Anda di halaman 1dari 31

SINTESIS HIDROKSIAPATIT DARI PRECIPITATED

CALCIUM CARBONATE (PCC) CANGKANG TELUR PUYUH


DENGAN METODE PENGENDAPAN BASAH

SKRIPSI

NUR ANISA LABONU


G 301 16 049

PRODI KIMIA
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
JANUARI/2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI …………………………………………………………... ii


DAFTAR GAMBAR …………………………………………………... iii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………... iv
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………….. 1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………… 3
1.3 Tujuan ……………………………………………………….. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………… 4
2.1 Cangkang Telur Puyuh ……………………………………… 4
2.2 Precipitated Calcium Carbonate (PCC) ……………………... 4
2.3 Hidroksiapatit (HAp) ………………………………………… 5
2.4 Metode Pengendapan Basah …………………………………. 6
2.5 Fourier Transformed Infrared (FTIR) ……………………….. 6
BAB III METODE PENELITIAN …………………………………... 9
3.1 Waktu dan Tempat …………………………………………... 9
3.2 Alat dan Bahan ……………………………………………….. 9
3.3 Prosedur Kerja ……………………………………………….. 9
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………… 12
4.1 Pengaruh Suhu Sintering Terhadap Spektrum FTIR ………… 13
BAB V PENUTUP ……………………………………………………. 20
5.1 Kesimpulan …………………………………………………… 20
5.2 Saran ………………………………………………………….. 20
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 21
LAMPIRAN ............................................................................................. 25

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.3 Struktur Molekul Hidroksiapatit …………………………. Er


ror
!
Bo
ok
ma
rk
not
def
ine
d.
Gambar 4.2 Spektrum FTIR HAp dari Suhu sintering 1000ºC ………... 14
Gambar 4.2 Spektrum FTIR HAp dari Suhu sintering 1100ºC ………... 15
Gambar 4.2 Spektrum FTIR HAp dari Suhu Sintering 1100ºC ………... 16

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Perbandingan Bilangan Gelombang HAp Hasil Sintesis


dengan Literatur ………… 17

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Telur puyuh merupakan sumber protein hewani dengan kandungan gizi


cukup tinggi yang banyak mengandung asam amino esensial (Anggraini dan
Subakti, 2011). Komponen utama telur puyuh terdiri dari 58% putih telur,
31% kuning telur dan 11% cangkang telur (Ensminger dan Nesheim, 1992).
Puyuh betina menghasilkan 250-300 butir telur dalam setahun. Berat
telurnya sekitar 10 g/butir atau 7-8% dari bobot badan (Loka, 2017).
Berdasarkan data statistik Dirjen Peternakan dan Hewan (2018), produksi
telur puyuh setiap tahunnya mengalami peningkatan dari tahun 2014-2018
yaitu 20.709-24.555 ton/tahun. Menurut Hartono dan Isman (2010) struktur
telur terdiri dari empat bagian penting, yaitu kerabang atau cangkang telur
(shell), selaput membran, putih telur (albumen), dan kuning telur (yolk).
Tidak seperti telur, cangkang telur biasanya langsung dibuang. Untuk
meningkatkan nilai ekonomis, salah satu usaha yang dilakukan adalah
dengan memanfaatkan kandungan kalsium yang terdapat pada cangkang
telur puyuh sebagai bahan baku pembuatan hidroksiapatit. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Aziz dkk (2018), kandungan kalsium (𝐶𝑎) pada
sampel cangkang telur puyuh hasil rebusan sebesar 28,73% sedangkan pada
cangkang telur puyuh yang tidak direbus kandungan 𝐶𝑎 mencapai 33,23%.

Hidroksiapatit (HAp) merupakan komponen utama mineral yang terdapat


pada tulang dengan rumus kimia 𝐶𝑎10 (𝑃𝑂4 )6 (𝑂𝐻)2, termasuk salah satu
senyawa kalsium fosfat yang digunakan sebagai biomaterial, disebut juga
sebagai material keramik karena sifat kimianya yang stabil dibanding
material logam dan polimer (Nascimento dkk, 2007). HAp telah secara luas
dipergunakan untuk memperbaiki, mengisi, menambahkan dan
merekonstruksi ulang jaringan tulang yang telah rusak dan juga di dalam

1
jaringan lunak karena tidak bersifat racun, bioaktif, dan biokompatibel (Hui
dkk, 2010).

Dalam proses sintesis HAp hampir selalu ditemukan senyawa apatit lain
seperti dicalcium phosphate, dibasic phosphate, tricalcium phosphate dan
beberapa fase amorph dari calcium phosphate (Hui dkk, 2010). Menurut
Puspita dan Cahyaningrum (2017) pada pH 8 dan 9 terbentuk fasa lain
selain HAp. Pada penelitian ini sintesis HAp dilakukan dengan
menggunakan bahan dasar kalsium dari cangkang telur puyuh, melalui
pembentukan Precipitated Calcium Carbonate (PCC). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Agustiyanti, dkk (2018) HAp yang disintesis dari
PCC cangkang telur ayam ras menggunakan metode presipitasi mempunyai
hasil dan pola yang mirip dengan HAp standar. Diharapkan pembuatan HAp
menggunakan metode pengendapan basah melalui pembentukan PCC
memberikan hasil yang lebih murni. Metode pengendapan basah yaitu
reaksi antar larutan yang memiliki beberapa kelebihan diantaranya, HAp
yang diperoleh memiliki kemurnian tinggi, rendemen besar dan tidak
memerlukan pelarut organik. Sedangkan pada metode kering yakni reaksi
antar padatan memiliki kekurangan antara lain kemurnian HAp yang
dihasilkan rendah, ukuran partikel besar dan bentuknya tidak teratur
(Suryadi, 2011).

Pada penelitian yang dilakukan Puspita dan Cahyaningrum (2017)


digunakan variasi suhu 800, 900 dan 1000°C untuk mensintesis senyawa
hidroksiapatit dari cangkang telur ayam ras. Kristalinitas hidroksiapatit yang
diperoleh untuk masing-masing suhu yaitu 95,82% pada suhu 800°C;
98,00% pada suhu 900°C; dan 98,08% pada suhu 1000°C. Proses sintering
berpengaruh pada hasil sintesis HAp, proses ini bertujuan untuk
menghasilkan strukur kristal yang baik, karena pada suhu tertentu, HAp
dapat terdekomposisi parsial sehingga membentuk senyawa selain HAp.
Berdasarkan hal yang telah dipaparkan di atas maka pada penelitian ini akan
dilakukan variasi sintering pada suhu 1000, 1100, dan 1200°C.

2
1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana pengaruh suhu sintering terhadap kemurnian HAp yang


disintesis dari Precipitated Calcium Carbonate cangkang telur puyuh
dengan metode pengendapan basah?

