungkan ketika
kekuasaan pada dasarnya adalah suatu dikatakan bahwa demokrasi dan elit
kapasitas transformatif. Ia melekat secara bertentangan. Mungkinkah keduanya
inheren berdasarkan tindakan rutin. komplementer bukan substitusi sehingga
Kekuasaan diproduksi dan direproduksi populisme juga hanya sebagai antitesis dari
oleh agen (aktor) sesuai dengan fungsi elit yang tidak berjalan dengan
perkembangan situasi. Kapasitas semestinya dalam demokrastisasi.
13
Relasi kuasa dapat dilihat dalam bentuk kuasa yang pada
intinya menunjukkan sesuatu antara yang mempengaruhi
15
dan yang dipengaruhi dan antara yang mendominasi dan Secara konvensional aktor politik merujuk pada individu
didominasi, yakni : leader – follower; superior – atau kelompok individu. Aktor dalam demokrasi sering
subordinate; monarch – subject; patron – client; master – disamakan dengan “elit”, atau “pemimpin”. Ada kalanya elit
slave; speaker – listener; interviewer – informant; enemy – atau pemimpin memiliki akar massa yang kuat, tapi ada
friend (Mills, 1956). juga yang tidak, dan mereka bersifat mengambang, atau
floating (Savirani, Tornquist, & Stoke, 2014)

80 | JURNAL ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


Volume 3 No. 1 Januari 2019
ISSN: 2087 - 4742

Jika keunggulan aktor alternatif, kehadiran aktor populis tidak menjawab


menurut Beetham, dengan karakter permasalahan representasi. Dari
populisme ini diakui, maka yang harus ketidakmampuan aktor populis dalam
diapresiasi adalah kemunculan gagasan mempertemukan banyak kepentingan,
mengenai populisme, gagasan yang maka mereka sebenarnya sedang membawa
mengatasnamakan rakyat diatas segalanya demokrasi Indonesia menuju fase kemajuan
untuk menuju negara kesejahteraan. Hal ini semu atau malah stagnansi (dibaca: transisi
menunjukkan bahwa gagasan populisme permanen demokrasi) (Samadhi dan
sebenarnya bisa menjadi gagasan yang baik Warouw, 2009). Jangan sampai Indonesia
yang diyakini dan dimiliki oleh para aktor kemudian terjerembab dalam fasisme
politik untuk menciptakan kehidupan model baru seperti negara-negara Amerika
demokrasi yang lebih mensejahterakan. Latin yang mengandalkan figur populisme
Artinya gagasan populisme bukan hanya tanpa pemberdayaan politik civil society,
milik aktor alternatif, namun gagasan ini sebagai principal dari demokrasi16.
bisa saja mempengaruhi elit-elit lama.
Sebenarnya populisme tidak pernah SIMPULAN DAN REKOMENDASI
bermaksud mengubah atau mengganti Ketidakpuasan masyarakat dengan
sistem sosial kapitalisme dengan sistem kondisi sosial ekonomi mengakibatkan
non-kapitalis. Apa yang dilakukan rezim terjadinya ketegangan politik antara
populis adalah menggeser orientasi masyarakat dan pemerintah. Menurunnya
kebijakan rezim sebelumnya, dari yang pro- rasa percaya masyarakat memperngaruhi
oligarki menjadi pro-rakyat. Kemunculan tingkat apatisme masyarakat terhadap
populisme juga diringi oleh, dan tampaknya politik sementara disisi lain masyarakat
berujung pada, tampilnya sejumlah figur merasa membutuhkan kehadiran
populer. Para figur populer lebih peduli pemerintah (melalui aktor-aktor
pada upaya memperkuat basis kekuasaan representasi politik) untuk mewujudkan
dan popularitasnya, daripada membuka dan welfare state. Faktor inilah yang kemudian
mengajak perdebatan tentang kebijakan menumbuhkan populisme dan melahirkan
(Pontoh 2012, Savirani, Tornquist, & pemimpin-pemimpin populis sebagai
Stoke 2014). Aktor alternatif justru agensi yang diberi kesempatan
mengambil jalan pintas untuk melakukan berkompetisi menjadi pemimpin politik
tekanan langsung terhadap lembaga- melalui mekanisme pemilu yang
lembaga pengambil kebijakan untuk demokratis.
berpihak pada kebutuhan dan kepentingan Kecenderungan lain yang
rakyat (Samadhi dan Warouw, 2009). mengiringi kemunculan populisme dalam
Bencana politik akan timbul jika bentuk politik yang kian terpusat pada
gagasan populisme ini kemudian diyakini figur. Walaupun memiliki perhatian yang
lebih dari sekedar mencapai kesejahteraan sama dengan publik dalam hal isu-isu
dalam berdemokrasi, namun dimanfaatkan kesejahteraan, tergantung pada dukungan
hanya sebatas mencapai kekuasaan politik yang lebih luas, bekerja dengan partai
baik oleh para aktor alternatif maupun oleh politik dan kelompok kepentingan dan
elit lama. Jika demikian yang terjadi maka harus menyediakan program-program
populisme –disamping patronase dan politik yang sesuai keinginan rakyat, para
klientelisme- menjadi tumpuan para aktor aktor dominan khususnya lebih peduli pada
yang diharapkan bisa mencapai kekuasaan karier politiknya, sehingga tidak
politk, entah itu aktor alternatif maupun elit membedakan mereka dengan aktor
lama. Ditambah aliansi „atas nama rakyat‟ sebelumnya yang akibatnya fenomena ini
yang dibangun hanya bagian dari proses hanya dibaca sebagai sirkulasi elit dari elit
kuasa politik dari sang figur populis. Jika
16
hal ini yang terjadi, maka sebenarnya Yahalah, Ishmael. (2014). Venezuela Paska-Chavez :
Prospek Kemandirian Perjuangan. (Jurnal Kotinum Online)

