Pendahuluan
1
Vedi hadiz, https://www.youtube.com/watch?v=9NPS7pRFMv4
2
Noam Gidron dan Bart Konikowski, “Varieties of Populism: Literature Review and Research
Agenda,” Weathead Center For international Affairs 13, no 0004: 5
ideology yang membagi posisi politik dengan menempatkan rakyat kebanyakan dan
elit korup dalam posisi yang saling bertentangan, dan menganggap politik sebagai
ekspresi dari keinginan umum rakyat kebanyakan.3 A thin-centered ideology adalah
sesuatu yang tidak bisa memberikan jawaban terhadap semua pertanyaan sosial
politik mayor, dan karenanya bisa kompatibel dengan yang lain, sistem keyakinan
politik yang dikembangkan lebih luas, sebagaimana liberalisme atau sosialisme.
Karena populisme dianggap sebagai a thin-centered ideology menyebabkan itu dapat
ditemukan dalam berbagai pecahan ideologis, melebur baik di gerakan kiri maupun
kanan: fitur ideologis apa yang melekat pada populisme tergantung pada konteks
sosio-politik di mana aktor politik memobilisasi.
3
Ibid, 6
4
Ibid, 7
disebut empty signifiers, yang dapat digunakan kepada konten yang berubah-ubah –
orang yang ditandai (signified), berdasarkan dengan konteks. Kategorisasi ini
memperjelas maknanya melalui proses identifikasi, yang mana kelompok-kelompok
sosial yang diterangkan sebagai rakyat (kita) diadu dengan orang lain yang menindas
(mereka). Populisme oleh karena itu adalah sebuah diskursus anti status quo yang
merupakan bagian dari perjuangan melawan hegemoni dan kekuasaan.
5
Ibid, 10
6
Ibid, 12
7
Ibid, 14
Karakteristik Tiga Pendekatan Populisme8
Vedi Hadiz melihat bahwa populisme adalah sebuah gejala yang terjadi secara
universal dan kontekstual. Universal berkaitan dengan gelombang pandangan dunia
yang terpengaruh oleh apa yang ia sebut sebagai neoliberalism global time. Hal ini
berkaitan dengan gejala neoliberalisme yang pengaruhnya dominan di negara-negara
dunia, sehingga melahirkan kesenjangan ekonomi yang memicu kemarahan publik.
Kemarahan publik ini bisa berpotensi menjadi populisme jika ada aktor politik yang
8
Ibid,17
memainkan peran memobilisir. Sedangkan kontekstual, menjelaskan bahwa
kebangkitan populisme memiliki kaitan dengan konteks yaitu basis sosial, sehingga
ini yang menjadikan perbedaan corak basis populisme di tiap negara. 9 Di Indonesia
misalnya, secara antropologi politik hanya ada dua ide yang berpotensi menjadi
populis – paling tidak secara historis terbukti, ide nasionalisme dan islamisme. Di
titik inilah populisme islam bangkit sebagai sebuah gerakan politik dengan
mengambil basis sosial keumatan. Agenda-agenda populisme islam pastinya bercorak
keumatan, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat agenda politik praktis di
dalamnya.
10
Sarekat islam dan gerakan kiri di semarang, 225
11
348 Ricklefs
melawan kekuasaan desa yang bersifat monolitis, yang tidak dapat meraka hadapi.12
SI menjadi simbol solidaritas kelompok yang dipersatukan atas semangat perasaan
ketidaksukaan terhadap orang Cina, pejabat-pejabat priyai, mereka yang bukan
anggota SI, dan orang-orang Belanda pastinya. Basis-basis SI di daerah memainkan
peran penting dalam letupan-letupan gerakan, mulai dari aksi boikot pedagang batik
di Surakarta yang memantik sentimen Cina-Indonesia sehingga meluar ke seluruh
Jawa, hingga letupan-letupan tindak kekerasan yang terjadi pada tahun 1913-1914.