1.3 Tujuan

Mengetahui pengaruh variasi suhu sintering terhadap kemurnian HAp yang


disintesis dari Precipitated Calcium Carbonate cangkang telur puyuh
dengan metode pengendapan basah.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cangkang Telur Puyuh

Cangkang telur merupakan lapisan keras yang melindungi telur dari kondisi
lingkungan sekitar. Cangkang ini keras serta memiliki kandungan kalsium
yang cukup tunggi. Kandungan kalsium pada cangkang telur merupakan
salah satu jenis makronutrien yang bermanfaat bagi tubuh (Aziz dkk, 2018).
Cangkang telur puyuh mengandung 𝐶𝑎𝐶𝑂3 (97%), 𝑀𝑔𝐶𝑂3 (1%),
𝐶𝑎3 (𝑃𝑂4 )2 (1%) dan bahan-bahan organik (1%) (Wei dkk, 2009).

2.2 Precipitated Calcium Carbonate (PCC)

PCC adalah senyawa kimia dengan rumus 𝐶𝑎𝐶𝑂3. PCC memiliki struktur
kristal yang berbeda dengan kalsium karbonat. Bentuk umum dari PCC
yaitu kristal heksagonal yang dikenal dengan calsite, dengan turunannya
yaitu skalenohedral, rhombohedral dan prismatic (Kasmujiastuti dan
Yuniari, 2012).

PCC adalah salah satu produk yang dapat disintesa dari 𝐶𝑎𝑂 dan dapat
diperoleh melalui proses hidrasi kalsium oksida (𝐶𝑎𝑂) kemudian
direaksikan dengan karbon dioksida (𝐶𝑂2). Keistimewaan dari PCC, yaitu
ukurannya mencapai partikel mikro sehingga sifat permukaannya mudah
diatur dan lebih homogen (Nurhepi, 2008). Pada umumnya PCC yang
ukuran partikelnya >1 mikro digunakan sebagai filler atau pengisi
fungsional yang penting pada sistem polimer diantaranya polipropilen,
polivinil klorida, dan polietilen tereftalat (Metwally dkk, 2014).

4
2.3 Hidroksiapatit (HAp)

Senyawa hidroksiapatit merupakan senyawa polikristalin kalsium fosfat


dengan rumus molekul 𝐶𝑎10 (𝑃𝑂4 )6 (𝑂𝐻)2 (Ylinen, 2006). Pada fraksi
mineral yang terdapat dalam tulang manusia kandungan HAp mencapai
65%. (Petit, 1999). HAp banyak diteliti dan digunakan dalam biomedis,
terutama dalam bidang ortopedi dan kedokteran gigi (Nayak, 2010). HAp
sangat mirip dengan komponen mineral anorganik dalam tulang dan gigi.
Material ini memiliki biokompatibilitas yang sangat baik dan bioaktivitas
yang unik (Chen dkk, 2004). Ion hidroksil pada HAp dapat diganti dengan
ion 𝐹 − , 𝐶𝑙 − , 𝐶𝑂3 2− , dan 𝑂2− dalam matriks serat kolagen (Nayak, 2010).

Gambar 2.3 Struktur Molekul Hidroksiapat (Ylinen, 2006)

HAp sintetik terus dikembangkan, karena biokompatibilitasnya sangat baik


dan memiliki afinitas tinggi dengan biopolimer (Kantharia dkk, 2014). HAp
terbukti biokompatibel dan ditoleransi oleh jaringan pada rongga mulut
manusia, terbukti osteokonduktif yaitu dapat merangsang diferensiasi
osteoblas pada pembentukan tulang (Kattimani dkk, 2014). Karena memiliki
karakteristik yang baik material HAp banyak digunakan untuk rekonstruksi
jaringan tulang, rekayasa jaringan lunak dan perawatan defek periodontal,
pelapis implan dental, filler material restorasi seperti resin komposit dan
glass ionomer cement (Kasaj dkk, 2012).

HAp berasal dari berbagai sumber, baik alami maupun sintetis. Sumber
HAp secara alami terdapat pada tulang mamalia, kulit kerang, batu karang,
maupun cangkang telur. HAp juga dapat dibuat di laboratorium melalui
proses kimia dengan metode presipitasi, deposisi biomimetis, metode sol-
gel, dan metode lektrodeposisi (Ferraz dkk, 2004). Metode sintesis HAp

5
sangat menentukan morfologi, kristalografi, dan kemurnian fase partikel
yang menentukan sifat mekanis dari metrial yang dihasilkan (Kantharia dkk,
2014).

2.4 Metode Pengendapan Basah

Metode pengendapan basah adalah metode yang paling terkenal dan banyak
digunakan untuk sintesis hidroksiapatit (HAp). Hal ini karena HAp dapat
disintesis dalam jumlah besar tanpa menggunakan pelarut-pelarut organik
dengan biaya yang tidak mahal (Santos dkk, 2004).

Sintesis HAp dengan metode pengendapan basah memiliki banyak


keunggulan, seperti hasil sampingnya berupa air, dan kemungkinan
kontaminasi selama pengolahan sangat rendah, sehingga dalam prosesnya
akan menghasilkan HAp dengan tingkat kemurnian yang cukup tinggi
(Suryadi,2011) Keuntungan lain dari metode pengendapan basah yaitu
reaksinya sederhana, cocok untuk industri skala besar, dan tidak mencemari
lingkungan (Kehoe, 2008).

2.5 Fourier Transformed Infrared (FTIR)

Spektroskopi FTIR merupakan spektroskopi infra merah yang dilengkapi


dengan transformasi fourier untuk deteksi dan analisis hasil spektrumnya.
Inti spektroskopi FTIR adalah Inferometer Michelson yaitu alat untuk
menganalisis frekuensi dalam sinyal gabungan. Spektrum infra merah
tersebut dihasilkan dari pentransmisian cahaya yang melewati sampel,
pengukuran intensitas cahaya dengan detektor dan dibandingkan dengan
intensitas tanpa sampel sebagai fungsi panjang gelombang. Spektrum infra
merah yang diperoleh kemudian diplot sebagai intensitas fungsi energi,
panjang gelombang (µm) atau bilangan gelombang (cm-1) (Anam dkk,
2007). Spektroskopi infra merah dapat mengukur secara cepat gugus fungsi
tanpa merusak komponen dan mampu menganalisis beberapa komponen
secara serentak. Pada dasarnya Spektroskopi FTIR sama dengan
spektroskopi IR dispersi, yang membedakannya adalah pengembangan pada

6
sistem optiknya sebelum berkas sinar infra-merah melewati sampel
(Fannyda, 2014).

Secara umum dalam menganalisis senyawa FTIR berfungsi untuk


menidentifikasi senyawa organik karena spektrumnya sangat kompleks yang
terdiri dari banyak puncak-puncak. Spektrum IR dari senyawa organik
mempunyai sifat fisik yang khas sehingga kemungkinan dua senyawa
mempunyai spektrum yang sama sangat kecil (Muliati, 2016). Menurut
Hermita (2006) FTIR berfungsi untuk memberikan informasi struktur
molekul secara tepat dan akurat karena memiliki resolusi yang tinggi, selain
itu dalam mengidentifikasi sampel dapat dianalisis dalam berbagai fase
(padat, cair atau gas). Teknik ini memberikan informasi dalam hal kimia,
seperti struktur dan konformasional pada polimer dan polipaduan,
perubahan induksi tekanan dan reaksi kimia. (Kroschwitz, 1990).
Spektroskopi FTIR digunakan untuk (1) mendeteksi sinyal lemah; (2)
menganalisis sampel dengan konsentrasi rendah dan (3) analisis getaran
(Silverstain dan Bassler, 1967).

FTIR digunakan untuk mendeteksi gugus fungsi, mengidentifikasi senyawa


dan menganalisis campuran dari sampel yang dianalisis tanpa merusak
sampel. Daerah inframerah pada spektrum gelombang elektromagnetik
dimulai dari panjang gelombang 14000-10 cm-1. Daerah inframerah dibagi
menjadi tiga, yaitu IR dekat (14000-4000 cm-1) yang peka terhadap vibrasi
overtone, IR sedang (4000-400 cm-1) berkaitan dengan transisi energi
vibrasi dari molekul yang memberikan informasi mengenai gugus-gugus
fungsi dalam molekul tersebut, dan IR jauh (400-10cm-1) untuk
menganalisis molekul yang mengandung atom-atom berat seperti senyawa
anorganik tapi butuh teknik khusus (Sari dkk, 2018).

Pada analisis HAp FTIR digunakan untuk mengetahui karakterisasi senyawa


yang ditandai dengan pita-pita yang khas. Spektrum 𝑂𝐻 berada pada daerah
3800-2700 cm-1. Jika spektrum suatu senyawa muncul pada kisaran tersebut,
diduga senyawa mengandung gugus 𝑂𝐻 dalam strukturnya. Ciri khas yang

7
dimiliki gugus 𝑂𝐻 yaitu pita yang muncul menunjukkan pita lebar, jika pita
yang muncul tidak lebar (runcing), dianggap ikatan hidrogen tidak ekstensif
(Fessenden dan Joan, 1992). Ikatan hidrogen mempengaruhi bentuk dan
frekuensi pita serapan dari gugus fungsi tertentu, contohnya 𝑂 − 𝐻 dan 𝑁 −
𝐻. Gugus 𝑂 − 𝐻 bebas memberikan serapan dengan frekuensi yang lebih
besar dan intensitas yang tajam sedangkan gugus 𝑂 − 𝐻 terikat (terjadinya
ikatan hidrogen) memberikan serapan dengan frekuensi yang lebih rendah
dan lebar (Muliati, 2016). Intensitas tinggi pada gugus posfat (𝑃𝑂4 3− )
ditandai dengan adanya vibrasi bending dan stretching dari ikatan 𝑃 −
𝑂 pada daerah 1000-1150 cm-1 (Muliati, 2016).

8
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai bulan November


tahun 2020. Bertempat di Laboratorium Kimia Analitik, Laboratorium
Kimia Organik, Laboratorium Penelitian Jurusan Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Tadulako dan
Laboratorium Instrumentasi dan Analisis, Institut Teknologi Bandung.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan antara lain tanur, ayakan 100 mesh, lumpang, alu,
cawan porselin, magnetic stirrer, hot plate, oven, neraca analitik, gelas
kimia 2000 mL, 1000 mL, 250 mL, buret 100 mL, pipet tetes, pH meter
elektrik, pH meter elektrik, desikator, corong Buchner, spektoskopi FTIR.

Bahan yang digunakan antara lain cangkang telur puyuh, 𝐻𝑁𝑂3 2M dan
pekat, 𝑁𝐻4 𝑂𝐻 25%, gas 𝐶𝑂2, akuades, akuademin, 𝐻3 𝑃𝑂4 0,3M, 𝑁𝑎𝑂𝐻
1M, kertas saring whatmann no. 41 dan kertas pH universal.

3.3 Prosedur Kerja

3.3.1 Preparasi 𝑪𝒂𝑶 (Wardani dan Irdoni, 2015)

Cangkang telur puyuh dicuci dan dibersihkan, lalu dikeringkan


menggunakan oven pada suhu 110ºC selama 2 jam. Cangkang telur
yang telah kering kemudian dikalsinasi menggunakan Tanur pada
temperatur 1000ºC selama 5 jam untuk memperoleh 𝐶𝑎𝑂. 𝐶𝑎𝑂 yang
diperoleh dihaluskan menggunakan lumpang dan alu kemudian
diayak menggunakan ayakan 100 mesh.

9
3.3.2 Pembuatan Precipitated Calcium Carbonate (PCC) dari 𝑪𝒂𝑶
(Agustiyanti dkk, 2018)

Serbuk 𝐶𝑎𝑂 dilarutkan dengan 𝐻𝑁𝑂3 2M dengan rasio 17 g


𝐶𝑎𝑂/300 mL 𝐻𝑁𝑂3 2M lalu diaduk menggunkaan stirrer selama 30
menit selanjutnya disaring. Filtrat yang diperoleh dipanaskan pada
suhu 60ºC dan diatur sampai pH 12 dengan penambahan NH4OH
pekat lau disaring kembali. Filtrat dialiri dengan gas 𝐶𝑂2 secara
perlahan hingga pH 8 dan terbentuk endapan berwarna putih susu
yang selanjutnya disebut PCC (Precipitated Calcium Carbonate).
Endapan PCC disaring kemudian dicuci menggunakan akuades
samapi pH 7, selanjutnya dikeringkan di oven pada suhu 105ºC
sampai berat hasil timbangan konstan.

3.3.3 Sintesis Hidroksiapatit (Puspita dan Cahyaningrum, 2017)

Ditimbang 5 gram PCC dilarutkan dengan 100 mL akuademin, lalu


di titrasi dengan 100 mL larutan 𝐻3 𝑃𝑂4 0,3M tetes demi tetes
sambil diaduk menggunakan magnetic stirrer. Suspensi larutan di
diamkan selama 1 jam pada suhu 30ºC, selanjutnya ditambahkan
𝑁𝑎𝑂𝐻 1M tetes demi tetes hingga mencapai pH 11 yang di ukur
menggunakan pH meter elektrik lalu diaduk selama 30 menit.
Suspensi larutan didiamkan selama 24 jam, kemudian disaring.
Endapan dicuci menggunakan akuademin sebanyak tiga kali
kemudian dikeringkan pada suhu 110ºC selama 2 jam dilanjutkan
dengan menimbang massa endapan yang diperoleh dan
menambahkan 𝐻𝑁𝑂3 12M sebanyak 1 mL kemudian dimasukkan ke
dalam tanur dengan suhu 1000ºC selama 2 jam. Kristal dibiarkan
dingin dalam tanur selama 15 jam lalu dipindahkan dalam desikator
dan ditimbang massanya. Perlakuan diulang dengan variasi suhu
sintering 1100ºC dan 1200ºC.

10
3.3.4 Karakterisasi dengan Spektroskopi FTIR

Fourier Transformed Infrared (FTIR) digunakan untuk


mengidentifikasi gugus fungsi dari hidroksiapatit hasil sintesis.
Karakterisasi menggunakan FTIR dilakukan di Laboratorium
Instrumentasi dan Analisis Institut Teknologi Bandung.

Pada saat proses identifikasi senyawa HAp menggunakan FTIR


digunakan metode pellet KBr. Serbuk KBr dan sampel HAp padat
yang telah kering ditimbang dengan perbandingan (10:1) kemudian
dicampur dan digerus sampai benar-benar halus dan tercampur
sempurna, selanjutnya disiapkan cetakan pellet yang telah dicuci
dengan kloroform lalu ke dalam cetakan dimasukan campuran dari
serbuk KBr dan sampel HAp kemudian dihubungkan dengan pompa
vakum selama 5 menit untuk meminimalkan kadar air, selanjutnya
cetakan diletakan pada pompa hidrolik lalu diberi tekanan sampai
tanda 80 kemudian matikan pompa vakum dan turunkan tekanan
dalam cetakan dengan cara membuka kran udara, selanjutnya
lepaskan pellet KBr yang sudah terbentuk lalu diletakan pada tempat
pemegang kemudian dilakukan pengukuran menggunakan FTIR.

11
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHSAN

Sintesis hidroksiapatit (HAp) dilakukan dengan cara mereaksikan prekusor


kalsium dari PCC (Precipitated Calcium Carbonate) cangkang telur puyuh dan
perkusor fosfat dari asam fosfat (𝐻3 𝑃𝑂4). Sumber dari senyawa kalsium diperoleh
dari cangkang telur puyuh melalui proses sintesa Precipitated Calcium Carbonate
menggunakan metoda karbonasi dengan cara mengkalsinasi pada suhu lebih dari
900ºC sehingga terbentuk kalsium oksida (𝐶𝑎𝑂). Metoda karbonasi yang
dilakukan yaitu mereaksikan kalsium oksida hasil kalsinasi dengan larutan asam
anorganik (𝐻𝑁𝑂3) pada proses slaking. Penambahan 𝐻𝑁𝑂3 pada proses slaking
untuk meningkatkan kelarutan 𝐶𝑎𝑂 sehingga membentuk larutan 𝐶𝑎(𝑂𝐻)2
(Rahmawati dkk, 2015). Selanjutnya 𝐶𝑎(𝑂𝐻)2 dialiri gas 𝐶𝑂2 sampai pH 12 dan
terbentuk endapan PCC. Berikut reaksi yang terjadi selam proses pembuatan
Precipitated Calcium Carbonat; (1) proses kalsinasi; (2) proses slaking
(penambahan asam nitrat); (3) penambahan ammonia; dan (4) pengaliran gas
karbon dioksida (metode karbonasi).


𝐶𝑎𝐶𝑂3 → 𝐶𝑎𝑂 + 𝐶𝑂2 (1)

𝐶𝑎𝑂 + 2 𝐻𝑁𝑂3 → 𝐶𝑎𝑁𝑂3 + 𝐻2 𝑂 (2)

𝐶𝑎𝑁𝑂3 + 2 𝑁𝐻4 𝑂𝐻 → 𝐶𝑎(𝑂𝐻)2 + 𝑁𝑂3 (𝑁𝐻4 )2 (3)

𝐶𝑎(𝑂𝐻)2 + 𝐶𝑂2 → 𝐶𝑎𝐶𝑂3 + 2 𝐻2 𝑂 (4)

Sintesis hidroksiaptit dilakukan menggunakan metode pengendapan basah.


Metode ini digunakan karena tingkat homogenitas komposisi yang tinggi dapat
dicapai dengan mudah dalam suhu rendah, sederhana, ekonomis dan mudah
dilakukan. Pada proses sintesis PCC sebagai sumber kalsium dilarutkan dengan
𝐻2 𝑂 sehingga terbentuk larutan 𝐶𝑎(𝑂𝐻)2 melalui persamaan reaksi berikut;

12
𝐶𝑎𝐶𝑂3 + 2 𝐻2 𝑂 → 𝐶𝑎(𝑂𝐻)2 + 𝐶𝑂2

Selanjutnya larutan 𝐶𝑎(𝑂𝐻)2 yang terbentuk di reaksikan dengan larutan 𝐻3 𝑃𝑂4.


menggunakan metode single drop atau dalam sekali penambahan. Kemudian pH
larutan diatur menjadi 11 dengan penambahan larutan 𝑁𝑎𝑂𝐻, digunakan pH 11
karena mempunyai kristalinitas yang baik pada saat pembentukan fasa HAp hal
ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Agustiyanti, dkk (2018).
Selanjutnya larutan di aging selama 24 jam pada suhu ruang sebagai proses
pembentukan kristal. Selanjutnya larutan didekantasi dan dicuci dengan
aquademin sebanyak tiga kali untuk menghilangkan 𝑁𝑎𝑂𝐻, kemudian endapan
yang diperoleh dikeringkan di oven dengan suhu 110ºC untuk mengurangi kadar
air. Selanjutnya endapan di tambahkan larutan 𝐻𝑁𝑂3 yang berfungsi untuk
menghilangkan ion karbonat serta memaksimalkan proses pembentukan HAp
pada saat proses sintering berlangsung (Ningsih dkk, 2014). Menurut Ardhiyanto
(2013), reaksi yang terjadi pada saat penambahan 𝐻𝑁𝑂3 ke dalam endapan
sebagai berikut;

𝐶𝑎10 (𝑃𝑂4 )6 𝐶𝑂3 + 4𝐻𝑁𝑂3 → 𝐶𝑎10 (𝑃𝑂4 )6 (𝑂𝐻)2 + 4𝑁𝑂2 + 𝐶𝑂2 + 2𝑂2 + 𝐻2 𝑂

4.1 Pengaruh Suhu Sintering Terhadap Spektrum FTIR

Analisis FTIR dilakukan untuk mengidentifikasi senyawa yang terdapat


pada sampel melalui vibrasi gugus fungsi terhadap atam-atom penyusun
senyawa yang ditunjukan melalui bilangan gelombang dengan intensitas
tertentu.

Berdasarkan hasil analisis diperoleh gugus hidroksil (𝑂𝐻)− ; fosfat


(𝑃𝑂4 )3− ; hidroksil (𝐶𝑂3 )2− ; dan 𝐻 − 𝑂 − 𝐻 atau 𝐻2 𝑂. Pada penelitian ini
HAp disintesis dengan suhu sintering 1000ºC; 1100ºC; dan 1200ºC pada
panjang gelombang 450-4500 cm-1. Spektrum transitansi IR berupa pita
serapan seperti yang terlihat pada Gambar 4.1; Gambar 4.2; dan Gambar
4.3.

