Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO 2 : TRAUMA OROMAKSILOFASIAL

BLOK 18

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 5

TUTOR : drg. Ditha Noviantika

KETUA : ASIH PUSPITA PUTRI

SEKRETARIS : AULYA DWINA DAN CAHYANA FITRIA

ASIH PUSPITA PUTRI

AULYA DWINA

CAHYANA FITRIA

DILLA AZANA FITRI

DOKTA BELLA ZUHURINA

HANIYAH ATSILA NASRI

MEBBY PUTRI INSANI

NGESTI NUR TIARA N.

RETNO SRI MULYANI

SOFIE BOSOMA SYAMRA

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial skenario 2 di
Blok 18 ini dengan baik.
Laporan tutorial ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Blok18 yang
merupakan bagian dari sistem pembelajaran SCL di Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Andalas Padang.
Kami mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kemudahan dalam penyusunan laporan ini dan kepada pembimbing
kami, drg. Ditha Noviantika yang telah membimbing kami dalam proses tutorial
dan kepada teman-teman yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk
menyelesaikan tugas tutorial ini dengan baik.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi proses pembelajaran
selanjutnya dan bagi yang membutuhkan.

Padang, April 2018

Kelompok 5

2
DAFTAR ISI

Kata pengantar ............................................................................................................................


Daftar isi ............................................................................................................................... .....
Skenario 2 blok 18 ....................................................................................................... ..............
Terminologi .................................................................................................................. ..............
Identifikasi masalah ..................................................................................................... ..............
Analisis masalah........................................................................................................... ..............
Skema ........................................................................................................................... ..............
Learning objectives
1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang fraktur maksilofasial dan
penatalaksanaannya
2. Mahasiswa mampu menjelaskan mengenai fraktur dentoalveolar dan
penatalaksanaannya
3. Mahsiswa mampu menjelaskan mengenai fraktur mandibula dan
penatalaksanaannya
4. Mahasiswa mampu menjelaskan mengenai alat dan metode fiksasi pada
kasus fraktur oromaksilofasial
5. Mahasiswa mampu menjelaskan mengenai penanganan dislokasi mandibula
6. Mahasiswa mampu menjelaskan mengenai penatalaksanaan replantasi gigi
avulsi
7. Mahasiswa mampu menjelaskan mengenai prosedur penyembuhan luka
8. Mahasiswa mampu menjelaskan mengenai penatalaksanaan komunikasi
oroantral

3
Skenario 2 “Harus operasi besar nih ...”

Pasien laki – laki berusia 27 tahun datang ke IGD RS Unand dirujuk dari
RSUD dengan keluhan patah rahang bawah dan rahang atas akibat kecelakaan lalu
lintas 7 jam yang lalu. Riwayat pingsan (+), mual – muntah (+), perdarahan
hidung dan mulut (+). Hasil pemeriksaan ekstraoral ditemukan moonface, racoon
eyes vulnus punctum at regio submental dan vulnus laceratum at labii superior.
Hasil pemeriksaan intra oral ditemukan avulsi gigi 12,11, intrusi gigi 21, mobility
derajat 3 gigi 22. Dokter menegakkan diagnois suspect fraktur panfasial dan
fraktur dentoalveolar, harus dilakukan initial treatment berupa wiring dengan
menggunakan arch bar dan replantasi gigi avulsi dan rencana operasi ORIF elektif
dalam narkose umum. Berdasarkan anamnesis dari orang tua pasien pernah
dioperasi penutupan lubang sinus dan rahang bawah lepas.

Bagaimana saudara menjelaskan penatalaksanaan kasus trauma diatas?

Langkah Seven Jumps

1. Mengklarifikasi terminology yang tidak diketahui dan mendefinisikan hal-hal


yang dapat menimbulkan kesalahan interpretasi
2. Menentukan masalah
3. Menganalisis masalah melalui brain storming dengan menggunakan prior
knowledge
4. Membuat skema atau diagram dari komponen-komponen permasalahan dan
mencari korelasi dan interaksi antar masing-masing komponen untuk membuat
solusi secara terintegrasi
5. Memformulasikan tujuan pembelajaran
6. Mengumpulkan informasi di perpustakaan.internet dan lain-lain
7. Sintesa dan uji informasi yang diperoleh

A. Terminologi

1. Racoon eyes
Racoon eyes yaitu kondisi ekimosis periorbital / memar disekitar mata.
2. Moon face
Moon face yaitu ondisi wajah membengkak bertahap hingga berbentuk bulat.
3. Vulnus punctum
Vulnus punctum yaitu luka tusuk.Penyebab adalah benda runcing tajam atau
sesuatu yang masuk ke dalam kulit, merupakan luka terbuka dari luar tampak
kecil tapi didalam mungkin rusak berat, jika yang mengenai abdomen/thorax
disebut vulnus penetrosum(luka tembus).
4. Vulnus laceratum

4
Vulnus laceratum dirtikan sebagai luka robek. Jenis luka ini disebabkan oleh
karena benturan dengan benda tumpul, dengan ciri luka tepi luka tidak rata dan
perdarahan sedikit luka dan meningkatkan resiko infeksi.

5. Fraktur panfasial
Fraktur [panfasial yaitu fraktur yang melibatkan tulang wajah atas, tengah dan
bawah.

6. Fraktur dentoalveolar
Fraktur dentoalveolar adalah fraktur pada tulang alveolar atau jaringan keras
gigi.

7. Operasi ORIF
ORIF(Open Reduction Interna Fixation) yaitu suatu tindakan bedah untuk
memanipulasi tuang – tulnag fraktur agar kondisi kembali ke posisi semula.
Diartikan juga sebagai fiksasi interna dengan pembedahan terbuka untuk
mengistirahatkan fraktur dengan melakukan pembedahan untuk memasukkan
paku, screw, kedalam tempat fraktur untuk menguatkan / mengikat bagian –
bagian tulang yang fraktur secara bersamaan.

8. Elektif
Elektif yaitu prosedur bedah yang dilakukan dengan persiapan dan kondisi
yang baik.

9. Narkose umum
Narkose umum sama artinya dengan anastesi umum, dimajna terjadi
kehilangan kesadaran dan bersifat reversible.

B. Rumusan Masalah

1. Apa penyebab moonface pada pasien?


2. Apa saja hal – hal yang harus diperhatikan untuk replantasi gigi?
3. Apa tujuan dilakukan operasi ORIF?
4. Apa tujuan dilakukan wiring dengan arch bar?
5. Apa saja indikasi operasi ORIF?
6. Kenapa dokter gigi memilih dilakukan narkose umum?
7. Bagaimana penanganan gigi intrusi pada pasien?
8. Bagaimana penanganan gigi mobility pada pasien?
9. Bagaimana penatalkasanaan luka tusuk dan luka robek pada pasien?
10. Bagaimana penatalaksanaan fraktur panfasial pada pasien?
11. Bagaimana prosedur replantasi dilakukan?
12. Apa saja etiologi dari komunikasi oroantral?
13. Bagaimana penanganan mandibula yang lepas pada pasien?

C. Analisis Masalah
1. Penyebab moon face :

5
Kemungkinana penyebab moonface pada pasien adalah efek dari fraktur Le
Fort III.

2. Hal – hal yang harus diperhatikan untuk replantasi gigi :


a. Bersihkan gigi dengan air yang mengalir
b. Bawa pasien ke dokter gigi dengan gigi yang diletakkan disoket
kemudian dilakukan reimplantasi
c. Gigi avulsi sehat tanpa karies
d. Tidak ada kelaian periodontal
e. Gigi berada diluar soket < 60 menit
f. Gigi bisa disimpan disaliva, larutan saline,air, susu atau mdia kultural
g. Ukur panjang gigi yang keluar
h. Gigi dipegang hanya dbagian mahkoa saja.

3. Apa tujuan dilakukan operasi ORIF?


Yaitu untuk memperbaiki fiksasi dan menstabilisasi fraktur.

4. Apa tujuan dilakukan wiring dengan arch bar?


Yaitu sebagai fiksasi maksilomadibular. Dimana pasien dibuat dalam keadaan
premorbid oklusi (oklusi yang benar) dan pada saan pengepasan final
dipasang arch bar intra-interarch. Tujuan arch bar ini adalah untuk
menstabilkan kembali kontur intra-arch ketika dilakukan manajemen fraktur
dentoalveolarnya.

5. Apa saja indikasi operasi ORIF?


a. Fraktur yang tidak dapat direduksi kecuali dengan oprasi
b. Fraktur yang tidak satbil secara bawaan dan cenderung mengalami
pergeseran kembali setelah reduksi, selain itu juga fraktur yang
cenderung ditarik, terpisah oleh kerja otot.
c. Fraktur yang penyatuannya kurang sempurna dan perlahan – lahan
d. Fraktur patologik
e. Fraktur multiple
f. Fraktur pada pasien yang sulit perawatannya

6. Kenapa dokter gigi memilih dilakukan narkose umum?


Karena fraktur fasial ini kasusnya bedah mayor, dan kasus pasien juga parah,
maka dipilih anastesi umum. Serta dikarenakan kasus fraktur fasial ini
melibatkan atau mempengaruhi banyak organ pasien serta mempberikan efek
yang lebih besar.

