PROPOSAL PENELITIAN
OLEH
YUSUF JAYA SAPUTRA
NIM G2E1 16 061
DAFTAR ISI
Halaman
2012; Radebe and Radebe, 2014). Kebijakan anggaran menjadi ajang perebutan
realisasi penetapan anggaran atas proyek- proyek yang mudah dikorupsi dengan
harapan mendapatkan kompensasi fee project yang cukup besar (Jumaidi, 2014).
eksekutif dalam kebijakan anggaran terjadi karena dua faktor pendorong: Pertama,
yang telah berhubungan langsung dengan masyarakat dalam waktu sangat lama; dan
Kedua, eksekutif mempunyai akses informasi yang besar dalam konteks penyusunan
program tertentu yang dapat memuluskan jalan bagi seorang legislator untuk dapat
mengajukan anggaran yang dapat dengan mudah diserap oleh konstituennya dan
waktu 6 (enam) tahun terakhir terjadi fluktuasi perubahan jumlah anggaran hibah dan
bansos yang masuk dalam komponen belanja langsung yang cukup signifikan
menjelang dan sesudah Pemilihan Umum (Pemilu). Jumlah anggaran menurun pada
kampanye (Ritonga dan Alam, 2010). Kondisi ini rentan menimbulkan kasus pidana
Deretan panjang kasus korupsi APBD yang terjadi di Sulawesi Tenggara melibatkan
anggota dan pimpinan DPRD sampai Kepala Daerah. Fakta ini menunjukkan bahwa
political corruption terjadi ketika politisi atau birokrat tingkat atas memanfaatkan
kedudukan mereka demi kepentingan pribadi atau kalangan dekat mereka
terdeteksi melalui pencarian media online, media cetak dan lain-lain. Adapun daerah
yang paling banyak melakukan tindakan korupsi yakni Kabupaten Muna, Kota
Kendari, Kolaka Utara, Disusul dengan Kabupaten Konawe Selatan, Bombana dan
Kolaka. Daerah yang paling tinggi nilai nominal uang yang di korupsi di Sulawesi
Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Selisih Lebih
belanja infastruktur dan belanja DPRD. Namun mengamati fenomena yang terjadi
terkait proses penyusunan APBD yang merupakan proses bersama antara legislatif
dan eksekutif, peneliti tertarik untuk meneliti perilaku oportunistik yang terjadi
akibat interaksi antara kedua pihak yang didasari adanya hubungan keagenan.
Asmara, 2006; Asmara,2010; Suryarini, 2012, Abdullah, 2012 dan Sularso dkk.,
2014) dalam pengukuran perilaku oportunistik penyusun anggaran, dimana
dalamnya belanja hibah dan bansos dari tahun sebelumnya ke tahun berjalan.
Analisis atas pengaruh jenis dan letak pemerintah daerah memberikan bukti
bahwa intensitas legislatif berkaitan dengan status daerah sebagai kota atau
kabupaten. Pandangan bahwa perilaku oportunistik legislatif di kota lebih besar dari
pada di kabupaten bersumber dari anggapan bahwa social control dari stakeholders
legislatif tidak sebaik dikota. Misalnya, dikota gerakan mahasiswa dan pers sangat
aparat penegak hukum menindaklanjuti berbagai laporan tentang korupsi dan yang
masyarakat dan struktur pendapatan berimplikasi pada kontrol sosial yang berbeda
pula.
telah dirancang sedemikian rupa, namun pada prakteknya masih terjadi beberapa
peningkatan belanja hibah dan bantuan sosial juga menunjukkan telah terjadi
pengalokasian anggaran dalam jumlah besar untuk belanja daerah yang dapat
Peningkatan alokasi anggaran untuk belanja infrastruktur, belanja hibah dan bansos
diduga menjadi alat pemenuhan janji – janji politik serta kerap menjadi sasaran
korupsi. Sumber – sumber pendapatan daerah baik yang berasal dari pendapatan
Anggaran ?
Anggaran ?
Anggaran ?
4) Apakah Jenis dan Letak Pemerintahan berpengaruh signifikan terhadap Perilaku
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan penelitian, maka manfaat
bahan bacaan bagi penelitian lebih lanjut dengan topik yang sama.