13
2374.37
90

449.41
1627.92
%T

495.71
727.16
75

3450.65
60

45

1217.08

941.26

609.51
555.50
30

972.12
1074.35
15

1033.85
4500 4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 1000 750 500
H1 1/cm

Gambar 4.1 Spektrum FTIR HAp dari suhu sintering 1000ºC

Berdasarkan spektrum FTIR dari senyawa HAp hasil sintesis dengan suhu
sintering 1000ºC dapat dilihat pada Gambar 4.1 menunjukan adanya serapan
pada gugus 𝑂𝐻 − pada bilangan gelombang 3450,65 cm-1. Sedangkan
serapan pada gugus 𝑃𝑂4 3− dapat dilihat pada bilangan gelombang 941,26
cm-1 dan 972,12 cm-1 berupa vibrasi stretching phosphate, pada bilangan
gelombang 495,71 cm-1 berupa vibrasi bending, pada bilangan gelombang
1033,85 cm-1 dan 1074,35 cm-1 berupa vibrasi stretching asymmetric
phosphate dan pada bilangan gelombang 555,50 cm-1 dan 609,51 cm-1
berupa vibrasi bending asymmetric.

Selain menunjukan keberadaan gugus 𝑂𝐻 − dan 𝑃𝑂4 3− spektrum FTIR juga


menunjukan adanya gugus 𝐶𝑂3 2− yang ditandai dengan adanya serapan
pada bilangan gelombang 727,16 cm-1 berupa vibrasi bending split in-plane.
Selain itu adanya serapan pada bilangan gelombang 1627,92 cm-1
menandakan adanya 𝐻2 𝑂 pada HAp hasil sintesis.

14
2372.44
90

433.98
%T

1433.11
75

3454.51
60

45

551.64
30

977.91

605.65
15

1120.64
-0

1039.63
4500 4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 1000 750 500
H2b 1/cm

Gambar 4.2 Spektrum FTIR HAp dari suhu sintering 1100ºC

Berdasarkan spektrum FTIR dari senyawa HAp hasil sintesis dengan suhu
sintering 1100ºC dapat dilihat pada Gambar 4.2 menunjukan adanya serapan
pada gugus 𝑂𝐻 − pada bilangan gelombang 3454,51 cm-1. Sedangkan
serapan pada gugus 𝑃𝑂4 3− dapat dilihat pada bilangan gelombang 977,91
cm-1 berupa berupa vibrasi stretching phosphate, pada bilangan gelombang
1039,63 cm-1 berupa vibrasi stretching asymmetric phosphate dan pada
bilangan gelombang 551,64 cm-1 dan 605,65 cm-1 berupa vibrasi bending
asymmetric .

Selain menunjukan keberadaan gugus 𝑂𝐻 − dan 𝑃𝑂4 3− spektrum FTIR juga


menunjukan adanya gugus 𝐶𝑂3 2− yang ditandai dengan adanya serapan
pada bilangan gelombang 1433,11 cm-1 berupa vibrasi stretching
asymmetric.

15
2856.58
90

2927.94
%T

1631.78

1485.19
1425.40
75

60

3452.58

634.58
45

601.79
30
3641.60

569.00
1093.64
15

1047.35
4500 4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 1000 750 500
H3 1/cm

Gambar 4.3 Spektrum FTIR HAp dari suhu sintering 1200ºC

Berdasarkan spektrum FTIR dari senyawa HAp hasil sintesis dengan suhu
sintering 1200ºC dapat dilihat pada Gambar 4.3 menunjukan adanya serapan
pada gugus 𝑂𝐻 − pada bilangan gelombang 3452,58 cm-1; 3641,60 cm-1 dan
634,58 cm-1. Sedangkan serapan pada gugus 𝑃𝑂4 3− dapat dilihat pada
bilangan gelombang 1047,35 cm-1 dan 1093,64 cm-1 berupa vibrasi
stretching asymmetric phosphate dan pada bilangan gelombang 569,00
cm-1 dan 601,65 cm-1 berupa vibrasi bending asymmetric.

Selain menunjukan keberadaan gugus 𝑂𝐻 − dan 𝑃𝑂4 3− spektrum FTIR juga


menunjukan adanya gugus 𝐶𝑂3 2− yang ditandai dengan adanya serapan
pada bilangan gelombang 1425,40 cm-1 dan 1485,19 cm-1 berupa vibrasi
vibrasi stretching asymmetric. Selain itu adanya serapan pada bilangan
gelombang 1631,78 cm-1 menandakan adanya 𝐻2 𝑂 pada HAp hasil sintesis.

Hasil analisis spektrum FTIR dapat dilihat pada Tabel 4.1 berupa rentang
bilangan gelombang gugus fungsi yang terdapat pada senyawa HAp hasil
sintesis dengan variasi suhu sintering 1000ºC; 1100ºC; dan 1200ºC yang
akan dibandingkan dengan rentang bilangan gelombang HAp yang telah
dilakukan oleh Salma, dkk (2009) , Musa, dkk (2016) dan Rachman, dkk
(2018).

16
Tabel 4.1 Hasil Analisi Bilangan Gelombang HAp Hasil Sintesis dengan
Literatur

Bilangan Gelombang (cm-1)

Gugus HAp Hasil Sintesis Salma Musa Rachman


dkk dkk dkk
1000ºC 1100ºC 1200ºC (2009) (2016) (2018)

3452,58;
(𝑂𝐻)− 𝑣𝑠 3450,65 3454,51 3571 3421,72 3641,60
3641,60

(𝑂𝐻)− 𝑣𝐿 643,58 632


941,26;
(𝑃𝑂4 )3− 𝑣1 977,91 962 960,55 964,41
972,12

(𝑃𝑂4 )3− 𝑣2 495,71 469 472,56 486,21

1033,85; 1047,35; 1046; 1041,59


(𝑃𝑂4 )3− 𝑣3 1039,63 1095,57
11074,35 1093,64 1088 1095,57

524,64;
555,50; 551,64; 569,00; 599; 603,72;
(𝑃𝑂4 )3− 𝑣4 570,93;
609,450 605,65 601,79 560 563,21
600
(𝐶𝑂3 )2− 𝑣2 875
1425,40; 1482;
(𝐶𝑂3 )2− 𝑣3 1433,11 1448,54 1435,04
1485,19 1424
(𝐶𝑂3 )2− 𝑣4 727,16
3700-
𝐻𝑂𝐻 1627,92 1631,78 3100;
1637

Berdasarkan hasil dari karakterisasi spektrum FTIR pada HAp yang


dianalisis dengan suhu sintering 1000ºC; 1100ºC; dan 1200ºC menunjukan
adanya serapan gugus 𝑂𝐻 − pada rentang bilangan gelombang 3641-3450
cm-1 dan pada rentang bilangan gelombang 643 cm-1. Menurut Henggu, dkk
(2019) gugus 𝑂𝐻 − yang teridentifikasi pada rentang bilangan gelombang
kisaran 3466 cm-1 merupakan vibrasi stretching symmetric dari ikatan
hidroksil (𝑂𝐻 − ) dan amida (𝑁𝐻2 ). Pada rentang bilangan gelombang 3571
cm-1 dan 632 cm-1 merupakan karakteristik stretching dan vibrational mode
dari struktur gugus 𝑂𝐻 (Salma dkk, 2009).

