Anda di halaman 1dari 114

LAPORAN AKHIR

SKIM HIBAH BERSAING

MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN E-PROCUREMENT


DALAM MEWUJUDKAN TRANSPARANSI PENGADAAN
BARANG/JASA PEMERINTAH DI SUMATERA UTARA

Tahun Ke 1 (Satu) Dari Rencana 2 (Dua) Tahun

Ketua : Dra. Februati Trimurni, M.Si


NIDN : 0012026602
Anggota : Dra. Asima Yanti Sylvania Siahaan, M.A, Ph.D
NIDN : 0026016404

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


NOVEMBER 2014

1
ii
RINGKASAN

Kebijakan e-procurement di Indonesia merupakan salah satu bentuk reformasi di


bidang pengadaan barang dan jasa pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas, meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat,
memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan, mendukung proses monitoring dan audit
dan memenuhi kebutuhan akses informasi yang tepat waktu guna mewujudkan
kepemerintahan yang baik dan bersih dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Kajian
mengenai model implementasi kebijakan e-procurement dalam mewujudkan transparansi
pengadaan barang dan jasa pemerintah di Sumatera Utara menjadi semakin mendesak dan
relevan sehubungan dengan karakteristik Pemerintah Daerah Kota Medan, Kota Binjai dan
Kabupaten Serdang Bedagai yang ditandai dengan regulasi, infrastruktur, kapasitas dan
kapabilitas sumberdaya manusia serta dinamika birokrasi lokal yang terbatas namun harus
melayani tuntutan dan kebutuhan pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik
yang terus meningkat.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan model implementasi kebijakan e-
procurement yang tepat dengan kondisi real dalam mewujudkan transparansi pengadaan
barang/jasa di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai.
Selain itu untuk menganalisis pelaksanaan dan hambatan model implementasi kebijakan e-
procurement tersebut di tiga lokasi penelitian. Wawancara mendalam telah dilakukan
dengan LPSE, ULP dan Kelompok Kerja (Pokja) sebagai penyelenggara e-procurement
dan observasi langsung terhadap infrastruktur dan proses dalam penyelenggaraan sistem e-
procurement serta analisis konten website institusi terkait.
Capaian hasil penelitian menunjukkan bahwa model kebijakan e-procurement di
Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai terdiri dari tiga faktor yaitu
landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia. Regulasi yang senantiasa
berubah dan tidak sinkron antar berbagai lembaga merupakan tantangan dan hambatan
yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam mengimplementasikan e-procurement.
Sumber daya manusia masih perlu ditingkatkan terlebih dalam penguasaan teknologi
informasi serta penerimaan atas penggunaan e-procurement. Keberadaan infrastruktur juga
belum cukup memadai untuk melaksanakan kebijakan e-procurement.
Ketiga faktor dari model kebijakan e-procurement di Kota Medan, Kota Binjai
dan Kabupaten Serdang Bedagai saling keterkaitan satu dengan lainnya dalam
mempengaruhi transparansi dan kinerja penyelenggara e-procurement. Pemanfaatan
teknologi yang canggih belum diimbangi oleh kemampuan sumber daya manusia
penyelenggara. Namun disisi lain ketidaktersediaan atau keterbatasan infrastruktur
mengakibatkan kesulitan bagi sumber daya manusia penyelenggara menghadapi penyedia.
Selanjutnya sumber daya manusia dan infrastruktur yang belum optimal menjadi salah satu
penyebab peraturan mengenai e-procurement belum dapat dilaksanakan secara utuh.
Ketidaksiapan dan ketidakoptimalan ketiga faktor dari model kebijakan e-procurement di
tiga lokasi penelitian menghasilkan proses yang hibryd dalam pengimplementasian e-
procurement yang mencakup hibriditas dalam strategi (sentralisasi-desentralisasi)
pemaketan, sistem (manual – on line), struktur (pemerintah provinsi, kabupaten dan kota –
kecamatan, desa).
Political will dari Kepala Pemerintahan Daerah Kota Medan, Kota Binjai dan
Kabupaten Serdang Bedagai yang ditunjukkan dalam komitmen terhadap regulasi,
infrastruktur dan SDM merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan
implementasi e-procurement menuju pada terwujudnya Good Governance dalam
pelayanan publik.

iii
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Model
Implementasi Kebijakan e-Procurement Dalam Mewujudkan Transparansi
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Sumatera Utara”.
Penelitian ini merupakan salah satu tugas dari Tri Dharma Perguruan Tinggi
disamping pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat. Sumber dana penelitian ini
berasal dari DIPA Universitas Sumatera Utara Tahun Anggaran 2014, sesuai dengan Surat
Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Penelitian Hibah Bersaing Nomor;
1082/UN5.1.R/KEU/2014, tanggal 17 Pebruari 2014.
Dalam menyelesaikan penelitian ini penulis mendapat bantuan dari berbagai
pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof.Dr.Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Dr.Ir. Harmein Nasution, MSIE selaku Ketua LP3M Bidang Penelitian USU
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan baik dari isi maupun teknik penyusunannya. Akhir kata penulis berharap
semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Medan, November 2014


Penulis,

Dra Februati Trimurni, M.Si


Dra Asima Yanty Sylvania Siahaan, M.A., Ph.D

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ………………………………………………………….................. i


HALAMAN PENGESAHAN…...…………………………………………………………. ii
RINGKASAN…………………………………………………………………………….… iii
PRAKATA…………………………………………………………………………………. iv
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….. v
DAFTAR TABEL………………………………………………………………………….. vii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………………. viii
DAFTAR FOTO……………………………………………………………………………. ix
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………………….. x

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang Penelitian…………………………………………………………….. 1
1.2 Perumusan Masalah…………………………………………………………………... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA….………………………………………………………. 6


2.1 Pengertian Model Implementasi Kebijakan................................................................... 6
2.2 Model Implementasi....................................................................................................... 6
2.3 Pengertian Electronic Government (e-Government)...................................................... 7
2.4 Pengertian Electronic Procurement (e-Procurement).................................................... 12
2.5 Transparansi Dalam Pelayanan Publik........................................................................... 16
2.6 Peta Jalan Penelitian....................................................................................................... 17

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN…………………………………….. 19


3.1 Tujuan Penelitian........................................................................................................... 19
3.2 Manfaat Penelitian......................................................................................................... 19

BAB IV METODE PENELITIAN………………………………………………………... 20


4.1 Bentuk Penelitian ……………………………………………………………..……... 20
4.2 Informan Penelitian ………………………………………………………………….. 20
4.3 Teknik Pengumpulan Data ……………………………………………………..…..... 20
4.4 Teknik Analisa Data ……………………………………………………………..… ... 21

BAB V HASIL YANG DICAPAI.................................................... …………………….. 23


5.1 Pemerintah Kota Medan………………………………………………....................... 23
5.1.1 Karakteristik Lokasi dan Wilayah Kota Medan................................................. 23
5.1.2 Visi dan Misi Kota Medan ...........…………..................................................... 23
5.1.3 Struktur Organisasi Kota Medan....................................................................... 26
5.1.4 Deskripsi Lembaga Pelaksana e-Procurement Kota Medan............................. 28
5.1.3.1 Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Kota Medan ……….. 28
5.1.3.2 Layanan Pengadaan Barang/Jasa Elektronik (LPSE) Kota Medan … 31
5.2 Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai .................................................................... 32
5.2.1 Karakteristik Lokasi dan Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai ...................... 32
5.2.2 Visi dan Misi Kabupaten Serdang Bedagai ...................................................... 33
5.2.3 Struktur Organisasi Kabupaten Serdang Bedagai……………………………... 35
5.2.4 Deskripsi Lembaga Pelaksana e-Procurement Kabupaten Serdang Bedagai … 37
5.2.4.1 Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Kabupaten

v
Serdang Bedagai …………………………………………………… 37
5.2.4.2 Layanan Pengadaan Barang/Jasa Elektronik (LPSE)
Kabupaten Serdang Bedagai ………………………………………... 37
5.3 Pemerintah Kota Binjai ……………………………………………….......................... 37
5.3.1 Karakteristik Lokasi dan Wilayah Kota Binjai ................................................... 38
5.1.2 Visi dan Misi Kota Binjai ...........…………........................................................ 39
5.1.3 Struktur Organisasi Kota Binjai ......................................................................... 42
5.1.4 Deskripsi Lembaga Pelaksana e-Procurement Kota Binjai ................................ 42
5.1.3.1 Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Kota Binjai ………….. 42
5.1.3.2 Layanan Pengadaan Barang/Jasa Elektronik (LPSE) Kota Binjai ...... 42
5.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan e-Procurement di Propinsi
Sumatera Utara ……………………………………………………………………..… 42
5.5 Implementasi Model Kebijakan e-Procurement di Propinsi Sumatera Utara ...………... 60
5.6 Transparansi dalam Implementasi e-Procurement …………………………………… 68

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN...………………………...................................... 84


6.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………….. 84
6.2 Saran…………………………………………………………………………………… 98

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………… 100

LAMPIRAN

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 E-Government Attributes……………………………………… 8


Tabel 2.2 Peta Jalan Penelitian…………………………………………… 18

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Tahapan Penelitian Tahun Pertama……………………………… 23


Gambar 5.1 Struktur Organisasi Pemerintah Kota Medan…………………… 27
Gambar 5.2 Struktur Organisasi Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai….. 37

viii
DAFTAR FOTO

Foto 5.1 Suasana Pelatihan Panitia Pengadaan oleh LPSE Kota Medan… 48
Foto 5.2 Ruang LPSE Kota Binjai……………………………………….. 51
Foto 5.3 Server di LPSE Kota Binjai…………………………………….. 52
Foto 5.4 Ruangan POKJA Serdang Bedagai…………………………….. 56

ix
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian


Walter B.Wriston dalam Garson (2000: 113)1 mengatakan “We are now living in
the midst of the third great revolution in history, the information age… ushered in by
marriage of computers and telecommunications, which has demolished time and distance”.
Pernyataan Wriston diatas mengenai perkembangan teknologi baru yakni gabungan antara
komputer dan telekomunikasi mengakibatkan terjadinya transformasi di lingkungan
organisasi pemerintahan dan swasta serta kualitas kehidupan individu dan masyarakat.
Teknologi baru ini menjanjikan pekerjaan menjadi lebih efisien dan efektif karena
berkurangnya waktu pengerjaan dan tidak adanya jarak antara penyedia barang dan jasa
dengan masyarakat atau pelanggan.
Salah satu bentuk dari teknologi baru itu adalah e-government (pemerintahan
elektronik atau disingkat dengan e-Govt). Bekkers dan Hamburg (2006, 1)2 mengatakan
“E-government is one of the innovations proposed in discussions about modernizing public
administration. E-government merupakan salah satu innovasi yang diusulkan atau diajukan
dalam diskusi-diskusi tentang modernisasi administrasi publik. Sejalan dengan pendapat di
atas, OECD (2003: 63)3 mengatakan e-government is defined as a capacity to transform
public administration through the use of ICTs or indeed is used to describe a new form of
government built around ICTs. Jadi e-government sebagai sebuah kapasitas atau kekuatan
untuk mengubah administrasi publik melalui penggunaan Telekomunikasi Informasi dan
Komunikasi (TIK) atau digunakan untuk menggambarkan suatu bentuk pemerintahan baru
yang dibangun melalui penggunaan TIK.
Di awal tahun 1990-an di Amerika Serikat dan Inggris muncul berbagai bentuk
pelayanan yang menggunakan e-government baik untuk melayani warga negara maupun
sektor swasta. Baru sekitar akhir tahun 1990-an, e-government digunakan di banyak
pemerintahan di dunia baik di negara maju maupun sedang berkembang sebagai salah satu
cara untuk memperbaiki pelayanan kepada masyarakat. Layanan seperti rekening

1
Lynn, Dahlia Bradshaw,. 2000. Technology Launch in Government. Dalam Handbook of Public
Information System. Edited by Garson, G. David. Marcel Dekker, Inc. USA.
2
Bekkers, Victor, and Homburg, Vincent,. 2005. E-Government as an Information Ecology: Backgrounds
and Cocepts. Dalam The Information Ecology of E-government: E-Government as Institutional and
Technological Innovation in Public Administration. Edited by Bekkers and Homburg. IOS Press Netherlands.
3
OECD E-Government Task Force. 2003. The Case for E-Government:Excerpts from the OECD
Report“The E-Government Imperative”. OECD Journal on Budgeting – Vol. 3, No. 1.

1
pembayaran, informasi tentang pelayanan pemerintah, formulir lamaran, identitas diri dan
dokumen-dokumen pemerintahan disediakan dengan fasilitas e-government. Penggunaan
e-government ini secara umum bertujuan untuk mencegah terjadinya masalah yang
berkaitan dengan keterlambatan dalam proses, ketidakpastian, kurang transparan dan
praktek korupsi4.
Di Indonesia penggunaan e-government diperkuat dengan keluarnya Inpres
Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-
Government. Kebijakan ini merupakan upaya mengembangkan penyelenggaraan
pemerintahan yang berbasis elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik
secara efektif, efisien, terbuka dan bersaing, transparan, adil, serta akuntabel.
Kebijakan e-government di Indonesia hingga saat ini sudah merambah ke berbagai
fungsi penyelenggaraan pemerintah dan salah satu diantaranya adalah pada pengelolaan
pengadaan barang dan jasa (e-procurement). Seperti yang dikatakan Turban dkk (2006)5
bahwa “e-procurement refers to the purchase of goods and services for organizations”.
Pengadaan barang dan jasa merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan pemerintah
dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik seperti tercantum dalam pasal 5 UU
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Jika pengelolaan pengadaan barang dan
jasa pemerintah ini dilakukan dengan baik maka dapat menciptakan good governance.
Pengadaan barang dan jasa milik pemerintah berbeda dengan pengadaan barang
dan jasa di perusahaan swasta. Di instansi pemerintah proses pengadaan barang dan jasa
lebih rumit karena membutuhkan alokasi dana yang besar serta berhubungan dengan
perhitungan APBN/APBD yang digunakan untuk membayar barang atau jasa tersebut. Di
lembaga-lembaga pemerintah jumlah pengadaan barang dan jasa rata-rata mencapai 15%-
30% dari Gross Domestic Product (GDP).
Persentase yang besar dari pengadaan barang dan jasa ini tidak dapat dihindari
menjadi peluang terjadinya korupsi yang diperkirakan mencapai 10%-25% pada skala
normal. Bahkan dalam beberapa kasus, kerugian yang ditimbulkan mencapai 40%-50%
dari nilai kontrak6. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas
mengatakan, proses pengadaan barang dan jasa merupakan kasus dugaan korupsi yang

4
Bekkers, Victor, and Homburg, Vincent,. 2005. E-Government as an Information Ecology: Backgrounds
and Cocepts. Dalam The Information Ecology of E-government: E-Government as Institutional and
Technological Innovation in Public Administration. Edited by Bekkers and Homburg. IOS Press Netherlands.
5
Turban, E., King, D., Lee, J. and Viehland, D. 2006. Electronic Commerce: A Managerial Perspective.
Pearson/Prentice-Hall, Englewood Cliffs. NJ.
6
Buku Panduan Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa Publik, TII, 2006 dalam 25.-Korupsi-
dalam-Proses-Pengadaan-Barang-dan-Jasa.pdf. Diakses 19 April 2013 Jam 19.30.