Hasil kajian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk menilai dan
Beberapa penelitian yang terkait Pengaruh DAU, PAD, SILPA, dan Perilaku
Abdullah dan Asmara (2006), Riharjo dan Isnadi (2010), Asmara (2010), Latifah
(2010), Oktriniatmaja (2011), Maryono (2013), Sularso dkk. (2014), Sayu Made
karena keterbatasan data. Aspek perubahan regulasi yang harus diikuti oleh
pemerintah daerah menyebabkan data penelitian dari tahun ke tahun memiliki
variansi yang cukup besar. Variansi ini terjadi karena data yang digunakan didasarkan
pada klasifikasi dan definisi dari peraturan pemerintah dan peraturan Menteri Dalam
Negeri.
maka, penelitian ini dengan daerah yang berbeda dan panambahan variabel Letak dan
Jenis Pemerintahan. Itulah yang menjadi pemikiran peneliti untuk mengkaji Pengaruh
DAU, PAD, SILPA, Jenis dan Letak Pemerintahan Terhadap Perilaku Oportunistik
pekerja (Faria and Silva, 2013). Sementara di sektor publik, teori keagenan
menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok atau
organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit
maupun eksplisit dengan pihak lain (agents) dengan harapan bahwa agen akan
Meckling, 1976).
mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas
mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu
aktivitas agent sehari-hari untuk memastikan bahwa agent telah bekerja sesuai
dengan keinginan dari principal. Permasalahan dalam hubungan antara prinsipal dan
agen bersumber dari adanya perbedaan tujuan dan pilihan risiko yang dihadapi
agen memiliki informasi lebih tentang kinerja aktual, motivasi dan tujuan yang
Adverse selection terjadi karena adanya perbedaan jumlah informasi yang dimiliki
oleh principal dan agent sehingga principal tidak mampu membedakan apakah agen
melakukan sesuatu yang baik atau tidak (Faria and Silva, 2013). Dalam konteks
dilihat dari dua perspektif yaitu hubungan antara rakyat dengan legislatif, dan
legislatif dengan eksekutif, eksekutif adalah agent dan legislatif adalah principal
(Halim dan Abdullah, 2006). Apabila dilihat dari perspektif hubungan keagenan
legislatif dengan rakyat, pihak legislatif adalah agent yang membela kepentingan
rakyat (principal), akan tetapi tidak ada kejelasan mekanisme dan pengaturan
Hal inilah yang seringkali menyebabkan adanya distorsi anggaran yang disusun oleh
legislatif tersebut. Jika hal ini terjadi, besar kemungkinan anggaran yang disahkan
adalah alat untuk melancarkan aksi pencurian hak rakyat atau sering dikenal dengan
menunjukkan posisi legislatif sebagai prinsipal dan eksekutif adalah agen (Halim
dan Abdullah, 2006; Latifah, 2010; Abdullah, 2012). Hubungan antara prinsipal dan
(Lupia and McCubbins, 2000). Johnson (1994) dalam Abdullah dan Asmara
(2006) menyebut hubungan eksekutif atau birokrasi dengan legislatif atau kongres
dengan nama self-interest model. Dalam hal ini, legislators ingin dipilih kembali,
utilitasnya. Agar terpilih kembali, legislators mencari program dan proyek yang
baru karena ingin agency-nya berkembang dan konstituen percaya bahwa mereka
menerima manfaat dari pemerintah tanpa harus membayar biayanya secara penuh.
Hal ini menunjukkan bahwa baik eksekutif maupun legislatif berupaya untuk
bahwa hubungan prinsipal-agen yang terjadi antara pemilih (voters) dan legislatif
memberikan dana dengan membayar pajak. Ketika legislatif kemudian terlibat dalam
Pada kenyataannya legislatif sebagai agen bagi publik tidak selalu memiliki
Ada dua kondisi yang dimanfaatkan oleh eksekutif untuk merealisasi perilaku
corruption atas anggaran (Garamfalvi, 1997), sementara pada kondisi kedua, self-
interest dalam jangka panjang ingin dicapai. Usulan anggaran yang diperjuangkan
pada usulan yang targetable atau hasilnya kelihatan jelas oleh masyarakat.
ketika politisi atau birokrat tingkat atas memanfaatkan kedudukan mereka demi
keuntungan pribadi ataupun kalangan dekat mereka. Menurut Mauro (1998) salah
dikorupsi sebab tidak banyak orang yang memahami barang tersebut. Insentif
korupsi dalam sisi belanja anggaran pemerintah menurut Martinez et al. (2004)
rendah, pengawasan dan sanksi yang lemah, atau ketidakcukupan gaji dan
insentif lainnya.
