BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
2012; Radebe and Radebe, 2014). Kebijakan anggaran menjadi ajang perebutan
dengan harapan mendapatkan kompensasi fee project yang cukup besar (Jumaidi,
2014).
eksekutif dalam kebijakan anggaran terjadi karena dua faktor pendorong: Pertama,
yang telah berhubungan langsung dengan masyarakat dalam waktu sangat lama; dan
Kedua, eksekutif mempunyai akses informasi yang besar dalam konteks penyusunan
2
program tertentu yang dapat memuluskan jalan bagi seorang legislator untuk dapat
mengajukan anggaran yang dapat dengan mudah diserap oleh konstituennya dan
waktu 6 (enam) tahun terakhir terjadi fluktuasi perubahan jumlah anggaran hibah dan
bansos yang masuk dalam komponen belanja langsung yang cukup signifikan
menjelang dan sesudah Pemilihan Umum (Pemilu). Jumlah anggaran menurun pada
kampanye (Ritonga dan Alam, 2010). Kondisi ini rentan menimbulkan kasus pidana
Deretan panjang kasus korupsi APBD yang terjadi di Sulawesi Tenggara melibatkan
anggota dan pimpinan DPRD sampai Kepala Daerah. Fakta ini menunjukkan bahwa
3
political corruption terjadi ketika politisi atau birokrat tingkat atas memanfaatkan
terdeteksi melalui pencarian media online, media cetak dan lain-lain. Adapun daerah
yang paling banyak melakukan tindakan korupsi yakni Kabupaten Muna, Kota
Kendari, Kolaka Utara, Disusul dengan Kabupaten Konawe Selatan, Bombana dan
Kolaka. Daerah yang paling tinggi nilai nominal uang yang di korupsi di Sulawesi
Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Selisih Lebih
belanja infastruktur dan belanja DPRD. Namun mengamati fenomena yang terjadi
terkait proses penyusunan APBD yang merupakan proses bersama antara legislatif
dan eksekutif, peneliti tertarik untuk meneliti perilaku oportunistik yang terjadi
akibat interaksi antara kedua pihak yang didasari adanya hubungan keagenan.
4
Asmara, 2006; Asmara,2010; Suryarini, 2012, Abdullah, 2012 dan Sularso dkk.,
dalamnya belanja hibah dan bansos dari tahun sebelumnya ke tahun berjalan.
Analisis atas pengaruh jenis dan letak pemerintah daerah memberikan bukti
bahwa intensitas legislatif berkaitan dengan status daerah sebagai kota atau
kabupaten. Pandangan bahwa perilaku oportunistik legislatif di kota lebih besar dari
pada di kabupaten bersumber dari anggapan bahwa social control dari stakeholders
legislatif tidak sebaik dikota. Misalnya, dikota gerakan mahasiswa dan pers sangat
aparat penegak hukum menindaklanjuti berbagai laporan tentang korupsi dan yang
masyarakat dan struktur pendapatan berimplikasi pada kontrol sosial yang berbeda
pula.
telah dirancang sedemikian rupa, namun pada prakteknya masih terjadi beberapa
peningkatan belanja hibah dan bantuan sosial juga menunjukkan telah terjadi
pengalokasian anggaran dalam jumlah besar untuk belanja daerah yang dapat
Peningkatan alokasi anggaran untuk belanja infrastruktur, belanja hibah dan bansos
diduga menjadi alat pemenuhan janji – janji politik serta kerap menjadi sasaran
korupsi. Sumber – sumber pendapatan daerah baik yang berasal dari pendapatan
Anggaran ?
Anggaran ?
6
Anggaran ?
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan penelitian, maka manfaat
bahan bacaan bagi penelitian lebih lanjut dengan topik yang sama.
Hasil kajian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk menilai dan
Beberapa penelitian yang terkait Pengaruh DAU, PAD, SILPA, dan Perilaku
Abdullah dan Asmara (2006), Riharjo dan Isnadi (2010), Asmara (2010), Latifah
(2010), Oktriniatmaja (2011), Maryono (2013), Sularso dkk. (2014), Sayu Made
karena keterbatasan data. Aspek perubahan regulasi yang harus diikuti oleh
variansi yang cukup besar. Variansi ini terjadi karena data yang digunakan didasarkan
pada klasifikasi dan definisi dari peraturan pemerintah dan peraturan Menteri Dalam
Negeri.
maka, penelitian ini dengan daerah yang berbeda dan panambahan variabel Letak dan
Jenis Pemerintahan. Itulah yang menjadi pemikiran peneliti untuk mengkaji Pengaruh
DAU, PAD, SILPA, Jenis dan Letak Pemerintahan Terhadap Perilaku Oportunistik
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teoritis
2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) dan Hubungan Keagenan Antara
Eksekutif dan Legislatif
Penggunaan teori keagenan telah dipergunakan secara luas baik di sektor
pekerja (Faria and Silva, 2013). Sementara di sektor publik, teori keagenan
menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok atau
organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit
maupun eksplisit dengan pihak lain (agents) dengan harapan bahwa agen akan
Meckling, 1976).
mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas
mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu
aktivitas agent sehari-hari untuk memastikan bahwa agent telah bekerja sesuai
dengan keinginan dari principal. Permasalahan dalam hubungan antara prinsipal dan
agen bersumber dari adanya perbedaan tujuan dan pilihan risiko yang dihadapi
agen memiliki informasi lebih tentang kinerja aktual, motivasi dan tujuan yang
Adverse selection terjadi karena adanya perbedaan jumlah informasi yang dimiliki
oleh principal dan agent sehingga principal tidak mampu membedakan apakah agen
melakukan sesuatu yang baik atau tidak (Faria and Silva, 2013). Dalam konteks
dilihat dari dua perspektif yaitu hubungan antara rakyat dengan legislatif, dan
legislatif dengan eksekutif, eksekutif adalah agent dan legislatif adalah principal
(Halim dan Abdullah, 2006). Apabila dilihat dari perspektif hubungan keagenan
legislatif dengan rakyat, pihak legislatif adalah agent yang membela kepentingan
rakyat (principal), akan tetapi tidak ada kejelasan mekanisme dan pengaturan
Hal inilah yang seringkali menyebabkan adanya distorsi anggaran yang disusun oleh
legislatif tersebut. Jika hal ini terjadi, besar kemungkinan anggaran yang disahkan
adalah alat untuk melancarkan aksi pencurian hak rakyat atau sering dikenal dengan
menunjukkan posisi legislatif sebagai prinsipal dan eksekutif adalah agen (Halim
dan Abdullah, 2006; Latifah, 2010; Abdullah, 2012). Hubungan antara prinsipal
problems (Lupia and McCubbins, 2000). Johnson (1994) dalam Abdullah dan
Asmara (2006) menyebut hubungan eksekutif atau birokrasi dengan legislatif atau
kongres dengan nama self-interest model. Dalam hal ini, legislators ingin dipilih
bahwa mereka menerima manfaat dari pemerintah tanpa harus membayar biayanya
secara penuh. Hal ini menunjukkan bahwa baik eksekutif maupun legislatif berupaya
bahwa hubungan prinsipal-agen yang terjadi antara pemilih (voters) dan legislatif
pemilihnya. Pada kenyataannya legislatif sebagai agen bagi publik tidak selalu
memiliki kepentingan yang sama dengan publik (Abdullah dan Asmara, 2006).
eksplisit berhubungan dengan anggaran legislatif dan kedua, melalui anggaran untuk
13
corruption atas anggaran (Garamfalvi, 1997), sementara pada kondisi kedua, self-
interest dalam jangka panjang ingin dicapai. Usulan anggaran yang diperjuangkan
pada usulan yang targetable atau hasilnya kelihatan jelas oleh masyarakat.
ketika politisi atau birokrat tingkat atas memanfaatkan kedudukan mereka demi
keuntungan pribadi ataupun kalangan dekat mereka. Menurut Mauro (1998) salah
dikorupsi sebab tidak banyak orang yang memahami barang tersebut. Insentif
korupsi dalam sisi belanja anggaran pemerintah menurut Martinez et al. (2004)
rendah, pengawasan dan sanksi yang lemah, atau ketidakcukupan gaji dan
insentif lainnya.
14
yang muncul dalam proses penyusunan anggaran dan perilaku manusia yang
Aspek keperilakuan dalam penganggaran dibedakan atas dua unit analisis yaitu
organisasi dan individu. Menurut Belkaoui (1989) dalam Suartana (2010) ada
daya yang tersedia dan tidak melakukan efisiensi yang sering disebut slack atau
alokasi belanja pada sektor tertentu yang termasuk perilaku disfungsional yang
self interestnya.
2.1.3 Hubungan DAU, PAD, SiLPA, Jenis dan Letak Pemerintahan Dengan
Perilaku Oportunistik
Perilaku oportunistik mengacu pada pribadi, sifat atau dinamika kelompok dalam
dengan segala cara bahkan cara ilegal sekalipun (Maryono, 2013). Lebih jauh
eksekutif dan legislatif dalam pengalokasian spread PAD ke dalam belanja sektoral.
Alokasi untuk infrastruktur dan DPRD mengalami kenaikan, tapi alokasi untuk
menemukan bahwa power legislatif yang sangat besar menyebabkan diskresi atas
penggunaan PAD tidak sesuai dengan preferensi publik. Penelitian Sularso dkk.
(2014) serta Abdullah dan Asmara (2006) menunjukkan bahwa semakin besar PAD
Tujuan dari dana alokasi umum adalah untuk pemerataan keuangan antar
modal.
pemerintah daerah tidak dapat dilakukan pada sisi pendapatan, karena pendapatan
daerah sebagian besar bersumber dari dana transfer pemerintah pusat (Bartolini
and Santolini, 2007). Lebih lanjut disebutkan bahwa kondisi ini menyebabkan
belanja dalam APBD. DAU yang diterima daerah dapat mengakibatkan perubahan
bentuk pelayanan publik yang paling mendasar, namun jenis belanja tersebut tidak
kesehatan, dan sosial akan diperkecil (Mauro, 1998). Studi Mauro (1998)
pelayanan untuk program-program dan kegiatan yang sulit untuk dimonitor orang
17
dikuatkan oleh Tanzi and Davoodi (2002) yang mengemukakan bahwa belanja
investasi publik lebih disukai karena dapat memberikan komisi lebih besar
APBD periode selanjutnya (Sularso dkk., 2014). Lebih lanjut dijelaskan bahwa
SiLPA berpengaruh positif pada alokasi belanja pada tahun berikutnya sehingga hal
ini memberi peluang bagi penyusun anggaran untuk mengalokasikan free cash flow
Jenis dan Letak Pemerintahan dapat di samakan sebagai status daerah, dimana
antar daerah. Perbedaan ini dapat berimplikasi pada kontrol sosial yang berbeda pula
(Abdullah, 2004). Kontrol sosial pada penduduk kota cenderung lebih kuat, sehingga
Pemerintah Daerah yang berstatus sebagai Kota akan cenderung mematuhi standar
anggaran.
