PENDAHULUAN
Fanatisme dan ekstrimisme adalah dua istilah yang dalam ingatan publik
ketika fanatisme dan ekstrimisme menjadi salah satu tema yang ramai
itu, media massa seolah tak ada habisnya membahas dan membicarakan problem
ekstrimisme dan bagaimana upaya penanganannya. Banyak pula tokoh dan pakar
fanatisme sebagai cermin dari irasionalitas dan intoleransi dan pada tahap tertentu
Arizona, barangkali satu dari sedikit figur yang keberatan dengan anggapan
dominan di atas. Dari pada ikut arus, Olson justru mengkritisi pandangan umum
kerangka tradisi peyoratif, tak lebih dari bentuk pathologi psikologis atau problem
moral individual (Olson, 2007:686). Dengan kata lain, tradisi peyoratif yang
memiliki akar hingga jauh ke era Yunani Kuno ini memandang fanatisme sebagai
sebuah kategori yang berada di luar arena politik. Tradisi ini juga mengasumsikan
1
mengancam proses demokratisasi. Akibatnya tradisi peyoratif pun gagal
Persis pada pandangan pre politikal inilah, menurut Olson, letak kelemahan
fanatisme sebagai sebuah kategori aktivitas politik. Bagi Olson fanatisme adalah
aktivitas politik yang didorong oleh semangat pengabdian pada sebuah tujuan
tertentu, yang membuat batas tegas anatara kawan lawan untuk memobilisasi
kawan dan golongan moderat dalam rangka meraih tujuan tersebut (Olson,
2007:688).
Pada konteks pemikiran politik lebih luas Olson melalui ide politiknya
tokoh seperti Carl Schmitt, pemikir Jerman yang dikenal sangat kontroversial
lantaran afiliasinya dengan partai Nazi atau pemikir kelahiran Belgia, Chantal
Mouffe. Inti dari gagasan politik Olson, Schmitt dan Mouffe terletak pada ide
bahwa konflik merupakan watak dasar politik. Harmoni bukanlah mimik tepat
untuk melukiskan wajah politik. Justru politik merupakan altar yang tetal dan
2
Pemikiran politik antagonisme diklaim sebagai sebuah konsepsi politik
yang bukan saja berbeda tetapi juga melawan pemikiran politik liberal yang
dan identitas. (Honig dalam Olson 2009:87). Salah satu ide yang paling subur dan
berkembang dari model pemikiran di atas adalah teori yang sering diasosiasikan
bahwa tidak ada subjek yang paling banyak diperbincangkan dalam teori politik
selama dua dekade belakangan kecuali demokrasi delibratif (2004:VII). Teori ini
menekankan bahwa, seperti ditulis William Rehg, partisipasi warga dalam proses
interaksi dimana para warga memberikan argumen yang lebih baik dan mencakup
diskursus rasional. Dengan bahasa berbeda, semua warga secara potensial adalah
kawan.
magnet tersendiri bagi penelitian yang akan dilakukan penulis. Dengan kata lain,
penelitian ini didorong sikap afirmatif penulis terhadap kebutuhan adanya sebuah
3
mengutamakan nilai-nilai konsensus yang pada kondisi tertentu berubah menjadi
politik Joel Olson dari kaca mata teori politik post-marxisme Laclau dan Mouffe.
Teori post-marxist muncul sebagai reaksi intelektual atas kondisi krisis marxisme
teori politik ras Olson, dengan kata lain berkenaan dengan metode atau
watak dasar dari politik. Tujuan pokok penelitian ini adalah untuk menemukan
posisi intelektual dan pemikiran politik Joel Olson dalam konteks teori politik
1. Rumusan Masalah
3. Bagaimana teori politik ras Joel Olson dari sudut pandang teori post-
4
2. Keaslian Penelitian
3. Manfaat Penelitian
B. Tujuan Penelitian
5
2. Deskripsi konseptual teori politik post-marxisme Laclau dan
Mouffe.
C. Tinjauan Pustaka
Istilah fanatisme atau fanatik berasal dari kata Latin fanum, yang berarti
tempat suci (tample, holy place). Cicero (106-43 BC) menggunakan kata fanaticus
sebagai sinonim dari takhayul (supertitious) (Colas, 1997). Meski telah dipakai di
era sebelum masehi, fanatisme baru menjadi term penting pada abad 16-17.
