Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fanatisme dan ekstrimisme adalah dua istilah yang dalam ingatan publik

masyarakat terlanjur memiliki konotasi negatif. Keduanya lekat dengan kondisi

ketidaknormalan, penyimpangan dan kelainan yang mengerikan. Tak terkecuali

ketika fanatisme dan ekstrimisme menjadi salah satu tema yang ramai

diperbincangkan publik pasca peristiwa mengerikan ―11 September‖ 2001. Kala

itu, media massa seolah tak ada habisnya membahas dan membicarakan problem

ekstrimisme dan bagaimana upaya penanganannya. Banyak pula tokoh dan pakar

terlibat dalam perdebatan tersebut. Beragam pandangan pun bermunculan.

Sebagian besar intelektual dan literatur populer mengidentifikasi ekstrimisme dan

fanatisme sebagai cermin dari irasionalitas dan intoleransi dan pada tahap tertentu

dianggap berlawanan dengan demokrasi.

Joel Olson, seorang profesor bidang teori politik di Universitas Northern

Arizona, barangkali satu dari sedikit figur yang keberatan dengan anggapan

dominan di atas. Dari pada ikut arus, Olson justru mengkritisi pandangan umum

yang disebutnya dengan istilah ―tradisi peyoratif fanatisme‖. Fanatisme, dalam

kerangka tradisi peyoratif, tak lebih dari bentuk pathologi psikologis atau problem

moral individual (Olson, 2007:686). Dengan kata lain, tradisi peyoratif yang

memiliki akar hingga jauh ke era Yunani Kuno ini memandang fanatisme sebagai

sebuah kategori yang berada di luar arena politik. Tradisi ini juga mengasumsikan

bahwa fanatisme merupakan ideologi anti demokrasi sehingga eksistensinya

1
mengancam proses demokratisasi. Akibatnya tradisi peyoratif pun gagal

menemukan potensi politik dari fanatisme dan ekstrimisme (Olson, 2007:688).

Persis pada pandangan pre politikal inilah, menurut Olson, letak kelemahan

mendasar tradisi peyoratif.

Bertolak dari ketidakcukupan cara pandang tradisi peyoratif, Olson

memikirkan ulang fenomena ekstrimisme dan fanatisme. Terinspirasi gagasan dan

pemikiran gerakan abolisionis radikal Amerika abad 19 Garrisonian, Olson

berusaha merumuskan teori politik fanatisme, sebuah teori yang memahami

fanatisme sebagai sebuah kategori aktivitas politik. Bagi Olson fanatisme adalah

the unconventional, extraordinary political mobilization of the refusal to

compromise. Secara lebih lengkap Olson mendefinisikan fanatisme sebagai

aktivitas politik yang didorong oleh semangat pengabdian pada sebuah tujuan

tertentu, yang membuat batas tegas anatara kawan lawan untuk memobilisasi

kawan dan golongan moderat dalam rangka meraih tujuan tersebut (Olson,

2007:688).

Pada konteks pemikiran politik lebih luas Olson melalui ide politiknya

tengah menggemakan kembali pemikiran politik yang dikemukakan oleh tokoh-

tokoh seperti Carl Schmitt, pemikir Jerman yang dikenal sangat kontroversial

lantaran afiliasinya dengan partai Nazi atau pemikir kelahiran Belgia, Chantal

Mouffe. Inti dari gagasan politik Olson, Schmitt dan Mouffe terletak pada ide

bahwa konflik merupakan watak dasar politik. Harmoni bukanlah mimik tepat

untuk melukiskan wajah politik. Justru politik merupakan altar yang tetal dan

pejal dengan gesekan antara pihak-pihak yang saling bersitegang.