18
dilakukan selama ini lebih fokus pada peranan legislatif dalam proses penyusunan
proses bersama antara eksekutif dan legislatif. Adanya asimetri informasi dalam
dengan menggunakan jenis dan letak pemerintahan sebagai variabel kontrol. Perilaku
pekerjaan umum dan anggaran legislatif yang merupakan selisih angka antara
pejabat eksekutif atas penggunaan penerimaan sumber daya alam dalam penyusunan
APBD. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data APBD dari 31 propinsi
pengaruh belanja pegawai langsung, belanja barang dan jasa, serta belanja modal
alokasi belanja modal dalam APBD Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, Bali dan
untuk menguji pengaruh antar variabel serta uji beda untuk menilai perbedaan
sebanyak 147 dengan rentang waktu 2004 – 2008. Hasil penelitian menemukan
bahwa PAD, DAU dan DAK berpengaruh positif terhadap alokasi belanja
modal, sedangkan uji beda menunjukkan bahwa belanja modal dan PAD di
tidak berpengaruh. Lebih lanjut Sularso dkk. (2014) menguji Pengaruh DAU, PAD,
Jawa Tengah. Analisis dilakukan untuk data APBD Tahun 2010 – 2012 dengan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar DAU, PAD dan SiLPA maka
BAB III
21
khususnya pemerintah daerah adalah proses politik yang sangat didominasi oleh
politik anggaran yang dilakukan oleh pihak – pihak yang terlibat. Nuansa politik
APBD berasal dari PAD, Dana Perimbangan dan penerimaan pembiayaan yang
pendapatan daerah berupa DAU adalah dana yang berasal dari APBN yang
DAU memiliki proporsi yang paling besar pada penerimaan daerah, dimana
seharusnya pemerintah daerah secara leluasa dapat menggunakan dana ini untuk
SiLPA merupakan penerimaan daerah yang bersumber dari sisa kas tahun
pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja. Penelitian Sularso dkk. (2014)
menemukan bahwa SiLPA berpengaruh positif terhadap belanja modal pada periode
anggaran selanjutnya, yang berarti dapat berpengaruh pada alokasi belanja tahun
berikutnya sehingga hal ini memberi ruang bagi penyusun anggaran untuk
dengan segala cara bahkan cara ilegal sekalipun yang dipengaruhi oleh adanya
dalam pembuatan keputusan alokasi belanja dan preferensi yang mengarah pada
dilihat dari pengalokasian anggaran yang lebih mengarah pada preferensi yang
3.2. Hipotesis
Tujuan dari dana alokasi umum adalah untuk pemerataan keuangan antar
pemerintah daerah tidak dapat dilakukan pada sisi pendapatan, karena pendapatan
daerah sebagian besar bersumber dari dana transfer pemerintah pusat (Bartolini and
Santolini, 2007). Lebih lanjut disebutkan bahwa kondisi ini menyebabkan perilaku
25
dalam APBD. DAU yang diterima daerah dapat mengakibatkan perubahan alokasi
anggaran dalam APBD (Maryono, 2013). Berdasarkan kajian empiris di atas, maka
eksekutif dan legislatif dalam pengalokasian spread PAD ke dalam belanja sektoral.
Alokasi untuk infrastruktur dan DPRD mengalami kenaikan, tapi alokasi untuk
menemukan bahwa power legislatif yang sangat besar menyebabkan diskresi atas
penggunaan PAD tidak sesuai dengan preferensi publik. Penelitian Sularso dkk.
26
(2014) serta Abdullah dan Asmara (2006) menunjukkan bahwa semakin besar PAD
bentuk pelayanan publik yang paling mendasar, namun jenis belanja tersebut tidak
dan sosial akan diperkecil (Mauro, 1998). Studi Mauro (1998) menunjukkan bahwa
jenis-jenis belanja pemerintah berupa belanja barang atau pelayanan untuk program-
program dan kegiatan yang sulit untuk dimonitor orang lain, membuka peluang
terjadinya perilaku oportunistik. Hasil penelitian ini dikuatkan oleh Tanzi and
Davoodi (2002) yang mengemukakan bahwa belanja investasi publik lebih disukai
karena dapat memberikan komisi lebih besar daripada belanja untuk pelayanan
sosial, pendidikan, dan kesehatan. Berdasarkan kajian empiris di atas, maka peneliti
APBD periode selanjutnya (Sularso dkk., 2014). Lebih lanjut dijelaskan bahwa
SiLPA berpengaruh positif pada alokasi belanja pada tahun berikutnya sehingga hal
ini memberi peluang bagi penyusun anggaran untuk mengalokasikan free cash flow
27
antar daerah. Perbedaan ini dapat berimplikasi pada kontrol sosial yang berbeda pula
kuat, sehingga Pemerintah Daerah yang berstatus sebagai Kota akan cenderung
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian merupakan Penelitian kuantitatif atau penelitian ilmiah yang
Proses pengukuran adalah bagian yang sentral dalam penelitian kuantitatif karena
hal ini memberikan hubungan yang fundamental antara pengamatan empiris dan
mengarahkan pada pemilihan sumber – sumber daya dan tipe informasi yang
struktur penelitian yang mengarahkan proses dan hasil riset sedapat mungkin
Penelitian ini menguji pengaruh variabel independen yaitu DAU, PAD dan
SiLPA, Letak dan Jenis Pemerintahan terhadap variabel dependen yaitu perilaku
Pengujian dilakukan secara statistik dengan menggunakan data sekunder yang akan
dianalisis dengan teknik analisis regresi linier berganda. Hasil analisis kemudian
Lokasi penelitian mempunyai kriteria yaitu daerah yang sudah mekar dibawah
tahun 2010, sementara daerah yang mekar di atas tahun 2010 tetap masuk dalam
Sulawesi Tenggara untuk menganalisis data APBD pada kurun waktu 2011 – 2016.
terdiri dari variabel dependen yaitu perilaku oportunistik penyusun anggaran dan
variabel independen yaitu DAU, PAD dan SiLPA, Jenis dan Letak Pemerintahan.
31
merupakan perilaku yang berusaha mencapai keinginan dengan segala cara bahkan
dengan cara ilegal sekalipun. Pengukuran kinerja OPA di dalam penelitian ini
alokasi anggaran belanja tertentu dari APBD tahun sebelumnya ke APBD tahun
sumberdaya antara principal dan agents (Abdullah, 2012). Nilai OPA menunjukkan
berikut:
APBD tahun sebelumnya (t-1). Sektor yang diamati adalah biaya tidak langsung
yang di dalamnya terdiri dari pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, hibah dan
satuan rupiah dan bertanda positif, namun jika yang terjadi sebaliknya atau tidak
Variabel independen pada penelitian ini yang mempengaruhi OPA terdiri dari
empat variabel yaitu Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD),
DAU adalah transfer yang bersifat umum dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah
Dana Alokasi Umum (DAU) dari APBD tahun berjalan (t) ke APBD tahun
PAD merupakan pendapatan daerah yang terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi
PAD menggunakan spread PAD (Δ PAD) adalah perubahan naik atau turunnya
PAD dari APBD tahun berjalan (t) ke APBD tahun sebelumnya (t-1) (Abdullah,
33
……………………………………………………1)
pihak ketiga sampai dengan akhir tahun terselesaikan dan sisa dana kegiatan
lanjutan, yang ditanggung dalam perubahan APBD. SiLPA diukur dengan spread
………………………………………………..3)
antar daerah. Perbedaan ini dapat berimplikasi pada kontrol sosial yang berbeda
pula (Abdullah, 2004). Kontrol sosial pada penduduk kota cenderung lebih kuat,
tata letak dan jenis, dengan angka 1 melambangkan tata letak dan jenis
Kabupaten dan angka 0 melambangkan tata letak dan jenis Kota. Jenis dan Letak
34
Kabupaten, diberi kode 1 (satu) dan jika status daerah adalah Kota, diberikan
kode 0 (nol). Variabel ini digunakan dalam penelitian Abdullah, (2004) dan
Retnoningsih (2009).
Jenis data dalam penelitian ini terdiri atas sumber data sekunder runtut waktu
(time series) dari tahun 2011-2016 yang bersumber dari Biro Keuangan Sekretariat
Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Tenggara,
Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2011 – 2016 dan situs
data yang diperoleh/ dikumpulkan dan disatukan oleh studi-studi sebelumnya atau
yang diterbitkan oleh berbagai instansi lain atau sumber tidak langsung berupa data
Data tersebut meliputi DAU, PAD, SiLPA, belanja sektoral untuk belanja
pendidikan, kesehatan, PU, hibah dan bansos, Jenis dan Letak Pemerintahan dan
Pinjaman Daerah. Adapun variabel penelitian terdiri dari DAU (X1), PAD (X2),
Oportunistik Penyusun Anggaran (Y). Alat analisis yang digunakan adalah regresi
asumsi klasik untuk mengetahui hasil estimasi regresi yang dilakukan terbebas dari
fit) dengan melihat nilai koefisien determinasi (R2), hasil uji F dan uji t.
dari berbagai sumber sesetara mungkin “menjadi satu bentuk yang sama”);
Teknik analisis yang digunakan di dalam penelitian ini adalah analisis regresi data
panel dengan menggunakan alat uji Eviews. Data panel merupakan gabungan antara data
silang (cross section) dengan data runtut waktu (time series). Data panel diperkenalkan
oleh Howles pada tahun 1950. Data runtut waktu biasanya meliputi satu objek (misalnya
harga saham, kurs mata uang, atau tingkat inflasi), tetapi meliputi beberapa periode (bisa
harian, bulanan, kuartalan, tahunan, dan sebagainya). Data silang terdiri atas beberapa atau
banyak objek, sering disebut responden, (misal perusahaan) dengan beberapa jenis data
36
(misal laba, biaya iklan, laba ditahan, dan tingkat investasi). Keunggulan regresi data
3) Data panel mendasarkan diri pada observasi cross-section yang berulang-ulang (time
series), sehingga metoda data panel cocok digunakan sebagai study of dynamic
adjustment.
4) Tingginya jumlah observasi memiliki implikasi pada data yang lebih informatif, lebih
variatif, dan kolinearitas (multikol) antara data semakin berkurang. Dan derajat
kompleks. Selain itu data panel juga dapat digunakan untuk meminimalkan bias yang
Dengan keunggulan tersebut maka tidak harus dilakukannya pengujian asumsi klasik
dalam model data panel (Verbeek, 2009; Gujarati, 2006; Wibisono, 2005; Aulia;2004,
hanya mengkombinasikan data time series dan cross section. Pada model ini tidak
perilaku data perusahaan sama dalam berbagai kurun waktu. Metode ini bisa
menggunakan pendekatan Ordinary Least Square (OLS) atau teknik kuadrat terkecil
intersep antar perusahaan. Model estimasi ini sering juga disebut dengan teknik
mungkin saling berhubungan antar waktu dan antar individu. Pada model
heteroskedastisitas. Model ini juga disebut dengan Error Component Model (ECM)
Square, jika probabilitas dari hasil uji Chow- test lebih besar dari nilai kritisnya
maka H0 ditolak dan Ha diterima. Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:
2) Hausman test
Hausman test atau uji hausman adalah pengujian statistik untuk memilih
apakah model fixed effect atau random effect yang paling tepat digunakan. Setelah
selesai melakukan uji Chow dan didapatkan model yang tepat adalah fixed effect,
maka selanjutnya akan diuji model manakah antara model fixed effect atau random
effect yang paling tepat, pengujian ini disebut sebagai uji Hausman.
39
apakah model fixed effect atau random effect yang paling tepat digunakan. Pengujian
Statistik Uji Hausman ini mengikuti distribusi statistic Chi Square dengan
nilai statistik Hausman lebih kecil dari nilai kritisnya maka H0 diterima dan
model yang tepat adalah model fixed effect sedangkan sebaliknya bila nilai statistik
Hausman lebih besar dari nilai kritisnya maka model yang tepat adalah model
random effect .
Jika model common effect atau fixed effect yang digunakan, maka langkah
selanjutnya yaitu melakukan uji asumsi klasik. Namun apabila model yang
digunakan jatuh pada random effect, maka tidak perlu dilakukan uji asumsi klasik.
Hal ini disebabkan oleh variabel gangguan dalam model random effect tidak
berkorelasi dari perusahaan berbeda maupun perusahaan yang sama dalam periode
Chi-Square, jika probabilitas dari hasil uji LM lebih besar dari nilai kritisnya
maka H0 ditolak dan Ha diterima. Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:
kesalahan atau kebenaran dari hipotesis yang telah diajukan oleh peneliti di
antaranya :
determinasi berada diantara nol dan satu. Nilai Adjusted (R2) yang kecil berarti
variabel-variabel dependen.
