Anda di halaman 1dari 43

1

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Permasalahan pada penyusunan anggaran timbul ketika pihak – pihak

yang terlibat berupaya untuk memanfaatkan peluang agar kepentingan pribadi

dan kelompoknya dapat diakomodir dalam APBD (Raghunandan et al., 2012;

Suryarini, 2012; Radebe and Radebe, 2014). Kebijakan anggaran menjadi

ajang perebutan kepentingan oleh berbagai pihak, baik pemerintah, legislatif,

partai politik, pengusaha, organisasi masyarakat, maupun rakyat kecil (Sujaie,

2013). Berbagai modus perilaku oportunistik yang sering terjadi seperti

menetapkan alokasi anggaran yang dimodifikasi untuk memenuhi

kepentingan politik dan kepentingan individu, memasukkan usulan proyek-

proyek besar yang menguntungkan salah satu pihak dalam perencanaan

anggaran, serta sikap cenderung lebih memperjuangkan realisasi penetapan

anggaran atas proyek- proyek yang mudah dikorupsi dengan harapan

mendapatkan kompensasi fee project yang cukup besar (Jumaidi, 2014).

Penelitian Sujaie (2013) menunjukkan bahwa praktek perilaku

oportunistik eksekutif dalam kebijakan anggaran terjadi karena dua faktor

pendorong: Pertama, anggapan bahwa eksekutif merupakan pelaksana semua

fungsi pemerintah daerah yang telah berhubungan langsung dengan

masyarakat dalam waktu sangat lama; dan Kedua, eksekutif mempunyai akses
2

informasi yang besar dalam konteks penyusunan anggaran. Sedangkan

perilaku oportunistik legislatif didorong oleh adanya keunggulan kekuasaan

(discretionary power) dalam konteks memutuskan anggaran. Faktor inilah

yang mendorong legislatif untuk melakukan; Pertama, berusaha

memengaruhi eksekutif untuk memaksimumkan anggaran pada

program-program tertentu yang dapat memuluskan jalan bagi seorang

legislator untuk dapat terpilih kembali dalam pemilu berikutnya; Kedua,

mendorong eksekutif untuk mengajukan anggaran yang dapat dengan

mudah diserap oleh konstituennya dan tidak melalui prosedur birokrasi yang

rumit.

Berdasarkan data keuangan Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara

pada kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir terjadi fluktuasi perubahan jumlah

anggaran hibah dan bansos yang cukup signifikan menjelang dan sesudah

Pemilihan Umum (Pemilu). Jumlah anggaran menurun pada tahun berikutnya,

namun menjelang Pemilu Legislatif 2014, terjadi peningkatan jumlah

anggaran belanja hibah dan bansos yang cukup signifikan.

Peningkatan belanja hibah yang terjadi pada tahun menjelang

Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah tersebut dimanfaatkan untuk

kepentingan kampanye (Ritonga dan Alam, 2010). Kondisi ini rentan

menimbulkan kasus pidana apabila tidak dipergunakan sesuai ketentuan.

Kasus penyalahgunaan dana hibah terjadi di beberapa daerah termasuk pada


3

Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara. Deretan panjang kasus korupsi APBD

yang terjadi di Sulawesi Tenggara melibatkan anggota dan pimpinan DPRD

sampai Kepala Daerah. Fakta ini menunjukkan bahwa political corruption

terjadi ketika politisi atau birokrat tingkat atas memanfaatkan kedudukan

mereka demi kepentingan pribadi atau kalangan dekat mereka (Martinez

et al., 2004).

Sepanjang tahun 2015 sebanyak 57 kasus korupsi di Sulawesi

Tenggara yang kami deteksi melalui pencarian media online dan media cetak

dan lain-lain. Adapun daerah yang paling banyak melakukan tindakan korupsi

yakni Kabupaten Muna, Kota Kendari, Kolaka Utara, Disusul dengan

Kabupaten Konawe Selatan, Bombana dan Kolaka. Daerah yang paling tinggi

nilai nominal uang yang di korupsi di Sulawesi Tenggara yakni Pemerintah

Provinsi Sulawesi Tenggara, Konawe Selatan, Kota Baubau, Bombana, dan

Muna.

Penelitian sebelumnya (Abdullah dan Asmara, 2006; Abdullah, 2012;

Oktririniatmaja, 2011; Suryarini, 2012; Sularso dkk., 2014) menunjukkan

bahwa PAD, DAU dan SiLPA berpengaruh positif terhadap perilaku

oportunistik penyusunan anggaran. Penelitian tentang perilaku oportunistik

penyusun anggaran sebelumnya, lebih fokus pada perilaku legislatif yang

cenderung mempengaruhi alokasi anggaran untuk kepentingan politik dengan

meningkatkan anggaran untuk belanja infastruktur dan belanja DPRD. Namun


4

mengamati fenomena yang terjadi terkait proses penyusunan APBD yang

merupakan proses bersama antara legislatif dan eksekutif, peneliti tertarik

untuk meneliti perilaku oportunistik yang terjadi akibat interaksi antara kedua

pihak yang didasari adanya hubungan keagenan.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya (Abdullah

dan Asmara, 2006; Asmara,2010; Suryarini, 2012, Abdullah, 2012 dan

Sularso dkk., 2014) dalam pengukuran perilaku oportunistik penyusun

anggaran, dimana peneliti memasukkan peningkatan belanja hibah dan

bansos dari tahun sebelumnya ke tahun berjalan. Fenomena peningkatan

alokasi belanja hibah dan bansos yang semakin meningkat menunjukkan

perilaku oportunistik penyusun anggaran (Ritonga dan Alam, 2010).

Analisis atas pengaruh jenis dan letak pemerintah daerah memberikan

bukti bahwa intensitas oportunisme legislatif berkaitan dengan status daerah

sebagai kota atau kabupaten. Pandangan bahwa perilaku oportunistik legislatif

di kota lebih besar dari pada di kabupaten bersumber dari anggapan bahwa

social control dari stakeholders di luar pemerintahan terhadap pelaksanaan

pelayanan publik dan perilaku anggota legislatif tidak sebaik dikota. Misalnya,

dikota gerakan mahasiswa dan pers sangat efektif dalam mengungkap berbagai

penyimpangan anggaran untuk mendorong aparat penegak hukum

menindaklanjuti berbagai laporan tentang korupsi dan yang terjadi di


5

lingkungan pemerintahan daerah, dimana perbedaan karakteristik masyarakat

dan struktur pendapatan berimplikasi pada kontrol sosial yang berbeda pula.

Fenomena perilaku penyusun anggaran sangat menarik untuk diteliti

lebih lanjut, karena meskipun aturan formal tentang mekanisme

penyusunan APBD telah dirancang sedemikian rupa, namun pada prakteknya

masih terjadi beberapa penyimpangan. Meningkatnya kasus korupsi

merupakan salah satu indikasi terjadinya perilaku oportunistik yang

dilakukan penyusun anggaran (Mauro,1998). Sejalan dengan hal tersebut,

Sujaie (2013) menegaskan bahwa peningkatan belanja hibah dan bantuan

sosial juga menunjukkan telah terjadi perilaku oportunistik penyusun

anggaran.

1.2 Rumusan Masalah

Perilaku oportunistik penyusun anggaran dapat dilihat dari

kecenderungan pengalokasian anggaran dalam jumlah besar untuk belanja

daerah yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan tertentu yang bersifat

pribadi atau kelompok. Peningkatan alokasi anggaran untuk belanja

infrastruktur, belanja hibah dan bansos diduga menjadi alat pemenuhan janji

– janji politik serta kerap menjadi sasaran korupsi. Sumber – sumber

pendapatan daerah baik yang berasal dari pendapatan sendiri maupun dana
6

transfer dan penerimaan pembiayaan diduga berpengaruh terhadap

peningkatan alokasi belanja daerah. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti

merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut :

1) Apakah P A D b e r pengaruh terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun

Anggaran ?

2) Apakah DAU berpengaruh terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun

Anggaran ?

3) Apakah SiLPA berpengaruh terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun

Anggaran ?

4) Apakah Jenis dan Letak Pemerintahan berpengaruh terhadap Perilaku

Oportunistik Penyusun Anggaran?

5) Apakah Pinjaman Daerah berpengaruh terhadap Perilaku Oportunistik

Penyusun Anggaran ?

1.3 Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan permasalahan di atas, maka penelitian ini

bertujuan :

1) Untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh PAD terhadap Perilaku

Oportunistik Penyusun Anggaran.

2) Untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh DAU terhadap Perilaku

Oportunistik Penyusun Anggaran.


7

3) Untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh SiLPA terhadap

Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran.

4) Untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh Jenis dan Letak

Pemerintahan terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran.

5) Untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh Pinjaman Daerah

terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberi Manfaat, baik secara

praktis maupun akademis.

1.4.1 Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian untuk

pengembangan teori keagenan dalam penganggaran sektor publik serta

menjadi bahan bacaan bagi penelitian lebih lanjut dengan topik yang sama.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil kajian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk menilai dan

memahami perilaku penyusun anggaran dan selanjutnya informasi tersebut

dapat menjadi rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk melakukan

perbaikan dalam penyusunan anggaran.


8

1.5 Kebaruan

Beberapa penelitian yang terkait Pengaruh PAD, DAU, SILPA, dan

Perilaku Opportunistik baik secara kuantitatif dan kualitatif telah dilakukan.

Penelitian-penelitian kuantitatif tentang Pengaruh PAD, DAU, SILPA sebagai

berikut : Abdullah dan Asmara (2006), Riharjo dan Isnadi (2010), Asmara

(2010), Latifah (2010), Oktriniatmaja (2011), Maryono (2013), Sularso dkk.

(2014), Sayu Made Parwati, Dkk (2015).

Keterbatasan variabel dalam beberapa penelitian diatas menyebabkan

hasil penelitian belum dapat mencerminkan hasil seluruh kabupaten / kota di

Indonesia, karena keterbatasan data. Aspek perubahan regulasi yang harus

diikuti oleh pemerintah daerah menyebabkan data penelitian dari tahun ke tahun

memiliki variansi yang cukup besar. Variansi ini terjadi karena data yang

digunakan didasarkan pada klasifikasi dan definisi dari peraturan pemerintah

dan peraturan Menteri Dalam Negeri.

Dengan beberapa keterbatasan yang dilakukan beberapa peneliti terdahulu

dari sisi variabel maka, penelitian ini dengan daerah yang berbeda dan

panambahan variabel Letak dan Jenis Pemerintahan dan Utang Daerah. Itulah

yang menjadi pemikiran peneliti untuk mengkaji Pengaruh PAD, DAU, SILPA,

Jenis dan Letak Pemerintahan dan Pinjaman Daerah Terhadap Perilaku

Oportunistik Penyusun Anggaran Di Kabupaten/Kota Se-Sulawesi Tenggara.


9

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teoritis

2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) dan Hubungan Keagenan

Antara Eksekutif dan Legislatif

Penggunaan teori keagenan telah dipergunakan secara luas baik di

sektor privat maupun sektor publik. Para ekonom menggunakan struktur

hubungan prinsipal dan agen untuk menganalisis hubungan antara

perusahaan dengan pekerja (Faria and Silva, 2013). Sementara di

sektor publik, teori keagenan dipergunakan untuk menganalisis

hubungan prinsipal-agen dalam kaitannya dengan penganggaran sektor

publik (Latifah, 2010; Abdullah, 2012). Teori keagenan menganalisis

susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok atau

organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik

secara implisit maupun eksplisit dengan pihak lain (agents) dengan

harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti

yang diinginkan principal (Jensen and Meckling, 1976).

Eisenhardt (1989) menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia

guna menjelaskan tentang teori keagenan yaitu: (1) manusia pada

umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki

daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded


10

rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse).

Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut, manajer sebagai

manusia kemungkinan besar akan bertindak mengutamakan kepentingan

pribadinya. Hal ini menimbulkan adanya konflik kepentingan antara

principal dan agent. Principal memiliki kepentingan untuk

memaksimalkan keuntungan mereka sedangkan agent memiliki

kepentingan untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan

psikologisnya.

Konflik akan terus meningkat karena principal tidak dapat

mengawasi aktivitas agent sehari-hari untuk memastikan bahwa agent

telah bekerja sesuai dengan keinginan dari principal. Permasalahan dalam

hubungan antara prinsipal dan agen bersumber dari adanya perbedaan

tujuan dan pilihan risiko yang dihadapi seperti regulasi dan

kepemimpinan (Eisenhardt, 1989). Adanya asimetri informasi juga

menyebabkan terjadinya persoalan dalam hubungan prinsipal-agen,

bilamana agen memiliki informasi lebih tentang kinerja aktual,

motivasi dan tujuan yang berpotensi menciptakan moral hazard dan

adverse selection (Latifah, 2010). Adverse selection terjadi karena adanya

perbedaan jumlah informasi yang dimiliki oleh principal dan agent

sehingga principal tidak mampu membedakan apakah agen melakukan

sesuatu yang baik atau tidak (Faria and Silva, 2013). Dalam konteks ini
11

agen cenderung menyembunyikan informasi untuk memperoleh

manfaat yang lebih demi keuntungan pribadi.

Implikasi teori keagenan muncul dalam proses penyusunan

anggaran dilihat dari dua perspektif yaitu hubungan antara rakyat

dengan legislatif, dan legislatif dengan eksekutif. Ditinjau dari perspektif

hubungan keagenan antara legislatif dengan eksekutif, eksekutif adalah

agent dan legislatif adalah principal (Halim dan Abdullah, 2006). Apabila

dilihat dari perspektif hubungan keagenan legislatif dengan rakyat, pihak

legislatif adalah agent yang membela kepentingan rakyat (principal),

akan tetapi tidak ada kejelasan mekanisme dan pengaturan serta

pengendalian dalam pendelegasian kewenangan rakyat terhadap

legislatif. Hal inilah yang seringkali menyebabkan adanya distorsi

anggaran yang disusun oleh legislatif sehingga anggaran tidak

mencerminkan alokasi pemenuhan sumber daya kepada masyarakat,

melainkan cenderung mengutamakan self-interest para pihak legislatif

tersebut. Jika hal ini terjadi, besar kemungkinan anggaran yang disahkan

adalah alat untuk melancarkan aksi pencurian hak rakyat atau sering

dikenal dengan istilah korupsi (Mauro, 1998; Keefer and Khemani,

2003).

Hubungan keagenan di pemerintahan antara legislatif dan eksekutif

menunjukkan posisi legislatif sebagai prinsipal dan eksekutif adalah agen


12

(Halim dan Abdullah, 2006; Latifah, 2010; Abdullah, 2012). Hubungan

antara prinsipal dan agen senantiasa menimbulkan masalah keagenan

yang disebut agency problems (Lupia and McCubbins, 2000).

Johnson (1994) dalam Abdullah dan Asmara (2006) menyebut hubungan

eksekutif atau birokrasi dengan legislatif atau kongres dengan nama self-

interest model. Dalam hal ini, legislators ingin dipilih kembali, birokrat

ingin memaksimumkan anggarannya, dan konstituen ingin

memaksimumkan utilitasnya. Agar terpilih kembali, legislators mencari

program dan proyek yang membuatnya populer di mata konstituen.

Birokrat mengusulkan program-program baru karena ingin agency-nya

berkembang dan konstituen percaya bahwa mereka menerima manfaat

dari pemerintah tanpa harus membayar biayanya secara penuh. Hal ini

menunjukkan bahwa baik eksekutif maupun legislatif berupaya untuk

memaksimalkan dan memanfaatkan perannya dalam penyusunan

anggaran demi memperoleh keuntungan individual maupun kepentingan

kelompok yang cenderung akan menimbulkan kerugian bagi rakyat.

Lupia and McCubbins (2000) menyatakan bahwa warganegara

adalah principal yang menunjuk perwakilannya untuk melayani mereka

sebagai agen di parlemen, sementara Andvig et al. (2001) menyebutkan

voters adalah prinsipal dari parlemen. Dalam hal pembuatan

kebijakan, Hagen (2002) berpendapat bahwa hubungan prinsipal-agen


13

yang terjadi antara pemilih (voters) dan legislatif pada dasarnya

menunjukkan bagaimana voters memilih politisi untuk membuat

keputusan-keputusan tentang belanja publik untuk mereka dan

mereka memberikan dana dengan membayar pajak. Ketika legislatif

kemudian terlibat dalam pembuatan keputusan atas pengalokasian belanja

dalam anggaran, maka mereka diharapkan mewakili kepentingan

atau preferensi prinsipal atau pemilihnya. Pada kenyataannya legislatif

sebagai agen bagi publik tidak selalu memiliki kepentingan yang sama

dengan publik (Abdullah dan Asmara, 2006).

Ada dua kondisi yang dimanfaatkan oleh eksekutif untuk

merealisasi perilaku oportunistiknya dalam proses penyusunan anggaran.

Pertama, secara eksplisit berhubungan dengan anggaran legislatif dan

kedua, melalui anggaran untuk pelayanan publik dalam bentuk “titipan”.

Pada kondisi pertama, legislatif mengusulkan anggaran yang

meningkatkan penghasilannya sehingga dapat memenuhi self-interestnya

dalam jangka pendek. Hal ini memunculkan political corruption atas

anggaran (Garamfalvi, 1997), sementara pada kondisi kedua, self- interest

dalam jangka panjang ingin dicapai. Usulan anggaran yang diperjuangkan

adalah yang mengharumkan nama politisi di wilayah tertentu, sehingga

cenderung pada usulan yang targetable atau hasilnya kelihatan jelas

oleh masyarakat. Akibatnya, pembangunan cenderung lebih diarahkan


14

pada daerah yang merupakan wilayah pemilihan politisi yang powerful di

legislatif.

Martinez et al. (2004) menyatakan bahwa political corruption

terjadi ketika politisi atau birokrat tingkat atas memanfaatkan kedudukan

mereka demi keuntungan pribadi ataupun kalangan dekat mereka.

Menurut Mauro (1998) salah satu contohnya yaitu dengan

mengalokasikan belanja untuk barang-barang khusus dan

berteknologi tinggi karena merupakan belanja yang mudah

dikorupsi sebab tidak banyak orang yang memahami barang tersebut.

Insentif korupsi dalam sisi belanja anggaran pemerintah menurut

Martinez et al. (2004) adalah kurangnya standar etika dan moral,

kemungkinan terdeteksi yang rendah, pengawasan dan sanksi yang

lemah, atau ketidakcukupan gaji dan insentif lainnya.

2.1.2 Aspek Keperilakuan dalam Penganggaran

Aspek keperilakuan dalam penganggaran mengacu pada perilaku

manusia yang muncul dalam proses penyusunan anggaran dan

perilaku manusia yang didorong ketika manusia mencoba hidup

dengan anggaran (Suartana, 2010). Aspek keperilakuan dalam

penganggaran dibedakan atas dua unit analisis yaitu organisasi dan

individu. Menurut Belkaoui (1989) dalam Suartana (2010) ada


15

kecenderungan dari organisasi dan individu untuk tidak mengoptimalkan

sumber daya yang tersedia dan tidak melakukan efisiensi yang sering

disebut slack atau senjangan. Perilaku oportunistik penyusun anggaran

dapat dilihat dari peningkatan alokasi belanja pada sektor tertentu yang

termasuk perilaku disfungsional yang timbul pada penganggaran. Elias

(2013) menyebutkan bahwa perilaku oportunistik akan mendorong

individu berperilaku tidak etis untuk meningkatkan self interestnya.

2.1.3 Hubungan PAD, DAU, SiLPA dan Pinjaman Daerah Dengan

Perilaku Oportunistik

Istilah oportunistik berasal dari kata opportunity yang berarti

kesempatan. Perilaku oportunistik mengacu pada pribadi, sifat atau

dinamika kelompok dalam menghadapi suatu kondisi dimana dalam posisi

tertentu merasa mempunyai kesempatan atau peluang lebih untuk

melakukan sesuatu sesuai keinginan. Perilaku oportunistik merupakan

perilaku yang berusaha mencapai keinginan dengan segala cara bahkan

cara ilegal sekalipun (Maryono, 2013). Lebih jauh Maryono (2013)

menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi perilaku oportunistik

adalah kekuatan (power) dan kemampuan (ability).

Penyusunan anggaran merupakan tahapan yang kompleks, dan

perilaku menjadi salah satu faktor kunci di dalamnya (Raghunandan et al.,


16

2012) Keberhasilan pencapaian tujuan organisasi dapat terwujud apabila

pihak – pihak yang terlibat pada penyusunan anggaran memberikan

Manfaat maksimum. Sebaliknya, perilaku oportunistik terjadi ketika

pihak-pihak yang terlibat pada penyusunan anggaran lebih

mengutamakan self interest-nya sehingga menimbulkan korupsi yang

merugikan kepentingan umum (Mauro, 1998; Martinez et al., 2004).

Studi Abdullah (2012) menemukan adanya perbedaan preferensi

antara eksekutif dan legislatif dalam pengalokasian spread PAD ke dalam

belanja sektoral. Alokasi untuk infrastruktur dan DPRD mengalami

kenaikan, tapi alokasi untuk pendidikan dan kesehatan justru mengalami

penurunan. Abdullah (2012) menemukan bahwa power legislatif yang

sangat besar menyebabkan diskresi atas penggunaan PAD tidak sesuai

dengan preferensi publik. Penelitian Sularso dkk. (2014) serta Abdullah

dan Asmara (2006) menunjukkan bahwa semakin besar PAD maka

perilaku oportunistik penyusunan anggaran akan semakin besar.

Tujuan dari dana alokasi umum adalah untuk pemerataan

keuangan antar daerah. Penerimaan DAU membuka ruang bagi legislatif

untuk memaksimalkan utilitasnya dengan merekomendasikan eksekutif

agar mengalokasikan anggaran untuk kegiatan atau proyek-proyek

yang menguntungkan legislatif (Abdullah,2012). Transfer dari

pemerintah pusat memiliki keterkaitan sangat erat dengan belanja


17

pemerintah daerah. Oktririniatmaja (2011) menyatakan bahwa DAU

berpengaruh positif terhadap peningkatan alokasi belanja modal.

Kecenderungan perilaku oportunistik yang dilakukan politisi pada

level pemerintah daerah tidak dapat dilakukan pada sisi pendapatan,

karena pendapatan daerah sebagian besar bersumber dari dana transfer

pemerintah pusat (Bartolini and Santolini, 2007). Lebih lanjut disebutkan

bahwa kondisi ini menyebabkan perilaku oportunistik yang dilakukan

politisi hanya dapat memengaruhi sisi belanja dalam APBD. DAU yang

diterima daerah dapat mengakibatkan perubahan alokasi anggaran dalam

APBD (Maryono, 2013).

Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa pendidikan dan kesehatan

merupakan bentuk pelayanan publik yang paling mendasar, namun jenis

belanja tersebut tidak dapat memberikan peluang untuk korupsi, sehingga

anggaran pendidikan, kesehatan, dan sosial akan diperkecil (Mauro,

1998). Studi Mauro (1998) menunjukkan bahwa jenis-jenis belanja

pemerintah berupa belanja barang atau pelayanan untuk program-

program dan kegiatan yang sulit untuk dimonitor orang lain, membuka

peluang terjadinya perilaku oportunistik. Hasil penelitian ini dikuatkan

oleh Tanzi and Davoodi (2002) yang mengemukakan bahwa belanja

investasi publik lebih disukai karena dapat memberikan komisi lebih


18

besar daripada belanja untuk pelayanan sosial, pendidikan, dan

kesehatan.

SiLPA tahun anggaran sebelumnya memiliki pengaruh pada

pengalokasian APBD periode selanjutnya (Sularso dkk., 2014). Lebih

lanjut dijelaskan bahwa SiLPA berpengaruh positif pada alokasi belanja

pada tahun berikutnya sehingga hal ini memberi peluang bagi penyusun

anggaran untuk mengalokasikan free cash flow tersebut untuk berperilaku

oportunistik.

Konsep dasar pinjaman daerah dalam PP 54/2005 dan PP 30/2011

pada prinsipnya diturunkan dari UU 33/2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam UU

tersebut disebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan

desentralisasi fiskal, untuk memberikan alternatif sumber pembiayaan bagi

pemerintah daerah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, maka pemerintah daerah

dapat melakukan pinjaman. Namun demikian, mengingat pinjaman

memiliki berbagai risiko seperti risiko kesinambungan fiskal, risiko

tingkat bunga, risiko pembiayaan kembali, risiko kurs, dan risiko

operasional, maka Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal nasional

menetapkan batas-batas dan rambu-rambu pinjaman daerah.


19

2.1.4 Hubungan Jenis dan Letak Pemerintahan Dengan Perilaku

Oportunistik

Jenis dan Letak Pemerintahan dapat di samakan sebagai status

daerah, dimana pandangan bahwa status daerah mempengaruhi

kelengkapan pengungkapan dikarenakan adanya perbedaan karakteristik

masyarakat dan struktur pendapatan antar daerah. Perbedaan ini dapat

berimplikasi pada kontrol sosial yang berbeda pula (Abdullah, 2004).

Kontrol sosial pada penduduk kota cenderung lebih kuat, sehingga

Pemerintah Daerah yang berstatus sebagai Kota akan cenderung mematuhi

standar anggaran.

2.2. K ajian Empiris

Penelitian terkait perilaku oportunistik dalam penyusunan anggaran

yang telah dilakukan selama ini lebih fokus pada peranan legislatif dalam

proses penyusunan anggaran. Sementara di sisi lain penyusunan anggaran di

Indonesia merupakan proses bersama antara eksekutif dan legislatif. Adanya

asimetri informasi dalam hubungan keagenan antara legislatif dan eksekutif

membuka peluang terjadinya perilaku oportunistik (Latifah, 2010).

Abdullah dan Asmara (2006) meneliti perilaku oportunistik

legislatif dalam pengalokasian sumberdaya dalam anggaran belanja.

Penelitian ini menguji pengaruh pendapatan sendiri terhadap perilaku


20

oportunistik legislatif (OL) dengan menggunakan jenis dan letak

pemerintahan sebagai variabel kontrol. Perilaku oportunistik dihitung dengan

menjumlahkan spread anggaran pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan

anggaran legislatif yang merupakan selisih angka antara RAPBD dan APBD.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan PAD berpengaruh terhadap

perilaku oportunistik legislatif, sedangkan jenis dan letak pemerintahan tidak

berpengaruh. Penelitian Maria (2009) juga menunjukkan bahwa PAD dan

SiLPA berpengaruh signifikan terhadap perilaku oportunistik legislatif

kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam pengalokasian

anggaran daerah saat perubahan APBD.

Penelitian Riharjo dan Isnadi (2010) menguji pengaruh perilaku

oportunistik pejabat eksekutif atas penggunaan penerimaan sumber daya alam

dalam penyusunan APBD. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data

APBD dari 31 propinsi seluruh Indonesia dengan menggunakan teknik

regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku

oportunistik pejabat eksekutif mendorong pengaruh belanja pegawai langsung,

belanja barang dan jasa, serta belanja modal terhadap meningkatnya slack

anggaran dalam penetapan alokasi belanja untuk kemakmuran rakyat yang

berasal dari pendapatan sumber daya alam.

Oktririniatmaja (2011) meneliti pengaruh PAD, DAU dan DAK

terhadap alokasi belanja modal dalam APBD Kabupaten/Kota di Pulau


21

Jawa, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara. Penelitian ini

menggunakan teknik analisis regresi bergan da untuk menguji pengaruh

antar variabel serta uji beda untuk menilai perbedaan pengaruh antar

wilayah. Data yang diteliti yaitu APBD Kabupaten/Kota sebanyak 147

dengan rentang waktu 2004 – 2008. Hasil penelitian menemukan bahwa

PAD, DAU dan DAK berpengaruh positif terhadap alokasi belanja

modal, sedangkan uji beda menunjukkan bahwa belanja modal dan

PAD di Pulau Jawa lebih tinggi dari daerah di luar Pulau Jawa.

Penelitian Suryarini (2012) tentang pengaruh PAD terhadap perilaku

oportunistik legislatif dengan menggunakan jenis pemerintahan dan letak

pemerintahan sebagai variabel kontrol. Penelitian ini menggunakan

teknik analisis regresi dan hasilnya menunjukkan bahwa PAD berpengaruh

positif terhadap perilaku oportunistik legislatif, sedangkan jenis dan letak

pemerintahan tidak berpengaruh. Lebih lanjut Sularso dkk. (2014) menguji

Pengaruh PAD, DAU, Silpa, terhadap perilaku oportunistik penyusunan

anggaran di Kabupaten/Kota se-Jawa Tengah. Analisis dilakukan untuk

data APBD Tahun 2010 – 2012 dengan jumlah pengamatan sebanyak

135, menggunakan alat analisis regresi berganda. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa semakin besar PAD, DAU dan SiLPA maka semakin

besar perilaku oportunistik penyusunan anggaran.


22

BAB III
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Pikir

Proses penyusunan anggaran merupakan tahapan yang rumit dan

penuh dengan nuansa politis. Proses penganggaran pada organisasi sektor

publik khususnya pemerintah daerah adalah proses politik yang sangat

didominasi oleh politik anggaran yang dilakukan oleh pihak – pihak yang

terlibat. Nuansa politik anggaran semakin menguat karena pemerintah

memiliki sumber daya yang terbatas sementara rencana kebutuhan relatif

banyak. Sumber pendapatan dalam APBD berasal dari PAD, Dana

Perimbangan dan penerimaan pembiayaan yang dipergunakan untuk

membiayai pengeluaran pemerintah yang telah direncanakan pada tahun

bersangkutan.

Secara konseptual perubahan pendapatan dalam APBD akan

berpengaruh terhadap belanja. Perubahan PAD berpengaruh secara

signifikan terhadap perilaku oportunistik legislatif (Abdullah dan Asmara,

2006; Maria, 2009). Sumber pendapatan daerah berupa DAU adalah dana

yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan

keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam

rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU memiliki proporsi yang paling besar

pada penerimaan daerah, dimana seharusnya pemerintah daerah secara leluasa


23

dapat menggunakan dana ini untuk memberi pelayanan yang lebih baik

kepada masyarakat. Keleluasaan tersebut berpotensi membuka ruang

terjadinya perilaku oportunistik baik pada legislatif maupun eksekutif.

Maryono (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dana alokasi

umum dengan perilaku oportunistik penyusun anggaran.

SiLPA merupakan penerimaan daerah yang bersumber dari sisa kas

tahun anggaran sebelumnya untuk menutupi defisit anggaran apabila

realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja. Penelitian Sularso

dkk. (2014) menemukan bahwa SiLPA berpengaruh positif terhadap belanja

modal pada periode anggaran selanjutnya, yang berarti dapat berpengaruh

pada alokasi belanja tahun berikutnya sehingga hal ini memberi ruang bagi

penyusun anggaran untuk mengalokasikan free cash flow tersebut untuk

melakukan perilaku oportunistik.

Perilaku oportunistik merupakan perilaku yang berusaha mencapai

keinginan dengan segala cara bahkan cara ilegal sekalipun yang

dipengaruhi oleh adanya kekuatan (power) dan kemampuan (ability)

(Maryono, 2013). Perilaku oportunistik anggaran (fiscal opportunism), yaitu

perilaku oportunistik dalam pembuatan keputusan alokasi belanja dan

preferensi yang mengarah pada alokasi belanja yang dapat memberikan

keuntungan pribadi (Romarina dan Makfatih, 2010). Fenomena perilaku

oportunistik penyusun anggaran dapat dilihat dari pengalokasian anggaran


24

yang lebih mengarah pada preferensi yang menguntungkan pihak tertentu,

sehingga kebutuhan masyarakat tidak menjadi prioritas utama. Berdasarkan

hal tersebut, maka Kerangka Berpikir dalam penelitian ini dapat

digambarkan seperti pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Kerangka Berpikir


25

Penelitian ini dilaksanakan untuk menunjukkan pengaruh variabel

independen terhadap variabel dependen. Berdasarkan Kerangka

berpikir diatas, maka dapat kami susun konsep penelitian seperti pada

Gambar 3.2.

Gambar 3.2. Skema Konsep Penelitian

3.2. Hipotesis

Berdasarkan kajian empiris pada Bab II, maka peneliti

merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:


26

H1 : Terdapat pengaruh positif signifikan PAD terhadap Perilaku

Oportunistik Penyusun Anggaran.

H2 : Terdapat pengaruh positif signifikan DAU terhadap Perilaku

Oportunistik Penyusun Anggaran

H3 : Terdapat pengaruh positif signifikan SiLPA terhadap Perilaku

Oportunistik Penyusun Anggaran.

H4 : Terdapat pengaruh positif signifikan Letak Pemerintahan terhadap

Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran.

H5 : Terdapat pengaruh positif signifikan Pinjaman Daerah terhadap

Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran.


27

BAB IV

METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian merupakan Penelitian kuantitatif atau penelitian

ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta

hubungan-hubungannya. Tujuan penelitian kuantitatif adalah

mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori-teori

dan/atau hipotesis yang berkaitan dengan fenomena. Proses pengukuran

adalah bagian yang sentral dalam penelitian kuantitatif karena hal ini

memberikan hubungan yang fundamental antara pengamatan empiris dan

ekspresi matematis dari hubungan-hubungan kuantitatif. Penelitian ini

mengarahkan pada pemilihan sumber – sumber daya dan tipe informasi yang

diperlukan untuk menunjukkan hubungan antar variabel yang diteliti dan

menggariskan langkah – langkah dalam setiap aktivitas penelitian. Penyusunan

rancangan penelitian didasarkan pada fenomena atau topik penelitian dengan

memperhatikan aktivitas serta waktu. Rancangan penelitian merupakan

rencana dari struktur penelitian yang mengarahkan proses dan hasil riset

sedapat mungkin menjadi valid, obyektif, efisien dan efektif (Jogiyanto, 2004).
28

4.2. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menguji pengaruh variabel independen yaitu PAD, DAU

dan SiLPA, Letak dan Jenis Pemerintahan dan Pinjaman Daerah terhadap

variabel dependen yaitu perilaku oportunistik penyusun anggaran.

Berdasarkan fenomena yang terjadi serta kajian teoritis dan empiris, maka

dirumuskan masalah penelitian serta hipotesis. Pengujian dilakukan secara

statistik dengan menggunakan data sekunder yang akan dianalisis dengan

teknik analisis regresi linier berganda. Hasil analisis kemudian akan

diinterpretasikan untuk menjawab permasalahan penelitian sehingga

diperoleh suatu simpulan penelitian. Rancangan penelitian dapat

digambarkan seperti Gambar 4.1.


29

4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian mempunyai kriteria yaitu daerah yang sudah mekar

dibawah tahun 2010, sementara daerah yang mekar di atas tahun 2010 tidak

masuk dalam lokasi penelitian ini. Berdasarkan kriteria tersebut maka lokasi

penelitian dilaksanakan di 1 2 (dua belas) Kabupaten/Kota se-Sulawesi

Tenggara dari 17 (tujuh belas) Kabupaten/Kota se-Sulawesi Tenggara untuk

menganalisis data APBD pada kurun waktu 2010 – 2016.

4.4 Variabel Penelitian

Variabel-variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel dependen

yaitu perilaku oportunistik penyusun anggaran dan variabel independen yaitu

PAD, DAU dan SiLPA, Jenis dan Letak Pemerintahan dan Pinjaman

Daerah.

4.5 Definisi Operasional

Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus

dioperasionalisasikan dengan cara mengubahnya menjadi variabel, yang

berarti sesuatu yang mempunyai variasi nilai. Variabel-variabel dalam

penelitian ini terdiri dari variabel dependen yaitu perilaku oportunistik

penyusun anggaran dan variabel independen yaitu PAD, DAU dan SiLPA,

Jenis dan Letak Pemerintahan dan Pinjaman Daerah.


30

4.5.1 Variabel Dependen

Variabel dependen pada penelitian ini adalah Perilaku

Oportunistik Penyusun Anggaran (OPA). OPA menunjukkan perubahan

(spread) alokasi anggaran belanja tertentu dari APBD tahun sebelumnya ke

APBD tahun berjalan. Spread terjadi karena perbedaan preferensi dalam

pengalokasian sumberdaya antara principal dan agents (Abdullah, 2012).

Nilai OPA menunjukkan adanya perilaku penyusun anggaran yang

memanfaatkan kekuasaan dan kewenangannya untuk mempengaruhi

kebijakan pengalokasian anggaran sesuai dengan preferensi diri atau

kelompoknya, sehingga nilai OPA menggambarkan besaran self-interest

penyusun anggaran (Abdullah, 2012). Pengukuran OPA dikembangkan dari

penelitian Abdullah (2012), dengan tahap pengukuran sebagai berikut:

1) Menghitung spread alokasi anggaran belanja dari APBD tahun berjalan

ke tahun sebelumnya. Perhitungan spread(Δ) = APBD tahun berjalan (t) –

APBD tahun sebelumnya (t-1). Sektor yang diamati adalah pendidikan, kesehatan,

pekerjaan umum, hibah dan bansos atau yang masuk dalam biaya tak

langsung, yaitu :
31

a) ΔPdk yaitu penurunan alokasi untuk belanja pendidikan b)

ΔKes yaitu penurunan alokasi untuk belanja kesehatan c)

ΔPU yaitu kenaikan alokasi untuk belanja PU

b) ΔHibah yaitu kenaikan alokasi untuk belanja hibah

c) ΔBansos yaitu kenaikan alokasi untuk belanja bansos

Semua kenaikan dan penurunan alokasi tersebut dinyatakan dalam

satuan rupiah dan bertanda positif, namun jika yang terjadi sebaliknya

atau tidak terjadi perubahan seperti di atas maka diberi nilai 0 (nol).

2) Mengagregasi atau menggabungkan spread yang menunjukkan OPA

secara keseluruhan. Perhitungan OPA= ΔPdk + ΔKes + ΔPU + ΔHibah

+ ΔBansos

4.5.2 Variabel Independen

Variabel independen pada penelitian ini yang mempengaruhi OPA

terdiri dari lima variabel yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi

Umum (DAU), Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA), Jenis dan Letak

Pemerintahan dan Pinjaman Daerah.

1) Pendapatan Asli Daerah (PAD)

2) Dana Alokasi Umum (DAU)

3) Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA)


32

4) Jenis dan Letak Pemerintahan

5) Pinjaman Daerah

4.6 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis data dalam penelitian ini terdiri atas sumber data sekunder. Data

sekunder adalah data yang diperoleh/ dikumpulkan dan disatukan oleh studi-

studi sebelumnya atau yang diterbitkan oleh berbagai instansi lain atau sumber

tidak langsung berupa data dokumentasi dan arsip-arsip resmi.

dalam penelitian ini teknik pengumpulan datanya sebagai berikut:

1) Menetapkan (mencari-temukan) sumber data/informasi ;

2) Mengumpulkan data yang sudah tersedia (dalam “dokumen”);

3) Menormalisasikan data jika diperlukan dan memungkinkan (membuat

data dari berbagai sumber sesetara mungkin “menjadi satu bentuk yang

sama”);

4) Menganalisis data (menghitung, mentabulasi, memetakan data-data

kuantiatif, atau membandingkan berbagai peraturan dan menelaahnya).

4.7 Teknik Analisis Data

Alat analisis data dalam penelitian ini menggunakan regresi linier

berganda untuk melihat ketergantungan variabel dependen dengan satu atau


33

lebih variabel independen. Persamaan regresi yang digunakan adalah (Sularso

dkk. 2014):

Y= α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 ε………………..4)

Keterangan :

Y : Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran

X1 : Pendapatan Asli Daerah

X2 : Dana Alokasi Umum

X3 : Sisa Lebih Perhitungan Anggaran

X4 : Jenis dan Letak Pemerintahan

X5 : Pinjaman Daerah

α : Konstanta.

β : Koefisien Regresi.

ε : Error.

Penelitian ini masuk ke dalam analisis korelasi yaitu analisis statistik

yang berusaha untuk mencari hubungan atau pengaruh antara dua buah variabel

atau lebih. Dalam analisis korelasional ini, variabel dibagi ke dalam dua bagian,

yaitu: Variabel bebas (Independent Variable), yaitu variabel yang


34

keberadaannya tidak dipengaruhi oleh variabel lain dan variabel terikat

(Dependent Variable), yaitu variabel yang keberadaannya dipengaruhi oleh

variabel yang lain.

4.7.1 Pengujian Asumsi Klasik

Pengujian asumsi klasik bertujuan untuk mengetahui dan menguji

kelayakan atas model regresi yang digunakan dalam penelitian supaya

hasilnya BLUE atau Best Linear Unbiased Estimator (Ghozali, 2011).

4.7.1.1 Uji Normalitas Residual

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,

variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Seperti

diketahui bahwa uji t dan F mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti

distribusi normal. Kalau asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak

valid untuk jumlah sampel kecil (Ghozali, 2011). Uji normalitas residual

dilakukan dengan menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov dengan tingkat

signifikansi 5%.

4.7.1.2 Uji Multikoloniearitas

Uji multikoloniearitas bertujuan untuk menguji apakah pada

model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (Ghozali, 2011).

Multikoloniearitas terjadi dalam analisis regresi berganda apabila


35

variabel-variabel bebas saling berkorelasi yang dapat dilihat dari nilai

tolerance dan lawannya Variance Inflation Factor (VIF). Kedua ukuran

tersebut menunjukkan variabel independen mana yang dijelaskan oleh

variabel independen yang lainnya. Tolerance mengukur variabilitas

variabel independen yang terpilih yang tidak dijelaskan oleh variabel

independen lainnya. Nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF

tinggi (karena VIF = 1/tolerance). Nilai cut off yang umum dipakai untuk

menunjukkan adanya multikoloniearitas adalah nilai Tolerance< 0.10 atau

sama dengan nilai VIF > 10 (Ghozali, 2011).

4.7.1.3 Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model

regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke

pengamatan yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan

ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika

berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah

Homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas (Ghozali, 2011). Uji

statistik yang digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas

dalam penelitian ini adalah Uji Glejser. Uji Glejser dilakukan dengan

meregresikan variabel bebas terhadap nilai residual mutlaknya dengan

probabilitas signifikansi 5%. Suatu model regresi dikatakan tidak mengandung


36

adanya heteroskedastisitas, jika tidak ada satu pun variabel independen yang

signifikan secara statistik mempengaruhi variabel dependen (Ghozali, 2011).

4.7.1.4 Uji Autokorelasi

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data time series,

sehingga menggunakan pengujian autokorelasi. Uji autokorelasi bertujuan

untuk menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara

kesalahan pengganggu pada periodet dengan kesalahan pengganggu pada

periodet-1(Ghozali,2011). Untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi

dapat dilihat dari nilai Durbin Watson pada output pengujian. Model

regresi terbebas dari autokorelasi jika nila Durbin Watson hitung terletak di

daerah no autocorrelation atau tidak terletak di daerah negative/positive

autocorrelation. Penentuan letak tersebut dibantu dengan tabel dL dan dU,

sesuai nilai K yang merupakan jumlah variabel (Ghozali, 2011).

4.7.2 Uji Goodness of Fit dan Pengujian Hipotesis

Ketepatan fungsi regresi suatu sampel dalam menaksir nilai aktual

dapat diukur dari goodness of fit-nya (Ghozali, 2011). Secara statistik,


37

2
setidaknya ini dapat diukur dari nilai koefisien determinasi (R ), nilai

statistik F dan nilai statistik t.

4.7.2.1 Uji Koefisien Determinasi

2
Koefisien determinasi (R ) mengukur seberapa jauh kemampuan

model dalam menerangkan variasi variabel dependen (Ghozali, 2011). Nilai

koefisien determinasi adalah antara nol dan satu. Nilai R yang kecil

berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi

variabel dependen amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-

variabel independen memberikan hampir semua informasi yang

dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen (Ghozali, 2011).

Secara umum, koefisien determinasi untuk data runtut waktu (time series)

biasanya mempunyai nilai koefisien determinasi yang tinggi.

4.7.2.2 Uji F

Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua

variabel independen atau bebas yang dimasukkan dalam model

mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel

dependen/terikat (Ghozali, 2011). Uji F dapat dilakukan dengan melihat nilai

signifikansi F pada output hasil regresi menggunakan Stastistical Package for

Social Science (SPSS) dengan significance level 0,05 (5%). Jika nilai

signifikansi lebih besar dari 0,05 maka hipotesis ditolak (koefisien regresi
38

tidak signifikan), yang berarti secara simultan variabel-variabel bebas tidak

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat. Jika nilai

signifikansi lebih kecil dari 0,05 maka hipotesis tidak dapat ditolak

(koefisien regresi signifikan). Ini berarti bahwa secara simultan variabel-

variabel bebas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat.

4.7.2.3 Uji t

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah masing-

masing variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara

signifikan. Dasar pengambilan keputusannya dilakukan dengan melihat nilai

signifikansi t masing – masing variabel pada output hasil regresi dengan SPSS

dengan tingkat signifikansi

0,05. Jika hasil regresi menunjukkan nilai signifikansi < 0,05, maka kita

menerima hipotesis alternatif yang menyatakan bahwa suatu variabel

independen secara individual mempengaruhi variabel dependen (Ghozali,

2011).
39

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S. 2012. Perilaku Oportunistik Legislatif dan Faktor – Faktor Yang
Mempengaruhinya: Bukti Empiris dari Penganggaran Pemerintah Daerah di
Indonesia. Ringkasan Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Abdullah, S. dan Asmara, J.A. 2006. Perilaku Oportunistik Legislatif Dalam


Penganggaran Daerah: Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di
Sektor Publik. Jurnal Simposium Nasional Akuntansi 9. Padang 23-26
Agustus.

Andvig, J.C., Fjeldstad, O.H., Amundsen,I., Sissener, T., and Søreide, T.


2001. Corruption: A review of contemporary research. Chr. Michelsen
Institute Development Studies and Human Rights Report R 2001: 7.

Asmara, J.A. 2010. Analisis Perubahan Alokasi Belanja Dalam Anggaran


Pendapatan dan Belanja Daerah (APBA) Provinsi Naggroe Aceh Darussalam.
Jurnal Telaah & Riset Akuntansi Vol. 3. No. 2 . Juli 2010 Hal. 155-172.

Bartolini, D., and Santolini, R. 2007. Fiscal Rules and The Opportunistic
Behaviour of The Incumbent Politician: Evidence From Italian Municipalities.
Working Paper. Institute of Local Public Finance February 2007.

Cioffi, M., Messina, G., and Tommasino, P. 2012. Parties, Institutions


and Political Budget Cycles at Municipal Level: Evidence from Italy.
Working paper at Meeting of the Public Choice Society Januari 2012.

Eisenhardt, K.M. 1989. Agency theory: An assessment and review.


Academy of
Management Review 14(1):
57-74.
40

Elias, R. Z. 2013. The Impact of Machiavellianism and Opportunism on


Business Students’ Love of Money. Southwestern Business
Administration Journal (SBAJ) Volume 13 Issue 1&2, 2013, pp.1-22.

Faria, J.A., dan Silva, S.M.G. 2013 The Effects of Information Asymmetry
on Budget Slack: An Experimental Research. African Journal of Business
Management vol 7(13),pp.1086-1079.

Garamfalvi, L. 1997. Corruption in The Public Expenditure Management


Process.
th
Paper presented at 8 International Anti-Corruption Conference, Peru
7-11 September.

Ghozali, I. 2011. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS :


Cetakan
IV. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.

Gilardi, F. 2001. Principal-agent models go to Europe: Independent


regulatory agencies as ultimate step of delegation. Paper presented at the
ECPR General Conference, Canterbury (UK), 6-8 September 2001.

Hagen, J.V. 2002. Fiscal rules, fiscal institutions, and fiscal performance.
The
Economic and Social review 33(3): 263-
284.

Halim, A. dan Abdullah, S. 2006. Hubungan dan Masalah Keagenan di


Pemerintahan Daerah: Sebuah Peluang Penelitian Anggaran dan Akuntansi.
Jurnal Akuntansi Pemerintah 2(1): 53-64.

James, W. 2006. A processual view of institutional change of the budget


process within an Australian government–owned electricity corporation.
International Journal of Public Sector, 19(1), 5-39.

Jensen, M.C. and W.H. Meckling. 1976. Theory of The Firm: Managerial
Behavior, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial
Economics.Vol.3.No.4.pp.305-360.

Jogiyanto. 2004. Metodologi Penelitian Bisnis. Yogyakarta:


BPFE.

Jumaidi, L.T. 2014. Perilaku Legislatif dalam Praktik Penganggaran


dengan
41

Pendekatan Nilai – Nilai Kearifan Lokal. Jurnal Simposium Nasional


Akuntansi
17 Mataram Lombok 24 -27 September
2014.

Kamaliah, D., Edfan dan Viorita, V. 2010. Pengaruh Perilaku Oportunistik


terhadap Hubungan Partisipasi Anggaran dengan Kinerja Manajerial (Studi
Empiris pada Pegawai Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi di
Provinsi Riau). Jurnal Ekonomi Volume 18, Nomor 2 Juni 2010.

Keefer, P. and Khemani, S. 2003. The political economy of public


expenditures. Background paper for WDR 2004: Making Service Work for
Poor People. The World Bank.

Latifah, N.P. 2010. Adakah Perilaku Oportunistik dalam Aplikasi Agency


Theory di Sektor Publik ?. Fokus Ekonomi Vol. 5 No. 2 Desember 2010 : 85 –
94.

Liza, N.B.A.Jamil. C.Z.M and Nor, N.A.M. 2013. Ethical Antecedents of


Dysfunctional Behaviour in Performance Measurement and Control
System. Asian Social Science ( 9)1.

Lupia, A. and McCubbins, M. 2000. Representation or abdication? How


citizens use institutions to help delegation succeed. European Journal of
Political Research 37:291-307.

Magner, N. and G.G. Johnson. 1995. Municipal officials’ reactions to


justice in
budgetary resource allocation. Public Administration Quarterly: 439-
456.

Magner, N.R., Johnson, G.G., Little, H.T. Staley, A.B. and Welker, R.B.
2006. The case of fair budgetary procedures. Managerial Auditing Journal,
21(4), 408-419.

Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta:


Penerbit Andi.

Maria, F.T. 2009. Perilaku Oportunistik Legislatif Dalam Penganggaran


Daerah: Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik. E-
Jurnal UGM.
42

Martinez, J.V., Arze, J. and Boex, J. 2004. Corruption, Fiscal Policy, and
Fiscal Management. Working Paper. Georgia State University.
http://www.fiscalreform.net.

Maryono, R. 2013. Pengaruh Perubahan Dana Alokasi Umum


TerhadapPerilaku
Oportunistik Legislatif Dalam Penganggaran Daerah. E-Jurnal
UNP.

Mauro, P. 1998. Corruption and the composition of government


expenditure. Journal of Public Economics 69: 263-279.

Oktririniatmaja, R. 2011. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana


Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap Pengalokasian Anggaran
Belanja Modal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, Sulawesi Tenggara dan
Nusa Tenggara. E-Journal Universitas Sebelas Maret.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang


Pedoman
Pengelolaan Keuangan
Daerah.

Radebe, L.Z and Radebe, P.Q. 2014. Behavioural factors as determinants of


effective budgeting process in public secondary schools. Mediterranian
Journal of Social Science 5(23).

Raghunandan, M. Ramgulam,N and Raghunandan, K. 2012. Examining the


behavioural aspects of budgeting with particular emphasis on public
sector/ service budgets. International Journal of Business and Social Science
3(14).

Riharjo, I.B. dan Isnadi. 2010. Perilaku Oportunistik Pejabat Eksekutif dalam
Penyusunan APBD ( Bukti Empiris atas Penggunaan Penerimaan Sumber
Daya Alam). Jurnal Ekuitas Vol.14 No. 3 September:388-410.

Ritonga, I.T. dan M.I. Alam.2010. Apakah Incumbent Memanfaatkan


Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk Mencalonkan
KemSulawesi Tenggara dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilukada). Jurnal Simposium Nasional Akuntansi XIII. Purwokerto.

Romarina, A. dan A. Makfatih. 2010. Faktor – Faktor Risiko Fiskal


dam Penganggaran Daerah. Jurnal BPPK Volume I.
43

Seabright, P. 1996. Accountability and decentralisation in government: An


incomplete contracts models. European Economic Review 40:61-89.

Smith, R.W. and M. Bertozzi. 1998. Principals and agents: An explanatory


model of public budgeting. Journal of Public Budgeting, Accounting and
Financial Management: 325-353.

Suartana, I.W. 2010. Akuntansi Keperilakuan: Teori dan


Implementasi. Yogyakarta: Penerbit ANDI.

Sujaie, A.F. 2013. Oportunisme Perumus Kebijakan Anggaran dalam


Penyusunan APBD Provinsi Jawa Timur Tahun 2013: Fenomena dalam
Pelaksanaan Belanja Hibah dan Bansos. E-Journal UGM.

Sularso, H., Restianto, Y.E. dan Istiqomah, A.E. 2014. Determinan Perilaku
Oportunistik Penyusunan Anggaran (Studi pada Kabupaten/Kota di
Jawa Tengah). Jurnal Simposium Nasional Akuntansi 17 Mataram
Lombok 24 -27 September 2014.

Suryarini, T. 2012. Perilaku Oportunistk Legialtaif dalam Penganggaran


Daerah: Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik.
Jurnal Review Akuntansi dan Keuangan Vol. 2 No. 1 April 2012.

Tanzi, V. and Davoodi, H. 2002. Corruption, public investment, and growth,


Governance, Corruption, & Economic Performance. Washington, D.C.:
International Monetary Fund.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437).

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan


Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4438).

Anda mungkin juga menyukai