ABSTRACT
Soybean harvested area in Indonesia in 2017 only reached 356,799 ha with a total production of
538,728 tons. To achieve self-sufficiency, the harvested area must be increased to 1.2 million ha with a
productivity of 1.6 tons/ha. To increase the harvested area, soybean can be developed in a dry land with
dry climate that has not been utilized optimally. The study aimed to evaluate the productivity and technical
feasibility of soybean intercropping with maize in a dry land with a dry climate. The study was conducted
in the rainy season of 2017/2018 at Tegaldlimo Sub-district, Banyuwangi Regency, East Java Province in
the D3 climate zone (3–4 wet months/year) at vertisol soil using the cropping pattern of upland rice-maize.
The results indicated that soybean is intercropping with maize in a double row after upland rice harvesting
was able to provide the dry seeds yield of maize 2.03 tons/ha and soybean 1.50 tons/ha. This planting
method was more profitable compared to maize monoculture yielding 3.50 tons/ha or soybean monoculture
yielding 1.85 tons/ha dry seeds yield. The yields of soybean and maize in the study were not optimal due to
low precipitation to only 194 mm during the plant growth, so the crops, particularly the maize experienced
drought stress. The benefits of soybean monoculture, maize monoculture, and soybean intercropping with
maize farming were 8,633,500 IDR, 5,039,400 IDR, and 11,090,600 IDR per ha, respectively. The soybean
intercropping with maize was also able to utilize land more efficiently with a Land Equivalent Ratio (LER) of
1.39.
keywords: maize, soybean, dry land with dry climate, intercropping
Produktivitas Tumpangsari Kedelai dengan Jagung pada Akhir Musim Hujan di Lahan Kering Beriklim Kering 197
Afandi Kristiono, Siti Muzaiyanah, Dian Adi Anggraeni Elisabeth, dan Arief Harsono
I. PENDAHULUAN mampu memberikan keuntungan yang lebih
besar daripada cara tanam jagung monokultur.
D alam 20 tahun terakhir, produksi kedelai
di Indonesia terus menurun, dan saat ini
hanya mampu memenuhi 30–40 persen dari
Pada tanah dengan kandungan bahan
organik dan nitrogen (N) rendah, kedelai
total kebutuhan dalam negeri yang berjumlah membutuhkan tambahan bahan organik dan
2,6 juta ton per tahun (Harsono, 2017). Tahun pupuk N (Subandi, 2013). Tanaman kedelai dapat
2017, luas panen kedelai di Indonesia mencapai membentuk bintil akar dengan baik sehingga
355.799 ha dengan produktivitas 1,51 ton/ha mampu memenuhi 60 persen kebutuhan N-nya
dan produksi 538.728 ton (Susanti dan Heni, sendiri melalui proses fiksasi N yang ada di
2019). Untuk mencapai swasembada, luas udara (Shutsrirung, dkk., 2002). Namun pada
panen kedelai harus dapat ditingkatkan minimal tanah yang belum pernah ditanami kedelai dan
menjadi 1,5 juta ha dengan produktivitas 1,70 populasi bakteri rhizobium dalam tanahnya
ton/ha. Upaya peningkatan luas panen kedelai di rendah, tanaman kedelai secara alamiah tidak
Indonesia dapat dilakukan pada lahan-lahan sub mampu atau hanya sedikit membentuk bintil,
optimal, antara lain, lahan kering beriklim kering sehingga kemampuan fiksasi nitrogennya juga
(LKIK) yang selama ini belum dimanfaatkan rendah. Pada LKIK di Sumbawa, pemupukan
untuk pengembangan kedelai secara optimal. jagung varietas Rama dan Arjuna dengan 300
kg Urea + 100 kg TSP + 40 kg KCl per ha
Menurut Mulyani, dkk. (2017), LKIK yang
berturut-turut menghasilkan 5,62 dan 5,14 ton/
tersedia untuk pengembangan tanaman pangan
ha biji kering (Sulistyono, dkk., 1995). Di Liquisa
di Indonesia mencapai 1,14 juta ha, terdiri atas
(Timor-Timur), ketersediaan N dan P menjadi
kawasan hutan konversi 251 ribu ha, hutan
faktor pembatas utama pertumbuhan tanaman
produksi 529 ribu ha, dan area penggunaan lain
jagung. Pemupukan 133 kg Urea + 133 kg TSP
362 ribu ha. Jenis tanah yang umum dijumpai
per ha mampu menghasilkan 5,2 ton/ha biji
pada LKIK adalah vertisol, alfisol, mollisol, dan
kering (Supadmo, dkk., 1995).