41
Jika nilai signifikansi < 0,05 menunjukkan bahwa model regresi dapat
dependen.
Jika nilai signifikansi > 0,05 menunjukkan bahwa model regresi yang
variabel dependen.
Dengan tingkat kepercayaan untuk pegujian hipotesis adalah 95% atau (α) 0,05.
Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh variabel
Ghozali, (2011)
BAB V
keuangan daerah selama 1 periode anggaran. Secara umum struktur APBD terdiri
Daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Lain-lain
Pendapatan yang sah sedangkan Belanja Daerah terdiri Belanja Langsung dan
(APBD).
dibahas dan disetujui oleh pemerintah daerah dan DPRD serta ditetapkan dengan
Secara garis besar, struktur APBD terdiri dari pendapatan daerah, belanja
daerah, dan pembiayaan daerah. Dalam hal pendapatan daerah lebih kecil dari
dapat bersumber dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya,
Sementara itu, jika pendapatan lebih besar dari belanja daerah (anggaran surplus),
hingga akhir triwulan III 2011 masih belum optimal. Dari total anggaran APBD
sebesar Rp1,42 triliun, baru sekitar 47,62% yang telah direalisasikan atau sebesar
Rp676,07 milyar. Persentase realisasi anggaran terbesar ada pada belanja operasional
pegawai dan barang. Untuk belanja modal yang dialokasikan sebesar Rp427 milyar,
hingga akhir triwulan III realisasinya hanya sekitar 19,28% atau sebesar Rp82,44
milyar. Dari sisi pendapatan, realisasi pendapatan APBD hingga triwulan III
mengalami pecapaian yang relatif baik. Realisasi pendapatan APBD secara nominal
sebesar Rp947,98 milyar atau sekitar 77,67% dari total target pendapatan Pemerintah
Provinsi Sulawesi Tenggara. Pencapaian ini berasal dari transfer dana perimbangan
dan pendapatan asli daerah yang meliputi pajak, restribusi dan laba perusahaan
daerah. Plafond transfer dari dana perimbangan sebesar Rp799,08 milyar yang
44
sebagian besar dari hasil pajak, hampir 81% telah ditransfer ke APBD Provinsi
Sulawesi Tenggara.
Tabel 5.1 Realisasi Pendapatan dan Belanja Provinsi Sulawesi Tenggara Hingga Triw III-2011
Pada akhir triwulan III 2011 dari total anggaran APBD Pemerintah Provinsi
Sulawesi Tenggara sebesar Rp1,42 triliun, baru sekitar 47,62% telah direalisasikan
atau sebesar Rp676,07 milyar. Belanja operasional yang meliputi belanja pegawai,
barang, hibah, bantuan sosial dan keuangan yang dianggarkan mencapai Rp936.26
milyar telah terealisasi cukup moderat sebesar 58.79%, dimana belanja pegawai
terserap cukup tinggi mencapai 69.57% atau setara dengan Rp290,63 milyar.
Adapun belanja operasional yang realisasinya cukup rendah yakni belanja barang
dan belanja bantuan keuangan. Belanja barang baru terealisasi sekitar 49.96% atau
Rp105.31 milyar sedangkan belanja bantuan keuangan baru terserap sebesar 47,7%
atau Rp134,09 milyar. Sedangkan realisasi belanja modal hingga triwulan III 2011
masih minim baru mencapai 19,28% dari anggaran belanja modal yang dialokasikan
sebesar Rp427,59 milyar. Relatif kecilnya alokasi pendapatan untuk belanja modal
45
yang hanya sebesar 30,12% dari total anggaran belanja daerah disertai pola realisasi
belanja modal sendiri mengalami kenaikan yang cukup signifikan sebesar hampir
15.37% di tahun 2011 dibandingkan tahun 2010. Sementara itu, realisasi belanja dari
dana transfer bagi hasil hingga triwulan III 2011 tercatat sebesar Rp42,1 milyar atau
Rp947,98 milyar atau sekitar 77,67% dari total target pendapatan Pemerintah
Provinsi Sulawesi Tenggara. Pencapaian ini berasal dari transfer dana perimbangan
dan pendapatan asli daerah yang meliputi pajak, restribusi dan laba perusahaan
daerah. Plafond transfer dari dana perimbangan sebesar Rp799,08 milyar yang
sebagian besar dari hasil pajak, hampir 81% telah ditransfer ke APBD Provinsi
Sulawesi Tenggara yang bersumber dari bagi hasil pajak dan bukan pajak, dana
alokasi umum dan dana alokasi khusus. Penerimaan dengan prosentase cukup tinggi
terealisasi dari dana alokasi umum yang mencapai 83.33% dari target atau setara
dengan Rp584,03 milyar serta realisasi dari dana bagi hasil pajak dan bukan pajak
Namun demikian, realisasi penerimaan dari dana alokasi khusus masih relatif
minim hanya 30.84% dari target atau masih sebesar Rp10,42 milyar. Adapun
pencapaian dari pendapatan asli daerah hingga akhir triwulan III 2011 cukup tinggi
bersumber dari penerimaan pajak daerah, retribusi daerah dan laba perusahaan
daerah yang telah mencapai masing-masing sebesar 89.28%, 94.49% dan 97.25%
Tenggara hingga akhir triwulan IV-2012 relatif cukup optimal. Dari total anggaran
operasi dan belanja modal, masing-masing sebesar 81,72% dan 12,05% dari
anggaran. Hingga akhir triwulan IV tahun 2012, belanja modal yang dialokasikan
sebesar Rp413 milyar, hanya terealisasi sebesar Rp201 milyar atau 48,77% dari
anggaran. Dari sisi pendapatan, pendapatan APBD hingga triwulan IV tahun 2012
terealisasi dengan baik, yaitu sebesar Rp1,76 Triliun atau 94,88% dari total anggaran
Rp1,85 Triliun.
Pencapaian ini berasal dari transfer dana perimbangan dan pendapatan asli
daerah yang meliputi pajak, restribusi dan laba perusahaan daerah. Plafond transfer
48
dari dana perimbangan sebesar Rp1,02 Triliun yang yang memberi sumbangan
Tabel 5.4 Realisasi APBD Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2012
telah terealisasi sebesar Rp1,67 triliun atau 81,42% dari anggaran belanja APBD
yang dialokasikan sebesar Rp1,05 Triliun. Belanja operasional yang meliputi belanja
pegawai, barang, hibah, bantuan sosial dan keuangan yang dianggarkan sebesar
Rp1,52 Triliun telah terealisasi sebesar 89,71%, dimana penyumbang terbesar secara
nominal pada belanja pegawai yang mencapai Rp476 milyar atau 34,81% dari
belanja hibah, belanja pegawai dan belanja barang, masing-masing sebesar 96,82%;
Sementara itu, kinerja belanja modal hingga triwulan IV 2012 masih belum
optimal, hanya mencapai 48,77% dari anggaran yang dialokasikan sebesar Rp413
49
milyar. Pola serapan anggaran belanja modal yang relatif lambat dikhawatirkan
dimana kondisi tersebut pada akhirnya dapat menjadi disinsetif bagi iklim investasi
2012 lebih rendah dari realisasi periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai
73,02% dari anggaran yang dialokasikan sebesar Rp487 miliar. Sementara itu,
realisasi belanja dari dana transfer bagi hasil hingga triwulan IV 2012 tercatat
optimal yaitu telah mencapai Rp104 milyar atau 100% yang dianggarkan pada TA
2012.
secara nominal telah terealisasi sebesar Rp1,47 Triliun atau 79,32% dari total target
dana perimbangan dan pendapatan transfer yang meliputi pajak, restribusi dan laba
triwulan IV 2012. Plafond transfer dari dana perimbangan sebesar Rp1,02 Triliun
Tenggara. Optimalnya realisasi dana transfer tersebut terutama berasal dari realisasi
Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang masing-masing
telah mencapai Rp870 miliar dan 34 miliar atau 100% dari target pendapatan DAU
Selain itu, pendapatan dengan realisasi yang cukup baik juga dari Dana Bagi
Hasil Pajak dan Non Pajak serta Dana Penyesuaian yang masing-masing terealisasi
sebesar 110,53% dan 95,43% dari target anggaran. Sementara itu, pencapaian dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD) hingga akhir triwulan IV 2012 relatif cukup baik,
yaitu sebesar Rp453 miliar atau 83,10% dari target PAD. Realisasi PAD yang cukup
optimal disumbang oleh penerimaan pajak daerah, retribusi yang memberi kontribusi
optimal. Dari total anggaran belanja sebesar Rp. 2.176,89 miliar, sebesar 83,28%
dari total anggaran belanja telah direalisasikan sepanjang tahun 2013. Atau dengan
kata lain sebanyak Rp 1.812,82 miliar telah dipergunakan untuk keperluan belanja
daerah. Persentase realisasi anggaran belanja terbesar ada pada belanja bagi hasil
(transfer) dan belanja operasi, masing-masing sebesar 90,96% dan 87,72% dari
anggara. Adapun belanja modal yang dianggarkan sebesar Rp. 603,33 miliar, pada
triwulan IV-2013 realisasinya mencapai Rp. 430,7 miliar atau 71,39% dari nominal
yang dialokasikan.
52
Dari sisi pendapatan, realisasi pendapatan APBD pada triwulan IV-2013 mengalami
pendapatan APBD secara nominal sebesar Rp. 1.969,13 miliar atau mencapai
100,88% dari total anggaran pendapatan. Pencapaian ini berasal dari pendapatan asli
daerah (PAD) yang meliputi pajak, retribusi dan laba perusahaan daerah, dan transfer
dana perimbangan. PAD pemerintah daerah Sulawesi Tenggara pada triwulan IV-
2013 terealisasi sebesar Rp 511,43 miliar atau mencapai 101,76% dari total PAD
yang dianggarkan untuk tahun 2013. Penyumbang PAD terbesar adalah pendapatan
pajak daerah yang mencapai Rp408,11 miliar atau 108,63% dari anggaran PAD yang
Tabel 5.7 Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah Sulawesi Tenggara Triwulan IV-2013
Sulawesi Tenggara tercatat sebesar Rp. 1.812,82 miliar atau sebanyak 83,28% yang
terserap dari total yang dianggarkan pada APBD tahun 2013. Belanja operasional
53
yang dianggarkan sebesar Rp 1.326,21 miliar dalam setahun telah terealisasi sebesar
87,72 %, dimana serapan tertinggi secara nominal pada belanja hibah dan belanja
barang masing-masing sebesar Rp 295,63 miliar dan Rp 259,29 miliar atau 96,21%
dan 87,20% dari total anggaran. Adapun penyerapan anggaran pada belanja pegawai
sebesar Rp 493,85 miliar atau sebesar 85,02% dari total anggaran belanja pegawai
Sementara itu, kinerja belanja modal hingga Triwulan IV-2013 relatif belum optimal
dengan realisasi sebesar Rp. 430,71 miliar atau 71,39% dari anggaran yang di
belanja modal dikarenakan masih kurang optimalnya realisasi belanja tanah yang
hanya mencapai Rp 1,934 miliar atau sebesar 6,93% dari total anggaran belanja
54
tanah pada APBD 2013 dengan nominal Rp 27,9 miliar. Sedangkan realisasi belanja
peralatan dan mesin, belanja bangunan dan gedung, belanja irigasi, jalan dan
jaringan, serta belanja aset tetap lainnya telah menunjukkan penyerapan yang
optimal pada Triwulan IV-2013, masing-masing belanja peralatan dan mesin yang
terealisasi sebesar Rp. 39,48 miliar atau 81,38%, belanja irigasi, jalan dan jaringan
tereaslisasi sebesar Rp. 654 juta atau 97,31 % dari total yang dianggarkan pada
APBD 2013. Serapan anggaran belanja modal yang belum optimal sampai dengan
akhir tahun 2013 ini dikhawatirkan berpotensi menghambat upaya untuk penyediaan
sarana insfrastruktur yang memadai dan layak bagi masyarakat dimana kondisi
tersebut pada akhirnya dapat menjadi disintesif bagi iklim investasi di SUlawesi
pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Tenggara dan akan menjadi daya tarik investro
informasi yang dihimpun, para pengusaha yang telah lama berada di Provinsi
Sulawesi Tenggara maupun para calon investor mengakui bahwa insfrastruktur yang
perlu dibenahi maupun ditambah adalah insfrastruktur jalan dan listrik. Diharapkan
pada periode ke depan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dapat lebih menaruh
aloksi yang dianggarkan pada APBD 2013. Secara Nominal, Pendapatan yang
diterima oleh pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara sebesar Rp. 1.969,13 miliar
atau mencapai 100.88% dari total target pendapatan Pemerintah Provinsi Sulawesi
Tenggara. Pencapaian ini berasal dari transfer dana perimbangan dan pendapatan asli
daerah yang meliputi pajak, retribusi dan laba perusahaan daerah. Sumbangan
terbesar pendapatan daerah bersumber dari pendapatan transfer yang tercatat Rp.
