Anda di halaman 1dari 8

NAMA : FAHREZA SYAHRUL RAMADHANI

NIM : E041221032
DEPT/FAKULTAS : ILMU POLITIK/FISIP
MATA KULIAH : PEMIKIRAN POLITIK INDONESIA

Alfian Sutan Sinaro yang akrab disapa Doktor Alfian adalah sosok penting bagi
perkembangan ilmu politik di Indonesia. Meskipun, bukan sarjana ilmu politik, tetapi dia
adalah peraih master dan doctor bidang ilmu politik di University of Wisconsin, Amerika
Serikat. Dengan disertasi berjudul “Islamic Modernism in Indonesia Politic: The
Muhammadijah During the Colonial Period (1912-1942)”, Alfian menyelseaikan kuliah
doctor ilmu politik pada usia 28 tahun, yang terbilang muda pada masa itu.

Alfian yang lulusan Universitas Nasional (Unas), berprofesi sebagai peneliti dan dosen. Dia
mengabdikan hidupnya untuk mengembangkan ilmu politik di Indonesia melalui profesiny
sebagai peneliti di Lembaga Ekonomi Nasional (Leknas) LIPI, kemudian di Lembaga
Research Kebudayaan Nasional (LRKN) LIPI, dan sebagai staf pengajar pada Departemen
Ilmu Politik, Fakultas ilmu Sosial, Universitas Indonesia. Sejak 1986 hingga akhir hayatnya,
Alfian adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Politik dan Kewilayahan LIPI.
Selain itu, Alfian juga adalah pendiri sekaligus ketua umum pertama dari Asosiasi Ilmu
Politik Indonesia (AIPI).

Sosok Alfian dikenal sebagai organisatoris handal, selain meniti karir di dunia akademik
sebagai peneliti dan dosen, Alfian juga merupakan seorang praktisi politik dan birokrat
sekaligus, Dia bahkan pernah menjadi pengurus Dewan Pimpinan Pusat Golongan Karya –
partai pemerintah orde baru dan mesin politik Suharto – disamping sebagai salah satu Deputi
Kepala di BP-7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila), sebuah lembaga yang sengaja didesain menjadi salah satu instrumen
sistem otoriter orde baru.

Keterlibatan Alfian sebagai praktisi politik dan birokrat orde baru, menimbulkan kontroversi
mengenai posisi intelektualnya. Apalagi, sejak awal 1970-an, Alfian turut membangun
perspektif teoritis tentang sistem “Demokrasi Pancasila” sebagai semacam antitesa dari
praktik sistem “Demokrasi Liberal” (1950-1959), dan Demokrasi Terpimpin ala Sukarno
(1159-1965). Di satu pihak, dia turut mengembangkan ilmu politik melalui perannya sebagai
peneliti dan dosen – dua profesi yang meniscayakan bersikap non-partisan – tetapi di lain
pihak dia tidak pernah menjaga jarak dengan kekuasaan yang pasti bersifat partisan.

Sosok Alfian termasuk golongan democrat dalam pengertian sebenarnya. Meskipun posisi
intelektualnya berbeda dan cenderung bertolak belakang dengan para koleganya, baik di

Budaya Pemikiran Politik Indonesia

lingkungan kampus, LIPI, maupun AIPI, dia menjalin relasi personal yang hangat dengan
beragam kalangan dan tidak pernah menjaga jarak dengan siapapun, termasuk yang berbeda
pandangan dengannya, tanpa memandang perbedaan ideology dan pemikiran politik. Alfian
sosok bersahabat, baik di dalam maupun luar pemerintahan, tanpa pernah kehilangan
integritasnya.
Sebagai seorang akademisi dan peneliti Alfian telah merumuskan pemikirannya tentang
politik melalui karya-karya buku, artikel di jurnal, makalah seminar, ataupun wawancara
yang diterbitkan oleh media massa. Dalam kaitan itu, ada benang merah pemikiran Alfian
tentang perkembangan politik dan demokrasi di Indonesia berdasarkan beberapa tulisannya.
Pandangan politik Alfian tentang tersebut dapat ditelusuri melalui tiga teori yang pernah
dikemukannya, yakni teori Konflik dan Konsensus, Demokrasi Pancasila,dan Tiga Dimensi
Ideologi.