2.1.2 Aspek Keperilakuan dalam Penganggaran
yang muncul dalam proses penyusunan anggaran dan perilaku manusia yang
Aspek keperilakuan dalam penganggaran dibedakan atas dua unit analisis yaitu
organisasi dan individu. Menurut Belkaoui (1989) dalam Suartana (2010) ada
daya yang tersedia dan tidak melakukan efisiensi yang sering disebut slack atau
alokasi belanja pada sektor tertentu yang termasuk perilaku disfungsional yang
oportunistik akan mendorong individu berperilaku tidak etis untuk meningkatkan self
interestnya.
2.1.3 Hubungan DAU, PAD, SiLPA, Jenis dan Letak Pemerintahan Dengan
Perilaku Oportunistik
Perilaku oportunistik mengacu pada pribadi, sifat atau dinamika kelompok dalam
eksekutif dan legislatif dalam pengalokasian spread PAD ke dalam belanja sektoral.
Alokasi untuk infrastruktur dan DPRD mengalami kenaikan, tapi alokasi untuk
menemukan bahwa power legislatif yang sangat besar menyebabkan diskresi atas
penggunaan PAD tidak sesuai dengan preferensi publik. Penelitian Sularso dkk.
(2014) serta Abdullah dan Asmara (2006) menunjukkan bahwa semakin besar PAD
modal.
pemerintah daerah tidak dapat dilakukan pada sisi pendapatan, karena pendapatan
daerah sebagian besar bersumber dari dana transfer pemerintah pusat (Bartolini
and Santolini, 2007). Lebih lanjut disebutkan bahwa kondisi ini menyebabkan
belanja dalam APBD. DAU yang diterima daerah dapat mengakibatkan perubahan
bentuk pelayanan publik yang paling mendasar, namun jenis belanja tersebut tidak
kesehatan, dan sosial akan diperkecil (Mauro, 1998). Studi Mauro (1998)
pelayanan untuk program-program dan kegiatan yang sulit untuk dimonitor orang
lain, membuka peluang terjadinya perilaku oportunistik. Hasil penelitian ini
dikuatkan oleh Tanzi and Davoodi (2002) yang mengemukakan bahwa belanja
investasi publik lebih disukai karena dapat memberikan komisi lebih besar
APBD periode selanjutnya (Sularso dkk., 2014). Lebih lanjut dijelaskan bahwa
SiLPA berpengaruh positif pada alokasi belanja pada tahun berikutnya sehingga hal
ini memberi peluang bagi penyusun anggaran untuk mengalokasikan free cash flow
Jenis dan Letak Pemerintahan dapat di samakan sebagai status daerah, dimana
antar daerah. Perbedaan ini dapat berimplikasi pada kontrol sosial yang berbeda pula
(Abdullah, 2004). Kontrol sosial pada penduduk kota cenderung lebih kuat, sehingga
Pemerintah Daerah yang berstatus sebagai Kota akan cenderung mematuhi standar
anggaran.