1.451,89 miliar atau 100,58% dari yang dianggarkan sebesar Rp. 1.443,56 miliar.
Penyumbang terbesar dalam pendapatan transfer bersumber dari Dana Bagi Hasil
Bukan Pajak (Sumber Daya Alm) yang mencapai Rp, 59,38 miliar atau 149% dari
yang dianggarkan sebesar 39,77 miliar. Pada pos Pendapatan Asli Daerah,
Rp. 408,11 miliar atau mencapai 108,63% dari target yang di tetapkan dan juga
disumbang oleh hasil retribusi daerah sebesar Rp. 24,47 miliar atau mencapai
lebih tinggi jika dibandingkan dengan periode tahun 2013. Pendapatan Pemerintah
Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2014 mampu mencapai 101,95% dari target
dalam APBD, lebih tinggi dibandingkan dengan pencapaian tahun 2013 yang sebesar
Pendapatan Transfer mencapai 101,52% dari target dan komponen Pendapatan Lain-
Lain yang Sah mencapai 183,6% dari target. Pendapatan Provinsi Sulawesi Tenggara
yang berasal dari transfer Pemerintah Pusat naik cukup signifikan pada tahun 2014.
Pada periode laporan tercatat dana transfer ke Sulawesi Tenggara mencapai Rp 1,54
triliun, meningkat sebesar 6,73% (yoy). Peningkatan pendapatan transfer pada tahun
57
2014 yang diterima Provinsi Sulawesi Tenggara terutama berasal dari Dana Alokasi
Umum (DAU) yang mencapai Rp 1,05 triliun atau setara dengan 67,99% dari total
Tenggara
58
sebelumnya. PAD tahun 2014 tercatat sebesar Rp 555,23 miliar, tumbuh sebesar
97,38% dari anggaran semula. Hal tersebut disebabkan adanya penurunan Hasil
Sulawesi Tenggara pada tahun 2014 juga lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi
anggaran 2013. Realisasi belanja Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun
2014 mencapai 85,21% dari target, lebih tinggi daripada kinerja tahun 2013 yang
keuangan pemerintah terutama didorong peningkatan daya serap belanja operasi dan
belanja modal. Belanja operasi telah direalisasikan sebesar 91,62% dan secara
Tabel 5.11 Realisasi dan Pencapaian Target Belanja Pemerintah Sulawesi Tenggara
59
Sementara itu, belanja modal penyerapannya masih rendah pada tahun 2014 namun
modal sampai akhir 2014 mencapai Rp553,49 miliar, meningkat sebesar 28,50%
(yoy) terutama pada pembangunan bangunan dan gedung. Sementara itu, belanja
Sementara itu dari data Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Daerah (LKPP),
perkembangan yang baik sampai dengan realiasi bulan November 2014. Namun
pada akhir tahun realisasi anggaran belanja tidak dapat tercapai karena progres fisik
pembangunan maupun pengadaan barang yang belum selesai. Hal tersebut juga
dipengaruhi keterlambatan proses pelelangan barang dan jasa pada triwulan I 2014
Anggaran 2015 ditetapkan menjadi Perda. Disahkannya APBD pada akhir tahun
mendorong realisasi anggaran dan proses pengadaan barang dan jasa dapat dilakukan
lebih cepat.
Sesuai Perda APBD Sulawesi Tenggara tahun 2015 tersebut, total anggaran
pendapatan mencapai Rp2,263 triliun, meningkat sebesar 3,89% dari realisasi tahun
transfer (dana perimbangan), 23,6% merupakan pendapatan asli daerah, dan sisanya
Sementara itu untuk anggaran belanja pada tahun 2015 mencapai Rp2.321,89 miliar,
meningkat sebesar 11,89% dari realiasi belanja tahun 2014. Dari anggaran belanja
61
modal dalam struktur APBD 2015 mencapai 25,51%. Meskipun pangsa belanja
modal lebih kecil daripada APBD 2014 namun secara nominal anggaran belanja
tahun 2015, meningkat sebesar 27,2% dibandingkan tahun 2014. Adapun porsi
triliun), diikuti dengan anggaran keuangan bersumber dari APBN1 sebesar 37,4%
Sampai dengan akhir tahun 2015, total anggaran belanja yang sudah direalisasikan
adalah sebesar Rp18,1 triliun dengan pangsa terbesar didominasi oleh realisasi
anggaran APBN sebesar 93,5%, APBD sebesar 88,2% dan APBD Kota/Kabupaten
hanya sebesar 69,1%. Dengan demikian, masih ada ruang fiskal di Sulawesi
Tenggara sebesar Rp4,4 triliun sampai akhir 2015 yang tidak digunakan.
kinerja keuangan per bulan untuk Provinsi Sulawesi Tenggara selama triwulan IV
2015 relatif rendah dibandingkan dengan target yang ditetapkan. Sampai dengan
triwulan IV 2015, kondisi realisasi keuangan Pemprov Sultra baru mencapai 88,2%
jauh di bawah target 100%. Sementara itu kondisi penyelesaian fisik baru mencapai
79,6%, jauh di bawah target 100%. Namun demikian, pencapaian tersebut lebih
tinggi jika dibandingkan periode tahun sebelumnya. Pada tahun 2014 tingkat
realisasi keuangan mencapai 86,3% dan penyelesaian fisik hanya sebesar 74,2%.
daerah. Daerah dengan realisasi sampai dengan triwulan IV 2015 yang terbesar
adalah di Kab. Kolaka Utara sebesar 93,4% diikuti dengan Kab. Bombana sebesar
88,1%. Sementara itu, daerah dengan realisasi terendah adalah di Kab. Konawe
anggaran yang disediakan pada triwulan IV 2015 relatif lebih baik jika dibandingkan
senilai Rp2,47 triliun, atau sebesar 105,5% dari target total pendapatan dalam APBD
2015. Angka serapan tersebut tercatat jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan
realisasi di triwulan IV 2014 yang tercatat hanya sebesar Rp2,18 triliun atau 102,0%
disebabkan oleh sudah terealisasinya pendapatan asli daerah (PAD) yang pada
periode triwulan IV 2015 mencapai Rp684 miliar atau 126,9% dari target dalam
APBD. Peningkatan realisasi (PAD) pada periode laporan disebabkan oleh capaian
pendapatan pajak daerah yang mencapai 128,5% atau senilai Rp533,7 miliar.
Capaian tersebut jauh melebihi realisasi pada tahun 2014 yang tercatat hanya sebesar
hanya mencapai 98,8% atau senilai Rp1,8 triliun, menurun jika dibandingkan dengan
triwulan IV 2014 yang tercatat sebesar 101,5% atau senilai Rp1,5 triliun.
Tabel 5.12 Realisasi dan Pencapaian Target Pendapatan Pemerintah Sulawesi Tenggara Pada
Triwulan IV 2015
65
Provinsi Sulawesi Tenggara pada triwulan IV 2015 juga tercatat lebih tinggi
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara pada periode laporan mencapai 88,2% atau
sebesar Rp2,7 triliun, jauh lebih tinggi dibandingkan kinerja pada periode yang sama
yang mencapai 83,1% atau sebesar Rp683,5 miliar. Beberapa hal yang menjadi
proyek secara masal pada saat HUT Sultra bulan April 2015 yang lalu serta
66
pemanfaatan fasilitas lelang secara elektronik yang berguna juga untuk transparansi
proses lelang.
Tabel 5.13 Realisasi dan Pencapaian Target Belanja Pemerintah Sulawesi Tenggara Pada
Triwulan IV 2015
perbaikan. Pada periode laporan tercatat realisasi belanja operasi mencapai 92,2%
atau sebesar Rp1,4 triliun, lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama
Anggaran pendapatan dan belanja pada APBD 2016 meningkat relatif tinggi
dibandingkan tahun 2015. Dari sisi pendapatan, pada tahun 2016 diestimasikan
pendapatan pemerintah daerah sebesar Rp2,6 triliun atau meningkat sebesar 17,0%
67
terjadi pada pos dana penyesuaian dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Anggaran dana
40,5%. Sementara untuk DAK mengalami penambahan sebesar Rp117 miliar atau
anggaran pos Pendapatan Asli Daerah (PAD) ditargetkan sebesar Rp558,4 miliar
atau meningkat 5,8% dibandingkan anggaran tahun 2015. Sumber anggaran PAD
utamanya berasal dari komponen pajak daerah yang mencapai 81,6% dari total
Sementara itu dari sisi belanja, tercatat anggaran belanja tahun 2016 sebesar Rp2,8
Peningkatan anggaran belanja pada tahun 2016 tersebut didorong oleh meningkatnya
anggaran belanja modal sebesar Rp802,2 miliar. Hal tersebut sejalan dengan upaya
Sulawesi Tenggara.
Secara historis, APBD Provinsi Sulawesi Tenggara selalu mencatatkan defisit sejak
tahun 2010. Namun pada APBD tahun 2016, defisit anggaran tercatat lebih tinggi
jika dibandingkan tahun sebelumnya. Defisit APBD tahun 2016 adalah sebesar
yang disediakan pada triwulan III 2016 relatif lebih rendah jika dibandingkan
realisasi pendapatan
Rp1,94 triliun, atau sebesar 73,6% dari target total pendapatan dalam APBD 2016.
