Anda di halaman 1dari 9

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10

PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA


13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

ANALISIS TERHADAP PERUBAHAN MORFOLOGI SUNGAI BARITO SEBAGAI


RESPON TERHADAP TEKTONIK MELALUI PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

Ichsan Ramadhan1*
Salma Difa Masti1
Diyan Pamungkas1
Agung Setianto1
1
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No.2
Yogyakarta
*corresponding author: ichsan.ramadhan@mail.ugm.ac.id

ABSTRAK
Sungai Barito merupakan sungai terpanjang ketiga di Indonesia. Sungai ini berhulu di Pegunungan
Schwaner dan berhilir di Laut Jawa. Sungai ini mengalir relatif dari utara ke selatan dengan panjang
sungai ± 900 km. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan morfologi sungai
yang dipengaruhi oleh struktur geologi yang memotong sungai. Artikel ilmiah ini menggunakan
metodologi berupa pengolahan citra digital dan studi pustaka. Berdasarkan citra satelit, Sungai Barito
termasuk dalam sungai yang tingkat sinusitasnya dapat berubah-ubah. Berdasarkan peta geologi,
sungai ini melewati sejumlah struktur geologi seperti antiklin, sinklin, dan sesar. Adapun struktur
geologi yang menjadi kontrol utama dalam perubahan morfologi sungai yaitu sesar naik. Sesar naik
menyebabkan berkurangnya gradien sungai dan akan mempengaruhi stream power yang selanjutnya
menyebabkan pengurangan tingkat sinusitas sungai. Sesar naik yang memotong Sungai Barito
mempengaruhi tingkat sinusitas dari Sungai Barito tersebut.
Kata Kunci : Sungai Barito, Sesar Naik, Stream Power, Sinusitas Sungai

1. Pendahuuan
Sungai Barito merupakan sungai terpanjang ketiga di Indonesia. Sungai ini membelah
provinsi Kalimantan Tengah. Hulu sungai Barito berada di Pegunungan Schwaner dan berhilir
di Laut Jawa. Sungai ini mengalir relatif dari utara ke selatan dengan panjang sungai ± 900
km.
Adapun sungai Barito yang dibahas dalam artikel ilmiah ini merupakan sungai Barito
yang melewati Muarateweh, Kalimantan Tengah. Menurut lembar geologi regional
Muarateweh terdapat beberapa struktur yang mengenai sungai Barito.
Deformasi karena tektonik dapat menyebabkan perubahan kelerengan. Perubahan
kelerengan tersebut menimbulkan perubahan morfologi, proses fluvial, dan proseshidrologi
sungai. Perubahan morfologi yang dapat terjadi berupa perubahan sungai meandering menjadi
sungai braided atau sebaliknya. Hal ini telah diteliti lebih lanjut oleh Ouchii, 1985 dimana
sungai memberikan respon seperti yang telah disebutkan sebelumnya terhadap deformasi
vertikal.
Penelitian sebelumnya pernah dilakukan di Sungai Gangga, India. Hasil penelitian
tersebut menunjukan bahwa adanya pengaruh dari sesar naik regional yang mempengaruhi
sinusitas sungai Gangga.
Kelerengan sebagai variabel bebas terhadap deformasi tektonik, menjadi hal penting
dalam kontrol morfologi sungai. Masing-masing jenis sesar menghasilkan kelerengan yang
berbeda. Sesar naik dengan blok naik di hilir akan menyebabkan lereng melandai di blok
footwall dan meningkat di hangingwall. Sedangkan sesar turun dengan blok turun di hilir
akan menyebabkan kelerengan bertambah pada blok footwall dan berkurang di hangingwall.:

1790
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penginderaan jarak
jauh (remote sensing) dan studi pustaka. Metode terbagi menjadi 3 tahapan, yaitu tahap
pengumpulan data, tahap pengolahan data, dan tahap analisis data.
Penulis menggunakan metode remote sensing yaitu penggunaan data citra ASTER Global
DEM yang diunduh dari laman resmi USGS (United States Geological Survey) dan foto
satelit dari Google Earth dan Google Maps yang diperoleh dari laman Google Maps.
Pengolahan data remote sensing menggunakan software berupa ArcGIS dam Global Mapper.
Metode ini digunakan untuk mengetahui pola sungai dan selanjutnya untuk kuantifikasi
tingkat kelengkungan sungai. Selain itu penulis juga mengacu pada beberapa paper, jurnal,
publikasi, serta peta geologi. Peta geologi yang digunakan adalah peta geologi Lembar
Muaratewe, Kalimantan oleh Supriatna, Sudrajat, dan Abidin (1995). Penggunaan peta
geologi sebagai data sekunder untuk mengetahui litologi yang dilewati oleh Sungai Barito dan
struktur geologi yang terpotong oleh aliran sungai.
Tahapan awal penelitian yaitu mengumpulkan data yang dibutuhkan yang meliputi citra
satelit ASTER Global DEM daerah penelitian, foto satelit Google Maps dan Google Earth
daerah penelitian, dan peta geologi lembar Muaratewe, Kalimantan Tengah. Tahapan
selanjutnya yaitu melakukan pengolahan data dengan menggunakan beberapa software.
ArcGIS dan Global Mapper digunakan untuk mengolah citra Landsat sehingga dapat
digunakan lebih lanjut untuk analisis topografi dan membantu analisis struktur geologi. Dari
pengolahaan data tersebut juga dapat menghitung elemen-elemen pengukuran yang digunakan
untuk perhitungan sinusitas atau tingkat kelengkungan dari sungai Barito. Data pengukuran
elemen pengukuran tersebut kemudian dimasukkan dalam formulasi perhitungan sinusitas
sungai untuk mendapatkan nilai kuantitatif dari daerah penelitian di Sungai Barito. Sedangkan
dari peta Geologi lembar Muaratewe, struktur geologi yang dipetakan diplotkan pada Google
Maps.
Tahapan selanjutnya yaitu analisis data. Analisis data terbagi menjadi 2 yaitu bersifat
kualitatif dan kuantitatif. Pada dasarnya kedua analisis tersebut didasarkan pada hal yang
sama yaitu perubahan kelengkungan sungai saat memotong struktur geologi. Pada analisis
data yang kualitatif melihat perubahan tingkat kelengkungan sungai yaitu makin melengkung
atau makin lurus saat memotong strtuktur geologi. Sedangkan analisis data yang kuantitatif
menggunakan dasar perhitungan tingkat kelengkungan sungai (sinusitas) yang berupa angka.
Nilai kuantitatif kelengkungan sungai sepanajng daerah penelitian akan menunjukkan variasi
perubahan nilainya. Nilai kelengkungan sungai yang didapat akan dibandingkan sebelum dan
sesudah memotong strukur geologi. Dari kedua analisis tersebut dapat diketahui respons
sungai terhadap struktur geologi yang dipotongnya yang berupa perubahan tingkat
kelengkungan sungai.
3. Data
Pada daerah penelitian didapatkan interpretasi struktur geologi dari Peta Geologi Lembar
Muaratewe, Kalimantan oleh Supriatna et. al., 1995. Pembagian segmen (AB, BC, dst)
didasari dari kemiripan sinusitas sepanjang sungai. Masing - masing segmen terdapat dua
komponen sinusitas sungai yaitu LT (Jarak antara titik awal dan akhir sungai sepanjang
thalweg), warna biru pada Gambar 1) dan LO (Panjang lembah antara titik awal dan akhir
yang sama dengan LT, warna merah pada Gambar1).
Letak LT dan LO pada ASTER Digital Elevation Model dapat dilihat pada gambar 2.
Sungai tampak mengalir pada DEM dengan warna yang mendekati hitam atau yang berupa
rendahan. Pola-pola berupa kelurusan menunjukkan indikasi struktur geologi. Sedangkan