- Teori Konflik dan Konsensus

Alfian mendifinisikan konflik dalam arti luas dan longgar, yaitu mencakup perbedaan di
antara setiap individu atau kelompok masyarakat mulai dari yang berkadar rendah seperti
perbedaan pendapat dan pertikaian ideologis hingga yang berkadar tinggi berupa konflik fisik
dan bahkan pemberontakan bersenjata. Sedangkan yang dimaksud sebagai konsensus adalah
kesepakatan- kesepakatan yang dicapai dan selalu dibutuhkan oleh pihak-pihak yang
berkonflik untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama. Dalam pandangan Alfian, dinamika
politik dalam setiap sistem politik hampir selalu diwarnai oleh tarik menarik antara konflik
dan konsensus

- Pemikiran Demokrasi Pancasila

Bagi Alfian Demokrasi Pancasila adalah pilihan tepat bagi bangsa Indonesia setelah gagal
dengan Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Pengalaman sejarah menunjukkan
kegagalan partai politik dalam sistem parlementer memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
masyarakat lantaran terlalu asyik dengan kepentingan pribadi dan golongan, serta pertikaian
bersifat ideologis. Menurut Alfian Demokrasi Pancasila secara jelas tertuang dalam UUD
1945, yakni memberi kekuasaan yang besar kepada Presiden yang dipilih oleh MPR. Dalam
hubungan ini fungsi DPR adalah menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat yang berbeda-
beda, sehingga Presiden harus memperhatikan suara Dewan. Singkatnya, Demokrasi
Pancasila menghendaki hubungan yang harmonis antaraa eksekutif dan legislatif, melalui
proses konsensus, sehingga terjadi keseimbangan yag wajar antara konflik dan konsensus.

- Teori Tiga Dimensi

Alfian membagi tiga aspek atau dimensi ideology dalam pemikirannya, yakni dimensi
realita(s), dimensi idealisme, dan dimensi fleksibilitas. Menurutnya, setiap ideologi memiliki
tiga dimensi agar tetap bertahan dalam masyarakat. Dimensi realita dari ideoogi maksudnya
adalah bahwa setiap ideologi mencerminkan realita masyarakat ketika ideologi itu pertama
kali dilahirkan. Ideologi merupakan gambaran tentang sejauh mana suatu masyarakat berhasil
memahami dirinya

sendiri. Dimensi idealisme adalah bahwa setiap ideologi yang dianut dan berkembang dalam
masyarakat hampir pasti dituntut untuk dapat memberikan harapan kepada kelompok
msyarakat penganutnya akan kehidupan bersama yang lebih baik, lebih adil, dan lebih
sejahtera di masa depan. Menurutnya dimensi idealisme dari ideologi ini dapat dikatakan
sebagi motor penggerak yang membangkitkan gairah dan hasrat masyarakat untuk hidup
bersama mewujudkan harapan dan cita-cita masa depan. Sedangkan dimensi fleksibilitas dari
ideologi adalah bahwa setiap ideologi dituntut memiliki kemampuan menyesuaikan diri
dengan dinamika dan perkembangan masyarakat, sehingga ideologi dapat tetap relevan dan
bertahan meskipun terjadi perubahan zaman.
Dalam sepanjang hidupnya banyak karya yang telah dibuat, dan yang paling berkontribusi
terhadap perkembangan ilmu politik di Indonesia adalah tiga teori pemikiran politik, yang
bisa dianggap sebagai karya asli seorang pemikir politik negeri ini.

