Anda di halaman 1dari 128

1

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Permasalahan pada penyusunan anggaran timbul ketika pihak – pihak yang

terlibat berupaya untuk memanfaatkan peluang agar kepentingan pribadi dan

kelompoknya dapat diakomodir dalam APBD (Raghunandan et al., 2012; Suryarini,

2012; Radebe and Radebe, 2014). Kebijakan anggaran menjadi ajang perebutan

kepentingan oleh berbagai pihak, baik pemerintah, legislatif, partai politik,

pengusaha, organisasi masyarakat, maupun rakyat kecil (Sujaie, 2013). Berbagai

modus perilaku oportunistik yang sering terjadi seperti menetapkan alokasi

anggaran yang dimodifikasi untuk memenuhi kepentingan politik dan kepentingan

individu, memasukkan usulan proyek-proyek besar yang menguntungkan salah satu

pihak dalam perencanaan anggaran, serta sikap cenderung lebih memperjuangkan

realisasi penetapan anggaran atas proyek- proyek yang mudah dikorupsi

dengan harapan mendapatkan kompensasi fee project yang cukup besar (Jumaidi,

2014).

Penelitian Sujaie (2013) menunjukkan bahwa praktek perilaku oportunistik

eksekutif dalam kebijakan anggaran terjadi karena dua faktor pendorong: Pertama,

anggapan bahwa eksekutif merupakan pelaksana semua fungsi pemerintah daerah

yang telah berhubungan langsung dengan masyarakat dalam waktu sangat lama; dan

Kedua, eksekutif mempunyai akses informasi yang besar dalam konteks penyusunan
2

anggaran. Sedangkan perilaku oportunistik legislatif didorong oleh adanya

keunggulan kekuasaan (discretionary power) dalam konteks memutuskan anggaran.

Faktor inilah yang mendorong legislatif untuk melakukan; Pertama, berusaha

memengaruhi eksekutif untuk memaksimumkan anggaran pada program-

program tertentu yang dapat memuluskan jalan bagi seorang legislator untuk dapat

terpilih kembali dalam pemilu berikutnya; Kedua, mendorong eksekutif untuk

mengajukan anggaran yang dapat dengan mudah diserap oleh konstituennya dan

tidak melalui prosedur birokrasi yang rumit.

Berdasarkan data keuangan Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara pada kurun

waktu 6 (enam) tahun terakhir terjadi fluktuasi perubahan jumlah anggaran hibah dan

bansos yang masuk dalam komponen belanja langsung yang cukup signifikan

menjelang dan sesudah Pemilihan Umum (Pemilu). Jumlah anggaran menurun pada

tahun berikutnya, namun menjelang Pemilu Legislatif 2014, terjadi peningkatan

jumlah anggaran belanja hibah dan bansos yang cukup signifikan.

Peningkatan belanja hibah yang terjadi pada tahun menjelang Pemilihan

Umum dan Pemilihan Kepala Daerah tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan

kampanye (Ritonga dan Alam, 2010). Kondisi ini rentan menimbulkan kasus pidana

apabila tidak dipergunakan sesuai ketentuan. Kasus penyalahgunaan dana hibah

terjadi di beberapa daerah termasuk pada Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara.

Deretan panjang kasus korupsi APBD yang terjadi di Sulawesi Tenggara melibatkan

anggota dan pimpinan DPRD sampai Kepala Daerah. Fakta ini menunjukkan bahwa
3

political corruption terjadi ketika politisi atau birokrat tingkat atas memanfaatkan

kedudukan mereka demi kepentingan pribadi atau kalangan dekat mereka

(Martinez et al., 2004).

Sepanjang tahun 2015 sebanyak 57 kasus korupsi di Sulawesi Tenggara yang

terdeteksi melalui pencarian media online, media cetak dan lain-lain. Adapun daerah

yang paling banyak melakukan tindakan korupsi yakni Kabupaten Muna, Kota

Kendari, Kolaka Utara, Disusul dengan Kabupaten Konawe Selatan, Bombana dan

Kolaka. Daerah yang paling tinggi nilai nominal uang yang di korupsi di Sulawesi

Tenggara yakni Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, Konawe Selatan, Kota

Baubau, Bombana, dan Muna.

Penelitian sebelumnya (Abdullah dan Asmara, 2006; Abdullah, 2012;

Oktririniatmaja, 2011; Suryarini, 2012; Sularso dkk., 2014) menunjukkan bahwa

Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Selisih Lebih

Penggunaan Anggaran (SiLPA) berpengaruh positif terhadap perilaku oportunistik

penyusunan anggaran. Penelitian tentang perilaku oportunistik penyusun anggaran

sebelumnya, lebih fokus pada perilaku legislatif yang cenderung mempengaruhi

alokasi anggaran untuk kepentingan politik dengan meningkatkan anggaran untuk

belanja infastruktur dan belanja DPRD. Namun mengamati fenomena yang terjadi

terkait proses penyusunan APBD yang merupakan proses bersama antara legislatif

dan eksekutif, peneliti tertarik untuk meneliti perilaku oportunistik yang terjadi

akibat interaksi antara kedua pihak yang didasari adanya hubungan keagenan.
4

Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya (Abdullah dan

Asmara, 2006; Asmara,2010; Suryarini, 2012, Abdullah, 2012 dan Sularso dkk.,

2014) dalam pengukuran perilaku oportunistik penyusun anggaran, dimana

peneliti memasukkan peningkatan belanja tidak langsung yang termasuk di

dalamnya belanja hibah dan bansos dari tahun sebelumnya ke tahun berjalan.

Fenomena peningkatan alokasi belanja tidak langsung yang termasuk di dalamnya

belanja hibah dan bansos yang semakin meningkat menunjukkan perilaku

oportunistik penyusun anggaran (Ritonga dan Alam, 2010).

Analisis atas pengaruh jenis dan letak pemerintah daerah memberikan bukti

bahwa intensitas legislatif berkaitan dengan status daerah sebagai kota atau

kabupaten. Pandangan bahwa perilaku oportunistik legislatif di kota lebih besar dari

pada di kabupaten bersumber dari anggapan bahwa social control dari stakeholders

di luar pemerintahan terhadap pelaksanaan pelayanan publik dan perilaku anggota

legislatif tidak sebaik dikota. Misalnya, dikota gerakan mahasiswa dan pers sangat

efektif dalam mengungkap berbagai penyimpangan anggaran untuk mendorong

aparat penegak hukum menindaklanjuti berbagai laporan tentang korupsi dan yang

terjadi di lingkungan pemerintahan daerah, dimana perbedaan karakteristik

masyarakat dan struktur pendapatan berimplikasi pada kontrol sosial yang berbeda

pula.

Fenomena perilaku penyusun anggaran sangat menarik untuk diteliti lebih

lanjut, karena meskipun aturan formal tentang mekanisme penyusunan APBD


5

telah dirancang sedemikian rupa, namun pada prakteknya masih terjadi beberapa

penyimpangan. Meningkatnya kasus korupsi merupakan salah satu indikasi

terjadinya perilaku oportunistik yang dilakukan penyusun anggaran

(Mauro,1998). Sejalan dengan hal tersebut, Sujaie (2013) menegaskan bahwa

peningkatan belanja hibah dan bantuan sosial juga menunjukkan telah terjadi

perilaku oportunistik penyusun anggaran.

1.2 Rumusan Masalah

Perilaku oportunistik penyusun anggaran dapat dilihat dari kecenderungan

pengalokasian anggaran dalam jumlah besar untuk belanja daerah yang dapat

dimanfaatkan bagi kepentingan tertentu yang bersifat pribadi atau kelompok.

Peningkatan alokasi anggaran untuk belanja infrastruktur, belanja hibah dan bansos

diduga menjadi alat pemenuhan janji – janji politik serta kerap menjadi sasaran

korupsi. Sumber – sumber pendapatan daerah baik yang berasal dari pendapatan

sendiri maupun dana transfer dan penerimaan pembiayaan diduga berpengaruh

terhadap peningkatan alokasi belanja daerah. Berdasarkan hal tersebut, maka

peneliti merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut :

1) Apakah DAU berpengaruh signifikan terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun

Anggaran ?

2) Apakah PAD berpengaruh signifikan terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun

Anggaran ?
6

3) Apakah SiLPA berpengaruh signifikan terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun

Anggaran ?

4) Apakah Jenis dan Letak Pemerintahan berpengaruh signifikan terhadap Perilaku

Oportunistik Penyusun Anggaran?

1.3 Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan :

1) Untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh DAU terhadap Perilaku

Oportunistik Penyusun Anggaran.

2) Untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh PAD terhadap Perilaku

Oportunistik Penyusun Anggaran.

3) Untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh SiLPA terhadap Perilaku

Oportunistik Penyusun Anggaran.

4) Untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh Jenis dan Letak Pemerintahan

terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan penelitian, maka manfaat

yang diharapkan adalah:


7

1.4.1 Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian untuk

pengembangan teori keagenan dalam penganggaran sektor publik serta menjadi

bahan bacaan bagi penelitian lebih lanjut dengan topik yang sama.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil kajian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk menilai dan

memahami perilaku penyusun anggaran dan selanjutnya informasi tersebut dapat

menjadi rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk melakukan perbaikan

dalam penyusunan anggaran.

1.5 Kebaruan Penelitian

Beberapa penelitian yang terkait Pengaruh DAU, PAD, SILPA, dan Perilaku

Opportunistik baik secara kuantitatif dan kualitatif telah dilakukan. Penelitian-

penelitian kuantitatif tentang Pengaruh DAU, PAD, SILPA sebagai berikut :

Abdullah dan Asmara (2006), Riharjo dan Isnadi (2010), Asmara (2010), Latifah

(2010), Oktriniatmaja (2011), Maryono (2013), Sularso dkk. (2014), Sayu Made

Parwati, Dkk (2015).

Keterbatasan variabel dalam beberapa penelitian diatas menyebabkan hasil

penelitian belum dapat mencerminkan hasil seluruh kabupaten / kota di Indonesia,


8

karena keterbatasan data. Aspek perubahan regulasi yang harus diikuti oleh

pemerintah daerah menyebabkan data penelitian dari tahun ke tahun memiliki

variansi yang cukup besar. Variansi ini terjadi karena data yang digunakan didasarkan

pada klasifikasi dan definisi dari peraturan pemerintah dan peraturan Menteri Dalam

Negeri.

Keterbatasan yang dilakukan beberapa peneliti terdahulu dari sisi variabel

maka, penelitian ini dengan daerah yang berbeda dan panambahan variabel Letak dan

Jenis Pemerintahan. Itulah yang menjadi pemikiran peneliti untuk mengkaji Pengaruh

DAU, PAD, SILPA, Jenis dan Letak Pemerintahan Terhadap Perilaku Oportunistik

Penyusun Anggaran Di Kabupaten/Kota Se-Sulawesi Tenggara.


9

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teoritis
2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) dan Hubungan Keagenan Antara
Eksekutif dan Legislatif
Penggunaan teori keagenan telah dipergunakan secara luas baik di sektor

privat maupun sektor publik. Para ekonom menggunakan struktur hubungan

prinsipal dan agen untuk menganalisis hubungan antara perusahaan dengan

pekerja (Faria and Silva, 2013). Sementara di sektor publik, teori keagenan

dipergunakan untuk menganalisis hubungan prinsipal-agen dalam kaitannya dengan

penganggaran sektor publik (Latifah, 2010; Abdullah, 2012). Teori keagenan

menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok atau

organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit

maupun eksplisit dengan pihak lain (agents) dengan harapan bahwa agen akan

bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang diinginkan principal (Jensen and

Meckling, 1976).

Eisenhardt (1989) menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia guna

menjelaskan tentang teori keagenan yaitu: (1) manusia pada umumnya

mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas

mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu

menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia


10

tersebut, manajer sebagai manusia kemungkinan besar akan bertindak

mengutamakan kepentingan pribadinya. Hal ini menimbulkan adanya konflik

kepentingan antara principal dan agent. Principal memiliki kepentingan untuk

memaksimalkan keuntungan mereka sedangkan agent memiliki kepentingan

untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya.

Konflik akan terus meningkat karena principal tidak dapat mengawasi

aktivitas agent sehari-hari untuk memastikan bahwa agent telah bekerja sesuai

dengan keinginan dari principal. Permasalahan dalam hubungan antara prinsipal dan

agen bersumber dari adanya perbedaan tujuan dan pilihan risiko yang dihadapi

seperti regulasi dan kepemimpinan (Eisenhardt, 1989). Adanya asimetri informasi

juga menyebabkan terjadinya persoalan dalam hubungan prinsipal-agen, bilamana

agen memiliki informasi lebih tentang kinerja aktual, motivasi dan tujuan yang

berpotensi menciptakan moral hazard dan adverse selection (Latifah, 2010).

Adverse selection terjadi karena adanya perbedaan jumlah informasi yang dimiliki

oleh principal dan agent sehingga principal tidak mampu membedakan apakah agen

melakukan sesuatu yang baik atau tidak (Faria and Silva, 2013). Dalam konteks

ini agen cenderung menyembunyikan informasi untuk memperoleh manfaat

yang lebih demi keuntungan pribadi.

Implikasi teori keagenan muncul dalam proses penyusunan anggaran

dilihat dari dua perspektif yaitu hubungan antara rakyat dengan legislatif, dan

legislatif dengan eksekutif. Ditinjau dari perspektif hubungan keagenan antara


11

legislatif dengan eksekutif, eksekutif adalah agent dan legislatif adalah principal

(Halim dan Abdullah, 2006). Apabila dilihat dari perspektif hubungan keagenan

legislatif dengan rakyat, pihak legislatif adalah agent yang membela kepentingan

rakyat (principal), akan tetapi tidak ada kejelasan mekanisme dan pengaturan

serta pengendalian dalam pendelegasian kewenangan rakyat terhadap legislatif.

Hal inilah yang seringkali menyebabkan adanya distorsi anggaran yang disusun oleh

legislatif sehingga anggaran tidak mencerminkan alokasi pemenuhan sumber daya

kepada masyarakat, melainkan cenderung mengutamakan self-interest para pihak

legislatif tersebut. Jika hal ini terjadi, besar kemungkinan anggaran yang disahkan

adalah alat untuk melancarkan aksi pencurian hak rakyat atau sering dikenal dengan

istilah korupsi (Mauro, 1998; Keefer and Khemani, 2003).

Hubungan keagenan di pemerintahan antara legislatif dan eksekutif

menunjukkan posisi legislatif sebagai prinsipal dan eksekutif adalah agen (Halim

dan Abdullah, 2006; Latifah, 2010; Abdullah, 2012). Hubungan antara prinsipal

dan agen senantiasa menimbulkan masalah keagenan yang disebut agency

problems (Lupia and McCubbins, 2000). Johnson (1994) dalam Abdullah dan

Asmara (2006) menyebut hubungan eksekutif atau birokrasi dengan legislatif atau

kongres dengan nama self-interest model. Dalam hal ini, legislators ingin dipilih

kembali, birokrat ingin memaksimumkan anggarannya, dan konstituen ingin

memaksimumkan utilitasnya. Agar terpilih kembali, legislators mencari program

dan proyek yang membuatnya populer di mata konstituen. Birokrat mengusulkan


12

program-program baru karena ingin agency-nya berkembang dan konstituen percaya

bahwa mereka menerima manfaat dari pemerintah tanpa harus membayar biayanya

secara penuh. Hal ini menunjukkan bahwa baik eksekutif maupun legislatif berupaya

untuk memaksimalkan dan memanfaatkan perannya dalam penyusunan anggaran

demi memperoleh keuntungan individual maupun kepentingan kelompok yang

cenderung akan menimbulkan kerugian bagi rakyat.

Lupia and McCubbins (2000) menyatakan bahwa warganegara adalah

principal yang menunjuk perwakilannya untuk melayani mereka sebagai agen di

parlemen, sementara Andvig et al. (2001) menyebutkan voters adalah prinsipal

dari parlemen. Dalam hal pembuatan kebijakan, Hagen (2002) berpendapat

bahwa hubungan prinsipal-agen yang terjadi antara pemilih (voters) dan legislatif

pada dasarnya menunjukkan bagaimana voters memilih politisi untuk membuat

keputusan-keputusan tentang belanja publik untuk mereka dan mereka

memberikan dana dengan membayar pajak. Ketika legislatif kemudian terlibat

dalam pembuatan keputusan atas pengalokasian belanja dalam anggaran, maka

mereka diharapkan mewakili kepentingan atau preferensi prinsipal atau

pemilihnya. Pada kenyataannya legislatif sebagai agen bagi publik tidak selalu

memiliki kepentingan yang sama dengan publik (Abdullah dan Asmara, 2006).

Ada dua kondisi yang dimanfaatkan oleh eksekutif untuk merealisasi

perilaku oportunistiknya dalam proses penyusunan anggaran. Pertama, secara

eksplisit berhubungan dengan anggaran legislatif dan kedua, melalui anggaran untuk
13

pelayanan publik dalam bentuk “titipan”. Pada kondisi pertama, legislatif

mengusulkan anggaran yang meningkatkan penghasilannya sehingga dapat

memenuhi self-interestnya dalam jangka pendek. Hal ini memunculkan political

corruption atas anggaran (Garamfalvi, 1997), sementara pada kondisi kedua, self-

interest dalam jangka panjang ingin dicapai. Usulan anggaran yang diperjuangkan

adalah yang mengharumkan nama politisi di wilayah tertentu, sehingga cenderung

pada usulan yang targetable atau hasilnya kelihatan jelas oleh masyarakat.

Akibatnya, pembangunan cenderung lebih diarahkan pada daerah yang merupakan

wilayah pemilihan politisi yang powerful di legislatif.

Martinez et al. (2004) menyatakan bahwa political corruption terjadi

ketika politisi atau birokrat tingkat atas memanfaatkan kedudukan mereka demi

keuntungan pribadi ataupun kalangan dekat mereka. Menurut Mauro (1998) salah

satu contohnya yaitu dengan mengalokasikan belanja untuk barang-barang

khusus dan berteknologi tinggi karena merupakan belanja yang mudah

dikorupsi sebab tidak banyak orang yang memahami barang tersebut. Insentif

korupsi dalam sisi belanja anggaran pemerintah menurut Martinez et al. (2004)

adalah kurangnya standar etika dan moral, kemungkinan terdeteksi yang

rendah, pengawasan dan sanksi yang lemah, atau ketidakcukupan gaji dan

insentif lainnya.
14

2.1.2 Aspek Keperilakuan dalam Penganggaran

Aspek keperilakuan dalam penganggaran mengacu pada perilaku manusia

yang muncul dalam proses penyusunan anggaran dan perilaku manusia yang

didorong ketika manusia mencoba hidup dengan anggaran (Suartana, 2010).

Aspek keperilakuan dalam penganggaran dibedakan atas dua unit analisis yaitu

organisasi dan individu. Menurut Belkaoui (1989) dalam Suartana (2010) ada

kecenderungan dari organisasi dan individu untuk tidak mengoptimalkan sumber

daya yang tersedia dan tidak melakukan efisiensi yang sering disebut slack atau

senjangan. Perilaku oportunistik penyusun anggaran dapat dilihat dari peningkatan

alokasi belanja pada sektor tertentu yang termasuk perilaku disfungsional yang

timbul pada penganggaran. Elias (2013) menyebutkan bahwa perilaku

oportunistik akan mendorong individu berperilaku tidak etis untuk meningkatkan

self interestnya.

2.1.3 Hubungan DAU, PAD, SiLPA, Jenis dan Letak Pemerintahan Dengan

Perilaku Oportunistik

Istilah oportunistik berasal dari kata opportunity yang berarti kesempatan.

Perilaku oportunistik mengacu pada pribadi, sifat atau dinamika kelompok dalam

menghadapi suatu kondisi dimana dalam posisi tertentu merasa mempunyai

kesempatan atau peluang lebih untuk melakukan sesuatu sesuai keinginan.


15

Perilaku oportunistik merupakan perilaku yang berusaha mencapai keinginan

dengan segala cara bahkan cara ilegal sekalipun (Maryono, 2013). Lebih jauh

Maryono (2013) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi perilaku

oportunistik adalah kekuatan (power) dan kemampuan (ability).

Penyusunan anggaran merupakan tahapan yang kompleks, dan perilaku

menjadi salah satu faktor kunci di dalamnya (Raghunandan et al., 2012)

Keberhasilan pencapaian tujuan organisasi dapat terwujud apabila pihak – pihak

yang terlibat pada penyusunan anggaran memberikan Manfaat maksimum.

Sebaliknya, perilaku oportunistik terjadi ketika pihak-pihak yang terlibat pada

penyusunan anggaran lebih mengutamakan self interest-nya sehingga

menimbulkan korupsi yang merugikan kepentingan umum (Mauro, 1998;

Martinez et al., 2004).

Studi Abdullah (2012) menemukan adanya perbedaan preferensi antara

eksekutif dan legislatif dalam pengalokasian spread PAD ke dalam belanja sektoral.

Alokasi untuk infrastruktur dan DPRD mengalami kenaikan, tapi alokasi untuk

pendidikan dan kesehatan justru mengalami penurunan. Abdullah (2012)

menemukan bahwa power legislatif yang sangat besar menyebabkan diskresi atas

penggunaan PAD tidak sesuai dengan preferensi publik. Penelitian Sularso dkk.

(2014) serta Abdullah dan Asmara (2006) menunjukkan bahwa semakin besar PAD

maka perilaku oportunistik penyusunan anggaran akan semakin besar.


16

Tujuan dari dana alokasi umum adalah untuk pemerataan keuangan antar

daerah. Penerimaan DAU membuka ruang bagi legislatif untuk memaksimalkan

utilitasnya dengan merekomendasikan eksekutif agar mengalokasikan anggaran

untuk kegiatan atau proyek-proyek yang menguntungkan legislatif

(Abdullah,2012). Transfer dari pemerintah pusat memiliki keterkaitan

sangat erat dengan belanja pemerintah daerah. Oktririniatmaja (2011)

menyatakan bahwa DAU berpengaruh positif terhadap peningkatan alokasi belanja

modal.

Kecenderungan perilaku oportunistik yang dilakukan politisi pada level

pemerintah daerah tidak dapat dilakukan pada sisi pendapatan, karena pendapatan

daerah sebagian besar bersumber dari dana transfer pemerintah pusat (Bartolini

and Santolini, 2007). Lebih lanjut disebutkan bahwa kondisi ini menyebabkan

perilaku oportunistik yang dilakukan politisi hanya dapat memengaruhi sisi

belanja dalam APBD. DAU yang diterima daerah dapat mengakibatkan perubahan

alokasi anggaran dalam APBD (Maryono, 2013).

Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan

bentuk pelayanan publik yang paling mendasar, namun jenis belanja tersebut tidak

dapat memberikan peluang untuk korupsi, sehingga anggaran pendidikan,

kesehatan, dan sosial akan diperkecil (Mauro, 1998). Studi Mauro (1998)

menunjukkan bahwa jenis-jenis belanja pemerintah berupa belanja barang atau

pelayanan untuk program-program dan kegiatan yang sulit untuk dimonitor orang
17

lain, membuka peluang terjadinya perilaku oportunistik. Hasil penelitian ini

dikuatkan oleh Tanzi and Davoodi (2002) yang mengemukakan bahwa belanja

investasi publik lebih disukai karena dapat memberikan komisi lebih besar

daripada belanja untuk pelayanan sosial, pendidikan, dan kesehatan.

SiLPA tahun anggaran sebelumnya memiliki pengaruh pada pengalokasian

APBD periode selanjutnya (Sularso dkk., 2014). Lebih lanjut dijelaskan bahwa

SiLPA berpengaruh positif pada alokasi belanja pada tahun berikutnya sehingga hal

ini memberi peluang bagi penyusun anggaran untuk mengalokasikan free cash flow

tersebut untuk berperilaku oportunistik.

2.1.4 Hubungan Jenis dan Letak Pemerintahan Dengan Perilaku Oportunistik

Jenis dan Letak Pemerintahan dapat di samakan sebagai status daerah, dimana

pandangan bahwa status daerah mempengaruhi kelengkapan pengungkapan

dikarenakan adanya perbedaan karakteristik masyarakat dan struktur pendapatan

antar daerah. Perbedaan ini dapat berimplikasi pada kontrol sosial yang berbeda pula

(Abdullah, 2004). Kontrol sosial pada penduduk kota cenderung lebih kuat, sehingga

Pemerintah Daerah yang berstatus sebagai Kota akan cenderung mematuhi standar

anggaran.
18

2.2. K ajian Empiris

Penelitian terkait perilaku oportunistik dalam penyusunan anggaran yang telah

dilakukan selama ini lebih fokus pada peranan legislatif dalam proses penyusunan

anggaran. Sementara di sisi lain penyusunan anggaran di Indonesia merupakan

proses bersama antara eksekutif dan legislatif. Adanya asimetri informasi dalam

hubungan keagenan antara legislatif dan eksekutif membuka peluang terjadinya

perilaku oportunistik (Latifah, 2010).

Abdullah dan Asmara (2006) meneliti perilaku oportunistik legislatif

dalam pengalokasian sumberdaya dalam anggaran belanja. Penelitian ini

menguji pengaruh pendapatan sendiri terhadap perilaku oportunistik legislatif (OL)

dengan menggunakan jenis dan letak pemerintahan sebagai variabel kontrol. Perilaku

oportunistik dihitung dengan menjumlahkan spread anggaran pendidikan, kesehatan,

pekerjaan umum dan anggaran legislatif yang merupakan selisih angka antara

RAPBD dan APBD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan PAD

berpengaruh terhadap perilaku oportunistik legislatif, sedangkan jenis dan letak

pemerintahan tidak berpengaruh. Penelitian Maria (2009) juga menunjukkan bahwa

PAD dan SiLPA berpengaruh signifikan terhadap perilaku oportunistik legislatif

kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam pengalokasian anggaran

daerah saat perubahan APBD.


19

Penelitian Riharjo dan Isnadi (2010) menguji pengaruh perilaku oportunistik

pejabat eksekutif atas penggunaan penerimaan sumber daya alam dalam penyusunan

APBD. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data APBD dari 31 propinsi

seluruh Indonesia dengan menggunakan teknik regresi linier berganda. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa perilaku oportunistik pejabat eksekutif mendorong

pengaruh belanja pegawai langsung, belanja barang dan jasa, serta belanja modal

terhadap meningkatnya slack anggaran dalam penetapan alokasi belanja untuk

kemakmuran rakyat yang berasal dari pendapatan sumber daya alam.

Oktririniatmaja (2011) meneliti pengaruh DAU, PAD dan DAK terhadap

alokasi belanja modal dalam APBD Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, Bali dan

Nusa Tenggara. Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi berganda

untuk menguji pengaruh antar variabel serta uji beda untuk menilai perbedaan

pengaruh antar wilayah. Data yang diteliti yaitu APBD Kabupaten/Kota

sebanyak 147 dengan rentang waktu 2004 – 2008. Hasil penelitian menemukan

bahwa PAD, DAU dan DAK berpengaruh positif terhadap alokasi belanja

modal, sedangkan uji beda menunjukkan bahwa belanja modal dan PAD di

Pulau Jawa lebih tinggi dari daerah di luar Pulau Jawa.

Penelitian Suryarini (2012) tentang pengaruh PAD terhadap perilaku

oportunistik legislatif dengan menggunakan jenis pemerintahan dan letak

pemerintahan sebagai variabel kontrol. Penelitian ini menggunakan teknik

analisis regresi dan hasilnya menunjukkan bahwa PAD berpengaruh positif


20

terhadap perilaku oportunistik legislatif, sedangkan jenis dan letak pemerintahan

tidak berpengaruh. Lebih lanjut Sularso dkk. (2014) menguji Pengaruh DAU, PAD,

Silpa, terhadap perilaku oportunistik penyusunan anggaran di Kabupaten/Kota se-

Jawa Tengah. Analisis dilakukan untuk data APBD Tahun 2010 – 2012 dengan

jumlah pengamatan sebanyak 135, menggunakan alat analisis regresi berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar DAU, PAD dan SiLPA maka

semakin besar perilaku oportunistik penyusunan anggaran.

BAB III
21

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS


3.1 Kerangka Pikir
Proses penyusunan anggaran merupakan tahapan yang rumit dan penuh

dengan nuansa politis. Proses penganggaran pada organisasi sektor publik

khususnya pemerintah daerah adalah proses politik yang sangat didominasi oleh

politik anggaran yang dilakukan oleh pihak – pihak yang terlibat. Nuansa politik

anggaran semakin menguat karena pemerintah memiliki sumber daya yang

terbatas sementara rencana kebutuhan relatif banyak. Sumber pendapatan dalam

APBD berasal dari PAD, Dana Perimbangan dan penerimaan pembiayaan yang

dipergunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang telah direncanakan

pada tahun bersangkutan.

Secara konseptual perubahan pendapatan dalam APBD akan berpengaruh

terhadap belanja. Perubahan PAD berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku

oportunistik legislatif (Abdullah dan Asmara, 2006; Maria, 2009). Sumber

pendapatan daerah berupa DAU adalah dana yang berasal dari APBN yang

dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk

membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

DAU memiliki proporsi yang paling besar pada penerimaan daerah, dimana

seharusnya pemerintah daerah secara leluasa dapat menggunakan dana ini untuk

memberi pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Keleluasaan tersebut

berpotensi membuka ruang terjadinya perilaku oportunistik baik pada legislatif


22

maupun eksekutif. Maryono (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif

dana alokasi umum dengan perilaku oportunistik penyusun anggaran.

SiLPA merupakan penerimaan daerah yang bersumber dari sisa kas tahun

anggaran sebelumnya untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi

pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja. Penelitian Sularso dkk. (2014)

menemukan bahwa SiLPA berpengaruh positif terhadap belanja modal pada periode

anggaran selanjutnya, yang berarti dapat berpengaruh pada alokasi belanja tahun

berikutnya sehingga hal ini memberi ruang bagi penyusun anggaran untuk

mengalokasikan free cash flow tersebut untuk melakukan perilaku oportunistik.

Perilaku oportunistik merupakan perilaku yang berusaha mencapai keinginan

dengan segala cara bahkan cara ilegal sekalipun yang dipengaruhi oleh adanya

kekuatan (power) dan kemampuan (ability) (Maryono, 2013). Perilaku

oportunistik penyusun anggaran (fiscal opportunism), yaitu perilaku oportunistik

dalam pembuatan keputusan alokasi belanja dan preferensi yang mengarah pada

alokasi belanja yang dapat memberikan keuntungan pribadi (Romarina dan

Makfatih, 2010). Fenomena perilaku oportunistik penyusun anggaran dapat

dilihat dari pengalokasian anggaran yang lebih mengarah pada preferensi yang

menguntungkan pihak tertentu, sehingga kebutuhan masyarakat tidak menjadi

prioritas utama. Berdasarkan hal tersebut, maka Kerangka Berpikir dalam

penelitian ini dapat digambarkan seperti pada Gambar 3.1.


23

Gambar 3.1. Kerangka Berpikir

Penelitian ini dilaksanakan untuk menunjukkan pengaruh variabel independen

terhadap variabel dependen. Berdasarkan Kerangka berpikir diatas, maka

dapat kami susun konsep penelitian seperti pada Gambar 3.2.


24

Gambar 3.2. Skema Konsep Penelitian

3.2. Hipotesis

Tujuan dari dana alokasi umum adalah untuk pemerataan keuangan antar

daerah. Penerimaan DAU membuka ruang bagi legislatif untuk memaksimalkan

utilitasnya dengan merekomendasikan eksekutif agar mengalokasikan anggaran

untuk kegiatan atau proyek-proyek yang menguntungkan legislatif (Abdullah,

2012). Transfer dari pemerintah pusat memiliki keterkaitan sangat erat

dengan belanja pemerintah daerah. Oktririniatmaja (2011) menyatakan bahwa

DAU berpengaruh positif terhadap peningkatan alokasi belanja modal.

Kecenderungan perilaku oportunistik yang dilakukan politisi pada level

pemerintah daerah tidak dapat dilakukan pada sisi pendapatan, karena pendapatan

daerah sebagian besar bersumber dari dana transfer pemerintah pusat (Bartolini and

Santolini, 2007). Lebih lanjut disebutkan bahwa kondisi ini menyebabkan perilaku
25

oportunistik yang dilakukan politisi hanya dapat memengaruhi sisi belanja

dalam APBD. DAU yang diterima daerah dapat mengakibatkan perubahan alokasi

anggaran dalam APBD (Maryono, 2013). Berdasarkan kajian empiris di atas, maka

peneliti merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

H1 : Terdapat pengaruh positif signifikan DAU terhadap Perilaku


Oportunistik Penyusun Anggaran

Penyusunan anggaran merupakan tahapan yang kompleks, dan perilaku

menjadi salah satu faktor kunci di dalamnya (Raghunandan et al., 2012)

Keberhasilan pencapaian tujuan organisasi dapat terwujud apabila pihak – pihak

yang terlibat pada penyusunan anggaran memberikan kontribusi maksimum.

Sebaliknya, perilaku oportunistik terjadi ketika pihak-pihak yang terlibat pada

penyusunan anggaran lebih mengutamakan self interest-nya sehingga

menimbulkan korupsi yang merugikan kepentingan umum (Mauro, 1998;

Martinez et al., 2004).

Studi Abdullah (2012) menemukan adanya perbedaan preferensi antara

eksekutif dan legislatif dalam pengalokasian spread PAD ke dalam belanja sektoral.

Alokasi untuk infrastruktur dan DPRD mengalami kenaikan, tapi alokasi untuk

pendidikan dan kesehatan justru mengalami penurunan. Abdullah (2012)

menemukan bahwa power legislatif yang sangat besar menyebabkan diskresi atas

penggunaan PAD tidak sesuai dengan preferensi publik. Penelitian Sularso dkk.
26

(2014) serta Abdullah dan Asmara (2006) menunjukkan bahwa semakin besar PAD

maka perilaku oportunistik penyusunan anggaran akan semakin besar.

Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan

bentuk pelayanan publik yang paling mendasar, namun jenis belanja tersebut tidak

dapat memberikan peluang untuk korupsi, sehingga anggaran pendidikan, kesehatan,

dan sosial akan diperkecil (Mauro, 1998). Studi Mauro (1998) menunjukkan bahwa

jenis-jenis belanja pemerintah berupa belanja barang atau pelayanan untuk program-

program dan kegiatan yang sulit untuk dimonitor orang lain, membuka peluang

terjadinya perilaku oportunistik. Hasil penelitian ini dikuatkan oleh Tanzi and

Davoodi (2002) yang mengemukakan bahwa belanja investasi publik lebih disukai

karena dapat memberikan komisi lebih besar daripada belanja untuk pelayanan

sosial, pendidikan, dan kesehatan. Berdasarkan kajian empiris di atas, maka peneliti

merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

H2 : Terdapat pengaruh positif signifikan PAD terhadap Perilaku


Oportunistik Penyusun Anggaran.

SiLPA tahun anggaran sebelumnya memiliki pengaruh pada pengalokasian

APBD periode selanjutnya (Sularso dkk., 2014). Lebih lanjut dijelaskan bahwa

SiLPA berpengaruh positif pada alokasi belanja pada tahun berikutnya sehingga hal

ini memberi peluang bagi penyusun anggaran untuk mengalokasikan free cash flow
27

tersebut untuk berperilaku oportunistik. Berdasarkan kajian empiris di atas, maka

peneliti merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

H3 : Terdapat pengaruh positif signifikan SiLPA terhadap Perilaku


Oportunistik Penyusun Anggaran.
Jenis dan Letak Pemerintahan dapat di samakan sebagai status daerah, dimana

pandangan bahwa status daerah mempengaruhi kelengkapan pengungkapan

dikarenakan adanya perbedaan karakteristik masyarakat dan struktur pendapatan

antar daerah. Perbedaan ini dapat berimplikasi pada kontrol sosial yang berbeda pula

(Abdullah, 2004). Kontrol sosial pada penduduk kota cenderung lebih

kuat, sehingga Pemerintah Daerah yang berstatus sebagai Kota akan cenderung

mematuhi standar anggaran. Berdasarkan kajian empiris di atas, maka peneliti

merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

H4 : Terdapat pengaruh positif signifikan Letak Pemerintahan terhadap


Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran.
28

BAB IV

METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian merupakan Penelitian kuantitatif atau penelitian ilmiah yang

sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya.

Tujuan penelitian kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-

model matematis, teori-teori dan/atau hipotesis yang berkaitan dengan fenomena.

Proses pengukuran adalah bagian yang sentral dalam penelitian kuantitatif karena

hal ini memberikan hubungan yang fundamental antara pengamatan empiris dan

ekspresi matematis dari hubungan-hubungan kuantitatif. Penelitian ini

mengarahkan pada pemilihan sumber – sumber daya dan tipe informasi yang

diperlukan untuk menunjukkan hubungan antar variabel yang diteliti dan

menggariskan langkah – langkah dalam setiap aktivitas penelitian. Penyusunan

rancangan penelitian didasarkan pada fenomena atau topik penelitian dengan

memperhatikan aktivitas serta waktu. Rancangan penelitian merupakan rencana dari

struktur penelitian yang mengarahkan proses dan hasil riset sedapat mungkin

menjadi valid, obyektif, efisien dan efektif (Jogiyanto, 2004).


29

4.2. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menguji pengaruh variabel independen yaitu DAU, PAD dan

SiLPA, Letak dan Jenis Pemerintahan terhadap variabel dependen yaitu perilaku

oportunistik penyusun anggaran. Berdasarkan fenomena yang terjadi serta kajian

teoritis dan empiris, maka dirumuskan masalah penelitian serta hipotesis.

Pengujian dilakukan secara statistik dengan menggunakan data sekunder yang akan

dianalisis dengan teknik analisis regresi linier berganda. Hasil analisis kemudian

akan diinterpretasikan untuk menjawab permasalahan penelitian sehingga

diperoleh suatu simpulan penelitian. Rancangan penelitian dapat digambarkan

seperti Gambar 4.1.


30

4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian mempunyai kriteria yaitu daerah yang sudah mekar dibawah

tahun 2010, sementara daerah yang mekar di atas tahun 2010 tetap masuk dalam

lokasi penelitian ini namun di gabungkan dengan Kabupaten Induk sebelumnya.

Berdasarkan kriteria tersebut maka lokasi penelitian dilaksanakan di 1 2 (dua belas)

Kabupaten/Kota se-Sulawesi Tenggara dari 17 (tujuh belas) Kabupaten/Kota se-

Sulawesi Tenggara untuk menganalisis data APBD pada kurun waktu 2011 – 2016.

4.4. Variabel Penelitian

Variabel-variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel dependen yaitu

perilaku oportunistik penyusun anggaran dan variabel independen yaitu DAU,

PAD dan SiLPA, Jenis dan Letak Pemerintahan.

4.5. Definisi Operasional Variabel

Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus

dioperasionalisasikan dengan cara mengubahnya menjadi variabel, yang berarti

sesuatu yang mempunyai variasi nilai. Variabel-variabel dalam penelitian ini

terdiri dari variabel dependen yaitu perilaku oportunistik penyusun anggaran dan

variabel independen yaitu DAU, PAD dan SiLPA, Jenis dan Letak Pemerintahan.
31

4.5.1 Variabel Dependen

Variabel dependen pada penelitian ini adalah Perilaku Oportunistik Penyusun

Anggaran (OPA). Havid,dkk (2014) menyatakan bahwa perilaku oportunistik

merupakan perilaku yang berusaha mencapai keinginan dengan segala cara bahkan

dengan cara ilegal sekalipun. Pengukuran kinerja OPA di dalam penelitian ini

menggunakan anggaran biaya tak langsung yang dialokasikan dari APBD

Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara. OPA menunjukkan perubahan (spread)

alokasi anggaran belanja tertentu dari APBD tahun sebelumnya ke APBD tahun

berjalan. Spread terjadi karena perbedaan preferensi dalam pengalokasian

sumberdaya antara principal dan agents (Abdullah, 2012). Nilai OPA menunjukkan

adanya perilaku penyusun anggaran yang memanfaatkan kekuasaan dan

kewenangannya untuk mempengaruhi kebijakan pengalokasian anggaran sesuai

dengan preferensi diri atau kelompoknya, sehingga nilai OPA menggambarkan

besaran self-interest penyusun anggaran (Abdullah, 2012). Pengukuran OPA

dikembangkan dari penelitian Abdullah (2012), dengan tahap pengukuran sebagai

berikut:

1. Menghitung spread alokasi anggaran belanja dari APBD tahun berjalan ke

tahun sebelumnya. Perhitungan spread(Δ) = APBD tahun berjalan (t) –

APBD tahun sebelumnya (t-1). Sektor yang diamati adalah biaya tidak langsung

yang di dalamnya terdiri dari pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, hibah dan

bansos, Semua kenaikan dan penurunan alokasi tersebut dinyatakan dalam


32

satuan rupiah dan bertanda positif, namun jika yang terjadi sebaliknya atau tidak

terjadi perubahan seperti di atas maka diberi nilai 0 (nol).

2. Mengagregasi atau menggabungkan spread yang menunjukkan OPA secara

keseluruhan. Perhitungan OPA= ΔAnggaran Biaya Tak Langsung

4.5.2 Variabel Independen

Variabel independen pada penelitian ini yang mempengaruhi OPA terdiri dari

empat variabel yaitu Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD),

Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA), Jenis dan Letak Pemerintahan.

1) Dana Alokasi Umum (DAU)

DAU adalah transfer yang bersifat umum dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah

Daerah untuk menunjang pelaksanaan desentraliasi (Halim, 2004). Jumlah

keseluruhan DAU untuk masing-masing Kabupaten/Kota dapat dilihat dari pos

dana perimbangan dalam APBD. Pengukuran DAU dengan menggunakan spread

Dana Alokasi Umum (DAU) dari APBD tahun berjalan (t) ke APBD tahun

sebelumnya (t-1) (Sularso dkk., 2014).

2) Pendapatan Asli Daerah (PAD)

PAD merupakan pendapatan daerah yang terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi

Daerah, Pendapatan dari Laba Perusahaan Daerah dan lain-lain. Pengukuran

PAD menggunakan spread PAD (Δ PAD) adalah perubahan naik atau turunnya

PAD dari APBD tahun berjalan (t) ke APBD tahun sebelumnya (t-1) (Abdullah,
33

2012). PAD = PAD APBD (t) – APBD (t-1)

……………………………………………………1)

3) Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA)

SiLPA mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana

perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah,

pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada

pihak ketiga sampai dengan akhir tahun terselesaikan dan sisa dana kegiatan

lanjutan, yang ditanggung dalam perubahan APBD. SiLPA diukur dengan spread

SiLPA (ΔSiLPA) dari APBD tahun sebelumnya (t-1) ke APBD 2 tahun

sebelumnya (t-2)(Sularso dkk., 2014) SiLPA = SiLPAAPBD (t-1) – APBD (t 2)

………………………………………………..3)

4) Jenis dan Letak Pemerintahan

Jenis dan Letak Pemerintahan dapat mempengaruhi kelengkapan pengungkapan

dikarenakan adanya perbedaan karakteristik masyarakat dan struktur pendapatan

antar daerah. Perbedaan ini dapat berimplikasi pada kontrol sosial yang berbeda

pula (Abdullah, 2004). Kontrol sosial pada penduduk kota cenderung lebih kuat,

sehingga Pemerintah Daerah yang berstatus sebagai Kota akan cenderung

mematuhi standar anggaran. Dalam menguji dan menganalisis tujuan penelitian

tersebut, penelitian ini menggunakan model regresi data panel dengan

menggunakan variabel dummy. Variabel dummy yang dimaksud adalah variabel

tata letak dan jenis, dengan angka 1 melambangkan tata letak dan jenis

Kabupaten dan angka 0 melambangkan tata letak dan jenis Kota. Jenis dan Letak
34

Pemerintahan diukur dengan menggunakan skor. Jika status daerah adalah

Kabupaten, diberi kode 1 (satu) dan jika status daerah adalah Kota, diberikan

kode 0 (nol). Variabel ini digunakan dalam penelitian Abdullah, (2004) dan

Retnoningsih (2009).

4.6. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis data dalam penelitian ini terdiri atas sumber data sekunder runtut waktu

(time series) dari tahun 2011-2016 yang bersumber dari Biro Keuangan Sekretariat

Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Tenggara,

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Tenggara Kantor

Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2011 – 2016 dan situs

Direktorat Jendral Keuangan Daerah Kementerian Keuangan. Data sekunder adalah

data yang diperoleh/ dikumpulkan dan disatukan oleh studi-studi sebelumnya atau

yang diterbitkan oleh berbagai instansi lain atau sumber tidak langsung berupa data

dokumentasi dan arsip-arsip resmi.