1791
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

letak LT dan LO pada peta geologi regional Supriatna et. al. (1995) dapat dilihat pada gambar
3. Pada gambar ini dapat dilihat persebaran formasi pada daerah penelitian yang mencakup
formasi Warukin, Berai, Montalat, Purukcahu, Karamuan, Tanjung, juga terdapat Intrusi
Sintang, anggota batugamping Penuut, anggota batugamping Jangkan, batuan gunungapi
Malasan, batuan gunungapi Kasale, dan Kompleks Busang.
Panjang LT, LO, dan nilai S untuk masing masing segmen dapat dilihat pada Tabel 1.
Nilai sinusitas (S) bervariasi, dengan nilai minimum 1,54 dan maksimum 2,84.
AB: Lintasan atau segmen sungai sepanjang titik A dan B; LT: Jarak antara titik awal dan
akhir sungai sepanjang thalweg; LO: Panjang lembah antara titik awal dan akhir yang sama
dengan LT
4. Hasil dan Pembahasan
Struktur dan tektonik daerah penelitian pernah diteliti oleh Supriatna et. al. (1995) dan
berhasil mengidentifikasi struktur geologi berupa sesar, lipatan, dan kelurusan. Struktur
geologi memiliki pola umum baratdaya - timurlaut dan bartalaut - tenggara. Dengan didasari
data bahwa dominasi batuan berumur Tersier, Supriatna et. al. (1995) menduga struktur
geologi tersebut berhubungan dengan kegiatan tektonik saat Tersier. Kegiatan tektonik pada
daerah penelitian sendiri dimulai sejak Mesozoikum dengan hadirnya kompleks Busang.
Pengolahan data menghasilkan beberapa segmen yang dihitung nilai sinusitasnya. Dari
masing masing segmen yang telah dibatasi, terdapat dua garis yaitu LT dan LO (lihat Gambar
1). LT didefinisikan sebagai Jarak antara titik awal dan akhir sungai sepanjang thalweg atau
sepanjang pusatnya, sedangkan LO didefinisikan sebagai Panjang lembah antara titik awal
dan akhir yang sama dengan LT (Rust, 1978 dalam Cursato, 2008). Selanjutnya Rust (1978,
dalam Cursato, 2008) menyatakan bahwa sinusitas dari sungai meander merupakan rasio
antara LT dan LO.
Dari masing masing LT dan LO tiap segmen (lihat Gambar 1) diukur panjangnya dan
didapatkan nilainya pada tabel 1. Kemudian dari nilai LT dan LO, masing - masing segmen
dihitung nilai sinusitasnya dengan membagi LT dengan LO sehingga didapat nilai S (lihat
tabel 1). Nilai S sangat menunjukkan perubahan sepanjang sungai.
Beberapa ahli telah membuat kelas kelas klasifikasi maupun batas - batas dari nilai
sinusitas (S). Cursato (2008) merangkum beberapa batas meandering dari beberapa ahli yaitu
Brice (1984) menyatakan bahwa sungai meander yaitu sungai yang memiliki nilai S > 1,25,
Leopold et. al. (1964) dan Rosgen (1994) menyatakan bahwa batas terbawahnya yaitu 1,5.
Beberapa ahli juga telah membuat kelas kelas klasifikasi nilai sinusitas (S), diantaranya ialah
Allen (1970), Brierly dan Fryirs (2005), dan Rosgen (1994). Berdasarkan klasifikasi yang
telah dibuat oleh beberapa peneliti tersebut, didapat kelas-kelas kalsifikasi masing masing
segmen di daerah penelitian yang dapat dilihat pada tabel 2. Terdapat variasi dan
ketidakseragaman kelas klasifikasi sinusitas daerah penelitian antar peneliti.
Fokus dari penelitian ini ialah melihat pengaruh struktur geologi dari aktivitas tektonik
terhadap morfologi sungai Barito berupa sinusitas. Penelitian melihat nilai sinusitas sungai
Barito sebelum dan sesudah melewati struktur geologi yang diinterpretasikan oleh Supriatna
et. al. (1995). Selain itu, penulis menginterpretasi adanya struktur geologi yang tidak
terpetakan oleh Supriatna et. al.(1995) dengan melihat perubahan sinusitas. Untuk klasifikasi
kelas sinusitas dalam pembahasan selanjutnya akan mengacu pada Allen (1970)
Segmen AB memiliki nilai sinusitas 2,10 dengan kelas meandering (lihat tabel 2). Pada
segmen BC nilai sunusitasnya 1,54 dengan kelas meandering. Kenampakan perubahan
sinusitas dari segmen AB ke BC diinterpretasikan oleh sesar yang berada di utara sungai.
Sesar ini oleh Supriatna et. al. (1995) belum ditentukan jenisnya. berdasarkan perubahan
sinusitasnya, jenis sesarnya yaitu sesar turun.