Dalam lintasan sejarah populisme islam juga sempat menjadi bahan dalam
upaya melawan arus populisme kiri pada akhir masa kemepimpinan Soekarno. Islam
dihadapkan vis a vis dengan gerakan kiri yang saat itu pengaruhnya besar di basis tani
dan buruh ditambah dengan dukungan kekuasaan yang berada di sisinya. Slogan-
slogan komunisme yang anti tuhan, ateistik, dan beberapa dakwaan di grassroot yang
dalam propagandanya dianggap melakukan blasphemny semakin mempertajam
konflik. Hasil akhirnya adalah penhancuran gerakan kiri pasca 65 yang juga didukung
oleh rezim militer orde baru yang secara tidak langsung memboncengi gerakan islam
untuk merebut kekuasaan.
Pada masa orde baru hubungan rezim dengan gerakan islam pasang-surut. Hal
ini berdampak pada populisme islam yang redup. Di masa awal pemerintahan ini
usaha untuk melakukan penjinakkan terlihat jelas. Upaya penjinakkan ini terjadi
melalui proses deideologisasi yang bersifat struktural dan kultural. Hal pertama yang
disasar secara kultural adalah parpol berbasis islam, terutama eks anggota Masyumi
yang pada masa sebelumnya direpresi oleh rezim. Dibebaskanya beberapa petinggi
Masyumi yang sebelumnya dipenjara memberikan harapan besar akan kebangkitan
Masyumi yang dibubarkan pada masa orde lama. Tetapi harapan itu sirna karena
tetap pada pendirian orde lama yang melarang berdirinya kembali Masyumi,
12
Ibid, 348
kemudian ditambah dengan intervensi rezim dalam Parmusi.13 Kemudian berlanjut
dengan keluarnya UU no 73 tahun 1973 tentang fusi partai.14 Kedua, proyek
deideologisasi islam dalam tataran struktural ditambah dengan penerapan asas
tunggal Pancasila melalui UU no 3 tahun 1985. Hal ini membuat gejolak konflik
internal pada gerakan islam, HMI yang terpecah menjadi HMI Diponegoro dan HMI
MPO dan dibubarkanya PII.15 Proyek deideologisasi memberikan pengaruh yang
signifikan dalam ide populisme islam di Indonesia yang sudah dipupuk dari awal
masa kemerdekaan sejak 7 kata dalam Piagam Jakarta diinisiasi oleh kelompok islam.
Karena dengan berlakunya asas tunggal menandai elektoral perjuangan politik
kelompok islam tumpul.
Berkaitan dengan kemandegan populsime islam di masa orde baru tidak bisa
melewatkan sebuah peristiwa berdarah Tanjung Priok. Peristiwa yang menjadi tragedi
13
Rusli karim, 158
14
Ibid, 173
15
Rusli karim negara,184 dalam skripsi, 41
16
https://historia.id/agama/articles/jilbab-terlarang-di-era-orde-baru-6k4Xn
17
Cyber dakwah sebagai media alternatif
pelanggaran HAM terbesar bagi umat islam di masa orde baru. Tanjung Priok adalah
saksi bagaimana senjata yang dibeli dari uang rakyat dipakai untuk langsung
memberondong rakyat. Kejadian yang bermula dari ditangkapnya empat orang
jama’ah Mushollah Assaadah yang didakwa memantik kerusuhan.18 Kerusuhan ini
dianggap sebagai respon dari tindakan oknum babinsa yang melakukan pencemaran
tempat ibadah dengan masuk ke mesjid menggunakan sepatu dan mencemari tembok
mesjid dengan air comberan dengan maksud mencabut pamflet yang dianggap
subversif. Dalam hal jumlah korban, terjadi perbedaan angka antara pemerintah dan
masyarakat. Pemerintah yang direpresentasikan oleh Panglima ABRI L.B Moerdani
mengatakan jumlah korban meninggal 18 dan korban luka-luka 53 orang, sedangkan
masyarakat melalui Solidaritas untuk Peristiwa Priok (SONTAK) korban meninggal
mencapai 400 orang.19
Pada masa memasuki senja kekuasaan, sikap orde baru mulai melunak
terhadap kelompok islam. Sikap ini ditunjukkan oleh Soeharto dengan
mengakomodasi beberapa tuntutan kelompok islam baik secara struktural, legislatif,
infrastruktural maupun kultural. Secara struktural ditandai dengan banyaknya tokoh-
tokoh islam yang direkrut masuk dalam jajaran birokrasi mulai dari tim ekonomi
Soeharto, Golkar, hingga Bappenas.20 Selain itu, pembentukan ICMI juga turut
menjadi upaya akomodaasi rezim orde baru bagi kelompok islam. Secara legislatif
pemerintahan orde baru menerbitkan beberapa kebijakan yang mengakomodir
kepentingan kelompok islam seperti: Disahkanya Undang-Undang Pendiaikan
Nasional Tahun 1989, yang didalamnya memuat kewajiban pelajaran agama di
sekolah-sekolah; diberlakukanya Undang-Undang Pengadilan Agama tahun 1989 dan
kompilasi hukum islam tahun 1991; diubanhnya peraturan mengenai jilbab tahun
1991; dikeluarkanya keputusan bersama menteri berkaitan dengan BAZIS tahun
1991; dan dihapusnya Sumbangan Dermawan Sosial Berhadian (SDSB) tahun
18
Mereka bilang disini tidak ada tuhan, 4
19
https://tirto.id/mengenang-33-tahun-tragedi-pembantaian-tanjung-priok-cwpi
20
Bachtiar Effendy, 320
1993.21 Akomodasi infrastruktural bisa terlihat dari upaya pemerintahan orde baru
untuk mengalokasikan anggaran 29 milyar bagi pembangunan mesjid pada Repelita
keempat, jumlah mesjid yang pada tahun 1985 berjumlah 507.175 bertambah
menjadi 550.676 pada tahun 1990.22 Kedua, rezim Soeharto berkomitmen secara
finansial melalui Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YAMP), atas permintaan
MUI, dalam program pengiriman 1000 da’i ke daerah transmigran pada awal 1990-
an.23 Ketiga, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengizinkan bahkan
membantu pendirian Bank Muamalat Indonesia, sebuah bank syariah pada tahun
1991.24 Akomodasi kultural sebenarnya adalah proses yang dari masa kemerdekaan
dan saat ini masih terus berjalan, terutama dalam hal linguistik dengan formulasi
idiom-idiom islam dalam peraturan perundang-undangan maupun kebiasaan
assalamualaikum menjadi salam pembuka nasional secara tidak resmi, hal ini bisa
dilihat dari penggunaan salam ini oleh para elit negara.25 Pada masa orde baru
akomodasi kultural yang paling kentara adalah dukungan rezim terhadap event megah
yang dilaksanakan selama sebulan penuh, yaitu Festival Istiqlal pada tahun 1991 dan
1995.26
21
Ibid, 325
22
Ibid, 357
23
Ibid, 358
24
Ibid, 358
25
Ibid, 362
26
Ibid, 362
demokrasi liberal. Tumbuh suburnya gerakan islam baik yang bersifat kelembagaan
maupun kultural memicu sebuah potensi dengan peningkatan yang naik tajam dalam
eskalasi islam politik. Dalam bentuk yang paling kontemporer saat ini, islam politik
di Indonesia ditandai dengan populisme islam yang menguat. Fenomena menguatnya
populisme islam di Indonesia pasca reformasi bisa dilihat dari mobilisasi kelompok
islam dalam aksi bela islam yang tidak hanya sekali terjadi. Dengan jumlah massa
yang besar, dan boleh dibilang menjadi pemobilisiran massa terbesar selain unjukrasa
menuntut turunya rezim Soeharto pada masa reformasi 98.