2
Pemikiran politik antagonisme diklaim sebagai sebuah konsepsi politik

yang bukan saja berbeda tetapi juga melawan pemikiran politik liberal yang

dominan. Teori kontemporer liberal, komunitarian dan demokrasi deliberatif

cenderung menolak konflik sebagai central politik. Sebaliknya, teori-teori tersebut

mengkontruksi gagasan politik sebagai stabilisasi moral dan subjek politik,

pembentukan konsensus, pemeliharaan kesepakatan dan konsolidasi komunitas

dan identitas. (Honig dalam Olson 2009:87). Salah satu ide yang paling subur dan

berkembang dari model pemikiran di atas adalah teori yang sering diasosiasikan

dengan istilah demokrasi deliberatif. Gutmann dan Thompson menyebutkan

bahwa tidak ada subjek yang paling banyak diperbincangkan dalam teori politik

selama dua dekade belakangan kecuali demokrasi delibratif (2004:VII). Teori ini

menekankan bahwa, seperti ditulis William Rehg, partisipasi warga dalam proses

demokrasi memiliki karakter rasional melalui proses pembentukan opini dan

interaksi dimana para warga memberikan argumen yang lebih baik dan mencakup

kepentingan lebih umum (Rehg dalam Habermas 1996:IX). Secara fundamental,

politik liberal mengasumsikan adanya resolusi perbedaan diantara warga melalui

diskursus rasional. Dengan bahasa berbeda, semua warga secara potensial adalah

kawan.

Kehadiran gagasan-gagasan Olson di tengah dominasi teori politik

kontemporer yang cenderung memahami politik sebagai konsensus menjadi

magnet tersendiri bagi penelitian yang akan dilakukan penulis. Dengan kata lain,

penelitian ini didorong sikap afirmatif penulis terhadap kebutuhan adanya sebuah

perspektif penyeimbang di tengah dominasi teori-teori demokrasi yang

3
mengutamakan nilai-nilai konsensus yang pada kondisi tertentu berubah menjadi

kompromi. Penelitian ini berusaha untuk menelaah pokok-pokok pemikiran

politik Joel Olson dari kaca mata teori politik post-marxisme Laclau dan Mouffe.

Teori post-marxist muncul sebagai reaksi intelektual atas kondisi krisis marxisme

ortodoks. Post-marxist menawarkan konsep hegemoni sebagai kategori baru

dalam merespon hambatan-hambatan yang dialami oleh marxisme dan sebagai

usaha untuk menghidupkan kembali warisan marxisme dalam konteks masyarakat

kontemporer (Laclau, 2000:294). Penelitian ini fokus pada; pertama rumusan

teori politik ras Olson, dengan kata lain berkenaan dengan metode atau

pendekatan yang digunakan Olson dalam menganalisa fenomena rasisme yang

berlangsung di Amerika dan kedua pemahaman Olson mengenai hakikat atau

watak dasar dari politik. Tujuan pokok penelitian ini adalah untuk menemukan

posisi intelektual dan pemikiran politik Joel Olson dalam konteks teori politik

post-marxisme Laclau dan Mouffe.

1. Rumusan Masalah

Mengacu pada pemaparan latar belakang di atas, penelitian ini

akan dipandu rumusan masalah, sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep politik radikal menurut Joel Olson?

2. Bagaimana teori politik post-marxisme menurut Laclau dan Mouffe?

3. Bagaimana teori politik ras Joel Olson dari sudut pandang teori post-

marxist Laclau dan Mouffe?

4. Apakah hakikat politik menurut Joel Olson dalam perspektif teori

politik post-marxisme Laclau dan Mouffe?

4
2. Keaslian Penelitian

Telaah pemikiran politik Joel Olson belum pernah dilakukan atau

sekurang-kurangnya, berdasarkan penelusuran di beberapa fakultas di

Universitas Gadjah Mada dan pencarian melalui media darling, penulis

belum menemukan kajian tersebut.

3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, yakni:

a. Bagi ilmu pengetahuan: turut berkontribusi terhadap penkayaan

khazanah intelektual dan perkembangan ilmu pengetahuan di

Indonesia terutama dalam bidang kajian ilmu politk.

b. Bagi studi filsafat: memberikan perspektif penyeimbang bagi teori-

teori filsafat politik kontemporer demokrasi yang didominasi

pandangan dan perspektif teori politik liberal.

c. Bagi kehidupan sosial-masyarakat: Menyediakan pilihan atau

referensi alternatif dalam rangka melakukan transformasi

kehidupan berbangsa dan bernegara menuju masyarakat

demokratis yang lebih substantif.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang

menjadi rumusan masalah di atas, sehingga memeroleh uraian utuh tentang

beberapa hal berikut:

1. Penjelasan struktur dan bentuk konsep politik radikal Olson

5
2. Deskripsi konseptual teori politik post-marxisme Laclau dan

Mouffe.

3. Analisis dan penjelasan teori post-marxist Laclau dan Mouffe

tentang teori politik ras Olson.

4. Analisis, pemahaman, dan penjelasan hakikat politik menurut

pandangan Joel Olson dari perspektif teori politik post-marxisme

Laclau dan Mouffe.

C. Tinjauan Pustaka

Istilah fanatisme atau fanatik berasal dari kata Latin fanum, yang berarti

tempat suci (tample, holy place). Cicero (106-43 BC) menggunakan kata fanaticus

sebagai sinonim dari takhayul (supertitious) (Colas, 1997). Meski telah dipakai di

era sebelum masehi, fanatisme baru menjadi term penting pada abad 16-17.

Diskursus fanatisme muncul dari perdebatan ideologi, teologi dan politik yang

menyertai gelombang Reformasi. Tepatnya, polemik antara Luther, pendiri

Protestanisme, dengan pergerakan pemberontakan petani melawan bangsawan

Jerman. Terinspirasi oleh ajaran dan khotbah Thomas Muntzer, gerakan tersebut

menolak otoritas kerajaan dan gereja. Luther menggunaan istilah Schwärmer –

dari kata Schwärmerei atau entusiasme yang sering dialihbahasakan menjadi

fanatisme – untuk mengutuk dan mencela para pemberontak lantaran melawan

tatanan sosial yang ada. Sementara, mengikuti komentar-komentar Philip

Melanchthon, teman sekaligus pengikut setia Luther, terhadap karya Aristoteles,

Politics, fanatik berarti usaha untuk mengeliminasi otoritas ―civil society‖.

6
(Toscano, 2006). Dengan kata lain, pada periode awal kemunculan diskursus

fanatisme, istilah ini sering dilawankan dengan gagasan ―civil society”.

Kajian mengenai oposisi fanatisme dan ―civil society‖ dapat dijumpai

dalam buku Civil Society and Fanaticism; Conjoined Histories, karya Dominique

Colas, profesor politik di Paris Institute of Political Studies. Colas melakukan

tilikan sejarah konsep civil society dan fanatisme hingga periode awal ketegangan

keduanya dimulai; yakni era humanisme pencerahan dan Reformasi Protestan.

Menurut Colas, sejak era itu, ―civil society‖ dan fanatisme telah saling

mendefinisikan satu sama lain, sehingga memahami relasi antara keduanya

menjadi sangat penting dalam rangka memperoleh pengertian kedua term secara

tepat dan relevan. Colas juga mengklaim bahwa hubungan antara fanatisme dan

civil society tersebut akan menjelaskan pertanyaan besar dalam politik (Colas,

1997: XV), sehingga bagi Colas, penjelasan tentang labelisasi fanatisme dan

semua definisi dari bentuknya yang spesifik mesti diletakkan pada jantung

konsepsi politik modern. Meski fanatisme adalah isu kuno, namun fanatisme

dapat dijumpai pada inti dari bentuk politik kekinian (Colas, 1997:6). Di sini,

Colas mempertimbangkan fanatisme sebagai fenomena dan tema penting politik.

Penelusuran Colas terhadap sejarah fanatisme dan konteks intelektual yang

menyertai menemukan adanya keajekan dari semua definisi fanatisme: penolakan

terhadap bentuk reprentasi. Adapun, rupa paling elementer dari penolakan tersebut

adalah Ikonoklasme dalam arti harfiah; kebencian dan penghancuran ikon dan

gambar-gambar (Colas, 1997: XVI). Ikonoklasme sendiri merupakan sebutan bagi

gerakan anti-simbolisasi, seperti lukisan atau patung, dalam tradisi gereja katolik.

7
Gerakan ini muncul sebagai reaksi dari reformasi protestan. Penolakan terhadap

simbolisasi diekspresikan melalui penyerangan dan penghancuran simbol-simbol

yang ada di dalam gereja katolik. Pengikut ikonoklasme melihat simbolisasi

sebagai ancaman bagi iman dan representasi sebagai polusi bagi otentisitas

keilahian. Fanatisme, bagi Colas, berpagutan erat dengan ancaman terhadap

sakralitas (sacrilegious). Fanatik adalah profanasi: menyerang tempat suci,

mencemari relik, menentang segala sesuatu yang tabu dan mengutuk tuhan orang

lain (Colas, 1997:5).

Selain itu, buku yang ditulis di bawah kerangka argumen politik yang

mendukung eksistensi masyarakat liberal ini memuat, secara cukup detail,

perubahan atau peralihan makna dan maksud fanatisme. Salah satu perubahan

menarik yang dijelaskan Colas adalah saat fanatisme pengikut gerakan

pemberontakan petani (Peasant War) identik dengan umpatan dan cacian pada

periode Reformasi, justru mendapat pujian di era setelah 300 tahun peristiwa itu

meletus. Friedrich Engels menyebut fanatisme pemberontakan petani 1625

sebagai nenek moyang dari komunisme proletariat modern (Colas, 1997:XX).

Peralihan dan mutasi arti fanatisme menjadi sangat peting dipahami guna

menghidari karakter bias yang selama ini melekat pada istilah fanatisme

Upaya serupa –telaah fanatisme dari aspek historis—juga dilakukan oleh

sosiolog dari University of London, Alberto Toscano. Sekurang-kurangnya, ada

dua karya Toscano yang berkaitan dengan tema fanatisme. Pertama, esai pendek

yang dimuat dalam jurnal Reset tahun 2006 berjudul ―Fanaticism: A Brief History

of the Concept‖, kedua adalah buku Fanaticism: on the Uses of an Idea.

8
Tulisan pertama, seperti yang nampak dari judul, memuat uraian singkat

tentang sejarah fanatisme dari Luther sampai sekarang dalam kerangka

pendekatan filsafat. Menurut Toscano, pendekataan filosofi sejarah fanatisme

mampu menguak banyak sisi dari fenomena fanatisme sekaligus memulai kritik

terhadap fungsi retoris dan analitik (Toscano,2006). Dalam tulisan tersebut,

Toscano menilik momen-momen penting dalam sejarah polemik konsep

fanatisme, saat-saat yang memungkinkan untuk mengenali kegigihan motif dalam

wacana fanatisme, termasuk psikologi politik, problem universal dan citra islam

(Toscano,2006). Secara filosofis, respon terhadap fanatisme dapat

dikategorisasikan ke dalam dua golongan umum yakni; pertama, para pemikir

yang menganggap fanatisme berada di luar rasionalitas, sebuah ancaman terus-

menerus dari pathologi partisan, kedua, mereka yang melihat gairah abstrak yang

tanpa syarat dan pantang menyerah sebagai sesuatu yang instrinsik pada

universalisasi rasionalitas dan emansipasi politik (Toscano, 2010:XVIII).

Singkatnya, di satu pihak, pemikiran filsafat melihat fanatisme sebagai sesuatu

yang berada di luar rasio sedangkan di lain pihak justru mempertimbangkan

fanatisme melekat dalam rasio.

Karya kedua Toscano tentang fanatisme yang terbit tahun 2010 sebenarnya

lebih merupakan penegasan dan penajaman dari tulisan sebelumnya. Buku ini,

seperti yang sampaikan Toscano dalam sebuah wawancara oleh majalah Shift,

memang tidak menguraikan sebuah teori fanatisme yang utuh tetapi sebuah

analisa kritis periode dalam sejarah intelektual dan politik dimana fanatisme

memainkan peran penting. Menurut pandangan Toscano, sejarah konseptual

9
fanatisme memperlihatkan, secara sistematis, sebuah istilah yang ambivalen atau

bahkan paradoks yang dikerahkan untuk menentang universalisme berlebihan dan

keteguhan partikularisme (Toscano, 2011:10). Toscano pun mencoba masuk pada

ruang-ruang ambivalensi semacam itu secara lebih dalam dan berusaha

mengungkap bagaimana kerangka ideologis penolakan terhadap fanatisme

bekerja. Penolakan semacam itu acap kali menyisihkan –dengan menuduh secara

brutal sebagai irasionalitas keyakinan buta— upaya politik emansipatoris yang

orisinal (Pavlov, 2011:556). Toscano mengatakan, sejauh akal sehat politik kita

dibentuk oleh berbagai polemik melawan fanatisme, tiap usaha untuk

menghidupkan kembali politik emansipatoris radikal harus menghadapi sejarah

fanatisme dan penggunaannya yang ajeg (Toscano, 2011:10). Toscano, berbeda

dengan Colas, menelaah fanatisme di bawah nada positif.

Pandangan lain tentang fanatisme dapat dibaca dari tulisan William T.

Cavanaugh berjudul ―The Invention of Fanaticism‖. Jika Colas mengkaji relasi

antara fanatisme dan civil society, sementara Toscano mencoba menyelami kerja-

kerja ideologis di balik penolakan terhadap fanatisme, Cavanaugh fokus pada

pertautan fanatisme dengan agama. Peralihan konsep fanatisme yang berjalan

paralel dengan arus pemikiran sekuler barat, pada fase tertentu sampai pada tahap

di mana fanatisme sangat erat dengan agama. Voltaire adalah salah satu tokoh

penting yang turut berkontribusi pada tren tersebut. Voltaire mendefinisikan

fanatisme sebagai takhayul (superstition) dan merupakan semangat dari kegilaan.

Dalam kondisi semacam ini, hanya akal budi yang dapat menjadi obat penawar,

sebaliknya, agama justru menjadi racun bagi pikiran (Voltaire dalam Cavanaugh,

10
2011: 233). Menurut Cavanaugh, migrasi konsep fanatisme, sejak era awalnya

yaitu abad ke 16, dilatarbelakangi oleh satu semangat yang sama yakni secara

konsisten fanatisme digunakan untuk menjustifikasi otoritas kekuasaan sipil.

Cavanaugh menunjukan bahwa penemuan ―agama‖ dan ―fanatisme agama‖ bukan

sekedar proyek filsafat dan teologi tetapi proyek politik (Cavanaugh, 2011: 234).

Berdasarkan pemaparan di atas, kiranya dapat diambil satu ikhtisar bahwa

dari sisi pendekatan historis, sejak awal abad ke 16, fanatisme telah menjadi tema

penting dalam tradisi pemikiran politik di Barat dan, seperti dikatakan Colas,

diskursus fanatisme diletakkan tepat di jantung konsepsi politik modern. Sayang,

ketika wacana fanatisme memasuki perdebatan ideologi kekinian, konsep

fanatisme cenderung ditelaah sebagai fenomena kultural dan psikologi ketimbang

politik. Lebih memprihatinkan lagi, maraknya penggunaan istilah fanatisme untuk

menggambarkan kengerian yang terjadi dewasa ini, terutama sekali yang sering

dikaitkan dengan fenomena terorisme dan fundamentalisme agama-politik, jarang

diikuti oleh sebuah refleksi memadai tentang genealogi dan penggunaan term

tersebut. Pemahaman ahistoris semacam itulah, menurut Toscano, menjadi

penyebab istilah fanatisme dipakai secara arbitrer dan hipokrit. Persis, pada

konteks kegalauan yang dimunculkan Toscano inilah, gagasan fanatisme Joel

Olson – yang akan menjadi subjek dari penelitian ini— hadir sebagai langkah

awal guna memikirkan ulang fanatisme dalam kerangka pemikiran politik.

D. Landasan Teori

Sudah lazim dalam penelitian semacam ini untuk menguraikan pendasaran

teoritikal yang memuat teori-teori tertentu yang dipilih penulis guna membantu

11
memecahkan, secara filosofis, problem-problem yang telah disinggung dalam

rumusan masalah. Seperti telah disinggung di awal, penulis mengambil gagasan-

gagasan politik Joel Olson sebagai objek kajian. Teori tersebut akan didiskusikan

dalam konteks perdebatan tentang hakikat politik. Perbincangan isu ini membagi

teori politik ke dalam dua corak pemikiran. Corak pertama adalah pandangan

yang mempercayai doktrin bahwa konflik merupakan inti politik yang tak bisa

dihindari. Sementara di pihak lain adalah pemikiran yang menolak konflik dalam

politik dan meyakini kemampuan konsensus universal berbasis pada rasio.

Kerangka pikir di atas penulis ambil dari pemikiran Chantal Mouffe.

Pembahasan yang muncul dari hampir semua karya Mouffe fokus pada persoalan

politik yang terjadi dalam ketegangan tersebut. Menurut kategorisasi semacam ini,

Joel Olson, termasuk Mouffe sendiri, merupakan intelektual yang sepakat dengan

pemahaman politik yang ditawarkan perspektif pertama. Semantara, beberapa

figur yang mewakili pola pikir kedua seperti John Rawls dan Jurgen Habermas.

Menurut Mouffe, kelompok yang disebut terakhir mewakili pemikiran-

pemikiran liberal yang menekankan pendekatan individualis dan rasionalis.

Paham individual semacam inilah yang belakangan mendominasi teori-teori

politik kontemporer. Secara umum inti dari paradigma liberal ada dua macam,

pertama adalah yang biasa disebut paradigma agregatif. Paradigma ini

mempertimbangkan politik sebagai pembentukan kompromi diantara kekuatan-

kekuatan berbeda dalam sebuah komunitas masyarakat yang saling berkompetisi.

Individu digambarkan sebagai makhluk rasional yang cenderung memaksimalkan

kepentingannya dan bertindak dalam ranah politik melalui cara-cara yang bersifat

12
instrumentalis. Ide ini dipinjam dari konsep ekonomi. Sementara, paradigma

liberal yang lain adalah deliberatif. Paradigma ini muncul dan berkembang

sebagai reaksi melawan model instrumentalis dengan cara menarik demarkasi

antara moralitas dan politik. Paradigma deliberatif hendak menggantikan rasio

instrumental dengan rasio komunikatif. (Mouffe, 2005:12-13).

Berpijak pada pemetaan di atas, penelitian ini akan mengkaji konsepsi

politik radikal Olson dari sudut pandang tradisi pemikiran politik post-marxisme,

terutama yang dikembangkan oleh Laclau dan Mouffe. Menurut Laclau dan

Mouffe, yang mengakui atau sekurang-kurangnya tidak menolak label sebagai

teoritikus post-marxisme, teori post-marxist merujuk pada pembacaan ulang teori

marxisme dalam konteks problem masyarakat kontemporer dengan melibatkan

dekonstruksi kategori-kategori sentral teori tersebut (Laclau dan Mouffe,

2001:IX). Pada konteks ini, analisa politik post-marxist fokus pada transformasi

konsep hegemoni yang merupakan wajah diskursif dan titik nodal fundamental

dari teori politik marxisme. Inti kesimpulan analisa Laclau dan Mouffe adalah:

bahwa di balik konsep hegemoni tersembunyi sesuatu yang lebih


dari sekedar tipe relasi politik yang bersifat komplementer terhadap
kategori-kategori dasar teori marxis. Faktanya, ia mengenalkan logika
sosial yang tidak cocok dengan kategori-kategori tersebut (Laclau dan
Mouffe, 2001:3)

Analisa politik Laclau dan Mouffe berangkat dari teori hegemoni Gramsci

namun Laclau dan Mouffe memiliki perbedaan dengan Gramsci. Di satu pihak,

Gramsci menyandarkan teori hegemoninya pada analisa kelas, sementara itu,

Laclau dan Mouffe mendasarkan analisa politiknya pada apa yang belakangan

dikenal dengan teori diskursus. Menurut Torfing, secara sederhana, teori diskursus