1792
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Segmen CD, DE, EF menunjukkan nilai S dan klasifikasi berturut turut 1,81
(meandering); 1,47 (sinuous); 2,74 (meandering) (lihat tabel 2). Nilai sinusitas yang tinggi
pada EF diinterpretasikan disebabkan oleh Intrusi Sintang yang tersusun oleh andesit, diorit,
dasit (Supriatna et. al., 1995) yang tersebar pada segmen EF (lihat gambar 3). Intrusi Sintang
menyebabkan sungai membelok karena sungai tidak memotong intrusi Sintang, sehingga
sungai berbelok ke utara, lalu ke timur melalui antara dua intrusi Sintang.
Segmen FG dan GH memiliki nilai S dan klasifikasi berturut turut 1,53 (meandering) dan
2,21 (meandering) (lihat tabel 2). Segmen GH merupakan segmen dimana sungai mengalir di
limb antiklin diperkirakan menjuju sumbu antiklin. Tampak tidak terjadi penurunan sinusitas.
Penulis mengidentifikasikan hal ini karena sungai membelok karena formasi Batuayau (lihat
gambar 3) yang tersusun oleh batupasir, batulanau, batulumpur yang umumnya karbonan
(Supriatna et. al., 1995). Tidak teridentifikasinya struktur geologi yang mendukung perubahan
sinusitas mendasari penulis menganggap pada segmen ini lebih dipengaruhi oleh litologi.
Perlu penelitian lebih lanjut pada daerah ini apakah perubahan sinusitas diakibatkan oleh
litologi atau struktur geologi.
Segmen selanjutnya meliputi segmen HI, IJ, JK, dan KL menunjukkan perubahan yang
sangat tampak. Ke empat segmen ini melalui struktur yang cukup kompleks dan banyak (lihat
gambar 1). Sungai pada segmen HI memotong struktur berupa antiklin (diperkirakan), sesar
(jenis belum ditentukan oleh Supriatna et al, 1995) di timur laut, dan sinklin (diperkirakan).
Segmen IJ dimulai dari setelah sumbu sinklin, lalu memotong sesar (jenis belum ditentukan
oleh Supriatna et al, 1995), dan melewati sumbu antiklin (diperkirakan). Segmen JK dimulai
setelah sumbu antiklin hingga sebelum sesar naik. Segmen KL memotong sesar naik dan
sinklin.
Perubahan dari GH (S=2,21, meandering) menuju HI (S=1,3, sinuous) lebih disebabkan
oleh sesar dibandingkan dengan lipatan yang dilewatinya (lihat gambar 1). Hal ini didasari
oleh sinusitas yang tidak bertambah seiring menuruni sumbu antiklin dan mendekati sumbu
sinklin. Penulis mengidentifikasi pengaruh kuat sesar yang terpotong oleh segmen IJ. Nilai
sinusitas yang turun derastis dan dikaji melalui model yang ada, maka sesar yang belum
diidentifikasi jenisnya oleh Supriatna, et al (1995) kemungkinan besar ialah sesar naik dengan
hanging wall berada di tenggara sesar. Pada segmen selanjutnya, IJ (S=1,60, meandering),
tampak sinusitas bertambah. bertambahnya sinusitas disebabkan karena sungai mulai
menuruni blok hanging wall dimana gradien lereng bertambah besar (lihat gambar 1). Segmen
IJ juga melewati antiklin (diperkirakan), namun tidak menunjukkan perubahan berarti pada
morfologi sungai. Segmen JK (S=1, straight), menunjukkan sungai yang lurus setelah
berkelok di segmen IJ. Perubahan sinusitas ini disebabkan oleh sesar naik dimana hanging
wall nya berada di tenggara sesar. Pada segmen selanjutnya, KL (S=2,84, meandering),
tampak jelas terjadi kenaikan sinusitas yang signifikan. Hal ini disebabkan sungai mulai
menuruni blok hanging wall. Selanjutnya segmen KL melewati sumbu sinklin. Dengan
melihat trend dari sungai ketika memotong lipatan, penulis yakin bahwa sinklin pada segmen
KL tidak menimbulkan perubahan sinusitas yang berarti, dibandingkan dengan sesar naik
sebelumnya. Pada segmen GH - HI - sesar naik (diperkirakan) - IJ - JK - sesar naik -KL,
tampak pola yaitu meandering - sinuous - sesar naik (diperkirakan) - meandering - straight -
sesar naik - meandering.
Segmen selanjutnya yaitu LM, MN, dan NO. Segmen LM (S=2,55, meandering) menaiki
limb sinkln (diperkirakan) dan menaiki limb antiklin. Segmen MN (S=2,13, meandering)
menaiki limb antiklin, memotong sumbu antiklin, dan memotong sumbu sinklin. Segmen NO
(S=1,83, meandering) menuruni limb antiklin. Ketiga segmen menunjukkan pola meandering
yang relatif sama walaupun ada penurunan nilai sinusitas. Penulis meyakini bahwa struktur
pada segmen-segmen ini tidak cukup kuat untuk memengaruhi perubahan sinusitas sungai.

1793
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

5. Kesimpulan
Aktivitas tektonik yang berlangsung saat tersier membentuk struktur - struktur berupa
sesar, lipatan, dan kelurusan. Dari struktur geologi tersebut, hanya sesar yang menunjukkan
pengaruh terhadap sinusitas sungai Barito. Sedangkan lipatan tidak menunjukkan perubahan
yang berarti terhadap sinusitas sungai Barito. Perubahan sinusitas yang signifikan tampak
pada segmen HI, IJ, JK, dan KL karena melewati sesar naik dan sesar naik diperkirakan. Pada
blok footwall sinusitas berkurang (segmen HI dan JK), sedangkan ketika melewati blok
hangingwall sinusitas bertambah (segmen IJ dan KL)

Acknowledgements

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Google karena penelitian ini didukung oleh foto
dan citra dari Google Earth. Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada METI dan
NASA atas produknya yaitu ASTER Global DEM yang digunakan untuk membantu analisis
dalam penelitian ini.

Daftar Pustaka
Allen, J.R.L. (1970). Physical processes of sedimentation. Earth Science Series 1, 248 p
Brierley, G.J., Fryirs, K.A. (2005). Geomorphology and River Management: Application of
the River Styles Framework. Blackwell Publications, Oxford, Inggris, 398 p.
Crosato, A. (2008). Analysis and Modelling of River Meandering. IOS Press, Nieuwe,
Amsterdam, Belanda, 268 p.
Holbrook, J., Schumm, S.A. (1999). Geomorphic and sedimentary response of rivers to
tectonic deformation: a brief review and critique of a tool for recognizing subtle
epeirogenic deformation in modern and ancient settings. Tectonophysics 305, p 287 -
306.
Pickering, J. (2010). Alluvial river response to active tectonics in the Dehradun region,
Northwest India: A case study of the Ganga and Yamuna rivers. Durham University,
Durham, Inggris, 88 p.
Rosgen, D.L. (1994). A classification of natural rivers. Catena 22, p 169 -199.
Singh, C.K. (2015). Middle Ganga Plain; May be on the Verge of Seismic Shock. Jour. Geol.
Soc. India 85, p 511 - 513.
Supriatna, S., Sudrajat, dan Abidin, H.Z. (1995). Peta Geologi Lembar Muaratewe,
Kalimantan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Wikipedia. (2017). Sungai Barito. [online] https://id.wikipedia.org/wiki/Sungai_Barito
[Diakses 31 Januari 2017]

1794
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 1. Peta daerah penelitian dengan interpretasi struktur geologi menurut Supriatna et. al., 1995
dan delineasi komponen sinusitas sungai (LT dan LO)

Gambar 2. ASTER Global Digital Elevation Model (METI dan NASA) daerah penelitian dengan
modifikasi

1795
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 3. Peta geologi regional daerah penelitian menurut peta geologi lembar Muaratewe
(Supriatna et. al., 1995) dengan modifikasi

1796
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
Tabel 1. Lintasan, Panjang LT dan LO, serta nilai Sinusitas Sungai Barito pada daerah penelitian

Segmen LT (km) LO (km) S

AB 14,06 6,70 2,10

BC 11,79 7,66 1,54

CD 22,82 12,59 1,81

DE 12,82 8,74 1,47

EF 33,17 12,11 2,74

FG 14,50 9,48 1,53

GH 15,94 7,21 2,21

HI 9,91 7,64 1,30

IJ 6,78 4,24 1,60

JK 3,83 3,83 1,00

KL 21,03 7,40 2,84

LM 17,57 6,88 2,55

MN 17,14 8,04 2,13

NO 22,85 12,52 1,83

1797
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
Tabel 2. Klasifikasi kelas sinusitas daerah penelitian menurut Allen (1970), Brierley dan Fryirs
(2005), dan Rosgen (1994)

Sinuosity Ratio Degree of Sinuosity Sinuousity


Segmen
(Allen, 1970) (Brierley and Fryirs, 2005) (Rosgen, 1994)

AB Meandering Sinuous Very High

BC Meandering Sinuous Very High

CD Meandering Sinuous Very High

DE Sinuous Sinuous High

EF Meandering Sinuous Very High

FG Meandering Sinuous Very High

GH Meandering Sinuous Very High

HI Sinuous Low Sinuosity Moderate

IJ Meandering Sinuous Very High

JK Straight Straight Low

KL Meandering Sinuous Very High

LM Meandering Sinuous Very High

MN Meandering Sinuous Very High

NO Meandering Sinuous Very High

1798

Anda mungkin juga menyukai