Data tersebut meliputi DAU, PAD, SiLPA, belanja sektoral untuk belanja

pendidikan, kesehatan, PU, hibah dan bansos, Jenis dan Letak Pemerintahan dan

Pinjaman Daerah. Adapun variabel penelitian terdiri dari DAU (X1), PAD (X2),

SiLPA(X3), JENIS DAN LETAK PEMERINTAHAN (X4), dan Perilaku

Oportunistik Penyusun Anggaran (Y). Alat analisis yang digunakan adalah regresi

linier berganda dengan model Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + B4X 4 ε e. Sebelum


35

melakukan analisis regresi linier berganda, terlebih dahulu dilakukan pengujian

asumsi klasik untuk mengetahui hasil estimasi regresi yang dilakukan terbebas dari

gejala multikoloniearitas, heteroskedastisitas, autokorelasi serta model regresi

memiliki distribusi normal. Selanjutnya dilakukan uji ketepatan model (goodness of

fit) dengan melihat nilai koefisien determinasi (R2), hasil uji F dan uji t.

dalam penelitian ini teknik pengumpulan datanya sebagai berikut:

1) Menetapkan (mencari-temukan) sumber data/informasi ;

2) Mengumpulkan data yang sudah tersedia (dalam “dokumen”);

3) Menormalisasikan data jika diperlukan dan memungkinkan (membuat data

dari berbagai sumber sesetara mungkin “menjadi satu bentuk yang sama”);

4) Menganalisis data (menghitung, mentabulasi, memetakan data-data kuantiatif,

atau membandingkan berbagai peraturan dan menelaahnya).

4.7. Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan di dalam penelitian ini adalah analisis regresi data

panel dengan menggunakan alat uji Eviews. Data panel merupakan gabungan antara data

silang (cross section) dengan data runtut waktu (time series). Data panel diperkenalkan

oleh Howles pada tahun 1950. Data runtut waktu biasanya meliputi satu objek (misalnya

harga saham, kurs mata uang, atau tingkat inflasi), tetapi meliputi beberapa periode (bisa

harian, bulanan, kuartalan, tahunan, dan sebagainya). Data silang terdiri atas beberapa atau

banyak objek, sering disebut responden, (misal perusahaan) dengan beberapa jenis data
36

(misal laba, biaya iklan, laba ditahan, dan tingkat investasi). Keunggulan regresi data

panel menurut Wibisono (2005) antara lain adalah;

1) Panel data mampu memperhitungkan heterogenitas individu secara eksplisit dengan

mengizinkan variabel spesifik inidvidu.

2) Kemampuan mengontrol heterogenitas ini selanjutnya menjadikan data panel dapat

digunakan untuk menguji dan membangun perilaku lebih kompleks.

3) Data panel mendasarkan diri pada observasi cross-section yang berulang-ulang (time

series), sehingga metoda data panel cocok digunakan sebagai study of dynamic

adjustment.

4) Tingginya jumlah observasi memiliki implikasi pada data yang lebih informatif, lebih

variatif, dan kolinearitas (multikol) antara data semakin berkurang. Dan derajat

kebebasan (degree of freedom/df) lebih tinggi sehingga dapat memperoleh hasil

estimasi yang lebih efisien.

5) Data panel dapat digunakan untuk mempelajari model-model perilaku yang

kompleks. Selain itu data panel juga dapat digunakan untuk meminimalkan bias yang

mungkin ditimbulkan oleh agregasi data individu.

Dengan keunggulan tersebut maka tidak harus dilakukannya pengujian asumsi klasik

dalam model data panel (Verbeek, 2009; Gujarati, 2006; Wibisono, 2005; Aulia;2004,

dalam Shochrul R. Ajija, dkk, 2011).

4.7.1. Pemilihan Model Estimasi dan Metode Estimasi Data Panel


4.7.1.1. Pemilihan Model Estimasi
37

Dalam metode estimasi model regresi dengan menggunakan data panel

dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, antara lain:

1) Common Effect Model (CEM)


Merupakan pendekatan model data panel yang paling sederhana karena

hanya mengkombinasikan data time series dan cross section. Pada model ini tidak

diperhatikan dimensi waktu maupun individu, sehingga diasumsikan bahwa

perilaku data perusahaan sama dalam berbagai kurun waktu. Metode ini bisa

menggunakan pendekatan Ordinary Least Square (OLS) atau teknik kuadrat terkecil

untuk mengestimasi model data panel.

2) Fixed Effect Model (FEM)


Model ini mengasumsikan bahwa perbedaan antar individu dapat

diakomodasi dari perbedaan intersepnya. Untuk mengestimasi data panel model

Fixed Effects menggunakan teknik variable dummy untuk menangkap perbedaan

intersep antar perusahaan. Model estimasi ini sering juga disebut dengan teknik

Least Squares Dummy Variable (LSDV).

3) Random Effect Model (REM)


Model ini akan mengestimasi data panel dimana variabel gangguan

mungkin saling berhubungan antar waktu dan antar individu. Pada model

Random Effect perbedaan intersep diakomodasi oleh error terms masing-masing

perusahaan. Keuntungan menggunkan model Random Effect yakni menghilangkan


38

heteroskedastisitas. Model ini juga disebut dengan Error Component Model (ECM)

atau teknik Generalized Least Square (GLS).

4.7.1.2 Pemilihan Metode Estimasi


Untuk memilih model yang paling tepat digunakan dalam mengelola data

panel, terdapat beberapa pengujian yang dapat dilakukan yakni:

1) Chow test atau Likelyhood test


Uji ini digunakan untuk pemilihan antara model fixed effect dan common

effect. Dasar penolakan H0 adalah dengan menggunakan pertimbangan Statistik Chi-

Square, jika probabilitas dari hasil uji Chow- test lebih besar dari nilai kritisnya

maka H0 ditolak dan Ha diterima. Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:

H0: Probability >0,05 , model mengikuti Common Effect Model

Ha: Probability < 0,05 , model mengikuti Fixed Effect Model

2) Hausman test
Hausman test atau uji hausman adalah pengujian statistik untuk memilih

apakah model fixed effect atau random effect yang paling tepat digunakan. Setelah

selesai melakukan uji Chow dan didapatkan model yang tepat adalah fixed effect,

maka selanjutnya akan diuji model manakah antara model fixed effect atau random

effect yang paling tepat, pengujian ini disebut sebagai uji Hausman.
39

Uji Hausman dapat didefinisikan sebagai pengujian statistik untuk memilih

apakah model fixed effect atau random effect yang paling tepat digunakan. Pengujian

uji Hausman dilakukan dengan hipotesis berikut:

Statistik Uji Hausman ini mengikuti distribusi statistic Chi Square dengan

degree of freedom sebanyak k, dimana k adalah jumlah variabel independen. Jika

nilai statistik Hausman lebih kecil dari nilai kritisnya maka H0 diterima dan

model yang tepat adalah model fixed effect sedangkan sebaliknya bila nilai statistik

Hausman lebih besar dari nilai kritisnya maka model yang tepat adalah model

random effect .

H0: Probability < 0,05 , model mengikuti Fixed Effect Model

Ha: Probability > 0,05 , model mengikuti Random Effect Model

Jika model common effect atau fixed effect yang digunakan, maka langkah

selanjutnya yaitu melakukan uji asumsi klasik. Namun apabila model yang

digunakan jatuh pada random effect, maka tidak perlu dilakukan uji asumsi klasik.

Hal ini disebabkan oleh variabel gangguan dalam model random effect tidak

berkorelasi dari perusahaan berbeda maupun perusahaan yang sama dalam periode

yang berbeda, varian variabel gangguan homoskedastisitas serta nilai harapan

variabel gangguan nol.


40

3) Langrange Multiplier (LM)


Uji ini digunakan untuk pemilihan antara model common effect dan random

effect t. Dasar penolakan H0 adalah dengan menggunakan pertimbangan Statistik

Chi-Square, jika probabilitas dari hasil uji LM lebih besar dari nilai kritisnya

maka H0 ditolak dan Ha diterima. Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:

H0: Probability < 0,05 , model mengikuti Common Effect Model

Ha: Probability > 0,05 , model mengikuti Random Effect Model.

4.8. Pengujian Statistik Analisis Regresi

Uji signifikansi merupakan prosedur yang digunakan untuk menguji

kesalahan atau kebenaran dari hipotesis yang telah diajukan oleh peneliti di

antaranya :

4.8.1. Koefisien Determinasi (R-Square)

Koefisien determinasi Adjusted (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh

kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien

determinasi berada diantara nol dan satu. Nilai Adjusted (R2) yang kecil berarti

kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen

amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen

memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi

variabel-variabel dependen.
41

4.8.2 Uji F-Statistik (Simultan)

Uji F dilakukan untuk menguji secara serentak variabel independen

mempunyai pengaruh terhadap variabel dependen.

 Jika nilai signifikansi < 0,05 menunjukkan bahwa model regresi dapat

digunakan untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel

dependen.

 Jika nilai signifikansi > 0,05 menunjukkan bahwa model regresi yang

digunakan belum mampu menguji pengaruh variabel independen terhadap

variabel dependen.

Dengan tingkat kepercayaan untuk pegujian hipotesis adalah 95% atau (α) 0,05.

4.8.3. Uji Signifikan Parameter Individual ( Uji t)

Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh variabel

independen secara individual mampu menjelaskan variasi variabel dependen.

Ghozali, (2011)

 Jika nilai signifikansi < α = 0,05 berarti variabel independen mempunyai

pengaruh secara parsial terhadap variabel dependen.

 Jika nilai signifikansi > α = 0,05 berarti variabel independen tidak

mempunyai pengaruh secara parsial terhadap variabel dependen


42

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


5.1. Gambaran Objek Penelitian
APBD disusun setiap tahun untuk dijadikan dasar pedoman pengelolaan

keuangan daerah selama 1 periode anggaran. Secara umum struktur APBD terdiri

dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah. Pendapatan

Daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Lain-lain

Pendapatan yang sah sedangkan Belanja Daerah terdiri Belanja Langsung dan

Belanja Tidak Langsung. Pelaksanaan kebijakan desentralisasi membawa

konsekuensi logis terhadap hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan

pemerintahan daerah yaitu adanya pemberian sumber-sumber pendapatan daerah

dalam rangka pelimpahan kewenangan dari pusat (desentralisasi fiskal). Sumber-

sumber pendapatan tersebut dialokasikan ke dalam belanja daerah sesuai dengan

prioritas pembangunan melalui penetapan anggaran pendapatan dan belanja daerah

(APBD).

APBD merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang

dibahas dan disetujui oleh pemerintah daerah dan DPRD serta ditetapkan dengan

peraturan daerah. Penyusunan APBD tersebut disesuaikan dengan kebutuhan

penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah.

Secara garis besar, struktur APBD terdiri dari pendapatan daerah, belanja

daerah, dan pembiayaan daerah. Dalam hal pendapatan daerah lebih kecil dari

belanja daerah (anggaran defisit), sumber-sumber pembiayaan untuk menutupnya


43

dapat bersumber dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya,

penggunaan cadangan, penerimaan pinjaman, hasil penjualan kekayaan daerah yang

dipisahkan, dan penerimaan kembali pemberian pinjaman atau penerimaan piutang.

Sementara itu, jika pendapatan lebih besar dari belanja daerah (anggaran surplus),

maka penggunaan surplus diutamakan untuk pembayaran pokok utang, investasi,

pemberian pinjaman dan pendanaan belanja peningkatan jaminan sosial.

5.1.1 Realisasi Pendapatan dan Belanja Provinsi Sulawesi Tenggara

a. Gambaran APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah)

pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2011

Kinerja penyerapan anggaran APBD Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara

hingga akhir triwulan III 2011 masih belum optimal. Dari total anggaran APBD

sebesar Rp1,42 triliun, baru sekitar 47,62% yang telah direalisasikan atau sebesar

Rp676,07 milyar. Persentase realisasi anggaran terbesar ada pada belanja operasional

pegawai dan barang. Untuk belanja modal yang dialokasikan sebesar Rp427 milyar,

hingga akhir triwulan III realisasinya hanya sekitar 19,28% atau sebesar Rp82,44

milyar. Dari sisi pendapatan, realisasi pendapatan APBD hingga triwulan III

mengalami pecapaian yang relatif baik. Realisasi pendapatan APBD secara nominal

sebesar Rp947,98 milyar atau sekitar 77,67% dari total target pendapatan Pemerintah

Provinsi Sulawesi Tenggara. Pencapaian ini berasal dari transfer dana perimbangan

dan pendapatan asli daerah yang meliputi pajak, restribusi dan laba perusahaan

daerah. Plafond transfer dari dana perimbangan sebesar Rp799,08 milyar yang
44

sebagian besar dari hasil pajak, hampir 81% telah ditransfer ke APBD Provinsi

Sulawesi Tenggara.

Tabel 5.1 Realisasi Pendapatan dan Belanja Provinsi Sulawesi Tenggara Hingga Triw III-2011

Realisasi Belanja APBD Triwulan III 2011

Pada akhir triwulan III 2011 dari total anggaran APBD Pemerintah Provinsi

Sulawesi Tenggara sebesar Rp1,42 triliun, baru sekitar 47,62% telah direalisasikan

atau sebesar Rp676,07 milyar. Belanja operasional yang meliputi belanja pegawai,

barang, hibah, bantuan sosial dan keuangan yang dianggarkan mencapai Rp936.26

milyar telah terealisasi cukup moderat sebesar 58.79%, dimana belanja pegawai

terserap cukup tinggi mencapai 69.57% atau setara dengan Rp290,63 milyar.

Adapun belanja operasional yang realisasinya cukup rendah yakni belanja barang

dan belanja bantuan keuangan. Belanja barang baru terealisasi sekitar 49.96% atau

Rp105.31 milyar sedangkan belanja bantuan keuangan baru terserap sebesar 47,7%

atau Rp134,09 milyar. Sedangkan realisasi belanja modal hingga triwulan III 2011

masih minim baru mencapai 19,28% dari anggaran belanja modal yang dialokasikan

sebesar Rp427,59 milyar. Relatif kecilnya alokasi pendapatan untuk belanja modal
45

yang hanya sebesar 30,12% dari total anggaran belanja daerah disertai pola realisasi

anggaran yang relatif lambat dikhawatirkan berpotensi menghambat upaya untuk

penyediaan sarana infrastruktur yang memadai dimana kondisi tersebut pada

akhirnya dapat menjadi disinsetif bagi iklim investasi di Sulawesi Tenggara.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara perlu meningkatkan kinerjanya terutama

pada penyerapan anggaran belanja modal yang diprioritaskan untuk pembangunan

seperti perbaikan infrastruktur atau pelayanan publik lainnya. Anggaran untuk

belanja modal sendiri mengalami kenaikan yang cukup signifikan sebesar hampir

15.37% di tahun 2011 dibandingkan tahun 2010. Sementara itu, realisasi belanja dari

dana transfer bagi hasil hingga triwulan III 2011 tercatat sebesar Rp42,1 milyar atau

82,59% dari anggaran transfer pada TA 2011.

Tabel 5.2 Realisasi Belanja Hingga Triwulan III-2011


46

Realisasi pendapatan daerah tercapai cukup tinggi, secara nominal sebesar

Rp947,98 milyar atau sekitar 77,67% dari total target pendapatan Pemerintah

Provinsi Sulawesi Tenggara. Pencapaian ini berasal dari transfer dana perimbangan

dan pendapatan asli daerah yang meliputi pajak, restribusi dan laba perusahaan

daerah. Plafond transfer dari dana perimbangan sebesar Rp799,08 milyar yang

sebagian besar dari hasil pajak, hampir 81% telah ditransfer ke APBD Provinsi

Sulawesi Tenggara yang bersumber dari bagi hasil pajak dan bukan pajak, dana

alokasi umum dan dana alokasi khusus. Penerimaan dengan prosentase cukup tinggi

terealisasi dari dana alokasi umum yang mencapai 83.33% dari target atau setara

dengan Rp584,03 milyar serta realisasi dari dana bagi hasil pajak dan bukan pajak

(SDA) yang mencapai 67.53% atau sebesar Rp43,51 milyar.

Namun demikian, realisasi penerimaan dari dana alokasi khusus masih relatif

minim hanya 30.84% dari target atau masih sebesar Rp10,42 milyar. Adapun

pencapaian dari pendapatan asli daerah hingga akhir triwulan III 2011 cukup tinggi

bersumber dari penerimaan pajak daerah, retribusi daerah dan laba perusahaan

daerah yang telah mencapai masing-masing sebesar 89.28%, 94.49% dan 97.25%

dari target APBD.


47

Tabel 5.3 Realisasi Pendapatan Hingga Triw III-2011

b. Gambaran APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah)

pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2012

Kinerja penyerapan anggaran belanja APBD Pemerintah Provinsi Sulawesi

Tenggara hingga akhir triwulan IV-2012 relatif cukup optimal. Dari total anggaran

belanja daerah sebesar Rp2,05triliun, telah direalisasikan sebesar 81,42% atau

sebesar Rp1,67 Triliun. Persentase realisasi anggaran terbesar merupakan belanja

operasi dan belanja modal, masing-masing sebesar 81,72% dan 12,05% dari

anggaran. Hingga akhir triwulan IV tahun 2012, belanja modal yang dialokasikan

sebesar Rp413 milyar, hanya terealisasi sebesar Rp201 milyar atau 48,77% dari

anggaran. Dari sisi pendapatan, pendapatan APBD hingga triwulan IV tahun 2012

terealisasi dengan baik, yaitu sebesar Rp1,76 Triliun atau 94,88% dari total anggaran

pendapatan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara yang dialokasikan sebesar

Rp1,85 Triliun.

Pencapaian ini berasal dari transfer dana perimbangan dan pendapatan asli

daerah yang meliputi pajak, restribusi dan laba perusahaan daerah. Plafond transfer
48

dari dana perimbangan sebesar Rp1,02 Triliun yang yang memberi sumbangan

sebesar 57,87% terhadap APBD Provinsi Sulawesi Tenggara.

Tabel 5.4 Realisasi APBD Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2012

Realisasi Anggaran Belanja Pada APBD Triwulan IV 2012

Pada akhir triwulan IV 2012, APBD Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara

telah terealisasi sebesar Rp1,67 triliun atau 81,42% dari anggaran belanja APBD

yang dialokasikan sebesar Rp1,05 Triliun. Belanja operasional yang meliputi belanja

pegawai, barang, hibah, bantuan sosial dan keuangan yang dianggarkan sebesar

Rp1,52 Triliun telah terealisasi sebesar 89,71%, dimana penyumbang terbesar secara

nominal pada belanja pegawai yang mencapai Rp476 milyar atau 34,81% dari

anggaran. Secara persentase, serapan tertinggi pada belanja bantuan keuangan,

belanja hibah, belanja pegawai dan belanja barang, masing-masing sebesar 96,82%;

96,58%; 87,34% dan 82,92% dari anggaran yang dialokasikan.

Sementara itu, kinerja belanja modal hingga triwulan IV 2012 masih belum

optimal, hanya mencapai 48,77% dari anggaran yang dialokasikan sebesar Rp413
49

milyar. Pola serapan anggaran belanja modal yang relatif lambat dikhawatirkan

berpotensi menghambat upaya untuk penyediaan sarana infrastruktur yang memadai

dimana kondisi tersebut pada akhirnya dapat menjadi disinsetif bagi iklim investasi

di Sulawesi Tenggara. Realisasi belanja modal sampai dengan triwulan IV tahun

2012 lebih rendah dari realisasi periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai

73,02% dari anggaran yang dialokasikan sebesar Rp487 miliar. Sementara itu,

realisasi belanja dari dana transfer bagi hasil hingga triwulan IV 2012 tercatat

optimal yaitu telah mencapai Rp104 milyar atau 100% yang dianggarkan pada TA

2012.

Tabel 5.5 Realisasi Belanja Hingga Triw IV-2012 (Rupiah)


50

Realisasi Anggaran Pendapatan Pada APBD Triwulan IV 2012

Realisasi pendapatan daerah hingga triwulan IV 2012 tercapai cukup baik,

secara nominal telah terealisasi sebesar Rp1,47 Triliun atau 79,32% dari total target

pendapatan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Pencapaian ini berasal dari

dana perimbangan dan pendapatan transfer yang meliputi pajak, restribusi dan laba

perusahaan daerah yang realisasinya secara proporsional realatif baik hingga

triwulan IV 2012. Plafond transfer dari dana perimbangan sebesar Rp1,02 Triliun

milyar telah ditransfer sebesar 69,22% ke APBD Pemerintah Provinsi Sulawesi

Tenggara. Optimalnya realisasi dana transfer tersebut terutama berasal dari realisasi

Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang masing-masing

telah mencapai Rp870 miliar dan 34 miliar atau 100% dari target pendapatan DAU

dan DAK TA. 2012.

Selain itu, pendapatan dengan realisasi yang cukup baik juga dari Dana Bagi

Hasil Pajak dan Non Pajak serta Dana Penyesuaian yang masing-masing terealisasi

sebesar 110,53% dan 95,43% dari target anggaran. Sementara itu, pencapaian dari

Pendapatan Asli Daerah (PAD) hingga akhir triwulan IV 2012 relatif cukup baik,

yaitu sebesar Rp453 miliar atau 83,10% dari target PAD. Realisasi PAD yang cukup

optimal disumbang oleh penerimaan pajak daerah, retribusi yang memberi kontribusi

sebesar 74,29% dari total PAD yang diterima.


51

Tabel 5.6 Realisasi Pendapatan Hingga Triw II-2012

c. Gambaran APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah)

pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2013

Kinerja penyerapan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) pemerintah

Provinsi Sulawesi Tenggara pada Triwulan IV-2013 menunjukkan penyerapan yang

optimal. Dari total anggaran belanja sebesar Rp. 2.176,89 miliar, sebesar 83,28%

dari total anggaran belanja telah direalisasikan sepanjang tahun 2013. Atau dengan

kata lain sebanyak Rp 1.812,82 miliar telah dipergunakan untuk keperluan belanja

daerah. Persentase realisasi anggaran belanja terbesar ada pada belanja bagi hasil

(transfer) dan belanja operasi, masing-masing sebesar 90,96% dan 87,72% dari

anggara. Adapun belanja modal yang dianggarkan sebesar Rp. 603,33 miliar, pada

triwulan IV-2013 realisasinya mencapai Rp. 430,7 miliar atau 71,39% dari nominal

yang dialokasikan.
52

Dari sisi pendapatan, realisasi pendapatan APBD pada triwulan IV-2013 mengalami

pencapaian yang baik dan memenuhi sasaran anggaran pendapatan. Realisasi

pendapatan APBD secara nominal sebesar Rp. 1.969,13 miliar atau mencapai

100,88% dari total anggaran pendapatan. Pencapaian ini berasal dari pendapatan asli

daerah (PAD) yang meliputi pajak, retribusi dan laba perusahaan daerah, dan transfer

dana perimbangan. PAD pemerintah daerah Sulawesi Tenggara pada triwulan IV-

2013 terealisasi sebesar Rp 511,43 miliar atau mencapai 101,76% dari total PAD

yang dianggarkan untuk tahun 2013. Penyumbang PAD terbesar adalah pendapatan

pajak daerah yang mencapai Rp408,11 miliar atau 108,63% dari anggaran PAD yang

direncanakan untuk tahun 2013.