Angka serapan tersebut tercatat jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi
di triwulan III 2015 yang tercatat mampu mencapai 80,6% dari target dalam APBD
tercatat hanya mampu terealisasi sebesar 72,2 % dari total target dalam APBD tahun
2016 atau sebesar Rp1,5 triliun. Padahal pada periode yang sama tahun 2015,
realisasi pendapatan mencapai 80,8% dari total target pendapatan transfer tahun
2015 atau sebesar Rp1,44 triliun. Menurunnya realisasi pendapatan terhadap target
tersebut selain disebabkan oleh meningkatnya target pendapatan transfer dari Rp1,7
triliun menjadi Rp2,1 triliun di tahun 2016, juga disebabkan oleh penurunan realisasi
pendapatan Dana Alokasi Umum (DAU) serta Dana Alokasi Khusus (DAK). Hingga
bulan September 2016, DAU hanya terealisasi sebesar Rp891,8 miliar atau sebesar
74,3% dari target. Sedangkan untuk DAK hingga akhir triwulan III masih terealisasi
sebesar Rp98,7 miliar (51.7% dari target). Adanya penurunan pencapaian tersebut
triwulan III 2016 tercatat sebesar 446,8 miliar atau sebesar 80% dari total APBD
tahun 2016. Capaian tersebut meningkat jika dibandingkan dengan periode yang
sama pada tahun 2015 yang hanya mampu mencapai 78,1% dari target total
daerah yang meningkat. Hingga triwulan III 2016 pendapatan pajak daerah Sulawesi
Sulawesi Tenggara telah mampu merealisasikan pajak daerah mencapai 81,6% dari
total target pendapatan pajak daerah di tahun 2016. Adapun pajak daerah yang
dipungut oleh provinsi diantaranya adalah pajak kendaraan bermotor, bea balik nama
kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air permukaan
dan pajak rokok. Selain itu, realisasi hasil pengeloaan yang dipisahkan juga sudah
mencapai 103,5% dari target. Pos pendapatan ini berasal dari badan usaha milik
APBD Provinsi Sulawesi Tenggara pada triwulan III 2016 juga tercatat lebih rendah
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara pada periode laporan mencapai 60,3% atau
sebesar Rp1,7 triliun, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun
modal. Realisasi belanja operasional mencapai 68,4% atau sebesar Rp1,2 triliun.
barang yang hanya mencapai 57,7%. Sedangkan, realisasi belanja modal pada
periode laporan juga menunjukkan kinerja yang kurang maksimal dengan tingkat
realisasi 48,5% atau sebesar Rp388,8 miliar. kondisi tersebut jauh menurun
dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang dapat
72
bangunan dan gedung yang mencapai 56,8% dan juga belanja jalan, irigasi dan
Pengadaan Barang/Jasa Daerah (LKPP), kinerja keuangan per bulan untuk Provinsi
Sulawesi Tenggara selama triwulan III 2016 relatif rendah dibandingkan dengan
Sampai dengan triwulan III 2016, kondisi realisasi keuangan Pemprov Sultra
baru mencapai 61,6% jauh di bawah target 84,9%. Sementara itu kondisi
penyelesaian fisik baru mencapai 49,1%, jauh di bawah target 87,0%. Namun
pencapaian tersebut lebih tinggi jika dibandingkan periode tahun sebelumnya yang
hanya mencapai 56,9% untuk realisasi keuangan dan 41,7% untuk realisasi fisik.
Sementara untuk proses pengadaan barang dan jasa hingga akhir triwulan III 2016
tercatat bahwa dari total aktivitas strategis yang terdiri dari 818 paket atau senilai
Rp1,4 triliun, hanya sebanyak 44,01% yang berstatus provisional hand over (PHO)
atau telah di lakukan serah terima. Sedangkan yang sedang dalam tahap pelaksanaan
mencapai 21,3%. Sementara untuk yang dalam tahap tanda tangan kontak dan proses
pengadaan masing-masing tercatat sebesar 1,2% dan 0,6%. Sementara untuk sisanya
1) Statistik Deskriptif
73
cara yang paling umum digunakan untuk mengukur nilai sentral dari suatu
distribusi data, sedangkan standar deviasi merupakan perbedaan nilai data yang
diteliti dengan nilai rata-ratanya. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan
antara variabel bebas yaitu jumlah Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli
Daerah (PAD), Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA), Jenis dan Letak
Anggaran (OPA). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang berbentuk data runtut waktu (time series) dari tahun 2011 sampai dengan
2016 dan data seksi silang (cross section) yaitu DAU, PAD, SiLPA, yang
dalam Angka) Statistik deskriptif dalam penelitian ini ditunjukkan pada Tabel
5.3.
pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), SILPA dan
menggunakan unit analisis Kabupaten dan Kota di Sulawesi Tenggara dan periode
section dan time series, maka untuk menguji dan menganalisis tujuan penelitian
tersebut, penelitian ini menggunakan model regresi data panel dengan menggunakan
74
variabel dummy. Variabel dummy yang dimaksud adalah variabel tata letak dan jenis,
dengan angka 1 melambangkan tata letak dan jenis Kabupaten dan angka 0
melambangkan tata letak dan jenis Kota. Langkah-langkah analisis regresi data panel
secara umum dibagi dalam dua langkah utama, yaitu (1) menentukan model regresi
Tenggara tahun 2011-2016 dapat ditunjukkan pada Tabel 5.16 sebagai berikut:
Tabel 5.16 total jumlah DAU, PAD, SiLPA Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara
tahun 2011-2016
Tahun DAU (Rp) PAD (Rp) Silpa (Rp) OPA (Rp)
2011 4.160.063.059.000 345.416.280.000 996.567.120.000 3.435.997.002.011
2012 5.107.820.846.000 292.204.130.000 581.420.990.000 3.808.378.002.012
2013 5.788.316.522.000 373.999.140.000 872.745.240.000 4.074.216.002.013
2014 6.356.762.253.000 566.244.550.000 768.620.130.000 4.576.363.002.014
2015 7.050.884.637.000 604.347.370.000 946.589.660.000 5.637.743.002.015
2016 8.280.852.064.000 691.976.510.000 891.744.540.000 6.932.729.002.016
Sumber: lampiran 2 (data diolah), 2019
sebagai berikut:
75
Berdasarkan Tabel 5.16 menunjukkan bahwa setiap tahunnya jumlah DAU, PAD
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA), Jenis dan
menggunakan pendekatan efek tetap (fixed effect). Pemilihan pendekatan fixed effect
berdasarkan Uji Hausman yaitu pengujian statistik untuk memilih model Fixed Effect
atau Random Effect yang paling tepat untuk digunakan. Hasil Uji Hausman
menemukan bahwa, pendekatan efek tetap yang memiliki hasil output regresi yang
paling sesuai dengan kebutuhan penelitian dibandingkan hasil output regresi data
panel yang lainnya seperti common size dan random effect. Berdasarkan perhitungan
76
yang telah dilakukan dengan menggunakan program Eviews 3.0 maka didapat hasil
sebagai berikut:
Dari Tabel 5.17 di atas dapat dibuat persamaan regresi berganda sebagai berikut:
dan Pendapatan Asli Daerah memiliki nilai koefisien positif. Sedangkan variabel Sisa
Lebih Perhitungan Anggaran memiliki nilai koefisien yang negatif. Apabila variabel
Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah dan sisa lebih perhitungan anggaran
bernilai nol, maka perilaku oportunistik penyusun anggaran akan bernilai 0.600826.
data panel, yaitu (1) Model Regresi OLS (CEM); (2) Model Fixed Effect (FEM); dan
Dalam pendekatan estimasi Common Effect Models, intersep dan slope adalah
tetap sepanjang waktu dan individu, adanya perbedaan intersep dan slope
diasumsikan akan dijelaskan oleh variabel gangguan (error atau residual), hal tersebut
Models (CEM) hasil regresi yang diperoleh yaitu: dimana nilai koefisien pada
variabel DAU sebesar 1,076547, variabel PAD sebesar 0,662602, variabel SILPA
untuk nilai probabilitas variabel DAU sebesar 0,0000, variabel PAD sebesar 0,0634,
variabel SILPA sebesar 0,1206 dan variabel Letak pemerintahan sebesar 0,3908.
Nilai probabilitas < 0,05 menunjukkan bahwa hanya variabel variabel DAU
selanjutnya untuk nilai F-statistik sebesar 72,86887 dan nilai probabilitas F-statistik
sebesar 0,000000 memberikan makna bahwa Model ini memiliki nilai signifikan.
waktu. Diasumsikan bahwa perilaku data antar wilayah sama dalam berbagai kurun
Effects Specification
Berdasarkan hasil analisis regresi data panel dengan pendekatan Fixed Effect
Models (FEM) diatas dapat dilihat bahwa nilai probabilitas tiap individu yang
menunjukkan terdapat variabel signifikan yaitu variabel DAU dan PAD. Sedangkan
variabel SILPA dan Letak Pemerintahan tidak signifikan. Untuk nilai Adjusted R-
squared menunjukkan angka sebesar 0,895230 dan nilai F-statistik sebesar 41.44486.
80
perbedaan intersep dan slope sebagai akibat adanya perbedaan antar individu.
Effects Specification
S.D. Rho
Weighted Statistics
Unweighted Statistics
(REM), dimana diperoleh nilai probabilitas variabel DAU sebesar 0,0000 dan
variabel PAD sebesar 0,0195 , dimana probabilitas kedua variabel tersebut < 0,05,
masing-masing 0,3798 > 0,05 dan 0,4060 > 0,05. Sementara untuk nilai Adjusted R-
squared menunjukkan nilai sebesar 0,740460 dan nilai F-statistik sebesar 51,64017.
Untuk menentukan model regresi mana yang akan digunakan, terdapat tiga uji
yang harus dilakukan, yaitu uji Chow, Uji Hausman dan uji Lagrange Multiplier (LM
Test).
A. Uji Chow
Uji Chow digunakan untuk memilih antara CEM dan FEM. Uji ini dilakukan
setelah mengestimasi model CEM. Uji ini digunakan untuk memilih apakah model
CEM ataukah Model FEM yang akan dipilih. Kriteria pemilihan model
H1: Jika nilai signifikan Cross-section F lebih kecil dari nilai alpha 5%, maka model
H0: Jika nilai signifikan Cross-section F lebih besar dari nilai alpha 5%, maka model
Untuk lebih jelasnya hasil olah data uji chow dapat dilihat pada tabel 5.8 berikut:
Dari hasil tabel 5.8, nilai yang dihasilkan dalam distribusi statistik terhadap
chi square berdasarkan hasil hitung dengan menggunakan E-views adalah sebesar
karena < 0,05, sehingga statistik yang terjadi menerima H1 dan menolak H0, dimana
dalam hal ini pemilihan model yang tepat untuk digunakan yaitu model fixed effects.
B Uji Hausman
Uji Hausman digunakan untuk memilih antara model FEM dan REM. Uji ini
dilakukan setelah dilakukan uji Chow dan terpilih model FEM. Uji ini digunakan
untuk menentukan apakah model FEM atau REM yang akan digunakan dalam
H1: Jika Cross-Section Random lebih kecil dari nilai alpha 5%, maka model yang
H0: Jika Cross-Section Random lebih besar dari nilai alpha 5%, maka model yang
Untuk lebih jelasnya hasil olah data uji chow dapat dilihat pada tabel 5.9 berikut:
Berdasarkan tabel di atas, dimana diperoleh untuk nilai chi- squares sebesar
32,320633. Sedangkan untuk nilai probabilitasnya 0,0000 > 0,05, artinya dalam hal
ini H0 ditolak dan H1 diterima, sehingga untuk pemilihan model yang akan tepat
untuk digunakan pada penelitian ini yaitu model Fixed Effect Models (FEM).
Uji LM untuk memilih antara model CEM dan REM. Uji ini dilakukan setelah
uji Chow dan model CEM yang dipilih. Uji ini digunakan untuk menentukan apakah
model CEM atau Model REM yang akan digunakan dalam analisis selanjutnya.
nilai alpha 5%. Jika nilai Cross-Section Breusch Pagan lebih kecil dari nilai alpha
pertama untuk menentukan model regresi adalah membanding antara model CEM
dan FEM degan menggunakan uji Chow. Untuk lebih jelasnya hasil olah data uji
Hasil uji Chow menunjukkan bahwa nilai signifikan Cross-section F (0.0000) lebih
kecil dari nilai alpha 5%. Berdasarkan hasil uji ini, model yang tepat adalah model
FEM. Oleh karena model FEM yang terpilih, maka selanjutnya dilakukan uji
Hausman. Hasil uji Hausman sebagaimana terlihat pada Tabel di bawah ini.
(0.0000) lebih kecil dari nilai alpha 5%. Berdasarkan hasil uji ini, model yang tepat
adalah model FEM. Dengan demikian maka untuk membuktikan hipotesis yang telah
Berdasarkan hasil uji Chow dan uji Hausman bahwa model yang digunakan
untuk membuktikan hipotesis yang telah diajukan dalam penelitian ini adalah “Model
Effects Specification
Berdasarkan hasil regresi dengan FEM, maka diperoleh nilai koefisien regresi
Hasil persamaan regresi antara DAU, PAD, SiLPA dan Letak Pemerintahan yang
OPA= α i+b1DAU+b2PAD+b3SiLPA+b4Letak
87
Berdasarkan hasil analisis di atas maka dapat di tuliskan model persamaannya sebagai
berikut:
OPA=0,600826 +0,731482DAU+0,745673PAD-0,050270SiLPA-0,494863Letak.