17
Hasil analisis juga menunjukan adanya gugus 𝑃𝑂4 3− dengan rentang
bilangan gelombang 1093-1033 cm-1; 977-941cm-1; 609-551 cm-1; dan 495
cm-1. Gugus fosfat merupakan gugus yang memiliki puncak bilangan
gelombang paling tajam dikarenakan gugus ini merupakan gugus utama
pembentuk senyawa HAp. Gugus fosfat memilki vibrasi stretching
asymmetric phosphate (𝑣3 − 𝑃𝑂4 3− ) pada rentang bilangan gelombang
sekitar 1090-1030 cm-1, vibrasi stretching phosphate (𝑣1 − 𝑃𝑂4 3− ) pada
rentang bilangan gelombang 980-960 cm-1, vibrasi bending asymmetric
(𝑣4 − 𝑃𝑂4 3− ) pada rentang bilangan gelombang sekitar 600-500 cm-1, dan
vibrasi bending (𝑣2 − 𝑃𝑂4 3− ) pada rentang bilangan gelombang 500-470
cm-1 (Rachmania, 2012).

Selain gugus 𝑂𝐻 − dan gugus 𝑃𝑂4 3− , pada senyawa HAp hasil sintesis juga
teridentifikasi gugus 𝐶𝑂3 2− . Adanya gugus karbonat pada senyawa HAp
hasil sintesis dimungkinkan karena proses sintesis berlangsung dalam
keadaan terbuka sehingga 𝐶𝑂2 bebas yang berada di udara berikatan dengan
aquades (pelarut) dan membentuk anion 𝐶𝑂3 2− lalu masuk ke dalam kisi
kristal HAp. Ion 𝐶𝑂3 2− yang masuk ke dalam kisi kristal HAp akan
menggantikan ion 𝑂𝐻 − ataupun ion 𝑃𝑂4 3− dan menghasilkan carbonated-
HAp (CHAp) (Afshar dkk, 2003). Kebardaan gugus 𝐶𝑂3 2− berada pada
rentang bilangan gelombang 1485-1425 cm-1 dan 727 cm-1. Menurut Plav,
dkk (1999) gugus 𝐶𝑂3 2− dapat diidentifikasi berdasarkan transmisi planar
ion 𝐶𝑂3 2− pada vibrasi molekul ikatan karboksil (𝑂 − 𝐶) pada panjang
gelombang 1600-600 cm-1 yang dicirikan dengan empat jenis vibrasi yakni
vibrasi stretching asymmetric (𝑣3 − 𝐶𝑂3 2− ) pada kisaran panjang
gelombang 1535-1387 cm-1, vibrasi stretching symmetric (𝑣1 − 𝐶𝑂3 2− )
pada kisaran panjang gelombang 1090-1070 cm-1, vibrasi bending out-of-
plane pada kisaran panjang gelombang 850-800 cm-1, dan vibrasi bending
split in-plane pada kisaran panjang gelombang 755-700 cm-1. Selain gugus
𝐶𝑂3 2− pada hasil sintesis HAp juga masih terdapat molekul air berupa
gugus 𝐻 − 𝑂 − 𝐻 yang teridentifikasi pada daerah panjang gelombang

18
1627-1631. Menurut Salma dkk (2009) adanya pita absorbsi pada dearah
kisaran 1637 yang beasal dari adanya vibrasi bending hydrogen (𝑂 − 𝐻 )
dari gugus 𝑂𝐻 − yang berikatan hidrogen.

Pada HAp dengan suhu sintering 1000ºC menunjukan satu gugus 𝐶𝑂3 2− dan
satu gugus 𝐻 − 𝑂 − 𝐻. Pada HAp dengan suhu sintering 1100ºC
menunjukan satu gugus 𝐶𝑂3 2− dan bebas dari gugus −𝑂 − 𝐻 . Sedangkan
pada HAp dengan suhu sintering 1200ºC menunjukan dua gugus 𝐶𝑂3 2− dan
satu gugus 𝐻 − 𝑂 − 𝐻. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dapat
disimpulkan bahwa senyawa HAp terbaik diperoleh pada hasil sintesis
dengan suhu sintering 1100ºC dibandingkan dengan HAp suhu sintering
1000ºC dan 1200ºC. Hal ini dikarenakan pada banyaknya gugus 𝐶𝑂3 2− yang
terbentuk selain itu juga teridentifikasi gugus 𝐻 − 𝑂 − 𝐻 dimana senyawa
HAp yang terbentuk masih terikat dengan molekul air.

19
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, suhu sintering


berpengaruh pada tingkat kemurnian hidroksiapatit yang dihasilkan, pada
suhu sintering 1000ºC selain gugus 𝑂𝐻 − dan gugus 𝑃𝑂4 3− teridentifikasi
gugus 𝐶𝑂3 2− pada kisaran bilangan gelombang 727 cm-1 (𝑣4 ); dan gugus
𝐻 − 𝑂 − 𝐻 pada kisaran bilangan gelombang 1627 cm-1. Pada suhu
sintering 1100ºC selain gugus 𝑂𝐻 − dan gugus 𝑃𝑂4 3− teridentifikasi gugus
𝐶𝑂3 2− pada kisaran bilangan gelombang 1433 cm-1 (𝑣3 ). Sedangkan pada
suhu sintering 1200ºC selain gugus 𝑂𝐻 − dan gugus 𝑃𝑂4 3− teridentifikasi
gugus 𝐶𝑂3 2− pada kisaran bilangan gelombang 1485-1425 cm-1 (𝑣3 ); dan
gugus 𝐻 − 𝑂 − 𝐻 pada kisaran bilangan gelombang 1631 cm-1. Sehingga
suhu terbaik untuk mensitensis senyawa hidroksiapatit dari Precipitated
Calcium Carbonate (PCC) cangkang telur puyuh adalah suhu 1100ºC karena
hanya memiliki satu pita serapan pada gugus 𝐶𝑂3 2− dan bebas 𝐻 − 𝑂 − 𝐻.

5.2 Saran

Untuk mengetahui struktur permukaan kristal dan melihat adanya


dekomposisi parsial pada senyawa hidroksiapatit dari Precipitated Calcium
Carbonate (PCC) cangkang telur puyuh dapat dilakukan uji lanjutan
menggunakan SEM.