7. Bagaimana penanganan gigi intrusi pada pasien?

6
a. Reposisi dengan pembedahan namun ada dampak komplikasi jaringan
periodontal
b. Memanfaatkan alat orthodonti cekat untuk mengekstrusikan gigi.

8. Bagaimana penanganan gigi mobility pada pasien?


a. Dilakukan ekstraksi untuk kasus mobility yang tidak mungkin
dipertahankan lagi
b. Displinting

9. Bagaimana penatalkasanaan luka tusuk dan luka robek pada pasien?


a. Pembersihan / sterilisasi
b. Anastesi
c. Perhatikan hemostasis luka
d. Penjahitan

Pada luka robek dilaukan penjahitan. Sedangkan pada luka tusuk


dilakukan pemeriksaan kedalaman.

10. Bagaimana penatalaksanaan fraktur panfasial pada pasien?


a. Lakukan pertolongan kegawatdaruratan terlebih dahulu
b. Perawatan defenitif seperti mengembalikan posisi dengan cara :
1) Reposisi
2) Fiksasi / immobilisasi
3) Fiksasi
4) Mobilisasi ; pengembalian fragmen.

11. Bagaimana prosedur replantasi dilakukan?


a. Bersihkan akar dan rendam dalam media
b. Irigasi soket dengan salin
c. Lakukan reposisi

12. Apa saja etiologi dari komunikasi oroantral?


Beberapa etiologi komunikasi oroantral diantaranya komplikasi pasca
ekstraksi gigi posterior rahang atas atau patahnya akar palatal gigi molar,
destruksi dasar sinus akibat kelainan periapikal, perforasi dasar sinus dan
membran sinus akibat pemakaian instrumen yang salah, mendorong gigi atau
akar gigi ke dalam sinus saat pencabutan gigi, derajat pneumatisasi sinus,
proses pembedahan pada sinus maksilaris atau pengambilan lesi kista yang
besar, infeksi kronik sinus maksilaris seperti osteomielitis, serta keganasan

13. Bagaimana penanganan mandibula yang lepas pada pasien?


Dengan mereposisi langsung kearah atas dan belakang menggunakan kain
agar tidak menganggu saat reposisi.

7
8
E. Learning Objective

I. FRAKTUR MAKSILOFASIAL DAN PENATALAKSANAAN

Fraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur
maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang – tulang wajah yaitu tulang
nasoorbitoetmoid, tulang zigomaticomaksila, tulang nasal, tulang maksila dan
juga tulang mandibula. Etiologi terutama disebabkan oleh trauma karena
kecelakaan lalu lintas, kekerasan terjatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, dan
akibat senjata api, dan lain sebagainya.

1. Fraktur maksila
Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama menurut Le Fort, dibagi menjadi 3
yaitu :
a. Le fort I
Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari maksila,
lempeng horizontal dari tulang palatum, dan sepertiga inferior dari
sphenoid pterygoid processes dari dua pertiga superior dari wajah.
Seluruh arkus dental maksila dapat bergerak atau teriris. Hematoma pada
vestibulum atas (Guerin’s sign) dan epistakis dapat timbul.
 Fraktur maksila horizontal, memisahkan gigi dari bagian atas
wajah.
 Garis fraktur melewati alveolar ridge, lateral nasal, dan inferior
wall dari Sinus maksilaris
 Edema fasial dan mobiliti pada palatum durum, aveolus maksila
dan gigi.
b. Le Fort II
Fraktur dimulai dari inferior kesutura nasofrontal dan memanjang
melalui tulang nasal dan sepanjang maksila sutura zygomaticoaksilary
termasuk sepertiga inferomedial dari orbita. Fraktur kemudian berlanjut
sepanjang sutura zygomaticomaxillary melalui lempeng pterygoid.
 Fraktur piramidal dengan gigi didasar piramida dan sutura
nasofrontal dipuncaknya

9
 Lengkung fraktur melewati posterior alveolar ridge, lateral walls
sinus maksilaris, pinggiran inferior orbita dan tulang nasal.
 Garis fraktur paling atas dapat melewati nasofrontal junction atau
processus frontal dari maksila
 Edema fasial, telechantus, perdarahan subconjunctival, mobilitas
maksila pada sutura nasofrontal, epitaxis, dan kemungkinan
rhinnorea CSF (Cerebral Spinal Fluid)
c. Le Fort III
Wajah terpisah sepanjang basal tengkorak akibat gaya yang langsung
pada level orbita. Garis fraktur berjalan dari regionasofrontal sepanjang
orbita medial melalui fissura orbita superior dan inferior, didnding lateral
orbita, melalui sutura frontozygomaticotemporal dan inferior melalui
sutura sphenoid dan pterygomaksilaris.
 Craniofasial disjunction
 Garis transversal fraktus melalui sutura nasofrontal, sutura
maksila-frontal, dinding orbita dan sutura zygomaticofrontalis
 Edema massive dengan wajah tampak membulat (moonface),
memanjang dan mendatar, epitaxis, rhinorrhea CSF, dan
pergerakan tulang wajah akibat manipulasi gigi dan palatum
durum.

Penatalaksanaan fraktur maksilofacial :

a. Kontak awal pasien / Emergency :


Suvey awal digunakan untuk melihat kondisi sistemik pasien dan
prioritas perawatan pasien berdasarkan luka, tada – tanda vital dan
mekanisme terjadinya luka. Advance Trauma Life Support (ATLS) yang
dianjurkan American College of Surgeon ialah perawatan trauma
ABCDE, yaitu :
1) A : Airway Maintainance with Cervical Spine Control /
Protection
 Menghilangkan fragmen - fragmen gigi dan tulang yang
fraktur.

10
 Memudahkan intubasi endotrakeal dengan mereposisi
segmen fraktur wajah untuk membuka jalan nafas oral dan
nasofaringeal.
 Stabilisasi sementara posisi rahang bawah keposterior
dengan fraktur pada kedua kondilus dan simfisis yang
menyebabkan obstruksi jalan napas atas
2) B : Breathing and adequate ventilation
Untuk menilai pernapasan cukup dan jalan napas bebas.
 Stabilisasi sementara posisi fraktur rahang bawah ke
posterior dengan fraktur kedua kondilus dan simfisisi
yang menyebabkan obstruksi jalan napas pada pasien
yang sadar. Jika penapasan tidak memadai lakukan :
 Dekompresis rongga pleura (pneumotoraks)
 Tututpilah jika ada luka robek pada dinding dada
 Pernapasan buatan
 Beri oksigen jika ada
3) C : Circulation with control of Hemorrhage
 Kontrol perdarahan dari hidung atau luka intraoral untuk
meningkatkan jalan napas
 Menekan dan mengikat perdarahan pembuluh darah wajah
dan perdarahan dikepala
 Menempatan pembalut untuk mengontrol perdarahan dari
laserasi wajah yang meluas dan perdarahan kepala.
4) D : Disbility : neurologican examination
 Status neurologis ditentukan oleh tingkat kesadaran,
ukuran pupil, dan reaksi pasien
 Trauma Periorbital dapat menyebabkan luka pada okular
secara langsung maupun tidak langsung yang dapat dilihat
dari ukuran pupil, kontur dan respon yang dapat
mengaburkan pemeriksaan neurologis pada pasien dengan
sistem saraf pusat yang utuh

11
 Menentukan perubahan pupil pada pasien dengan
perubahan sensoris (alkohol / obat) yang tidak
berhubungan dengan trauma intrakranial.
5) E : Eksposure / Enviromental control
 Menghilangkan gigi tiruan, tindikan wajah dan lidah
 Menghilangkan lensa kontak.

b. Penegakan diagnosa :
1) Anamnesis
Operator harus menanyakan pertanyaan- pertanyaan mengenai data diri
pasien, kapan trauma itu terjadi, dimana trauma itu terjadi?, bagaiaman
trauma itu terjadi?, perawatan apa yang telah dilakukan?,apakah ada
ditemukan adanya gigi atau serpihan gigi ditempat kejadian trauma?,
bagaimana kesehatan umum pasien, apakah pasien mengalami mual,
muntah, pingsan, amnesia, sakit kepala, gangguan penglihatan atau
kebingungan setelah kejadian?, apakah ada gangguan oklusi?
2) Pemeriksaan klinis
a) Pemeriksaan kepala
 Meliputi seluruh kerangka kraniomaksilofasial dan
jaringan lunak disekitarnya
 Trauma jaringan lunak dapat dikarakteristikan mejadi
abrasi, kantusia, luka bakar, avulsi, laserasi.
 Rangka kraniofasial diperiksa apakaha da / tidak step atau
jarak, discontinuitas, pergeseran, dan hilangnya
penonjolan.
b) Pemeriksaan saraf kranial
 Nervus kranial (III, IV, V, VI, VII) dites untuk
mengetahui apakah ada terjadi palsy, dapatkah pasien
mengangkat alat dan meretraksi sudut mulut, apakah bola
mata bisa bergerak bebas, dan apakah pupil bereaksi
terhadap sinar.
c) Pemeriksaan wajah bagian tengah