PAD, SILPA serta Letak pemerintahan dianggap konstan, maka OPA akan
sebesar 0,745673%.
sebesar 0,050270%.
a. Normalitas
Bera dengan nilai alpha 5%. Jika nilai probability Jarque-Bera lebih besar dari nilai
10 Mean -4.56e-16
Median -0.044599
8
Maximum 2.089299
6 Minimum -1.624262
Std. Dev. 0.666377
4
Skewness 0.374739
2 Kurtosis 3.814477
0 Jarque-Bera 3.675269
-1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 Probability 0.159194
Berdasarkan gambar diatas, maka dapat disimpulkan bahwa data pada penelitian ini
telah terdistribusi dengan normal, dimana nilai probability Jarque –Bera nya sebesar
b. Heterokedasitas
Likelihood ratio dengan nilai alpha 5%. Jika nilai probability Likelihood ratio lebih
besar dari nilai alpha 5%, maka tidak mengandung gejala heterokedasitas.
0,9659 < 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa data penelitian ini tidak terjadi
heteroskedastisitas.
Berdasarkan tabel 5. Xxx (no tabel FEM), untuk mengetahui kebaikan sebuah
model dalam memprediksi OPA ditunjukkan dengan nilai R-Squared sebesar 0,9174
dan nilai Adjusted R-square sebesar 0,8952. Artinya, variabel OPA mampu dijelaskan
oleh variabel DAU, PAD, SILPA dan Letak pemerintahan sebesar 89,52%, dan
sisanya sebesar 10,48% dijelaskan oleh variabel lain diluar model penelitian ini.
5.2.2.6.Pengujian Hipotesis
variabel independen terhadap variabel dependen secara individu. Dari hasil estimasi
regresi data panel dengan Fixed Effect Models (FEM) dapat dilihat hasil uji parsial
Berdasarkan tabel diatas, maka untuk hasil pembahasan pengujian hipotesis secara
a. Variabel DAU
Dari hasil estimasi, di dapatkan nilai t-hitung sebesar 8,520295 dan jika dilihat
dari besarnya nilai probabilitas DAU yaitu 0,0000 sehingga probabilitas DAU lebih
kecil dari nilai alpha 5% (0,0000 < 0,05) maka disimpulkan bahwa variabel DAU
memiliki pengaruh yang signifikan dan juga berpengaruh positif terhadap OPA yang
b. Variable PAD
Dari hasil estimasi, di dapatkan nilai t-hitung sebesar 2,030929 dan jika dilihat
dari besarnya nilai probabilitas PAD yaitu 0,0470 sehingga probabilitas PAD lebih
kecil dari nilai alpha 5% (0,0470 < 0,05) maka disimpulkan bahwa variabel PAD
memiliki pengaruh yang signifikan dan juga berpengaruh positif terhadap OPA yang
c. Variabel SilPA
91
Dari hasil estimasi, di dapatkan nilai t-hitung sebesar -0,547283 dan jika
dilihat dari besarnya nilai probabilitas SILPA yaitu 0,5864 sehingga probabilitas
SILPA lebih besar dari nilai alpha 5% (0,5864 > 0,05) maka disimpulkan bahwa
variabel SILPA memiliki pengaruh yang tidak signifikan dan juga berpengaruh
negatif terhadap OPA yang di tunjukkan oleh koefisien regresi sebesar -0,050270.
Dari hasil estimasi, di dapatkan nilai t-hitung sebesar -0,821555 dan jika dilihat
dari besarnya nilai probabilitas JENIS DAN LETAK yaitu 0,4148 sehingga
probabilitas JENIS DAN LETAK lebih besar dari nilai alpha 5% (0,4148 < 0,05)
maka disimpulkan bahwa variabel JENIS DAN LETAK memiliki pengaruh yang
tidak signifikan dan juga berpengaruh negatif terhadap OPA yang di tunjukkan oleh
5.3. Pembahasan
(X1), Pendapatan Asli Daerah (X2), Sisa lebih Perhitungan Anggaran (X3), dan Jenis
Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara, maka secara lengkap dan jelas dapat dilihat
Penyusun Anggaran dengan nilai t-hitung sebesar 8,520295 dan besarnya nilai
Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan variabel Dana Alokasi Umum maka
Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran akan naik. Oleh karena itu besar kecilnya
ini sebenarnya adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan didalam APBN dari pemerintah
dana ini untuk memberi pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat atau untuk
DAU dialokasikan untuk daerah provinsi, kabupaten dan kota yang besarannya
ditetapkan dalam APBN. Proporsi DAU untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota
Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdullah (2012) tentang
dana perimbangan (dana alokasi umum) merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi perilaku oportunistik legislatif. Hal ini juga sama dengan penelitian
yang dilakukan politisi pada level pemerintah daerah tidak dapat dilakukan pada sisi
modal.
pusat dan pemerintah daerah, Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang
kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
secara leluasa dapat menggunakan dana ini untuk memberi pelayanan yang lebih
baik kepada masyarakat atau untuk keperluan lain yang tidak penting. Terjadinya
akan merekomendasikan eksekutif untuk menaikkan alokasi pada sektor sektor yang
alokasi untuk pendidikan, kesehatan dan belanja publik lainnya yang tidak bersifat
sektor lain, yakni: (1) mengurangi alokasi untuk belanja lain apabila jumlah belanja
secara keseluruhan tidak bertambah; (2) tidak merubah alokasi sektor lain jika
jumlah belanja bertambah; atau (3) kombinasi keduanya, yakni alokasi untuk sektor
Oportunistik Penyusun Anggaran dengan nilai t-hitung sebesar 2,030929 dan jika
dilihat dari besarnya nilai probabilitas PAD yaitu 0,0470 sehingga probabilitas PAD
lebih kecil dari nilai alpha 5% (0,0470 < 0,05) Hal ini mengindikasikan bahwa
Anggaran akan naik. Pembuktian secara empiris ini bahwa upaya pihak berwenang
95
terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran tidak dapat ditolak, dimana bahwa
PAD merupakan jalan bagi pihak berwenang untuk melakukan “Political Corrution”
dalam kerangka regulasi yang sah (legal corruption) dapat dibuktikan ketika
perubahan atau kenaikan anggaran/ target PAD digunakan sebagai dasar untuk
sumber penerimaan daerah yang perlu terus ditingkatkan agar dapat menanggung
yang luas, nyata dan bertanggung jawab dapat dilaksanakan (Nurlan Darise,
2006:43).
adalah pendapatan yang diperoleh daerah dan dipungut berdasarkan peraturan daerah
undangan (UU No 33 Tahun 2004 pasal 1, ayat 18) sumber pendapatan asli daerah
diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Sumber-sumber penerimaan PAD
harus dicari terus untuk digunakan sebagai pembiayaan pengeluaran rutin dan
96
tidak selalu seluruh tambahan pendapatan tersebut akan dialokasikan dalam belanja.
Perubahan APBD menjadi sarana bagi pihak berwenang untuk merubah alokasi
kecenderungan bertambah saat perubahan anggaran. Hal ini membuka peluang bagi
kegiatan yang menjadi preferensinya. Oleh karena itu pihak penyusun anggaran
dimilikinya dalam penganggaran, hal ini terjadi karena pihak penyusun anggaran
Darwanto (2007), Florensia (2009), Fathony (2011), Musripah (2014), Adi (2014)
dan Havid (2014) yang menyatakan bahwa PAD berpengaruh positif pada perilaku
setelah berjalan belasan tahun, lebih dari 60 persen daerah otonomi dinyatakan gagal
otonomi tidak bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat, PAD tidak bertambah dan
malah jadi beban anggaran bagi daerah induk yang dimekarkan serta makin
kesatuan yang sangat sulit dipisahkan. Eksekutif sebagai agen bagi legislatif dan
Anggaran
98
Anggaran dengan nilai t-hitung sebesar -0,547283 dan jika dilihat dari besarnya nilai
probabilitas SILPA yaitu 0,5864 sehingga probabilitas SILPA lebih besar dari nilai
alpha 5% (0,5864 > 0,05) maka disimpulkan bahwa variabel SILPA memiliki
pengaruh yang tidak signifikan dan juga berpengaruh negatif terhadap OPA yang di
tunjukkan oleh koefisien regresi sebesar -0,050270. Hal ini mengindikasikan bahwa
Penyusun Anggaran akan turun. Oleh karena itu setiap perubahan SiLPA berbanding
merupakan indikator efisiensi, karena Silpa akan terbentuk bila terjadi surplus
pembiayaan neto. Silpa yang merupakan penerimaan daerah yang bersumber dari
sisa kas tahun anggaran sebelumnya untuk menutupi defisit anggaran apabila
Silpa merupakan penerimaan daerah yang bersumber dari sisa kas tahun
Silpa digelembungkan maka semakin besar dana yang digunakan untuk belanja,
optimalnya pemanfaatan dana APBD oleh Pemda dalam penyediaan layanan publik
dan pembangunan ekonomi di daerah. SiLPA relatif tinggi terjadi karena senjangan
anggaran (budgetary slack) baik di sisi pendapatan maupun belanja. Penetapan target
pendanaan belanja daerah atau agar mendapatkan penilaian kinerja yang baik karena
realisasi PAD lebih besar dari targetnya. Penetapan belanja terjadi karena penetapan
anggaran atau untuk mengakomodir adanya penerimaan lain yang salah satunya
ditunjukkan dari besaran SiLPA hanya bersifat semu ketika output anggaran tidak
sarana legal untuk menganggarkan kembali SiLPA tahun sebelumnya. SiLPA dapat
oportunistik. Hal ini sejalan dengan hasil temuan dalam penelitian ini yang
perilaku opportunistik penyusun anggaran, kondisi ini disebabkan karena hasil dari
SILPA itu sendiri yang fluktuatif setiap tahunnya tergantung pada besaran
penyerapan anggaran dalam setiap tahunnya sehingga penyusun anggaran tidak bisa
100
secara seratus persen untuk memprediksikan berapa besarnya dana silpa yang akan
anggaran dalam setahunnya terselesaikan. Penelitian ini tidak sejalan dengan hasil
penelitian Asmara (2010), Sularso dkk. (2014), Sayu Made Parwati, Dkk (2015) .
Opportunistik Penyusun Anggaran dengan nilai t-hitung sebesar -0,821555 dan jika
dilihat dari besarnya nilai probabilitas jenis dan letak yaitu 0,4148 sehingga
probabilitas jenis dan letak lebih besar dari nilai alpha 5% (0,4148 < 0,05) maka
disimpulkan bahwa variabel jenis dan letak memiliki pengaruh yang tidak signifikan
dan juga berpengaruh negatif terhadap OPA yang di tunjukkan oleh koefisien regresi
sebesar -0,494863. Hipotesis 4 (H4) menunjukkan bahwa variabel Jenis dan Letak
variabel Jenis dan Letak Pemerintahan berpengaruh negatif dan tidak signifikan
oportunistik penyusun anggaran dapat dilakukan tidak tergantung pada status suatu
Jenis dan Letak Pemerintahan dapat di samakan sebagai status daerah, dimana
masyarakat dan struktur pendapatan antar daerah. Secara teori perbedaan ini dapat
berimplikasi pada kontrol sosial yang berbeda pula (Abdullah, 2004). Kontrol sosial
pada penduduk kota cenderung lebih kuat, sehingga Pemerintah Daerah yang
berstatus sebagai Kota akan cenderung mematuhi standar anggaran. Namun hasil dari
penelitian ini menemukan bahwa kota kendari dan kota baubau masuk dalam daerah
sulawesi tenggara. Seyogyanya Kota Kendari dan kota baubau mampu menjadi
contoh ataupun panutan bagi kabupaten-kabupaten lain yang ada di Sultra dalam hal
penanganan perilaku opportunistik anggaran jika dilihat dari sisi statusnya sebagai
kota yang memiliki sumber daya yang jauh lebih baik dari kabupaten.