20
DAFTAR PUSTAKA

Afshar, A., Ghorbani, M., Ehsani, N., Saeri, M. R. & Sorrell, C. C. Some
Important Factors in the Wet Precipitation Process of Hydroxyapatite.
Materials & Design. Volume 24, Issue 3 (2003), Pages 197-202.
Agustiyanti, R. D., Aziz, Y., dan Helwanni, Z. Sintesis Hidroksiapatit dari
Precipitated Calcium Carbonate (PCC) Cangkang Telur Ayam Ras
Melalui Proses Presipitasi. Jom FTEKNIK. Volume 5, Nomor 1 (2018).
Anam, C., Sirojudin, S., dan Firdausi, K. S. Analisis Gugus Fungsi pada Sampel
Uji, Bensin dan Spiritus Menggunakan Metode Spektroskopi FTIR.
Berkala Fisika. Volume 10, Nomor 1 (2007), Halaman 79-85.
Anggraini, D. R. dan Subakti, Y. (2011) Super Komplit Menu Sehari-hari
Sepanjang Masa. Kawah Media. Cipedak-Jagakarsa.
Ardhiyanto, H. B. (2013). Sintesis dan Karakterisasi Hidroksiapatit dari Kalsit
Puger Kabupaten Jember Sebagai Material Bone Graft. Penelitian Dosen
Pemula. Jember: Universitas Jember.
Aziz, M. Y., Putri, T. R., Aprilia, F. R., Ayuliasari, Y., Hartini, O. A. D. dan
Putra, M. R. Eksplorasi Kadar Kalsium (Ca) dalam Limbah Cangkang
Kulit Telur Bebek dan Burung Puyuh Menggunakan Metode Titrasi dan
AAS. al-Kimiya. Volume 5, Nomor 2 (2018), Halaman 74-77.
Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. (2018). Statistik Populasi
Puyuh dan Produksi Telur Puyuh. Kementrian Pertanian Indonesia.
Jakarta.
Ensminger, M. E. 1992. Poultry Science (Animal Agricultural Series). Interstate
Publisher, Inc, Danville, Illinois.
Fannyda, R. (2014). Pengaruh Ekstrak Daun Medang Perawas (Litsea odorifera
Val.) Terhadap Tukak Lambung Mus musculus dan Karakterisasi Gugus
Fungsi dengan Spektroskopi FTIR. Skripsi Fakultas Kegeruan dan Ilmu
Pendidikan. Bengkulu: Universitas Bengkulu.
Ferraz M. P., Monteiro F. J., and Manuel C. M. Hydroxyapatite Nanoparticles: A
Review of Preparation Methodologies. Journal of Applied Biomaterials
and Biomechanics. Volume 2, (2004), Pages 74–80.
Fessenden, R. J. dan Joan S. F. (1992). Organic Chemistry, Terjemahan Aloysius
Hadyana Pudjaatmaka. Erlangga. Jakarta.
Hartono, dan Isman. (2010). Kiat Sukses Menetaskan Telur Ayam. Penerbit Agro
Media Pustaka. Yogjakarta.
Henggu, K. U., Ibrahim, B., dan Suptijah, P. Hidroksiapatit dari Cangkang Sotong
Sebagai Sediaan Biomaterial Perancah Tulang. JPHPI, Volume 22, Nomor
1 (2019)
Hermita. (2006). Analisis Fisika Kimia. Departemen Farmasi FMIPA-UI. Jakarta.

21
Hui, P., S. L. Meena, G. Singh, R. D. Agarawal, dan S. Prakash. Synthesis of
Hydroxyapatite Bioceramic Powder by Hydrothermal Method. Journal of
Minerals and Materials Characterization & Engineering, Volume 9,
Number 8 (2010), Pages 683-692.
Kantharia, N., Naik, S., Apte, S., Kheur, M., Kheur, S., and Kale, B. Nano-
hydroxyapatite and Its Contemporary Applications. Journal of Dental
Research and Scientific Development. Volume 1, Issue 1 (2014), Pages
15–19.
Kasaj, A., Willershausen, B., Junker, R., Stratul Sl., Schmidt, M. Human
Periodontal Ligament Fibroblasts Stimulated by Nanocrystalline
Hydroxyapatite Paste or Enamel Matrix Derivative: An In Vitro
Assessment of PDL Attachment, Migration, and Proliferation. Clin Oral
Invest. Volume 16, Issue 3 (2012), Pages 745–754.
Kasmujiastuti, E., dan Yuniari, A. Pengaruh Filter PCC (Precipitated Calcium
Carbonate) Terhadap Sifat Mekanik, Elektrik, Termal dan Morfologi dari
Komposit HDPE/PCC. Majalah Kulit, Karet dan Plastik. Volume 28,
Nomor 1 (2012). Halaman 35-43.
Kattimani, V.S., Chakravarthi, P.S., Kanumuru, N.R., Subbarao, V.V.,
Sidharthan, A., and Kumar, T. S. S. Eggshell Derived Hydroxyapatite as
Bone Graft Substitute in the Healing of Maxillary Cystic Bone Defects: A
Preliminary Report. Journal of International Oral Health. Volume 6, Issue
3 (2014), Pages 15–19.
Kehoe, S. (2008). Optimization of Hydroxyapatite (HAp) for Orthopaedic
Application via the Chemical Precipitation Technique. Tesis School of
Mechanical and Manufacturing Engineering. Dublin: Dublin City
University.
Kroschwitz, J. (1990). Polymers: Polymer Characterization and Analysis,
Encyclopedia ,Reprint Series. John Wiley & Sons. New York.
Loka, W. P. (2017). Performa Produksi Telur Puyuh (Coturnix Coturnix
Japanica) yang Diberi Ransum Mengandung Bangkil Inti Sawit. Skripsi
Fakultas Pertanian. Jambi: Universitas Jambi.
Metwally, H. A., Ardazishvili, R. V., Severyukhina, A. N., Zaharevich, A. M.,
Skaptsov, A. A., Venig, S. B., Sukhorukov, G. B. and Gorin, D. A. The
Influence of Hydroxyapatite and Calcium Carbonate Microparticles on the
Mechanical Properties of Nonwoven Composite Materials Based on
Polycaprolactone. BioNanoScience. Volume 5, Issue 1 (2015), Pages 22-
30.
Muliati. (2016). Sintesis dan Karakterisasi Hidroksiapatit dari Tulang Ikan Tuna
(Thunus sp) dengan Metode Sol-Gel. Skripsi Fakultas Sains dan
Teknologi. Makassar: Universitas Islam Negeri Alauddin.
Musa, B., Raya, I., and Natsir, H. Synthesis and Characterizations of
Hydroxyapatite Derived Blood Clam Shells (Anadara granosa) and Its
Potency to Dental Remineralizations. International Journal of Applied
Chemistry. Volume 12, Number 4 (2016), Pages 527-538.