Tabel 5.7 Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah Sulawesi Tenggara Triwulan IV-2013

Realisasi Anggaran Belanja Pada APBD Triwulan IV-2013

Pada Triwulan IV-2013, realisasi anggaran belanja Pemerintah Propinsi

Sulawesi Tenggara tercatat sebesar Rp. 1.812,82 miliar atau sebanyak 83,28% yang

terserap dari total yang dianggarkan pada APBD tahun 2013. Belanja operasional
53

yang dianggarkan sebesar Rp 1.326,21 miliar dalam setahun telah terealisasi sebesar

87,72 %, dimana serapan tertinggi secara nominal pada belanja hibah dan belanja

barang masing-masing sebesar Rp 295,63 miliar dan Rp 259,29 miliar atau 96,21%

dan 87,20% dari total anggaran. Adapun penyerapan anggaran pada belanja pegawai

sebesar Rp 493,85 miliar atau sebesar 85,02% dari total anggaran belanja pegawai

pada APBD 2013.

Tabel 5.8 Realisasi Belanja Hingga Triwulan IV-2013 (Rupiah)

Sementara itu, kinerja belanja modal hingga Triwulan IV-2013 relatif belum optimal

dengan realisasi sebesar Rp. 430,71 miliar atau 71,39% dari anggaran yang di

alokasikan. Apabila dilihat strukturnya, belum optmalnya realisasi dan penyerapan

belanja modal dikarenakan masih kurang optimalnya realisasi belanja tanah yang

hanya mencapai Rp 1,934 miliar atau sebesar 6,93% dari total anggaran belanja
54

tanah pada APBD 2013 dengan nominal Rp 27,9 miliar. Sedangkan realisasi belanja

peralatan dan mesin, belanja bangunan dan gedung, belanja irigasi, jalan dan

jaringan, serta belanja aset tetap lainnya telah menunjukkan penyerapan yang

optimal pada Triwulan IV-2013, masing-masing belanja peralatan dan mesin yang

terealisasi sebesar Rp. 39,48 miliar atau 81,38%, belanja irigasi, jalan dan jaringan

tereaslisasi sebesar Rp. 654 juta atau 97,31 % dari total yang dianggarkan pada

APBD 2013. Serapan anggaran belanja modal yang belum optimal sampai dengan

akhir tahun 2013 ini dikhawatirkan berpotensi menghambat upaya untuk penyediaan

sarana insfrastruktur yang memadai dan layak bagi masyarakat dimana kondisi

tersebut pada akhirnya dapat menjadi disintesif bagi iklim investasi di SUlawesi

Tenggara. Pembangunan insfrastruktur yang baik dan berkelanjutan akan mendorong

pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Tenggara dan akan menjadi daya tarik investro

asing untuk menanamkan modal di Sulawesi Tenggara. Berdasarkan berbagai

informasi yang dihimpun, para pengusaha yang telah lama berada di Provinsi

Sulawesi Tenggara maupun para calon investor mengakui bahwa insfrastruktur yang

perlu dibenahi maupun ditambah adalah insfrastruktur jalan dan listrik. Diharapkan

pada periode ke depan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dapat lebih menaruh

perhatian pada pembanguann insfrastruktur dengan melakukan optimalisasi

penggunaan anggaran khususnya anggaran belanja modal.

Realisasi Anggaran Pendapatan Pada APBD Triwulan III-2013


55

Realisasi pendapatan daerah pada Triwulan IV-2013 tercatat telah mencapai

aloksi yang dianggarkan pada APBD 2013. Secara Nominal, Pendapatan yang

diterima oleh pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara sebesar Rp. 1.969,13 miliar

atau mencapai 100.88% dari total target pendapatan Pemerintah Provinsi Sulawesi

Tenggara. Pencapaian ini berasal dari transfer dana perimbangan dan pendapatan asli

daerah yang meliputi pajak, retribusi dan laba perusahaan daerah. Sumbangan

terbesar pendapatan daerah bersumber dari pendapatan transfer yang tercatat Rp.

1.451,89 miliar atau 100,58% dari yang dianggarkan sebesar Rp. 1.443,56 miliar.

Penyumbang terbesar dalam pendapatan transfer bersumber dari Dana Bagi Hasil

Bukan Pajak (Sumber Daya Alm) yang mencapai Rp, 59,38 miliar atau 149% dari

yang dianggarkan sebesar 39,77 miliar. Pada pos Pendapatan Asli Daerah,

optimalisasi perolehan pendapatan disumbang oleh pendapatan pajak daerah sebesar

Rp. 408,11 miliar atau mencapai 108,63% dari target yang di tetapkan dan juga

disumbang oleh hasil retribusi daerah sebesar Rp. 24,47 miliar atau mencapai

101,12% dari target yang ditetapkan pada APBD tahun 2013.

Tabel 5.9 Realisasi Pendapatan Hingga Triwulan IV-2013 (Rupiah)


56

d. Gambaran APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah)

pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2014

Realisasi pendapatan Sulawesi Tenggara terhadap anggaran pada tahun 2014

lebih tinggi jika dibandingkan dengan periode tahun 2013. Pendapatan Pemerintah

Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2014 mampu mencapai 101,95% dari target

dalam APBD, lebih tinggi dibandingkan dengan pencapaian tahun 2013 yang sebesar

100,88% (Tabel 2.1). Peningkatan capaian tersebut terutama karena komponen

Pendapatan Transfer mencapai 101,52% dari target dan komponen Pendapatan Lain-

Lain yang Sah mencapai 183,6% dari target. Pendapatan Provinsi Sulawesi Tenggara

yang berasal dari transfer Pemerintah Pusat naik cukup signifikan pada tahun 2014.

Pada periode laporan tercatat dana transfer ke Sulawesi Tenggara mencapai Rp 1,54

triliun, meningkat sebesar 6,73% (yoy). Peningkatan pendapatan transfer pada tahun
57

2014 yang diterima Provinsi Sulawesi Tenggara terutama berasal dari Dana Alokasi

Umum (DAU) yang mencapai Rp 1,05 triliun atau setara dengan 67,99% dari total

Dana Transfer ke Sulawesi Tengara di tahun 2014.

Tabel 5.10 Realisasi dan Pencapaian Target Pendapatan Pemerintah Sulawesi

Tenggara
58

Sejalan dengan peningkatan pendapatan daerah Sulawesi Tenggara, Pendapatan Asli

Daeah (PAD) juga mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan periode

sebelumnya. PAD tahun 2014 tercatat sebesar Rp 555,23 miliar, tumbuh sebesar

8,56% (yoy). Meskipun demikian, realisasi pencapaian PAD hanya mencapai

97,38% dari anggaran semula. Hal tersebut disebabkan adanya penurunan Hasil

Retribusi Daerah sebesar 25,26% (yoy). Kondisi sektor pertambangan yang

mengalami kontraksi turut memperlemah kinerja sektor pengangkutan dan sektor

perdagangan. Dengan demikian, sumber retribusi pemerintah juga terkena dampak

dari kondisi tersebut.

Seiring dengan kinerja di sisi pendapatan, penyerapan belanja APBD Provinsi

Sulawesi Tenggara pada tahun 2014 juga lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi

anggaran 2013. Realisasi belanja Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun

2014 mencapai 85,21% dari target, lebih tinggi daripada kinerja tahun 2013 yang

hanya mampu merealisasikan anggaran sebesar 83,28%. Peningkatan kinerja

keuangan pemerintah terutama didorong peningkatan daya serap belanja operasi dan

belanja modal. Belanja operasi telah direalisasikan sebesar 91,62% dan secara

nominal meningkat sebesar 14,47%

Tabel 5.11 Realisasi dan Pencapaian Target Belanja Pemerintah Sulawesi Tenggara
59

Sementara itu, belanja modal penyerapannya masih rendah pada tahun 2014 namun

mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Realisasi pos belanja

modal sampai akhir 2014 mencapai Rp553,49 miliar, meningkat sebesar 28,50%

(yoy) terutama pada pembangunan bangunan dan gedung. Sementara itu, belanja

modal untuk infrastruktur secara nominal mengalami penurunan sebesar 4,34%.

Sementara itu dari data Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Daerah (LKPP),

kinerja keuangan per bulan untuk Provinsi Sulawesi Tenggara menunjukkan

perkembangan yang baik sampai dengan realiasi bulan November 2014. Namun

pada akhir tahun realisasi anggaran belanja tidak dapat tercapai karena progres fisik

pembangunan maupun pengadaan barang yang belum selesai. Hal tersebut juga

dipengaruhi keterlambatan proses pelelangan barang dan jasa pada triwulan I 2014

yang berimbas pada kinerja keseluruhan tahun.


60

e. Gambaran APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah)

pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015

Pada tanggal 19 Desember 2014, DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara

menyetujui Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Anggaran Dan

Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) Tahun

Anggaran 2015 ditetapkan menjadi Perda. Disahkannya APBD pada akhir tahun

mendorong realisasi anggaran dan proses pengadaan barang dan jasa dapat dilakukan

lebih cepat.

Sesuai Perda APBD Sulawesi Tenggara tahun 2015 tersebut, total anggaran

pendapatan mencapai Rp2,263 triliun, meningkat sebesar 3,89% dari realisasi tahun

2014. Dari total pendapatan tersebut, sebanyak 58,4% merupakan pendapatan

transfer (dana perimbangan), 23,6% merupakan pendapatan asli daerah, dan sisanya

adalah dana penyesuaian dan otonomi khusus.

Sementara itu untuk anggaran belanja pada tahun 2015 mencapai Rp2.321,89 miliar,

meningkat sebesar 11,89% dari realiasi belanja tahun 2014. Dari anggaran belanja
61

tersebut, sebanyak 57,54% diperuntukkan dalam pos Belanja Tidak Langsung,

sementara 42,46% merupakan anggaran Belanja Langsung. Adapun pangsa belanja

modal dalam struktur APBD 2015 mencapai 25,51%. Meskipun pangsa belanja

modal lebih kecil daripada APBD 2014 namun secara nominal anggaran belanja

modal meningkat sebesar 7,05%


62

Struktur Anggaran dan Realisasi hingga Triwulan IV 2015

Keuangan Pemerintah di Sulawesi Tenggara terbagi atas keuangan

pemerintah daerah (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/APBD) dengan

keuangan pemerintah pusat di daerah, dengan porsi terbesar adalah APBD

Kabupaten/Kota. Keuangan pemerintah daerah terdiri atas APBD Provinsi Sulawesi

Tenggara dengan seluruh APBD Kabupaten dan Kota. Sementara keuangan

pemerintah pusat di daerah, merupakan anggaran instansi vertikal yang berada di

Sulawesi Tenggara. Total anggaran pemerintah daerah maupun anggaran pemerintah

pusat di daerah untuk Provinsi Sulawesi Tenggara mencapai Rp22,45 Triliun di


63

tahun 2015, meningkat sebesar 27,2% dibandingkan tahun 2014. Adapun porsi

terbesar adalah anggaran keuangan Pemerintah Kota/Kab sebesar 52,2% (Rp11,72

triliun), diikuti dengan anggaran keuangan bersumber dari APBN1 sebesar 37,4%

(Rp8,41 triliun) dan APBD Provinsi sebesar 10,3% (Rp2,32 triliun).

Sampai dengan akhir tahun 2015, total anggaran belanja yang sudah direalisasikan

adalah sebesar Rp18,1 triliun dengan pangsa terbesar didominasi oleh realisasi

anggaran APBN sebesar 93,5%, APBD sebesar 88,2% dan APBD Kota/Kabupaten

hanya sebesar 69,1%. Dengan demikian, masih ada ruang fiskal di Sulawesi

Tenggara sebesar Rp4,4 triliun sampai akhir 2015 yang tidak digunakan.

Berdasarkan data Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Daerah (LKPP),

kinerja keuangan per bulan untuk Provinsi Sulawesi Tenggara selama triwulan IV

2015 relatif rendah dibandingkan dengan target yang ditetapkan. Sampai dengan

triwulan IV 2015, kondisi realisasi keuangan Pemprov Sultra baru mencapai 88,2%

jauh di bawah target 100%. Sementara itu kondisi penyelesaian fisik baru mencapai

79,6%, jauh di bawah target 100%. Namun demikian, pencapaian tersebut lebih

tinggi jika dibandingkan periode tahun sebelumnya. Pada tahun 2014 tingkat

realisasi keuangan mencapai 86,3% dan penyelesaian fisik hanya sebesar 74,2%.

Adapun untuk realisasi belanja APBD Kota/Kabupaten relatif bervariasi antar

daerah. Daerah dengan realisasi sampai dengan triwulan IV 2015 yang terbesar

adalah di Kab. Kolaka Utara sebesar 93,4% diikuti dengan Kab. Bombana sebesar

88,1%. Sementara itu, daerah dengan realisasi terendah adalah di Kab. Konawe

Kepulauan yang baru merealisasikan anggarannya sebesar 29,4%.


64

Realisasi pendapatan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara terhadap

anggaran yang disediakan pada triwulan IV 2015 relatif lebih baik jika dibandingkan

realisasi pendapatan pemerintah daerah di periode yang sama tahun sebelumnya.

Pendapatan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara di triwulan IV 2015 terealisasi

senilai Rp2,47 triliun, atau sebesar 105,5% dari target total pendapatan dalam APBD

2015. Angka serapan tersebut tercatat jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan

realisasi di triwulan IV 2014 yang tercatat hanya sebesar Rp2,18 triliun atau 102,0%

dari target dalam APBD.

Kinerja positif realisasi pendapatan daerah tersebut secara dominan

disebabkan oleh sudah terealisasinya pendapatan asli daerah (PAD) yang pada

periode triwulan IV 2015 mencapai Rp684 miliar atau 126,9% dari target dalam

APBD. Peningkatan realisasi (PAD) pada periode laporan disebabkan oleh capaian

pendapatan pajak daerah yang mencapai 128,5% atau senilai Rp533,7 miliar.

Capaian tersebut jauh melebihi realisasi pada tahun 2014 yang tercatat hanya sebesar

88,4% atau Rp 413,2 miliar.

Sementara itu, pendapatan transfer pada periode triwulan IV tahun 2015

hanya mencapai 98,8% atau senilai Rp1,8 triliun, menurun jika dibandingkan dengan

triwulan IV 2014 yang tercatat sebesar 101,5% atau senilai Rp1,5 triliun.

Tabel 5.12 Realisasi dan Pencapaian Target Pendapatan Pemerintah Sulawesi Tenggara Pada

Triwulan IV 2015
65

Seperti halnya kinerja di sisi pendapatan, penyerapan anggaran belanja APBD

Provinsi Sulawesi Tenggara pada triwulan IV 2015 juga tercatat lebih tinggi

dibandingkan dengan realisasi anggaran di triwulan IV 2014. Realisasi belanja

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara pada periode laporan mencapai 88,2% atau

sebesar Rp2,7 triliun, jauh lebih tinggi dibandingkan kinerja pada periode yang sama

tahun sebelumnya yang hanya mampu merealisasikan anggaran sebesar 85,2%.

Peningkatan tersebut terutama didorong oleh peningkatan realisasi belanja modal

yang mencapai 83,1% atau sebesar Rp683,5 miliar. Beberapa hal yang menjadi

sumber peningkatan penyerapan anggaran adalah adanya program percepatan

realisasi anggaran oleh pemerintah daerah berupa pelaksanaan pelelangan 200

proyek secara masal pada saat HUT Sultra bulan April 2015 yang lalu serta
66

pemanfaatan fasilitas lelang secara elektronik yang berguna juga untuk transparansi

proses lelang.

Tabel 5.13 Realisasi dan Pencapaian Target Belanja Pemerintah Sulawesi Tenggara Pada

Triwulan IV 2015

Lebih lanjut, realisasi belanja operasi pemerintah daerah juga mengalami

perbaikan. Pada periode laporan tercatat realisasi belanja operasi mencapai 92,2%

atau sebesar Rp1,4 triliun, lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama

tahun lalu yang hanya mencapai 91,6% atau Rp1,3 triliun.

f. Gambaran APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah)

pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2016

Anggaran pendapatan dan belanja pada APBD 2016 meningkat relatif tinggi

dibandingkan tahun 2015. Dari sisi pendapatan, pada tahun 2016 diestimasikan

pendapatan pemerintah daerah sebesar Rp2,6 triliun atau meningkat sebesar 17,0%
67

dibandingkan dengan anggarantahun sebelumnya. Peningkatan tersebut terutama

terjadi pada pos dana penyesuaian dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Anggaran dana

penyesuaian bertambah sebesar Rp165 miliar atau mengalami peningkatan sebesar

40,5%. Sementara untuk DAK mengalami penambahan sebesar Rp117 miliar atau

meningkat sebesar 159,8% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Adapun

anggaran pos Pendapatan Asli Daerah (PAD) ditargetkan sebesar Rp558,4 miliar

atau meningkat 5,8% dibandingkan anggaran tahun 2015. Sumber anggaran PAD

utamanya berasal dari komponen pajak daerah yang mencapai 81,6% dari total

pendapatan asli daerah.

Sementara itu dari sisi belanja, tercatat anggaran belanja tahun 2016 sebesar Rp2,8

triliun atau meningkat 20,3% dibandingkan anggaran belanja tahun 2015.

Peningkatan anggaran belanja pada tahun 2016 tersebut didorong oleh meningkatnya

anggaran belanja modal sebesar Rp802,2 miliar. Hal tersebut sejalan dengan upaya

pemerintah daerah untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur di

Sulawesi Tenggara.

Secara historis, APBD Provinsi Sulawesi Tenggara selalu mencatatkan defisit sejak

tahun 2010. Namun pada APBD tahun 2016, defisit anggaran tercatat lebih tinggi

jika dibandingkan tahun sebelumnya. Defisit APBD tahun 2016 adalah sebesar

Rp127,6 miliar atau meningkat sebanyak Rp 84,3 miliar dibandingkan dengan

periode sebelumnya yang tercatat sebesar Rp43,3 miliar.


68

Realisasi pendapatan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara terhadap anggaran

yang disediakan pada triwulan III 2016 relatif lebih rendah jika dibandingkan

realisasi pendapatan

Tabel 5.14 Perbandingan Pencapaian Penyerapan Pendapatan Pemerintah Provinsi Sulawesi

Tenggara Triwulan III Tahun 2016

Pemerintah daerah di periode yang sama tahun sebelumnya. Pendapatan

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara di triwulan III 2016 terealisasi senilai

Rp1,94 triliun, atau sebesar 73,6% dari target total pendapatan dalam APBD 2016.

Angka serapan tersebut tercatat jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi

di triwulan III 2015 yang tercatat mampu mencapai 80,6% dari target dalam APBD

tahun 2015 atau sebesar Rp1,88 triliun.

Menurunnya realisasi pendapatan daerah tersebut disebabkan oleh penurunan

realisasi pendapatan transfer. Pendapatan transfer hingga bulan September 2016


69

tercatat hanya mampu terealisasi sebesar 72,2 % dari total target dalam APBD tahun

2016 atau sebesar Rp1,5 triliun. Padahal pada periode yang sama tahun 2015,

realisasi pendapatan mencapai 80,8% dari total target pendapatan transfer tahun

2015 atau sebesar Rp1,44 triliun. Menurunnya realisasi pendapatan terhadap target

tersebut selain disebabkan oleh meningkatnya target pendapatan transfer dari Rp1,7

triliun menjadi Rp2,1 triliun di tahun 2016, juga disebabkan oleh penurunan realisasi

pendapatan Dana Alokasi Umum (DAU) serta Dana Alokasi Khusus (DAK). Hingga

bulan September 2016, DAU hanya terealisasi sebesar Rp891,8 miliar atau sebesar

74,3% dari target. Sedangkan untuk DAK hingga akhir triwulan III masih terealisasi

sebesar Rp98,7 miliar (51.7% dari target). Adanya penurunan pencapaian tersebut

disebabkan adanya penundaan transfer dari pemerintah pusat.

Sementara untuk realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sampai dengan

triwulan III 2016 tercatat sebesar 446,8 miliar atau sebesar 80% dari total APBD

tahun 2016. Capaian tersebut meningkat jika dibandingkan dengan periode yang

sama pada tahun 2015 yang hanya mampu mencapai 78,1% dari target total

pendapatan dalam APBD tahun 2015. Peningkatan pencapaian tersebut disebabkan

oleh adanya peningkatan pencapaian pendapatan terutama pada pendapatan pajak

daerah yang meningkat. Hingga triwulan III 2016 pendapatan pajak daerah Sulawesi

Tenggara mencapai Rp371,6 milliar, mengalami peningkatan dibandingkan periode

tahun lalu yang hanya mencapai Rp350,7 miliar.

Sumber terbesar realisasi PAD Sulawesi Tenggara masih berasal dari

pendapatan pajak daerah. Hingga periode laporan Pemerintah Daerah Provinsi


70

Sulawesi Tenggara telah mampu merealisasikan pajak daerah mencapai 81,6% dari

total target pendapatan pajak daerah di tahun 2016. Adapun pajak daerah yang

dipungut oleh provinsi diantaranya adalah pajak kendaraan bermotor, bea balik nama

kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air permukaan

dan pajak rokok. Selain itu, realisasi hasil pengeloaan yang dipisahkan juga sudah

mencapai 103,5% dari target. Pos pendapatan ini berasal dari badan usaha milik

daerah (BUMD) yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara.

Tabel 5.15 Perbandingan Pencapaian Penyerapan Belanja Pemerintah Provinsi Sulawesi

Tenggara Triwulan III 2016


71

Sejalan dengan kinerja di sisi pendapatan, penyerapan anggaran belanja

APBD Provinsi Sulawesi Tenggara pada triwulan III 2016 juga tercatat lebih rendah

dibandingkan dengan realisasi anggaran di triwulan III 2015. Realisasi belanja

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara pada periode laporan mencapai 60,3% atau

sebesar Rp1,7 triliun, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun

sebelumnya yang mampu merealisasikan anggaran sebesar 68,7%.

Penurunan tersebut terjadi pada realisasi belanja operasional maupun belanja

modal. Realisasi belanja operasional mencapai 68,4% atau sebesar Rp1,2 triliun.

Rendahnya pencapaian tersebut disebabkan oleh belum optimalnya realisasi belanja

barang yang hanya mencapai 57,7%. Sedangkan, realisasi belanja modal pada

periode laporan juga menunjukkan kinerja yang kurang maksimal dengan tingkat

realisasi 48,5% atau sebesar Rp388,8 miliar. kondisi tersebut jauh menurun

dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang dapat
72

mencapai 66,9%. Penurunan tersebut disebabkan oleh rendahnya realisasi belanja

bangunan dan gedung yang mencapai 56,8% dan juga belanja jalan, irigasi dan

jaringan yang hanya sebesar 40,9% Berdasarkan data Lembaga Kebijakan

Pengadaan Barang/Jasa Daerah (LKPP), kinerja keuangan per bulan untuk Provinsi

Sulawesi Tenggara selama triwulan III 2016 relatif rendah dibandingkan dengan

target yang ditetapkan.

Sampai dengan triwulan III 2016, kondisi realisasi keuangan Pemprov Sultra

baru mencapai 61,6% jauh di bawah target 84,9%. Sementara itu kondisi

penyelesaian fisik baru mencapai 49,1%, jauh di bawah target 87,0%. Namun

pencapaian tersebut lebih tinggi jika dibandingkan periode tahun sebelumnya yang

hanya mencapai 56,9% untuk realisasi keuangan dan 41,7% untuk realisasi fisik.

Sementara untuk proses pengadaan barang dan jasa hingga akhir triwulan III 2016

tercatat bahwa dari total aktivitas strategis yang terdiri dari 818 paket atau senilai

Rp1,4 triliun, hanya sebanyak 44,01% yang berstatus provisional hand over (PHO)

atau telah di lakukan serah terima. Sedangkan yang sedang dalam tahap pelaksanaan

mencapai 21,3%. Sementara untuk yang dalam tahap tanda tangan kontak dan proses

pengadaan masing-masing tercatat sebesar 1,2% dan 0,6%. Sementara untuk sisanya

32,9% atau sebanyak 269 belum dalam tahap pengadaan.

5.2. Hasil Analisis Data

5.2.1. Deskripsi Variabel Penelitian

1) Statistik Deskriptif
73

Statistik deskriptif dalam penelitian ini disajikan untuk memberikan

informasi tentang karakteristik variabel penelitian, antara lain nilai minimum,

maksimum, mean, dan standar deviasi. Pengukuran rata-rata (mean) merupakan

cara yang paling umum digunakan untuk mengukur nilai sentral dari suatu

distribusi data, sedangkan standar deviasi merupakan perbedaan nilai data yang

diteliti dengan nilai rata-ratanya. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan

antara variabel bebas yaitu jumlah Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli

Daerah (PAD), Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA), Jenis dan Letak

Pemerintahan, dan variabel terikatnya yaitu Perilaku Oportunistik Penyusun

Anggaran (OPA). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder

yang berbentuk data runtut waktu (time series) dari tahun 2011 sampai dengan

2016 dan data seksi silang (cross section) yaitu DAU, PAD, SiLPA, yang

diperoleh dari Badan Pusat Statistik Sulawesi Tenggara (Sulawesi Tenggara

dalam Angka) Statistik deskriptif dalam penelitian ini ditunjukkan pada Tabel

5.3.

Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini menguji dan menganalisis

pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), SILPA dan

tata letak jenis terhadap Biaya Tidak Langsung/Biaya Operasional dengan

menggunakan unit analisis Kabupaten dan Kota di Sulawesi Tenggara dan periode

pengamatan 2011-2016. Oleh karena data penelitian menggabungkan data cross-

section dan time series, maka untuk menguji dan menganalisis tujuan penelitian

tersebut, penelitian ini menggunakan model regresi data panel dengan menggunakan
74

variabel dummy. Variabel dummy yang dimaksud adalah variabel tata letak dan jenis,

dengan angka 1 melambangkan tata letak dan jenis Kabupaten dan angka 0

melambangkan tata letak dan jenis Kota. Langkah-langkah analisis regresi data panel

secara umum dibagi dalam dua langkah utama, yaitu (1) menentukan model regresi

data panel dan (2) melakukan uji kelayakan model.

Rincian data total jumlah DAU, PAD, SiLPA Kabupaten/Kota di Sulawesi

Tenggara tahun 2011-2016 dapat ditunjukkan pada Tabel 5.16 sebagai berikut:

Tabel 5.16 total jumlah DAU, PAD, SiLPA Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara
tahun 2011-2016
Tahun DAU (Rp) PAD (Rp) Silpa (Rp) OPA (Rp)
2011 4.160.063.059.000 345.416.280.000 996.567.120.000 3.435.997.002.011
2012 5.107.820.846.000 292.204.130.000 581.420.990.000 3.808.378.002.012
2013 5.788.316.522.000 373.999.140.000 872.745.240.000 4.074.216.002.013
2014 6.356.762.253.000 566.244.550.000 768.620.130.000 4.576.363.002.014
2015 7.050.884.637.000 604.347.370.000 946.589.660.000 5.637.743.002.015
2016 8.280.852.064.000 691.976.510.000 891.744.540.000 6.932.729.002.016
Sumber: lampiran 2 (data diolah), 2019

Berdasarkan Tabel 5.16 menunjukkan bahwa setiap tahunnya jumlah DAU,

PAD dan OPA Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara dominan mengalami

peningkatan. Hanya SiLPA yang mengalami penurunan pada tahun 2012

sejumlah Rp. 581.420.990.000 dari Rp. 996.567.120.000, tahun 2014 Sejumlah

Rp. 768.620.130.000 dari Rp. 872.745.240.000 dan tahun 2016 sejumlah Rp

891.744.540.000 dari Rp. 946.589.660.000.

Rincian data total jumlah Anggaran Biaya Tak Langsung Kabupaten/Kota

di Sulawesi Tenggara tahun 2011-2016 dapat ditunjukkan pada Tabel 5.17

sebagai berikut:
75

No. Kabupaten/Kota 2011 2012 2013 2014 2015 2016


1 Buton 370.767.000.000 408.160.000.000 414.805.000.000 507.234.000.000 348.817.000.000 380.247.000.000
2 Muna 453.180.000.000 508.943.000.000 545.047.000.000 613.701.000.000 569.684.000.000 679.279.000.000
3 Konawe 426.566.000.000 456.645.000.000 506.281.000.000 505.670.000.000 574.504.000.000 661.895.000.000
4 Kolaka 389.642.000.000 420.284.000.000 502.119.000.000 431.125.000.000 447.114.000.000 519.860.000.000
5 Konawe Selatan 333.265.000.000 346.986.000.000 363.833.000.000 446.185.000.000 574.867.000.000 744.640.000.000
6 Bombana 189.588.000.000 232.636.000.000 241.228.000.000 266.736.000.000 342.459.000.000 425.246.000.000
7 Wakatobi 174.178.000.000 187.963.000.000 204.531.000.000 241.441.000.000 306.414.000.000 357.318.000.000
8 Kolaka Utara 175.054.000.000 205.640.000.000 228.047.000.000 236.091.000.000 304.407.000.000 395.929.000.000
9 Buton Utara 109.149.000.000 124.539.000.000 128.088.000.000 149.117.000.000 227.185.000.000 250.304.000.000
10 Konawe Utara 150.037.000.000 145.653.000.000 150.635.000.000 157.425.000.000 265.271.000.000 338.809.000.000
11 Kolaka Timur - - - 129.958.000.000 220.136.000.000 285.738.000.000
12 Konawe Kepulauan - - - - 96.256.000.000 129.700.000.000
13 Muna Barat - - - - 140.313.000.000 240.230.000.000
14 Buton Tengah - - - - 149.872.000.000 233.963.000.000
15 Buton Selatan - - - - 121.333.000.000 237.144.000.000
16 Kota Kendari 402.190.000.000 468.448.000.000 479.328.000.000 536.570.000.000 591.357.000.000 672.121.000.000
17 Kota Baubau 262.381.000.000 302.481.000.000 310.274.000.000 355.110.000.000 357.754.000.000 380.306.000.000
Jumlah 3.435.997.002.011 3.808.378.002.012 4.074.216.002.013 4.576.363.002.014 5.637.743.002.015 6.932.729.002.016

Sumber: lampiran 4 (data diolah), 2019

Berdasarkan Tabel 5.16 menunjukkan bahwa setiap tahunnya jumlah DAU, PAD

dan OPA Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara dominan mengalami peningkatan

5.2.2. Hasil Analisis Data

Penelitian ini meneliti tentang Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU),

Pendapatan Asli Daerah (PAD), Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA), Jenis dan

Letak Pemerintahan pada Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran (OPA)

Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara. Alat analisis di dalam penelitian ini

menggunakan pendekatan efek tetap (fixed effect). Pemilihan pendekatan fixed effect

berdasarkan Uji Hausman yaitu pengujian statistik untuk memilih model Fixed Effect

atau Random Effect yang paling tepat untuk digunakan. Hasil Uji Hausman

menemukan bahwa, pendekatan efek tetap yang memiliki hasil output regresi yang

paling sesuai dengan kebutuhan penelitian dibandingkan hasil output regresi data

panel yang lainnya seperti common size dan random effect. Berdasarkan perhitungan
76

yang telah dilakukan dengan menggunakan program Eviews 3.0 maka didapat hasil

sebagai berikut:

Tabel 5.17 Hasil Analisis Data Panel

Sumber: Lampiran 4 (data diolah), 2019

Dari Tabel 5.17 di atas dapat dibuat persamaan regresi berganda sebagai berikut:

Y = 0.600826 + 0.731482 DAU + 0.745673 PAD – 0.050270 SiLPA - 0.494863

JENIS DAN LETAK+ e

Persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa variabel Dana Alokasi Umum

dan Pendapatan Asli Daerah memiliki nilai koefisien positif. Sedangkan variabel Sisa

Lebih Perhitungan Anggaran memiliki nilai koefisien yang negatif. Apabila variabel

Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah dan sisa lebih perhitungan anggaran

bernilai nol, maka perilaku oportunistik penyusun anggaran akan bernilai 0.600826.

Hal ini menunjukkan bahwa ketika seorang penyusun anggaran kabupaten/kota di


77

Sulawesi Tenggara menggunakan DAU, PAD, dan SiLPA untuk menyusun

anggaran, maka penyusun anggaran Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara cenderung

melakukan perilaku oportunistik.

5.2.2.1. Menentukan Model Regresi Data Panel

Sebagaimana diketahui bahwa terdapat tiga model regresi dengan menggunakan

data panel, yaitu (1) Model Regresi OLS (CEM); (2) Model Fixed Effect (FEM); dan

(3) Model Random Effect (FEM), akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Pengujian menggunakan Common Effect Models (CEM)

Dalam pendekatan estimasi Common Effect Models, intersep dan slope adalah

tetap sepanjang waktu dan individu, adanya perbedaan intersep dan slope

diasumsikan akan dijelaskan oleh variabel gangguan (error atau residual), hal tersebut

dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5.5. Hasil Estimasi Common Effect Models (CEM)


Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.  

C -1.378115 0.475290 -2.899523 0.0050


DAU? 1.076547 0.081339 13.23532 0.0000
PAD? 0.662602 0.350953 1.888006 0.0634
SILPA? 0.177333 0.112793 1.572197 0.1206
LETAK? -0.262280 0.303672 -0.863695 0.3908

R-squared 0.813097    Mean dependent var 3.677887


Adjusted R-squared 0.801939    S.D. dependent var 1.541389
78

S.E. of regression 0.685981    Akaike info criterion 2.150981


Sum squared resid 31.52815    Schwarz criterion 2.309082
Log likelihood -72.43530    Hannan-Quinn criter. 2.213921
F-statistic 72.86887    Durbin-Watson stat 1.083983
Prob(F-statistic) 0.000000

Sumber: Lampiran 5 (data diolah), 2019

Berdasarkan tabel 5.x dengan menggunakan pendekatan Common Effect

Models (CEM) hasil regresi yang diperoleh yaitu: dimana nilai koefisien pada

variabel DAU sebesar 1,076547, variabel PAD sebesar 0,662602, variabel SILPA

sebesar 0,177333 dan variabel Letak pemerintahan sebesar -0,262280. Sementara

untuk nilai probabilitas variabel DAU sebesar 0,0000, variabel PAD sebesar 0,0634,

variabel SILPA sebesar 0,1206 dan variabel Letak pemerintahan sebesar 0,3908.

Nilai probabilitas < 0,05 menunjukkan bahwa hanya variabel variabel DAU

berpengaruh signifikan. Sedangkan nilai constantanya (C) sebesar -1.378115.

selanjutnya untuk nilai F-statistik sebesar 72,86887 dan nilai probabilitas F-statistik

sebesar 0,000000 memberikan makna bahwa Model ini memiliki nilai signifikan.

b. Pengujian menggunakan Fixed Effect Models (FEM)

Dalam pendekatan estimasi ini, tidak diperhatikan dimensi individu maupun

waktu. Diasumsikan bahwa perilaku data antar wilayah sama dalam berbagai kurun

waktu. Dari hasil pengolahan Program E-views sebagai berikut:


79

Tabel 5.6. Hasil Estimasi Fixed Effect Models (FEM)


Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.  

C 0.600826 0.714836 0.840508 0.4042


DAU? 0.731482 0.085852 8.520295 0.0000
PAD? 0.745673 0.367159 2.030929 0.0470
SILPA? -0.050270 0.091853 -0.547283 0.5864
LETAK? -0.494863 0.602349 -0.821555 0.4148
Fixed Effects (Cross)
_BAUBAU—C 0.260852
_BOMBANA--C -0.287491
_BUTON--C 0.548747
_BUTUR--C -0.996165
_KENDARI--C 0.588845
_KOLAKA--C 0.090748
_KOLUT--C -0.604119
_KONAWE--C 0.508839
_KONSEL--C 0.453837
_KONUT--C -1.232665
_MUNA--C 1.065099
_WAKATOBI--C -0.396528

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.917364    Mean dependent var 3.677887


Adjusted R-squared 0.895230    S.D. dependent var 1.541389
S.E. of regression 0.498921    Akaike info criterion 1.640391
Sum squared resid 13.93962    Schwarz criterion 2.146317
Log likelihood -43.05407    Hannan-Quinn criter. 1.841801
F-statistic 41.44486    Durbin-Watson stat 1.256079
Prob(F-statistic) 0.000000

Sumber: Lampiran 6 (data diolah), 2019

Berdasarkan hasil analisis regresi data panel dengan pendekatan Fixed Effect

Models (FEM) diatas dapat dilihat bahwa nilai probabilitas tiap individu yang

menunjukkan terdapat variabel signifikan yaitu variabel DAU dan PAD. Sedangkan

variabel SILPA dan Letak Pemerintahan tidak signifikan. Untuk nilai Adjusted R-

squared menunjukkan angka sebesar 0,895230 dan nilai F-statistik sebesar 41.44486.
80

Sedangkan nilai Probabilitas F-statistik sebesar 0,000000 yang memberikan arti

bahwa model ini memiliki nilai signifikan.

c. Pengujian menggunakan Random Effect Models (REM)

Dalam pendekatan penelitian ini, dengan data panel didasarkan adanya

perbedaan intersep dan slope sebagai akibat adanya perbedaan antar individu.

Tabel 5.7. Hasil Estimasi Random Effect Models (REM)


Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.  
81

C -0.749388 0.433007 -1.730660 0.0881


DAU? 0.944829 0.070125 13.47348 0.0000
PAD? 0.724984 0.302899 2.393483 0.0195
SILPA? 0.076491 0.086524 0.884043 0.3798
LETAK? -0.243831 0.291573 -0.836259 0.4060
Random Effects (Cross)
_BAUBAU--C 0.009085
_BOMBANA--C -0.033206
_BUTON--C 0.324947
_BUTUR--C -0.368343
_KENDARI--C 0.117003
_KOLAKA--C 0.007080
_KOLUT--C -0.227282
_KONAWE--C 0.180891
_KONSEL--C 0.155465
_KONUT--C -0.569617
_MUNA--C 0.483088
_WAKATOBI--C -0.079111

Effects Specification
S.D.   Rho  

Cross-section random 0.235172 0.1818


Idiosyncratic random 0.498921 0.8182

Weighted Statistics

R-squared 0.755082    Mean dependent var 2.407868


Adjusted R-squared 0.740460    S.D. dependent var 1.168114
S.E. of regression 0.595097    Sum squared resid 23.72739
F-statistic 51.64017    Durbin-Watson stat 1.064421
Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.801521    Mean dependent var 3.677887


Sum squared resid 33.48095    Durbin-Watson stat 0.754337

Sumber: Lampiran 7 (data diolah), 2019


Berdasarkan hasil analisis regresi dengan pendekatan Random Effect Models

(REM), dimana diperoleh nilai probabilitas variabel DAU sebesar 0,0000 dan

variabel PAD sebesar 0,0195 , dimana probabilitas kedua variabel tersebut < 0,05,

artinya kedua variabel tersebut memiliki pengaruh signifikan terhadap opportunistik

penyusun anggaran (OPA). Sementara variabel SILPA dan Letak pemerintahan

merupakan variabel yang tidak berpengaruh signifikan, dimana nilai probabilitas


82

masing-masing 0,3798 > 0,05 dan 0,4060 > 0,05. Sementara untuk nilai Adjusted R-

squared menunjukkan nilai sebesar 0,740460 dan nilai F-statistik sebesar 51,64017.

Sedangkan nilai probabilitas F-statistik sebesar 0,000000 yang memberikan arti

bahwa model ini memiliki nilai signifikan.

5.2.2.2. Penentuan Teknik Analisis Model data Panel

Untuk menentukan model regresi mana yang akan digunakan, terdapat tiga uji

yang harus dilakukan, yaitu uji Chow, Uji Hausman dan uji Lagrange Multiplier (LM

Test).

A. Uji Chow

Uji Chow digunakan untuk memilih antara CEM dan FEM. Uji ini dilakukan

setelah mengestimasi model CEM. Uji ini digunakan untuk memilih apakah model

CEM ataukah Model FEM yang akan dipilih. Kriteria pemilihan model

menggunakan nilai signifikan Cross-section F dengan nilai alpha 5%.

H1: Jika nilai signifikan Cross-section F lebih kecil dari nilai alpha 5%, maka model

yang dipilih adalah model FEM

H0: Jika nilai signifikan Cross-section F lebih besar dari nilai alpha 5%, maka model

yang dipilih adalah model CEM.

Untuk lebih jelasnya hasil olah data uji chow dapat dilihat pada tabel 5.8 berikut:

Tabel 5. 8. Hasil Uji Chow


83

Effects Test Statistic    d.f. Prob. 


Cross-section F 6.423528 (11,56) 0.0000
Cross-section Chi-square 58.762459 11 0.0000
Sumber: Lampiran 8 (data diolah), 2019

Dari hasil tabel 5.8, nilai yang dihasilkan dalam distribusi statistik terhadap

chi square berdasarkan hasil hitung dengan menggunakan E-views adalah sebesar

58,762459 dengan probabilitas yang dihasilkan 0,0000 yaitu menyatakan signifikan

karena < 0,05, sehingga statistik yang terjadi menerima H1 dan menolak H0, dimana

dalam hal ini pemilihan model yang tepat untuk digunakan yaitu model fixed effects.

B Uji Hausman

Uji Hausman digunakan untuk memilih antara model FEM dan REM. Uji ini

dilakukan setelah dilakukan uji Chow dan terpilih model FEM. Uji ini digunakan

untuk menentukan apakah model FEM atau REM yang akan digunakan dalam

analisis selanjutnya. Kriteria ujinya adalah dengan membandingkan nilai signifikansi

Cross-Section Random dengan nilai alpha 5%.

H1: Jika Cross-Section Random lebih kecil dari nilai alpha 5%, maka model yang

dipilih adalah FEM

H0: Jika Cross-Section Random lebih besar dari nilai alpha 5%, maka model yang

dipilih adalah REM.

Untuk lebih jelasnya hasil olah data uji chow dapat dilihat pada tabel 5.9 berikut:

Tabel 5. 9. Hasil Uji Hausman


Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob. 
Cross-section random 32.320633 4 0.0000
Sumber: Data Sekunder Diolah (2019)
84

Berdasarkan tabel di atas, dimana diperoleh untuk nilai chi- squares sebesar

32,320633. Sedangkan untuk nilai probabilitasnya 0,0000 > 0,05, artinya dalam hal

ini H0 ditolak dan H1 diterima, sehingga untuk pemilihan model yang akan tepat

untuk digunakan pada penelitian ini yaitu model Fixed Effect Models (FEM).

Uji LM untuk memilih antara model CEM dan REM. Uji ini dilakukan setelah

uji Chow dan model CEM yang dipilih. Uji ini digunakan untuk menentukan apakah

model CEM atau Model REM yang akan digunakan dalam analisis selanjutnya.

Kriteria ujinya dengan membandingkan nilai Cross-Section Breusch Pagan dengan

nilai alpha 5%. Jika nilai Cross-Section Breusch Pagan lebih kecil dari nilai alpha

5%, maka model REM yang dipilih sebaliknya model CEM.

Berdasarkan hasil pengolahan data pada lampiran penelitian, maka langkah

pertama untuk menentukan model regresi adalah membanding antara model CEM

dan FEM degan menggunakan uji Chow. Untuk lebih jelasnya hasil olah data uji

chow dapat dilihat pada tabel 5.9 berikut:

Tabel 5.9 Hasil Uji Chow


Effects Test Statistic    d.f. Prob. 
Cross-section F 6.423528 (11,56) 0.0000
Cross-section Chi-square 58.762459 11 0.0000
Sumber: Data Sekunder Diolah (2019)
85

Hasil uji Chow menunjukkan bahwa nilai signifikan Cross-section F (0.0000) lebih

kecil dari nilai alpha 5%. Berdasarkan hasil uji ini, model yang tepat adalah model

FEM. Oleh karena model FEM yang terpilih, maka selanjutnya dilakukan uji

Hausman. Hasil uji Hausman sebagaimana terlihat pada Tabel di bawah ini.

Tabel 5.10 Hasil Uji Hausman


Test Summary Chi-Sq. Chi-Sq. d.f. Prob. 
Statistic
Cross-section random 32.320633 4 0.0000
Sumber: Data Sekunder Diolah (2019)

Hasil uji Hausman menunjukkan bahwa nilai signifikan Cross-section random

(0.0000) lebih kecil dari nilai alpha 5%. Berdasarkan hasil uji ini, model yang tepat

adalah model FEM. Dengan demikian maka untuk membuktikan hipotesis yang telah

diajukan dalam penelitian ini adalah menggunakan model FEM.

5.2.2.3.Analisis Regresi Fixed Effect Models (FEM)

Berdasarkan hasil uji Chow dan uji Hausman bahwa model yang digunakan

untuk membuktikan hipotesis yang telah diajukan dalam penelitian ini adalah “Model

Regresi Fixed Effect Models (FEM)”. Hasil estimasi parameter dengan

menggunakan model FEM terlihat pada Tabel 5.11

Tabel 5.11 Hasil FEM


Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.  
86

C 0.600826 0.714836 0.840508 0.4042


DAU? 0.731482 0.085852 8.520295 0.0000
PAD? 0.745673 0.367159 2.030929 0.0470
SILPA? -0.050270 0.091853 -0.547283 0.5864
LETAK? -0.494863 0.602349 -0.821555 0.4148
Fixed Effects (Cross)
_BAUBAU—C 0.260852
_BOMBANA--C -0.287491
_BUTON--C 0.548747
_BUTUR--C -0.996165
_KENDARI--C 0.588845
_KOLAKA--C 0.090748
_KOLUT--C -0.604119
_KONAWE--C 0.508839
_KONSEL--C 0.453837
_KONUT--C -1.232665
_MUNA--C 1.065099
_WAKATOBI--C -0.396528

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.917364    Mean dependent var 3.677887


Adjusted R-squared 0.895230    S.D. dependent var 1.541389
S.E. of regression 0.498921    Akaike info criterion 1.640391
Sum squared resid 13.93962    Schwarz criterion 2.146317
Log likelihood -43.05407    Hannan-Quinn criter. 1.841801
F-statistic 41.44486    Durbin-Watson stat 1.256079
Prob(F-statistic) 0.000000

Sumber: Data Sekunder Diolah (2019)

Berdasarkan hasil regresi dengan FEM, maka diperoleh nilai koefisien regresi

untuk setiap variabel sehingga diperoleh dengan persamaa sebagai berikut :

Hasil persamaan regresi antara DAU, PAD, SiLPA dan Letak Pemerintahan yang

mempengaruhi Opportunistik Penyusun Anggara (OPA) di Indonesia sebagai berikut:

OPA= α i+b1DAU+b2PAD+b3SiLPA+b4Letak
87

Berdasarkan hasil analisis di atas maka dapat di tuliskan model persamaannya sebagai

berikut:

OPA=0,600826 +0,731482DAU+0,745673PAD-0,050270SiLPA-0,494863Letak.

Dari persamaan tersebut, dapat di Interpretasikan sebaagi berikut :

a) Nilai Konstanta sebesar 0,600826, artinya apabila di asumsikan variabel DAU,

PAD, SILPA serta Letak pemerintahan dianggap konstan, maka OPA akan

bertambah sebesar 0,600826%.

b) Koefisien regresi DAU sebesar 0,731482 artinya apabila variabel DAU

diasumsikan mengalami perubahan sebesar 1% maka variabel OPA akan

bertambah sebesar 0,731482%.

c) Koefisien regresi PAD sebesar 0,745673 artinya apabila variabel PAD

diasumsikan mengalami perubahan sebesar 1% maka OPA akan bertambah

sebesar 0,745673%.

d) Koefisien regresi SILPA sebesar -0,050270 artinya apabila variabel SILPA

diasumsikan mengalami perubahan sebesar 1% maka OPA akan menurun

sebesar 0,050270%.

e) Koefisien regresi Letak Pemerintahan sebesar -0,494863 artinya apabila variabel

letak pemerintahan diasumsikan mengalami perubahan sebesar 1% maka OPA

akan menurun sebesar 0,494863%.

5.2.2.4.Uji Asumsi Klasik


88

a. Normalitas

Uji normalitas dilakukan dengan membandingkan nilai probability Jarque-

Bera dengan nilai alpha 5%. Jika nilai probability Jarque-Bera lebih besar dari nilai

alpha 5%, maka data berdistribusi normal.

Gambar 5.1. Hasil Uji Normalitas


16
Series: Standardized Residuals
14 Sample 2011 2016
12
Observations 72

10 Mean -4.56e-16
Median -0.044599
8
Maximum 2.089299
6 Minimum -1.624262
Std. Dev. 0.666377
4
Skewness 0.374739
2 Kurtosis 3.814477

0 Jarque-Bera 3.675269
-1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 Probability 0.159194

Sumber: Data Sekunder Diolah (2019)

Berdasarkan gambar diatas, maka dapat disimpulkan bahwa data pada penelitian ini

telah terdistribusi dengan normal, dimana nilai probability Jarque –Bera nya sebesar

0,159194 > 0,05.

b. Heterokedasitas

Uji heterokedasitas dilakukan dengan membandingkan nilai probability

Likelihood ratio dengan nilai alpha 5%. Jika nilai probability Likelihood ratio lebih

besar dari nilai alpha 5%, maka tidak mengandung gejala heterokedasitas.

Tabel 5.12Uji Heterokedasitas


Value Df Probability
Likelihood ratio  4.746977  12  0.9659
89

Sumber: Data Sekunder Diolah (2019)

Berdasarkan tabel 5.xx di atas, menunjukkan nilai probability Likelihood sebesar

0,9659 < 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa data penelitian ini tidak terjadi

heteroskedastisitas.

5.2.2.5.Koefisien Determinasi (R-Squared)

Berdasarkan tabel 5. Xxx (no tabel FEM), untuk mengetahui kebaikan sebuah

model dalam memprediksi OPA ditunjukkan dengan nilai R-Squared sebesar 0,9174

dan nilai Adjusted R-square sebesar 0,8952. Artinya, variabel OPA mampu dijelaskan

oleh variabel DAU, PAD, SILPA dan Letak pemerintahan sebesar 89,52%, dan

sisanya sebesar 10,48% dijelaskan oleh variabel lain diluar model penelitian ini.

5.2.2.6.Pengujian Hipotesis

a. Uji Parsial (Uji t)

Uji t dilakukan untuk mengetahui signifikansi atau tidaknya masing-masing

variabel independen terhadap variabel dependen secara individu. Dari hasil estimasi

regresi data panel dengan Fixed Effect Models (FEM) dapat dilihat hasil uji parsial

masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat sebagai berikut:

Tabel 5.13 Uji t


Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.  

C 0.600826 0.714836 0.840508 0.4042


DAU? 0.731482 0.085852 8.520295 0.0000
PAD? 0.745673 0.367159 2.030929 0.0470
90

SILPA? -0.050270 0.091853 -0.547283 0.5864


LETAK? -0.494863 0.602349 -0.821555 0.4148
Sumber: Data Sekunder Diolah (2019)

Berdasarkan tabel diatas, maka untuk hasil pembahasan pengujian hipotesis secara

parsial adalah sebagai berikut:

a. Variabel DAU

Dari hasil estimasi, di dapatkan nilai t-hitung sebesar 8,520295 dan jika dilihat

dari besarnya nilai probabilitas DAU yaitu 0,0000 sehingga probabilitas DAU lebih

kecil dari nilai alpha 5% (0,0000 < 0,05) maka disimpulkan bahwa variabel DAU

memiliki pengaruh yang signifikan dan juga berpengaruh positif terhadap OPA yang

di tunjukkan oleh koefisien regresi sebesar 0,731482.

b. Variable PAD

Dari hasil estimasi, di dapatkan nilai t-hitung sebesar 2,030929 dan jika dilihat

dari besarnya nilai probabilitas PAD yaitu 0,0470 sehingga probabilitas PAD lebih

kecil dari nilai alpha 5% (0,0470 < 0,05) maka disimpulkan bahwa variabel PAD

memiliki pengaruh yang signifikan dan juga berpengaruh positif terhadap OPA yang

di tunjukkan oleh koefisien regresi sebesar 0,745673.

c. Variabel SilPA
91

Dari hasil estimasi, di dapatkan nilai t-hitung sebesar -0,547283 dan jika

dilihat dari besarnya nilai probabilitas SILPA yaitu 0,5864 sehingga probabilitas

SILPA lebih besar dari nilai alpha 5% (0,5864 > 0,05) maka disimpulkan bahwa

variabel SILPA memiliki pengaruh yang tidak signifikan dan juga berpengaruh

negatif terhadap OPA yang di tunjukkan oleh koefisien regresi sebesar -0,050270.

d. Jenis dan Letak Pemerintahan

Dari hasil estimasi, di dapatkan nilai t-hitung sebesar -0,821555 dan jika dilihat

dari besarnya nilai probabilitas JENIS DAN LETAK yaitu 0,4148 sehingga

probabilitas JENIS DAN LETAK lebih besar dari nilai alpha 5% (0,4148 < 0,05)

maka disimpulkan bahwa variabel JENIS DAN LETAK memiliki pengaruh yang

tidak signifikan dan juga berpengaruh negatif terhadap OPA yang di tunjukkan oleh

koefisien regresi sebesar -0,494863.

5.3. Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis statistik mengenai Pengaruh Dana Alokasi Umum

(X1), Pendapatan Asli Daerah (X2), Sisa lebih Perhitungan Anggaran (X3), dan Jenis

dan Letak Pemerintahan (X4), terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran

Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara, maka secara lengkap dan jelas dapat dilihat

pada masing-masing pembahasan sebagai berikut.

5.3.1. Pengaruh DAU terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran


92

Berdasarkan hasil analisis penelitian, menunjukkan bahwa variabel Dana

Alokasi Umum berpengaruh positif dan signifikan terhadap Perilaku Oportunistik

Penyusun Anggaran dengan nilai t-hitung sebesar 8,520295 dan besarnya nilai

probabilitas DAU sebesar 0,0000 (0,0000 < 0,05).

Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan variabel Dana Alokasi Umum maka

Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran akan naik. Oleh karena itu besar kecilnya

DAU dapat mempengaruhi terjadinya perilaku oportunistik penyusun anggaran. DAU

ini sebenarnya adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang

dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk

mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dengan

demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan didalam APBN dari pemerintah

pusat ke pemerintah daerah. Pemerintah daerah secara leluasa dapat menggunakan

dana ini untuk memberi pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat atau untuk

keperluan lain yang tidak penting.

DAU dialokasikan untuk daerah provinsi, kabupaten dan kota yang besarannya

ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari pendapatan dalam negeri netto yang

ditetapkan dalam APBN. Proporsi DAU untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota

ditetapkan sesuai dengan imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota.

DAU bersifat block Grand yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah

sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pembangunan

kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.


93

Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdullah (2012) tentang

faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku oportunistik legislatif menyatakan bahwa

dana perimbangan (dana alokasi umum) merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi perilaku oportunistik legislatif. Hal ini juga sama dengan penelitian

yang dilakukan Bartolini and Santolini, 2007 Kecenderungan perilaku oportunistik

yang dilakukan politisi pada level pemerintah daerah tidak dapat dilakukan pada sisi

pendapatan, karena pendapatan daerah sebagian besar bersumber dari dana

transfer pemerintah pusat, juga sama dengan penelitian Oktririniatmaja (2011)

menyatakan bahwa DAU berpengaruh positif terhadap peningkatan alokasi belanja

modal.

Berdasarkan UU 33/2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah

pusat dan pemerintah daerah, Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang

bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan

kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka

pelaksanaan desentralisasi. Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan

didalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pemerintah daerah

secara leluasa dapat menggunakan dana ini untuk memberi pelayanan yang lebih

baik kepada masyarakat atau untuk keperluan lain yang tidak penting. Terjadinya

misalokasi dalam anggaran belanja pemerintah terkait dengan perilaku oportunistik

politisi dan aparat pemerintah. Besarnya kewenangan legislatif dalam proses

penyusunan anggaran membuka ruang bagi legislatif untuk memaksakan

kepentingan pribadinya. Untuk merealisasikan kepentingan pribadinya, legislatif


94

akan merekomendasikan eksekutif untuk menaikkan alokasi pada sektor sektor yang

mendukung kepentingannya. Legislatif cenderung mengusulkan pengurangan atas

alokasi untuk pendidikan, kesehatan dan belanja publik lainnya yang tidak bersifat

job programs dan targetable.

Preferensi legislatif memiliki tiga kemungkinan konsekuensi pada belanja

sektor lain, yakni: (1) mengurangi alokasi untuk belanja lain apabila jumlah belanja

secara keseluruhan tidak bertambah; (2) tidak merubah alokasi sektor lain jika

jumlah belanja bertambah; atau (3) kombinasi keduanya, yakni alokasi untuk sektor

lain berkurang walalupun jumlah belanja secara keseluruhan bertambah.

5.3.2. Pengaruh PAD terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran

Berdasarkan hasil analisis penelitian, menunjukkan bahwa variabel

Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap Perilaku

Oportunistik Penyusun Anggaran dengan nilai t-hitung sebesar 2,030929 dan jika

dilihat dari besarnya nilai probabilitas PAD yaitu 0,0470 sehingga probabilitas PAD

lebih kecil dari nilai alpha 5% (0,0470 < 0,05) Hal ini mengindikasikan bahwa

kenaikan variabel Pendapatan Asli Daerah maka Perilaku Oportunistik Penyusun

Anggaran akan naik. Pembuktian secara empiris ini bahwa upaya pihak berwenang
95

dalam melakukan perilaku oportunistik mempengaruhi keputusan alokasi anggaran

belanja di APBD untuk memenuhi kepentingan pribadinya maupun secara

berkelompok. Oleh karena itu perubahan pendapatan asli daerah berpengaruh

terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran tidak dapat ditolak, dimana bahwa

PAD merupakan jalan bagi pihak berwenang untuk melakukan “Political Corrution”

dalam kerangka regulasi yang sah (legal corruption) dapat dibuktikan ketika

perubahan atau kenaikan anggaran/ target PAD digunakan sebagai dasar untuk

melakukan alokasi tambahan belanja.

Pendapatan asli daerah sebenarnya dipungut berdasarkan peraturan daerah

sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pendapatan asli daerah sebagai

sumber penerimaan daerah yang perlu terus ditingkatkan agar dapat menanggung

sebagian belanja yang diperlukan untuk penyelenggaraan pemerintah dan kegiatan

pembangunan yang setiap tahun meningkat sehingga kemandirian otonomi daerah

yang luas, nyata dan bertanggung jawab dapat dilaksanakan (Nurlan Darise,

2006:43).

Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah

adalah pendapatan yang diperoleh daerah dan dipungut berdasarkan peraturan daerah

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan peraturan perundang-

undangan (UU No 33 Tahun 2004 pasal 1, ayat 18) sumber pendapatan asli daerah

diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah

yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Sumber-sumber penerimaan PAD

harus dicari terus untuk digunakan sebagai pembiayaan pengeluaran rutin dan
96

pengeluaran pembangunan daerah dalam era otonomi daerah. Pendapatan Asli

Daerah memiliki tujuan untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah

sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi.

Secara konseptual perubahan APBD akan berengaruh terhadap belanja, namun

tidak selalu seluruh tambahan pendapatan tersebut akan dialokasikan dalam belanja.

Perubahan APBD menjadi sarana bagi pihak berwenang untuk merubah alokasi

anggaran secara legal. Perilaku oportunistik penyusun anggaran saat perubahan

APBD dapat mengakibatkan terjadinya mis-alokasi anggaran belanja pemerintah.

Proporsi PAD rata-rata hanya 9% dari total penerimaan daerah memiliki

kecenderungan bertambah saat perubahan anggaran. Hal ini membuka peluang bagi

pihak berwenang untuk merekomendasikan penambahan anggaran bagi program dan

kegiatan yang menjadi preferensinya. Oleh karena itu pihak penyusun anggaran

melakukan polotical corruption melalui realisasi discreationary power yang

dimilikinya dalam penganggaran, hal ini terjadi karena pihak penyusun anggaran

memanfaatkan celah yang ada untuk membuat keputusan anggaran melalui

penggunaan kenaikan anggaran PAD sebagai sumber pembiayaan untuk usulan

kegiatan baru, sehingga perilaku oportunistik penyusun anggaran seakan-akan

didukung oleh perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian dari Abdullah (2006),

Darwanto (2007), Florensia (2009), Fathony (2011), Musripah (2014), Adi (2014)

dan Havid (2014) yang menyatakan bahwa PAD berpengaruh positif pada perilaku

oportunistik penyusun anggaran. Jumlah PAD yang kecil membawa kecenderungan


97

dampak psikologis perilaku pegawai dalam melaksanakan tugasnya. Akibat dari

tingkat kesejahteraan pegawai yang semakin kecil, sehingga membuka peluang

untuk melakukan perilaku oportunistik penyusun anggaran dalam bentuk tindakan-

tindakan ilegal. Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia melalui Otonomi Daerah

membawa banyak perubahan dalam sistem pemerintahan (Sholeh, 2013). Namun,

setelah berjalan belasan tahun, lebih dari 60 persen daerah otonomi dinyatakan gagal

oleh Kemendagri. Kegagalan ini tampak berdasarkan indikator bahwa daerah

otonomi tidak bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat, PAD tidak bertambah dan

malah jadi beban anggaran bagi daerah induk yang dimekarkan serta makin

banyaknya tersangka korupsi (Suadi, 2014).

Penyalahgunaan anggaran di dalam otonomi daerah menjadi sorotan khusus

karena ketidakberhasilan dalam mensejahterakan masyarakat dan meningkatkan

PAD (www.medanbisnisdaily.com). Selain itu, jika dihubungkan dengan teori

keagenan dalam penganggaran antara eksekutif dan legislatif merupakan satu

kesatuan yang sangat sulit dipisahkan. Eksekutif sebagai agen bagi legislatif dan

publik (dual accountability), sedangkan legislatif merupakan agen bagi publik.

Eksekutif sebagai agen cenderung menjadi budget maximizer karena melihat

kesempatan untuk melakukan perilaku oportunistik berupa moral hazard dan

adversed selection (Abdullah, 2006)..

5.3.3. Pengaruh SiLPA terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun

Anggaran
98

Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan di ketahui bahwa SiLPA

berpengaruh negatif dan tidak signifikan pada perilaku Opportunistik Penyusun

Anggaran dengan nilai t-hitung sebesar -0,547283 dan jika dilihat dari besarnya nilai

probabilitas SILPA yaitu 0,5864 sehingga probabilitas SILPA lebih besar dari nilai

alpha 5% (0,5864 > 0,05) maka disimpulkan bahwa variabel SILPA memiliki

pengaruh yang tidak signifikan dan juga berpengaruh negatif terhadap OPA yang di

tunjukkan oleh koefisien regresi sebesar -0,050270. Hal ini mengindikasikan bahwa

kenaikan variabel Sisa Lebih Perhitungan Anggaran maka Perilaku Oportunistik

Penyusun Anggaran akan turun. Oleh karena itu setiap perubahan SiLPA berbanding

terbalik terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran yang akan terjadi.

Menurut teori selisih lebih perhitungan anggaran (Silpa) sebenarnya

merupakan indikator efisiensi, karena Silpa akan terbentuk bila terjadi surplus

pembiayaan neto. Silpa yang merupakan penerimaan daerah yang bersumber dari

sisa kas tahun anggaran sebelumnya untuk menutupi defisit anggaran apabila

realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja.

Silpa merupakan penerimaan daerah yang bersumber dari sisa kas tahun

anggaran sebelumnya menurut Abdullah (2013). Menurut teori keagenan, apabila

Silpa digelembungkan maka semakin besar dana yang digunakan untuk belanja,

sehingga meningkat pula perilaku oportunistik penyusun anggaran. Sisa Lebih

Pembiayaan Anggaran (SiLPA) atau Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SiKPA)

adalah selisih lebih/kurang antara realisasi pendapatan-LRA dan belanja, serta

penerimaan dan pengeluaran pembiayaan dalam APBN/APBD selama satu periode


99

pelaporan (PP 71 2010). SiLPA yang relatif tinggi mengindikasikan belum

optimalnya pemanfaatan dana APBD oleh Pemda dalam penyediaan layanan publik

dan pembangunan ekonomi di daerah. SiLPA relatif tinggi terjadi karena senjangan

anggaran (budgetary slack) baik di sisi pendapatan maupun belanja. Penetapan target

PAD relatif moderat yang dimaksudkan untuk mengamankan kepastian sumber

pendanaan belanja daerah atau agar mendapatkan penilaian kinerja yang baik karena

realisasi PAD lebih besar dari targetnya. Penetapan belanja terjadi karena penetapan

pagu belanja daerah yang optimis untuk mengantisipasi adanya pemotongan

anggaran atau untuk mengakomodir adanya penerimaan lain yang salah satunya

adalah SiLPA tahun sebelumnya. Penyusun anggaran mempunyai kecenderungan

melakukan mark-up belanja dan mark-down pendapatan, sehingga efisiensi yang

ditunjukkan dari besaran SiLPA hanya bersifat semu ketika output anggaran tidak

tercapai. Sularso et al. (2014) menyatakan mekanisme perubahan APBD menjadi

sarana legal untuk menganggarkan kembali SiLPA tahun sebelumnya. SiLPA dapat

dialokasikan untuk belanja sesuai preferensi penyusun anggaran sehingga membuka

ruang terjadinya perilaku oportunistik.

Florensia (2009) menyatakan SiLPA tidak berpengaruh terhadap perilaku

oportunistik. Hal ini sejalan dengan hasil temuan dalam penelitian ini yang

mengkonfirmasi bahwa SILPA berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap

perilaku opportunistik penyusun anggaran, kondisi ini disebabkan karena hasil dari

SILPA itu sendiri yang fluktuatif setiap tahunnya tergantung pada besaran

penyerapan anggaran dalam setiap tahunnya sehingga penyusun anggaran tidak bisa
100

secara seratus persen untuk memprediksikan berapa besarnya dana silpa yang akan

“disalahkangunakan” oleh penyusun anggaran pada tahun tertentu sebelum tahun

anggaran dalam setahunnya terselesaikan. Penelitian ini tidak sejalan dengan hasil

penelitian Asmara (2010), Sularso dkk. (2014), Sayu Made Parwati, Dkk (2015) .

5.3.4. Pengaruh Jenis dan Letak Pemerintahan terhadap Perilaku Oportunistik

Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan di ketahui bahwa Jenis dan

Letak Pemerintahan berpengaruh negatif dan tidak signifikan pada perilaku

Opportunistik Penyusun Anggaran dengan nilai t-hitung sebesar -0,821555 dan jika

dilihat dari besarnya nilai probabilitas jenis dan letak yaitu 0,4148 sehingga

probabilitas jenis dan letak lebih besar dari nilai alpha 5% (0,4148 < 0,05) maka

disimpulkan bahwa variabel jenis dan letak memiliki pengaruh yang tidak signifikan

dan juga berpengaruh negatif terhadap OPA yang di tunjukkan oleh koefisien regresi

sebesar -0,494863. Hipotesis 4 (H4) menunjukkan bahwa variabel Jenis dan Letak

Pemerintahan berpengaruh positif dan signifikan terhadap Perilaku Oportunistik

Penyusun Anggaran. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan di ketahui bahwa

variabel Jenis dan Letak Pemerintahan berpengaruh negatif dan tidak signifikan

terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran. Oleh karena itu perilaku

oportunistik penyusun anggaran dapat dilakukan tidak tergantung pada status suatu

daerah, baik kabupaten maupun kota.

Jenis dan Letak Pemerintahan dapat di samakan sebagai status daerah, dimana

pandangan bahwa status daerah mempengaruhi kelengkapan pengungkapan

informasi penggunaan anggaran dikarenakan adanya perbedaan karakteristik


101

masyarakat dan struktur pendapatan antar daerah. Secara teori perbedaan ini dapat

berimplikasi pada kontrol sosial yang berbeda pula (Abdullah, 2004). Kontrol sosial

pada penduduk kota cenderung lebih kuat, sehingga Pemerintah Daerah yang

berstatus sebagai Kota akan cenderung mematuhi standar anggaran. Namun hasil dari

penelitian ini menemukan bahwa kota kendari dan kota baubau masuk dalam daerah

yang melakukan tindakan korupsi bersama dengan kabupaten-kabupaten lainnya di

sulawesi tenggara. Seyogyanya Kota Kendari dan kota baubau mampu menjadi

contoh ataupun panutan bagi kabupaten-kabupaten lain yang ada di Sultra dalam hal

penanganan perilaku opportunistik anggaran jika dilihat dari sisi statusnya sebagai

kota yang memiliki sumber daya yang jauh lebih baik dari kabupaten.

Pengaruh jenis dan letak pemerintah daerah dalam penelitian ini memberikan bukti

bahwa intensitas perilaku oportunistik penyusun anggaran tidak berkaitan dengan

status daerah sebagai kota atau kabupaten. Pandangan bahwa perilaku oportunistik

penyusun anggaran di tingkat Kabupaten lebih besar dari pada di tingkat Kotamadya

bersumber dari anggapan bahwa social control dari stakeholders di luar

pemerintahan terhadap pelaksanaan pelayanan publik dan perilaku anggota legislatif

tidak terbukti.
102

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pengaruh DAU, PAD,

SiLPA dan Jenis dan Letak Pemerintahan terhadap perilaku opportunistik penyusun

anggaran dengan menggunakan data panel 2011 sampai 2016 di propinsi Sulawesi

Tenggara dan menggunakan pendekatan FEM maka dapat di simpulkan sebaagi

berikut :

1. Variabel DAU berpengaruh signifikan dan positif terhadap perilaku oportunistik

penyusun anggaran di Kabupaten/Kota se Sulawesi Tenggara. kenaikan variabel

Dana Alokasi Umum maka Perilaku oportunistik penyusun anggaran akan naik.

Oleh karena itu besar kecilnya DAU dapat mempengaruhi terjadinya perilaku

oportunistik penyusun anggaran.

2. Variabel pendapatan asli daerah berpengaruh signifikan dan positif terhadap

perilaku oportunistik penyusun anggaran. kenaikan variabel Pendapatan Asli


103

Daerah maka Perilaku oportunistik penyusun anggaran akan naik. Pembuktian

secara empiris ini bahwa upaya pihak berwenang dalam melakukan perilaku

oportunistik mempengaruhi keputusan alokasi anggaran belanja di APBD untuk

memenuhi kepentingan pribadinya maupun secara berkelompok.

3. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa SiLPA berpengaruh tidak signifikan dan

negatif terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran. Kenaikan variabel

Sisa Lebih Perhitungan Anggaran maka Perilaku oportunistik penyusun anggaran

akan turun. Oleh karena itu setiap perubahan SiLPA berbanding terbalik terhadap

perilaku oportunistik penyusun anggaran yang akan terjadi

4. Variabel jenis dan letak pemerintahan berpengaruh tidak signifikan dan negatif

terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran. perilaku oportunistik

penyusun anggaran dapat dilakukan tidak tergantung pada status suatu daerah,

baik kabupaten maupun kota.

6.2. Saran

Adapun saran yang dapat penulis berikan sehubungan dengan keterbatasan yang

terdapat pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Pemerintah Daerah hendaknya lebih meningkatkan kualitas penyusunan

anggaran dengan mengutamakan alokasi belanja sesuai kebutuhan masyarakat,

transparansi anggaran serta menerapkan pengawasan mulai dari proses

perencanaan anggaran. Dibutuhkan pula kebijakan penggunaan dana alokasi

umum sehingga dapat digunakan secara efektif dan efisien oleh pemerintah
104

daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Kebijakan penggunaan

dana tersebut sudah seharusnya pula secara transparan dan akuntabel.

2. Dengan adanya otonomi daerah diharapkan semua daerah di Provinsi Sulawesi

Tenggara mampu melaksanakan semua urusan pemerintahan dan pembangunan

dengan bertumpu pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dimilikinya.

Berkaitan dengan hal tersebut optimalisasi sumber-sumber Pendapatan Asli

Daerah (PAD) perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan keuangan

daerah.

3. Diharapkan pemerintah daerah dari masing-masing kabupaten dan kota agar

hendaknya lebih meningkatkan investasi sehingga SiLPA kedepannya

diharapkan akan ikut meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah. Sisa lebih

perhitungan anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya merupakan penerimaan

pembiayaan yang digunakan untuk: (a) menutupi defisit anggaran apabila

realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja; (b) mendanai

pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung; dan (c) mendanai

kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikan.

4. Berdasarkan nilai koefisien determinasi sebesar 0,8952, menunjukkan bahwa

masih terdapat 10,48 % pengaruh variabel lain yang mampu menjelaskan variasi

variabel perilaku oportunistik penyusun anggaran, maka disarankan bagi peneliti

selanjutnya untuk meneliti faktor lain yang berpengaruh terhadap perilaku

oportunistik penyusun anggaran.


105

5. Aspek metodologi pada penelitian ini belum mampu mengungkapkan

sepenuhnya beberapa persoalan yang mungkin penting untuk menggambarkan

perilaku penyusun anggaran, sehingga perlu dikembangkan suatu daftar

pertanyaan lengkap (kuisioner) yang dapat mengukur persepsi pihak - pihak yang

terlibat pada penyusunan anggaran.

6. Penelitian selanjutnya dapat memperbaiki pengukuran nilai OPA dengan lebih

fokus pada sektor yang memiliki belanja langsung dengan nilai yang besar,

mengingat kecenderungan OPA terjadi pada belanja langsung dibandingkan

belanja tidak langsung.


106

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S. 2012. Perilaku Oportunistik Legislatif dan Faktor – Faktor Yang


Mempengaruhinya: Bukti Empiris dari Penganggaran Pemerintah Daerah di
Indonesia. Ringkasan Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Abdullah, S. dan Asmara, J.A. 2006. Perilaku Oportunistik Legislatif Dalam


Penganggaran Daerah: Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di
Sektor Publik. Jurnal Simposium Nasional Akuntansi 9. Padang 23-26
Agustus.

Andvig, J.C., Fjeldstad, O.H., Amundsen,I., Sissener, T., and Søreide, T.


2001. Corruption: A review of contemporary research. Chr. Michelsen
Institute Development Studies and Human Rights Report R 2001: 7.

Asmara, J.A. 2010. Analisis Perubahan Alokasi Belanja Dalam Anggaran


Pendapatan dan Belanja Daerah (APBA) Provinsi Naggroe Aceh Darussalam.
Jurnal Telaah & Riset Akuntansi Vol. 3. No. 2 . Juli 2010 Hal. 155-172.

Bartolini, D., and Santolini, R. 2007. Fiscal Rules and The Opportunistic
Behaviour of The Incumbent Politician: Evidence From Italian Municipalities.
Working Paper. Institute of Local Public Finance February 2007.

Cioffi, M., Messina, G., and Tommasino, P. 2012. Parties, Institutions


and Political Budget Cycles at Municipal Level: Evidence from Italy.
Working paper at Meeting of the Public Choice Society Januari 2012.

Eisenhardt, K.M. 1989. Agency theory: An assessment and review.


Academy of Management Review 14(1): 57-74.

Elias, R. Z. 2013. The Impact of Machiavellianism and Opportunism on


Business Students’ Love of Money. Southwestern Business Administration
Journal (SBAJ) Volume 13 Issue 1&2, 2013, pp.1-22.

Faria, J.A., dan Silva, S.M.G. 2013 The Effects of Information Asymmetry
on Budget Slack: An Experimental Research. African Journal of Business
Management vol 7(13),pp.1086-1079.

Garamfalvi, L. 1997. Corruption in The Public Expenditure Management


Process.
th
Paper presented at 8 International Anti-Corruption Conference, Peru
7-11 September.
107

Ghozali, I. 2011. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS :


Cetakan IV. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Gilardi, F. 2001. Principal-agent models go to Europe: Independent


regulatory agencies as ultimate step of delegation. Paper presented at the
ECPR General Conference, Canterbury (UK), 6-8 September 2001.

Hagen, J.V. 2002. Fiscal rules, fiscal institutions, and fiscal performance.
The Economic and Social review 33(3): 263-284.

Halim, A. dan Abdullah, S. 2006. Hubungan dan Masalah Keagenan di


Pemerintahan Daerah: Sebuah Peluang Penelitian Anggaran dan Akuntansi.
Jurnal Akuntansi Pemerintah 2(1): 53-64.

James, W. 2006. A processual view of institutional change of the budget


process within an Australian government–owned electricity corporation.
International Journal of Public Sector, 19(1), 5-39.

Jensen, M.C. and W.H. Meckling. 1976. Theory of The Firm: Managerial
Behavior, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial
Economics.Vol.3.No.4.pp.305-360.

Jogiyanto. 2004. Metodologi Penelitian Bisnis. Yogyakarta: BPFE.

Jumaidi, L.T. 2014. Perilaku Legislatif dalam Praktik Penganggaran


dengan Pendekatan Nilai – Nilai Kearifan Lokal. Jurnal Simposium
Nasional Akuntansi 17 Mataram Lombok 24 -27 September 2014.

Kamaliah, D., Edfan dan Viorita, V. 2010. Pengaruh Perilaku Oportunistik


terhadap Hubungan Partisipasi Anggaran dengan Kinerja Manajerial (Studi
Empiris pada Pegawai Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi di
Provinsi Riau). Jurnal Ekonomi Volume 18, Nomor 2 Juni 2010.

Keefer, P. and Khemani, S. 2003. The political economy of public


expenditures. Background paper for WDR 2004: Making Service Work for
Poor People. The World Bank.

Latifah, N.P. 2010. Adakah Perilaku Oportunistik dalam Aplikasi Agency


Theory di Sektor Publik ?. Fokus Ekonomi Vol. 5 No. 2 Desember 2010 : 85 –
94.
108

Liza, N.B.A.Jamil. C.Z.M and Nor, N.A.M. 2013. Ethical Antecedents of


Dysfunctional Behaviour in Performance Measurement and Control
System. Asian Social Science ( 9)1.

Lupia, A. and McCubbins, M. 2000. Representation or abdication? How


citizens use institutions to help delegation succeed. European Journal of
Political Research 37:291-307.

Magner, N. and G.G. Johnson. 1995. Municipal officials’ reactions to


justice in budgetary resource allocation. Public Administration Quarterly:
439-456.

Magner, N.R., Johnson, G.G., Little, H.T. Staley, A.B. and Welker, R.B.
2006. The case of fair budgetary procedures. Managerial Auditing Journal,
21(4), 408-419.

Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta:


Penerbit Andi.

Maria, F.T. 2009. Perilaku Oportunistik Legislatif Dalam Penganggaran


Daerah: Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik. E-
Jurnal UGM.

Martinez, J.V., Arze, J. and Boex, J. 2004. Corruption, Fiscal Policy, and
Fiscal Management. Working Paper. Georgia State University.
http://www.fiscalreform.net.

Maryono, R. 2013. Pengaruh Perubahan Dana Alokasi Umum Terhadap


Perilaku Oportunistik Legislatif Dalam Penganggaran Daerah. E-Jurnal UNP.

Mauro, P. 1998. Corruption and the composition of government


expenditure. Journal of Public Economics 69: 263-279.

Oktririniatmaja, R. 2011. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana


Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap Pengalokasian Anggaran
Belanja Modal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, Sulawesi Tenggara dan
Nusa Tenggara. E-Journal Universitas Sebelas Maret.

Parwati, Sayu Made. 2015. Perilaku oportunistik penyusun anggaran di


kabupaten/kota se-bali. Tesis. Program Magister. Universitas Udayana.
109

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang


Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Radebe, L.Z and Radebe, P.Q. 2014. Behavioural factors as determinants of


effective budgeting process in public secondary schools. Mediterranian
Journal of Social Science 5(23).

Raghunandan, M. Ramgulam,N and Raghunandan, K. 2012. Examining the


behavioural aspects of budgeting with particular emphasis on public
sector/ service budgets. International Journal of Business and Social Science
3(14).

Riharjo, I.B. dan Isnadi. 2010. Perilaku Oportunistik Pejabat Eksekutif dalam
Penyusunan APBD ( Bukti Empiris atas Penggunaan Penerimaan Sumber
Daya Alam). Jurnal Ekuitas Vol.14 No. 3 September:388-410.

Ritonga, I.T. dan M.I. Alam.2010. Apakah Incumbent Memanfaatkan


Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk Mencalonkan
KemSulawesi Tenggara dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilukada). Jurnal Simposium Nasional Akuntansi XIII. Purwokerto.

Romarina, A. dan A. Makfatih. 2010. Faktor – Faktor Risiko Fiskal


dam Penganggaran Daerah. Jurnal BPPK Volume I.

Seabright, P. 1996. Accountability and decentralisation in government: An


incomplete contracts models. European Economic Review 40:61-89.

Smith, R.W. and M. Bertozzi. 1998. Principals and agents: An explanatory


model of public budgeting. Journal of Public Budgeting, Accounting and
Financial Management: 325-353.

Sopanah. 2004. Analisa Anggaran Publik: Panduan TOT, Malang Corupption


Watch (MCW). Jakarta: Yappika.

Suartana, I.W. 2010. Akuntansi Keperilakuan: Teori dan


Implementasi. Yogyakarta: Penerbit ANDI.

Sujaie, A.F. 2013. Oportunisme Perumus Kebijakan Anggaran dalam


Penyusunan APBD Provinsi Jawa Timur Tahun 2013: Fenomena dalam
Pelaksanaan Belanja Hibah dan Bansos. E-Journal UGM.
110

Sularso, H., Restianto, Y.E. dan Istiqomah, A.E. 2014. Determinan Perilaku
Oportunistik Penyusunan Anggaran (Studi pada Kabupaten/Kota di
Jawa Tengah). Jurnal Simposium Nasional Akuntansi 17 Mataram
Lombok 24 -27 September 2014.

Suryarini, T. 2012. Perilaku Oportunistk Legialtaif dalam Penganggaran


Daerah: Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik.
Jurnal Review Akuntansi dan Keuangan Vol. 2 No. 1 April 2012.

Tanzi, V. and Davoodi, H. 2002. Corruption, public investment, and growth,


Governance, Corruption, & Economic Performance. Washington, D.C.:
International Monetary Fund.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437).

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan


Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4438).
111

Lampiran 1

Ringkasan Penelitian Terdahulu

Variabel
No Judul Penelitian Penulis Has il dan Kes impulan
Bebas Terik at Moderas i
1 Perilaku Oportunistik Legislatif Abdullah dan Perilaku oportunistik Legislatif (OL) PAD 1. Legis latif berperilaku oportunis tik dalam pengalokas ian s umberdaya di anggaran
belanja
dalam Penganggaran Daerah Asmara
2. Perubahan pendap atan s endiri berpengaruh pos itif terhadap perilaku op ortunis tik
(2006) legis lative

2 Perilaku Oportunistik Pejabat Riharjo dan Slack Anggaran untuk belanja Belanja Pegawai, Belanja Perilaku 1. Belanja pegawai langs ung dan belanja modal yang ditetapkan dalam APBD
berpengaruh terhadap s lack anggaran untuk kemakmuran rakyat yang beras al dari
Eksekutif dalam Penyusunan Isnadi (2010) kemakmuran rakyat dari pendapatan Barang Opprtunistik
pendapatan s umber daya alam
APBD ( Bukti Empiris atas SDA Jasa, Belanja Modal 2. Belanja barang dan jas a yang ditetapkan dalam APBD, tidak berpengaru h terhadap
Penggunaan Penerimaan s lack anggaran dalam penetapan alokas i belanja untuk kemakmuran rakyat yang beras al
Sumber Daya Alam) dari pendapatan s umber daya alam
3. Perilaku oportunis tik pejabat eks ekutif mendorong pengaruh belanja pegawai langs ung
dan belanja modal yang ditetapkan dalam APBD terhadap meningkatnya s lack anggaran
4. Perilaku oportunis tik pejabat eks ekutif mendorong pengaruh belanja barang, jas a,
modal yang ditetapkan dalam APBD terhadap meningkatnya s lack anggaran"

3 Analisis Perubahan Alokasi Asmara Belanja Pegawai, Belanja Barang Jasa, Silpa 1.Perubahan Belanja Pegawai berkorelas i dengan Belanja Barang Jas a
2.Perubahan Belanja Pegawai dan Belanja Barang Jas a tidak berkorelas i dengan Belanja
Belanja Dalam Anggaran (2010) Belanja Modal dan Plafons
Modal
Pendapatan dan Belanja 3.Pengaruh SILPA tahun s ebelumnya terhadap Plafon SKPA dan Jenis Belanja SKPA
Daerah (APBA) Provinsi tidak dapat dibuktikan dalam pen elitian ini. Mes kipun SILPA tahun s ebelumnya
Naggroe Aceh Darussalam merupakan alas an utama dilakukannya perubahan APBA, ternyata pen elitian ini
menemukan has il yang berbeda

4 Adakah Perilaku Oportunistik Latifah (2010) Adanya as imetri informas i di antara eks ekutif-legis latif dan legis latif pemilih menyebabkan
terbukanya ruang bagi terjadinya perilaku oportunis tik dalam pros es penyus unan
dalam Aplikasi Agency Theory
anggaran.
di Sektor Publik ?

5 Pengaruh PAD, DAU dan Oktriniatmaja Alokasi Belanja Modal PAD, DAU dan DAK 1. PAD, DAU dan DAK berpengaruh pos itif terhadap alokas i belanja modal baik s ecara
pars ial maupun s imultan.
DAK terhadap Pengalokasian (2011)
2. Belanja modal dan PAD di Jawa lebih tinggi dari daerah di luar Pulau Jawa
Anggaran Belanja Modal dalam
APBD Pada Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota di
Pulau Jawa, Bali dan Nusa
Tenggara
6 Pengaruh Perubahan Dana Maryono Perilaku Oportunistik Legislatif dalam DAU 1. Perubahan DAU berpengaruh s ignifikan pos itif terhadap perilaku op ortunis tik
legis lative dalam penganggaran daerah
Alokasi Umum terhadap (2013) penganggaran daerah
Perilaku Oportunistik Legislatif
dalam Penganggaran Daerah

7 Determinan Perilaku Sularso dkk. Perilaku Oportunistik Penyusunan PAD, SILPA, DAU 1. Semakin bes ar PAD maka s emakin bes ar perilaku oportunis tik
penyus unan anggaran.
Oportunistik Penyusunan (2014) Anggaran
2. Semakin bes ar SILPA s emakin bes ar OPA
Anggaran (Studi pada 3. Semakin bes ar DAU s emakin b es ar OPA
Kabupaten/Kota di Jawa
Tengah)
8 Perilaku Opportunistik Sayu Made Perilaku Oportunistik Penyusunan PAD, SILPA, DAU 1) Terdapat pengaruh pos itif PAD pada perilaku oportunis tik penyus un anggaran di
Kabupaten / Kota s e-Bali. Peningkatan PAD dari tahun s ebelumnya ke tahun berjalan
Penyusun Anggaran Parwati, Dkk Anggaran
mempengaruhi alokas i belanja s ektor – s ektor tertentu yang dapat memberikan manfaat
(2015) bagi penyus un anggaran.
2) Untuk mengurangi p erilaku oportunis tik pada belanja hibah dan bans os , dis arankan
agar mekanis me pengajuan diverifikas i lebih teliti dan pencairan dilakukan s es uai
pros edur.
112

Variabel
No Judul Penelitian Penuli s Has il dan Kes impul an
Bebas Terik at Moderas i
1 Perilaku Oportunistik Legislatif Abdullah dan Perilaku oportunistik Legislatif (OL) PAD 1. Legis latif berperilaku oportunist ik dalam pengalokas ian s umberdaya d i anggaran
belanja
dalam Penganggaran Daerah Asmara
2. Perubahan pendapatan s endiri berpengaruh pos itif terhadap perilaku oport unis tik
(2006) legis lative

2 Perilaku Oportunistik Pejabat Riharjo dan Slack Anggaran untuk belanja Belanja Pegawai, Belanja Perilaku 1. Belanja pegawai langs ung dan belanja modal yang ditet apkan dalam A PBD
Eksekutif dalam Penyusunan Isnadi (2010) kemakmuran rakyat dari pendapatan Barang Opprtunistik berpengaruh terhadap s lack anggaran untuk kemakmuran rakyat yang beras al dari
pendapatan s umber daya alam
APBD ( Bukti Empiris atas SDA Jasa, Belanja Modal 2. Belanja barang dan jas a yang ditetapkan dalam A PBD, tidak berpengaruh terhadap
Penggunaan Penerimaan s lack anggaran dalam penetapan alokas i belanja untuk kemakmuran rakyat yang beras al
Sumber Daya Alam) dari pendapat an sumber daya alam
3. Perilaku oportunis tik pejabat eks ekut if mendorong pengaruh belanja pegawai langs ung
dan belanja modal yang dit etapkan dalam APBD terhadap meningkatnya s lack anggaran
4. Perilaku oportunis tik pejabat eks ekut if mendorong pengaruh belanja barang, jas a,
modal yang ditet apkan dalam APBD terhadap men ingkatnya s lack angg aran"

3 Analisis Perubahan Alokasi Asmara Belanja Pegawai, Belanja Barang Jasa, Silpa 1.Perubahan Belanja Pegawai berkorelas i dengan Belanja Barang Jas a
2.Perubahan Belanja Pegawai dan Belanja Barang Jas a tidak berkorelas i dengan Belanja
Belanja Dalam Anggaran (2010) Belanja Modal dan Plafons
Mo dal
Pendapatan dan Belanja 3.Pengaruh SILPA tahun s ebelumnya terhadap Plafon SKPA dan Jenis Belanja SKPA
Daerah (APBA) Provinsi tidak dapat dibuktikan dalam penelitian ini. M es kipun SILPA t ahun s ebelumnya
Naggroe Aceh Darussalam merupakan alas an utama dilakukannya perubahan APBA , ternyata penelitian ini
menemukan has il yang berbeda

4 Adakah Perilaku Oportunistik Latifah (2010) A danya as imetri informas i di ant ara eks ekutif-legis latif dan legislatif pemilih menyebabkan
terbukanya ruang bagi terjadinya perilaku oportunis tik dalam pros es penyus unan
dalam Aplikasi Agency Theory
anggaran.
di Sektor Publik ?