Catatan Kritis

Buku Pemikiran Politik Indonesia (PPI) yang membahas tentang pemikiran Dr Alfian cukup
sistematis menjelaskan perjalanan hidup seorang Dr Alfian, begitu juga dalam mengurai
pemikiran Alfian, penulis runut dan runtun. Sosok Alfian mungkin agak sedikit susah
dinengerti, apalagi dengan keterlibatannya penguasa orde baru, sehingga banyak orang
menyayangkan sikap dan independensinya sebagai akademisi. Pada buku PPI penulis buku
mencoba untuk menjelaskan posisi Alfian sebagai akademisi, yang tetap independen
walaupun Alfian dekat dengan penguasa. Menurut saya terlalu membela kedekatan Alfian
dengan mengatakannya tetap berintegritas, karena akademisi yang dekat dengan penguasa,
biasanya kebebasan dalam berpikirnya agak berhati-hati dan cenderung menguntungkan
penguasa, terlebih lagi Alfian adalah birokrat sekaligus partisan politik aktif.

Pada buku PPI, penulis buku menyebut Dr Alfian sebagai seorang Demokrat, tetapi menurut
hemat saya anggapan tersebut kurang tepat, karena sejatinya seorang democrat itu adalah
orang yang menganut paham demokrasi dan dia berjuang menciptakan sisitem yang benar-
benar demokratis. Berbeda dengan posisi Dr Alfian yang sepanjang hayatnya tetap mengikuti
arus demokrasi yang diciptakan oleh orde baru. Menurut pendapat para banyak ilmuwan
politik, orde baru menerpakan sistem otoritarianisme. Meskipun cara-cara demokrasi yang
dilakukan oleh orde berdasarkan administrasi, namun praktik di lapangan pemerintah orde
baru banyak menekan kelompok masayarakat yang tidak sejalan dengan pemerintah, bahkan
pemilu yang dilaksanakan banyak terjadi kecurangan. Hal ini yang membuat saya,
meragukan sosok Dr Alfian sebagai demokrat. Dan saya sedikit bertanya-tanya, apa yang
membuat Dr Alfian tidak mengkritisi pemerintah orde baru kala itu. Saya tidak tahu apakah
Dr Alfian pernah mengkritisi pemerintah orde baru, karena di dalam buku tidak ada satu pun
kata bahwa Dr Alfian pernah mengkritisi pemerintah orde baru.

Ada yang menarik dari tiga teori yang dikemukakan oleh Dr Alfian, teori konsensus dan
konfik, teori demokrasi pancasila, dan tiga dimensi ideologi. Dr Alfian memandang konflik
dan konsesus adalah bagian tidak terpisahkan dari praktik politik. Tetapi, saya memberi
catatan bahwa teori konflik dan konsensus bukanlah ide asli dari Dr Alfian, seperti yang
ditulis di dalam buku. Teoritisi konflik dan konsensus juga dikemukakan oleh Ralf
Dahrendorf dalam bukunya berjudul “Class and Class Conflik in Industrial Society”. Teori
Dahrendorf banyak dipengaruhi pemikiran Karl Marx dalam menjelaskan pola konflik antar
kelas sosial. Penulis buku kurang lengkap dalam mengurai akar dari pemikiran Dr Alfian
tentang konflik dan konsensus, meski disebutkan sedikit tentang “behaviorism approach”,
tetapi belum bisa menjelaskan akar dari teori konflik dan konsensus. Saya juga memberi
catatan kritis terhadap teori ini pada realita prakteknya, karena bisa jadi teori digunakan oleh
pemerintah orde baru – menggunakan konsensus sebagai upaya meredam kritik.

Kemudian Demokrasi Pancasila, penulis buku menyebutkan bahwa Dr Alfian


mengembagkan Demokrasi Pancasila. Sebagai catatan Demokrasi Pancasila merupakan
wujud dari Sosialisme Demokrasi ala Indonesia yang telah dimodifikasi oleh Sukarno
sebelum kemerdekaan. Walaupun pemikiran Sukarno tidak orisnil, karena dia banyak
dipengaruhi berbagai paham politik, tapi Sukarno berhasil memodikasi pemikiran Islam dan
barat untuk bisa relevan dengan budaya politik di Indonesia. Hal ini luput dalam pembahasan
pada buku PPI. Penting untuk mengurai lebih mendalam suatu konsep agar tidak terjadi
kesalahpahaman. Menurut saya, Dr Alfian berhasil merumuskan Demokrasi Pancasila dalam
praktek administrasi hukum, namun lagi-lagi harus digaris bawahi, bahwa inilah penyebab
mengapa penguasa orde baru berkuasa lama di negeri ini, karena praktek lapangan
Demokrasi Pancasila masa orde baru adlah semu.