JISIPOL | 81
Mustabsyirotul Ummah Mustofa

lama ke nonelit. Karena kemunculan oleh segelintir orang atas nama representasi
populisme diringi oleh, dan tampaknya bukan keseluruhan orang. Jangan sampai
berujung pada, tampilnya sejumlah figur populisme dikatakan hanya sebatas cara elit
populer. Para figur populer lebih peduli berganti baju untuk tetap eksis dalam
pada upaya memperkuat basis kekuasaan permainan dengan nuansa demokrasi dan
dan popularitasnya, daripada membuka dan populisme bisa menjadi kendaraan bagi
mengajak perdebatan tentang kebijakan, aktor yang bukan asalnya bukan siapa-siapa
yang bisa sangat menyulitkan untuk menjadi bagian dari elit yang berkuasa.
mewujudkan negara kesejahteraan yang Fenomena ini penting untuk dikaji karena
demokratis. mempelajari kondisi kekinian akan
Kebijakan yang populis tentu dapat mengantarkan kita untuk dapat
menjaga image pemimpin tersebut dan memprediksi apa yang terjadi di masa
mempertahankan popularitasnya sendiri, mendatang, tentunya untuk tujuan
namun pemimpn populis akan menemui masyarakat yang lebih baik mencapai
sebuah dilema ketika dihadapkan pada negara demokrasi yang sejahtera, seperti
kondisi untuk memilih antara kualitas diungkap oleh John Naisbitt, “the most
kebijakan atau popularitas kebijakan. reliable way to forecast the future is to try
Seperti kita ketahui, tidak semua kebijakan understand the present” (Alfian, 2009).
yang berkualitas adalah kebijakan yang
populer, begitu pun dengan kebijakan yang
populer, tidak semua kebijakan populer itu DAFTAR PUSTAKA
merupakan kebijakan yang mempunyai
kualitas paling baik untuk menyelesaikan Buku
masalah yang ada. Dilema ini adalah ujian Alfian, M. Alfan. (2009). Menjadi
lain bagi ketahanan kepemimpinan Pemimpin Politik. Jakarta : PT.
pemimpin populis dengan gagasan Gramedia Pustaka Utama.
populisme yang diusungnya. Jika Bottomore, T.B. (2006). Elit dan
pemimpin populis ini tidak mampu Masyarakat (Terjemahan). Jakarta :
memenuhi janji pencapaian kesejahteraan Akbar Tandjung Institute.
maka ia sebenarnya sedang dibayang- Giddens, Anthony. (2010). Teori
bayangi oleh aktor populis lainnya dan elit- Strukturasi (Terjemahan).
elit lama yang terdepak dalam kekuasaan Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
politik, untuk siap sedia disingkirkan, Haryanto. 2005. Kekuasaan Elit.
dengan alasan yang sama : „atas nama Yogyakarta : Program Pascasarjana
rakyat‟ dan „untuk kesejahteraan‟. (S2) PLOD Universitas Gajah Mada
Bisa jadi klaim Burhanuddin Haynes, Jeff. (2000). Demokrasi dan
Muhtadi bahwa populisme adalah politik Masyarakat Sipil Dunia Ketiga.
yang mundur ke belakang tidaklah Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
sepenuhnya benar. Populisme menyadarkan Held, David. (2007). Models of
dan mengembalikan semangat para politisi Democracy. Jakarta : Akbar
untuk berorientasi pada rakyat, sekalipun Tandjung Institute.
ada yang memanipulasi perkembangan Hikam, Muhammad AS. 1999. Politik
gagasan populisme untuk keuntungan Kewarganegaraan : Landasan
pribadi, karena dampaknya adalah Redemokrasi di Indonesia. Jakarta :
mempertahankan status quo politik PT. Gelora Aksara Pratama.
oligarki. Oleh karenanya harus ada kajian Keller, Suzanne. 1984. Penguasa dan
kembali apakah benar elitisme merupakan Kelompok Elit, Peranan Elit
musuh dari demokrasi? Atau tidak ada Penentu dalam Masyarakat Modern
demokrasi tanpa elit? Karena pada (terjemahan). Jakarta : CV.
kenyatannya demokrasi hanya dipimpin Rajawali.