Pengaruh jenis dan letak pemerintah daerah dalam penelitian ini memberikan bukti
status daerah sebagai kota atau kabupaten. Pandangan bahwa perilaku oportunistik
penyusun anggaran di tingkat Kabupaten lebih besar dari pada di tingkat Kotamadya
tidak terbukti.
102
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
SiLPA dan Jenis dan Letak Pemerintahan terhadap perilaku opportunistik penyusun
anggaran dengan menggunakan data panel 2011 sampai 2016 di propinsi Sulawesi
berikut :
Dana Alokasi Umum maka Perilaku oportunistik penyusun anggaran akan naik.
Oleh karena itu besar kecilnya DAU dapat mempengaruhi terjadinya perilaku
secara empiris ini bahwa upaya pihak berwenang dalam melakukan perilaku
3. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa SiLPA berpengaruh tidak signifikan dan
akan turun. Oleh karena itu setiap perubahan SiLPA berbanding terbalik terhadap
4. Variabel jenis dan letak pemerintahan berpengaruh tidak signifikan dan negatif
penyusun anggaran dapat dilakukan tidak tergantung pada status suatu daerah,
6.2. Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan sehubungan dengan keterbatasan yang
umum sehingga dapat digunakan secara efektif dan efisien oleh pemerintah
104
daerah.
pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung; dan (c) mendanai
kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikan.
masih terdapat 10,48 % pengaruh variabel lain yang mampu menjelaskan variasi
pertanyaan lengkap (kuisioner) yang dapat mengukur persepsi pihak - pihak yang
fokus pada sektor yang memiliki belanja langsung dengan nilai yang besar,
DAFTAR PUSTAKA
Bartolini, D., and Santolini, R. 2007. Fiscal Rules and The Opportunistic
Behaviour of The Incumbent Politician: Evidence From Italian Municipalities.
Working Paper. Institute of Local Public Finance February 2007.
Faria, J.A., dan Silva, S.M.G. 2013 The Effects of Information Asymmetry
on Budget Slack: An Experimental Research. African Journal of Business
Management vol 7(13),pp.1086-1079.
Hagen, J.V. 2002. Fiscal rules, fiscal institutions, and fiscal performance.
The Economic and Social review 33(3): 263-284.
Jensen, M.C. and W.H. Meckling. 1976. Theory of The Firm: Managerial
Behavior, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial
Economics.Vol.3.No.4.pp.305-360.
Magner, N.R., Johnson, G.G., Little, H.T. Staley, A.B. and Welker, R.B.
2006. The case of fair budgetary procedures. Managerial Auditing Journal,
21(4), 408-419.
Martinez, J.V., Arze, J. and Boex, J. 2004. Corruption, Fiscal Policy, and
Fiscal Management. Working Paper. Georgia State University.
http://www.fiscalreform.net.
Riharjo, I.B. dan Isnadi. 2010. Perilaku Oportunistik Pejabat Eksekutif dalam
Penyusunan APBD ( Bukti Empiris atas Penggunaan Penerimaan Sumber
Daya Alam). Jurnal Ekuitas Vol.14 No. 3 September:388-410.
Sularso, H., Restianto, Y.E. dan Istiqomah, A.E. 2014. Determinan Perilaku
Oportunistik Penyusunan Anggaran (Studi pada Kabupaten/Kota di
Jawa Tengah). Jurnal Simposium Nasional Akuntansi 17 Mataram
Lombok 24 -27 September 2014.
Lampiran 1
Variabel
No Judul Penelitian Penulis Has il dan Kes impulan
Bebas Terik at Moderas i
1 Perilaku Oportunistik Legislatif Abdullah dan Perilaku oportunistik Legislatif (OL) PAD 1. Legis latif berperilaku oportunis tik dalam pengalokas ian s umberdaya di anggaran
belanja
dalam Penganggaran Daerah Asmara
2. Perubahan pendap atan s endiri berpengaruh pos itif terhadap perilaku op ortunis tik
(2006) legis lative
2 Perilaku Oportunistik Pejabat Riharjo dan Slack Anggaran untuk belanja Belanja Pegawai, Belanja Perilaku 1. Belanja pegawai langs ung dan belanja modal yang ditetapkan dalam APBD
berpengaruh terhadap s lack anggaran untuk kemakmuran rakyat yang beras al dari
Eksekutif dalam Penyusunan Isnadi (2010) kemakmuran rakyat dari pendapatan Barang Opprtunistik
pendapatan s umber daya alam
APBD ( Bukti Empiris atas SDA Jasa, Belanja Modal 2. Belanja barang dan jas a yang ditetapkan dalam APBD, tidak berpengaru h terhadap
Penggunaan Penerimaan s lack anggaran dalam penetapan alokas i belanja untuk kemakmuran rakyat yang beras al
Sumber Daya Alam) dari pendapatan s umber daya alam
3. Perilaku oportunis tik pejabat eks ekutif mendorong pengaruh belanja pegawai langs ung
dan belanja modal yang ditetapkan dalam APBD terhadap meningkatnya s lack anggaran
4. Perilaku oportunis tik pejabat eks ekutif mendorong pengaruh belanja barang, jas a,
modal yang ditetapkan dalam APBD terhadap meningkatnya s lack anggaran"
3 Analisis Perubahan Alokasi Asmara Belanja Pegawai, Belanja Barang Jasa, Silpa 1.Perubahan Belanja Pegawai berkorelas i dengan Belanja Barang Jas a
2.Perubahan Belanja Pegawai dan Belanja Barang Jas a tidak berkorelas i dengan Belanja
Belanja Dalam Anggaran (2010) Belanja Modal dan Plafons
Modal
Pendapatan dan Belanja 3.Pengaruh SILPA tahun s ebelumnya terhadap Plafon SKPA dan Jenis Belanja SKPA
Daerah (APBA) Provinsi tidak dapat dibuktikan dalam pen elitian ini. Mes kipun SILPA tahun s ebelumnya
Naggroe Aceh Darussalam merupakan alas an utama dilakukannya perubahan APBA, ternyata pen elitian ini
menemukan has il yang berbeda
4 Adakah Perilaku Oportunistik Latifah (2010) Adanya as imetri informas i di antara eks ekutif-legis latif dan legis latif pemilih menyebabkan
terbukanya ruang bagi terjadinya perilaku oportunis tik dalam pros es penyus unan
dalam Aplikasi Agency Theory
anggaran.
di Sektor Publik ?
5 Pengaruh PAD, DAU dan Oktriniatmaja Alokasi Belanja Modal PAD, DAU dan DAK 1. PAD, DAU dan DAK berpengaruh pos itif terhadap alokas i belanja modal baik s ecara
pars ial maupun s imultan.
DAK terhadap Pengalokasian (2011)
2. Belanja modal dan PAD di Jawa lebih tinggi dari daerah di luar Pulau Jawa
Anggaran Belanja Modal dalam
APBD Pada Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota di
Pulau Jawa, Bali dan Nusa
Tenggara
6 Pengaruh Perubahan Dana Maryono Perilaku Oportunistik Legislatif dalam DAU 1. Perubahan DAU berpengaruh s ignifikan pos itif terhadap perilaku op ortunis tik
legis lative dalam penganggaran daerah
Alokasi Umum terhadap (2013) penganggaran daerah
Perilaku Oportunistik Legislatif
dalam Penganggaran Daerah
7 Determinan Perilaku Sularso dkk. Perilaku Oportunistik Penyusunan PAD, SILPA, DAU 1. Semakin bes ar PAD maka s emakin bes ar perilaku oportunis tik
penyus unan anggaran.
Oportunistik Penyusunan (2014) Anggaran
2. Semakin bes ar SILPA s emakin bes ar OPA
Anggaran (Studi pada 3. Semakin bes ar DAU s emakin b es ar OPA
Kabupaten/Kota di Jawa
Tengah)
8 Perilaku Opportunistik Sayu Made Perilaku Oportunistik Penyusunan PAD, SILPA, DAU 1) Terdapat pengaruh pos itif PAD pada perilaku oportunis tik penyus un anggaran di
Kabupaten / Kota s e-Bali. Peningkatan PAD dari tahun s ebelumnya ke tahun berjalan
Penyusun Anggaran Parwati, Dkk Anggaran
mempengaruhi alokas i belanja s ektor – s ektor tertentu yang dapat memberikan manfaat
(2015) bagi penyus un anggaran.
2) Untuk mengurangi p erilaku oportunis tik pada belanja hibah dan bans os , dis arankan
agar mekanis me pengajuan diverifikas i lebih teliti dan pencairan dilakukan s es uai
pros edur.
112
Variabel
No Judul Penelitian Penuli s Has il dan Kes impul an
Bebas Terik at Moderas i
1 Perilaku Oportunistik Legislatif Abdullah dan Perilaku oportunistik Legislatif (OL) PAD 1. Legis latif berperilaku oportunist ik dalam pengalokas ian s umberdaya d i anggaran
belanja
dalam Penganggaran Daerah Asmara
2. Perubahan pendapatan s endiri berpengaruh pos itif terhadap perilaku oport unis tik
(2006) legis lative
2 Perilaku Oportunistik Pejabat Riharjo dan Slack Anggaran untuk belanja Belanja Pegawai, Belanja Perilaku 1. Belanja pegawai langs ung dan belanja modal yang ditet apkan dalam A PBD
Eksekutif dalam Penyusunan Isnadi (2010) kemakmuran rakyat dari pendapatan Barang Opprtunistik berpengaruh terhadap s lack anggaran untuk kemakmuran rakyat yang beras al dari
pendapatan s umber daya alam
APBD ( Bukti Empiris atas SDA Jasa, Belanja Modal 2. Belanja barang dan jas a yang ditetapkan dalam A PBD, tidak berpengaruh terhadap
Penggunaan Penerimaan s lack anggaran dalam penetapan alokas i belanja untuk kemakmuran rakyat yang beras al
Sumber Daya Alam) dari pendapat an sumber daya alam
3. Perilaku oportunis tik pejabat eks ekut if mendorong pengaruh belanja pegawai langs ung
dan belanja modal yang dit etapkan dalam APBD terhadap meningkatnya s lack anggaran
4. Perilaku oportunis tik pejabat eks ekut if mendorong pengaruh belanja barang, jas a,
modal yang ditet apkan dalam APBD terhadap men ingkatnya s lack angg aran"
3 Analisis Perubahan Alokasi Asmara Belanja Pegawai, Belanja Barang Jasa, Silpa 1.Perubahan Belanja Pegawai berkorelas i dengan Belanja Barang Jas a
2.Perubahan Belanja Pegawai dan Belanja Barang Jas a tidak berkorelas i dengan Belanja
Belanja Dalam Anggaran (2010) Belanja Modal dan Plafons
Mo dal
Pendapatan dan Belanja 3.Pengaruh SILPA tahun s ebelumnya terhadap Plafon SKPA dan Jenis Belanja SKPA
Daerah (APBA) Provinsi tidak dapat dibuktikan dalam penelitian ini. M es kipun SILPA t ahun s ebelumnya
Naggroe Aceh Darussalam merupakan alas an utama dilakukannya perubahan APBA , ternyata penelitian ini
menemukan has il yang berbeda
4 Adakah Perilaku Oportunistik Latifah (2010) A danya as imetri informas i di ant ara eks ekutif-legis latif dan legislatif pemilih menyebabkan
terbukanya ruang bagi terjadinya perilaku oportunis tik dalam pros es penyus unan
dalam Aplikasi Agency Theory
anggaran.
di Sektor Publik ?