Diskursus fanatisme muncul dari perdebatan ideologi, teologi dan politik yang
Jerman. Terinspirasi oleh ajaran dan khotbah Thomas Muntzer, gerakan tersebut
6
(Toscano, 2006). Dengan kata lain, pada periode awal kemunculan diskursus
dalam buku Civil Society and Fanaticism; Conjoined Histories, karya Dominique
tilikan sejarah konsep civil society dan fanatisme hingga periode awal ketegangan
Menurut Colas, sejak era itu, ―civil society‖ dan fanatisme telah saling
menjadi sangat penting dalam rangka memperoleh pengertian kedua term secara
tepat dan relevan. Colas juga mengklaim bahwa hubungan antara fanatisme dan
civil society tersebut akan menjelaskan pertanyaan besar dalam politik (Colas,
1997: XV), sehingga bagi Colas, penjelasan tentang labelisasi fanatisme dan
semua definisi dari bentuknya yang spesifik mesti diletakkan pada jantung
konsepsi politik modern. Meski fanatisme adalah isu kuno, namun fanatisme
dapat dijumpai pada inti dari bentuk politik kekinian (Colas, 1997:6). Di sini,
terhadap bentuk reprentasi. Adapun, rupa paling elementer dari penolakan tersebut
adalah Ikonoklasme dalam arti harfiah; kebencian dan penghancuran ikon dan
gerakan anti-simbolisasi, seperti lukisan atau patung, dalam tradisi gereja katolik.
7
Gerakan ini muncul sebagai reaksi dari reformasi protestan. Penolakan terhadap
sebagai ancaman bagi iman dan representasi sebagai polusi bagi otentisitas
mencemari relik, menentang segala sesuatu yang tabu dan mengutuk tuhan orang
Selain itu, buku yang ditulis di bawah kerangka argumen politik yang
perubahan atau peralihan makna dan maksud fanatisme. Salah satu perubahan
pemberontakan petani (Peasant War) identik dengan umpatan dan cacian pada
periode Reformasi, justru mendapat pujian di era setelah 300 tahun peristiwa itu
Peralihan dan mutasi arti fanatisme menjadi sangat peting dipahami guna
menghidari karakter bias yang selama ini melekat pada istilah fanatisme
dua karya Toscano yang berkaitan dengan tema fanatisme. Pertama, esai pendek
yang dimuat dalam jurnal Reset tahun 2006 berjudul ―Fanaticism: A Brief History
8
Tulisan pertama, seperti yang nampak dari judul, memuat uraian singkat
mampu menguak banyak sisi dari fenomena fanatisme sekaligus memulai kritik
wacana fanatisme, termasuk psikologi politik, problem universal dan citra islam
menerus dari pathologi partisan, kedua, mereka yang melihat gairah abstrak yang
tanpa syarat dan pantang menyerah sebagai sesuatu yang instrinsik pada
Karya kedua Toscano tentang fanatisme yang terbit tahun 2010 sebenarnya
lebih merupakan penegasan dan penajaman dari tulisan sebelumnya. Buku ini,
seperti yang sampaikan Toscano dalam sebuah wawancara oleh majalah Shift,
memang tidak menguraikan sebuah teori fanatisme yang utuh tetapi sebuah
analisa kritis periode dalam sejarah intelektual dan politik dimana fanatisme
9
fanatisme memperlihatkan, secara sistematis, sebuah istilah yang ambivalen atau
bekerja. Penolakan semacam itu acap kali menyisihkan –dengan menuduh secara
orisinal (Pavlov, 2011:556). Toscano mengatakan, sejauh akal sehat politik kita
antara fanatisme dan civil society, sementara Toscano mencoba menyelami kerja-
paralel dengan arus pemikiran sekuler barat, pada fase tertentu sampai pada tahap
di mana fanatisme sangat erat dengan agama. Voltaire adalah salah satu tokoh
Dalam kondisi semacam ini, hanya akal budi yang dapat menjadi obat penawar,
sebaliknya, agama justru menjadi racun bagi pikiran (Voltaire dalam Cavanaugh,
10
2011: 233). Menurut Cavanaugh, migrasi konsep fanatisme, sejak era awalnya
yaitu abad ke 16, dilatarbelakangi oleh satu semangat yang sama yakni secara
sekedar proyek filsafat dan teologi tetapi proyek politik (Cavanaugh, 2011: 234).
dari sisi pendekatan historis, sejak awal abad ke 16, fanatisme telah menjadi tema
penting dalam tradisi pemikiran politik di Barat dan, seperti dikatakan Colas,
menggambarkan kengerian yang terjadi dewasa ini, terutama sekali yang sering
diikuti oleh sebuah refleksi memadai tentang genealogi dan penggunaan term
penyebab istilah fanatisme dipakai secara arbitrer dan hipokrit. Persis, pada
Olson – yang akan menjadi subjek dari penelitian ini— hadir sebagai langkah
D. Landasan Teori
teoritikal yang memuat teori-teori tertentu yang dipilih penulis guna membantu
11
memecahkan, secara filosofis, problem-problem yang telah disinggung dalam
gagasan politik Joel Olson sebagai objek kajian. Teori tersebut akan didiskusikan
dalam konteks perdebatan tentang hakikat politik. Perbincangan isu ini membagi
teori politik ke dalam dua corak pemikiran. Corak pertama adalah pandangan
yang mempercayai doktrin bahwa konflik merupakan inti politik yang tak bisa
dihindari. Sementara di pihak lain adalah pemikiran yang menolak konflik dalam
Pembahasan yang muncul dari hampir semua karya Mouffe fokus pada persoalan
politik yang terjadi dalam ketegangan tersebut. Menurut kategorisasi semacam ini,
Joel Olson, termasuk Mouffe sendiri, merupakan intelektual yang sepakat dengan
figur yang mewakili pola pikir kedua seperti John Rawls dan Jurgen Habermas.
politik kontemporer. Secara umum inti dari paradigma liberal ada dua macam,
kepentingannya dan bertindak dalam ranah politik melalui cara-cara yang bersifat
12
instrumentalis. Ide ini dipinjam dari konsep ekonomi. Sementara, paradigma
liberal yang lain adalah deliberatif. Paradigma ini muncul dan berkembang
politik radikal Olson dari sudut pandang tradisi pemikiran politik post-marxisme,
terutama yang dikembangkan oleh Laclau dan Mouffe. Menurut Laclau dan
2001:IX). Pada konteks ini, analisa politik post-marxist fokus pada transformasi
konsep hegemoni yang merupakan wajah diskursif dan titik nodal fundamental
dari teori politik marxisme. Inti kesimpulan analisa Laclau dan Mouffe adalah:
Analisa politik Laclau dan Mouffe berangkat dari teori hegemoni Gramsci
namun Laclau dan Mouffe memiliki perbedaan dengan Gramsci. Di satu pihak,
Laclau dan Mouffe mendasarkan analisa politiknya pada apa yang belakangan
dikenal dengan teori diskursus. Menurut Torfing, secara sederhana, teori diskursus
13
Laclau dan Mouffe memuat pokok-pokok pemikiran sebagai berikut: pertama,
semua bentuk praktik sosial berlangsung dalam latar belakang diskursus spesifik,
di mana secara luas dapat didefinisikan sebagai sistem relasi penandaan. Pada
level abstrak, diskursus dapat diartikan sebagai relasi ensemble dari serangkaian
penandaan, yang menenun secara bersamaan aspek semantik dari bahasa dan
politik dan moral intelektual melalui artikulasi makna dan identitas. Argumentasi
ini menegaskan bahwa diskursus merupakan hasil dari praktik politik. Ketiga,
diskursif untuk meraih tenunan final. Keempat, diskursus hegemonik yang stabil
subjek selalu muncul sebagai subjek yang tak utuh atau ―the split subject‖ yang
14
E. Metodologi Penelitian
bahan kajian. Naskah yang hendak digunakan akan dipilih dan dipilah
menjadi dua bagian: pustaka primer dan pustaka sekunder. Pustaka primer
adalah buku, hasil penelitian, jurnal, atau artikel, yang memiliki otoritas,
terkait objek material. Telaah ide politik radikal Olson akan merujuk
beberapa karyanya terkait demokrasi dan fanatisme, antara lain buku yang
dan beberapa tulisan Olson yang berserakan di berbagai jurnal seperti ―The
menggunakan karya utama yang ditulis bersama oleh Laclau dan Mouffe,
jurnal, atau artikel, sebagai rujukan kedua setelah pustaka primer, yang
istilah kunci dalam pustaka primer. Penelitian ini juga akan menggunakan
sumber kepustakaan lain yang sifatnya lebih umum seperti buku pengantar
15
dan sumber lain, sejauh membantu memberi pemahaman lebih baik
2. Jalan Penelitian
kemudian disintesiskan;
3. Analisa Data
khusus pengertian teori politik radikal Joel Olson dan teori politik
Olson di satu pihak dan Laclau dan Mouffe di pihak lain dalam
16
radikal Olson dan post-marxist Laclau dan Mouffe, maupun
politik yang ditinjau dari politik post marxist Laclau dan Mouffe.
F. Sistematika Penulisan
hendak dijawab, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,
Bab II akan menjelaskan kerangka teori pemikiran politik Joel Olson yang
pandangan Olson tentang teori politik ekstrimisme. Pada tema yang disebut
menjelaskan tawaran Olson mengenai demokrasi ekstrimis. Pada bab ini penulis
sini, teori politik post-marxisme Laclau dan Mouffe berusaha dipaparkan. Pertama
17
Selanjutnya, penulis akan memaparkan tentang teori diskursus yang menjadi basis
teoritikal dari politik postmarxisme. Sebagai inti dari bab ini, penulis akan
menggunakan teori politik post-marxisme sebagai titik pijak. Pada bagian pertama
bab ini, penulis akan mendiskusikan teori politik ras Olson, terutama berkaitan
analisa diskursus Laclau dan Mouffe. Pada bagian selanjutnya penulis berusaha
definisi politik Laclau dan Mouffe. Penulis akan mengakhiri bab ini dengan
Bab V berisi kesimpulan yang meringkas hasil penelitian dan saran untuk
penelitian berikutnya
18