entisol yang umumnya bereaksi (pH) netral
hingga agak alkalis dengan kejenuhan basa > LKIK di Kupang (NTT) memiliki tipe tanah
50 persen (Mulyani dan Sarwani, 2013). alfisol dengan kandungan bahan organik
sedang, P-tersedia dan K-dd rendah, serta Ca-
Subandi, dkk. (2007) melaporkan bahwa
dd dan Mg-dd tergolong sedang sampai tinggi.
pada LKIK terluas di Indonesia, yakni di Nusa
Penerapan pola tanam tumpang sari jagung
Tenggara Timur (NTT), dalam satu tahun
(jarak tanam 200 cm x 40 cm) dengan kacang
sebagian besar petani hanya menanam jagung
tanah (jarak tanam 40 cm x 20 cm) pada lahan
sebagai bahan pangan utama dan sumber
tersebut mampu menghasilkan 2,5 ton/ha jagung
pendapatan. Meskipun demikian, kedelai tetap
dan 0,45 ton/ha kacang tanah. Sementara
memiliki peluang untuk dikembangkan pada tipe
pola tanam tumpang sisip antara jagung (jarak
lahan ini melalui perbaikan cara dan pola tanam.
tanam 100 cm x 40 cm) dengan kacang hijau
Penerapan tumpang sari jagung dengan (jarak tanam 40 cm x 20 cm) dan ubi kayu (jarak
kedelai pada LKIK di Tuban, Jawa Timur tanam 200 cm x 120 cm) mampu menghasilkan
menggunakan cara tanam jagung baris ganda. 3,9 ton/ha jagung biji kering dan 1,6 ton/ha ubi
Jarak tanam yang digunakan untuk jagung kayu segar. Kacang hijau gagal ditanam karena
adalah (50 x 200 cm) x 40 cm dan untuk kedelai faktor pembatas berupa kekeringan (Subandi,
40 x 15 cm berisi dua tanaman/rumpun. Hasil dkk., 1991).
yang diperoleh sebesar 1,65 ton/ha jagung
Arifin dan Tafakresnanto (2019) melaporkan
dan 1,56 ton/ha kedelai, serta 1,83 ton/ha
bahwa di lahan kering Situbondo, penerapan
brangkasan jagung dan 4,43 ton/ha brangkasan
pola tanam padi – jagung pada awal musim
kedelai kering yang dapat digunakan sebagai
hujan mampu memberikan hasil tertinggi,
pakan ternak. LKIK Tuban memiliki tipe tanah
yakni setara dengan hasil kedelai 12,7 ton/
vertisol yang miskin C-organik dan hara N
ha. Pada MK 1, sistem tanam jagung double
namun kaya hara P dan K (Subandi, dkk., 2016).
row memperoleh hasil 7,542 ton/ha pipilan dan
Secara finansial, cara tanam tumpang sari ini
pangkasan daun jagung 7,894 ton/ha dengan
Produktivitas Tumpangsari Kedelai dengan Jagung pada Akhir Musim Hujan di Lahan Kering Beriklim Kering 199
Afandi Kristiono, Siti Muzaiyanah, Dian Adi Anggraeni Elisabeth, dan Arief Harsono
Tabel 1. Paket Teknologi Budidaya Kedelai Tumpang Sari dengan Jagung, Jagung Monokultur,
dan Kedelai Monokultur yang Dievaluasi pada Lahan Kering Beriklim Kering di Tegaldlimo,
Banyuwangi, MH 2017/2018
Keterangan: HST = Hari Setelah Tanam. *Dosis pupuk untuk jagung dan kedelai tumpang sari masing-
masing disesuaikan dengan populasi tanaman mengacu pada dosis pupuk masing-masing
komoditas yang ditanam monokultur.