5 Pengaruh PAD, DAU dan Oktriniatmaja Alokasi Belanja Modal PAD, DAU dan DAK 1. PAD, DA U dan DAK berpengaruh pos itif t erhadap alokas i belanja modal baik s ecara
DAK terhadap Pengalokasian (2011) pars ial maupun s imultan.
2. Belanja modal dan PAD di Jawa lebih tinggi dari daerah di luar Pulau Jawa
Anggaran Belanja Modal dalam
APBD Pada Pemerintah
Daerah K abupaten/Kota di
Pulau Jawa, Bali dan Nusa
Tenggara
6 Pengaruh Perubahan Dana Maryono Perilaku O portunistik Legislatif dalam DAU 1. Perubahan DAU berpengaruh s ignifikan pos it if t erhadap perilaku oportunis tik
legis lative dalam penganggaran daerah
Alokasi Umum terhadap (2013) penganggaran daerah
Perilaku Oportunistik Legislatif
dalam Penganggaran Daerah
7 Determinan Perilaku Sularso dkk. Perilaku O portunistik Penyusunan PAD, SILPA, DAU 1. Semakin bes ar PA D maka s emakin bes ar perilaku oport unis tik
penyus unan anggaran.
Oportunistik Penyusunan (2014) Anggaran
2. Semakin bes ar SILPA s emakin bes ar OPA
Anggaran (Studi pada 3. Semakin bes ar DA U s emakin bes ar OPA
Kabupaten/Kota di Jawa
Tengah)
8 Perilaku Opportunistik Sayu Made Perilaku O portunistik Penyusunan PAD, SILPA, DAU 1) Terdapat pengaruh pos itif PA D pada perilaku oportunis tik penyus un anggaran di
Kabupaten/ Kota s e-Bali. Peningkatan PAD dari tahun s ebelumnya ke tahun berjalan
Penyusun Anggaran Parwati, Dkk Anggaran
mempengaruhi alokas i belanja s ektor – s ekt or tertentu yang dapat memb erikan manfaat
(2015) bagi penyus un anggaran.
2) Untuk mengurangi perilaku oportunis tik pada belanja hibah dan bans os , dis arankan
agar mekanisme pengajuan diverifikas i lebih telit i dan pencairan dilakukan s es uai
pros edur.
113
Lampiran 2
Tahun 2011-2016
No. Kabupaten/Kota PAD 2011 PAD 2012 PAD 2013 PAD 2014 PAD 2015 PAD 2016
1 Buton 16.048.700.000 20.533.410.000 23.147.860.000 34.468.620.000 24.778.970.000 39.141.770.000
2 Muna 22.162.670.000 19.382.600.000 25.039.730.000 42.127.730.000 38.272.710.000 39.775.360.000
3 Konawe 22.125.720.000 21.638.490.000 23.644.410.000 33.215.440.000 56.039.770.000 57.702.180.000
4 Kolaka 37.472.900.000 39.840.230.000 48.110.910.000 67.736.380.000 66.365.250.000 72.205.070.000
5 Konawe Selatan 12.449.690.000 18.035.020.000 25.762.480.000 45.766.890.000 43.850.460.000 48.028.700.000
6 Bombana 14.713.440.000 22.710.060.000 24.646.490.000 35.149.040.000 29.646.970.000 31.274.210.000
7 Wakatobi 9.985.160.000 18.195.070.000 19.398.240.000 23.357.950.000 24.671.820.000 25.029.150.000
8 Kolaka Utara 32.050.000.000 12.748.070.000 21.187.410.000 34.848.370.000 40.531.450.000 40.246.180.000
9 Buton Utara 5.539.520.000 10.600.800.000 9.826.180.000 9.307.040.000 15.256.540.000 12.828.350.000
10 Konawe Utara 88.043.080.000 11.391.160.000 22.998.460.000 10.540.270.000 9.255.770.000 14.806.650.000
11 Kolaka Timur - - - 7.266.630.000 12.282.730.000 15.510.550.000
12 Konawe Kepulauan - - - - 6.930.070.000 9.717.840.000
13 Muna Barat - - - - 2.969.400.000 18.475.060.000
14 Buton Tengah - - - - 3.498.700.000 11.183.160.000
15 Buton Selatan - - - - 1.865.070.000 7.666.530.000
16 Kota Kendari 62.800.130.000 70.857.920.000 94.863.570.000 167.470.390.000 170.624.040.000 179.062.770.000
17 Kota Baubau 22.025.270.000 26.271.300.000 35.373.400.000 54.989.800.000 57.507.650.000 69.322.980.000
Jumlah 345.416.280.000 292.204.130.000 373.999.140.000 566.244.550.000 604.347.370.000 691.976.510.000
-15% 28% 51% 7% 14%
114
Lampiran 3
Tahun 2011-2016
No. Kabupaten/Kota DAU 2011 DAU 2012 DAU 2013 DAU 2014 DAU 2015 DAU 2016
1 Buton 382.426.101.000 468.956.933.000 535.326.605.000 601.624.424.000 252.280.186.000 427.465.428.000
2 Muna 425.648.391.000 561.580.535.000 635.053.318.000 689.447.643.000 502.390.813.000 669.896.273.000
3 Konawe 473.778.515.000 568.010.624.000 613.042.674.000 584.033.036.000 639.180.850.000 690.044.912.000
4 Kolaka 450.584.108.000 535.098.526.000 613.742.503.000 454.342.506.000 572.933.352.000 593.123.363.000
5 Konawe Selatan 362.304.553.000 481.737.617.000 538.654.988.000 581.807.666.000 598.467.031.000 666.694.028.000
6 Bombana 282.286.386.000 328.634.006.000 382.986.680.000 414.006.948.000 435.541.498.000 481.229.892.000
7 Wakatobi 252.088.407.000 308.676.985.000 353.873.348.000 387.267.035.000 402.871.101.000 448.607.750.000
8 Kolaka Utara 273.275.706.000 336.532.276.000 385.721.156.000 438.746.757.000 451.597.322.000 469.964.084.000
9 Buton Utara 250.484.842.000 291.312.065.000 329.371.283.000 366.551.466.000 379.995.219.000 408.633.609.000
10 Konawe Utara 289.562.449.000 377.863.760.000 417.340.323.000 441.295.580.000 433.074.127.000 459.090.815.000
11 Kolaka Timur 223.177.156.000 373.775.832.000 404.289.270.000
12 Konawe Kepulauan 97.698.630.000 299.813.757.000 312.716.538.000
13 Muna Barat 217.533.016.000 356.155.873.000
14 Buton Tengah 225.671.011.000 361.617.694.000
15 Buton Selatan 150.820.654.000 338.573.958.000
16 Kota Kendari 399.702.724.000 478.763.604.000 555.693.881.000 611.179.529.000 629.906.640.000 674.633.290.000
17 Kota Baubau 317.920.877.000 370.653.915.000 427.509.763.000 465.583.877.000 485.032.228.000 518.115.287.000
Jumlah 4.160.063.059.000 5.107.820.846.000 5.788.316.522.000 6.356.762.253.000 7.050.884.637.000 8.280.852.064.000
23% 13% 10% 11% 17%
115
Lampiran 4
Tahun 2011-2016
No. Kabupaten/Kota SiLPA 2011 SiLPA 2012 SiLPA 2013 SiLPA 2014 SiLPA 2015 SiLPA 2016
1 Buton 69.693.840.000 98.480.520.000 153.513.300.000 168.178.120.000 89.755.630.000 63.954.920.000
2 Muna - 45.217.870.000 69.877.940.000 65.669.380.000 138.334.560.000 65.238.630.000
3 Konawe 17.914.520.000 29.984.930.000 24.636.350.000 7.584.000.000 25.382.550.000 36.931.340.000
4 Kolaka 31.364.470.000 66.469.170.000 67.430.690.000 16.345.470.000 13.436.710.000 13.588.650.000
5 Konawe Selatan 199.484.900.000 260.637.140.000 58.402.970.000 1.224.130.000 52.564.510.000 86.662.980.000
6 Bombana 50.506.300.000 56.440.940.000 70.848.970.000 21.554.500.000 20.455.810.000 10.469.500.000
7 Wakatobi 56.539.900.000 87.007.950.000 59.260.980.000 66.045.620.000 59.208.460.000 48.575.550.000
8 Kolaka Utara - 45.651.630.000 47.354.700.000 100.225.710.000 88.710.740.000 77.662.520.000 22.392.180.000
9 Buton Utara 306.314.580.000 - 319.942.740.000 36.470.410.000 48.832.680.000 45.434.630.000 21.706.210.000
10 Konawe Utara 26.151.610.000 - 17.616.730.000 23.600.990.000 10.327.290.000 - 10.530.200.000 10.530.210.000
11 Kolaka Timur 10.562.850.000 26.765.070.000 43.149.250.000
12 Konawe Kepulauan 72.161.810.000 38.716.540.000
13 Muna Barat 156.924.920.000
14 Buton Tengah 55.512.790.000 62.372.040.000
15 Buton Selatan 9.400.160.000 59.522.200.000
16 Kota Kendari 129.190.240.000 102.419.800.000 96.990.400.000 84.156.710.000 93.022.670.000 8.394.810.000
17 Kota Baubau 130.398.320.000 124.967.440.000 111.486.530.000 179.428.640.000 178.021.980.000 142.614.610.000
Jumlah 971.907.050.000 581.420.990.000 872.745.240.000 768.620.130.000 946.589.660.000 891.744.540.000
-40% 50% -12% 23% -6%
116
Lampiran 5
Data Opportunistik Penyusun Anggaran (OPA) dari Realisasi Belanja Tak Langsung Kabupaten/Kota se-Sulawesi
Sample: 1 6
Included observations: 6
Cross-sections included: 12
_BAUBAU--C 0.009085
_BOMBANA--C -0.033206
_BUTON--C 0.324947
_BUTUR--C -0.368343
_KENDARI--C 0.117003
_KOLAKA--C 0.007080
_KOLUT--C -0.227282
_KONAWE--C 0.180891
_KONSEL--C 0.155465
_KONUT--C -0.569617
_MUNA--C 0.483088
_WAKATOBI--C -0.079111
Effects Specification
S.D. Rho
Weighted Statistics
Prob(F-statistic) 0.000000
119
Unweighted Statistics
Sample: 1 6
Included observations: 6
Cross-sections included: 12
_BAUBAU--C 0.260852
_BOMBANA--C -0.287491
_BUTON--C 0.548747
_BUTUR--C -0.996165
_KENDARI--C 0.588845
_KOLAKA--C 0.090748
_KOLUT--C -0.604119
_KONAWE--C 0.508839
_KONSEL--C 0.453837
_KONUT--C -1.232665
_MUNA--C 1.065099
_WAKATOBI--C -0.396528
Effects Specification
Prob(F-statistic) 0.000000
121
Sample: 1 6
Included observations: 6
Cross-sections included: 12
Prob(F-statistic) 0.000000
4. UJI CHOW
Pool: DAERAH
Sample: 1 6
Included observations: 6
123
Cross-sections included: 12
Prob(F-statistic) 0.000000
124
5. UJI HAUSMAN
Pool: DAERAH
Sample: 1 6
Included observations: 6
Cross-sections included: 12
Effects Specification
Prob(F-statistic) 0.000000
126
1. Normalitas
16
Series: Standardized Residuals
14 Sample 2011 2016
12
Observations 72
10 Mean -4.56e-16
Median -0.044599
8
Maximum 2.089299
6 Minimum -1.624262
Std. Dev. 0.666377
4
Skewness 0.374739
2 Kurtosis 3.814477
0 Jarque-Bera 3.675269
-1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0
Probability 0.159194
2. Heterokedasitas
Equation: UNTITLED
Value df Probability
LR test summary:
Value df
Periods included: 6
Cross-sections included: 12
Weighted Statistics
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics