Anda di halaman 1dari 44

i

PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH PAD, DAU, SILPA, JENIS DAN LETAK


PEMERINTAHAN DAN PINJAMAN DAERAH TERHADAP
PERILAKU OPORTUNISTIK PENYUSUN ANGGARAN DI
KABUPATEN/KOTA SE-SULAWESI TENGGARA

OLEH
YUSUF JAYA SAPUTRA
NIM G2E1 16 061

ILMU EKONOMI (S3)


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI
TAHUN 2021
ii

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ....................................................................... ii

DAFTAR ISI .........................................................................

BAB I PENDAHULUAN ........................................................ 1

1.1 Latar Belakang ................................................................ 1


1.2 Rumusan Masalah ........................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................ 6
1.4 Manfaat Penelitian........................................................... 7
1.4.1 Manfaat Akademis.......................................................... 7
1.4.2 Manfaat Praktis............................................................... 7
1.5 Kebaruan ......................................................................... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA ......................................................... 9

2.1 Teori Teoritis...................................................................... 9


2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) dan Hubungan
Keagenan Antara Eksekutif dan Legislatif ....................... 9
2.2.2 Aspek Keperilakuan dalam Penganggaran......................... 14

2.2.3 Hubungan PAD, DAU, SiLPA dan Pinjaman Daerah


Dengan Perilaku Oportunistik........................................... 14

2.2.3 Hubungan Jenis dan Letak Pemerintahan Dengan


Perilaku Oportunistik........................................................ 19
2.2 Kajian Empiris ............................................................. 19

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS................. 22


iii

3.1 Kerangka Berpikir ........................................................... 22


3.3 Hipotesis .......................................................................... 25

BAB IV METODE PENELITIAN............................................... 27

4.1 Jenis Penelitian .............................................................. 27


4.2 Rancangan Penelitian ...................................................... 28
4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian.......................................... 29
4.4 Variabel Penelitian ........................................................ 29
4.5 Definisi Operasional....................................................... 29
4.5.1 Variabel Dependen ............................................. 30
4.5.2 Variabel Independen ........................................... 31
4.6 Jenis Dan Teknik Pengumpulan Data.............................. 32
4.7 Teknik Analisis Data ...................................................... 32
4.7.1 Pengujian Asumsi Klasik................................... 34
4.7.1.1 Uji Normalitas Residual ........................ 34
4.7.1.2 Uji Multikoloniearitas............................ 34
4.7.1.3 Uji Heteroskedastisitas .......................... 35
4.7.1.4 Uji Autokorelasi .................................... 36
4.7.2 Uji Goodness of fit dan Pengujian Hipotesis .... 36
4.7.2.1 Uji Koefisien Determinasi ..................... 36
4.7.2.2 Uji F ....................................................... 37
4.7.2.3 Uji t ........................................................ 38

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 39


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Permasalahan pada penyusunan anggaran timbul ketika pihak – pihak yang

terlibat berupaya untuk memanfaatkan peluang agar kepentingan pribadi dan

kelompoknya dapat diakomodir dalam APBD (Raghunandan et al., 2012; Suryarini,

2012; Radebe and Radebe, 2014). Kebijakan anggaran menjadi ajang perebutan

kepentingan oleh berbagai pihak, baik pemerintah, legislatif, partai politik,

pengusaha, organisasi masyarakat, maupun rakyat kecil (Sujaie, 2013). Berbagai

modus perilaku oportunistik yang sering terjadi seperti menetapkan alokasi

anggaran yang dimodifikasi untuk memenuhi kepentingan politik dan kepentingan

individu, memasukkan usulan proyek-proyek besar yang menguntungkan salah satu

pihak dalam perencanaan anggaran, serta sikap cenderung lebih memperjuangkan

realisasi penetapan anggaran atas proyek- proyek yang mudah dikorupsi dengan

harapan mendapatkan kompensasi fee project yang cukup besar (Jumaidi, 2014).

Penelitian Sujaie (2013) menunjukkan bahwa praktek perilaku oportunistik

eksekutif dalam kebijakan anggaran terjadi karena dua faktor pendorong: Pertama,

anggapan bahwa eksekutif merupakan pelaksana semua fungsi pemerintah daerah

yang telah berhubungan langsung dengan masyarakat dalam waktu sangat lama; dan

Kedua, eksekutif mempunyai akses informasi yang besar dalam konteks penyusunan

anggaran. Sedangkan perilaku oportunistik legislatif didorong oleh adanya


keunggulan kekuasaan (discretionary power) dalam konteks memutuskan anggaran.

Faktor inilah yang mendorong legislatif untuk melakukan; Pertama, berusaha

memengaruhi eksekutif untuk memaksimumkan anggaran pada program-

program tertentu yang dapat memuluskan jalan bagi seorang legislator untuk dapat

terpilih kembali dalam pemilu berikutnya; Kedua, mendorong eksekutif untuk

mengajukan anggaran yang dapat dengan mudah diserap oleh konstituennya dan

tidak melalui prosedur birokrasi yang rumit.

Berdasarkan data keuangan Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara pada kurun

waktu 6 (enam) tahun terakhir terjadi fluktuasi perubahan jumlah anggaran hibah dan

bansos yang masuk dalam komponen belanja langsung yang cukup signifikan

menjelang dan sesudah Pemilihan Umum (Pemilu). Jumlah anggaran menurun pada

tahun berikutnya, namun menjelang Pemilu Legislatif 2014, terjadi peningkatan

jumlah anggaran belanja hibah dan bansos yang cukup signifikan.

Peningkatan belanja hibah yang terjadi pada tahun menjelang Pemilihan

Umum dan Pemilihan Kepala Daerah tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan

kampanye (Ritonga dan Alam, 2010). Kondisi ini rentan menimbulkan kasus pidana

apabila tidak dipergunakan sesuai ketentuan. Kasus penyalahgunaan dana hibah

terjadi di beberapa daerah termasuk pada Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara.

Deretan panjang kasus korupsi APBD yang terjadi di Sulawesi Tenggara melibatkan

anggota dan pimpinan DPRD sampai Kepala Daerah. Fakta ini menunjukkan bahwa

political corruption terjadi ketika politisi atau birokrat tingkat atas memanfaatkan
kedudukan mereka demi kepentingan pribadi atau kalangan dekat mereka

(Martinez et al., 2004).

Sepanjang tahun 2015 sebanyak 57 kasus korupsi di Sulawesi Tenggara yang

terdeteksi melalui pencarian media online, media cetak dan lain-lain. Adapun daerah

yang paling banyak melakukan tindakan korupsi yakni Kabupaten Muna, Kota

Kendari, Kolaka Utara, Disusul dengan Kabupaten Konawe Selatan, Bombana dan

Kolaka. Daerah yang paling tinggi nilai nominal uang yang di korupsi di Sulawesi

Tenggara yakni Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, Konawe Selatan, Kota

Baubau, Bombana, dan Muna.

Penelitian sebelumnya (Abdullah dan Asmara, 2006; Abdullah, 2012;

Oktririniatmaja, 2011; Suryarini, 2012; Sularso dkk., 2014) menunjukkan bahwa

Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Selisih Lebih

Penggunaan Anggaran (SiLPA) berpengaruh positif terhadap perilaku oportunistik

penyusunan anggaran. Penelitian tentang perilaku oportunistik penyusun anggaran

sebelumnya, lebih fokus pada perilaku legislatif yang cenderung mempengaruhi

alokasi anggaran untuk kepentingan politik dengan meningkatkan anggaran untuk

belanja infastruktur dan belanja DPRD. Namun mengamati fenomena yang terjadi

terkait proses penyusunan APBD yang merupakan proses bersama antara legislatif

dan eksekutif, peneliti tertarik untuk meneliti perilaku oportunistik yang terjadi

akibat interaksi antara kedua pihak yang didasari adanya hubungan keagenan.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya (Abdullah dan

Asmara, 2006; Asmara,2010; Suryarini, 2012, Abdullah, 2012 dan Sularso dkk.,
2014) dalam pengukuran perilaku oportunistik penyusun anggaran, dimana

peneliti memasukkan peningkatan belanja tidak langsung yang termasuk di

dalamnya belanja hibah dan bansos dari tahun sebelumnya ke tahun berjalan.

Fenomena peningkatan alokasi belanja tidak langsung yang termasuk di dalamnya

belanja hibah dan bansos yang semakin meningkat menunjukkan perilaku

oportunistik penyusun anggaran (Ritonga dan Alam, 2010).

Analisis atas pengaruh jenis dan letak pemerintah daerah memberikan bukti

bahwa intensitas legislatif berkaitan dengan status daerah sebagai kota atau

kabupaten. Pandangan bahwa perilaku oportunistik legislatif di kota lebih besar dari

pada di kabupaten bersumber dari anggapan bahwa social control dari stakeholders

di luar pemerintahan terhadap pelaksanaan pelayanan publik dan perilaku anggota

legislatif tidak sebaik dikota. Misalnya, dikota gerakan mahasiswa dan pers sangat

efektif dalam mengungkap berbagai penyimpangan anggaran untuk mendorong

aparat penegak hukum menindaklanjuti berbagai laporan tentang korupsi dan yang

terjadi di lingkungan pemerintahan daerah, dimana perbedaan karakteristik

masyarakat dan struktur pendapatan berimplikasi pada kontrol sosial yang berbeda

pula.

Fenomena perilaku penyusun anggaran sangat menarik untuk diteliti lebih

lanjut, karena meskipun aturan formal tentang mekanisme penyusunan APBD

telah dirancang sedemikian rupa, namun pada prakteknya masih terjadi beberapa

penyimpangan. Meningkatnya kasus korupsi merupakan salah satu indikasi


terjadinya perilaku oportunistik yang dilakukan penyusun anggaran

(Mauro,1998). Sejalan dengan hal tersebut, Sujaie (2013) menegaskan bahwa

peningkatan belanja hibah dan bantuan sosial juga menunjukkan telah terjadi

perilaku oportunistik penyusun anggaran.

1.2 Rumusan Masalah

Perilaku oportunistik penyusun anggaran dapat dilihat dari kecenderungan

pengalokasian anggaran dalam jumlah besar untuk belanja daerah yang dapat

dimanfaatkan bagi kepentingan tertentu yang bersifat pribadi atau kelompok.

Peningkatan alokasi anggaran untuk belanja infrastruktur, belanja hibah dan bansos

diduga menjadi alat pemenuhan janji – janji politik serta kerap menjadi sasaran

korupsi. Sumber – sumber pendapatan daerah baik yang berasal dari pendapatan

sendiri maupun dana transfer dan penerimaan pembiayaan diduga berpengaruh

terhadap peningkatan alokasi belanja daerah. Berdasarkan hal tersebut, maka

peneliti merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut :

1) Apakah DAU berpengaruh signifikan terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun

Anggaran ?

2) Apakah PAD berpengaruh signifikan terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun

Anggaran ?

3) Apakah SiLPA berpengaruh signifikan terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun

Anggaran ?
4) Apakah Jenis dan Letak Pemerintahan berpengaruh signifikan terhadap Perilaku

Oportunistik Penyusun Anggaran?

1.3 Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan :

1) Untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh DAU terhadap Perilaku

Oportunistik Penyusun Anggaran.

2) Untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh PAD terhadap Perilaku

Oportunistik Penyusun Anggaran.

3) Untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh SiLPA terhadap Perilaku

Oportunistik Penyusun Anggaran.

4) Untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh Jenis dan Letak Pemerintahan

terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan penelitian, maka manfaat

yang diharapkan adalah:


1.4.1 Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian untuk

pengembangan teori keagenan dalam penganggaran sektor publik serta menjadi

bahan bacaan bagi penelitian lebih lanjut dengan topik yang sama.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil kajian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk menilai dan

memahami perilaku penyusun anggaran dan selanjutnya informasi tersebut dapat

menjadi rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk melakukan perbaikan

dalam penyusunan anggaran.

1.5 Kebaruan Penelitian

Beberapa penelitian yang terkait Pengaruh DAU, PAD, SILPA, dan Perilaku

Opportunistik baik secara kuantitatif dan kualitatif telah dilakukan. Penelitian-

penelitian kuantitatif tentang Pengaruh DAU, PAD, SILPA sebagai berikut :

Abdullah dan Asmara (2006), Riharjo dan Isnadi (2010), Asmara (2010), Latifah

(2010), Oktriniatmaja (2011), Maryono (2013), Sularso dkk. (2014), Sayu Made

Parwati, Dkk (2015).

Keterbatasan variabel dalam beberapa penelitian diatas menyebabkan hasil

penelitian belum dapat mencerminkan hasil seluruh kabupaten / kota di Indonesia,

karena keterbatasan data. Aspek perubahan regulasi yang harus diikuti oleh
pemerintah daerah menyebabkan data penelitian dari tahun ke tahun memiliki

variansi yang cukup besar. Variansi ini terjadi karena data yang digunakan didasarkan

pada klasifikasi dan definisi dari peraturan pemerintah dan peraturan Menteri Dalam

Negeri.

Keterbatasan yang dilakukan beberapa peneliti terdahulu dari sisi variabel

maka, penelitian ini dengan daerah yang berbeda dan panambahan variabel Letak dan

Jenis Pemerintahan. Itulah yang menjadi pemikiran peneliti untuk mengkaji Pengaruh

DAU, PAD, SILPA, Jenis dan Letak Pemerintahan Terhadap Perilaku Oportunistik

Penyusun Anggaran Di Kabupaten/Kota Se-Sulawesi Tenggara.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teoritis
2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) dan Hubungan Keagenan Antara
Eksekutif dan Legislatif
Penggunaan teori keagenan telah dipergunakan secara luas baik di sektor

privat maupun sektor publik. Para ekonom menggunakan struktur hubungan

prinsipal dan agen untuk menganalisis hubungan antara perusahaan dengan

pekerja (Faria and Silva, 2013). Sementara di sektor publik, teori keagenan

dipergunakan untuk menganalisis hubungan prinsipal-agen dalam kaitannya dengan

penganggaran sektor publik (Latifah, 2010; Abdullah, 2012). Teori keagenan

menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok atau

organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit

maupun eksplisit dengan pihak lain (agents) dengan harapan bahwa agen akan

bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang diinginkan principal (Jensen and

Meckling, 1976).

Eisenhardt (1989) menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia guna

menjelaskan tentang teori keagenan yaitu: (1) manusia pada umumnya

mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas

mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu

menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia

tersebut, manajer sebagai manusia kemungkinan besar akan bertindak


mengutamakan kepentingan pribadinya. Hal ini menimbulkan adanya konflik

kepentingan antara principal dan agent. Principal memiliki kepentingan untuk

memaksimalkan keuntungan mereka sedangkan agent memiliki kepentingan

untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya.

Konflik akan terus meningkat karena principal tidak dapat mengawasi

aktivitas agent sehari-hari untuk memastikan bahwa agent telah bekerja sesuai

dengan keinginan dari principal. Permasalahan dalam hubungan antara prinsipal dan

agen bersumber dari adanya perbedaan tujuan dan pilihan risiko yang dihadapi

seperti regulasi dan kepemimpinan (Eisenhardt, 1989). Adanya asimetri informasi

juga menyebabkan terjadinya persoalan dalam hubungan prinsipal-agen, bilamana

agen memiliki informasi lebih tentang kinerja aktual, motivasi dan tujuan yang

berpotensi menciptakan moral hazard dan adverse selection (Latifah, 2010).

Adverse selection terjadi karena adanya perbedaan jumlah informasi yang dimiliki

oleh principal dan agent sehingga principal tidak mampu membedakan apakah agen

melakukan sesuatu yang baik atau tidak (Faria and Silva, 2013). Dalam konteks

ini agen cenderung menyembunyikan informasi untuk memperoleh manfaat

yang lebih demi keuntungan pribadi.

Implikasi teori keagenan muncul dalam proses penyusunan anggaran

dilihat dari dua perspektif yaitu hubungan antara rakyat dengan legislatif, dan

legislatif dengan eksekutif. Ditinjau dari perspektif hubungan keagenan antara

legislatif dengan eksekutif, eksekutif adalah agent dan legislatif adalah principal
(Halim dan Abdullah, 2006). Apabila dilihat dari perspektif hubungan keagenan

legislatif dengan rakyat, pihak legislatif adalah agent yang membela kepentingan

rakyat (principal), akan tetapi tidak ada kejelasan mekanisme dan pengaturan

serta pengendalian dalam pendelegasian kewenangan rakyat terhadap legislatif.

Hal inilah yang seringkali menyebabkan adanya distorsi anggaran yang disusun oleh

legislatif sehingga anggaran tidak mencerminkan alokasi pemenuhan sumber daya

kepada masyarakat, melainkan cenderung mengutamakan self-interest para pihak

legislatif tersebut. Jika hal ini terjadi, besar kemungkinan anggaran yang disahkan

adalah alat untuk melancarkan aksi pencurian hak rakyat atau sering dikenal dengan

istilah korupsi (Mauro, 1998; Keefer and Khemani, 2003).

Hubungan keagenan di pemerintahan antara legislatif dan eksekutif

menunjukkan posisi legislatif sebagai prinsipal dan eksekutif adalah agen (Halim

dan Abdullah, 2006; Latifah, 2010; Abdullah, 2012). Hubungan antara prinsipal dan

agen senantiasa menimbulkan masalah keagenan yang disebut agency problems

(Lupia and McCubbins, 2000). Johnson (1994) dalam Abdullah dan Asmara

(2006) menyebut hubungan eksekutif atau birokrasi dengan legislatif atau kongres

dengan nama self-interest model. Dalam hal ini, legislators ingin dipilih kembali,

birokrat ingin memaksimumkan anggarannya, dan konstituen ingin memaksimumkan

utilitasnya. Agar terpilih kembali, legislators mencari program dan proyek yang

membuatnya populer di mata konstituen. Birokrat mengusulkan program-program

baru karena ingin agency-nya berkembang dan konstituen percaya bahwa mereka
menerima manfaat dari pemerintah tanpa harus membayar biayanya secara penuh.

Hal ini menunjukkan bahwa baik eksekutif maupun legislatif berupaya untuk

memaksimalkan dan memanfaatkan perannya dalam penyusunan anggaran demi

memperoleh keuntungan individual maupun kepentingan kelompok yang cenderung

akan menimbulkan kerugian bagi rakyat.

Lupia and McCubbins (2000) menyatakan bahwa warganegara adalah

principal yang menunjuk perwakilannya untuk melayani mereka sebagai agen di

parlemen, sementara Andvig et al. (2001) menyebutkan voters adalah prinsipal

dari parlemen. Dalam hal pembuatan kebijakan, Hagen (2002) berpendapat

bahwa hubungan prinsipal-agen yang terjadi antara pemilih (voters) dan legislatif

pada dasarnya menunjukkan bagaimana voters memilih politisi untuk membuat

keputusan-keputusan tentang belanja publik untuk mereka dan mereka

memberikan dana dengan membayar pajak. Ketika legislatif kemudian terlibat dalam

pembuatan keputusan atas pengalokasian belanja dalam anggaran, maka mereka

diharapkan mewakili kepentingan atau preferensi prinsipal atau pemilihnya.

Pada kenyataannya legislatif sebagai agen bagi publik tidak selalu memiliki

kepentingan yang sama dengan publik (Abdullah dan Asmara, 2006).

Ada dua kondisi yang dimanfaatkan oleh eksekutif untuk merealisasi perilaku

oportunistiknya dalam proses penyusunan anggaran. Pertama, secara eksplisit

berhubungan dengan anggaran legislatif dan kedua, melalui anggaran untuk

pelayanan publik dalam bentuk “titipan”. Pada kondisi pertama, legislatif


mengusulkan anggaran yang meningkatkan penghasilannya sehingga dapat

memenuhi self-interestnya dalam jangka pendek. Hal ini memunculkan political

corruption atas anggaran (Garamfalvi, 1997), sementara pada kondisi kedua, self-

interest dalam jangka panjang ingin dicapai. Usulan anggaran yang diperjuangkan

adalah yang mengharumkan nama politisi di wilayah tertentu, sehingga cenderung

pada usulan yang targetable atau hasilnya kelihatan jelas oleh masyarakat.

Akibatnya, pembangunan cenderung lebih diarahkan pada daerah yang merupakan

wilayah pemilihan politisi yang powerful di legislatif.

Martinez et al. (2004) menyatakan bahwa political corruption terjadi

ketika politisi atau birokrat tingkat atas memanfaatkan kedudukan mereka demi

keuntungan pribadi ataupun kalangan dekat mereka. Menurut Mauro (1998) salah

satu contohnya yaitu dengan mengalokasikan belanja untuk barang-barang

khusus dan berteknologi tinggi karena merupakan belanja yang mudah

dikorupsi sebab tidak banyak orang yang memahami barang tersebut. Insentif

korupsi dalam sisi belanja anggaran pemerintah menurut Martinez et al. (2004)

adalah kurangnya standar etika dan moral, kemungkinan terdeteksi yang

rendah, pengawasan dan sanksi yang lemah, atau ketidakcukupan gaji dan

insentif lainnya.
2.1.2 Aspek Keperilakuan dalam Penganggaran

Aspek keperilakuan dalam penganggaran mengacu pada perilaku manusia

yang muncul dalam proses penyusunan anggaran dan perilaku manusia yang

didorong ketika manusia mencoba hidup dengan anggaran (Suartana, 2010).

Aspek keperilakuan dalam penganggaran dibedakan atas dua unit analisis yaitu

organisasi dan individu. Menurut Belkaoui (1989) dalam Suartana (2010) ada

kecenderungan dari organisasi dan individu untuk tidak mengoptimalkan sumber

daya yang tersedia dan tidak melakukan efisiensi yang sering disebut slack atau

senjangan. Perilaku oportunistik penyusun anggaran dapat dilihat dari peningkatan

alokasi belanja pada sektor tertentu yang termasuk perilaku disfungsional yang

timbul pada penganggaran. Elias (2013) menyebutkan bahwa perilaku

oportunistik akan mendorong individu berperilaku tidak etis untuk meningkatkan self

interestnya.

2.1.3 Hubungan DAU, PAD, SiLPA, Jenis dan Letak Pemerintahan Dengan

Perilaku Oportunistik

Istilah oportunistik berasal dari kata opportunity yang berarti kesempatan.

Perilaku oportunistik mengacu pada pribadi, sifat atau dinamika kelompok dalam

menghadapi suatu kondisi dimana dalam posisi tertentu merasa mempunyai

kesempatan atau peluang lebih untuk melakukan sesuatu sesuai keinginan.

Perilaku oportunistik merupakan perilaku yang berusaha mencapai keinginan dengan


segala cara bahkan cara ilegal sekalipun (Maryono, 2013). Lebih jauh Maryono

(2013) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi perilaku oportunistik adalah

kekuatan (power) dan kemampuan (ability).

Penyusunan anggaran merupakan tahapan yang kompleks, dan perilaku

menjadi salah satu faktor kunci di dalamnya (Raghunandan et al., 2012)

Keberhasilan pencapaian tujuan organisasi dapat terwujud apabila pihak – pihak

yang terlibat pada penyusunan anggaran memberikan Manfaat maksimum.

Sebaliknya, perilaku oportunistik terjadi ketika pihak-pihak yang terlibat pada

penyusunan anggaran lebih mengutamakan self interest-nya sehingga

menimbulkan korupsi yang merugikan kepentingan umum (Mauro, 1998;

Martinez et al., 2004).

Studi Abdullah (2012) menemukan adanya perbedaan preferensi antara

eksekutif dan legislatif dalam pengalokasian spread PAD ke dalam belanja sektoral.

Alokasi untuk infrastruktur dan DPRD mengalami kenaikan, tapi alokasi untuk

pendidikan dan kesehatan justru mengalami penurunan. Abdullah (2012)

menemukan bahwa power legislatif yang sangat besar menyebabkan diskresi atas

penggunaan PAD tidak sesuai dengan preferensi publik. Penelitian Sularso dkk.

(2014) serta Abdullah dan Asmara (2006) menunjukkan bahwa semakin besar PAD

maka perilaku oportunistik penyusunan anggaran akan semakin besar.


Tujuan dari dana alokasi umum adalah untuk pemerataan keuangan antar

daerah. Penerimaan DAU membuka ruang bagi legislatif untuk memaksimalkan

utilitasnya dengan merekomendasikan eksekutif agar mengalokasikan anggaran

untuk kegiatan atau proyek-proyek yang menguntungkan legislatif

(Abdullah,2012). Transfer dari pemerintah pusat memiliki keterkaitan

sangat erat dengan belanja pemerintah daerah. Oktririniatmaja (2011)

menyatakan bahwa DAU berpengaruh positif terhadap peningkatan alokasi belanja

modal.

Kecenderungan perilaku oportunistik yang dilakukan politisi pada level

pemerintah daerah tidak dapat dilakukan pada sisi pendapatan, karena pendapatan

daerah sebagian besar bersumber dari dana transfer pemerintah pusat (Bartolini

and Santolini, 2007). Lebih lanjut disebutkan bahwa kondisi ini menyebabkan

perilaku oportunistik yang dilakukan politisi hanya dapat memengaruhi sisi

belanja dalam APBD. DAU yang diterima daerah dapat mengakibatkan perubahan

alokasi anggaran dalam APBD (Maryono, 2013).

Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan

bentuk pelayanan publik yang paling mendasar, namun jenis belanja tersebut tidak

dapat memberikan peluang untuk korupsi, sehingga anggaran pendidikan,

kesehatan, dan sosial akan diperkecil (Mauro, 1998). Studi Mauro (1998)

menunjukkan bahwa jenis-jenis belanja pemerintah berupa belanja barang atau

pelayanan untuk program-program dan kegiatan yang sulit untuk dimonitor orang
lain, membuka peluang terjadinya perilaku oportunistik. Hasil penelitian ini

dikuatkan oleh Tanzi and Davoodi (2002) yang mengemukakan bahwa belanja

investasi publik lebih disukai karena dapat memberikan komisi lebih besar

daripada belanja untuk pelayanan sosial, pendidikan, dan kesehatan.

SiLPA tahun anggaran sebelumnya memiliki pengaruh pada pengalokasian

APBD periode selanjutnya (Sularso dkk., 2014). Lebih lanjut dijelaskan bahwa

SiLPA berpengaruh positif pada alokasi belanja pada tahun berikutnya sehingga hal

ini memberi peluang bagi penyusun anggaran untuk mengalokasikan free cash flow

tersebut untuk berperilaku oportunistik.

2.1.4 Hubungan Jenis dan Letak Pemerintahan Dengan Perilaku Oportunistik

Jenis dan Letak Pemerintahan dapat di samakan sebagai status daerah, dimana

pandangan bahwa status daerah mempengaruhi kelengkapan pengungkapan

dikarenakan adanya perbedaan karakteristik masyarakat dan struktur pendapatan

antar daerah. Perbedaan ini dapat berimplikasi pada kontrol sosial yang berbeda pula

(Abdullah, 2004). Kontrol sosial pada penduduk kota cenderung lebih kuat, sehingga

Pemerintah Daerah yang berstatus sebagai Kota akan cenderung mematuhi standar

anggaran.
2.2. K ajian Empiris

Penelitian terkait perilaku oportunistik dalam penyusunan anggaran yang telah

dilakukan selama ini lebih fokus pada peranan legislatif dalam proses penyusunan

anggaran. Sementara di sisi lain penyusunan anggaran di Indonesia merupakan

proses bersama antara eksekutif dan legislatif. Adanya asimetri informasi dalam

hubungan keagenan antara legislatif dan eksekutif membuka peluang terjadinya

perilaku oportunistik (Latifah, 2010).

Abdullah dan Asmara (2006) meneliti perilaku oportunistik legislatif

dalam pengalokasian sumberdaya dalam anggaran belanja. Penelitian ini

menguji pengaruh pendapatan sendiri terhadap perilaku oportunistik legislatif (OL)

dengan menggunakan jenis dan letak pemerintahan sebagai variabel kontrol. Perilaku

oportunistik dihitung dengan menjumlahkan spread anggaran pendidikan, kesehatan,

pekerjaan umum dan anggaran legislatif yang merupakan selisih angka antara

RAPBD dan APBD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan PAD

berpengaruh terhadap perilaku oportunistik legislatif, sedangkan jenis dan letak

pemerintahan tidak berpengaruh. Penelitian Maria (2009) juga menunjukkan bahwa

PAD dan SiLPA berpengaruh signifikan terhadap perilaku oportunistik legislatif

kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam pengalokasian anggaran

daerah saat perubahan APBD.