2.2. K ajian Empiris
dilakukan selama ini lebih fokus pada peranan legislatif dalam proses penyusunan
proses bersama antara eksekutif dan legislatif. Adanya asimetri informasi dalam
dengan menggunakan jenis dan letak pemerintahan sebagai variabel kontrol. Perilaku
pekerjaan umum dan anggaran legislatif yang merupakan selisih angka antara
pejabat eksekutif atas penggunaan penerimaan sumber daya alam dalam penyusunan
APBD. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data APBD dari 31 propinsi
pengaruh belanja pegawai langsung, belanja barang dan jasa, serta belanja modal
alokasi belanja modal dalam APBD Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, Bali dan
untuk menguji pengaruh antar variabel serta uji beda untuk menilai perbedaan
sebanyak 147 dengan rentang waktu 2004 – 2008. Hasil penelitian menemukan
bahwa PAD, DAU dan DAK berpengaruh positif terhadap alokasi belanja
modal, sedangkan uji beda menunjukkan bahwa belanja modal dan PAD di
tidak berpengaruh. Lebih lanjut Sularso dkk. (2014) menguji Pengaruh DAU, PAD,
Jawa Tengah. Analisis dilakukan untuk data APBD Tahun 2010 – 2012 dengan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar DAU, PAD dan SiLPA maka
BAB III
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Pikir
Proses penyusunan anggaran merupakan tahapan yang rumit dan penuh
khususnya pemerintah daerah adalah proses politik yang sangat didominasi oleh
politik anggaran yang dilakukan oleh pihak – pihak yang terlibat. Nuansa politik
APBD berasal dari PAD, Dana Perimbangan dan penerimaan pembiayaan yang
pendapatan daerah berupa DAU adalah dana yang berasal dari APBN yang
DAU memiliki proporsi yang paling besar pada penerimaan daerah, dimana
seharusnya pemerintah daerah secara leluasa dapat menggunakan dana ini untuk
SiLPA merupakan penerimaan daerah yang bersumber dari sisa kas tahun
pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja. Penelitian Sularso dkk. (2014)
menemukan bahwa SiLPA berpengaruh positif terhadap belanja modal pada periode
anggaran selanjutnya, yang berarti dapat berpengaruh pada alokasi belanja tahun
berikutnya sehingga hal ini memberi ruang bagi penyusun anggaran untuk
dengan segala cara bahkan cara ilegal sekalipun yang dipengaruhi oleh adanya
dalam pembuatan keputusan alokasi belanja dan preferensi yang mengarah pada
dilihat dari pengalokasian anggaran yang lebih mengarah pada preferensi yang
3.2. Hipotesis
Tujuan dari dana alokasi umum adalah untuk pemerataan keuangan antar
pemerintah daerah tidak dapat dilakukan pada sisi pendapatan, karena pendapatan
daerah sebagian besar bersumber dari dana transfer pemerintah pusat (Bartolini and
Santolini, 2007). Lebih lanjut disebutkan bahwa kondisi ini menyebabkan perilaku
oportunistik yang dilakukan politisi hanya dapat memengaruhi sisi belanja
dalam APBD. DAU yang diterima daerah dapat mengakibatkan perubahan alokasi
anggaran dalam APBD (Maryono, 2013). Berdasarkan kajian empiris di atas, maka
eksekutif dan legislatif dalam pengalokasian spread PAD ke dalam belanja sektoral.
Alokasi untuk infrastruktur dan DPRD mengalami kenaikan, tapi alokasi untuk
menemukan bahwa power legislatif yang sangat besar menyebabkan diskresi atas
penggunaan PAD tidak sesuai dengan preferensi publik. Penelitian Sularso dkk.
(2014) serta Abdullah dan Asmara (2006) menunjukkan bahwa semakin besar PAD
bentuk pelayanan publik yang paling mendasar, namun jenis belanja tersebut tidak
dan sosial akan diperkecil (Mauro, 1998). Studi Mauro (1998) menunjukkan bahwa
jenis-jenis belanja pemerintah berupa belanja barang atau pelayanan untuk program-
program dan kegiatan yang sulit untuk dimonitor orang lain, membuka peluang
terjadinya perilaku oportunistik. Hasil penelitian ini dikuatkan oleh Tanzi and
Davoodi (2002) yang mengemukakan bahwa belanja investasi publik lebih disukai
karena dapat memberikan komisi lebih besar daripada belanja untuk pelayanan
sosial, pendidikan, dan kesehatan. Berdasarkan kajian empiris di atas, maka peneliti
APBD periode selanjutnya (Sularso dkk., 2014). Lebih lanjut dijelaskan bahwa
SiLPA berpengaruh positif pada alokasi belanja pada tahun berikutnya sehingga hal
ini memberi peluang bagi penyusun anggaran untuk mengalokasikan free cash flow
tersebut untuk berperilaku oportunistik. Berdasarkan kajian empiris di atas, maka
antar daerah. Perbedaan ini dapat berimplikasi pada kontrol sosial yang berbeda pula
kuat, sehingga Pemerintah Daerah yang berstatus sebagai Kota akan cenderung
Proses pengukuran adalah bagian yang sentral dalam penelitian kuantitatif karena
hal ini memberikan hubungan yang fundamental antara pengamatan empiris dan
mengarahkan pada pemilihan sumber – sumber daya dan tipe informasi yang
diperlukan untuk menunjukkan hubungan antar variabel yang diteliti dan menggariskan
serta waktu. Rancangan penelitian merupakan rencana dari struktur penelitian yang
mengarahkan proses dan hasil riset sedapat mungkin menjadi valid, obyektif, efisien
Penelitian ini menguji pengaruh variabel independen yaitu DAU, PAD dan
SiLPA, Letak dan Jenis Pemerintahan terhadap variabel dependen yaitu perilaku
Pengujian dilakukan secara statistik dengan menggunakan data sekunder yang akan
dianalisis dengan teknik analisis regresi linier berganda. Hasil analisis kemudian
Lokasi penelitian mempunyai kriteria yaitu daerah yang sudah mekar dibawah
tahun 2010, sementara daerah yang mekar di atas tahun 2010 tetap masuk dalam
Sulawesi Tenggara untuk menganalisis data APBD pada kurun waktu 2011 – 2016.
perilaku oportunistik penyusun anggaran dan variabel independen yaitu DAU, PAD
terdiri dari variabel dependen yaitu perilaku oportunistik penyusun anggaran dan
variabel independen yaitu DAU, PAD dan SiLPA, Jenis dan Letak Pemerintahan.
4.5.1 Variabel Dependen
merupakan perilaku yang berusaha mencapai keinginan dengan segala cara bahkan
dengan cara ilegal sekalipun. Pengukuran kinerja OPA di dalam penelitian ini
alokasi anggaran belanja tertentu dari APBD tahun sebelumnya ke APBD tahun
sumberdaya antara principal dan agents (Abdullah, 2012). Nilai OPA menunjukkan
berikut:
APBD tahun sebelumnya (t-1). Sektor yang diamati adalah biaya tidak langsung
yang di dalamnya terdiri dari pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, hibah dan
Variabel independen pada penelitian ini yang mempengaruhi OPA terdiri dari
empat variabel yaitu Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD),
DAU adalah transfer yang bersifat umum dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah
Dana Alokasi Umum (DAU) dari APBD tahun berjalan (t) ke APBD tahun
PAD merupakan pendapatan daerah yang terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi
PAD menggunakan spread PAD (Δ PAD) adalah perubahan naik atau turunnya
PAD dari APBD tahun berjalan (t) ke APBD tahun sebelumnya (t-1) (Abdullah,
2012). PAD = PAD APBD (t) – APBD (t-
1)……………………………………………………1)
pihak ketiga sampai dengan akhir tahun terselesaikan dan sisa dana kegiatan
lanjutan, yang ditanggung dalam perubahan APBD. SiLPA diukur dengan spread
………………………………………………..3)
antar daerah. Perbedaan ini dapat berimplikasi pada kontrol sosial yang berbeda
pula (Abdullah, 2004). Kontrol sosial pada penduduk kota cenderung lebih kuat,
tata letak dan jenis, dengan angka 1 melambangkan tata letak dan jenis
Kabupaten dan angka 0 melambangkan tata letak dan jenis Kota. Jenis dan Letak
Pemerintahan diukur dengan menggunakan skor. Jika status daerah adalah
Kabupaten, diberi kode 1 (satu) dan jika status daerah adalah Kota, diberikan
kode 0 (nol). Variabel ini digunakan dalam penelitian Abdullah, (2004) dan
Retnoningsih (2009).
Jenis data dalam penelitian ini terdiri atas sumber data sekunder runtut waktu
(time series) dari tahun 2011-2016 yang bersumber dari Biro Keuangan Sekretariat
Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Tenggara,
Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2011 – 2016 dan situs
data yang diperoleh/ dikumpulkan dan disatukan oleh studi-studi sebelumnya atau
yang diterbitkan oleh berbagai instansi lain atau sumber tidak langsung berupa data
Data tersebut meliputi DAU, PAD, SiLPA, belanja sektoral untuk belanja
pendidikan, kesehatan, PU, hibah dan bansos, Jenis dan Letak Pemerintahan dan
Pinjaman Daerah. Adapun variabel penelitian terdiri dari DAU (X1), PAD (X2),
Oportunistik Penyusun Anggaran (Y). Alat analisis yang digunakan adalah regresi
asumsi klasik untuk mengetahui hasil estimasi regresi yang dilakukan terbebas dari
fit) dengan melihat nilai koefisien determinasi (R2), hasil uji F dan uji t.
dari berbagai sumber sesetara mungkin “menjadi satu bentuk yang sama”);
Teknik analisis yang digunakan di dalam penelitian ini adalah analisis regresi data
panel dengan menggunakan alat uji Eviews. Data panel merupakan gabungan antara data
silang (cross section) dengan data runtut waktu (time series). Data panel diperkenalkan
oleh Howles pada tahun 1950. Data runtut waktu biasanya meliputi satu objek (misalnya
harga saham, kurs mata uang, atau tingkat inflasi), tetapi meliputi beberapa periode (bisa
harian, bulanan, kuartalan, tahunan, dan sebagainya). Data silang terdiri atas beberapa atau
banyak objek, sering disebut responden, (misal perusahaan) dengan beberapa jenis data
(misal laba, biaya iklan, laba ditahan, dan tingkat investasi). Keunggulan regresi data
3) Data panel mendasarkan diri pada observasi cross-section yang berulang-ulang (time
series), sehingga metoda data panel cocok digunakan sebagai study of dynamic
adjustment.
4) Tingginya jumlah observasi memiliki implikasi pada data yang lebih informatif, lebih
variatif, dan kolinearitas (multikol) antara data semakin berkurang. Dan derajat
kompleks. Selain itu data panel juga dapat digunakan untuk meminimalkan bias yang
Dengan keunggulan tersebut maka tidak harus dilakukannya pengujian asumsi klasik
dalam model data panel (Verbeek, 2009; Gujarati, 2006; Wibisono, 2005; Aulia;2004,
hanya mengkombinasikan data time series dan cross section. Pada model ini tidak
perilaku data perusahaan sama dalam berbagai kurun waktu. Metode ini bisa
menggunakan pendekatan Ordinary Least Square (OLS) atau teknik kuadrat terkecil
intersep antar perusahaan. Model estimasi ini sering juga disebut dengan teknik Least
mungkin saling berhubungan antar waktu dan antar individu. Pada model
Square, jika probabilitas dari hasil uji Chow- test lebih besar dari nilai kritisnya
maka H0 ditolak dan Ha diterima. Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:
2) Hausman test
Hausman test atau uji hausman adalah pengujian statistik untuk memilih
apakah model fixed effect atau random effect yang paling tepat digunakan. Setelah
selesai melakukan uji Chow dan didapatkan model yang tepat adalah fixed effect,
maka selanjutnya akan diuji model manakah antara model fixed effect atau random
effect yang paling tepat, pengujian ini disebut sebagai uji Hausman.
Uji Hausman dapat didefinisikan sebagai pengujian statistik untuk memilih
apakah model fixed effect atau random effect yang paling tepat digunakan. Pengujian
Statistik Uji Hausman ini mengikuti distribusi statistic Chi Square dengan
nilai statistik Hausman lebih kecil dari nilai kritisnya maka H0 diterima dan
model yang tepat adalah model fixed effect sedangkan sebaliknya bila nilai statistik
Hausman lebih besar dari nilai kritisnya maka model yang tepat adalah model
random effect .
Jika model common effect atau fixed effect yang digunakan, maka langkah
selanjutnya yaitu melakukan uji asumsi klasik. Namun apabila model yang digunakan
jatuh pada random effect, maka tidak perlu dilakukan uji asumsi klasik. Hal ini
disebabkan oleh variabel gangguan dalam model random effect tidak berkorelasi
dari perusahaan berbeda maupun perusahaan yang sama dalam periode yang
gangguan nol.
3) Langrange Multiplier (LM)
Uji ini digunakan untuk pemilihan antara model common effect dan random
Chi-Square, jika probabilitas dari hasil uji LM lebih besar dari nilai kritisnya
maka H0 ditolak dan Ha diterima. Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:
kesalahan atau kebenaran dari hipotesis yang telah diajukan oleh peneliti di
antaranya :
determinasi berada diantara nol dan satu. Nilai Adjusted (R2) yang kecil berarti
variabel-variabel dependen.
4.8.2 Uji F-Statistik (Simultan)
Jika nilai signifikansi < 0,05 menunjukkan bahwa model regresi dapat
dependen.
Jika nilai signifikansi > 0,05 menunjukkan bahwa model regresi yang
variabel dependen.
Dengan tingkat kepercayaan untuk pegujian hipotesis adalah 95% atau (α) 0,05.
Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh variabel
Ghozali, (2011)