5 Pengaruh PAD, DAU dan Oktriniatmaja Alokasi Belanja Modal PAD, DAU dan DAK 1. PAD, DA U dan DAK berpengaruh pos itif t erhadap alokas i belanja modal baik s ecara
DAK terhadap Pengalokasian (2011) pars ial maupun s imultan.
2. Belanja modal dan PAD di Jawa lebih tinggi dari daerah di luar Pulau Jawa
Anggaran Belanja Modal dalam
APBD Pada Pemerintah
Daerah K abupaten/Kota di
Pulau Jawa, Bali dan Nusa
Tenggara
6 Pengaruh Perubahan Dana Maryono Perilaku O portunistik Legislatif dalam DAU 1. Perubahan DAU berpengaruh s ignifikan pos it if t erhadap perilaku oportunis tik
legis lative dalam penganggaran daerah
Alokasi Umum terhadap (2013) penganggaran daerah
Perilaku Oportunistik Legislatif
dalam Penganggaran Daerah

7 Determinan Perilaku Sularso dkk. Perilaku O portunistik Penyusunan PAD, SILPA, DAU 1. Semakin bes ar PA D maka s emakin bes ar perilaku oport unis tik
penyus unan anggaran.
Oportunistik Penyusunan (2014) Anggaran
2. Semakin bes ar SILPA s emakin bes ar OPA
Anggaran (Studi pada 3. Semakin bes ar DA U s emakin bes ar OPA
Kabupaten/Kota di Jawa
Tengah)
8 Perilaku Opportunistik Sayu Made Perilaku O portunistik Penyusunan PAD, SILPA, DAU 1) Terdapat pengaruh pos itif PA D pada perilaku oportunis tik penyus un anggaran di
Kabupaten/ Kota s e-Bali. Peningkatan PAD dari tahun s ebelumnya ke tahun berjalan
Penyusun Anggaran Parwati, Dkk Anggaran
mempengaruhi alokas i belanja s ektor – s ekt or tertentu yang dapat memb erikan manfaat
(2015) bagi penyus un anggaran.
2) Untuk mengurangi perilaku oportunis tik pada belanja hibah dan bans os , dis arankan
agar mekanisme pengajuan diverifikas i lebih telit i dan pencairan dilakukan s es uai
pros edur.
113

Lampiran 2

Data PAD Kabupaten/Kota se-Sulawesi Tenggara

Tahun 2011-2016

No. Kabupaten/Kota PAD 2011 PAD 2012 PAD 2013 PAD 2014 PAD 2015 PAD 2016
1 Buton 16.048.700.000 20.533.410.000 23.147.860.000 34.468.620.000 24.778.970.000 39.141.770.000
2 Muna 22.162.670.000 19.382.600.000 25.039.730.000 42.127.730.000 38.272.710.000 39.775.360.000
3 Konawe 22.125.720.000 21.638.490.000 23.644.410.000 33.215.440.000 56.039.770.000 57.702.180.000
4 Kolaka 37.472.900.000 39.840.230.000 48.110.910.000 67.736.380.000 66.365.250.000 72.205.070.000
5 Konawe Selatan 12.449.690.000 18.035.020.000 25.762.480.000 45.766.890.000 43.850.460.000 48.028.700.000
6 Bombana 14.713.440.000 22.710.060.000 24.646.490.000 35.149.040.000 29.646.970.000 31.274.210.000
7 Wakatobi 9.985.160.000 18.195.070.000 19.398.240.000 23.357.950.000 24.671.820.000 25.029.150.000
8 Kolaka Utara 32.050.000.000 12.748.070.000 21.187.410.000 34.848.370.000 40.531.450.000 40.246.180.000
9 Buton Utara 5.539.520.000 10.600.800.000 9.826.180.000 9.307.040.000 15.256.540.000 12.828.350.000
10 Konawe Utara 88.043.080.000 11.391.160.000 22.998.460.000 10.540.270.000 9.255.770.000 14.806.650.000
11 Kolaka Timur - - - 7.266.630.000 12.282.730.000 15.510.550.000
12 Konawe Kepulauan - - - - 6.930.070.000 9.717.840.000
13 Muna Barat - - - - 2.969.400.000 18.475.060.000
14 Buton Tengah - - - - 3.498.700.000 11.183.160.000
15 Buton Selatan - - - - 1.865.070.000 7.666.530.000
16 Kota Kendari 62.800.130.000 70.857.920.000 94.863.570.000 167.470.390.000 170.624.040.000 179.062.770.000
17 Kota Baubau 22.025.270.000 26.271.300.000 35.373.400.000 54.989.800.000 57.507.650.000 69.322.980.000
Jumlah 345.416.280.000 292.204.130.000 373.999.140.000 566.244.550.000 604.347.370.000 691.976.510.000
-15% 28% 51% 7% 14%
114

Lampiran 3

Data DAU Kabupaten/Kota se-Sulawesi Tenggara

Tahun 2011-2016

No. Kabupaten/Kota DAU 2011 DAU 2012 DAU 2013 DAU 2014 DAU 2015 DAU 2016
1 Buton 382.426.101.000 468.956.933.000 535.326.605.000 601.624.424.000 252.280.186.000 427.465.428.000
2 Muna 425.648.391.000 561.580.535.000 635.053.318.000 689.447.643.000 502.390.813.000 669.896.273.000
3 Konawe 473.778.515.000 568.010.624.000 613.042.674.000 584.033.036.000 639.180.850.000 690.044.912.000
4 Kolaka 450.584.108.000 535.098.526.000 613.742.503.000 454.342.506.000 572.933.352.000 593.123.363.000
5 Konawe Selatan 362.304.553.000 481.737.617.000 538.654.988.000 581.807.666.000 598.467.031.000 666.694.028.000
6 Bombana 282.286.386.000 328.634.006.000 382.986.680.000 414.006.948.000 435.541.498.000 481.229.892.000
7 Wakatobi 252.088.407.000 308.676.985.000 353.873.348.000 387.267.035.000 402.871.101.000 448.607.750.000
8 Kolaka Utara 273.275.706.000 336.532.276.000 385.721.156.000 438.746.757.000 451.597.322.000 469.964.084.000
9 Buton Utara 250.484.842.000 291.312.065.000 329.371.283.000 366.551.466.000 379.995.219.000 408.633.609.000
10 Konawe Utara 289.562.449.000 377.863.760.000 417.340.323.000 441.295.580.000 433.074.127.000 459.090.815.000
11 Kolaka Timur 223.177.156.000 373.775.832.000 404.289.270.000
12 Konawe Kepulauan 97.698.630.000 299.813.757.000 312.716.538.000
13 Muna Barat 217.533.016.000 356.155.873.000
14 Buton Tengah 225.671.011.000 361.617.694.000
15 Buton Selatan 150.820.654.000 338.573.958.000
16 Kota Kendari 399.702.724.000 478.763.604.000 555.693.881.000 611.179.529.000 629.906.640.000 674.633.290.000
17 Kota Baubau 317.920.877.000 370.653.915.000 427.509.763.000 465.583.877.000 485.032.228.000 518.115.287.000
Jumlah 4.160.063.059.000 5.107.820.846.000 5.788.316.522.000 6.356.762.253.000 7.050.884.637.000 8.280.852.064.000
23% 13% 10% 11% 17%
115

Lampiran 4

Data SiLPA Kabupaten/Kota se-Sulawesi Tenggara

Tahun 2011-2016

No. Kabupaten/Kota SiLPA 2011 SiLPA 2012 SiLPA 2013 SiLPA 2014 SiLPA 2015 SiLPA 2016
1 Buton 69.693.840.000 98.480.520.000 153.513.300.000 168.178.120.000 89.755.630.000 63.954.920.000
2 Muna - 45.217.870.000 69.877.940.000 65.669.380.000 138.334.560.000 65.238.630.000
3 Konawe 17.914.520.000 29.984.930.000 24.636.350.000 7.584.000.000 25.382.550.000 36.931.340.000
4 Kolaka 31.364.470.000 66.469.170.000 67.430.690.000 16.345.470.000 13.436.710.000 13.588.650.000
5 Konawe Selatan 199.484.900.000 260.637.140.000 58.402.970.000 1.224.130.000 52.564.510.000 86.662.980.000
6 Bombana 50.506.300.000 56.440.940.000 70.848.970.000 21.554.500.000 20.455.810.000 10.469.500.000
7 Wakatobi 56.539.900.000 87.007.950.000 59.260.980.000 66.045.620.000 59.208.460.000 48.575.550.000
8 Kolaka Utara - 45.651.630.000 47.354.700.000 100.225.710.000 88.710.740.000 77.662.520.000 22.392.180.000
9 Buton Utara 306.314.580.000 - 319.942.740.000 36.470.410.000 48.832.680.000 45.434.630.000 21.706.210.000
10 Konawe Utara 26.151.610.000 - 17.616.730.000 23.600.990.000 10.327.290.000 - 10.530.200.000 10.530.210.000
11 Kolaka Timur 10.562.850.000 26.765.070.000 43.149.250.000
12 Konawe Kepulauan 72.161.810.000 38.716.540.000
13 Muna Barat 156.924.920.000
14 Buton Tengah 55.512.790.000 62.372.040.000
15 Buton Selatan 9.400.160.000 59.522.200.000
16 Kota Kendari 129.190.240.000 102.419.800.000 96.990.400.000 84.156.710.000 93.022.670.000 8.394.810.000
17 Kota Baubau 130.398.320.000 124.967.440.000 111.486.530.000 179.428.640.000 178.021.980.000 142.614.610.000
Jumlah 971.907.050.000 581.420.990.000 872.745.240.000 768.620.130.000 946.589.660.000 891.744.540.000
-40% 50% -12% 23% -6%
116

Lampiran 5

Data Opportunistik Penyusun Anggaran (OPA) dari Realisasi Belanja Tak Langsung Kabupaten/Kota se-Sulawesi

Tenggara Tahun 2011-2016


117

No. Kabupaten/Kota 2011 2012 2013 2014 20


1 Buton 370.767.000.000 408.160.000.000 414.805.000.000 507.234.000.000 348.817.000.00
2 Muna 453.180.000.000 508.943.000.000 545.047.000.000 613.701.000.000 569.684.000.00
3 Konawe 426.566.000.000 456.645.000.000 506.281.000.000 505.670.000.000 574.504.000.00
4 Kolaka 389.642.000.000 420.284.000.000 502.119.000.000 431.125.000.000 447.114.000.00
5 Konawe Selatan 333.265.000.000 346.986.000.000 363.833.000.000 446.185.000.000 574.867.000.00
6 Bombana 189.588.000.000 232.636.000.000 241.228.000.000 266.736.000.000 342.459.000.00
7 Wakatobi 174.178.000.000 187.963.000.000 204.531.000.000 241.441.000.000 306.414.000.00
8 Kolaka Utara 175.054.000.000 205.640.000.000 228.047.000.000 236.091.000.000 304.407.000.00
9 Buton Utara 109.149.000.000 124.539.000.000 128.088.000.000 149.117.000.000 227.185.000.00
10 Konawe Utara 150.037.000.000 145.653.000.000 150.635.000.000 157.425.000.000 265.271.000.00
11 Kolaka Timur - - - 129.958.000.000 220.136.000.00
12 Konawe Kepulauan - - - - 96.256.000.00
13 Muna Barat - - - - 140.313.000.00
14 Buton Tengah - - - - 149.872.000.00
15 Buton Selatan - - - - 121.333.000.00
16 Kota Kendari 402.190.000.000 468.448.000.000 479.328.000.000 536.570.000.000 591.357.000.00
17 Kota Baubau 262.381.000.000 302.481.000.000 310.274.000.000 355.110.000.000 357.754.000.00
Jumlah 3.435.997.002.011 3.808.378.002.012 4.074.216.002.013 4.576.363.002.014 5.637.743.002.01
LAMPIRAN HASIL OLAHAN
PROGRAM EVIEWS 10.0

1. RANDOM EFFECT MODELS (REM)

Dependent Variable: OPA?

Method: Pooled EGLS (Cross-section random effects)

Date: 09/19/19 Time: 22:42

Sample: 1 6

Included observations: 6

Cross-sections included: 12

Total pool (balanced) observations: 72

Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.  

C -0.749388 0.433007 -1.730660 0.0881

DAU? 0.944829 0.070125 13.47348 0.0000


118

PAD? 0.724984 0.302899 2.393483 0.0195

SILPA? 0.076491 0.086524 0.884043 0.3798

LETAK? -0.243831 0.291573 -0.836259 0.4060

Random Effects (Cross)

_BAUBAU--C 0.009085

_BOMBANA--C -0.033206

_BUTON--C 0.324947

_BUTUR--C -0.368343

_KENDARI--C 0.117003

_KOLAKA--C 0.007080

_KOLUT--C -0.227282

_KONAWE--C 0.180891

_KONSEL--C 0.155465

_KONUT--C -0.569617

_MUNA--C 0.483088

_WAKATOBI--C -0.079111

Effects Specification

S.D.   Rho  

Cross-section random 0.235172 0.1818

Idiosyncratic random 0.498921 0.8182

Weighted Statistics

R-squared 0.755082    Mean dependent var 2.407868

Adjusted R-squared 0.740460    S.D. dependent var 1.168114

S.E. of regression 0.595097    Sum squared resid 23.72739

F-statistic 51.64017    Durbin-Watson stat 1.064421

Prob(F-statistic) 0.000000
119

Unweighted Statistics

R-squared 0.801521    Mean dependent var 3.677887

Sum squared resid 33.48095    Durbin-Watson stat 0.754337

2. FIXED EFFECT MODELS (FEM)

Dependent Variable: OPA?

Method: Pooled Least Squares

Date: 09/19/19 Time: 22:41

Sample: 1 6

Included observations: 6

Cross-sections included: 12

Total pool (balanced) observations: 72

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.  

C 0.600826 0.714836 0.840508 0.4042

DAU? 0.731482 0.085852 8.520295 0.0000

PAD? 0.745673 0.367159 2.030929 0.0470

SILPA? -0.050270 0.091853 -0.547283 0.5864

LETAK? -0.494863 0.602349 -0.821555 0.4148

Fixed Effects (Cross)


120

_BAUBAU--C 0.260852

_BOMBANA--C -0.287491

_BUTON--C 0.548747

_BUTUR--C -0.996165

_KENDARI--C 0.588845

_KOLAKA--C 0.090748

_KOLUT--C -0.604119

_KONAWE--C 0.508839

_KONSEL--C 0.453837

_KONUT--C -1.232665

_MUNA--C 1.065099

_WAKATOBI--C -0.396528

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.917364    Mean dependent var 3.677887

Adjusted R-squared 0.895230    S.D. dependent var 1.541389

S.E. of regression 0.498921    Akaike info criterion 1.640391

Sum squared resid 13.93962    Schwarz criterion 2.146317

Log likelihood -43.05407    Hannan-Quinn criter. 1.841801

F-statistic 41.44486    Durbin-Watson stat 1.256079

Prob(F-statistic) 0.000000
121

3. COMMON EFFECT MODELS (CEM)

Dependent Variable: OPA?

Method: Pooled Least Squares

Date: 09/19/19 Time: 22:39

Sample: 1 6

Included observations: 6

Cross-sections included: 12

Total pool (balanced) observations: 72

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.  

C -1.378115 0.475290 -2.899523 0.0050

DAU? 1.076547 0.081339 13.23532 0.0000

PAD? 0.662602 0.350953 1.888006 0.0634

SILPA? 0.177333 0.112793 1.572197 0.1206

LETAK? -0.262280 0.303672 -0.863695 0.3908


122

R-squared 0.813097    Mean dependent var 3.677887

Adjusted R-squared 0.801939    S.D. dependent var 1.541389

S.E. of regression 0.685981    Akaike info criterion 2.150981

Sum squared resid 31.52815    Schwarz criterion 2.309082

Log likelihood -72.43530    Hannan-Quinn criter. 2.213921

F-statistic 72.86887    Durbin-Watson stat 1.083983

Prob(F-statistic) 0.000000

4. UJI CHOW

Redundant Fixed Effects Tests

Pool: DAERAH

Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic   d.f.  Prob. 

Cross-section F 6.423528 (11,56) 0.0000

Cross-section Chi-square 58.762459 11 0.0000

Cross-section fixed effects test equation:

Dependent Variable: OPA?

Method: Panel Least Squares

Date: 09/19/19 Time: 22:42

Sample: 1 6

Included observations: 6
123

Cross-sections included: 12

Total pool (balanced) observations: 72

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.  

C -1.378115 0.475290 -2.899523 0.0050

DAU? 1.076547 0.081339 13.23532 0.0000

PAD? 0.662602 0.350953 1.888006 0.0634

SILPA? 0.177333 0.112793 1.572197 0.1206

LETAK? -0.262280 0.303672 -0.863695 0.3908

R-squared 0.813097    Mean dependent var 3.677887

Adjusted R-squared 0.801939    S.D. dependent var 1.541389

S.E. of regression 0.685981    Akaike info criterion 2.150981

Sum squared resid 31.52815    Schwarz criterion 2.309082

Log likelihood -72.43530    Hannan-Quinn criter. 2.213921

F-statistic 72.86887    Durbin-Watson stat 1.083983

Prob(F-statistic) 0.000000
124

5. UJI HAUSMAN

Correlated Random Effects - Hausman Test

Pool: DAERAH

Test cross-section random effects

Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob. 

Cross-section random 32.320633 4 0.0000

Cross-section random effects test comparisons:

Variable Fixed   Random  Var(Diff.)  Prob. 

DAU? 0.731482 0.944829 0.002453 0.0000

PAD? 0.745673 0.724984 0.043057 0.9206

SILPA? -0.050270 0.076491 0.000951 0.0000

LETAK? -0.494863 -0.243831 0.277809 0.6339


125

Cross-section random effects test equation:

Dependent Variable: OPA?

Method: Panel Least Squares

Date: 09/19/19 Time: 22:42

Sample: 1 6

Included observations: 6

Cross-sections included: 12

Total pool (balanced) observations: 72

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.  

C 0.600826 0.714836 0.840508 0.4042

DAU? 0.731482 0.085852 8.520295 0.0000

PAD? 0.745673 0.367159 2.030929 0.0470

SILPA? -0.050270 0.091853 -0.547283 0.5864

LETAK? -0.494863 0.602349 -0.821555 0.4148

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.917364    Mean dependent var 3.677887

Adjusted R-squared 0.895230    S.D. dependent var 1.541389

S.E. of regression 0.498921    Akaike info criterion 1.640391

Sum squared resid 13.93962    Schwarz criterion 2.146317

Log likelihood -43.05407    Hannan-Quinn criter. 1.841801

F-statistic 41.44486    Durbin-Watson stat 1.256079

Prob(F-statistic) 0.000000
126

6. UJI ASUMSI KLASIK

1. Normalitas
16
Series: Standardized Residuals
14 Sample 2011 2016
12
Observations 72

10 Mean -4.56e-16
Median -0.044599
8
Maximum 2.089299
6 Minimum -1.624262
Std. Dev. 0.666377
4
Skewness 0.374739
2 Kurtosis 3.814477

0 Jarque-Bera 3.675269
-1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0
Probability 0.159194

2. Heterokedasitas

Panel Period Heteroskedasticity LR Test

Null hypothesis: Residuals are homoskedastic

Equation: UNTITLED

Specification: OPA PAD SILPA LETAK DAU C


127

Value df Probability

Likelihood ratio  4.746977  12  0.9659

LR test summary:

Value df

Restricted LogL -72.43530  67

Unrestricted LogL -70.06181  67

Unrestricted Test Equation:

Dependent Variable: OPA

Method: Panel EGLS (Period weights)

Date: 09/19/19 Time: 22:45

Sample: 2011 2016

Periods included: 6

Cross-sections included: 12

Total panel (balanced) observations: 72

Iterate weights to convergence

Convergence achieved after 16 weight iterations

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.  

PAD 0.582599 0.347653 1.675806 0.0984

SILPA 0.124817 0.092238 1.353200 0.1805

LETAK -0.041296 0.274705 -0.150328 0.8810

DAU 1.123065 0.078265 14.34959 0.0000

C -1.808656 0.457490 -3.953436 0.0002

Weighted Statistics

R-squared 0.841508    Mean dependent var 3.899328


128

Adjusted R-squared 0.832046    S.D. dependent var 1.821955

S.E. of regression 0.691901    Akaike info criterion 2.085050

Sum squared resid 32.07472    Schwarz criterion 2.243152

Log likelihood -70.06181    Hannan-Quinn criter. 2.147991

F-statistic 88.93354    Durbin-Watson stat 1.007774

Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.809857    Mean dependent var 3.677887

Sum squared resid 32.07475    Durbin-Watson stat 1.112658

Anda mungkin juga menyukai