Selanjutnya teori tiga Dimensi, menurut saya, Dr Alfian berhasil memikirkan bagaimana
semestinya ideologi dibuat dan dipikirkan. Saya setuju dengan fleksibilitas dari suatu
ideologi, karena ideologi itu tidak mutlak, harus tetap bergerak tidak statis tetapi dinamis. Hal
ini membuktikan pemikiran manusia bisa saja salah, dikarenakan factor konteks dan waktu.
Dalam buku PPI, penulis buku tidak mengkritisi kegagalan Dr Alfian dalam kaitannya
dengan usaha pengembangan ideologi Pancasila melalui BP-7, dimana Dr Alfian terlibat di
dalamnya. Menurut saya, hal ini menandakan ada sesuatu yang hilang dari pemikiran Dr
Alfian ketika merumuskan BP-7, yang mungkin saja lebih akomodatif terhadap pemikiran
penguasa orde baru.

Sebagai salah satu sosok pelopor ilmu politik di Indonesia, Dr Alfian harus diberikan
apresiasi yang luar biasa, terlepas dari segala kontoversinya. Dr Alfian berhasil menuangkan
pemikiran yang brilian dan aplikatif dalam praktek. Dr Alfian adalah ilmuwan yang teoritis
aplikatif, lebih melihat realita ketimbang memikirkan teori yang kedepannya akan menjadi
utopis. Dan kita harus hargai segala sikap politiknya semasa hidup, karena tentunya mungkin
saja ada sesuatu yang dia cita-citakan untuk Indonesia yang lebih baik, ketika dia memilih
menjadi partisan dalam sejarah politik negeri ini.

Alfian Sutan Sinaro yang akrab disapa Doktor Alfian adalah sosok penting bagi
perkembangan ilmu politik di Indonesia. Meskipun, bukan sarjana ilmu politik, tetapi dia
adalah peraih master dan doctor bidang ilmu politik di University of Wisconsin, Amerika
Serikat. Dengan disertasi berjudul “Islamic Modernism in Indonesia Politic: The
Muhammadijah During the Colonial Period (1912-1942)”, Alfian menyelseaikan kuliah
doctor ilmu politik pada usia 28 tahun, yang terbilang muda pada masa itu.

Alfian yang lulusan Universitas Nasional (Unas), berprofesi sebagai peneliti dan dosen. Dia
mengabdikan hidupnya untuk mengembangkan ilmu politik di Indonesia melalui profesiny
sebagai peneliti di Lembaga Ekonomi Nasional (Leknas) LIPI, kemudian di Lembaga
Research Kebudayaan Nasional (LRKN) LIPI, dan sebagai staf pengajar pada Departemen
Ilmu Politik, Fakultas ilmu Sosial, Universitas Indonesia. Sejak 1986 hingga akhir hayatnya,
Alfian adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Politik dan Kewilayahan LIPI.
Selain itu, Alfian juga adalah pendiri sekaligus ketua umum pertama dari Asosiasi Ilmu
Politik Indonesia (AIPI).

Sosok Alfian dikenal sebagai organisatoris handal, selain meniti karir di dunia akademik
sebagai peneliti dan dosen, Alfian juga merupakan seorang praktisi politik dan birokrat
sekaligus, Dia bahkan pernah menjadi pengurus Dewan Pimpinan Pusat Golongan Karya –
partai pemerintah orde baru dan mesin politik Suharto – disamping sebagai salah satu Deputi
Kepala di BP-7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila), sebuah lembaga yang sengaja didesain menjadi salah satu instrumen
sistem otoriter orde baru.

Keterlibatan Alfian sebagai praktisi politik dan birokrat orde baru, menimbulkan kontroversi
mengenai posisi intelektualnya. Apalagi, sejak awal 1970-an, Alfian turut membangun
perspektif teoritis tentang sistem “Demokrasi Pancasila” sebagai semacam antitesa dari
praktik sistem “Demokrasi Liberal” (1950-1959), dan Demokrasi Terpimpin ala Sukarno
(1159-1965). Di satu pihak, dia turut mengembangkan ilmu politik melalui perannya sebagai
peneliti dan dosen – dua profesi yang meniscayakan bersikap non-partisan – tetapi di lain
pihak dia tidak pernah menjaga jarak dengan kekuasaan yang pasti bersifat partisan.

Sosok Alfian termasuk golongan democrat dalam pengertian sebenarnya. Meskipun posisi
intelektualnya berbeda dan cenderung bertolak belakang dengan para koleganya, baik di

Revisi Tugas Budaya Pemikiran Politik Indonesia / Kelas C

lingkungan kampus, LIPI, maupun AIPI, dia menjalin relasi personal yang hangat dengan
beragam kalangan dan tidak pernah menjaga jarak dengan siapapun, termasuk yang berbeda
pandangan dengannya, tanpa memandang perbedaan ideology dan pemikiran politik. Alfian
sosok bersahabat, baik di dalam maupun luar pemerintahan, tanpa pernah kehilangan
integritasnya.

Sebagai seorang akademisi dan peneliti Alfian telah merumuskan pemikirannya tentang
politik melalui karya-karya buku, artikel di jurnal, makalah seminar, ataupun wawancara
yang diterbitkan oleh media massa. Dalam kaitan itu, ada benang merah pemikiran Alfian
tentang perkembangan politik dan demokrasi di Indonesia berdasarkan beberapa tulisannya.
Pandangan politik Alfian tentang tersebut dapat ditelusuri melalui tiga teori yang pernah
dikemukannya, yakni teori Konflik dan Konsensus, Demokrasi Pancasila,dan Tiga Dimensi
Ideologi.

- Teori Konflik dan Konsensus

Alfian mendifinisikan konflik dalam arti luas dan longgar, yaitu mencakup perbedaan di
antara setiap individu atau kelompok masyarakat mulai dari yang berkadar rendah seperti
perbedaan pendapat dan pertikaian ideologis hingga yang berkadar tinggi berupa konflik fisik
dan bahkan pemberontakan bersenjata. Sedangkan yang dimaksud sebagai konsensus adalah
kesepakatan- kesepakatan yang dicapai dan selalu dibutuhkan oleh pihak-pihak yang
berkonflik untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama. Dalam pandangan Alfian, dinamika
politik dalam setiap sistem politik hampir selalu diwarnai oleh tarik menarik antara konflik
dan konsensus

- Pemikiran Demokrasi Pancasila

Bagi Alfian Demokrasi Pancasila adalah pilihan tepat bagi bangsa Indonesia setelah gagal
dengan Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Pengalaman sejarah menunjukkan
kegagalan partai politik dalam sistem parlementer memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
masyarakat lantaran terlalu asyik dengan kepentingan pribadi dan golongan, serta pertikaian
bersifat ideologis. Menurut Alfian Demokrasi Pancasila secara jelas tertuang dalam UUD
1945, yakni memberi kekuasaan yang besar kepada Presiden yang dipilih oleh MPR. Dalam
hubungan ini fungsi DPR adalah menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat yang berbeda-
beda, sehingga Presiden harus memperhatikan suara Dewan. Singkatnya, Demokrasi
Pancasila menghendaki hubungan yang harmonis antaraa eksekutif dan legislatif, melalui
proses konsensus, sehingga terjadi keseimbangan yag wajar antara konflik dan konsensus.