Penelitian Riharjo dan Isnadi (2010) menguji pengaruh perilaku oportunistik

pejabat eksekutif atas penggunaan penerimaan sumber daya alam dalam penyusunan

APBD. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data APBD dari 31 propinsi

seluruh Indonesia dengan menggunakan teknik regresi linier berganda. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa perilaku oportunistik pejabat eksekutif mendorong

pengaruh belanja pegawai langsung, belanja barang dan jasa, serta belanja modal

terhadap meningkatnya slack anggaran dalam penetapan alokasi belanja untuk

kemakmuran rakyat yang berasal dari pendapatan sumber daya alam.

Oktririniatmaja (2011) meneliti pengaruh DAU, PAD dan DAK terhadap

alokasi belanja modal dalam APBD Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, Bali dan

Nusa Tenggara. Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi berganda

untuk menguji pengaruh antar variabel serta uji beda untuk menilai perbedaan

pengaruh antar wilayah. Data yang diteliti yaitu APBD Kabupaten/Kota

sebanyak 147 dengan rentang waktu 2004 – 2008. Hasil penelitian menemukan

bahwa PAD, DAU dan DAK berpengaruh positif terhadap alokasi belanja

modal, sedangkan uji beda menunjukkan bahwa belanja modal dan PAD di

Pulau Jawa lebih tinggi dari daerah di luar Pulau Jawa.

Penelitian Suryarini (2012) tentang pengaruh PAD terhadap perilaku

oportunistik legislatif dengan menggunakan jenis pemerintahan dan letak

pemerintahan sebagai variabel kontrol. Penelitian ini menggunakan teknik

analisis regresi dan hasilnya menunjukkan bahwa PAD berpengaruh positif


terhadap perilaku oportunistik legislatif, sedangkan jenis dan letak pemerintahan

tidak berpengaruh. Lebih lanjut Sularso dkk. (2014) menguji Pengaruh DAU, PAD,

Silpa, terhadap perilaku oportunistik penyusunan anggaran di Kabupaten/Kota se-

Jawa Tengah. Analisis dilakukan untuk data APBD Tahun 2010 – 2012 dengan

jumlah pengamatan sebanyak 135, menggunakan alat analisis regresi berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar DAU, PAD dan SiLPA maka

semakin besar perilaku oportunistik penyusunan anggaran.

BAB III
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Pikir
Proses penyusunan anggaran merupakan tahapan yang rumit dan penuh

dengan nuansa politis. Proses penganggaran pada organisasi sektor publik

khususnya pemerintah daerah adalah proses politik yang sangat didominasi oleh

politik anggaran yang dilakukan oleh pihak – pihak yang terlibat. Nuansa politik

anggaran semakin menguat karena pemerintah memiliki sumber daya yang

terbatas sementara rencana kebutuhan relatif banyak. Sumber pendapatan dalam

APBD berasal dari PAD, Dana Perimbangan dan penerimaan pembiayaan yang

dipergunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang telah direncanakan

pada tahun bersangkutan.

Secara konseptual perubahan pendapatan dalam APBD akan berpengaruh

terhadap belanja. Perubahan PAD berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku

oportunistik legislatif (Abdullah dan Asmara, 2006; Maria, 2009). Sumber

pendapatan daerah berupa DAU adalah dana yang berasal dari APBN yang

dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk

membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

DAU memiliki proporsi yang paling besar pada penerimaan daerah, dimana

seharusnya pemerintah daerah secara leluasa dapat menggunakan dana ini untuk

memberi pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Keleluasaan tersebut

berpotensi membuka ruang terjadinya perilaku oportunistik baik pada legislatif


maupun eksekutif. Maryono (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif

dana alokasi umum dengan perilaku oportunistik penyusun anggaran.

SiLPA merupakan penerimaan daerah yang bersumber dari sisa kas tahun

anggaran sebelumnya untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi

pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja. Penelitian Sularso dkk. (2014)

menemukan bahwa SiLPA berpengaruh positif terhadap belanja modal pada periode

anggaran selanjutnya, yang berarti dapat berpengaruh pada alokasi belanja tahun

berikutnya sehingga hal ini memberi ruang bagi penyusun anggaran untuk

mengalokasikan free cash flow tersebut untuk melakukan perilaku oportunistik.

Perilaku oportunistik merupakan perilaku yang berusaha mencapai keinginan

dengan segala cara bahkan cara ilegal sekalipun yang dipengaruhi oleh adanya

kekuatan (power) dan kemampuan (ability) (Maryono, 2013). Perilaku

oportunistik penyusun anggaran (fiscal opportunism), yaitu perilaku oportunistik

dalam pembuatan keputusan alokasi belanja dan preferensi yang mengarah pada

alokasi belanja yang dapat memberikan keuntungan pribadi (Romarina dan

Makfatih, 2010). Fenomena perilaku oportunistik penyusun anggaran dapat

dilihat dari pengalokasian anggaran yang lebih mengarah pada preferensi yang

menguntungkan pihak tertentu, sehingga kebutuhan masyarakat tidak menjadi

prioritas utama. Berdasarkan hal tersebut, maka Kerangka Berpikir dalam

penelitian ini dapat digambarkan seperti pada Gambar 3.1.


Gambar 3.1. Kerangka Berpikir

Penelitian ini dilaksanakan untuk menunjukkan pengaruh variabel independen

terhadap variabel dependen. Berdasarkan Kerangka berpikir diatas, maka

dapat kami susun konsep penelitian seperti pada Gambar 3.2.


Gambar 3.2. Skema Konsep Penelitian

3.2. Hipotesis

Tujuan dari dana alokasi umum adalah untuk pemerataan keuangan antar

daerah. Penerimaan DAU membuka ruang bagi legislatif untuk memaksimalkan

utilitasnya dengan merekomendasikan eksekutif agar mengalokasikan anggaran

untuk kegiatan atau proyek-proyek yang menguntungkan legislatif (Abdullah,

2012). Transfer dari pemerintah pusat memiliki keterkaitan sangat erat

dengan belanja pemerintah daerah. Oktririniatmaja (2011) menyatakan bahwa

DAU berpengaruh positif terhadap peningkatan alokasi belanja modal.

Kecenderungan perilaku oportunistik yang dilakukan politisi pada level

pemerintah daerah tidak dapat dilakukan pada sisi pendapatan, karena pendapatan

daerah sebagian besar bersumber dari dana transfer pemerintah pusat (Bartolini and

Santolini, 2007). Lebih lanjut disebutkan bahwa kondisi ini menyebabkan perilaku
oportunistik yang dilakukan politisi hanya dapat memengaruhi sisi belanja

dalam APBD. DAU yang diterima daerah dapat mengakibatkan perubahan alokasi

anggaran dalam APBD (Maryono, 2013). Berdasarkan kajian empiris di atas, maka

peneliti merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

H1 : Terdapat pengaruh positif signifikan DAU terhadap Perilaku


Oportunistik Penyusun Anggaran

Penyusunan anggaran merupakan tahapan yang kompleks, dan perilaku

menjadi salah satu faktor kunci di dalamnya (Raghunandan et al., 2012)

Keberhasilan pencapaian tujuan organisasi dapat terwujud apabila pihak – pihak

yang terlibat pada penyusunan anggaran memberikan kontribusi maksimum.

Sebaliknya, perilaku oportunistik terjadi ketika pihak-pihak yang terlibat pada

penyusunan anggaran lebih mengutamakan self interest-nya sehingga

menimbulkan korupsi yang merugikan kepentingan umum (Mauro, 1998;

Martinez et al., 2004).

Studi Abdullah (2012) menemukan adanya perbedaan preferensi antara

eksekutif dan legislatif dalam pengalokasian spread PAD ke dalam belanja sektoral.

Alokasi untuk infrastruktur dan DPRD mengalami kenaikan, tapi alokasi untuk

pendidikan dan kesehatan justru mengalami penurunan. Abdullah (2012)

menemukan bahwa power legislatif yang sangat besar menyebabkan diskresi atas

penggunaan PAD tidak sesuai dengan preferensi publik. Penelitian Sularso dkk.
(2014) serta Abdullah dan Asmara (2006) menunjukkan bahwa semakin besar PAD

maka perilaku oportunistik penyusunan anggaran akan semakin besar.

Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan

bentuk pelayanan publik yang paling mendasar, namun jenis belanja tersebut tidak

dapat memberikan peluang untuk korupsi, sehingga anggaran pendidikan, kesehatan,

dan sosial akan diperkecil (Mauro, 1998). Studi Mauro (1998) menunjukkan bahwa

jenis-jenis belanja pemerintah berupa belanja barang atau pelayanan untuk program-

program dan kegiatan yang sulit untuk dimonitor orang lain, membuka peluang

terjadinya perilaku oportunistik. Hasil penelitian ini dikuatkan oleh Tanzi and

Davoodi (2002) yang mengemukakan bahwa belanja investasi publik lebih disukai

karena dapat memberikan komisi lebih besar daripada belanja untuk pelayanan

sosial, pendidikan, dan kesehatan. Berdasarkan kajian empiris di atas, maka peneliti

merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

H2 : Terdapat pengaruh positif signifikan PAD terhadap Perilaku


Oportunistik Penyusun Anggaran.

SiLPA tahun anggaran sebelumnya memiliki pengaruh pada pengalokasian

APBD periode selanjutnya (Sularso dkk., 2014). Lebih lanjut dijelaskan bahwa

SiLPA berpengaruh positif pada alokasi belanja pada tahun berikutnya sehingga hal

ini memberi peluang bagi penyusun anggaran untuk mengalokasikan free cash flow
tersebut untuk berperilaku oportunistik. Berdasarkan kajian empiris di atas, maka

peneliti merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

H3 : Terdapat pengaruh positif signifikan SiLPA terhadap Perilaku


Oportunistik Penyusun Anggaran.
Jenis dan Letak Pemerintahan dapat di samakan sebagai status daerah, dimana

pandangan bahwa status daerah mempengaruhi kelengkapan pengungkapan

dikarenakan adanya perbedaan karakteristik masyarakat dan struktur pendapatan

antar daerah. Perbedaan ini dapat berimplikasi pada kontrol sosial yang berbeda pula

(Abdullah, 2004). Kontrol sosial pada penduduk kota cenderung lebih

kuat, sehingga Pemerintah Daerah yang berstatus sebagai Kota akan cenderung

mematuhi standar anggaran. Berdasarkan kajian empiris di atas, maka peneliti

merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

H4 : Terdapat pengaruh positif signifikan Letak Pemerintahan terhadap


Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian merupakan Penelitian kuantitatif atau penelitian ilmiah yang

sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya.

Tujuan penelitian kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-

model matematis, teori-teori dan/atau hipotesis yang berkaitan dengan fenomena.

Proses pengukuran adalah bagian yang sentral dalam penelitian kuantitatif karena

hal ini memberikan hubungan yang fundamental antara pengamatan empiris dan

ekspresi matematis dari hubungan-hubungan kuantitatif. Penelitian ini

mengarahkan pada pemilihan sumber – sumber daya dan tipe informasi yang

diperlukan untuk menunjukkan hubungan antar variabel yang diteliti dan menggariskan

langkah – langkah dalam setiap aktivitas penelitian. Penyusunan rancangan penelitian

didasarkan pada fenomena atau topik penelitian dengan memperhatikan aktivitas

serta waktu. Rancangan penelitian merupakan rencana dari struktur penelitian yang

mengarahkan proses dan hasil riset sedapat mungkin menjadi valid, obyektif, efisien

dan efektif (Jogiyanto, 2004).


4.2. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menguji pengaruh variabel independen yaitu DAU, PAD dan

SiLPA, Letak dan Jenis Pemerintahan terhadap variabel dependen yaitu perilaku

oportunistik penyusun anggaran. Berdasarkan fenomena yang terjadi serta kajian

teoritis dan empiris, maka dirumuskan masalah penelitian serta hipotesis.

Pengujian dilakukan secara statistik dengan menggunakan data sekunder yang akan

dianalisis dengan teknik analisis regresi linier berganda. Hasil analisis kemudian

akan diinterpretasikan untuk menjawab permasalahan penelitian sehingga

diperoleh suatu simpulan penelitian. Rancangan penelitian dapat digambarkan

seperti Gambar 4.1.


4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian mempunyai kriteria yaitu daerah yang sudah mekar dibawah

tahun 2010, sementara daerah yang mekar di atas tahun 2010 tetap masuk dalam

lokasi penelitian ini namun di gabungkan dengan Kabupaten Induk sebelumnya.

Berdasarkan kriteria tersebut maka lokasi penelitian dilaksanakan di 1 2 (dua belas)

Kabupaten/Kota se-Sulawesi Tenggara dari 17 (tujuh belas) Kabupaten/Kota se-

Sulawesi Tenggara untuk menganalisis data APBD pada kurun waktu 2011 – 2016.

4.4. Variabel Penelitian

Variabel-variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel dependen yaitu

perilaku oportunistik penyusun anggaran dan variabel independen yaitu DAU, PAD

dan SiLPA, Jenis dan Letak Pemerintahan.

4.5. Definisi Operasional Variabel

Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus

dioperasionalisasikan dengan cara mengubahnya menjadi variabel, yang berarti

sesuatu yang mempunyai variasi nilai. Variabel-variabel dalam penelitian ini

terdiri dari variabel dependen yaitu perilaku oportunistik penyusun anggaran dan

variabel independen yaitu DAU, PAD dan SiLPA, Jenis dan Letak Pemerintahan.
4.5.1 Variabel Dependen

Variabel dependen pada penelitian ini adalah Perilaku Oportunistik Penyusun

Anggaran (OPA). Havid,dkk (2014) menyatakan bahwa perilaku oportunistik

merupakan perilaku yang berusaha mencapai keinginan dengan segala cara bahkan

dengan cara ilegal sekalipun. Pengukuran kinerja OPA di dalam penelitian ini

menggunakan anggaran biaya tak langsung yang dialokasikan dari APBD

Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara. OPA menunjukkan perubahan (spread)

alokasi anggaran belanja tertentu dari APBD tahun sebelumnya ke APBD tahun

berjalan. Spread terjadi karena perbedaan preferensi dalam pengalokasian

sumberdaya antara principal dan agents (Abdullah, 2012). Nilai OPA menunjukkan

adanya perilaku penyusun anggaran yang memanfaatkan kekuasaan dan

kewenangannya untuk mempengaruhi kebijakan pengalokasian anggaran sesuai

dengan preferensi diri atau kelompoknya, sehingga nilai OPA menggambarkan

besaran self-interest penyusun anggaran (Abdullah, 2012). Pengukuran OPA

dikembangkan dari penelitian Abdullah (2012), dengan tahap pengukuran sebagai

berikut:

1. Menghitung spread alokasi anggaran belanja dari APBD tahun berjalan ke

tahun sebelumnya. Perhitungan spread(Δ) = APBD tahun berjalan (t) –

APBD tahun sebelumnya (t-1). Sektor yang diamati adalah biaya tidak langsung

yang di dalamnya terdiri dari pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, hibah dan

bansos, Semua kenaikan dan penurunan alokasi tersebut dinyatakan dalam


satuan rupiah dan bertanda positif, namun jika yang terjadi sebaliknya atau tidak

terjadi perubahan seperti di atas maka diberi nilai 0 (nol).

2. Mengagregasi atau menggabungkan spread yang menunjukkan OPA secara

keseluruhan. Perhitungan OPA= ΔAnggaran Biaya Tak Langsung

4.5.2 Variabel Independen

Variabel independen pada penelitian ini yang mempengaruhi OPA terdiri dari

empat variabel yaitu Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD),

Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA), Jenis dan Letak Pemerintahan.

1) Dana Alokasi Umum (DAU)

DAU adalah transfer yang bersifat umum dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah

Daerah untuk menunjang pelaksanaan desentraliasi (Halim, 2004). Jumlah

keseluruhan DAU untuk masing-masing Kabupaten/Kota dapat dilihat dari pos

dana perimbangan dalam APBD. Pengukuran DAU dengan menggunakan spread

Dana Alokasi Umum (DAU) dari APBD tahun berjalan (t) ke APBD tahun

sebelumnya (t-1) (Sularso dkk., 2014).

2) Pendapatan Asli Daerah (PAD)

PAD merupakan pendapatan daerah yang terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi

Daerah, Pendapatan dari Laba Perusahaan Daerah dan lain-lain. Pengukuran

PAD menggunakan spread PAD (Δ PAD) adalah perubahan naik atau turunnya

PAD dari APBD tahun berjalan (t) ke APBD tahun sebelumnya (t-1) (Abdullah,
2012). PAD = PAD APBD (t) – APBD (t-

1)……………………………………………………1)

3) Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA)

SiLPA mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana

perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah,

pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada

pihak ketiga sampai dengan akhir tahun terselesaikan dan sisa dana kegiatan

lanjutan, yang ditanggung dalam perubahan APBD. SiLPA diukur dengan spread

SiLPA (ΔSiLPA) dari APBD tahun sebelumnya (t-1) ke APBD 2 tahun

sebelumnya (t-2)(Sularso dkk., 2014) SiLPA = SiLPAAPBD (t-1) – APBD (t 2)

………………………………………………..3)

4) Jenis dan Letak Pemerintahan

Jenis dan Letak Pemerintahan dapat mempengaruhi kelengkapan pengungkapan

dikarenakan adanya perbedaan karakteristik masyarakat dan struktur pendapatan

antar daerah. Perbedaan ini dapat berimplikasi pada kontrol sosial yang berbeda

pula (Abdullah, 2004). Kontrol sosial pada penduduk kota cenderung lebih kuat,

sehingga Pemerintah Daerah yang berstatus sebagai Kota akan cenderung

mematuhi standar anggaran. Dalam menguji dan menganalisis tujuan penelitian

tersebut, penelitian ini menggunakan model regresi data panel dengan

menggunakan variabel dummy. Variabel dummy yang dimaksud adalah variabel

tata letak dan jenis, dengan angka 1 melambangkan tata letak dan jenis

Kabupaten dan angka 0 melambangkan tata letak dan jenis Kota. Jenis dan Letak
Pemerintahan diukur dengan menggunakan skor. Jika status daerah adalah

Kabupaten, diberi kode 1 (satu) dan jika status daerah adalah Kota, diberikan

kode 0 (nol). Variabel ini digunakan dalam penelitian Abdullah, (2004) dan

Retnoningsih (2009).

4.6. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis data dalam penelitian ini terdiri atas sumber data sekunder runtut waktu

(time series) dari tahun 2011-2016 yang bersumber dari Biro Keuangan Sekretariat

Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Tenggara,

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Tenggara Kantor

Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2011 – 2016 dan situs

Direktorat Jendral Keuangan Daerah Kementerian Keuangan. Data sekunder adalah

data yang diperoleh/ dikumpulkan dan disatukan oleh studi-studi sebelumnya atau

yang diterbitkan oleh berbagai instansi lain atau sumber tidak langsung berupa data

dokumentasi dan arsip-arsip resmi.

Data tersebut meliputi DAU, PAD, SiLPA, belanja sektoral untuk belanja

pendidikan, kesehatan, PU, hibah dan bansos, Jenis dan Letak Pemerintahan dan

Pinjaman Daerah. Adapun variabel penelitian terdiri dari DAU (X1), PAD (X2),

SiLPA(X3), JENIS DAN LETAK PEMERINTAHAN (X4), dan Perilaku

Oportunistik Penyusun Anggaran (Y). Alat analisis yang digunakan adalah regresi

linier berganda dengan model Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + B4X4 ε e. Sebelum


melakukan analisis regresi linier berganda, terlebih dahulu dilakukan pengujian

asumsi klasik untuk mengetahui hasil estimasi regresi yang dilakukan terbebas dari

gejala multikoloniearitas, heteroskedastisitas, autokorelasi serta model regresi

memiliki distribusi normal. Selanjutnya dilakukan uji ketepatan model (goodness of

fit) dengan melihat nilai koefisien determinasi (R2), hasil uji F dan uji t.

dalam penelitian ini teknik pengumpulan datanya sebagai berikut:

1) Menetapkan (mencari-temukan) sumber data/informasi ;

2) Mengumpulkan data yang sudah tersedia (dalam “dokumen”);

3) Menormalisasikan data jika diperlukan dan memungkinkan (membuat data

dari berbagai sumber sesetara mungkin “menjadi satu bentuk yang sama”);

4) Menganalisis data (menghitung, mentabulasi, memetakan data-data kuantiatif,

atau membandingkan berbagai peraturan dan menelaahnya).

4.7. Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan di dalam penelitian ini adalah analisis regresi data

panel dengan menggunakan alat uji Eviews. Data panel merupakan gabungan antara data

silang (cross section) dengan data runtut waktu (time series). Data panel diperkenalkan

oleh Howles pada tahun 1950. Data runtut waktu biasanya meliputi satu objek (misalnya

harga saham, kurs mata uang, atau tingkat inflasi), tetapi meliputi beberapa periode (bisa

harian, bulanan, kuartalan, tahunan, dan sebagainya). Data silang terdiri atas beberapa atau

banyak objek, sering disebut responden, (misal perusahaan) dengan beberapa jenis data
(misal laba, biaya iklan, laba ditahan, dan tingkat investasi). Keunggulan regresi data

panel menurut Wibisono (2005) antara lain adalah;

1) Panel data mampu memperhitungkan heterogenitas individu secara eksplisit dengan

mengizinkan variabel spesifik inidvidu.

2) Kemampuan mengontrol heterogenitas ini selanjutnya menjadikan data panel dapat

digunakan untuk menguji dan membangun perilaku lebih kompleks.

3) Data panel mendasarkan diri pada observasi cross-section yang berulang-ulang (time

series), sehingga metoda data panel cocok digunakan sebagai study of dynamic

adjustment.

4) Tingginya jumlah observasi memiliki implikasi pada data yang lebih informatif, lebih

variatif, dan kolinearitas (multikol) antara data semakin berkurang. Dan derajat

kebebasan (degree of freedom/df) lebih tinggi sehingga dapat memperoleh hasil

estimasi yang lebih efisien.

5) Data panel dapat digunakan untuk mempelajari model-model perilaku yang

kompleks. Selain itu data panel juga dapat digunakan untuk meminimalkan bias yang

mungkin ditimbulkan oleh agregasi data individu.

Dengan keunggulan tersebut maka tidak harus dilakukannya pengujian asumsi klasik

dalam model data panel (Verbeek, 2009; Gujarati, 2006; Wibisono, 2005; Aulia;2004,

dalam Shochrul R. Ajija, dkk, 2011).

4.7.1. Pemilihan Model Estimasi dan Metode Estimasi Data Panel


4.7.1.1. Pemilihan Model Estimasi
Dalam metode estimasi model regresi dengan menggunakan data panel

dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, antara lain:

1) Common Effect Model (CEM)


Merupakan pendekatan model data panel yang paling sederhana karena

hanya mengkombinasikan data time series dan cross section. Pada model ini tidak

diperhatikan dimensi waktu maupun individu, sehingga diasumsikan bahwa

perilaku data perusahaan sama dalam berbagai kurun waktu. Metode ini bisa

menggunakan pendekatan Ordinary Least Square (OLS) atau teknik kuadrat terkecil

untuk mengestimasi model data panel.

2) Fixed Effect Model (FEM)


Model ini mengasumsikan bahwa perbedaan antar individu dapat

diakomodasi dari perbedaan intersepnya. Untuk mengestimasi data panel model

Fixed Effects menggunakan teknik variable dummy untuk menangkap perbedaan

intersep antar perusahaan. Model estimasi ini sering juga disebut dengan teknik Least

Squares Dummy Variable (LSDV).

3) Random Effect Model (REM)


Model ini akan mengestimasi data panel dimana variabel gangguan

mungkin saling berhubungan antar waktu dan antar individu. Pada model

Random Effect perbedaan intersep diakomodasi oleh error terms masing-masing

perusahaan. Keuntungan menggunkan model Random Effect yakni menghilangkan


heteroskedastisitas. Model ini juga disebut dengan Error Component Model (ECM)

atau teknik Generalized Least Square (GLS).

4.7.1.2 Pemilihan Metode Estimasi


Untuk memilih model yang paling tepat digunakan dalam mengelola data

panel, terdapat beberapa pengujian yang dapat dilakukan yakni:

1) Chow test atau Likelyhood test


Uji ini digunakan untuk pemilihan antara model fixed effect dan common

effect. Dasar penolakan H0 adalah dengan menggunakan pertimbangan Statistik Chi-

Square, jika probabilitas dari hasil uji Chow- test lebih besar dari nilai kritisnya

maka H0 ditolak dan Ha diterima. Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:

H0: Probability >0,05 , model mengikuti Common Effect Model

Ha: Probability < 0,05 , model mengikuti Fixed Effect Model

2) Hausman test
Hausman test atau uji hausman adalah pengujian statistik untuk memilih

apakah model fixed effect atau random effect yang paling tepat digunakan. Setelah

selesai melakukan uji Chow dan didapatkan model yang tepat adalah fixed effect,

maka selanjutnya akan diuji model manakah antara model fixed effect atau random

effect yang paling tepat, pengujian ini disebut sebagai uji Hausman.
Uji Hausman dapat didefinisikan sebagai pengujian statistik untuk memilih

apakah model fixed effect atau random effect yang paling tepat digunakan. Pengujian

uji Hausman dilakukan dengan hipotesis berikut:

Statistik Uji Hausman ini mengikuti distribusi statistic Chi Square dengan

degree of freedom sebanyak k, dimana k adalah jumlah variabel independen. Jika

nilai statistik Hausman lebih kecil dari nilai kritisnya maka H0 diterima dan

model yang tepat adalah model fixed effect sedangkan sebaliknya bila nilai statistik

Hausman lebih besar dari nilai kritisnya maka model yang tepat adalah model

random effect .

H0: Probability < 0,05 , model mengikuti Fixed Effect Model

Ha: Probability > 0,05 , model mengikuti Random Effect Model

Jika model common effect atau fixed effect yang digunakan, maka langkah

selanjutnya yaitu melakukan uji asumsi klasik. Namun apabila model yang digunakan

jatuh pada random effect, maka tidak perlu dilakukan uji asumsi klasik. Hal ini

disebabkan oleh variabel gangguan dalam model random effect tidak berkorelasi

dari perusahaan berbeda maupun perusahaan yang sama dalam periode yang

berbeda, varian variabel gangguan homoskedastisitas serta nilai harapan variabel

gangguan nol.
3) Langrange Multiplier (LM)
Uji ini digunakan untuk pemilihan antara model common effect dan random

effect t. Dasar penolakan H0 adalah dengan menggunakan pertimbangan Statistik

Chi-Square, jika probabilitas dari hasil uji LM lebih besar dari nilai kritisnya

maka H0 ditolak dan Ha diterima. Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:

H0: Probability < 0,05 , model mengikuti Common Effect Model

Ha: Probability > 0,05 , model mengikuti Random Effect Model.

4.8. Pengujian Statistik Analisis Regresi

Uji signifikansi merupakan prosedur yang digunakan untuk menguji

kesalahan atau kebenaran dari hipotesis yang telah diajukan oleh peneliti di

antaranya :

4.8.1. Koefisien Determinasi (R-Square)

Koefisien determinasi Adjusted (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh

kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien

determinasi berada diantara nol dan satu. Nilai Adjusted (R2) yang kecil berarti

kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen

amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen

memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi

variabel-variabel dependen.
4.8.2 Uji F-Statistik (Simultan)

Uji F dilakukan untuk menguji secara serentak variabel independen

mempunyai pengaruh terhadap variabel dependen.

 Jika nilai signifikansi < 0,05 menunjukkan bahwa model regresi dapat

digunakan untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel

dependen.

 Jika nilai signifikansi > 0,05 menunjukkan bahwa model regresi yang

digunakan belum mampu menguji pengaruh variabel independen terhadap

variabel dependen.

Dengan tingkat kepercayaan untuk pegujian hipotesis adalah 95% atau (α) 0,05.

4.8.3. Uji Signifikan Parameter Individual ( Uji t)

Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh variabel

independen secara individual mampu menjelaskan variasi variabel dependen.

Ghozali, (2011)

 Jika nilai signifikansi < α = 0,05 berarti variabel independen mempunyai

pengaruh secara parsial terhadap variabel dependen.

 Jika nilai signifikansi > α = 0,05 berarti variabel independen tidak

mempunyai pengaruh secara parsial terhadap variabel dependen

Anda mungkin juga menyukai