22
Nascimento, C. D., Paulo, J., Issa, M., Oliveira, Rafael, R. D., Iyomasa, M. M.,
Siéssere, S., and Regalo, S. C. Biomaterials Applied to the Bone Healing
Process. International Journal of Morphology. Volume 25, Issue 4 (2007),
Pages 839-846.
Nayak, A. K. Hydroxyapatite Synthesis Methodologies: An Overview.
International Journal of ChemTech Research. Volume 2, Issue 2 (2010),
Pages 903-907.
Ningsih, R. P., Wahyuni, N., dan Destiarti, L. Sintesis Hidroksiapatit dari
Cangkang Kerang Kepah (Polymesoda Erosa) dengan Variasi Waktu
Pengadukan. Jurnal Kimia Khatulistiwa. Volume 3, Nomor 1 (2014),
Halaman 22-26.
Nurhepi. (2008). Pengaruh CaO dan Penambahan Asam Organik terhadap
Pembentukan Precipitated Calcium Carbonat (PCC) Melalui Metoda
Karbonasi, Tesis Program Pascasarjana. Padang: Universitas Andalas.
Petit, R. The Use of Hydroxyapatite in Orthopedic Surgery. European Journal of
Orthopaedic Surgery and Traumatology. Volume 9, Number 2 (1999),
Pages 71-74.
Plav, B. S., Kobe, and Oriel, B. Identification of Crystallization Forms of CaCO3
with FTIR Spectroscopy. Kovine Zlitine Tehnology. Volume 33, Issue 6
(1999), Pages 517-522
Pupita, F. W. dan Cahyaningrum, S. E. Sintesis dan Karakterisasi Hidroksiapatit
dari Cangkang Telur Ayam Ras (Gallus gallus) Menggunakan Metode
Pengendapan Basah. UNESA Journal of Chemistry. Volume 6, Nomor 2
(2017), Halaman 100-106.
Rachman, A., Sifiyaningsih, N., dan Wahyudi, K. Karakteristik Mineralogi
Material Biokeramik Jenis Kalsium Fosfat Dari Cangkang Kerang
Simping (Amusium pleuronectes)
Rachmania P, Aida. (2012). Preparasi Hidroksiapatit dari Tulang Sapi Dengan
Metode Kombinasi Ultrasonik dan Spray Drying. Tesis Fakultas Teknik.
Depok: Universitas Indonesia.
Rahmawati, L., Amri, A., Zultiniar, dan Yelmida. Sintesa Precipitated Calcium
Carbonate (Pcc) dari Cangkang Kerang Darah (Anadara Granosa) dengan
Variasi Ukuran Partikel dan Waktu Karbonasi. Jom FTEKNIK. Volume 2,
Nomor 2 (2015).
Salma, K., Berzina-Cimdina, L., and Borodajenko, N. Calcium Phosphate
Bioceramics Prepared from Wet Chemically Precipitated Powders.
Processing and Application of Ceramics. Volume 4, Issue 1 (2010),
Pages 45–51.
Santos, M. H., Olivira, M., Souza, L. P. F., Mansur, H. S., and Vasconcelos, W. L.
Synthesis Control and Characterization of Hydroxyapatite Prepred by Wet
Precipitation Process. Materials Research. Volume 7, Number 4 (2004),
Pages 625-630.

23
Sari, N. W., Fajri, M. Y. dan W. Anjas. Analisis Fitokimia dan Gugus Fungsi dari
Ekstrak Etanol Pisang Goroho Merah (Musa Acuminate (L)). IJOBB
Volume 2, Nomor 1 (2018).
Silverstain, R. M., and Bassler, G. C. (1967). Spectroscopic Identification of
Organic Compounds. Second Edition. John Wiley & Sons. New York.
Suryadi. (2011). Sintesis dan Karakterisasi Biomaterial Hidroksiapatit dengan
Proses Pengendapan Kimia Basah. Tesis Fakultas Teknik. Depok:
Universitas Indonesia.
Wardani, N. S. dan Irdoni, A. F. Sintesis Hidroksiapatit dari Cangkang Telur
dengan Metode Pengendapan Basah. JOM FTeknik. Volume 2, Nomor 1
(2015).
Wei, Z., Xu, C. dan Li, B. Application of Waste Eggshell as Low-Cost Solid
Catalyst for Biodiesel Production. Volume 100, Issue 11 (200), Pages
2883-2885.
Ylinen, P. (2006). Apllications of Coralline Hydroxyapatite with Bioreserbable
Cointaiment and Reinforcement as Bonegraft Subsitute. Academic
Disertation Medical Faculty. Helsinki: University of Helsinki.

24
LAMPIRAN

Lampiran I. Bagan Alir

I. Preparasi Cangkang Telur Puyuh

Cangkang Telur Puyuh

- Bersihkan
- Cuci
- Keringkan di oven suhu 110°𝐶
- Kalsinasi pada suhu 1000°𝐶
selama 5 jam
- Haluskan
- Ayak dengan ayakan 100 mesh
CaO

25
II. Pembuatan PCC (Precipitated Calcium Carbonate) dari CaO

𝐶𝑎𝑂 + 𝐻𝑁𝑂3 2𝑀 (𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 17 𝑔 𝐶𝑎𝑂⁄300 𝑚𝐿 𝐻𝑁𝑂3 2𝑀

- Aduk menggunkan stirrer dengan


selama 30 menit
- Saring

Filtrat Endapan
- Panaskan pada suhu 60°𝐶
+ 𝑁𝐻4 𝑂𝐻 pekat sampai pH 12
- Saring

Filtrat Endapan

- Aliri gas 𝐶𝑂2 sampai


pH 8 dan terlihat endapan
berwarna putuh susu

Endapan PCC

Filtrat - Saring
- Cuci dengan akudes sampai pH
7
- Keringkan di oven suhu 105°𝐶
- Timbang

PCC

26
III. Sintesis Hidroksiapatit

5 g PCC
+ 100 mL akuademin
- Endapkan dengan 100 mL 𝐻3 𝑃𝑂4
- Aduk dengan magnetic stirrer
- Diamkan selama 1 jam, suhu 30°𝐶
+ 𝑁𝑎𝑂𝐻 1𝑀 sampai pH 11
- Aduk 30 menit dengan magnetic stirrer
- Diamkan selama 24 jam
- Saring

Filtrat Endapa
n
- Cuci dengan akuademin tiga kali
- Keringkan suhu 110°𝐶, 2 jam
- Timbang
+ 𝐻𝑁𝑂3 12 𝑀 sebanyak 1 mL
- Tanur pada suhu
900°𝐶, 1000°𝐶, 𝑑𝑎𝑛 1100°𝐶 selama 2 jam
- Dinginkan 15 jam dalam tanur
- Desikator
- Timbang

Kristal Hap Kristal Hap Kristal Hap


suhu suhu 1100°𝐶 suhu 1100°𝐶
1000°𝐶

Karakterisasi
menggunakan FTIR

27

Anda mungkin juga menyukai