12
 Pemeriksaan regio atas dan tengah wajah dipalpasi untuk
melihat adanya kerusakan didaerah sekitar kening, rima
orbita, area nasal atau zygoma.
d) Pemeriksaan mandibula
 Evaluasi lokasi mandibula, pergerakan mandibula, kisaran
gerak kesemua arah dan jarak interinsisal.
e) Pemeriksaan mulut
 Pemeriksaan oklusi, dataran oklusal dari maksila dan
mandibula diperiksa kontinuitas, dan adanya step
deformitas. Serta periksa kehilangan gigi serta jaringan
lunak sekitarnya.
3) Pemeriksaan penujang
1) Pemeriksaan radigrafis
 Foto dental, indikasinya untuk trauma dan fraktru dental
 Foto oklusal indikasinya fraktur sagital RA, luksasi beda
asing ke jaringan lunak
 Orthopntomogram/OPG, indikasinya trauma dental,
fraktur dentoalveolar, fraktur RB, fraktur RA
 Suboksipitofrontal dengan mulut terbuka
(Clementschitsh) atau mandibula PA, indikasinya fraktur
RB, fraktur konsilus
 Waters / sinus maksilaris oksipitonasal, indikasinya :
fraktur wajah, fraktur orbita
 Submentobgrematikal (Henkeltopf), indikasinya : fraktur
zygomaticus
 Tomografi Komputer (CT scan), inidkasinya politrauma,
fraktur wajah, fraktur orbita, fraktur RA kompleks, fraktur
RB kompleks, fraktur basis kranial, trauma kranium
 MRI, indikasinya politrauma, trauma saraf dan jaringan
lnak (misalnya n.opticus diskus articularis)

13
2) Pemeriksaan laboratorium diantaranya HB, Hematokrit, Leukosit,
Trombosit , Laju Endap Darah / Erythrocyte Sedimentation Rate,
eritrosit.

c. Penanganan defenitif
Penanganan defenitif dari smua fraktur le Fort berpusat disekitar
pemulihan oklusi fungsional dan rekonstruksi kontur tulang wajah yang
stabil.
1) Pemulihan oklusi fungsional dengan mempoisikan rahang dan
gigi sesuia oklusi yang benar / diinginkan menggunakan beberapa
bentuk fiksasi intermaksilar sebelum pemasanangan rigid fixation
pada segmen maksilar untuk memastikan hubungan sentris dan
menetapkan tingkat bidang oklusal.
2) Menetapkan kontur tulang wajah yang stabil memerlukan
rekonstruksi menopang anterior midfasial dan dalam banyak
kasus Le Fort II,III dilakukan reduksi yang akurat pada tulang
zigomatik dan tulang nasal.
Setelah segmen maksila difiksasi dengan rigid fixation
(internal fiksasi) menggunakan plates and screw, fiksasi
intermaksilar bisa dilepas. Namun tidak semua fraktur le Fort
membutuhkan internal fiksasi. Pada Le Fort I, masalh utamanya
adalah untuk me-realignment gigi dengan sempurna dengan
intermaksilar fixation selama 6 minggu. Pasien harus diberitahu
bagaimana cara memotong wire intermaksilar jika dalam keadaan
darurat dan harus memiliki pemotong kawat ketika pasien keluar
RS.
Ada beberapa insisi umum yang dilakukan untuk fraktur Le Fort
yang harus difiksasi secara internal. Insisi sublabial untuk
memperlihatkan anterior maksila dan biasanya satu – satunya
insisi yang diperlukan untuk Le Fort. Jika terdapat eksposure
pada lantai orbita dan areazigomati diperlukan insisi subkutan
atau transkonjunctival.

14
2. Fraktur Nasoorbitoethmoid (NOE)
Anatomi kompleks yang berliku – liku mengakibatkan fraktur. NOE merupakan
fraktur yang sulit direkonstruksi. Kompleks NOE terdiri dari sinus frontalis,
sinus ethmoid, anterior kranial fossa, orbita, tulang temporal dan tulang
nasal.MCT (Medial Chantal Tendon) berpisah sebelum masuk kedalam proc.
Frontalis dan maksila. Kedua tungkai dari tendon ini mengelilingi fossa
lakrimal. Klasifikasi yang digunakan pada fraktur NOE adalah klasifikasi
Markowitz – Manson yaitu :
a. Tipe I : MCT menempel pada sebuah fragmen central yang besar
b. Tipe II : MCT menempel pada fragmen sentral yang telah pecah namun
dapat daitasi atau MCT menempel pada fragmen yang cukup besar untuk
memungkinkan osteosynthesis.
c. Tipe III : MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah dan tidak
dapat diatasi atau fragmen terlalu kecil untuk memugkinkan terjadinya
osteosyntesis atau telah terlepas total.

3. Fraktur Nasal
Klasifikasi fraktur nasal :
a. Tipe I : fraktur unilateral maupun bilateral tanpa dengan deviasi garis
tengah
b. Tipe II : fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah
c. Tipe III : Pecahnya tulang nasal, bilateral dengan septum yang bengkon
dan penopang septal yang utuh
d. Tipe IV : Fraktur Unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau
rusakya garis tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat atau
dislokasi septum
e. Tipe V : Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak,
saddling dari hidung, cedera terbuka dan robek jaringan.

4. Fraktur Zygomatikomaksila

15
Fraktur zygomatikoma menujukkan kerusakan tulang pada empat diding
penopang yaitu frontozigomatic, zygomaticospenoid, dan zygomaticotemporal.
Fraktur ZMC merupakan fraktur kedua tersering pada maksilofasial stelah nasal.
Klasifikasi menurut kngiht and north :
a. Kelompok 1 : fraktur tanpa pergeseran signifikan yang dibuktikan secara
klinis dan radiologi
b. Kelompok 2 : fraktur yang hanya melibatkan arkus yang disebabkan oleh
gaya langsung yang menekuk molar eminence kedalam.
c. Kelompok 3 : fraktur yang tidak berotasi
d. Kelompok 4 : fraktur yang berotasi ke medial
e. Kelompok 5 : fraktur yang berotasi ke lateral
f. Kelompok 6 : frktur yang kompleks yaitu adanya garis fraktur tambahan
sepanjang fragmen utama
g. Kelompok 2 8 3 : reduksi tanpa fiksasi (reduksi tertutup)
h. Kelompk 4 5 6 : Fiksasi untuk reduksi yang kuat

Klasifikasi fraktur menurut Zing dan kawan – kawan :

a. Tipe A frakture-incomplete low-energy, fraktur dengan fraktur terjadi


hanya pada 1 pillar : arc zygomatic, dinding lateral, orbita / rim
infraorbita
b. Tipe B –complete “monofragment” fraktur dengan fraktur dan
displacement pada keempat artikulasi
c. Tipe C – “Multifragment” fraktur termasuk fragmentasi corpus
zygomaticum.

Penatalaksanaan :

Harus dilakukan pada evaluasi preoperative yaitu seperti hasil CT scan.


Manajemen fraktur zygomatikum ini tergantung derajat displacement dan
pengaruh estetik dan fungsionalnya. Treatment berupa rangkaian perawatan
seperti observasi simple dari pembengkakan, ekstraocular muscle dyfunction dan
parastesi untuk membuka redksi dan internal fiksai pada multipel fraktur.

16
5. Fraktur panfasial
Diartikan fraktur yang mengenai bagian atas, tengah, bawah pada wajah. Yang
meliputi kompleks injuri pada os.frontal, zygomaticomaksillaris kompleks,
nasoorbitoethmoid, maksila dan mandibula.
Etiologinya karea kecelakaan bermotor, serangan fisik, kecelakaan saat olahraga,
dan luka tembak.

6. Fraktur orbita
Klasifikasi fraktur orbita yaitu :
a. Tipe I : Fraktur dinding dasar orbita yang terisolasi, fraktur bagian
tengah lamina orbitalis, fraktur bagian belakang lamina orbitalis.
b. Tipe II : fraktur lamina orbitalis dan lakrimoethmoidalis yang terisolasi
c. Tipe III : fraktur atap orbita yang terisolasi
d. Fraktur IV bagian samping / lateral orbita yang terisolasi.

II. FRAKTUR DENTOALVEOLAR DAN PENATALAKSANAAN


Fraktur dentoalveolar sering terjadi pada anak-anak karena terjatuh saat
bermain atau dapat pula terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Struktur
dentoalveolar dapat terkena trauma yang langsung maupun tidak langsung.
Trauma langsung biasanya dapat menyebabkan trauma pada gigi insisif sentral
maksila karena berhubungan dengan posisinya yang terekspos. Faktor
predisposisi yang dapat menyebabkan fraktur dentoalveolar ialah oklusi yang
abnormal, adanya overjet lebih dari 4mm, inklinasi gigi insisal ke arah labial, bibir
yang inkompeten, pendeknya bibir atas, dan bernafas lewat hidung. Kondisi
tersebut dapat dilihat pada individu dengan kelainan maloklusi kelas II divisi I
Angle, atau pada orang dengan kebiasaan buruk menghisap ibu jari. (Fonseca,
2005; Andreasen et al., 2007)
Klasifikasi Klinis Traumatic Dental Injuries (TDI) yang diadaptasi dari World
Health Organization (WHO) pada Application of international classification of
disease to dentistry and stomatology dapat dilihat pada tabel berikut.
1. Klasifikasi Trauma Pada Jaringan Keras Gigi dan Pulpa

17
a. Infraksi Email Fraktur yang tidak menyeluruh pada email tanpa hilangnya
substansi gigi (retak).
b. Fraktur Email (uncomplicated fraktur mahkota) Fraktur dengan adanya
kehilangan substansi gigi pada email, tanpa melibatkan dentin.
c. Fraktur Email-Dentin (uncomplicated fraktur mahkota) Fraktur dengan
adanya kehilangan substansi gigi dengan melibatkan email dan dentin,
namun tidak melibatkan pulpa.
d. Complicated Fraktur Mahkota Fraktur yang melibatkan email dan dentin,
dan menyebabkan tereksposnya pulpa.
e. Fraktur Akar Fraktur yang melibatkan email, dentin, dan pulpa. Fraktur
akar dapat diklasifikasikan lagi berdasarkan berpindahnya bagian koronal
gigi.
1) Uncomplicated fraktur akar-mahkota Fraktur yang melibatkan
email, dentin, dan sementum namun tidak menyebabkan
tereksposnya pulpa.
2) Complicated fraktur akar-mahkota Fraktur yang melibatkan email,
dentin, sementum, dan juga menyebabkan tereksposnya pulpa.

2. Klasifikasi Trauma Pada Tulang Pendukung Gigi


a. Comminution Soket Alveolar Maksila Hancur dan tertekannya soket
alveolar. Kondisi ini ditemukan bersamaan dengan intrusif dan luksasi
lateral gigi.
b. Comminution Soket Alveolar Mandibula Hancur dan tertekannya soket
alveolar. Kondisi ini ditemukan bersamaan dengan intrusif dan luksasi
lateral gigi.
c. Fraktur dinding soket alveolar maksila. Fraktur yang melibatkan dinding
soket bagian fasial atau oral.
d. Fraktur dinding soket alveolar mandibula Fraktur yang melibatkan dinding
soket bagian fasial atau oral.
e. Fraktur prosesus alveolaris maksila Fraktur pada prosesus alveolaris
dimana dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.

18
f. Fraktur prosesus alveolaris mandibula Fraktur pada prosesus alveolaris
dimana dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.
g. Fraktur Maksila, Fraktur dimana melibatkan maksila atau mandibula dan
juga prosesus alveolaris. Fraktur tersebut dapat atau tidak melibatkan soket
alveolar.

3. Klasifikasi Trauma Pada Jaringan Periodontal Gigi


a. Conccussion , tidak ada perpindahan gigi, tetapi ada reaksi ketika
diperkusi
b. Subluksasi, kegoyangan abnormal tetapi tidak ada perpindahan gigi
c. Luksasi ekstrusif (partial avulsion), perpindahan gigi sebagian dari soket
d. Luksasi lateral, perpindahan kerah aksial disertia fraktur soket.
e. Luksasi intrusif, perpindahan kearah tulang alveolar disertai fraktur soket
alveolar
f. Avulsi, gigi lepas dari soketnya

Penatalaksanaan :

1. Perawatan darurat
Merupakan tindakan yang sangat penting dan sebaiknya dilakukan segera oleh
orangtua pasien, namun banyak orang tua yang kekurangan informasi tentang
tata cara laksana kegawat daruratan. Rekomendasi bagi dokter gigi dalam
menangani pasien fraktur dentoalveolar pada anak sebagai pertolongan pertama
adalah sbb :
a. Tetap tenang dan fokus
b. Hentikan pembersihan pada luka dengan air
c. Hentikan perdarahan dengan mengompres dengan kain / kapas selama 5
menit
d. Lakukan perawatan darurat
2. Perawatan defenitif
Bertujuan untuk mengembalikan anatomi dan fungsi gigi, tulang alveolar dan
gingiva seperti semula. Tindakan ini dapat dilakukan ketika kondisi umum

19
pasien sudah cukup baik. Faktor yang harus dipertimbangkan pada perawatan
defenitif trauma dento alveolar adalah sebagai berikut :
a. Usia dan tingkat kooperatif pasien
b. Durasi antara trauma dengan perawatan
c. Lokasi atau tingkat cedera
d. Cedera pada gigi sulung / gigi permanen
e. Tahap perkembangan akar
f. Ada / tidaknya fraktur tulang pendukung
g. Kesalahan periodontal dari gigi yang tersisa

Perawatan :

1. Enamel fracture (crown infarction)


Perawatan meliputi menghaluskan bagian yang tajam atau memperbaiki
menggunakan resin komposit. Kemudian dilakukan test pulpa segera setelah
injury dan setelah 6-8 minggu untuk memprediksi vitalitas pulpa dimasa depan.
2. Crown fracture without pulp involvment
Perawatannya yaitu segera melindungi pulpa dari kemungkinan kontaminasi,
inflamasi dari tubulus dentin yang terekspos dengan menggunakan sealing
pada tubulus dentin.
3. Crown fracture with pulp involvment
Prognosisnya baik apabila gigi dengan tereksposenya pulpa masih vital dan
dirawat pada 2 jam pertama. Untuk gigi dengan small pin point eksposure
perawatan berupa direct pulp caping, jika terdapat apeks yang terbuka dan pulp
eksposure yang kecil terlihat selama 24 jam maka dirawat dengan direct pulp
capping. Sedangkan pulpotomi untuk eksposure yang lebih besar dan
eksposure kecil setelah >24 jam yang disertai open apical. Pada fraktur :
 Pulpa vital dan apeks tertutup , small eksposure dan terlihat <24
jam : direct pulp capping
 Eksposure pulpa > 1,5 mm / terlihat setelah 24 jam : PSA
4. Crown-root fracture
Untuk fraktur dengan arah longitudinal dan mengikuti sumbu panjang gigi atau
apabila fragmen corona > 1/3 dari akar klinis, direkomendasikan untuk

20
ekstrksi. Apabila grasi fraktur diatas atau sedikit dibawah garis / margin
servikal terapi konservatif seperti crown lengthening / evaluasi orthodontik
5. Root frakture
Fraktur akar diapikal / 1/3 tengah biasanya tidak displinting kecuali jika ada
mobility yang besar. Perawatan dari fraktur akar yang mobiliti yaitu aposisis
pada segmen yang fraktur menggunakan rigid splinting selama 12 minggu.
Perawatan fraktur akar 1/3 servikal biasanya berupa ekstraksi / ekstrusi
ortodontik.
6. Concussion
Beberapa kasus yang disertai inflamasi dan dokter gigi dapat memberikan
medikasi berupa analgetik. Penanganan yang dilakukan hanya evaluasi kondisi
pulpa untuk memastikan tidak adanya komplikasi berupa jejas pada pulpa
7. Subluksasi
 Observasi kondisi pulpa
 Pemakaian alat stabilisasi wire-orthodonti dengan acid etch resin
selama 7-10 hari. International association dental trauma mengatakan
bahwa pilihan perawatan dapat dengan alat stabilisasi fleksibel selama
2 minnggu.
 Diet lunak selama 1 minggu
 Berkumur dengan klorheksidi 0,2 % 2 x 1
8. Intrusi
 Jika formasi akarnya belum lengkap, penaganannya adalah reposisi
spontan selama 3 minggu, bila tidak ada perubahan maka dapat
dilaukan penarikan dengan alat orthodontik
 Intrusi pada gigi permanen dengan akar lengkap dilakukan dengan
tindakan orthodonti atau bedah sesegera mungkin.
9. Ekstrusi
 Jika perpindahan gigi > 2-3 minggu pada gigi sulung maka tindakan
ekstraksi yang dipilih, tujuannya untuk mencegah potensi infeksi
periradikuler yang persisten yang dapat menyebabkan efek terhadap
gigi permanen.

21
 Jika perpindahan < 3mm pada gigi sulung dan gigi permanen maka
dilakukan perawatan reposisi dengen perlahan, lakukan penjahitan jika
terjadi laserasi dan stabilisasi selama 2 mingg menggunakan alat
stabilisasi dengen komposit resin, wire, atau alat orthodonti dengan
evaluasi keadaan pulpa. Medikasi antibiotik profilaksis tetanus, dan
klorheksidin glukonat 0,2 % dapat diberikan untuk menjaga OH.
10. Luksasi lateral
 Tindakan berupa reposisi dengan manipuasi digital secra perlahan, jika
terdapat jaringan sekitar gigi yang mengalami fraktur alveolar, dokter
gigi dapat memberikan anastesi lokal. Pemakaian alat stabilisasi
fungsional onrigid dipasang selama 2-3 minggu. Medikasi berupa
antibiotik dosis 250 mg 3 x 1 selama 5 hari, klorheksidin 0,2 % 2 x 1
untuk menjaga OH.
11. Avulsi
Penanganan avulsi adalah dengan replantasi sesegera mungkin dan
menstabilisasi gigi tersebut sesuai dengan lokasi anatominya.

III. FRAKTUR MANDIBULA DAN PENATALAKSANAAN

Klasifikasi frakture berdasarkan lokasi anatomisnya menurut Kelly dan Harigans :

a. Fraktur dentoalveolar yaitu fraktur hanya terbatas pada area gigi dan
pendukung tanpa disertai keterlibatan struktur dari tulang mandibula.
b. Fraktur simfisis yaitu fraktur pada regio gigi insisisvus yang berjalan dari
proc.alveolaris hingga garis terbawah mandibula daam arah vertikal.
c. Fraktur Parasimfisis, fraktur terjadi pada regio foramen mentalis dan
bagian distal lateral insisivus rahang bawah yang meluas dari proc.
Alveolaris hingga ke garis terbawah.
d. Fraktur korpus mandibula beberapa fraktur terjadi pada regio antara
foramen mentaldengan bagian distal gigi M2 dan meluas dari proc.
Alveolar hingga garis inferior mandibula.
e. Fraktur angulus sejumlah fraktur distal ke M2 meluas dari beberapa titik
kurva yang dibentuk oleh pertemuan korpus dan ramus pada area

22
retromolar pad ketitik pada kurva yang dibentuk oleh garis inferior korpus
dan garis posterior ramus mandibula.
f. “Ascending ramus fracture” yaitu fraktur yang terjadi dalam bentuk garis
horizontal hingga ke anterior dan garis posterior ramus atau yang berjalan
secara vertikal dari sigmoid notch ke garis bawah mandibula
g. Fraktur proc. Kondilus yaitu fraktur yang terjadi pada sigmoid notch ke
garis posterior dari ramus mandibula. Fraktur area kondilus ini dapat
diklasifikasikan menjadi ekstrakapsular atau intrakapsular tergantung
fraktur ke perlekatan kapsularnya.

Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan pola nya :

a. Simple fracture yaitu fraktur yang sederhana seperti fraktur kondilus atau
fraktur koronoid.
b. Compound atau Open : merupakan fraktur yang disertai dengan luka luar
termasuk kulit, mukosa, maupun membran periodontal , yang
berhubungan dengan patahnya tulang.
c. Comminuted : merupakan fraktur dimana tulang hancur menjadi serpihan.
d. Greenstick : merupakan fraktur dimana salah satu korteks tulang patah,
satu sisi lainnya melengkung. Fraktur ini biasa terjadi pada anak-anak.
e. Pathologic : merupakan fraktur yang terjadi sebagai luka yang cukup
serius yang dikarenakan adanya penyakit tulang.
f. Multiple : sebuah variasi dimana ada dua atau lebih garis fraktur pada
tulang yang sama tidak berhubungan satu sama lain.
g. Impacted : merupakan fraktur dimana salah satu fragmennya terdorong ke
bagian lainnya.
h. Atrophic : merupakan fraktur yang spontan yang terjadi akibat dari
atropinya tulang, biasanya pada tulang mandibula orang tua.
i. Indirect : merupakan titik fraktur yang jauh dari tempat dimana terjadinya
luka.
j. Complicated atau Complex : merupakan fraktur dimana letaknya
berdekatan dengan jaringan lunak atau bagian-bagian lainnya, bisa simple
atau compound.

23
Kalsifikasi berdasarkan ada tidaknya gigi :

a. Fraktur kelas 1 : gigi terdapat pada kedua sisi fraktur, penanganan pada
fraktur dengan cara interdental wiring
b. Fraktur kelas 2 : gigi hanya terdapat disalah satu fraktur
c. Fraktur kelas 3 : tidak ada terdapat gigi dikedua sisi fraktur, pada keadaan
ini dilakukan reduksi terbuka, kemudian dipasangkan plate dan screw atau
bisa juga dipasang plate dan intermaksilaris fiksasi.

Tidak ada suatu klasifikasi yang lengkap terkait fraktur mandibula, tetapi untuk
keperluan diagnosa dan perawatan, maka cukup dilakuakn pembagian sebagai
berikut :

1. Fraktur unilateral
Merupakan fraktur satu sisi dari mandibula pada umumnya tunggal. Tetapi
kadang – kadang lebih dari pada satu sisis, jika terjadi biasanya dengan
pergeseran yang besar dari pada fragmen. Tipe – tipe fraktur yang dapat
terjadi :
a. Dento alveolar
b. Condylar
c. Coronoid
d. Ramus
e. Angulus
f. Corpus
g. Midlie / samping
h. Lateral ke midline dalam area insisor
2. Fraktur bilateral
Fraktur dua sisi mandibula. Daerah yang selalu mengalami fraktur bilateral
misalnya :
a. Leher proc. Kondilus dengan angulus mandibula pada sisi
lawannya
b. Regio kaninus dengan angulus mandibularis pada sisi lawannya/
3. Fraktur multipel

24
Sering terjadi adalah “triple fracture”yang terdiri dari pertengahan
RP(Mentium) dengan fraktur kedua leher proc. Kondilus yang terjadi bila
pasien terjatuh kuat didaerah dagu.

Perawatan defenitif :

Prinsip umum dari perawatan RB tidak banyak berbeda dimana saja pada tubuh.
Fragmen dikembalikan pada posisi yang baik dan lakukan immonilisasi sehingga
suatu waktu terjadi penyatuan tulang.

1. Reduksi
Adalah suatu metode yang dilakukan pada fragmen untuk mengoreksi
kesejajaran pada posisi yang normal. Reduksi terbagi dua yaitu :
a. Reduksi tertutup yaitu reposisi manipulasi fragmen pada jaringan
lunak secara tertutup untuk menembalikan kesejajaran tulang secara
normal. Dilakukan dengan cara memisahkan fragmen tulang
kemudian dilakukan tindakan manipulasi ekstremitas dalam arah
berlawanan dengan arah penyebab fraktur.
b. Reduksi terbuka dilakukan dalam bentuk fiksasi eksternal atau
internal. Dilakukan insisi pada membran mukosa atau kulit dan fraktur
dibetulkan posisinya kembali.

Sebaiknya dengan dilakukan dengan anastesi umum, tetapi bisa juga


dengan anastesi lokal / sedatif + analgetik dengan morphin. Jika hanya
terjadi pergeseran yang minimal, kadang – kadang reduksi dilakukan
tanpa anastesi. Jika gigi terdapat fragmen, maka reduksi secara perlahan –
lahan dengan menggunakan “elastic fraction” untuk hal ini cap.splint /
kawat dipakai untuk menyatukan dengan baik gigi pada rahang bawah
dan rahang atas pada daerah fragmen dan “mandibular maxillary elastic
fraction” dipakai diantaranya. Metode ini sangat populer tetapi hal ini tak
begitu efektif dilakukan dengan anastesi umum.

2. Fiksasi dan immobilisasi


Setelah dilakukan reduksi yang tepat, maka fragmen tersebut harus difiksasi
dan immobilisasi lebih kurang 5 minggu (pada pasien dewasa dalam

25
kesehehatan yang baik tanpa infeksi pada daerah fraktur). Penyatuan daripada
fragmen terjadi lebih cepat pada anak – anak, dan immobilisasinya antara 3
minggu – 1 bulan.
Dalam fiksasi, ada beberapa pilihan metode yaitu :
a. Dental wiring, tekniknya terdiri dari direct wiring ( kawat dipintas
disekeliling gigi dan kedua ujungnya dipilin bersama) dan interdental
wiring 9kawat 6 inchi diikatkan dan diputar edalam eyelet.
b. Arch bar, caranya arch bar dibentuk dan dipotong sesuai dengan
bentuk rahang lalu diikatkan pada tiap gigi dengan kawat 0,45 mm,
dipasang pada rahang atas dan rahang bawah
c. Cap splint, dibuat dengan melakukan pencetakan pada model gigi dan
model dipasang diartikulator. Pada garis fraktur model dipotong untuk
terjadinya reduksi pada artikulator dan restorasi pada oklusi normal.
Setelah pembuatan splint selesai, dicobakan kegigi.
d. Transosseus wiring yaitu suatu metode efektif untuk memobilisasi
fraktur pada tubuh mandibula dengan dilakukannya wiring langsung
pada garis fraktur, kemudian kawat dilewatkan melalui lubang dan
daerah fraktur. Ujung kawat yang bebas dipilin kuat, dipotong dan
ujung pilinannya diselipkan pada lubang didekatnya.
e. Circumferensial wiring yaitu suat metode untuk stabilisasi mandibula
yang edentulus pada pasien gigi tiruan. GT mandibula digunakan
sebagai splint, kemudian dimobilisasi dengan kawat sirkmferensial.
Kawat diposisikan pada gigi tiruan mandibula.
f. Bone Plating, ada 2 tipe utama yaitu bone plating sederhana dan plate
kompressi.
g. External Pin Fixation

IV. ALAT DAN METODE FIKSASI PADA KASUS FRAKTUR

Pada prinsipnya fiksasi dapat berupa laat yang rigid, semirigid atau nonrigid
dimana penempatannya dapat internal maupun eksternal. Secara umum fiksasi
pada trauma oromaksilofasial dapat dibagi menjadi 3 jenis:

26
1. Fiksasi intramaksila
Yaitu suatu cara fiksasi dengan jalan pengikatan gigi geligi hanya pada RA
dan RB saja. Misalnya metode wiring eyelet, essig, rigid arch bar pada satu
rahang.
a. Twisted loop / eyelet method
Kawat yang digunakan biasanya berukuran 0,4 mm / 0,5 mm sepanjang
kurang lebih 20 cmm. Kawat tersebut dilipat dan dipilin sehingga salah
satu ujungnnya membentuk bulatan (loop) kedua ujungkawat yang
bebas kemudian dilewatkan dari permukaan luar lengkung gigi melalui
ruang interproksimal 2 gigi yang berdekatan. Salah satu ujung kawat
tersebut dilewatkan sekeliling permukaan ligual gigi depannya, ujung
lainnya dilewatkan sekeliling gigi belakangnya. Kedua kawat akan
bertemu dipermukaan lengkung gigi, kemudian dengan kuat satu sama
lain membentuk satu eyelet.
b. Arch bar
Arch bar adalah salah satu alat yang paling banyak digunakan untuk
maksilomandibular fiksasi, yang diaplikasikan menggunakan
sirkumdental. Pasien diposisikan dalam keadaaan premorbit oklusi dan
pada pengepasan final dipasang kawat intra-interarkus. Arch bar ini
juga mampu menstabilkan kembali kontur intraarkus ketika dilakukan
manajemen fraktur dentoalveolarnya, serta juga sebagai pengikat
tekanan dengan menyalurkan tekanan kesepanjang tulang alveolar pada
rahangnya. Ada 2 tipe Arch bar yaitu direk dan indirek.
1) Tipe Direk, Arch bar langsung dipasang menggunakan bantuan
kawat 0,35 atau 0,4 mm. Keuntungan arch bar jenis ini adalah
dapat langsung digunakan tanpa memerlukan proses pembuatan
di laboratorium, umumnya arch bar dipasang pada gigi-gigi di
rahang atas dan bawah, setelah proses ligasi selesai barulah
dilakukan MMF. MMF dilakukan dengan menggunakan karet
(rubber) maupun menggunakan kawat 0,4 mm.
2) Tipe Indirek, Pada pasien sebelumnya dilakukan pencetakan
dari rahang atas dan bawah dengan menggunakan alginate,

27
kemudian dilakukan pembuatan arch bar sesuai dengan bentuk
rahang pasien. Keuntungannya adalah bentuk arch bar sesuai
dengan bentuk rahang dan gigi pasien. Selain itu, pada model
dan articulator dapat dapat dilakukan penyesuaian oklusi.
Kerugiannya adalah diperlukan tambahan waktu dan biaya
untuk pembuatannya.
c. Splin Protesa
Digunakan pada fraktur rahang tidak bergigi, jika pasien mempunyai
gigi tiruan lengkap maka sebelumnya dapat dilakukan duplikasi dari
gigi tiruan itu terlebih dahulu. Selanjutnya prinsipnya adalah
pemasangan protesa ke dalam mulut untuk digunakan sebagai alat
bantu guna mendapatkan oklusi dan artikulasi yang baik. Selain itu,
MMF juga dapat dilakukan lewat protesa ini. Protesa dapat difiksasi di
mulut menggunakan sekrup osteosintesi (umumnya diperlukan 3-4
sekrup per rahang).

2. Fiksasi intermaksilar
Suatu cara fiksasi rahang dengan cara mengunci gigi geligi rahang atas dan
rahang bawah dalam keadaan oklusi dengan menggunakan kawat / rubber
elsatic band. Untuk perawatan kasus fraktur rahang edentulus dapat digunakan
denture atau gunning splint yang direkomendasikan dengan kawat atau rubber
elastic band.
3. Fiksasi ekstramaksiler
Fiksasi ekstramaksiler yaitu fiksasi yang dilakukan dari luar rongga mulut,
dapat dibagi menurut penempatannya : kranial, fasial, oksipital, frontal, dan
servikal. Sedangkan alat yang digunakan dapat berupa bandage, head cup
strips, adhesive tape, head gear, head frame dan lainnya.

Open reduction and rigid internal fixation (ORIF) :

Salah satu bentuk fiksasi pada fraktur rahang yang dilakukan dengan cara
mengaplikasikan langsung alat fiksasi pada tulang rahang sehingga didapatkan

28
suatu kekuatan fiksasi yang adekuat. Alat yang digunakan biasanya berupa plate
dan screw dan untuk kasus fraktur maksilofasial biasanya dari jenis miniplate.

Metode fiksasi internal :

1) Pemasangan kawat antartulang, digunakan untuk fraktur yag relatif stabil


terlokasi an tidak bergeser pada kranium
2) Lag screw, akan menghasilkan fiksasi dengan mengikatkan 2 tulang
bertumpuk satu sama lain. Dibuat lubang – lubang ditulang bagian dalam
dan luar untuk menyamai garis tengah luar dan dalam sekrup. Metode ini
dapat menyebabkan rotasi tulang.
3) Lempeng mini dan sekrup, digunakan terutama pada cedera wajah bagian
tengah dan atas. Menghasilkan stabilitas 3D yaitu tidak terjadi rotasi
tulang.
4) Lempeng kompressi, sifatnya lebih kuat dari lempeng mini, sehingga
digunakan untuk fraktur mandibula. Lempeng ini menghasilkan kompresi
ditempat fraktur
5) Lempeng konstruksi, dirancang khusu untuk dapat dilekuk serta
menyerupai bentuk mandibula. Sering digunakan bersama lempeng mini,
lag screw dan lempeng kompressi.

V. DISLOKASI TEMPOROMANDIBULAR JOINT DAN


PENATALAKSANAANNYA

Dislokasi atau dikenal dengan luksasio TMJ adalah suatu keadaan dimana posisi
kondilus terhadap fossa glenoid dan terfiksasi pada posisi yang bukan semestinya.
Suatu keadaan diaman terjadi keluarnya kaput sendi dari ruang sendi. Hal ini
dapat terjadi bila kapsul dan ligamen TMJ cukup longgar sehingga kondilus dapat
bergerak keanterior daripada eminensia artikularis sewaktu gerakan membuka dan
meluncur. Kemudian oleh konstruksi dan spasme otot – otot pembuka dan
penutup mulut kondilus terkunci dalam keadaan demikian, sehingga pasien tidak
dapat menutup mulutnya.

29
Dislokasi dapat terjadi unilateral / bilateral dan dapat timbul dengan spontan pda
waktu membuka mulut terlalu lebar, misalnya pada menguap/ pada saat perawatan
gig/ pada waktu dibuka dengan paksa saat anastesi umum.

Perawatan : Biasanya dislokasi dapat diperbaiki dengan mengadakan teakanan


kebawah padah gigi posterior dan tekanan keatas pada gigi anterior ditambah
dengan menggerakkan mandibula keposterior. Pada waktu merawat ini sebaiknya
dokter gigi berdiri didepan pasien dengan kursi pasien distel serendah mungkin
atau dudukkan pasien dilantai. Kadang – kadang kontaksi otot cukup besar untuk
menghalangi kembali oklusi sehingga manipulasi cara biasa tidak dapat
dilakukan. Untuk nii diperlukan anastesi umum dan kalau perlu diberikan obat
untuk relaksasi otot – otot.

Prosedur terapi manual :

1. Jika kemungkinan ada fraktur, perlu dilakukakan rontgen foto terlenih dahulu.
Jika tidak ada trauma dapat dilakukan proses penanganan secara langsung.
2. Pasien ditempatkan pada kursi yang tidak bersandaran dan menempel dinding
sehingga punggung dan kepala pasien bersandar pada dinding.
3. Sebelum melakuakan pertolongan, balut ibu jari dengan kain kasa yang agak
tebal untuk mencegah tergigitnya ibu jari karna setelah berada pada posisi yang
benar maka rahang akan mengatup dengan cepat dan keras, setelah itu gunakan
sarung tangan.
4. Posisi dokter gigi berada didepan pasien.
5. Letakkan ibu jari pada daerah retromolar pad pada kedua sisi mandibula
setinggi siku – siku operator dan jari – jari yang lain memegang permukaan
bawah mandibula.
6. Berikan tekanan pada gigi – gigi molar rahang bawah untuk membebaskan
kondilus dan posisi terkunci didepan eminensia artikularis.
7. Dorong mandibula ke belakang untuk mngembalikan keposisi anatominya.
8. Jika ridak mudah untuk direlokasi, operator dapat merujuk untuk dilakukan
foto rontgen.

30
9. Dapat diberikan midazolam intravena (untuk mengendorkan otot) dan 1-2 ml
1% lidokain intraartikular (untuk mengurangi nyeri). Injeksi dilakukan pada
sisi kiri daerah yang terteka dari kondilus yang displacement.
10. Pemasangan barton head bandage untuk mencegah relokasi dan
menghindari pasien membuka mulut terlalu lebar dalam 24-48 jam, dan pasien
dintruksikan diet makanan lunak.
11. Pemberian obat berupa analgetik dan pelemas otot bila perlu.

Terapi bedah untuk dislokasi TMJ :

1. Disk-repsitioning procedures
Tujuannya adalah untuk memindahkan / relokasi diskus sehingga band
posteriornya dapat dikembalikan kembali menjadi hubungan fossa-
kondilus yang normal. Pada operasi ini displacement diskusi diidentifikasi
dan direposisi ke posisi normal dengan menghilangkan irisan jaringan dari
perlekatan posterior pada diskus dan kemudaian dijahit kembali ke posisi
yang benar. Dan dalam beberapa kasus, prosedur ini dikombinasikan
dengan rekonturing diskus, eminensia artikularis, dan kondilus mandibula.
Setelah operasi selesai, pasien aan memulai diet non-chewselama beberapa
minggu dan secara progresif menjadi diet normal dalam 3-6 bulan. Selain
itu juga dilakukan latihan rahang dalam upaya mendapatkan gerakan
rahang yang normaldalam waktu 6-8 minggu steelah operasi.
2. Disk-repair or removing
Dalam beberapa kasus, terkadang juga ada kerusakan pada diskus,
sehingga diskus itu sendiri harus diangkat. Disektomy tanpa penggantian
adalah salah satu terapi awal yang dideskrisipkan untuk pengoatan
gangguan internal TMJ yang cukup parah.
3. Condilectomy

VI. PENATALAKSANAAN REPLANTASI GIGI YANG AVULSI

Penanganan avulsi gigi permanen adalah dengan replantasi sesegera mungkin adn
menstabilisasi gigi tersebut sesuai dengan lokasi anatominya. Hal ini dilakukan

31
untuk mengoptimalisasi penyembuhan ligamen periodontal dan suplai
neurovaskuler selama pemeliharaan elastik dan fungsinya.

Vitalitas ligamen periodontal dan sementum sangat penting dalam keberhasilan


replantasi dalam jangka waktu yang lama. Media penyimpanan yang tersedia
harus dapat mempertahankan atau meningkatkan vitalitas sel ketiga gigi diluar
soket alveolar. Media penyimpanannya antara lain :

1. Hanks’s balanced salt solution (HBSS)


Merupakan cairan yang memiliki kandungan klorida, glukosa sodium
bikarbonat, dan potasium klorida. Cairan ini dapat mengawetkan ligamen
periodontal sehingga memberikan keberhasilan rata – rata 90% dan jika
gigi direndam selam 30 menti sebelum replantasi.
2. Susu
Direkomendasikan karena memiliki osmolalitas yang sesuai, pH netral,
kandungan nutrisi yang baik, dan bebas dari bahan toksik. Susu dapat
menjaga kelangsungan hidup, mitogenitas dan kapasitas klonogenik sel –
sel ligamen periodontal selama penyimpanan hingga 24 jam pada
temperatur 40 C.
3. Isotonik Saline
Dapat mempertahankan vitalitas membran periodontal karena memiliki
tekanan osmolalitas yang seimbang sehingga tidak menyebabkan sel
menggelembung dan menjadi rusak. Media ini hanya efektif < 2 jam.
4. Kultur media
Kultur media yang digunakan adalah kultur igg, mengandung 700 unit
penisilin G dan0,7 mg streptomisin untuk mencegah pertumbuhan bakteri.
Kultur lainnya adalah kultur Eagle, yang membuat again vital ligamen
periodontal berproliferasi.
5. Saliva
Saliva merupakan media yang efektif dibanding denga air dan salin.
Kekurangannya adalah osmolalitasya rendah sehingga dapat menyebabkan
sel pecah.
6. Air

32
Air merupakan media yang dapat menjaga kelembapan gigi selama berada
diluar soket sampai 15 menit jika tidak ada pilihan lain. Air tidak menjaga
vitalitas gigi dan dapat memberikan dampak buruk bagi kelangsungan
ligamen eriodontal karena air merupakan larutan hipotonik yang dapat
menyebabkan sel ligamen periodontal menggelembung dan pecah.

Prosedur penatalaksanaan replantasi :

1. Avulsi dengan apeks tertutup


a. Gigi sudah direplantasi sebelum datang ke klinik
1) Bersihkan area dengan semprotan air, salin atau klorheksidin.
Jangan mengekstraksi gigi. Jahit jika terdapat laserasi jaringan
lunak. Kembalikan gigi pada posisi normal baik secara klinis
maupun radiografi. Gunakan alat stabilisasi fleksibel selama 2
minggu.
2) Berikan antibiotik sstemik (doxycycline 2 x 1 selama 7 hari) dosis
disesuaikan dengan usia dan berat badan. Beriakan pula profilaksis
tetanus.
3) Inisiasi perawatan saluran akar selama 7-10 hari etelah replantasi
dan sbelum pelepasan alat stabilisasi. Gunakan kalsium hidroksida
sebagai medikasi intrakanal.
4) Intruksikan kepada pasien diet lunak selama 2 minggu dan
menggunakan sikat gigi yang lembut setelah makan.
5) Berkumur dengan klorheksidin 0,1 % 2 x 1 selama seminggu

b. Gigi direndam dalam media penyimpanan dengan waktu < 1 jam


1) Jik terkontaminasi, bersihkan permukaan akar dan foramen apikal
dengan Sali dan simpan gigi dalam salin. Berishkan koagulum dai
soket dengan salin.
2) Periksa soket alveolar jika terdapat fraktur pada dindingnya
lakukan reposisi dengan instrumen yang sesuai.
3) Replantasi gigi perlahan dengan tekanan digital.jika ada laserasi
lakukan penjahitan. Tempatkan gigi pada posisi normal baik secara

33
klinis maupun radiografi. Gunakan alat stabilisasi fleksibel selama
2 minggu
4) Berikan antibiotik istemik serta antibiotik tetanus
5) Inisiasi perawatan saluran akar selama 7- 10 hari setelah replantasi
dan sebelum pelepasan alat stabilisasi. Gunakan kalsium hidroksida
sebagai medikasi intrakanal.
6) Intruksi pada pasien diet lunak selama 2 minggu dan menggunakan
sikat gigi yang lembut stelah makan

c. Gigi berada diluar soket lebih dari 1 jam


1) Hilangkan jaringan lunak yang nekrotik dengan kain
2) Perawatan saluran akar 7-10 setelah replantai
3) Hilangkan koagulum dari soket dengan slin. Periksa soket alveolar
jika terdapat fraktur dinding soket lakukan reposisi dengan
instrumen yang sesuai.
4) Rendam gigi dilarutan sodium fluoride 2% selama 20 menit
5) Replantasi gigi tersebut secara perlahan dengan tekanan digital.
Jahit jika ada laserasi. Pastikan posisi sudah kembali normal secara
klinis dan radiografi
6) Stabilisasi gigi tersebut dengan alat stabilisasi fleksibel 4 minggu
7) Berikan antibiotik dan profilaksis tetanus
8) Instruksi pada pasien : diet lunak selama 2 minggu dan
menggunakan sikat gigi yang lembut setelah makan

2. Avulsi dengan apeks terbuka


a. Gigi sudah direplantasi sebelum datang ke klinik
1) Bersihkan area dengan semprotan air, salin atau klorheksidin.
Jangan mengekstaksi gigi. Jahit jika terdapat laserasi jaringan
lunak. Kembaliakn gigi pada posisi normal baik secara klinis
maupun radiografi. Gunakan alat stabilisasi fleksibel selama 2
minggu.

34
2) Berikan antibiotik sistemik dengan dosis disesuaikan serta
antibiotik profilaksis tetanus.
3) Tujuan replantasi gigi immature pada anak adalah memfasilitasi
revaskularisasi pupa gigi, jika tidak terjadi maka PSA
diindikasikan.
4) Instruksikan pada pasien diet lunak selama 2 minggu dan
menggunakan sikat gigi yang lembut setelah makan

b. Gigi direndam dalam media penyimpanan < 1 jam


1) Jika terkontaminasi bersihkan permukaan akar dengan foramen
apikal dengan salin. Hilangkan koagulum dari soket denga salin
lalu replantasi gigi tersebut. Selubungi permukaan akar dengan
minocycline hydrocloride micropheres sebelum replantasi
2) Periksa soket alveolar, jika terdapat pada dindingnya lakukan
reposisi dengan instrumen yang sesuai.
3) Replantasi gigi perlahan dengan tekanan digital
4) Tempatkan gigi pada posisi normal dan gunakan alat stabilisasi
fleksibel selama 2 minggu
5) Berikan antibiotik profilaksis
6) Tujuan replantasi gigi immatur pada anak adalah untuk
revaskularisasi pulpa gigi. Jika tidak maka PSA diindikasikan.
7) Instruksi pada pasien untuk diet lunak selama 2 minggu gunakan
sikat gigi lembut setelah makan.

c. Gigi berada diluar soket > 1 jam prosedurnya sama dengan avulsi dengan
apeks tertutup.

VII. PROSEDUR PENYEMBUHAN LUKA

Penatalaksanaaan penyembuhan luka melewati 3 fase yaitu :

1. Fase koagulasi dan inflamasi

35
Pada luka yang menembus epidermis, akan merusak pembuluh darah
menyebabkan pendarahan. Untuk mengatasinya terjadilah proses hemostasis.
Proses ini memerlukan peranan platelet dan fibrin. Pada pembuluh darah
normal, terdapat produk endotel seperti prostacyclin untuk menghambat
pembentukan bekuan darah. Ketika pembuluh darah pecah, proses pembekuan
dimulai dari rangsangan collagen terhadap platelet. Platelet menempel dengan
platelet lainnya dimediasi oleh protein fibrinogen dan faktor von Willebrand.
Agregasi platelet bersama dengan eritrosit akan menutup kapiler untuk
menghentikan pendarahan. Saat platelet teraktivasi, membran fosfolipid
berikatan dengan faktor pembekuan V, dan berinteraksi dengan faktor
pembekuan X. Aktivitas protrombinase dimulai, memproduksi trombin secara
eksponensial. Trombin kembali mengaktifkan platelet lain dan mengkatalisasi
pembentukan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin berlekatan dengan sel darah
merah membentuk bekuan darah dan menutup luka. Fibrin menjadi rangka
untuk sel endotel, sel inflamasi dan fibroblast. Fibronectin bersama dengan
fibrin sebagai salah satu komponen rangka tersebut dihasilkan fibroblast dan
sel epitel. Fibronectin berperan dalam membantu perlekatan sel dan mengatur
perpindahan berbagai sel ke dalm luka. Rangka fibrin – fibronectin juga
mengikat sitokin yang dihasilkan pada saat luka dan bertindak sebagai
penyimpan faktor – faktor tersebut untuk proses penyembuhan.4 Reaksi
inflamasi adalah respon fisiologis normal tubuh dalam mengatasi luka.
Inflamasi ditandai oleh rubor (kemerahan), tumor (pembengkakan), calor
(hangat), dan dolor (nyeri). Tujuan dari reaksi inflamasi ini adalah untuk
membunuh bakteri yang mengkontaminasi luka.

2. Fase Proliferasi / rekonstruksi


Terjadi pada hari ke 5 – 21. Proliferasi ada 3 proses :
a. Proses granulasi (untuk mengisi ruang kosong pada luka)
b. Angiogenesis (pertumbuhan kapiler baru ) tujuannya untuk suplai
oksigen kedalam jaringan.
c. Proses kontraksi untuk menarik kedua tepi luka agar saling berdekatan.

36
3. Fase Remodelling / maturasi
Fase remodelling jaringan parut adalah fase terlama dari proses penyembuhan
Proses ini dimulai sekitar hari ke-21 hingga satu tahun. Pembentukan kolagen
akan mulai menurun dan stabil. Meskipun jumlah kolagen sudah maksimal,
kekuatan tahanan luka hanya 15 % dari kulit normal. Proses remodelling akan
meningkatkan kekuatan tahanan luka secara drastis. Proses ini didasari
pergantian dari kolagen tipe III menjadi kolagen tipe I. Peningkatan kekuatan
terjadi secara signifikan pada minggu ketiga hingga minggu keenam setelah
luka. Kekuatan tahanan luka maksimal akan mencapai 90% dari kekuatan kulit
normal

Prosedur penanganan luka berbeda-beda tergantung jenis luka namun secara garis
besar terdiri dari pembersihan luka baik dengan irigasi maupun debridement dan
penutupan luka. rosedur penanganan luka terbuka terdiri beberapa langkah yaitu:

1. Anestesi lokal yang biasa digunakan adalah lidokain 0.5% / 1.0%.


Keuntungan dari lidocaine adalah onsetnya cepat serta sedikit yang
mengalami alergi. Epinefrin bisa ditambahkan untuk membantu
hemostasis dan memperpanjang kerja obat anestesi. Lidokain akan
terasa sakit saat disuntikkan, sehingga injeksi harus dilakukan perlahan
– lahan pada tepi luka secara subkutan.
2. Luka perlu dilakukan irigasi untuk menurunkan jumlah bakteri dan
menghilangkan benda asing. Cairan yang biasa digunakan adalah 0.9%
saline, dan cairan yang mengandung surfaktan. Alkohol tidak diberikan
pada luka karena bersifat toksik.
3. Kulit sekitar luka juga perlu dipersiapkan dengan larutan antibakteri
seperti povidone – iodine.
4. Debridment luka
5. Langkah terakhir dari penanganan luka adalah penutupan luka. Tujuan
dari penutupan luka ini adalah membantu luka yang cukup lebar yang
sulit untuk menutup sendiri dengan proses normal. Metode yang tersedia
untuk menutup luka adalah dengan jahitan, staples, tape, perekat
jaringan, dan skin graft / skin flap. Penutupan dengan 14 jahitan paling

37
sering digunakan, jahitan digunakan dengan benang sekecil mungkin
tapi bisa menahan luka dengan baik. Tujuannya adalah untuk
meminimalkan benda asing pada tubuh dan mencegah reaksi radang.
Benang yang digunakan adalah benang yang tidak bisa diserap sehingga
perlu untuk dilepas setelah 7 – 10 hari. Lokasi penjahitan juga
mempengaruhi waktu pelepasan benang. Pada daerah dengan
vaskularisasi yang baik seperti wajah, benang dilepas setelah 5 – 7 hari.
Benang yang dapat diserap digunakan pada daerah dermis atau daerah
yang sulit untuk dilakukan pelepasan.

Metode lainnya adalah menggunakan :

1. staples bedah. Metode ini lebih cepat daripada dengan jahitan tetapi
presisinya lebih rendah. Tape dan perekat jaringan digunakan pada luka
superficial yang hanya memerlukan perlekatan di daerah luar saja.
2. Sedangkan skin graft / skin flap digunakan untuk luka besar yang apabila
ditutup dengan metode biasa akan menyebabkan struktur normal kulit
terganggu.

VIII. KOMUNIKASI OROANTRAL

Komunikasi oroantral (KOA) adalah suatu keadaan patologis terjadinya


hubungan antara rongga hidung/antrum dengan rongga mulut. Keadaan ini
merupakan komplikasi pasca pencabutan gigi posterior rahang atas yang
insidennya berkisar 0,31%-3,8% dan sering menyebabkan ketidaknyamanan
karena dapat menjadi masalah sistemik yang lebih serius. Komunikasi oroantral
yang berdiameter < 2 mm dapat sembuh secara spontan, sedangkan yang
berdiameter > 6 mm segera memerlukan tindakan operasi. Jika tidak, maka
kemungkinan terjadinya fistula oroantral (FOA) sangat tinggi.

Etiologi terjadinya KOA adalah komplikasi pasca ekstraksi gigi posterior rahang
atas atau patahnya akar palatal gigi molar, destruksi dasar sinus akibat kelainan
periapikal, perforasi dasar sinus dan membran sinus akibat pemakaian instrumen
yang salah, mendorong gigi atau akar gigi ke dalam sinus saat pencabutan gigi,

38
derajat pneumatisasi sinus, proses pembedahan pada sinus maksilaris atau
pengambilan lesi kista yang besar, infeksi kronik sinus maksilaris seperti
osteomielitis, serta keganasan.

Penentuan diagnosis terjadinya KOA dapat dilakukan dengan cara melakukan


probing silver secara hati-hati, nose blowing test yaitu selembar kapas didekatkan
pada soket dan pasien diinstruksikan untuk meniup dari hidung sambil menutup
nostril dan membuka mulut. Akan tampak gerakan pada selembar kapas tadi atau
akan nampak busa pada darah di soket, selama berkumur, cairan akan keluar lewat
hidung. Povidone iodine yang dicampur air dapat dipakai untuk membedakan
antara sekresi nasal dengan cairan kumur; yaitu ujung suction jika didekatkan
dekat fistula akan menghasilkan suara yang mirip dengan suara botol kosong yang
ditiup.

Penatalaksanaan Jika KOA telah terjadi, seorang dokter gigi harus mampu
mengevaluasi terjadinya KOA dan menilai seberapa jauh KOA tersebut terjadi.
Pada pasien dengan keadaan umum yang baik tanpa kelainan sinus, maka jika
diameter KOA yang terjadi < 2 mm, maka tindakan yang perlu dilakukan hanya
menekan soket dengan tampon selama 1-2 jam dan memberikan instruksi pasca
ekstraksi gigi dengan perlakuan khusus pada sinus (sinus precaution), yaitu
hindari meniup, menyedot-nyedot ludah, menghisap-hisap soket, minum melalui
sedotan atau merokok selama 24 jam pertama. Namun, jika KOA yang terjadi
berukuran sedang (diameter 2-6 mm), maka perlu tindakan tambahan yaitu
meletakkan sponge gauze serta penjahitan soket gigi secara figure of eight untuk
menjaga agar bekuan darah tetap berada dalam soket. Selain itu ditambah dengan
pemberian instruksi sinus precaution selama 10- 14 hari dan pemberian obat-
obatan antibiotika seperti penisilin atau klindamisin selama 5 hari, serta
dekongestan oral maupun nasal spray untuk menjaga ostium tetap paten sehingga
tidak terjadi sinusitis maksilaris. Jika ukuran KOA > 6 mm maka sebaiknya
dilakukan tindakan penutupan soket dengan flap supaya terjadi penutupan primer.
Flap harus bebas dari tarikan dan posisi flap sebaiknya terletak di atas tulang.
Variasi jenis flap yang sering dilakukan untuk penutupan KOA antara lain buccal
flap, palatal flap, buccal fat pad, gold foil dan lain sebagainya.

39
Pada pasien dengan riwayat sinusitis kronik, maka terjadinya KOA yang
berdiameter kecil sekalipun akan sukar sembuh dan dapat menyebabkan KOA
permanen serta terepitelialisasi menjadi fistula. Sebaiknya pada pasien dengan
riwayat penyakit tersebut, segera dilakukan penjahitan secara figure of eight dan
beri instruksi sinus precaution.

40

Anda mungkin juga menyukai