13
Laclau dan Mouffe memuat pokok-pokok pemikiran sebagai berikut: pertama,

semua bentuk praktik sosial berlangsung dalam latar belakang diskursus spesifik,

di mana secara luas dapat didefinisikan sebagai sistem relasi penandaan. Pada

level abstrak, diskursus dapat diartikan sebagai relasi ensemble dari serangkaian

penandaan, yang menenun secara bersamaan aspek semantik dari bahasa dan

aspek pragmatis dari tindakan. Kedua, diskursus dikonstruksi di dalam dan

melalui perjuangan hegemonik yang bertujuan untuk membentuk kepemimpinan

politik dan moral intelektual melalui artikulasi makna dan identitas. Argumentasi

ini menegaskan bahwa diskursus merupakan hasil dari praktik politik. Ketiga,

artikulasi hegemonik makna dan identitas secara instrinsik berhubungan dengan

kontruksi antagonisme sosial, yang melibatkan proses eksklusi terhadap liyan

guna membentuk sistem diskursif dan di saat bersamaan mencegah praktek

diskursif untuk meraih tenunan final. Keempat, diskursus hegemonik yang stabil

di ―dislokasi‖ ketika dikonfrontasikan dengan peritiwa-peristiwa baru yang tidak

dapat dijelaskan, direpresentasikan dan dijinakkan. Diskursus bersifat fleksibel

dan mampu untuk mengintegrasikan sebagian besar peristiwa ke dalam tatanan

simboliknya, namun semua diskursus selalu terbatas dan diskursus akan

menghadapi peristiwa-peristiwa yang gagal diintegrasikan. Kegagalan ini akan

mengacaukan sistem diskursus dan dengan begitu membuka ruang bagi

perjuangan hegemonik. Kelima, ―dislokasi‖ struktur diskursif menunjukan bahwa

subjek selalu muncul sebagai subjek yang tak utuh atau ―the split subject‖ yang

berusaha merekonstruksi identitasnya secara penuh melalui tindakan identifikasi

(lihat Torfing, 2005:14-17).

14
E. Metodologi Penelitian

1. Bahan dan Materi Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan sumber kepustakaan sebagai

bahan kajian. Naskah yang hendak digunakan akan dipilih dan dipilah

menjadi dua bagian: pustaka primer dan pustaka sekunder. Pustaka primer

adalah buku, hasil penelitian, jurnal, atau artikel, yang memiliki otoritas,

terkait objek material. Telaah ide politik radikal Olson akan merujuk

beberapa karyanya terkait demokrasi dan fanatisme, antara lain buku yang

dikarang Olson dengan judul The Abolition of White Democracy (2004)

dan beberapa tulisan Olson yang berserakan di berbagai jurnal seperti ―The

Freshness of Fanaticism: The Abolitionist Defense of Zealotry‖ (2007),

―Friends and Enemies, Slaves and Masters: Fanaticism, Wendell Phillips,

and the Limits of Democratic Theory‖ (2009). Objek formal akan

menggunakan karya utama yang ditulis bersama oleh Laclau dan Mouffe,

yakni Hegemony and Socialist Strategy, Towards a Radical Democratic

Politics yang terbit untuk pertama kali tahun 1985.

Sementara itu, pustaka sekunder adalah buku, hasil penelitian,

jurnal, atau artikel, sebagai rujukan kedua setelah pustaka primer, yang

berguna sebagai pembanding, dan membantu memahami pengertian

istilah kunci dalam pustaka primer. Penelitian ini juga akan menggunakan

sumber kepustakaan lain yang sifatnya lebih umum seperti buku pengantar

dan sejarah demokrasi, pengantar dan sejarah filsafat politik, ensiklopedia,

15
dan sumber lain, sejauh membantu memberi pemahaman lebih baik

tentang penelitian ini.

2. Jalan Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan melalui tahapan berikut:

a. inventarisasi: mengumpulkan sebanyak mungkin data berupa

kepustakaan yang berkaitan dengan objek penelitian;

b. klasifikasi: memilah data menjadi data primer dan sekunder;

c. analisa: menganalisis data primer dengan bantuan data sekunder

kemudian disintesiskan;

d. evaluasi kritis: setelah data primer dan sekunder disintesiskan,

maka akan diberikan evaluasi kritis secara berimbang dan objektif.

3. Analisa Data

Data kepustakaan tersebut akan dianalisis dengan menggunakan

perangkat metodis berikut (Bakker & Zubair, 1990: 63-65):

a. interpretasi: berusaha setepat mungkin menangkap arti dan makna

khusus pengertian teori politik radikal Joel Olson dan teori politik

postmarxisme Laclau dan Mouffe

b. koherensi internal: berupaya mengikuti struktur internal dan

keselarasan antara pendekatan dan metode dengan konsepsi hakikat

politik Joel Olson

c. kesinambungan historis: berusaha melihat gagasan pemikiran

Olson di satu pihak dan Laclau dan Mouffe di pihak lain dalam

perkembangan historis, baik internal dalam pemikiran politik

16
radikal Olson dan post-marxist Laclau dan Mouffe, maupun

eksternal dalam kaitannya dengan pemikir lain;

d. Komparasi: membandingkan antara pandangan Joel Olson tentang

hakikat politik dengan pemikiran Laclau dan Mouffe.

e. deskripsi: penulis akan menguraikan hasil telaah pemikiran politik

Olson, terutama tentang persoalan teori ras dan konsepsi hakikat

politik yang ditinjau dari politik post marxist Laclau dan Mouffe.

F. Sistematika Penulisan

Hasil Penelitian ini akan dilaporkan dalam lima bab berikut:

Bab I akan menjelaskan latar belakang penelitian, rumusan masalah yang

hendak dijawab, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,

dan metode penelitian yang digunakan.

Bab II akan menjelaskan kerangka teori pemikiran politik Joel Olson yang

meliputi biografi singkat kehidupan Olson, teori demokrasi abolisionis dan

pandangan Olson tentang teori politik ekstrimisme. Pada tema yang disebut

terakhir penulis akan memaparkan kritik-kritik Olson terhadap tradisi peyoratif

fanatisme dan pandangan demokrasi liberal untuk menjadi pintu masuk

menjelaskan tawaran Olson mengenai demokrasi ekstrimis. Pada bab ini penulis

menggunakan pendekatan historis dalam rangka menemukan perkembangan, baik

dari sisi internal maupun eksternal, pemikiran politik Olson.

Bab III merupakan jawaban dari pertanyaan kedua rumusan masalah. Di

sini, teori politik post-marxisme Laclau dan Mouffe berusaha dipaparkan. Pertama

penulis akan menjelaskan sejarah dan perkembangan teori post-marxisme.

17
Selanjutnya, penulis akan memaparkan tentang teori diskursus yang menjadi basis

teoritikal dari politik postmarxisme. Sebagai inti dari bab ini, penulis akan

menjelaskan pokok-pokok pemikiran politik post-marxisme Laclau dan Mouffe.

Bab IV mendeskripsikan analisa penulis terhadap gagasan Olson dengan

menggunakan teori politik post-marxisme sebagai titik pijak. Pada bagian pertama

bab ini, penulis akan mendiskusikan teori politik ras Olson, terutama berkaitan

dengan pendekatan atau metode yang digunakan, dengan menggunakan perspektif

analisa diskursus Laclau dan Mouffe. Pada bagian selanjutnya penulis berusaha

menemukan hakikat politik dalam pandangan Olson dengan menggunakan

definisi politik Laclau dan Mouffe. Penulis akan mengakhiri bab ini dengan

menghadirkan relevansi kajian ini untuk konteks Indonesia

Bab V berisi kesimpulan yang meringkas hasil penelitian dan saran untuk

penelitian berikutnya

18

Anda mungkin juga menyukai