Kesetaraan Lahan (NKL) atau Land Equivalent Mead dan Willey (1980) dalam Aminah, dkk.
Ratio (LER) pada pola tanam tumpangsari (2014), yaitu:
kedelai – jagung menggunakan persamaan
NKL= Yab/Yaa + Yba/Ybb, dimana:
Keterangan: 1)
Kriteria berdasarkan Balai Penelitian Tanah (2019); 2) Kriteria berdasarkan Pusat Penelitian
Tanah (Puslittanah) (1993); n.l. = not listed/ tidak tercantum
Yab = hasil tanaman a dalam pola tanam diremajakan. Pada saat dilakukan kegiatan
tumpang sari a dan b; penelitian, tanaman jati baru berumur 6 bulan
dan sudah dipupuk NPK. Di samping itu, sebelum
Yba = hasil tanaman b dalam pola tanam
contoh tanah diambil, lahan telah ditanami padi
tumpang sari a dan b;
gogo yang juga mendapat dosis pupuk NPK
Yaa = hasil monokultur tanaman a; dan cukup. Dosis pupuk untuk pertanaman padi
Ybb = hasil monokultur tanaman b; serta gogo antar petani tidak sama, yakni berkisar
(vii) Data curah hujan yang diperoleh antara 300 hingga 450 kg Phonska/ha ditambah
dari stasiun pengamatan terdekat, yaitu 100-200 kg Urea /ha.
stasiun pengamatan Tegaldlimo. Kendala yang dihadapi dalam
III. HASIL & PEMBAHASAN pengembangan teknologi budidaya tumpang
sari kedelai dengan jagung pada musim
3.1. Sifat Kimia Tanah tanam ini adalah ketersediaan air karena pada
Tanah di lokasi evaluasi pengembangan awal musim hujan (November/ Desember
paket teknologi tumpang sari kedelai dengan 2017) petani telah menanam padi gogo dan
jagung di Desa Kalipahit, Kecamatan Tegaldlimo, kegiatan penanaman kedelai tumpang sari
Kabupaten Banyuwangi tergolong jenis vertisol, baru dapat dilakukan setelah padi gogo selesai
terletak pada zona iklim D3 dengan jumlah bulan dipanen dan lahan siap untuk ditanami, yaitu
basah (>200 mm/bulan) berkisar antara 3–4 dengan rentang waktu sekitar 2 minggu, mulai
bulan per tahun. Kemasaman tanah tergolong pertengahan hingga akhir Maret 2018. Untuk
netral, yakni pH 6,5 dengan kandungan bahan mengatasi kekurangan air dilakukan pengairan
organik tergolong sedang, yang ditunjukkan menggunakan mesin pompa berkapasitas
oleh C-organik 2,04 persen. Kandungan fosfor daya 4,9 hp dengan debit pemompaan air rata-
(P), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium rata 14.580 liter/jam. Tiap petak per tanaman
(Mg), dan natrium (Na) tanah tergolong tinggi, seluas 2.000 m2 diairi selama dua jam, atau
dengan kadar berturut-turut 17,16 ppm P2O5; sekitar 29.160 liter air setara dengan menerima
0,68 cmol+/kg; 58,58 cmol+/kg); 4,56 cmol+/kg; curah hujan 14 mm. Pengairan tidak dapat
dan 0,93 cmol+/kg (Tabel 2). Tanaman kedelai diberikan secara optimal karena bergantung
untuk tumbuh optimal membutuhkan pH tanah pada ketersediaan air di sungai di sekitar lokasi
berkisar 5,5–6,5, dengan kandungan N dan penelitian.
bahan organik minimal dalam kategori sedang 3.2. Periode Waktu Tanam
(Abdurachman, dkk., 2013).