82 | JURNAL ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


Volume 3 No. 1 Januari 2019
ISSN: 2087 - 4742

Kingsbury, Damien. (2007). Political Noam, Girdon and Bonikowski, Bart.


Development. New York : (2013). Varietis of Populism :
Routledge. Literature review and Research
Kurniawan, Lutfi J. dan Puspitasari, Hesti. Agenda. (Online)
2008. Negara, Civil Society & (http://scholar.harvard.edu/files/gidr
Demokratisasi : Membangun on_bonikowski_populismlitreview_
Gerakan Sosial dan Solidaritas 2013.pdf,diakses 23 Desember
Sosial dalam Merebut Perubahan. 2014)
Malang : In-Trans Publishing. Pontoh, Coen Husain. (2012). Menghindari
Laclau, Ernseto. (2005). On Populist Jebakan Teknokrasi Berwajah
Reason. London–New York : Verso. Populis. (Online)
Mills, C. Wright. 1956. The Power Elite. (http://indoprogress.com/2012/11/m
New York City : Oxford University enghindari-jebakan-teknokrasi-
Press. berwajah-populis/, diakses 23
Samadhi, Willy Purna dan Warouw, Desember 2014)
Nicholas. (2009). Demokrasi di Atas Pribadi, Airlangga. (2013). “Menjernihkan
Pasir. Jakarta-Yogyakarta : PCD Politik Populisme”. Majalah
Press dan Demos. Indonesia 2014. Vol 1, No. 8. 2013.
Stokke, Kristian and Tornquist, Olle. (online). (Available at:
(2013). Democratization in The http://www.indonesia-
Global South, The Improtance of 2014.com/sites/default/files/pdf/ina.
Transfotmative Politics. New York : 2014-08-general-final.pdf, diakses
Palgrave MacMillan. pada hari Rabu, 07 Januari 2015)
Savirani, Amalinda, dkk. & Olle Tornquist
Jurnal/Makalah/Artikel/Laporan dan Kristian Stoke. (2014).
Penelitian Demokrasi
di Indonesia: Antara Patronase dan
Deiwiks, Christa. (2009). Populism.
Populisme, Ringkasan Eksekutif
(Online).
Project Power, Welfare, and
(http://democracy.livingreviews.org/
Democracy, Jogjakarta: Universitas
index.php/lrd/article/viewFile/lrd-
Gadjah Mada & Oslo University.
2009-3/11, diakses 23 Desember
Trijono, Lambang. (2011). Reaktualisasi
2014).
Politik Demokrasi : Politik Agensi
Haryanto. (2009). Elit Politik Lokal dalam
dan Revitalisasi Kelembagaan
Perubahan Sistem Politik. Jurnal
Demokrasi. Jurnal Ilmu Sosial dan
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol.
Ilmu Politik, Volume 15, No. 2,
13, No. 3, November 2009, hal 131-
November 2011, hal 93-110.
148. (Available at :
Yahalah, Ishmael. (2014). Venezuela
http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/
Paska-Chavez : Prospek
index.php/jsp/article/view/70/61)
Kemandirian Perjuangan. (Jurnal
Muhtadi, Burhanudin. (2013). “Populisme;
Kotinum Online)
Madu Atau Racun Bagi
(http://kontinum.org/teks/analisa/ve
Demokrasi?”. Majalah Indonesia
nezuela-paska-chavez-prospek-
2014, No. 3, Vol. 1, 2013. Hal 94
kemandirian-perjuangan/, diakses
(Online). (Available at :
23 Desember 2014)
http://www.indonesia-
2014.com/majalah/1039/4-
pengusaha-1-jenderal-calon- Sumber Berita Eltronik dan Website
presiden, diakses pada hari Rabu, 07 Generasi Pembaharu Politik.
Januari 2015) http://graphics.wsj.com/lists/INDO

JISIPOL | 83
Mustabsyirotul Ummah Mustofa

GEN_INA, diakses 26 Desember


2014.
Wajah Baru Pemimpin Indonesia.
http://indo.wsj.com/posts/2013/10/0
8/wajah-baru-pemimpin-indonesia/,
diakses 26 Desember 2014.

84 | JURNAL ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


Volume 3 No. 1 Januari 2019

Anda mungkin juga menyukai