- Teori Tiga Dimensi

Alfian membagi tiga aspek atau dimensi ideology dalam pemikirannya, yakni dimensi
realita(s), dimensi idealisme, dan dimensi fleksibilitas. Menurutnya, setiap ideologi memiliki
tiga dimensi agar tetap bertahan dalam masyarakat. Dimensi realita dari ideoogi maksudnya
adalah bahwa setiap ideologi mencerminkan realita masyarakat ketika ideologi itu pertama
kali dilahirkan. Ideologi merupakan gambaran tentang sejauh mana suatu masyarakat berhasil
memahami dirinya

sendiri. Dimensi idealisme adalah bahwa setiap ideologi yang dianut dan berkembang dalam
masyarakat hampir pasti dituntut untuk dapat memberikan harapan kepada kelompok
msyarakat penganutnya akan kehidupan bersama yang lebih baik, lebih adil, dan lebih
sejahtera di masa depan. Menurutnya dimensi idealisme dari ideologi ini dapat dikatakan
sebagi motor penggerak yang membangkitkan gairah dan hasrat masyarakat untuk hidup
bersama mewujudkan harapan dan cita-cita masa depan. Sedangkan dimensi fleksibilitas dari
ideologi adalah bahwa setiap ideologi dituntut memiliki kemampuan menyesuaikan diri
dengan dinamika dan perkembangan masyarakat, sehingga ideologi dapat tetap relevan dan
bertahan meskipun terjadi perubahan zaman.

Dalam sepanjang hidupnya banyak karya yang telah dibuat, dan yang paling berkontribusi
terhadap perkembangan ilmu politik di Indonesia adalah tiga teori pemikiran politik, yang
bisa dianggap sebagai karya asli seorang pemikir politik negeri ini.

Catatan Kritis

Buku Pemikiran Politik Indonesia (PPI) yang membahas tentang pemikiran Dr Alfian cukup
sistematis menjelaskan perjalanan hidup seorang Dr Alfian, begitu juga dalam mengurai
pemikiran Alfian, penulis runut dan runtun. Sosok Alfian mungkin agak sedikit susah
dinengerti, apalagi dengan keterlibatannya penguasa orde baru, sehingga banyak orang
menyayangkan sikap dan independensinya sebagai akademisi. Pada buku PPI penulis buku
mencoba untuk menjelaskan posisi Alfian sebagai akademisi, yang tetap independen
walaupun Alfian dekat dengan penguasa. Menurut saya terlalu membela kedekatan Alfian
dengan mengatakannya tetap berintegritas, karena akademisi yang dekat dengan penguasa,
biasanya kebebasan dalam berpikirnya agak berhati-hati dan cenderung menguntungkan
penguasa, terlebih lagi Alfian adalah birokrat sekaligus partisan politik aktif.

Pada buku PPI, penulis buku menyebut Dr Alfian sebagai seorang Demokrat, tetapi menurut
hemat saya anggapan tersebut kurang tepat, karena sejatinya seorang democrat itu adalah
orang yang menganut paham demokrasi dan dia berjuang menciptakan sisitem yang benar-
benar demokratis. Berbeda dengan posisi Dr Alfian yang sepanjang hayatnya tetap mengikuti
arus demokrasi yang diciptakan oleh orde baru. Menurut pendapat para banyak ilmuwan
politik, orde baru menerpakan sistem otoritarianisme. Meskipun cara-cara demokrasi yang
dilakukan oleh orde berdasarkan administrasi, namun praktik di lapangan pemerintah orde
baru banyak menekan kelompok masayarakat yang tidak sejalan dengan pemerintah, bahkan
pemilu yang dilaksanakan banyak terjadi kecurangan. Hal ini yang membuat saya,
meragukan sosok Dr Alfian sebagai demokrat. Dan saya sedikit bertanya-tanya, apa yang
membuat Dr Alfian tidak mengkritisi pemerintah orde baru kala itu. Saya tidak tahu apakah
Dr Alfian pernah mengkritisi pemerintah orde baru, karena di dalam buku tidak ada satu pun
kata bahwa Dr Alfian pernah mengkritisi pemerintah orde baru.

Ada yang menarik dari tiga teori yang dikemukakan oleh Dr Alfian, teori konsensus dan
konfik, teori demokrasi pancasila, dan tiga dimensi ideologi. Dr Alfian memandang konflik
dan konsesus adalah bagian tidak terpisahkan dari praktik politik. Tetapi, saya memberi
catatan bahwa teori konflik dan konsensus bukanlah ide asli dari Dr Alfian, seperti yang
ditulis di dalam buku. Teoritisi konflik dan konsensus juga dikemukakan oleh Ralf
Dahrendorf dalam bukunya berjudul “Class and Class Conflik in Industrial Society”. Teori
Dahrendorf banyak dipengaruhi pemikiran Karl Marx dalam menjelaskan pola konflik antar
kelas sosial. Penulis buku kurang lengkap dalam mengurai akar dari pemikiran Dr Alfian
tentang konflik dan konsensus, meski disebutkan sedikit tentang “behaviorism approach”,
tetapi belum bisa menjelaskan akar dari teori konflik dan konsensus. Saya juga memberi
catatan kritis terhadap teori ini pada realita prakteknya, karena bisa jadi teori digunakan oleh
pemerintah orde baru – menggunakan konsensus sebagai upaya meredam kritik.

Kemudian Demokrasi Pancasila, penulis buku menyebutkan bahwa Dr Alfian


mengembagkan Demokrasi Pancasila. Sebagai catatan Demokrasi Pancasila merupakan
wujud dari Sosialisme Demokrasi ala Indonesia yang telah dimodifikasi oleh Sukarno
sebelum kemerdekaan. Walaupun pemikiran Sukarno tidak orisnil, karena dia banyak
dipengaruhi berbagai paham politik, tapi Sukarno berhasil memodikasi pemikiran Islam dan
barat untuk bisa relevan dengan budaya politik di Indonesia. Hal ini luput dalam pembahasan
pada buku PPI. Penting untuk mengurai lebih mendalam suatu konsep agar tidak terjadi
kesalahpahaman. Menurut saya, Dr Alfian berhasil merumuskan Demokrasi Pancasila dalam
praktek administrasi hukum, namun lagi-lagi harus digaris bawahi, bahwa inilah penyebab
mengapa penguasa orde baru berkuasa lama di negeri ini, karena praktek lapangan
Demokrasi Pancasila masa orde baru adlah semu.

Selanjutnya teori tiga Dimensi, menurut saya, Dr Alfian berhasil memikirkan bagaimana
semestinya ideologi dibuat dan dipikirkan. Saya setuju dengan fleksibilitas dari suatu
ideologi, karena ideologi itu tidak mutlak, harus tetap bergerak tidak statis tetapi dinamis. Hal
ini membuktikan pemikiran manusia bisa saja salah, dikarenakan factor konteks dan waktu.
Dalam buku PPI, penulis buku tidak mengkritisi kegagalan Dr Alfian dalam kaitannya
dengan usaha pengembangan ideologi Pancasila melalui BP-7, dimana Dr Alfian terlibat di
dalamnya. Menurut saya, hal ini menandakan ada sesuatu yang hilang dari pemikiran Dr
Alfian ketika merumuskan BP-7, yang mungkin saja lebih akomodatif terhadap pemikiran
penguasa orde baru.

Sebagai salah satu sosok pelopor ilmu politik di Indonesia, Dr Alfian harus diberikan
apresiasi yang luar biasa, terlepas dari segala kontoversinya. Dr Alfian berhasil menuangkan
pemikiran yang brilian dan aplikatif dalam praktek. Dr Alfian adalah ilmuwan yang teoritis
aplikatif, lebih melihat realita ketimbang memikirkan teori yang kedepannya akan menjadi
utopis. Dan kita harus hargai segala sikap politiknya semasa hidup, karena tentunya mungkin
saja ada sesuatu yang dia cita-citakan untuk Indonesia yang lebih baik, ketika dia memilih
menjadi partisan dalam sejarah politik negeri ini.

Anda mungkin juga menyukai