Luas kegiatan penelitian tumpang sari
Hasil analisis tanah tersebut menunjukkan kedelai dengan jagung di lahan kering beriklim
bahwa tanah di lokasi evaluasi pengembangan kering ini mencapai 4,0 ha. Dengan rentang
paket teknologi tergolong subur karena waktu tanam mulai dari tanggal 13 hingga
merupakan lahan bukaan hutan jati yang baru 29 Maret 2018, maka pengelompokan dapat
Produktivitas Tumpangsari Kedelai dengan Jagung pada Akhir Musim Hujan di Lahan Kering Beriklim Kering 201
Afandi Kristiono, Siti Muzaiyanah, Dian Adi Anggraeni Elisabeth, dan Arief Harsono
dilakukan ke dalam dua dasarian waktu tanam, Namun sebaliknya, untuk pertanaman tumpang
yakni dasarian kedua dan ketiga bulan Maret sari yang ditanam pada periode dasarian ketiga
(akhir musim hujan) seperti disajikan pada Tabel 3. bulan Maret 2018, curah hujan selama 10 hari
Tabel 3. Luas Pertanaman Kegiatan Tumpang Sari Jagung dengan Kedelai berdasarkan Periode
Waktu Tanam, di Tegaldlimo, Banyuwangi, MH 2017/2018
Untuk menanggulangi cekaman kekeringan 3.4. Tinggi Tanaman dan Indeks Klorofil Daun
yang terjadi pada tanaman kedelai dan jagung, Secara umum, tinggi tanaman kedelai
dilakukan pengairan sekali hingga dua kali monokultur lebih rendah 1–32 persen daripada
dengan cara memompa air sungai yang ada di kedelai tumpang sari, baik pada umur 45 HST
sekitar lokasi penelitian. Namun, tidak semua maupun 60 HST (Gambar 2). Hal tersebut
lahan dapat diairi karena keterbatasan sumber diduga disebabkan oleh pengaruh naungan
air irigasi. Pengairan yang dilakukan juga tanaman jagung terhadap tanaman kedelai yang
agak terlambat karena harus dilakukan secara mengakibatkan tanaman kedelai mengalami
bergiliran. etiolasi.
Kondisi kekeringan menyebabkan tanah Naungan jagung yang diterima oleh tajuk
menjadi kering, lengas tanah sangat rendah, tanaman kedelai pada umur 30 HST mencapai
dan pemupukan NPK tidak dapat dilakukan 30–40 persen, sedangkan pada umur 60 HST
tepat waktu karena menunggu turunnya hujan. mencapai 40–60 persen bergantung pada
Agar jadwal pemupukan tidak terlalu terlambat, tingkat kesuburan tanaman jagung. Kedelai
sebagian pemupukan dilakukan dengan cara yang ditanam pada periode tanam ketiga
melarutkan pupuk ke dalam air sesuai dosis per (G3) mengalami pertumbuhan yang lebih
baris tanaman, kemudian larutan disiramkan buruk daripada tiga periode tanam lainnya.
pada barisan tanaman. Pertumbuhan Hal ini terlihat pada rata-rata tinggi tanaman
tanaman kedelai mulai fase berbunga hingga kedelai G3 yang paling rendah pada umur 45
pembentukan polong cukup baik meskipun HST. Pada umur 60 HST, laju pertumbuhan
curah hujan rendah. Pada saat pengisian tanaman kedelai G3 per lahan membaik yang
polong, tanaman yang mengalami cekaman ditunjukkan dengan rata-rata tinggi tanaman
kekeringan diberi tambahan air irigasi. yang tidak berbeda jauh dengan tinggi tanaman
yang ditanam pada tiga periode tanam lainnya
Produktivitas Tumpangsari Kedelai dengan Jagung pada Akhir Musim Hujan di Lahan Kering Beriklim Kering 203
Afandi Kristiono, Siti Muzaiyanah, Dian Adi Anggraeni Elisabeth, dan Arief Harsono
Keterangan : Pada periode tanam G1 tidak ada petani yang menanam kedelai monokultur
Gambar 2. Rata-rata Tinggi Tanaman Kedelai pada Umur 45 HST (A) dan 60 HST (B) pada Pertanaman
Monokultur (Mono) dan Tumpang Sari (TS) dengan Jagung, di Tegaldlimo, Banyuwangi, MH
2017/2018
(Gambar 2). Hal ini disebabkan tanaman kedelai Tinggi tersebut sangat berbeda dengan tanaman
G3 mengalami cekaman kekeringan selama jagung yang ditanam secara monokultur pada
fase vegetatif awal. periode tanam kedua (G2), yaitu 224 cm.
Sedangkan pada periode tanam keempat (G4),
Periode tanam tidak berpengaruh terhadap
tinggi tanaman jagung yang ditanam secara
kandungan klorofil daun. Kondisi ini terlihat dari
monokultur maupun tumpang sari hampir sama.
indeks klorofil daun yang tidak berbeda jauh
Di sisi lain, nilai indeks klorofil daun jagung yang
pada semua periode tanam G1 sampai G4, baik
ditanam secara tumpang sari hampir sama pada
pada umur 45 HST maupun 60 HST (Gambar
semua periode tanam, yaitu berkisar antara
3).
41,9 hingga 44,5 ; sementara, indeks klorofil
Secara umum pada umur 60 HST, tinggi daun jagung yang ditanam secara monokultur
tanaman jagung yang ditanam secara tumpang pada periode tanam keempat (G4) mempunyai
sari pada periode tanam G1 sampai G3 hampir nilai indeks klorofil yang sangat tinggi, yaitu
sama, yaitu berkisar antara 200 hingga 207 cm. 56,4 (Gambar 4). Kondisi ini disebabkan oleh
Keterangan: Pada periode tanam G1 tidak ada petani yang menanam kedelai monokultur
Gambar 3. Indeks Klorofil Daun Tanaman Kedelai pada Umur 45 HST (A) dan 60 HST (B) pada
Pertanaman Monokultur (Mono) dan Tumpang Sari (TS) dengan Jagung, di Tegaldlimo,
Banyuwangi, MH 2017/2018.
Keterangan : Pada periode tanam G1 tidak ada petani yang menanam kedelai monokultur
Gambar 5. Jumlah Polong Per Tanaman dan berat 100 Biji Kedelai pada Pertanaman Monokultur
(Mono) dan Tumpang Sari (TS) dengan Kedelai, di Tegaldlimo, Banyuwangi, MH
2017/2018.
Produktivitas Tumpangsari Kedelai dengan Jagung pada Akhir Musim Hujan di Lahan Kering Beriklim Kering 205
Afandi Kristiono, Siti Muzaiyanah, Dian Adi Anggraeni Elisabeth, dan Arief Harsono
Tabel 4. Hasil Biji Kering Tumpang Sari antara Kedelai dan Jagung, di Tegaldlimo, Banyuwangi, MH
2017/2018
meskipun jumlah polong isi sangat sedikit, jagung yang ditanam secara tumpang sari
tetapi tampaknya translokasi hasil asimilasi menghasilkan biji kering yang bervariasi pada
fotosintesis berlangsung optimal ke bagian biji, masing-masing petani. Hal ini disebabkan oleh
sehingga biji yang dihasilkan berukuran besar, kondisi lahan antar petani tidak seragam, baik
bahkan lebih besar daripada biji pada periode dari segi ketinggian lahan maupun tekstur tanah
tanam lainnya. yang berbeda.
3.6. Hasil Biji Kering Semakin tinggi permukaan lahan,
kedalaman lapisan untuk olah tanah semakin
Hasil biji kedelai pada monokultur rata-rata
tipis, sehingga daya simpan air yang tersedia
mencapai 1,85 ton/ha, dan lebih tinggi 23,33
bagi tanaman semakin rendah. Dengan kadar
persen daripada hasil biji kedelai tumpang sari
air 15 persen, petani yang mampu menghasilkan
dengan jagung yang rata-rata hanya mencapai
biji kedelai 1,0-1,5 ton/ha sebanyak 8 orang (67
1,50 ton/ha, atau 81,08 persen dari hasil
persen); 1,5-2,0 ton/ha sebanyak 3 orang (25
kedelai monokultur. Rata-rata hasil biji jagung
persen); dan lebih dari 2,0 ton/ha sebanyak 1
monokultur mencapai 3,50 ton/ha. Hasil ini lebih
orang (8 persen). Sedangkan untuk jagung,
tinggi daripada hasil jagung tumpang sari yang
dengan kadar air 15 persen, petani yang mampu
mencapai 2,03 ton/ha atau 58,00 persen dari
menghasilkan biji jagung pipilan kering 1,0-1,5
hasil jagung monokultur. Hasil tanaman jagung,
ton/ha sebanyak 4 orang (33 persen); 1,5-2,0
baik monokultur maupun tumpang sari, pada
ton/ha sebanyak 5 orang (42 persen); dan lebih
penelitian ini tergolong rendah, karena tanaman
dari 2 ton/ha sebanyak 3 orang (25 persen).
mengalami cekaman kekeringan. Kedelai dan
Keterangan: Pada tahun 2018, harga hasil panen kedelai adalah Rp8.500/kg, dan jagung adalah
Rp3.600/kg.
Persentase petani dengan hasil biji kedelai lebih ada satu jenis tanaman yang mengalami
dari 1,5 ton/ha pada pertanaman tumpang sari kegagalan (Effendi, dkk., 2007).
adalah 58,3 persen; sedangkan persentase
Keuntungan usaha tani merupakan faktor
petani dengan hasil biji jagung lebih dari 2,5 ton/
yang mempengaruhi adopsi petani terhadap
ha adalah 16,7 persen (Tabel 3 dan 4, Gambar
suatu introduksi teknologi (Kadar, 2016 dan
6). Rendahnya produktivitas jagung disebabkan
Harianta, 2011). Suatu teknologi baru akan
oleh cekaman kekeringan.
terus diadopsi oleh petani apabila dirasakan
3.7. Kelayakan Ekonomi Usaha Tani dapat memberikan keuntungan (Prasetiaswati
dan Radjit, 2012; Bahtiar, 2010). Oleh karena
Keuntungan usaha tani pada penelitian
itu, selayaknya keuntungan yang dicapai oleh
ini adalah Rp8.633.500,00 untuk kedelai
petani dengan cara tanam tumpang sari kedelai
monokultur, Rp5.039.400,00 untuk jagung
dengan jagung harus lebih tinggi daripada cara
monokultur, dan Rp11.090.600,00 untuk
tanam monokultur.
tumpang sari kedelai dengan jagung (Tabel
5). Keuntungan cara tanam tumpang sari Hasil analisis kelayakan ekonomi usaha tani
yang lebih tinggi daripada monokultur selaras dengan B/C ratio menunjukkan bahwa teknologi
dengan alasan mengapa tumpang sari saat ini tumpang sari kedelai dengan jagung dan kedelai
banyak dilakukan oleh petani, yaitu sebagai monokultur layak diadopsi/diterapkan oleh
alternatif untuk meningkatkan pendapatan dari petani karena memiliki nilai B/C ratio lebih dari
kepemilikan lahan garapan petani yang semakin 1. Sementara itu, akibat kekurangan air karena
kecil dan sekaligus untuk meminimalkan curah hujan yang tidak mampu memenuhi
kerugian yang harus diderita oleh petani apabila kebutuhan air tanaman jagung, pertanaman
Tabel 6. Nilai Kesetaraan Lahan (NKL) dalam Pertanaman Tumpang Sari Kedelai dengan Jagung,
di Tegaldlimo, Banyuwangi, MH 2017/2018
Produktivitas Tumpangsari Kedelai dengan Jagung pada Akhir Musim Hujan di Lahan Kering Beriklim Kering 207
Afandi Kristiono, Siti Muzaiyanah, Dian Adi Anggraeni Elisabeth, dan Arief Harsono
jagung monokultur dalam penelitian ini secara Rp8.633.500,00; Rp 5.039.400,00; dan Rp
ekonomi tidak layak diterapkan oleh petani (B/C 11.090.600,00 per ha. Usaha tani tumpang sari
< 1). layak diterapkan oleh petani dengan nilai B/C
ratio 1,24. Pertanaman tumpang sari kedelai
3.8. Nilai Kesetaraan Lahan (NKL)
dengan jagung ini juga mampu memanfaatkan
Nilai Kesetaraan Lahan (NKL) atau lahan lebih efisien dibandingkan pertanaman
Land Equivalent Ratio (LER) merupakan monokultur dengan NKL 1,39.
parameter yang dapat menggambarkan tingkat
UCAPAN TERIMAKASIH
pendayagunaan atau produktivitas lahan seperti
disajikan pada Tabel 6. Teknologi tumpang sari Penulis menyampaikan terimakasih kepada
kedelai dengan jagung menghasilkan NKL lebih Sugiyono, teknisi Balitkabi untuk mengawal teknis
kegiatan penelitian di lapangan.
tinggi dibandingkan dengan budidaya tanaman
masing-masing komoditas secara monokultur. DAFTAR PUSTAKA
Tumpang sari jagung dengan kedelai memiliki Abdurachman, A., A. Mulyani, dan Irawan.
NKL 1,39 yang maknanya adalah terdapat 2013. Sumber daya lahan untuk kedelai di
tambahan produktivitas sebesar 39 persen ketika Indonesia, Di dalam Kedelai Teknik Produksi
tanaman dalam satu lahan dikombinasikan dan Pengembangan, Badan Penelitian dan
dengan tanaman lain, sehingga pemanfaatan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan: 168–184.
lahan akan lebih efektif bila dibandingkan
dengan lahan yang ditanami secara monokultur. Aminah, I. S., D. Budianta, Munandar, Y. Perto, dan
E. Sodikin. 2014. Tumpang Sari Jagung (Zea
NKL lebih dari 1 menunjukkan bahwa dari mays L.) dan Kedelai (Glycine max L. Merrill)
segi penggunaan lahan, cara tanam tumpang untuk Efisiensi Penggunaan dan Peningkatan
sari kedelai dengan jagung lebih efisien Produksi Lahan Pasang Surut. Jurnal Tanah dan
dan produktif daripada cara tanam jagung Iklim, Vol. 38, No. 2: 119–128.
monokultur atau kedelai monokultur (Rifai, dkk., Arifin, Z. dan C. Tafakresnanto. 2019. Pengelolaan
2014) dan menjadi indikator bahwa pola tanam Pola Tanam Berbasis Kedelai dan Jagung di
Lahan Kering. Buletin Palawija. Vol. 17. No. 2
tumpang sari lebih menguntungkan (Yuwariah,
:83–93.
2011; Tsujimoto, dkk., 2015). Beberapa studi
Bahtiar, W. R. dan Tenrirawe. 2010. Prospek produksi
sebelumnya mengenai tumpang sari kedelai
benih jagung komposit di Provinsi Sulawesi
dengan jagung pada berbagai lokasi pertanaman Utara. Prosiding Seminar Nasional Serealia. Pusat
menunjukkan NKL > 1 (Lv, dkk., 2014; Wijaya, Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
dkk., 2015; Yuwariah, dkk., 2017; Sundari, dkk., Effendi, S. D., S. Taher, dan W. Rumini. 2007.
2019 ). Pengaruh tumpang sari dan jarak tanam
IV. KESIMPULAN terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jarak
pagar (Jatropha curcas L.):232–238. Prosiding
Produktivitas lahan kering beriklim kering Lokakarya Nasional Jarak Pagar III, Balittas,
tanah vertisol di Banyuwangi dapat ditingkatkan Balitbangtan, Kementan.
dengan penerapan pola tanam padi gogo – Fagi, A. M., dan F. Tangkuman. 1985. Pengelolaan air
kedelai tumpang sari dengan jagung. Tumpang untuk kedelai: 135–157. Di dalam Somaatmadja
sari kedelai dengan jagung baris ganda setelah S. dkk. (eds). Kedelai. Puslitbang Tanaman
padi gogo dipanen, mampu memberikan hasil Pangan, Bogor.
biji jagung kering 2,03 ton/ha dan kedelai 1,50 Harianta, Y. W. 2011. Adopsi Inovasi Pertanian di
ton/ha. Sementara itu, hasil biji kering kedelai Kalangan Petani di Kecamatan Gatak Kabupaten
Sukoharjo Agrin, Vol. 15, No. 2: 164–174.
monokultur dan jagung monokultur berturut-
turut adalah 1,85 ton/ha dan 3,50 ton/ha. Hasil Harsono, A. 2017. Langkah Merengkuh Swasembada
Kedelai, pp. 43–48. Di dalam Forum
kedelai dan jagung pada penelitian ini tidak
Komunikasi Profesor Riset. Ragam Pemikiran
maksimal karena selama pertumbuhan tanaman Pengembangan Pertanian 2015–2016. IAARD
hanya tersedia curah hujan sebanyak 194 mm. Press, Jakarta. Kadar, L., H. Siregar, dan E. I.
Keuntungan usaha tani kedelai monokultur, K. Putri. 2016. Faktor-faktor yang Berpengaruh
jagung monokultur, dan tumpangsari terhadap Adopsi Varietas Jagung Putih di
kedelai dengan jagung berturut-turut adalah Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. Informatika
Produktivitas Tumpangsari Kedelai dengan Jagung pada Akhir Musim Hujan di Lahan Kering Beriklim Kering 209
Afandi Kristiono, Siti Muzaiyanah, Dian Adi Anggraeni Elisabeth, dan Arief Harsono
BIODATA PENULIS:
Afandi Kristiono dilahirkan di Banyuwangi, 31
Mei 1979. Penulis menyelesaikan S1 di Jurusan
Biologi, Fakultas MIPA Universitas Brawijaya,
Malang pada tahun 2003
Siti Muzaiyanah dilahirkan di Jember, 3 Februari
1982. Penulis menyelesaikan S1 di Fakultas
Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya pada
tahun 2005. Pendidikan S2 ditempuh di Universitas
Jember dan mendapatkan gelar Magister Pertanian
(MP) pada tahun 2010.
Dian Adi Anggraeni Elisabeth dilahirkan di
Malang, 21 Februari 1981. Penulis, menyelesaikan
S1 di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Institut
Pertanian Bogor pada tahun 2003 dan program
S2 double degree di Universitas Brawijaya dan
Graduate School of Agricultural Sciences, Tohoku
University, Jepang tahun 2012.
Arief Harsono dilahirkan di Malang, 9 Oktober
1958. Penulis menyelesaikan S1 di Fakultas
Pertanian, Jurusan Agronomi di Universitas
Brawijaya pada tahun 1981, Master (S2) dan
Doktor (S3) Agronomi di Universitas Gajah Mada,
masing-masing pada tahun 1989 dan 2005. Pada
tahun 2012, dikukuhkan sebagai Profesor Riset
ke-100 pada Badan Litbang Pertanian.