2
paling banyak diusut dan ditangani institusi KPK. Sejak tahun 2004 hingga 2011, KPK
telah menangani 96 kasus korupsi pengadaan barang dan jasa. Secara prosentase mencapai
40,9 persen7. Sehingga tidak berlebihan jika pengadaan barang dan jasa merupakan fokus
dari kerja KPK sebagaimana yang telah berjalan selama ini8.
Mengatasi kebocoran pengadaan barang dan jasa ini maka kebijakan e-
procurement memegang peranan yang strategis dengan memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi seperti termuat dalam pasal 4 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik. Kebijakan tatacara pengadaan barang dan jasa pemerintah ini
diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan
Jasa Pemerintah yang kemudian direvisi menjadi Peraturan Presiden No.70 Tahun 2012.
Kebijakan ini lahir sebagai koreksi atas kelemahan pengadaan dengan sistem konvensional
yang dilakukan dengan langsung mempertemukan pihak-pihak yang terkait pengadaan.
Banyak faktor yang menyebabkan masih minimnya best practices pengembangan
e-government di Indonesia, seperti belum memadainya kapasitas SDM pengelola teknis,
keterbatasan infrastruktur pendukung, masih lemahnya regulasi dan kelembagaan,
terbatasnya dukungan anggaran pemerintah, serta masih rendahnya komitmen dan
keseriusan dari para pemimpin di berbagai level pemerintahan9. Masalah yang hampir
sama juga ditemukan pada implementasi e-procurement di Indonesia, seperti belum adanya
ketegasan tentang peraturan hukum yang memayungi proses e-procurement. Akibatnya
belum ada standar baku mengenai tata kelola proses e-procurement baik dari segi rantai
birokrasi, waktu, penggunaan standar teknologi informasi dan sumber daya manusia.
Selain itu, kurangnya komitmen pimpinan tertinggi maupun jajaran di tingkat menengah
yang mangakibatkan kurangnya dukungan politis sehingga memicu merebaknya korupsi.
Kemudian, tantangan dari panitia maupun penyedia dan bahkan dari legislatif serta
infrastruktur yang sangat terbatas, seperti mahalnya biaya internet10.
Kota dan kabupaten di Sumatera Utara termasuk daerah yang terlambat
menerapkan kebijakan e-procurement di Indonesia. Di lingkungan Provinsi Sumatera
Utara, Kota Medan yang pertama menerapkan kebijakan e-procurement dengan

7
http://beritasore.com/2012/04/10/korupsi-pengadaan-paling-banyak-ditangani-kpk/. Diakses 19 April 2013,
Jam 21.00.
8
http://www.centroone.com/news/2013/03/2y/kpk-siap-aktif-awasi-pengadaan-barang-dan-jasa-pemerintah
/Diakses 19 April 2013, Jam 20.00.
9
Pramusinto, Agus dan Erwan Agus Purwanto. 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan
Publik: Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Penerbit Gava Media, Jian-UGM, MAP-
UGM. Yogyakarta.
10
http://politik.kompasiana.com/2013/03/09/implementasi-e-procurement-sebagai-inovasi-pelayanan publik-
541293.html. Diakses 21 April 2013, Jam 20.15.

3
dibentuknya Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), sementara Kota Binjai dan
Kabupaten Serdang Bedagai menyusul menerapkan kebijakan ini. Namun penerapan
kebijakan e-procurement di Kota Binjai11 dan Kabupaten Serdang Bedagai 12 masih belum
maksimal. Hal ini ditandai dengan masih sedikitnya jumlah pengadaan barang dan jasa
yang dilakukan secara elektronik.
Meskipun belum terlalu banyak karena kebijakan e-procurement di Indonesia
baru keluar pada tahun 2010, beberapa penelitian mengenai e-procurement sudah
dilakukan seperti implementasi kebijakan e-procurement dalam mewujudkan akuntabilitas
di Kota Yogyakarta (Jurnal Studi Pemerintah 2012) dan persepsi pengguna layanan
pengadaan barang dan jasa terhadap sistem e-procurement di Kota Yogyakarta (Jurnal
Siasat Bisnis, 2009) serta beberapa penelitian sistem e-procurement yang fokus kajiannya
pada teknologi informasi.
Pada umumnya penelitian yang berfokus pada implementasi kebijakan e-
procurement melihat implementasi kebijakan dari faktor-faktor atau variabel-variabel
seperti regulatif, teknokratis dan administratif, politik, kebutuhan masyarakat dan lain-lain
atau berdasarkan model-model implementasi kebijakan publik dari literature barat, yang
menurut pengamatan peneliti belum tentu sesuai dengan kondisi real di pemerintah
kabupaten dan kota di Sumatera Utara. Karena itu dalam penelitian ini, peneliti ingin
melihat bagaimana model implementasi kebijakan e-procurement yang tepat dengan
kondisi real di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai
sehingga kebijakan ini dapat mewujudkan prinsip tranparansi sebagaimana diamanatkan
pasal 4 UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian diatas maka yang menjadi permasalahan


dalam penelitian ini adalah bagaimana model implementasi kebijakan e-procurement di
Pemerintah Kota Medan, Pemerintah Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai dalam
mewujudkan prinsip transparansi? Untuk menjawab pertanyaan diatas, dirumuskan
pertanyaan dibawah ini:
1.2.1 Faktor-faktor apa saja dari implementasi e-procurement di Pemerintah Kota
Medan, Pemerintah Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai?

11
www.lpse.binjaikota.go.id
12
www.lpse.serdangbedagaikab.go.id/eproc/

4
1.2.2 Bagaimana implementasi model kebijakan e-procurement tersebut dalam
mewujudkan transparansi di Pemerintah Kota Medan, Pemerintah Kota Binjai dan
Kabupaten Serdang Bedagai?
1.2.3 Faktor-faktor apa yang menjadi penghambat dari model implementasai e-
procurement di Pemerintah Kota Medan, Pemerintah Kota Binjai dan Kabupaten
Serdang Bedagai?

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Model Implementasi Kebijakan


Salah satu komponen penting dari proses kebijakan publik adalah implementasi
dari kebijakan tersebut. Implementasi merupakan suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk
mencapai suatu tujuan. Pada tahap implementasi ini, keberhasilan atau kegagalan suatu
kebijakan dapat dilihat dengan jelas. Betapapun baiknya suatu kebijakan diatas kertas
tanpa implementasi yang benar, kebijakan tersebut tidak akan berarti. Dengan kata lain,
suatu kebijakan yang baik akan tetap menjadi sebuah rencana, jika tidak dapat diterapkan
dengan tepat.

2.2 Model Implementasi Kebijakan


Tidak mudah mengimplementasikan sebuah kebijakan, karena pada tahap ini
masalah-masalah yang tidak dijumpai dalam konsep, bisa muncul di lapangan serta
konsistensi kebijakan tersebut ketika diimplementasikan. Oleh karena ada banyak variabel
atau model yang dikembangkan untuk membantu sehingga suatu kebijakan dapat berhasil
ketika diimplementasikan. Varibel-variabel atau faktor-faktor ini berpengaruh pada
keberhasilan dan pencapaian implementasi kebijakan baik di tingkat individu maupun
institusi. Faktor-faktor ini saling berinteraksi satu sama lain sehingga semakin
kompleksnya implementasi suatu kebijakan.
Beberapa model implementasi kebijakan dapat dikemukakan disini, seperti model
George C. Edwards III (1980)13 mengatakan bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi
oleh empat variabel yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi dan struktur birokrasi. Dalam
rangka keberhasilan pelaksanaan kebijakan di lapangan, keempat variable ini saling
berhubungan. Sementara Gerston14 (2002) berpendapat bahwa ada empat faktor yang
mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan, meliputi: 1. translation ability yang
dicirikan oleh kemampuan implementasi staf untuk menterjemahkan putusan; 2. resources
yang berkaitan dengan sumber daya manusia, keuangan dan sumber daya lainnya; 3.
limited number, yaitu jumlah pelaksana kebijakan dibatasi untuk menghindari ambiguitas
dan persaingan tidak sehat; 4. accountability, yaitu pertanggungjawaban dari pelaksana

13
Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2003. ”Implementasi Kebijakan Publik, Transformasi Pikiran George
Edwards”. Lukman Offset dan Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia: Yogyakarta.
14
Gerston dalam AG. Subarsono. 2009. “Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasi”. Pustaka
Pelajar: Yogyakarta.

6
kebijakan terhadap apa yang telah dikerjakan. Selanjutnya Meter dan Horn15 menyebutkan
bahwa ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni standar dan
sasaran kebijakan, sumberdaya, hubungan antar-organisasi, karakteristik agen pelaksana,
kondisi sosial, politik dan ekonomi, serta disposisi dari pelaksana.
Sebenarnya masih banyak ahli kebijakan publik yang menawarkan model
implementasi kebijakan, dimana setiap model terdiri dari beberapa variabel atau faktor,
yang satu dengan lain dapat sama namun banyak juga yang berbeda-beda.
Pengimplementasiannya juga berbeda bila dilihat dari rumusan kebijakan yang dibuat
apakah top-down atau buttom-up. Dari begitu banyak pilihan model implementasi
kebijakan, tidak ada model yang terbaik. Kita hanya memiliki pilihan-pilihan model yang
harus dipilih secara bijaksana sesuai dengan kebutuhan dari kebijakan itu sendiri16.

2.3 Pengertian Electronic Government (e-Government)


New Public Management (NPM) dan e-government sering dilihat sebagai dua sisi
dari mata uang yang sama, karena keduanya berangkat dari kritik terhadap paradigma
administrasi publik klasik yang dipengaruhi oleh ide-ide birokrasi Weberian (Homburg dan
Bekkers, 2006: 155)17. Paradigma baru ini menyebabkan terjadinya transformasi di dalam
tubuh sektor publik di negara-negara maju dan berkembang yaitu suatu perubahan bentuk
administrasi publik dari yang kaku, hirarkis dan birokratis menjadi bentuk manajemen
publik yang lebih fleksibel dan berbasis pasar.
Munculnya e-government merupakan salah satu perkembangan penting di dalam
administrasi publik pada beberapa tahun belakangan ini. Salah satu pemicunya adalah
perkembangan sektor swasta dalam menyediakan barang dan jasa kepada pelanggan
dengan menggunakan e-commerce dan e-business yang membuat pemerintah berpikir
ulang untuk mencari cara meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (Ndou, 2004)18.
Melalui penggunaan e-government, pelayanan kepada masyarakat dapat diperbaiki
sehingga dapat bersaing dengan sektor swasta dalam menyediakan pelayanan yang lebih
efisien dan efektif.

15
Ibid. 2009.
16
Nugroho, Riant. 2006. “Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang (Model-Model Perumusan,
Implementasi dan Evaluasi)”. PT. Elex Media Komputindo: Jakarta.
17
Homburg, Vincent, and Bekkers, Victor,. 2005. E-Government and NPA: A Perfect Marriage? Dalam
“The Information Ecology of E-government: E-Government as Institutional and Technological Innovation in
Public Administration”. Edited by Bekkers and Homburg. IOS Press Netherlands.
18
Ndou, V. 2004. “E-Government for Developing Countries: Opportunities and Challenges. The Electronic”
Journal on Information System in Developing Countries (EJISDC). 18 (1), 1-24. http://www.ejisdc.org

7
Selain dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pelayanan, penggunaan
e-government juga dapat mencegah terjadinya praktek korupsi karena dilakukan secara
transparan serta dapat memperluas partisipasi masyarakat karena masyarakat maupun
sektor swasta dapat berhubungan dengan pemerintah tanpa harus bertatap muka.
Sebagaimana dikatakan Affisco and Soliman (2006)19 banyak negara menyadari bahwa e-
government merupakan sebuah potensi untuk memperbaiki pelayanan, meningkatkan
transparansi, menekan terjadinya korupsi dan memperluas partisipasi masyarakat sebagai
wujud demokrasi. Lips dkk (2005)20 bahkan mengatakan bahwa penggunaan teknologi
informasi dan komunikasi memberikan dampak positif untuk menumbuhkan kepercayaan
publik pada pemerintah. Sementara Tapscott (1996)21 menambahkan bahwa pemerintah
dapat menggunakan sistem elektronik untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, lebih
cepat, lebih efektif serta harga yang sesuai (convenient).
Ruang lingkup dari e-government itu sendiri sangat luas sehingga melahirkan
banyak atribut. Atribut-atribut ini dapat dilihat sebagai fokus yang dibahas dalam e-
government, seperti teknologi, demokrasi, penghematan dan transparansi dalam pelayanan
dan lain-lain. Dibawah ini dirangkum pengertian dari e-government sebagai berikut:
Tabel 2.1
E-Government Attributes
Attributes Description
Use of ICT (Internet Computer E-Government is the use of information and
communication technology so it is just an
Technology)
extension of the government.
Information and Service Delivery The initiative should be able to disseminate all
information and services to citizens.
Transparency and Accountability An e-government initiative should be transparent
and accountable to internal as well as stakeholders
to infuse trustworthiness.
Organizational and Structural E-government initiatives often require the
organization to undergo transformation so the
Transformation
objectives of those initiatives can be met.
Integration Integration of different government departments
and agency websites to give the user a single a
point of access.
Effective Governance An effective governance model for the initiative is

19
Affisco, J., dan Karahanna, E. 1998. “E-Government: a Strategic Operations Management Framework
For Service Delivery”. Busines Process Management Journal. 12 (1), 13-21.
20
Lips, Miriam., Taylor, John A., Banister, Frank,. 2005. “Public Administration in the Information Society:
Essays on Risk and Trust”. IOS Press. The Netherlands.
21
Tapscott, D,. 1996. “The Digital Economy-Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence”. New
York: Mc Grraw-Hill.

8
important so that all above-mentioned attributes
are efficiently and effectively managed.
Sumber: Sahu dkk, 200922
Pembahasan mengenai e-government dapat difokuskan pada teknologi informasi
dan komunikasi yang digunakan dalam pemberian pelayanan kepada publik. E-government
juga dapat dilihat sebagai penghantar semua informasi dan layanan kepada masyarakat.
Pembahasan juga dapat difokuskan pada prinsip yang dianut oleh e-government seperti
transparan dan bertanggung jawab kepada internal maupun pemangku kepentingan untuk
menanamkan kepercayaan kepada publik. E-government juga dapat difokuskan pada
organisasi dimana kebijakan ini diterapkan sehingga tujuan dari penggunaan e-government
dapat terwujud. Selain itu integrasi antar departemen pemerintah yang berbeda dan
lembaga website diperlukan untuk memberikan kemudahan bagi pengguna mengakses dari
satu titik, juga menjadi fokus dari e-government. Pembahasan e-government juga dapat
dilihat dari terwujudnya pemerintahan yang efektif, bila semua atribut yang disebutkan di
atas diatur secara efisien dan efektif.
Selain memiliki perspektif yang berbeda-beda, pengguna e-government juga
cukup luas, hal ini dapat dilihat dari pihak-pihak yang terlibat dalam pelayanan yang
diberikan oleh pemerintah. Pelayanan yang menggunakan e-government dapat
dikategorikan dalam hubungan internal dan eksternal. Adanya hubungan ini
memungkinkan pemerintah memperbaiki interaksinya termasuk dengan warga negara
ataupun sektor swasta. Hubungan internal yakni Government to Government (G2G) dan
Government to Emplyoee (G2E), sedang untuk kepentingan eksternal yakni Government to
Business (G2B) dan Government to Citizen (G2Z). E-government dengan hubungan
eksternal yakni G2B dan G2C memungkinkan baik warga negara maupun sektor swasta
dapat langsung menerima pelayanan dari pemerintah dari mana saja tanpa harus bertatap
muka atau melalui prosedur birokrasi yang selama ini digunakan23.
Berbeda dengan cara pelayanan yang tradisional dimana interaksi antara warga
negara dan sektor bisnis dengan instansi pemerintah terjadi di kantor pemerintah,
sementara pelayanan dengan menggunakan e-government dapat dilakukan di pusat-pusat
pelayanan yang lebih dekat kepada masyarakat. Pusat tersebut dapat terdiri dari kios tanpa
pengawasan di dalam atau luar instansi pemerintah atau penggunaan komputer pribadi di
rumah atau kantor. Penggunaan e-government juga tidak memiliki hirarki dan komunikasi

22
Sahu, Ganesh P., Dwivedi, Yogesh K., Weerakkody, Vishanth,. “E-Government Development and
Diffusion: Inhibitors and Facilitators of Digital Democracy”. Information Science Reference. New York.
23
Rocheleau, Bruce. 2006. “Public Management Information Systems”. Idea Group Publishing. USA.

9
dua arah namun tersedia dalam 24/7/365 yaitu 24 jam, 7 hari dalam satu minggu dan 365
hari dalam satu tahun. Dengan demikian warga negara atau sektor bisnis dapat
berhubungan dengan pemerintah meskipun jam kantor sudah tutup (West, 2004)24.
Sebagaimana dikatakan diatas e-government telah mengubah cara pemerintah
bekerja dalam memberikan layanan kepada warga negara dan sektor bisnis melalui
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Beberapa manfaat penggunaan e-
government dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat juga sudah dijelaskan di
atas. Namun dari beberapa studi menunjukkan bahwa manfaat ini tidak semata-mata
didapat hanya dari hasil penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Jadi
implementasi e-government harus dilihat sebagai salah satu bagian dari reformasi yang
lebih luas dalam meningkatkan kinerja sektor publik25.
E-government telah muncul sebagai alat yang ampuh untuk memodernisasi
pemerintah dan mencapai tujuan yang ditetapkan dalam agenda reformasi pemerintah.
Namun pelaksanaannya telah menimbulkan sejumlah tantangan maupun hambatan.
Pelaksanaan e-government di negara-negara OECD (Organization for Economic
Cooperation and Development) menunjukkan bahwa hambatan ini misalnya terjadi karena
kurangnya fleksibilitas dalam kerangka kerja pemerintah secara luas. Selain itu hambatan
bisa berasal dari pihak legislatif dalam penyusunan peraturan, keuangan dan kesenjangan
digital dalam penggunaan e-government26. Tantangan juga datang dari pekerja dalam
bentuk resistensi terhadap penggunaan teknologi baru seperti e-government27.
Pendekatan yang digunakan dalam pengaplikasian e-government berbeda baik di
negara-negara industri maupun berkembang. Di negara-negara industri penggunaan e-
government dilakukan secara self-service melalui internet, sementara di negara-negara
berkembang dilakukan dengan hybrid of automatic and manual processes yakni gabungan
dari beberapa proses yang dilakukan secara otomatik dan manual28. Selanjutnya dalam
World Bank (2004) disebutkan salah satu hal penting dalam pelaksanaan e-government
adalah kesiapan elemen-elemen seperti disebut dibawah ini. Elemen-elemen ini tergantung
pada lingkungan dimana kebijakan e-government diterapkan, meliputi:

24
West, D.M,. 2004. “E-Government and The Transformation of Service Delivery and Citizen Attitudes”.
Public Administrative Review. 64 (1). 15-27.
25
The World Bank. 2004. “Building Blocks of E-Government: Lessons from Developing Countries”. August
2004. Number 91.
26
“Implementing E-government in OECD Countries: Experiences and Challenges”.
http://www.oecd.org/mena/governance/36853121.pdf
27
Lynn, Dahlia Bradshaw., 2000. Technology Launch in Government. Dalam “Handbook of Public
Information System”. Edited by Garson, G. David. Marcel Dekker, Inc. USA.
28
Loc.cit. The World Bank. 2004.

10
1. Infrastruktur teknis yang baik di berbagai departemen pemerintah.
2. Keinginan melayani, berbagi informasi, dan memperlakukan warga negara
sebagai pelanggan.
3. Penetrasi atau kehadiran internet dari banyak titik yang dapat diakses publik.
4. Kerangka hukum yang menumbuhkan kepercayaan publik dan mendukung
mandat pemerintah untuk melakukan transaksi online.
5. Komitmen politik dari departemen dan manajer.
6. Kesadaran warga negara atas haknya serta bersedia mengungkapkannya dalam
hal ketidakefisienan pelayanan dan lainnya.

Beberapa negara benar-benar siap dengan semua dimensi di atas. Namun tidak
berarti ketidaksiapan beberapa elemen ini menjadi penghalang bagi pemerintah untuk
menggunakan e-government. Karena itu penggunaan e-governemnt dapat dimulai dari
ruang lingkup yang kecil yakni melalui proyek percontohan yang digunakan untuk
membawa perubahan dalam kinerja sektor publik. Selain itu, penggunaan e-government
dapat dilakukan secara otomatik dan manual (hybrid of automatic and manual processes)
yakni beberapa proses dilakukan dengan menggunakan elektronik dan proses lainnya
dilakukan secara manual.
Di Indonesia penggunaan e-government sudah dikenal cukup lama, bahkan pada
saat ini sudah dilaksanakan di banyak fungsi pemerintahan dan daerah di Indonesia.
Meskipun kebijakan e-government dilaksanakan secara bertahap mulai dari pemerintahan
pusat, propinsi serta kabupaten dan kota. Tujuannya adalah untuk mencapai efisiensi,
efektifitas, transparansi dan nilai ekonomis dari praktek layanan pemerintah ke masyarakat.
Karena cakupannya yang luas, pelayanan e-government dibagi ke dalam 3 kategori yaitu
publish, interact, transact dan pelayanan e-procurement termasuk pada kategori interact.

2.4 Pengertian Electronic Procurement (e-Procurement)


Lebih dari lima belas tahun terakhir, sistem pengadaan (procurement) di
lingkungan pemerintahan telah mengalami perubahan radikal. Perubahan ini disebabkan
oleh pengembangan teknologi baru seperti internet, perubahan dalam hukum dan aturan
mengenai pengadaan serta perubahan filosofi dalam memandang pembelian atau
pengadaan yang dilakukan pemerintah. Singkatnya, perubahan telah bergerak dari
pembelian dengan proses yang lambat dan legalistik yang menekankan biaya terendah
menjadi proses yang lebih fleksibel menekankan pada nilai terbaik (Rocheleau, 2000)29.
Banyak organisasi baik pemerintah maupun swasta pada saat sekarang ini
menggunakan e-procurement dalam pelayanannya dengan tujuan untuk dapat menghemat

29
Rocheleau, Bruce. 2006. “Public Management Information Systems”. Idea Group Publishing. USA.

11
biaya. Keuntungan dari pengadaan dengan menggunakan online juga dapat dilihat dari
waktu pengerjaan yang berkurang serta dapat memperluas jumlah vendor yang terlibat
(Wood dalam Rocheleau, 2006)30. Selain itu proses perampingan jumlah pegawai serta
peningkatan kepatuhan kontrak merupakan manfaat lain yang dapat diambil dari
penggunaan e-procurement31. Penggunaan e-procurement juga memberikan pengaruh yang
singnifikan terhadap pemberantasan korupsi khususnya dalam hal pengadaan barang dan
jasa publik di negara-negara sedang berkembang seperti Nepal32.
Terlepas dari manfaatnya yang singnifikan dalam pelayanan publik, namun
penggunaan e-procurement di negara-negara sedang berkembang masih belum menjadi
prioritas. Penyebabnya negara-negara sedang berkembang (negara Dunia Ketiga) masih
memiliki karakteristik seperti tingkat industrialisasi yang rendah, infrastruktur yang buruk,
modal investasi rendah, teknologi yang tidak canggih, buta huruf yang meyebar dan
standar hidup yang buruk atau rendah (Asian Development Bank, 2004).
Penggunaan e-procurement di birokrasi pemerintahan semakin berkembang
karena adanya tuntutan pada manajemen sektor publik untuk transparan, efisien dan efektif
dalam memberikan pelayanan (Vaidya dkk, 2006)33. Selain itu e-procurement telah
menjadi tema umum dari banyak organisasi di negara maju dan berkembang untuk
mempromosikan transparansi dan good governance34. Sehingga tidak mengherankan
bahwa e-procuremant telah dijadikan sebagai sebuah instrument dari reformasi sektor
publik. Namun perubahan di sektor publik hanya efektif apabila dikaitkan dengan tujuan
pengelolaan publik yang lebih luas dan digunakan sebagai bagian dari strategi manajemen
perubahan secara keseluruhan seperti yang terjadi di Italia, Skotlandia dan Australia
35
Barat .
Salah satu definisi yang paling sederhana dari e-procurement dikemukakan oleh
Van Weele (1994)36 yaitu “The use the Internet Tecnology in the process of providing, that

30
Ibid. 2006.
31
Best Practices in E-Procurement: Reducing Costs and Increasing Value through Online Buying.
32
Neupane, Arjun., Soar, Jeffrey., Vaidya, Kishor., 2012. “Evaluating The Anti-Corruption Capabilities of
Public e-Procurement in Developing Country”. EJISDC (2012) 55, 2, 1-17 The Electronic Journal on
Information Systems in Developing Countries.
33
Vaidya, K., Sajeev, A.S.M. & Callender, G. 2006. “Critical Factors that Influence e-Procurement
Implementation Success in the Public Sector”. Journal of Public Procurement, 6 (1&3), 70-99.
34
E-Procurement: Towards Transparency and Efficiency in Public Service Delivery. Report of the Expert
Group Meeting. Department of Economic and Social Affairs. 4-5 October 2011. United Nations
Headquarters, New York.
35
Case Studies on E-procurement Implementations: Italy, New South Wales, New Zealand Scotland,
Western Australia. 2005. Commonwealth of Australia. 2005.
36
Van Weele, A., 1994. “Purchasing Management: Analysis, Planning and Practice”. London. UK:
Chapman & Hall.

12
is, buying and selling of goods and sevices”. Pengertian e-procurement disini difokuskan
pada penggunaan Teknologi Internet (TI) yang digunakan dalam proses penyediaan,
membeli dan menjual barang dan jasa. Sejalan dengan definisi di atas “e-procurement
refers to the use of electronic communications and transaction processing by government
institutions and other public sector organisations when buying supplies and services or
tendering public works”.37 Jadi e-procurement mengacu pada penggunaan komunikasi
elektronik dan pemrosesan transaksi oleh lembaga pemerintah dan organisasi sektor publik
lainnya ketika membeli persediaan atau barang dan jasa atau tender pada pekerjaan umum.
Sementara Mitchell (2000)38 mendefinisikan e-procurement dengan
membandingkannya dengan metode pengadaan yang tradisional sebagai berikut:
“Traditional procurement is a paper-based process that is characterized by fragmented
purchasing, off-contract buying, and lack of control over expenditure…e-procurement
facilities, integrates and streamlines the entire supply chain process (from consumer to
supplier and back again) in aseamless, real time and iterative manner”. Jadi pengadaan
secara tradisional adalah proses berbasis kertas yang ditandai dengan pembelian yang
terpisah-pisah, pembelian dengan kontrak tertutup, dan kurangnya kontrol atas
pengeluaran. Sementara pengadaan secara elektronik atau e-procurement,
mengintegrasikan proses dari rantai pasokan yang masuk (dari konsumen ke pemasok dan
kembali lagi konsumen) dengan lancar, waktu yang tepat dan dapat dilakukan secara
berulang-ulang.
Menurut Kelman (1990)39 ada tiga karakteristik dalam sistem pengadaan barang
dan jasa di organisasi pemerintah yakni equity, integrity, economi and efficiency. Equity -
to provide fair acces to bidders incompeting for government business; integrity - to reduce
chances for corruption in the procurement process; economy and efficiency - to procure at
the lowest possible price for goods or services of the quality desired. Ekuitas yakni
menyediakan akses yang adil bagi penawar dalam bersaing untuk urusan pemerintahan;
integritas yakni mengurangi kesempatan melakukan korupsi dalam proses pengadaan;
ekonomi dan efisiensi yakni mendapatkan harga terendah untuk barang atau jasa dari

37
E-Procurement of Golden Book and Good Practice, Final Report. 2013. This report was prepared for DG
MARKT by PwC EU Services EESV Contract reference: MARKT/2011/097/C4/OP LOT2 Version: v1.3
Project
38
Mitchell, K. 2000. “Instituting E-Procurement in the Public Sector”. Government Finance Review. 16 (1),
9-12.
39
Kelman, S. 1990. “Procurement and Public Management: The Fear of Discretion and the Quality of
Government Performance”. Washington, DC. The AEI Press.

13
kualitas yang diinginkan. Lebih lengkapnya di bawah ini beberapa prinsip dasar untuk
melaksanakan public e-procurement40:
1. E-procurement bukan hanya persoalan menempatkan "E" di depan praktek
sistem pengadaan yang tradisional; melainkan sebagai tugas pemerintahan
yang harus melampaui aspek Teknologi Informasi dan Komunikasi.
2. E-procurement tidak akan menjamin penghapusan total praktek korupsi, tetapi
dapat berfungsi sebagai pencegah dan sebagai instrumen terhadap administrasi
publik yang efektif dan efisien.
3. E-procurement bukan tentang digitalisasi informasi dan menggunakan
Teknologi Informasi dan Komunikasi, tetapi kesempatan yang holistik untuk
memodernisasi sistem keuangan publik yang terkait dengan pembelian.
4. Menerapkan e-procurement di negara yang sedang berkembang dan kurang
maju memerlukan pertimbangan untuk menggunakan pendekatan hybrid yaitu
menggabungkan pendekatan on-line dan off-line.
5. Kondisi untuk melaksanakan e-procurement lebih terkait pada pemerintahan
dan pembangunan kapasitas daripada ketersediaan teknologi.

Di Indonesia pengadaan barang dan jasa secara elektronik atau e-procurement


mengikuti ketentuan Peraturan Presiden tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah dan
dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai
dengan aturan perundang-undangan41. Untuk mendukung aktivitas pelayanan barang dan
jasa ini maka instansi pemerintah atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) mendirikan
unit kerja yaitu Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang bertugas untuk
menyelenggarakan e-procurement atau memfasilitasi Unit Layanan Pengadaan
(ULP)/Pejabat Pengadaan dalam melaksanakan e-procurement. LPSE berada dibawah
pengawasan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) yang
bertanggungjawab atas pengelolaan dan pengembangan kebijakan e-procurement termasuk
pengadaan aplikasi yang disebut dengan Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE).
Kebijakan e-procurement di Indonesia merupakan salah satu bentuk reformasi di
bidang pengadaan barang dan jasa pemerintah. Tujuan kebijakan ini untuk meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas, meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat,
memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan, mendukung proses monitoring dan audit
dan memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time guna mewujudkan clean and
good government dalam pengadaan barang/jasa pemerintah (Perpres No.54 Tahun 2010

40
E-Procurement: Towards Transparency and Efficiency in Public Service Delivery. Report of the Expert
Group Meeting. Department of Economic and Social Affairs. 4-5 October 2011. United Nations
Headquarters, New York.
41
Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintaha (LKPP) No.2 Tahun 2010
tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Pasal 1.

14
pasal 107). Sementara Ballard (2011: 2)42 mengatakan: “In public procurement the goals of
fairness, competition and economic value are paramount. To achieve these goals, effective
and efficient procurement process must be established. This includes incorporating
adequate controls to promote competition and minimize the risk of fraud, corruption,
waste, and mismanagement of public fund. In this context, transparency is considered to be
one of the most effective tools to deter corruption and ensure value for money”. Jadi dalam
pengadaan barang dan jasa untuk publik, tujuan yang terpenting adalah keadilan,
persaingan dan nilai ekonomi. Untuk mencapai tujuan ini, proses pengadaan yang efektif
dan efisien harus ditetapkan. Ini termasuk menggabungkan kontrol yang memadai untuk
mempromosikan kompetisi dan meminimalkan risiko penipuan, korupsi dan salah urus dari
dana publik. Dalam konteks ini, transparansi dianggap sebagai salah satu alat yang paling
efektif untuk mencegah korupsi dan memastikan bernilainya sebuah harga.

2.5 Transparansi Dalam Pelayanan Publik


Pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa,
dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut UU No. 25 Tahun 2009 pasal 4,
transparansi merupakan salah satu asas penyelenggaraan pelayanan publik. Sementara
dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dikatakan
siapa saja yang menjalankan tugas dan fungsi dengan dana yang bersumber dari
APBN/APBD dan sumbangan dana publik diwajibkan untuk menyampaikan informasi
secara terbuka kepada masyarakat kecuali informasi yang dikecualikan seperti misalnya
informasi strategi dan rahasia bisnis yang menjadi hak perusahaan, informasi rahasia
negara, informasi intelijen, dan informasi yang bersifat pribadi. Ini artinya setiap informasi
publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik.
Transparansi (transparency) dapat diartikan sebagai keterbukaan pemerintah
dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya
publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi. Dengan demikian transparansi
merupakan salah satu tujuan penting yang hendak dicapai dalam pelaksanaan kebijakan e-
procurement. Secara khusus, transparansi disini diartikan sebagai semua ketentuan dan
informasi, baik teknis maupun administratif termasuk tata cara peninjauan, hasil

42
Ballard, Therese,. 2011. “Transparancy and Public Procurement”. Supplement to the 2011 Annual
Statistical Report on United Nations Procurement.UNOPS.

15
peninjauan, dan penetapan penyedia barang/jasa harus bersifat terbuka bagi penyedia
barang/jasa yang berminat dan mampu tanpa diskriminasi.
Sementara menurut Clem (2010: 4)43 transparansi diartikan sebagai “Government
should provide citizens with information about what their government is doing so that
government can be held accountable”. Pemerintah harus menyediakan informasi kepada
warga negara tentang apa yang pemerintah lakukan sehingga dapat dipertanggung
jawabkan. Berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa ada beberapa pertanyaaan yang
perlu diajukan ketika berbicara mengenai tranparansi, yaitu: What is being procured? Who
is eligible to bid? How to bid? What are the evaluation criteria? Who has got the award?
At What cost? What is the quality of work/product/service?44
Dari pengertian transparansi di atas, ruang lingkup pembahasan berkaitan dengan
e-transparansi dalam pelaksanaan e-procurement cukup luas, sehingga Heald (dalam
Bannister dan Connoly, 2011)45 mengkategorikannya dalam tiga kategori yakni
transparansi data, transparansi proses dan transparansi keputusan/kebijakan. Transparansi
data berhubungan dengan angka dan fakta-fakta pemerintah, seperti biaya penyediaan
(memproses data hingga mudah diakses dan dipahami masyarakat); misinterpretasi
data/informasi; resiko terhadap masyarakat/anonimitas. Transparansi proses berkaitan
dengan ketersediaan informasi dari berbagai proses pemerintahan, mulai dari pembuatan
keputusan hingga produk keputusan. Transparansi ini menjadikan seluruh tahapan dalam
proses jelas, menunjukkan dimana proses suatu transaksi tertentu dapat ditemukan dan
menjelaskan mengapa langkah-langkah tertentu harus dilaksanakan. Transparansi
keputusan/kebijakan menguraikan alasan (rasionalitas) dari keputusan-keputusan, dan/atau
tindakan-tindakan dan kebijakan pemerintah.
Studi terhadap transparansi e-procurement dalam beberapa negara EU
menunjukkan permasalahan sebagai berikut: data diterbitkan dalam bentuk pdf dan html
tetapi bukan dalam bentuk database dalam arti data tersedia dalam berbagai volume
buletin yang terpisah sehingga sulit untuk menelusuri fase-fase dalam procurement
(Lederer, 2012). Di Hungaria publik harus membuka setiap buletin jika ingin mengetahui
berapa tender yang dimenangkan dan nilai tender dan apakah telah sesuai dengan kontrak

43
Clem, Constance,. 2010. “Government Online: Improving Service and Engaging Communities”. Ark in
Association with Inside Knowledge.
44
http://himachaldit.gov.in/file.axd?file=2010%2F5%2Fe-ProcurementConcepts.pdf. Diakses 22 April 2013.
Jam 20.00.
45
Bannister, Frank and Connolly, Regina. 2011. "The Trouble with Transparency: A Critical Review of
Openness in e-Government," Policy & Internet: Vol. 3: Iss. 1, Article 8. Policy Studies Organization.
http://www.psocommons.org/ policyandinternet / vol3 / iss1/art8

16
harus membuka setiap buletin. Sementara di Czechs keterbatasan dalam transparansi e-
procurement dapat dilihat dari ketiadaan statistik dan ringkasan dari procurement dan
informasi mengenai justifikasi pemenang tidak tersedia di web tetapi harus diminta secara
individual. Baik di Polandia maupun di Czech modifikasi kontrak tidak diterbitkan di
kedua negara ini walaupun dapat diminta oleh siapa saja yang ingin mengetahui.
Selanjutnya menurut Lederer (2012) Slovakia merupakan negara yang menyelenggarakan
e-procurement sangat transparan yaitu dengan menayangkan update data dalam format
yang mudah untuk diproses. Tersedia juga database online yang menyediakan informasi
mengenai seluruh kontrak yang telah disepakati.
Sementara di Indonesia tepatnya di Kota Yogyakarta, studi yang dilakukan oleh
Wahid (dalam Udoyono 2012: 128) mengungkapkan masih berlangsungnya sisi negatif
dalam pelaksanaan e-procurement: Pertama, pelaksanaan proyek yang selalu terlambat
karena instansi yang berwenang dalam pengadaan barang dan jasa lebih memahami pola
manual daripada e-procurement. Kedua, harga kontrak relatif sama atau lebih mahal
dibandingkan dengan harga dipasar atau toko menjadi bentuk rent seeking baru bagi
penyelenggara pengadaan barang dan jasa.
Dari uraian diatas, kebebasan masyarakat untuk memperoleh informasi
merupakan salah satu prasyarat menciptakan pemerintah yang terbuka. Maksud dari
pemerintah yang terbuka adalah penyelenggaraan pemerintahan dalam mengelola sumber
daya publiknya dilakukan secara transparan. Tidak mungkin tercipta pemerintah yang baik,
bila masyarakat tidak diberi kebebasan untuk memperoleh atau mendapat informasi dari
apa yang dilakukan pemerintah. Dengan demikian penyediaan kesempatan bagi warga
untuk memperoleh informasi publik bukan saja menjadi kepentingan warga masyarakat
sendiri, tetapi juga untuk para penyelenggara negara.

2.6 Peta Jalan Penelitian


Kebijakan e-procurement di Indonesia masih baru tetapi sangat urgent sehingga
perlu diteliti dari berbagai perspektif. Beberapa penelitian mengenai e-procurement sudah
dilakukan baik di dalam maupun luar negeri, diantaranya:

17
Tabel 2.2
Peta Jalan Penelitian
Tahun Judul/Peneliti Hasil
2006 Critical Factors That Influence E- Implementation Perspectives: Organization
procurement Implementation & Management, Practices & Processes,
Success in The Public Sector Systems & Technology.
(Vaidya, Kishor; Sajeev, A. S.
M.; Callender, Guy ; Journal of
Public Procurement, Volume 6,
Issues 1 & 3, 70-99)
2009 Studi Penerapan E-procurement Ada pengaruh antara variabel pemusatan
Pada Proses Pengadaan di manajemen yang lebih baik, menciptakan
Pemerintah Kota Surabaya proses pengadan yang bersih transparan dan
(Wahyu Hary Wijaya; Retno dapat diterima, dan meningkatkan kepuasan
Indryani; Yusronia Eka Putri; klien dan variabel mengurangi biaya per
Master Paper ITS) tender dan mengurangi waktu proses
pengadaan.
2009 Persepsi Pengguna Layanan Ada perbedaan persepsi antara panitia
Pengadaan Barang dan Jasa Pada pengadaan barang/jasa dan penyedia
Pemerintah Kota Yogyakarta barang/jasa. Sehingga e-procurement
Terhadap Implementasi Sistem E- dikatakan tidak berhasil.
procurement.
(Ika Akyuna Nightisabha; Djoko
Suhardjanto; Bayu Tri Cahya;
Jurnal Siasat Bisnis).
2012 E-procurement: Myth or Reality? Public procurement has not yet led to
(Clifford McCue and Alexandru significant transformative changes.
V. Roman; Journal of Public Unsuitability of software platforms,
Procurement, Volume 12, Issue 2, organizational resistance, lack of strategic
212-238) systems‟ integration and failure to involve
public procurement professionals in the
design of e-procurement systems were
identified as the primary obstacles of
effectively implementing digital
Procurement.
2012 E-procurement Dalam Pengadaan Dimensi pertama fisibilitas dalam pengadaan
Barang dan Jasa Untuk barang/jasa: regulatif, teknokratis dan
Mewujudkan Akuntabilitas di administratif, politik, dan kebutuhan
kota Yogyakarta masyarakat. Kedua, dimensi akuntabilitas
(Kodar Udoyono; Jurnal Studi dalam pengadaan barang/jasa: regulatif,
Pemerintahan politik, dan keuangan. Jadi,
Volume 3 Nomor 1 Februari) implementasi E-procurement di kota
Yogyakarta fisibel tapi tidak akuntabel.
2014 Model Implementasi Kebijakan  Variabel-variabel atau faktor-faktor
E-procurement Dalam implementasi kebijakan e-procurement di
Mewujudkan Pengadaan Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan
Barang/Jasa Pemerintah di Kabupaten Serdang Bedagai.
Provinsi Sumatera Utara.  Implementasi model kebijakan e-

18
procurement tersebut dalam mewujudkan
transparansi di Pemerintah Kota Medan,
Kota Binjai dan Kabupaten Serdang
Bedagai.
 Hambatan pelaksanaan model kebijakan e-
procurement di Pemerintah Kota Medan,
Kota Binjai dan Kabupaten Serdang
Bedagai.
2015 Model Implementasi Kebijakan  Pengaruh model kebijakan e-procurement
E-procurement Dalam terhadap transparansi pelayanan publik di
Mewujudkan Pengadaan Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan
Barang/Jasa Pemerintah di Kabupaten Serdang Bedagai .
Provinsi Sumatera Utara.
2016 Model Implementasi Kebijakan  Evaluasi dari model implementasi
E-procurement Dalam kebijakan e-procurement di Pemerintah
Mewujudkan Pengadaan Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten
Barang/Jasa Pemerintah di Serdang Bedagai.
Provinsi Sumatera Utara.  Perbandingan model implementasi
kebijakan e-procurement di tiga lokasi
penelitian.

Catatan: Kolom yang diarsir abu-abu (2014-2015) merupakan peta penelitian yang akan diteliti
sedangkan tahun 2016 adalah peta yang direncanakan untuk diteliti.

19
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian

3.1.1 Mendeskripsikan dan menganalisis faktor-faktor implementasi kebijakan e-


procurement di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang
Bedagai.
3.1.2 Pelaksanaan model implementasi kebijakan e-procurement di Pemerintah Kota
Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai dalam mewujudkan transparansi.
3.1.3 Menemukan dan menganalisis faktor-faktor penghambat implementasi kebijakan e-
procurement tersebut di Pemerintah Kota Medan, Pemerintah Kota Binjai dan
Kabupaten Serdang Bedagai.

3.2 Manfaat Penelitian

3.2.1 Secara subyektif sebagai saranan untuk mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah,
sistematis dan kemampuan untuk menuliskannya dalam bentuk karaya ilmiah
berdasarkan kajian Ilmu Administrasi Publik.
3.2.2 Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan menjadfi masukan atau sumbangan
pemikiran bagi pemerintah daerah (Kabupaten dan Kota) dalam mengimplementasikan
kebijakan e-procurement.
3.2.3 Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi Ilmu
Administrasi Publik.

20
BAB IV
METODE PENELITIAN

Penelitian ini direncanakan selama dua tahun. Metode penelitian yang digunakan
adalah kualitatif dan kuantitatif yang dilakukan secara terpisah. Pada penelitian tahun
pertama digunakan pendekatan kualitatif, sedangkan pada tahun kedua digunakan
pendekatan kuantitatif.

4.1 Penelitian Tahun I


4.1.1 Bentuk Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Penelitian ini berlokasi di Kantor Walikota Medan, Kantor Walikota Binjai dan
Kantor Bupati Serdang Bedagai.

4.1.2 Informan Penelitian


Informan penelitian adalah orang-orang yang memberikan informasi yang
diperlukan selama proses penelitian, meliputi informan kunci dan informan biasa.
Informan kunci adalah mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok
yang diperlukan dalam penelitian atau informan yang mengetahui secara mendalam
permasalahan yang diteliti. Sedangkan informan biasa adalah informan yang ditentukan
dengan dasar pertimbangan mengetahui dan berhubungan dengan permasalahan.
Atas dasar penjelasan di atas, maka dalam penelitian ini yang menjadi informan
(partisipan) penelitian adalah: Kepala LPSE Kota Medan, Sekretaris LPSE Kota Medan,
Wakil Kepala ULP Kota Medan, Anggota Pokja Kota Medan, Staf Helpdesk Kota Medan;
Kepala LPSE Kota Binjai, Kepala ULP Kota Binjai, Sekretaris ULP Kota Binjai, Pokja
Kota Binjai; Anggota LPSE Kabupaten Serdang Bedagai, Wakil Kepala ULP dan Pokja
Kabupaten Serdang Bedagai, Pokja ULP Kabupaten Serdang Bedagai.

4.1.3 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Teknik Pengumpulan Data Primer yaitu teknik pengumpulan data yang langsung
diperoleh dari lapangan atau lokasi penelitian dan dilakukan melalui wawancara secara
mendalam (in depth interview).

21
b. Teknik Pengumpulan Data Sekunder yaitu teknik pengumpulan data yang diperoleh
melalui bahan kepustakaan untuk mendukung kelengkapan dari data primer yang
dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi dokumentasi.

4.1.4 Teknik Analisa Data


Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa
data kualitatif. Dimana analisa data dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung
baik dengan cara wawancara (dengan menggunakan pedoman wawancara) maupun setelah
selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Data yang dianalisis diperkuat dengan
data kepustakaan melalui buku-buku dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
permasalahan dalam penelitian ini.
Secara ringkas tahapan pelaksanaan kegiatan penelitian ini dapat dilihat pada tabel
dibawah ini. Sebagai catatan, baru kegiatan pertama (penyusunan outline) dan kedua
(penulisan proposal) saja yang sudah dilakukan oleh peneliti.

22
Gambar 4.1
Tahapan Penelitian Tahun Pertama

Tahapan Kegiatan Keluaran

Penyusunan Outline Outline

Penulisan Proposal Proposal Penelitian

Identifikasi Faktor Faktor Implementasi


Implementasi Kebijakan Kebijkan

Draft Pedoman Pedoman


Wawancara Wawancara

Draft Hasil Temuan


Temuan Lapangan Lapangan

Draft Analisis Hasil Hasil Penelitian: Model


Temuan Implementasi
Pelaksanaan Model
tersebut serta hambatan
Penulisan Jurnal Jurnal 1

Setelah didapat model implementasi kebijakan e-procurement dengan menggunakan


pendekatan kualitatif maka tahap selanjutnya (tahun kedua) mencari seberapa besar
pengaruh model implementasi tersebut terhadap transparansi pelayanan publik, dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif.

23
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Deskripsi Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang
Bedagai yang merupakan bagian dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari
25 kabupaten, 8 kota, 325 kecamatan dan 5.456 kelurahan/desa.
Pemaparan berikut ini merupakan gambaran ketiga lokasi penelitian yang lebih
mendalam mengenai karakteristik geografis, demografis dan secara khusus struktur
pemerintahan daerah dan institusi-institusi yang terkait dengan implementasi e-
procurement yang dirujuk dari data hasil sekunder, berupa dokumen statistik dan laporan-
laporan dan juga data primer baik yang berasal dari observasi maupun wawancara
mendalam dengan partisipan penelitian.

5.1.1 Karakteristik Lokasi dan Wilayah Kota Medan


Luas wilayah Kota Medan adalah 265.10 km2 atau 3.6 persen dari total luas
wilayah Provinsi Sumatera Utara. Secara administratif, Kota Medan berbatasan dengan
Selat Malaka di sebelah Utara dan Kabupaten Deli Serdang di sebelah Timur, Barat serta
Selatan. Kota Medan sebagai pusat pemerintahan Provinsi Sumatera Utara memiliki posisi
strategis baik secara regional maupun nasional. Posisi ini menjadi modal dasar dalam
pembangunan kota.
Kota Medan sebagai salah satu pusat perekonomian regional terpenting di pulau
Sumatera dan salah satu dari tiga kota metropolitan terbesar di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena Kota Medan memiliki kedudukan, fungsi dan peranan strategis sebagai
pintu gerbang utama bagi kegiatan jasa perdagangan dan keuangan secara
regional/internasional di kawasan barat Indonesia, yang didukung oleh ketersediaan
Bandara Polonia dan Pelabuhan Laut Belawan serta infrastruktur dan utilitas kota lainnya.
Secara administratif Pemerintahan Kota Medan terdiri dari 21 kecamatan dengan
151 kelurahan, yang terbagi atas 2.001 lingkungan. Berdasarkan batas wilayah
administratif, Kota Medan relatif kecil dibanding kota lainnya, tetapi posisi secara
ekonomi regional sangat penting karena berada dalam wilayah hinterland dengan basis
ekonomi sumberdaya alam yang relatif besar dan beragam serta dukungan kepelabuhanan.

24
5.1.2 Visi dan Misi Kota Medan
Visi pembangunan Kota Medan Tahun 2011–2015 adalah: Kota Medan menjadi
kota metropolitan yang berdaya saing, nyaman, peduli dan sejahtera. Makna utama visi
pembangunan kota tahun 2011-2015 dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kota Metropolitan
Bermakna bahwa Kota Medan menjadi kota yang berfungsi sebagai pusat kegiatan
nasional terutama pusat penyelengaraan pemerintahan; pusat kehidupan politik lokal; pusat
pertumbuhan kegiatan perdagangan dan jasa; pusat kegiatan sosial, seni dan budaya
masyarakat; serta pusat permukiman maju yang ditandai oleh semakin terpadunya kegiatan
sosial ekonomi; terciptanya ketenteraman, ketertiban dan kenyamanan; tersedianya
prasarana dan sarana yang maju, bermutu, dan terpadu; tertatanya ruang dan lingkungan
hidup, sebagai ciri utama kota metropolitan baru.
2. Berdaya saing
Bermakna bahwa Kota Medan mempunyai keunggulan kompetitif, komparatif dan
koperatif secara regional, nasional dan global yang ditandai oleh tingginya produktivitas
sumberdaya manusia; berkembangnya industri, perdagangan dan jasa keuangan;
tersedianya infrastruktur sosial ekonomi yang lengkap; terjaganya stabilitas keamanan,
sosial, dan politik; terwujudnya tata pemerintahan yang profesional; serta berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Nyaman
Bermakna bahwa Kota Medan menjadi kota layak huni bagi seluruh warga kota dan warga
asing dalam mengekspresikan dan menjalankan kegiatan sosial, ekonomi dan budaya yang
ditandai oleh suasana aman, tenang, damai, tertib, beradab, bersahaja, serta bebas dari rasa
takut dan khawatir.
4. Peduli
Bermakna bahwa Kota Medan menjadi kota yang memberikan pelayanan dan perhatian
yang tulus, empati, adil, dan merata bagi seluruh warga kota tanpa membedakan suku, ras,
agama, asal-usul, dan golongan yang ditandai oleh sikap warga kota yang disiplin, suka
bekerja keras, terbuka, toleran, berpikir positif, kebersamaan, keteladanan dan kearifan.
5. Sejahtera
Bermakna utama bahwa Kota Medan menjadi kota dengan masyarakat yang terpenuhi dan
terfasilitasi hak-hak dasarnya, baik hak atas pendidikan, kesehatan, sandang, pangan,
lingkungan, perumahan, kehidupan keagamaan, keamanan, berkurangnya angka

25
kemiskinan absolut dan pengangguran serta semakin meningkatnya pendapatan
masyarakat.
Dalam rangka mewujudkan visi pembangunan kota yang ditetapkan dan sekaligus
mempertegas tugas, fungsi dan dan tanggungjawab seluruh pelaku pembangunan, baik oleh
penyelenggara pemerintahan daerah maupun masyarakat selama lima tahun ke depan,
maka misi pembangunan kota tahun 2011-2015 adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan kualitas kepemerintahan yang demokratis, berkeadilan, transparan dan
akuntabel.
Meningkatkan kualitas kepemerintahan yang demokratis, berkeadilan, transparan dan
akuntabel berarti dan dimaknai membangun suatu pemerintahan yang beretos kerja
memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan prinsip-prinsip pokok 10
kepemerintahan yang baik. Pemerintahan daerah yang baik merupakan dasar bagi
pelaksanaan pembangunan kota yang berdaya guna dan berhasil guna serta memiliki daya
saing. Oleh karena itu, membangun pemerintahan daerah yang baik merupakan misi utama
yang dijalankan 5 tahun ke depan.
2. Meningkatkan penataan prasarana dan sarana perkotaan yang serasi dan seimbang
untuk semua kawasan kota.
Hal ini dimaknai sebagai membangun dalam rangka kegiatan masyarakat yang bersifat
sosial maupun ekonomi. Pembangunan dilakukan secara serasi dan seimbang berarti tetap
memperhatikan prinsip efisiensi dalam rangka meningkatkan produktivitas, juga tetap
memperhatikan keserasian antara kawasan misalnya kawasan pusat kota dan kawasan
lingkar luar maupun kawasan lainnya yang tertinggal. Daya saing ekonomi kota akan
sangat berarti bila didukung oleh sarana dan prasarana kota yang modern. Hadirnya sarana
dan prasarana kota yang modern, handal dan asri merupakan syarat perlu bagi
pembangunan kota secara keseluruhan.
3. Meningkatkan akselerasi pertumbuhan ekonomi kota yang merata dan berkelanjutan.
Meningkatkan akselerasi pertumbuhan ekonomi kota dimaknai sebagai percepatan
pertumbuhan perekonomian kota yang memiliki kualitas dan mampu menciptakan
kesempatan kerja sekaligus mengentaskan kemiskinan kota secara berkelanjutan, serta
upaya memberikan perkuatan terhadap sektor unggulan ekonomi kota, terutama UKMK.
4. Mewujudkan penataan lingkungan perkotaan yang bersih, sehat, nyaman dan religius.
Lingkungan perkotaan baik permukiman, perdagangan dan industri harus bersih, sehat,
nyaman dan religius serta terhindar dari bahaya seperti banjir, kebakaran, dan konflik
sosial. Ini dimakna lingkungan yang akan diciptakan harus dapat memberikan rasa nyaman

26
dan menunjang peningkatan kesehatan, serta harus berkelanjutan dan menjamin masa
depan pembangunan kota.
5. Meningkatkan kualitas masyarakat kota.
Misi ini dimaknai untuk membangun masyarakat yang sejahtera melalui upaya
peningkatan derajat pendidikan dan kesehatan masyarakat, penanggulangan kemiskinan
dan pengangguran, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pelayanan publik,
keamanan dan ketertiban, religius dan partisipatif serta dalam suasana kehidupan yang
harmonis dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing, serta peningkatan
kualitas sumber daya masyarakat.

5.1.3 Struktur Organisasi Kota Medan


Organisasi dan Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang menyelenggarakan tugas-
tugas umum pemerintahan, kewenangan desentralisasi serta membantu kelancaran
pelaksanaan tugas-tugas Kepala Daerah terdiri dari Sekretariat Daerah, Dinas Daerah,
Lembaga Teknis Daerah, Unit Pelaksana Daerah, Kecamatan dan Kelurahan. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada bagan di bawah ini.
Gambar 5.1
Struktur Organisasi Pemerintah Kota Medan

Sumber: Pemerintah Kota Medan, 2014

27
1. Sekretariat Daerah
Sekretariat Daerah dibentuk dengan Peraturan Daerah Nomor 28 Tahun 2002
tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kota Medan dan
Sekretariat DPRD Kota Medan. Sekretariat Daerah merupakan unsur staf Pemerintah
Daerah yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Daerah yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Walikota. Tugas pokok Sekretariat Daerah adalah membantu
Walikota dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan, administrasi, organisasi dan
tatalaksana serta memberikan pelayanan administratif kepada seluruh perangkat daerah.
Sementara itu, untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, fungsi dari Sekretariat Daerah ini
mencakup: (1) pengkoordinasian perumusan kebijakan Pemerintah Daerah, (2)
penyelenggaraan administrasi pemerintahan, (3) pengelolaan sumber daya aparatur;
keuangan; prasarana dan sarana Pemerintah Daerah serta (4) pelaksanaan tugas lain yang
diberikan oleh Walikota sesuai dengan fungsinya. Susunan organisasi Sekretariat Daerah
terdiri dari 1 orang Sekretaris Daerah, 4 orang Asisten dan 11 orang Kepala Bagian, 1
Sekretaris Dewan dan 3 Bagian.
2. Dinas Daerah
Dinas Daerah dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 35 Tahun 2002
tentang Perubahan atas Perda Kota Medan No. 4 Tahun 2001 tentang Pembentukan
Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah di lingkungan Pemerintah Kota Medan
yang terdiri dari 21 Dinas. Dinas Daerah merupakan unsur pelaksana pemerintah daerah
yang dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah. Dinas Daerah ini melaksanakan tugas dan
fungsi operasional untuk bidang-bidang tertentu seperti pendidikan, pariwisata dan
kebudayaan, kesehatan, perhubungan, informasi, telekomunikasi dan pengolahan data
elektronik, pertanian dan lain-lain.
3. Lembaga Teknis Daerah
Lembaga Teknis Daerah merupakan badan/kantor yang dikepalai oleh seorang
Kepala Badan/Kepala Kantor sebagai unsur penunjang yang membantu Walikota dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk bidang-bidang tertentu. Kepala Badan/Kepala
Kantor berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris
Daerah. Pembentukannya didasarkan pada Peraturan Daerah Nomor 36 Tahun 2002
tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kota Medan
yang terdiri dari 8 Badan dan 5 Kantor. Beberapa lembaga teknis yang terdapat dalam
pemerintah Kota Medan antara lain Badan Pengawas, Badan Perencanaan Pembangunan

28
Daerah, Badan Kepegawaian Daerah, Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan
Masyarakat, Kantor Polisi Pamong Praja dan Kantor Penanaman Modal Daerah, dan lain-
lain.
4. Unit Pelaksana Daerah
Unit Pelaksana Daerah berkedudukan sebagai pelaksana daerah yang membantu
Walikota di bidang tertentu, dipimpin oleh Kepala Unit yang berada dibawah dan
bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah.
5. Kecamatan
Pemerintah Kecamatan merupakan perangkat daerah yang dipimpin oleh seorang
camat yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Walikota melalui Sekretaris
Daerah. Organisasi Kecamatan terdiri dari camat, sekretariat kecamatan, dan 5 seksi.
Pemerintah Kota Medan dibantu oleh 21 Kecamatan, 151 Kelurahan dan 105 Seksi.

5.1.4 Deskripsi Lembaga Pelaksana e-Procurement Kota Medan


5.1.4.1 Unit Layanan Pengadan (ULP) Barang /Jasa Pemerintah Kota Medan
Berdasarkan Peraturan Walikota Medan Nomor 52 Tahun 2012 tentang
Pembentukan Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Unit Layanan Pengadaan (ULP)
Pemerintah Kota Medan susunan organisasi ULP Kota Medan terdiri dari:
a. Kepala
b. Wakil Kepala
c. Sekretaris
d. Kelompok kerja (Pokja) meliputi pengadaan barang, pekerjaan kontruksi, jasa
konsultasi dan jasa lainnya
e. Staf Pendukung
Adapun ULP bertujuan untuk:
a. Menjamin pelaksanaan pengadaan barang/jasa lebih baik terintegrasi atau terpadu
efektif, efisien, akuntabel
b. Meningkatkan efktifitas dan efisiensi dalam pelaksanan tugas fungsi unit/satuan kerja
teknis di masing-masing SKPD
c. Pelaksananaan pengelolaan pengadaan barang/jasa dilakukan oleh aparatur
professional bagi penyedia barang/jasa
d. Memberikan persamaan kesempatan, akses dan hak agar tercipta persaingan usaha
yang sehat
Kewenangan ULP sesuai dengan dengan tujuan dibentuknya ULP adalah:

29
a. Menetapkan dokumen pengadaan
b. Menetapkan besaran nominal jaminan penawaran
c. Menetapkan pemenang
d. Mengusulkan penetapan pemenang kepada walikota
e. Mengusulkan kepada PA/KPA agar penyedia barang jasa melakukan perbuatan dan
tindakan seperti penipuan, pemalsuan dan pelanggaran lainnya untuk dikenakan sanksi
kepada pencantuman dalam daftar hitam
f. Memberikan sanksi administrasi kepada penyedia barang/jasa yang melakukan
pelanggran atau tindakan sebagaimana yang berlaku dalam Peraturan Presiden Nomor
54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannnya.
Ruang Lingkup Tugas Perangkat ULP adalah sebagai berikut:
a. Kepala ULP
- Memonitoring pelaksanaan kegiatan ULP
- Mengirimkan dokumen lelang Pokja yang telah diverifikasi oleh wakil kepala ULP
kepada PA/KPA dan/atau PPK yang memiliki pekerjaan
- Mengevaluasi kegiatan ULP
- Membuat laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan pengadaan barang dan jasa
kepada walikota secara berkala setiap bulan
b. Wakil Kepala ULP
- Menetapkan dan menunjuk Pokja guna melaksanakan pemilihan penyedia barang
dan jasa
- Menunjuk staf pendukung guna membantu kelancaran pelaksanaan tugas-tugas
kesekretariatan
- Mendistribusikan usulan pelaksanaan penyedia barang/jasa yang dilakukan Pokja
- Menunjuk tenaga ahli dalam hal pengadaan barang/jasa yang bersifat khusus
dan/atau memerlukan keahlian khusus yang berasal dari pegawai negeri sipil atau
non PNS tetapi tidak ikut terlibat dalam penentuan pemenang
- Memonitoring pelaksanaan penyedia barang/jasa yang dilakukan Pokja
- Membuat laporan secara berkala atas hasil pelaksanaan hasil pelelangan yang
dilaksanakan oleh ULP kepada walikota melalui kepala ULP
c. Sekretariat ULP
- Melaksanakan pengelolaan urusan keuangan, kepegawaian, ketatausahaan,
perlengkapan rumah tangga ULP
- Menginventarisasi paket-paket yang akan dilelang/diseleksi

30
- Menyiapkan dokumen-dokumen pendukung informasi yang dibutuhkan Pokja ULP
- Mengagendakan dan mengkordinasikan sanggahan yang disampaikan oleh
penyedia barang/jasa
- Mengelola sistem pengadaan dan sistem informasi data manajemen pengadaan
untuk mendukung pelaksanaan barang/jasa
- Mengelola dokumen pengadaan barang/jasa
- Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pengadaan dan menyusun laporan
- Menyiapkan dan mengkordinasikan tim teknis dan staf pendukung ULP dalam
proses pengadaan barang/jasa
- Mengagendakan dan mengkoordinasikan sanggahan yang disampaikan penyedia
barang/jasa
- Memantau harga barang/jasa dipasaran
- Menyiapkan dan mengkoordinasikan tim ahli pengadaan barang/jasa dalam
membantu rangkaian proses pengadaan
d. Pokja ULP
- Melakukan kaji ulang terhadap spesifikasi dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS)
paket-paket yang akan dilelang/seleksi
- Mengusulkan perubahan harga perkiraan sendiri, Kerangka Acuan Kerja
(KAK)/spesifikasi teknis pengerjaan dan rancangan kontrak kepada PPK
- Menyusun rencana pemilihan penyedia barang/jasa dan menetapkan dokumen
pengadaan
- Melakukan pemilihan penyedia barang/jasa mulai dari pengumuman kualifikasi
atau pelelangan sampai dengan menjawab sanggahan
- Mengusulkan penetapan pemenang kepada walikota untuk penyedia
barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang bernilai diatas Rp 100.000.000.000.
(Seratus Miliar Rupiah) dan penyedia jasa konsultasi yang bernilai diatas Rp
10.000.000.000 (Sepuluh Miliar Rupiah) melalui kepala ULP
- Menetapkan pemenang untuk:
- Pelelangan atau penunjukan langsung untuk paket pengadaan barang/pekerjaan
kontruksi/jasa lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000.000 (Seratus
Miliar Rupiah) atau
- Seleksi atau penunjukan langsung untuk paket pengadaan jasa konsultasi yang
bernilai paling tinggi Rp 10.000.000.000 (Sepuluh Miliar Rupiah)
- Menyampaikan berita acara hasil pelelangan kepada PPK melalui kepala ULP

31
- Membuat laporan mengenai proses dan hasil pengadan barang/jasa kepada kepala
ULP
e. Staf Pendukung
- Melaksanakan survey harga barang/jasa
- Melaksanakan penyususunan harga satuan kerja
- Melaksanakan pendampingan dalam penjelasan teknis pekerjaan selaku aanwijer
kepada pokja pengadaan
- Memberikan masukan dan pertimbangan teknis terhadap perubahan HPS dan
perubahan spesifikasi teknis pekerjaan
- Memberikan masukan, saran, rekomendasi dibidang hukum berkaitan dengan
penyusunan jawaban sanggahan
- Melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada kepala ULP
5.1.4.2 Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (LPSE) Kota Medan
Pembentukan lembaga pelaksana e-procurement kota Medan didasarkan pada
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2007 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah
dimana didalamnya perlu salah satunya adalah sistem eprocurement. Untuk
mengimplementasikan kebijakan ini maka LPSE Kota Medan resmi launching pada
tanggal 7 Desember 2011.
Berdasarkan Peraturan Walikota Medan Nomor 33 Tahun 2013, susunan
organisasi LPSE terdiri dari:
a. Pembina
b. Pengarah
c. Ketua
d. Sekretaris
e. Bidang administrasi sistem informasi
f. Bidang Registrasi dan Verifikasi
g. Bidang layanan pengguna
h. Bidang pelatihan dan sosialisasi
Sedangkan tugas LPSE adalah melaksanakan pengadaan barang/jasa secara
elektronik dan proses pengadaan barang/jasa secara elektronik. Untuk melaksanakan tugas
tersebut fungsi dari LPSE adalah sebagai berikut:
a. Administrator secara elektronik
b. Unit registrasi dan verifikasi penggunaan
c. Unit layanan pengguna

32
d. Mengoperasionalkan sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik
e. Melakukan registrasi dan verifikasi penyedia barang/jasa untuk memastikan penyedia
memenuhi persyaratan berlaku
f. Melakukan pelatihan/training kepada panitia lelang dan penyedia barang/jasa untuk
menguasai aplikasi sistem pelelangan secara elektronik
g. Sebagai Helpdesk yang menyediakan layanan sistem pengadaan barang/jasa secara
elektronik pada penyedia barang/jasa yang memerlukan panduan untuk mengikuti
tahapan lelang secara elektronik
Masing-masing jabatan mempunyai tugas sebagai berikut:
a. Pengarah
- Mengarahkan dan memantau pelaksanaan tugas LPSE
- Memberikan petunjuk teknis dan pedoman kerja bagi LPSE
- Memantau dan mengevaluasi program kerja LPSE
- Memberikan arah kebijakan untuk pelaksanaan tugas kebijakan
b. Ketua LPSE mempunyai tugas memimpin LPSE dalam menjalankan tugas dan fungsi
LPSE
c. Sekretaris mempunyai tugas melaksanakan kordinasi, ketatausahaan, pembinaan dan
pengendalian terhadap program, kegiatan administrasi dan sumber daya di lingkungan
kerja LPSE
d. Bidang administrasi sistem informasi mempunyai tugas
- Penyiapan dan pemeliharaan perangkat lunak, perangkat keras dan jaringan
- Penanganan permasalahan teknis yang terjadi untuk menjamin kehandalan dan
ketersedian layanan
- Pemberian informasi kepada LKPP tentang keandalan teknis yang terjadi di LPSE
- Pelaksanaan instruksi teknis dari LKPP
e. Bidang registrasi dan verifikasi mempunyai tugas dan fungsi:
- Pelayanan pendaftaran pengguna SPSE
- Penyampaian informasi kepada calon pengguna LPSE tentang kelengkapan dokumen
yang dipersyaratkan
- Verifikasi seluruh dokumen dan informasi sebagai syarat pendaftaran penggunaan
SPSE
- Menyetujui dan menolak permohonan pendafatran pengguna unit LPSE berdasarkan
hasil verifikasi

33
- Melakukan konfirmasi kepada unit pengguna LPSE tentang persetujuan dan
penolakan pendaftaran berdasarkan hasil verifikasi
- Pengelolaan arsip dan dokumen pengguna SPSE
f. Bidang layanan Pengguna
- Pemberian layanan konsultasi mengenai proses pengadaan barang/jasa secara
elektronik baik melalui internet, telepon maupun hadir langsung di LPSE
- Pemberian informasi tentang fasilitas dan fitur aplikasi SPSE
- Penanganan keluhan tentang pelayanan LPSE
- Pelayanan pelatihan pengguna aplikasi SPSE
g. Bidang pelatihan dan sosialisasi
- Memberikan pelatihan bagi pengguna LPSE
- Memberikan sosialisasi terkait peraturan serta prosedur pengadaan sistem elektronik

5.2 Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai


5.2.1 Karakteristik Lokasi dan Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai
Kabupaten Serdang Bedagai merupakan salah satu kabupaten yang berada di
kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Serdang
Bedagai Nomor 06 dan Nomor 10 Tahun 2006, Kabupaten Serdang Bedagai terdiri dari 17
Kecamatan, 243 Desa/Kelurahan definitif. Kecamatan terluas adalah Kecamatan Dolok
Masihul dengan luas 237.417 Km2 dan Kecamatan terkecil adalah Kecamatan Serbajadi
dengan luas 50.690 Km2.
Batasan wilayah administrasi Kabupaten Serdang Bedagai adalah disebelah Utara
terletak Selat Malaka, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Simalungun, sebelah
Barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, serta sebelah Timur berbatasan dengan
Kabupaten Batubara dan Kabupaten Simalungun
Elevasi atau ketinggian tempat suatu daerah sangat mempengaruhi jenis budidaya
yang dapat dilakukan diatas sebidang lahan. Elevasi daerah kabupaten dimulai dari pantai
hingga ketinggian 500 meter dari permukaan laut. Namun sebagian besar daerah ini berada
pada ketinggian 11 hingga 50 meter dari permukaan laut seluas 117,522.74 ha atau 61,20%
dari luas daerah Serdang Bedagai, menyusul daerah berketinggian antara 2-10 meter dari
permukaan laut dengan luas 66,506.75 ha atau 34,63%.
Kecamatan yang memiliki wilayah berketinggian 500 meter hanyalah Kecamatan
Sipispis serta kecamatan berketinggian 51-300 meter adalah Kecamatan Kotarih.
Sedangkan kecamatan yang hanya memiliki satu kelas ketinggian adalah Kecamatan

34
Bintang Bayu yang seluruh wilayahnya berada pada ketinggian 11-50 meter dari
permukaan laut.

5.2.1 Visi dan Misi Kabupaten Serdang Berdagai


Visi adalah suatu gambaran atau suatu kondisi yang diyakini dapat diwujudkan di
masa depan. Adapun visi pembangunan Kabupaten Serdang Bedagai 2010-2015 adalah
Mewujudkan Kabupaten Serdang Bedagai sebagai Kabupaten terbaik dengan masyarakat
yang Pancasilais, Religius, Modern, Kompetitif dan Berwawasan Lingkungan. Penjabaran
dari Visi Kabupaten Serdang Bedagai adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat Pancasilais adalah masyarakat yang beradab dan agamis yang tercermin
dalam cara berpikir, bersikap, dan berprilaku yang berbudaya, menghargai ilmu
pengetahuan, terbuka, mengakui kemajemukan, toleransi, berkeadilan, dan demokratis
sesuai yang tercantum dalam Pancasila.
2. Masyarakat Religius adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kepercayaan yang dianutnya dan saling menghargai antar sesama. Bertindak atas dasar
kebaikan dan toleransi yang tinggi, bekerja atas dasar keikhlasan dan prinsip-prinsip
kemanusiaan sehingga akan tercipta kerukunan antar umat beragama secara rasional.
3. Masyarakat Modern adalah masyarakat yang berpikir dan bertindak secara positif serta
mampu menerima nilai-nilai baru yang dinamis, inovatif, berpandangan luas dan
berorientasi ke masa depan serta memiliki toleransi yang tinggi terhadap perbedaan
dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan budaya.
4. Masyarakat Kompetitif adalah masyarakat yang mampu memenuhi kebutuhannya
(need for achievement) untuk lebih maju dengan mengandalkan kemampuan dan
kekuatan sendiri serta mempunyai motivasi dan prakarsa yang tinggi sehingga mampu
mengelola dan mengembangkan potensi yang dimiliki dengan berpijak pada
lingkungan budaya dan sosialnya. Sehingga mampu memberikan apresiasi kepada
pihak lain yang benar-benar berkerja atas dasar kemampuannya.
5. Berwawasan Lingkungan yaitu selalu mengupayakan dan menjaga keseimbangan
antara kelestarian sumber daya alam dan daya dukung lingkungan dalam mengisi
pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
Untuk mewujudkan visi tersebut perlu adanya kerjasama antara pemerintah dan
masyarakat serta dukungan dari DPRD Kabupaten Serdang Bedagai dalam melanjutkan
tiga tugas pokok dan fungsi yaitu pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.

35
Sehingga misi Kabupaten Serdang Bedagai yang akan dicapai tahun 2010–2015 sebagai
berikut:
1. Mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan partisipatif berdasarkan prinsip-
prinsip keterbukaan (transparansi) dan pertanggungjawaban (akuntabilitas).
2. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang religius, berdaya saing, inovatif dan
profesional.
3. Mengembangkan perekonomian dalam wilayah pembangunan berdasarkan potensi
sumber daya alam (SDA) yang berwawasan lingkungan.
4. Meningkatkan pembangunan pedesaan dengan pola partisipatif melalui gerakan
pembangunan swadaya rakyat.
5. Mendorong terciptanya stabilitas keamanan dan ketertiban guna mewujudkan
ketentraman masyarakat yang dinamis dengan menjunjung hak asasi manusia dan
demokrasi.
Selanjutnya penetapan tujuan dan sasaran organisasi didasarkan pada faktor-faktor
kunci keberhasilan yang dilakukan setelah penetapan visi dan misi. Tujuan dan sasaran
dirumuskan dalam bentuk yang lebih tepat dan terarah dalam rangka mencapai visi dan
misi.
Tujuan strategis merupakan penjabaran atau implementasi dari pernyataan misi
yang akan dicapai atau dihasilkan dalam jangka waktu 1 (satu) sampai 5 (lima) tahun.
Dengan diformulasikannya tujuan strategis ini maka Kabupaten Serdang Bedagai dapat
secara tepat mengetahui apa yang harus dilaksanakan dalam memenuhi visi dan misinya
untuk kurun waktu satu sampai lima tahun ke depan dengan mempertimbangkan sumber
daya daerah dan kemampuan yang dimiliki baik aktual maupun potensial.
Berdasarkan urgensi dimaksud maka tujuan Kabupaten Serdang Bedagai yang
akan diwujudkan pada tahun 2010 - 2015 mendatang, dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik.
2. Menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) Kabupaten Serdang Bedagai yang
pancasilais, religius, berdaya saing, inovatif dan profesional.
3. Menciptakan kemandirian dan pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasiskan
sumber daya alam yang berwawasan lingkungan dan berkeadilan bagi masyarakat
Kabupaten Serdang Bedagai.
4. Menciptakan pembangunan pedesaan dengan partisipasi dan swadaya masyarakat.
5. Menciptakan stabilitas keamanan, ketertiban dan ketentraman masyarakat yang
demokratis dan menjunjung hak asasi manusia.

36
Untuk mendukung pencapaian tujuan maka tersebut di atas maka ditetapkan
sasaran pembangunan sebagai berikut:
1. Meningkatnya kualitas tata kelola pemerintahan yang baik.
2. Meningkatnya kualitas pelayanan kepada masyarakat dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah.
3. Meningkatknya kualitas SDM di semua strata masyarakat.
4. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan dan pemberdayaan
ekonomi kerakyatan yang berbasis potensi sumber daya lokal dan berwawasan
lingkungan.
5. Meningkatnya kesadaran dan ketaatan hukum di setiap lapisan masyarakat.

5.2.3 Struktur Organisasi Kabupaten Serdang Bedagai


Struktur organisasi Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai terdiri dan 2 (dua)
Sekretariat, yakni Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD, 16 (enam belas) Dinas, 5
(lima) Badan, 6 (enam) Kantor, 1 (satu) RSUD, dan 17 (tujuh belas) Kecamatan. Struktur
organisasi tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 5.2
Struktur Organisasi Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai

Sumber: Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, 2014

37
Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai melakukan pengembangan secara terus
menerus (continuous improvement) agar dapat lebih mengoptimalkan fungsi alokasi dan
distribusi aset, regulasi penyederhanaan sistem, dan pelayanan serta perlindungan
masyarakat.
Berdasarkan informasi kelembagaan pemerintah di Kabupaten Serdang Bedagai
sudah baik yang mencakup pelaksanaan urusan wajib (sebanyak 26 urusan). Hal ini telah
memenuhi amanah Undang-undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan
Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara dan sesuai
dengan Perda No. 5 Tahun 2009 tentang Struktur Organisasi Pemerintah Daerah
Kabupaten Serdang Bedagai.
Selain itu kelengkapan organisasi kelembagaan daerah yang telah dibentuk untuk
menangani urusan pilihan sebanyak 6 (enam) institusi yang mencakup: Dinas Pengelolaan
Sumber Daya Air Kabupaten Serdang Bedagai, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan
Koperasi Kabupaten Serdang Bedagai, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang
Bedagai, Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Serdang Bedagai, Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Kabupaten Serdang Bedagai serta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Serdang Bedagai. Dengan demikian dalam hal prospek kemandirian daerah
dalam kerangka pembangunan, Kabupaten Serdang Bedagai telah memiliki berbagai
kekuatan yang cukup bervariasi dan menjanjikan.

5.2.4 Deskripsi Lembaga Pelaksana e-Procurement Kabupaten Serdang Bedagai


5.2.4.1 Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Kabupaten Serdang Bedagai
ULP di Kabupaten Serdang Bedagai diatur dalam Peraturan Bupati Nomor 6
Tahun 2011 tentang Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Serdang Bedagai. Adapun
susunan organisasi, tugas dan fungsi ULP Barang/Jasa Kabupaten Serdang Bedagai sama
dengan ULP di Kota Medan.
5.2.4.2 Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (LPSE) Kabupaten
Serdang Bedagai
Keputusan Bupati Serdang Bedagai Nomor 312/810/Tahun 2014 tentang
Pembentukan Tim Layanan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Secara Elektronik (LPSE)
Kabupaten Serdang Bedagai. Susunan organisasi, tugas dan fungsi LPSE ini sama dengan
susunan organisasi LPSE Kota Medan, seperti telah diuraikan di atas.

38
5.3 Pemerintah Kota Binjai
5.3.1 Karakteristik Lokasi dan Wilayah Kota Binjai
Kota Binjai memiliki luas lebih kurang 90.23 km2. Secara administratif
Pemerintah Kota Binjai terdiri dari 5 (lima) Kecamatan dan 37 (tiga puluh tujuh)
Kelurahan. Wilayah Kota Binjai sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Binjai,
Kabupaten Langkat dan Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Sebelah
Timur berbatasan dengan Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang dan sebelah
Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sei Bingei, Kabupaten Langkat dan Kecamatan
Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang serta sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan
Selesai, Kabupaten Langkat
Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Binjai,
jumlah penduduk Kota Binjai sebanyak 285.530 orang, yang terdiri atas 145.423 laki-laki
dan 140.107 perempuan. Penyebaran penduduk Kota Binjai tertinggi di Kecamatan Binjai
Utara yakni sebesar 29,51 persen, diikuti Binjai Timur sebesar 21,79 persen, Binjai Selatan
sebesar 19,22 persen, Binjai Barat sebesar 16,81 persen, dan yang terendah Kecamatan
Binjai Kota yakni sebesar 12.66 persen. Kecamatan Binjai Utara merupakan Kecamatan
yang memiliki jumlah penduduk terbanyak yakni 84.252 orang dan Kecamatan yang paling
sedikit jumlah penduduknya adalah Kecamatan Binjai Kota yaitu sebanyak 36.154 orang.
Dengan luas wilayah Kota Binjai 90.23 km2 yang didiami oleh 285.530 orang maka rata-
rata kepadatan penduduk Kota Binjai adalah 3.164 orang/km2 Kecamatan yang paling
tinggi kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Binjai Kota yakni sebanyak 9.354
orang/km2 sedangkan yang paling rendah/ jarang adalah Kecamatan Binjai Selatan yakni
sebanyak 1.968 /km2.

5.3.2 Visi Dan Misi Kota Binjai


Visi merupakan pandangan jauh ke depan, kemana dan bagaimana Instansi
Pemerintah harus dibawa dan berkarya agar konsisten dan dapat eksis, antisipatif, inovatif
serta produktif. Dengan kata lain visi adalah suatu gambaran tentang keadaan masa depan
berisikan cita-cita dan citra yang ingin diwujudkan oleh Instansi Pemerintah. Mengacu
pada batasan tersebut serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kota Binjai
Tahun 2011-2015 maka Visi Pembangunan Daerah Kota Binjai adalah Terwujudnya Binjai
Sebagai Kota Idaman yang Dinamis, Berdaya Saing, dan Nyaman Dalam Kebersamaan.
Makna dari visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Binjai 2011-2015
adalah sebagai berikut

39
a. Idaman artinya Kota Binjai memiliki trademark/image sesuai perkembangan kota
dengan pembangunan yang berkelanjutan;
b. Dinamis artinya Kota Binjai mampu mengikuti dan menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman;
c. Berdaya Saing artinya Kota Binjai memiliki daya saing (Pemerintahan, Pendidikan,
Kesehatan, Industri, Jasa);
d. Nyaman artinya Kota Binjai sebagai kota yang nyaman bagi semua stakeholder untuk
melaksanakan aktivitas kehidupan (bertempat tinggal, bekerja, dan beribadah);
e. Kebersamaan artinya menghidupkan suasana kebersamaan antara pemerintah dan
masyarakat dalam pembangunan dengan semangat “Binjai Kotaku, Kotamu, dan Kota
Kita Semua”.
Misi adalah sesuatu yang harus diemban atau dilaksanakan oleh Instansi
Pemerintah, sesuai dengan visi yang ditetapkan. Agar tujuan organisasi dapat terwujud dan
berhasil dengan baik, diharapkan seluruh aparatur dan pihak-pihak yang berkepentingan
dapat mengenal Instansi Pemerintah Kotanya dan mengetahui fungsi pokok serta program-
programnya serta hasil yang akan diperoleh di waktu yang akan datang. Pemerintah Kota
Binjai mempunyai misi sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan dalam rangka mencapai
agenda/tujuan pembangunan kota, yang dasarnya merupakan tonggak dari rencana strategis
yang disusun untuk 5 lima tahun ke depan, yang secara eksplisit menggambarkan kondisi
Kota Binjai yang harus dicapai termasuk landasan kerjayang dipedomani. Untuk
memenuhi visi tersebut, Pemerintah Kota Binjai menjabarkannya ke dalam misi
pembangunan sebagai berikut:
1. Membangun dan meningkatkan sarana dan prasarana dalam menunjang dan
meningkatkan perekonomian;
2. Membangun masyarakat sehat, cerdas, dan berbudaya;
3. Peningkatan pelayanan publik yang berkualitas;
4. Membangun tata kelola pemerintahan yang baik;
5. Membangun dan membina kerukunan hidup beragama;
6. Meningkatkan perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan.

5.3.3 Struktur Organisasi Kota Binjai


Organisasi dan Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang menyelenggarakan tugas-
tugas umum pemerintahan, kewenangan desentralisasi serta membantu kelancaran

40
pelaksanaan tugas-tugas Kepala Daerah terdiri dari Sekretariat Daerah, Dinas Daerah,
Lembaga Teknis Daerah, Unit Pelaksana Daerah, Kecamatan, dan Kelurahan.
1. Sekretariat Daerah
Sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kota dan Sekretariat Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kota Binjai, Sekretariat Daerah merupakan unsur staf Pemerintah Daerah
yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Daerah yang berada di bawah dan
bertanggungjawab kepada Walikota. Tugas pokok Sekretaris Daerah adalah membantu
Walikota dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan, administrasi, organisasi dan
tatalaksana serta memberikan pelayanan administratif kepada seluruh perangkat daerah.
Sementara itu, untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, fungsi dari Sekretaris Daerah ini
mencakup:
a. penyusunan kebijakan pemerintah daerah;
b. pengkoordinasian pelaksanaan tugas Dinas Daerah dan LembagaTeknis Daerah;
c. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pemerintahan daerah;
d. pembinaan administrasi dan aparatur pemerintahan daerah;
e. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Walikota sesuai dengan tugas dan
fungsinya.
Susunan organisasi Sekretariat Daerah Kota Binjai terdiri dari:
a. Asisten Pemerintahan terdiri dari:
- Bagian Tata Pemerintahan
- Bagian Hukum
- Bagian Organisasi
b. Asisten Perekonomian, Pembangunan, dan Kesejahteraan Rakyat terdiri dari:
- Bagian Perekonomian
- Bagian Administrasi Pembangunan
- Bagian Kesejahteraan Rakyat
c. Asisten Administrasi Umum terdiri dari:
- Bagian Umum
- Bagian Hubungan Masyarakat
2. Sekretariat DPRD
Sekretariat DPRD merupakan unsur pelayanan terhadap Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, dipimpin oleh seorang Sekretaris yang secara teknis operasional berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

41
(DPRD) dan secara administratif bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris
Daerah. Sekretaris DPRD mempunyai tugas menyelenggarakan administrasi
kesekretariatan, administrasi keuangan, mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan menyediakan serta mengkoordinasikan tenaga ahli
yang diperlukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan kemampuan
keuangan daerah. Susunan Organisasi Sekretariat DPRD terdiri dari:
a. Bagian Umum
b. Bagian Keuangan
c. Bagian Risalah dan Persidangan
d. Bagian Hukum dan Perundang-undangan
e. Kelompok Jabatan Fungsional
3. Staf Ahli
Staf Ahli mempunyai tugas memberikan telaahan dan masukan mengenai masalah
pemerintahan daerah sesuai dengan bidang tugasnya kepada Walikota. Staf Ahli dibagi
menjadi 4 (empat) jabatan terdiri dari:
a. Staf Ahli di bidang Pemerintahan, Hukum dan Politik
b. Staf Ahli di bidang Pembangunan
c. Staf Ahli di bidang Kemasyarakatan dan SDM
d. Staf Ahli di bidang Ekonomi dan Keuangan
4. Dinas Daerah
Dinas Daerah merupakan unsur pelaksana pemerintah daerah yang dipimpin oleh
seorang Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Walikota
melalui Sekretaris Daerah. Dinas Daerah dibentuk berdasarkan Perda Kota Binjai Nomor
17 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah Kota Binjai. Dinas
Daerah Kota Binjai terdiri dari:
a. Dinas Pendidikan;
b. Dinas Kesehatan;
c. Dinas Pekerjaan Umum;
d. Dinas Tata Ruang, Perumahan dan Permukiman;
e. Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga;
f. Dinas Koperasi, UKM dan Perindag;
g. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil;
h. Dinas Sosial dan Tenaga Kerja;
i. Dinas Perhubungan;

42
j. Dinas Pertanian dan Perikanan;
k. Dinas Pendapatan Daerah;
l. Dinas Kebersihan dan Pertamanan.
5. Lembaga Teknis Daerah
Lembaga Teknis Daerah merupakan badan/kantor yang dipimpin oleh seorang
Kepala Badan/Kepala Kantor sebagai unsur penunjang yang membantu Walikota dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk bidang-bidang tertentu. Kepala Badan/Kepala
Kantor berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris
Daerah. Pembentukannya didasarkan pada Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 16 Tahun
2011 tentang Organisasi dan Tata Laksana Lembaga Teknis Daerah Kota Binjai. Lembaga
Teknis Daerah Kota Binjai terdiri dari:
a. Inspektorat;
b. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah;
c. Badan Kepegawaian Daerah;
d. Badan Lingkungan Hidup;
e. Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan;
f. Badan Kesatuan Bangsa dan Politik dan Linmas;
g. Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah;
h. Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Kelurahan;
i. Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah;
j. Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu;
k. Rumah Sakit Umum Daerah DR. R.M. Djoelham Binjai;
l. Satuan Polisi Pamong Praja.
6. Kecamatan
Pemerintahan Kecamatan merupakan perangkat daerah yang dipimpin oleh Camat
yang mempunyai wilayah kerja tertentu. Camat berkedudukan sebagai koordinator
penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kerjanya dan bertanggungjawab kepada
Walikota melalui Sekretaris Daerah. Adapun struktur organisasi kecamatan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 20 Tahun 2007 tentang Organisasi
Kecamatan Pemerintah Kota Binjai terdiri atas:
a. Camat
b. Sekretaris Kecamatan
c. Seksi Pemerintahan
d. Seksi Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial

43
e. Seksi Ketentraman dan Ketertiban Pelayanan Umum
f. Seksi Pembinaan Pemuda dan Olah Raga
g. Seksi Pendapatan
h. Kelompok Jabatan Fungsional

5.3.4 Deskripsi Lembaga Pelaksanaan e-Procurement Kota Binjai


5.3.4.1 Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kota Binjai
ULP di Kota Binjai disusunan berdasarkan Peraturan Walikota Binjai Nomor 21
Tahun 2013 tentang Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemerintah Kota Binjai. Susunan
organisasi, tugas dan fungsi ULP Kota Binjai hampir sama dengan ULP Kota Medan
seperti telah dijelaskan di atas.
5.3.4.2 Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kota Binjai
Keputusan Walikota Binjai Nomor 816-367/K/2014 tentang Tim Layanan
Pengadaan Secara Elektronik Kota Binjai. Susunan organisasi, tugas dan fungsinya sama
dengan LPSE Kota Medan sebagaimana dijelaskan di atas.

5.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi e-Procurement di Provinsi


Sumatera Utara
5.4.1 Landasan Hukum
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah dinyatakan oleh partisipan penelitian sebagai latar belakang dan landasan
pembentukan lembaga yang berkaitan dengan e-procurement yaitu LPSE dan ULP di
ketiga lokasi penelitian di Provinsi Sumatera Utara. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun
2010 mewajibkan Pemerintah Daerah untuk membentuk ULP paling lambat pada tahun
anggaran 2014. Perubahan radikal terhadap pihak yang bertanggungjawab terhadap
pelaksanaan barang dan jasa dinyatakan dalam Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012
yang merubah bentuk organisasi pelaksana Pengadaan Barang/Jasa dari panitia yang
bersifat ad hoc menjadi unit kerja permanen dan mandiri yang diberi nama ULP. Peraturan
ini memperkuat wewenang ULP untuk melaksanakan seluruh proses pengadaan sampai
penunjukan pemenang. Sebelumnya penunjukan pemenang menjadi kewenangan Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) kecuali penetapan pemenang untuk kegiatan dengan nilai
Rp100.000.000.000,- keatas.
Selain dari kebijakan nasional, partisipan juga merujuk pada peraturan Gubsu
No.8 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

44
Secara Elektronik di lingkungan pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Hal ini
menunjukkan telah terdapat pemahaman yang sama mengenai kewajiban bagi pemerintah
daerah bahwa seluruh pengeluaran pemerintah diatur dan tunduk pada prosedur pengadaan
barang/jasa yang diatur dalam regulasi-regulasi diatas.
Pemaparan mengenai struktur institusi-institusi yang terkait dengan e-
procurement di Kota Medan, Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Binjai menunjukkan
kesamaan struktural yaitu institusi-institusi teknis yang secara spesifik berkaitan langsung
dengan e-procurement berada pada Bagian Administrasi Pembangunan. Untuk
mengimplementasikan Perpres No.54 Tahun 2010, melalui Peraturan Bupati Serdang
Bedagai No. 6 Tahun 2011, LPSE dan ULP dibentuk bersamaan di tahun 2011. LPSE
sebagai lembaga yang menangani proses pengadaan barang dan jasa secara elektonik dan
ULP yang merupakan unit pelaksana yang menangani pengadaan barang dan jasa secara
elektronik. Secara struktural LPSE dan ULP Kota Medan terpisah tapi melekat pada
Bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah Kota Medan. Sebagai konsekwensi
struktur ini maka Ketua LPSE Kota Medan sekaligus juga merupakan Kepala Bagian di
Bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah Kota Medan. Demikian pula
dengan Kota Binjai, pada awal dibentuk LPSE di tahun 2012 dalam bentuk tim/agensi oleh
karena masih menumpang pada server LPSE Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. LPSE
sendiri resmi berdiri di tahun 2013. Hingga sekarang LPSE dan ULP masih melekat pada
bagian Administrasi Pembangunan (Interview dengan Kawaruddin, Sekretaris LPSE Kota
Binjai, 12 Mei 2014).
Berdasarkan wawancara mendalam dengan partisipan penelitian diketahui
beberapa alasan utama mengenai dipilihnya struktur LPSE dan ULP yang melekat pada
Bagian Administrasi Pembangunan yaitu pengalaman, kompetensi dan relevansi tupoksi
Bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah, akomodasi kebijakan/peraturan,
kemampuan pemerintah daerah, serta belum adanya ketentuan teknis tentang pembentukan
ULP (Interview dengan Nirwansyah, Kepala ULP Kota Binjai tanggal 7 Mei 2014; Cipta
Depari, Kepala ULP Kota Binjai tanggal 8 Mei 2014; Drs. Ahmad Basarudin, M.Si,
Kepala LPSE Kota Medan 17 Mei 2014; Fadli, Wakil Kepala ULP Kota Medan 19 Mei
2014).
Penempatan kepala bagian di Bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat
Daerah juga sekaligus sebagai Kepala LPSE Kota Medan dianggap sangat relevan karena
pengalaman dan kompetensi yang berkaitan erat dengan pengadaan barang dan jasa
pemerintah sebelum dilaksanakannya e-procurment adalah juga merupakan tupoksi dari

45
bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah (Interview dengan Ahmad
Basarudin Kepala LPSE Kota Medan; Maisarah Nasution, M.Si, Sekretaris LPSE Kota
Medan, 17 Mei 2014).
Secara kebijakan, struktur ULP dan LPSE yang masih melekat pada unit
Administrasi Pembangunan juga diperbolehkan sebagaimana termaktub dalam Peraturan
Presiden No.54 Tahun 2010 dalam Pasal 1 angka 8 yang menyebutkan bahwa Unit
Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut ULP adalah unit organisasi pemerintah yang
berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasadi K/L/D/I yang bersifat permanen, dapat
berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada.
Kesulitan pemerintah daerah dalam memenuhi PP No. 41 Tahun 2007 yang
mengamanatkan perubahan struktural lembaga pemerintah daerah harus disikapi dengan
peraturan daerah juga merupakan hambatan untuk membentuk lembaga e-procurement
yang mempunyai struktur terpisah dari bagian Administrasi Pembangunan. Sebagaimana
yang dinyatakan oleh Kepala ULP Kota Binjai ULP:
“Berdasarkan amanat Perpres seharusnya harus dibentuk struktural namun
untuk membentuk sebuah lembaga yang struktural terdapat banyak hambatan
yang harus diselesaikan, diantaranya adalah PP 41/2007. Pihak ULP sudah
mengkomunikasikan hal ini, dan kalau memang ULP ini akan dibentuk struktural
berarti harus disikapi dengan Perda, sesuai dengan amanat yang terdapat dalam PP
41/2007. Makanya di bulan Februari lalu ULP telah berkoordinasi dengan Biro
Organisasi dan Tata Laksana di Kementerian Dalam Negeri, dan sudah
mempertanyakan ini. Namun pembahasan mengenai pembentukan ULP secara
struktural masih alot dalam pembahasannya. Hasil rapat koordinasi ULP se-
Indonesia pada bulan Desember kemarin di Jakarta itu ada beberapa daerah sudah
membentuk ULP secara struktural tersendiri di antaranya Kabupaten Bogor,
Kabupaten Tanah Datar.” (Interview dengan Cipta Depari, Kepala ULP Kota
Binjai, 15 Mei 2014).

Terbatasnya kemampuan pemerintah daerah untuk memenuhi kriteria


sebagaimana termaktub dalam Perpres No 70 juga disebutkan sebagai menghambat
Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai dalam membentuk struktur lembaga e-
procurement yang terpisah dari bagian Administrasi Pembangunan (Wawancara dengan
Sortawati Tarigan, Wakil Kepala ULP dan anggota Pokja Kabupaten Serdang Bedagai, 30
Mei 2014 ). Pasal 14 Perpres Nomor 70 Tahun 2012 disebutkan bahwa jumlah ULP di
masing-masing K/L/D/I disesuaikan dengan rentang kendali dan kebutuhan. ULP dapat
dibentuk setara dengan eselon II, eselon III, atau eselon IV sesuai dengan kebutuhan
K/L/D/I dalam mengelola pengadaan barang/jasa.

46
Walaupun Perpres No.54 Tahun 2010 dan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun
2012 telah memperkuat ULP dengan memberikan kewenangan melaksanakan seluruh
proses pengadaan sampai penunjukan pemenang namun dalam implementasinya partisipan
penelitian menyebutkan mengenai keterbatasan wewenang lembaga e-procurement ini.
Adapun yang menjadi fungsi ULP dan LPSE dalam rangka pengerjaan kebijakan e-
procurement disebutkan oleh partisipan penelitian sebagai „penampung proyek‟ yang
dikerjakan oleh SKPD.
“Fungsi dari LPSE dan ULP hanya menampung proyek yang dikerjakan
oleh SKPD. Dimana LPSE berfungsi sebagai media publikasi yang berperan
mengumumkan adanya lelang juga mengumumkan siapa yang menjadi pemenang
dalam pengadaan yang dibuat oleh SKPD. Sementara ULP menjadi alat untuk
mencari siapa yang menjadi pemenang dalam tender.” (Interview dengan Cipta
Depari, Kepala ULP Kota Binjai, 17 Mei 2014).

Struktur LPSE dan ULP yang bersifat garis koordinasi membatasi kewenangan
mereka untuk memaksa unit kerja lain. LPSE dan ULP dipandang hanya sebagai wadah
untuk menentukan atau mencari siapa penyedia untuk sebuah paket lelang.
“Misalnya, ULP kan menerima permintaan dari masing-masing SKPD, ULP
tolong dong ini dipilih penyedianya, kriterianya seperti ini, HPS-nya seperti ini,
ini foto kopi DPA-nya.” Nah kita hanya menampung, sebenarnya enak-tidak
enaknya saya rasa sama aja toh ULP tidak bisa memaksa SKPD.” (Interview
dengan Kawaruddin, Sekretaris ULP, Kota Binjai 12 Mei 2014).

Dalam proses e-procurement, LPSE merupakan media komunikasi antara


penyedia dengan Pokja dimana penyedia mendaftar lewat LPSE untuk mendapat Account
sebagai penyedia. Demikian pula Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP)
tidak ditentukan oleh LPSE tetapi SKPD terkait dan LPSE hanya sebagai media yang
dipakai oleh pemerintah untuk berkomunikasi antara penyedia dan panitia pengadaan
lelang (Interview dengan Ahmad Basarudin, Ketua LPSE Kota Medan, 17 Mei 2014).
LPSE berperan sebagai „costumer service‟ dari SKPD yang ada di daerah dalam
rangka pengadaan barang dan jasa. Dalam hal ini LPSE bertugas hanya memberi informasi
yang diijinkan oleh SKPD lewat ULP kepada masyarakat umum khususnya kepada
penyedia barang dan jasa (Interview dengan Dian M. Manurung, S.Si, Staf Helpdesk Kota
Medan, 12 Mei 2014). Pihak yang menjadi pemangku peran dalam pengadaan barang dan
jasa terdiri dari penyedia barang, penyedia pekerjaan konstruksi, penyedia konsultan dan
jasa lainnya. Peran LPSE adalah sebagai „warung internet‟ yang menjadi perantara dan
menyediakan sistem untuk pertemuan antara Pokja dan penyedia. Kehadiran LPSE
berperan dalam mengelola SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik) dimana sistem e-

47
procurement dirancang dan merupakan milik dari LKPP dan ULP hanya memakai aplikasi
yang tersedia dan dikelola oleh LPSE. Sistem e-procurement yang disediakan dan
dikembangkan oleh LKPP bersifat kode sumber terbuka (open source), bebas lisensi
(freelicense) dan bebas biaya (free of charge).
Disisi lain LPSE juga berperan dalam peningkatan kapasitas sumber daya manusia
dengan menyediakan pendidikan dan pelatihan serta bantuan teknis dalam mengoperasikan
sistem e-procurement bagi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) / panitita dan penyedia yang
terlibat dalam pengadaan dan rekanan dalam proses pengadaan lewat internet. Pelatihan
dilakukan secara regular dengan mengundang narasumber dari luar daerah yang dipandang
berkeahlian dalam pengadaan barang dan jasa elektronik (Interview dengan Sihol Marito
Simbolon, Bagian Administrasi LPSE Kabupaten Serdang Bedagai, 31 Mei 2014).
Foto 5.1
Suasana Pelatihan Panitia Pengadaan oleh LPSE Kota Medan

Sumber: Dokumentasi LPSE Kota Medan

Walaupun LPSE dan ULP masih melekat pada Bagian Administrasi


Pembangunan, namun secara struktural LPSE dan ULP di Kota Medan, Kota Binjai dan
Kabupaten Serdang Bedagai telah merupakan unit terpisah. Dalam wawancara penelitian
seluruh partisipan penelitian dari ketiga lokasi penelitian menyebutkan bahwa keterpisahan
LPSE dengan ULP merupakan salah satu faktor pendukung untuk transparansi dan
kejelasan pembagian beban kerja antara LPSE dan ULP dalam melaksanakan e-
procurement. Menurut Kepala LPSE Kota Medan LPSE hanya menangani sistem dalam

48
batasan menerbitkan pengumuman dan ULP secara teknis dan operasional yang mengelola
proses e-procurement selanjutnya (Interview dengan Drs. Ahmad Basarudin, M.Si, Kepala
LPSE Kota Medan 17 Mei 2014). Secara tegas Wakil Kepala ULP Kota Medan
menyatakan:
“LPSE dengan ULP harus terpisah agar lebih transparan, dengan demikian
tidak ada lagi pertemuan-pertemuan yang nantinya dicurigai dapat menimbulkan
permainan-permainan. LPSE hanya sebagai fasilitator antara Penyedia dengan
Pokja.” (Interview dengan Fadli, Wakil Kepala ULP Kota Medan, 19 Mei 2014).

Regulasi yang senantiasa berubah dan tidak sinkron antar berbagai lembaga
merupakan tantangan dan hambatan terbesar yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam
mengimplementasikan e-procurement. Peraturan yang datang dari induk ULP dan LPSE
yaitu LKPP ataupun dari asosiasi penyedia cepat berubah. Menurut partisipan penelitian
diketiga lokasi penelitian selain Perpres 54 Tahun 2010 dan Perpres 70 Tahun 2012 setiap
tahun sejak pembentukan LPSE dan ULP, Peraturan Gubernur yang diterbitkan juga selalu
membuat peraturan baru sehingga ULP harus selalu menyesuaikan apabila ada perubahan
dari LKPP sehingga peraturan ULP selalu disesuaikan dan mengadopsi perubahan-
perubahan yang ada di dalam LKPP juga Perpres terbaru (Interview dengan Sortawati
Tarigan, Wakil Kepala ULP dan Pokja Kabupaten Serdang Bedagai, 30 Mei 2014).
Ketidaksinkronan kebijakan berbagai lembaga pemerintahan pusat juga dijelaskan
secara mendetail oleh Wakil Kepala UPL Medan sebagai berikut:
“Kemarin ada tentang jaminan, yang dikeluarkan oleh OJK, dengan
penawaran yang diatur oleh OJK sehingga asuransi tidak boleh dipakai, karena
ada dua konsul yang ada sehingga kita harus minta ijin dari bank. kemudian kalau
dikonstrukusi itu ada yang namanya ketidaksinkronan peraturan yang dibuat oleh
Kemenkeu dengan yang dibuat OJK, jadi kadang-kadang disitu letak kendalanya.
Sekarang kita misalnya kalau Pokja itu mau bekerja, harus sesuai aturan kita
sudah ada SBDnya (Standard Bidding Document), tapi terkadang ada aturan baru
yang harus kita adopsi. LKPP dan Permenkeu itu selalu menyesuaikan keadaan,
sehingga peraturan cepat berubah.” (Interview dengan Fadli, 19 Mei 2014).

Strategi Pokja Kota Medan dalam menghadapi ketidaksinkronan peraturan yang


dibuat oleh OJK dengan Kementrian Keuangan mengenai jaminan dalam e-procurement
adalah dengan mengadopsi peraturan dari kedua lembaga tersebut dan menyesuaikan
dengan kesanggupan dari penyedia untuk memenuhi persyaratan yang ada. Disamping itu
sekretariat ULP mempunyai bagian yang selalu memonitor perubahan-perubahan yang
terkait proses lelang dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah
yang terlibat dalam penyelenggaraan e-procurement dan pihak asosiasi penyedia. Dengan
pemanfaatan IT, peraturan-peraturan mengenai e-procurement sudah dapat langsung

49
disosialisasikan secara online melalui website lembaga terkait sehingga sangat mendukung
LPSE dan ULP dalam diseminasi informasi dan update peraturan-peraturan dan kebijakan-
kebijakan yang dapat langsung diakses oleh publik. Namun, staff ULP dan LPSE di ketiga
lokasi penelitian mengakui lebih sering mengakses situs LKPP dibandingkan dengan situs
Kemenkeu dan asosiasi-asosiasi bisnis dengan alasan LKPP merupakan induk organisasi
LPSE dan ULP.

5.4.2 Infrastruktur
Ketersediaan infrastruktur merupakan salah satu faktor pendukung dalam
mewujudkan transparansi dalam pelaksanaan e-procurement. Infrastruktur mencakup
perangkat keras seperti: server, SDM untuk menangani kegiatan administrasi yang
berkaitan dengan e-procurement mulai dari pendaftaran penyedia, pengumuman paket
pengadaan dan keperluan bidding lainnya, serta piranti lunak dalam bentuk sistem
electronic telah disediakan oleh LKPP dan jaringan komunikasi. Studi di beberapa negara
sedang berkembang menunjukan kapabilitas infrastrutur organisasi khususnya konektivitas
network sangat menentukan dan mempunyai pengaruh langsung terhadap kinerja sistem e-
procurement (Croom & Brandon dkk 2009).
Ketersediaan dan kualitas infrastruktur dalam menyelenggarakan e-procurement
menentukan bentuk LPSE. Berdasarkan Perpres No.54 Tahun 2010 terdapat 3 bentuk
LPSE yaitu:
1. LPSE provider: memiliki fasilitas perangkat keras yang tidak terbatas pada
perlengkapan/alat jaringan dan server yang telah menginstalasi SPSE (Sistem
Pengadaan Secara Elektronik). LPSE ini juga mempunyai fungsi administratif lain
seperti: sosialisasi terhadap PPK dan penyedia, pelatihan untuk PPK dan penyedia,
melayani PPK dalam mendapatkan kode akses, memverifikasi dokumen (SIUP, TDP,
ijin usaha, ID card pemilik usaha, dan lain-lain).
2. LPSE service provider: memiliki dan mengatur website sendiri
3. LSPE mandiri
Pada awal LPSE Kota Binjai dibentuk, server untuk sistem pengadaan secara e-
procurement masih menumpang atau memakai server LPSE Pemerintah Provinsi Sumatera
Utara. Hal ini sesuai dengan ketentuan Perpres No.54/2010 bahwa apabila fasilitas LPSE
terkait belum memadai atau mengalami gangguan dapat memakai atau menumpang pada
LPSE terdekat.

50
Pada tahun 2013 LPSE Kota Binjai telah memiliki server tersendiri dan
berdasarkan observasi dapat dikatakan telah memiliki fasilitas yang memadai oleh karena
telah disesuaikan dengan apa yang telah ditentukan oleh LKPP. Server memiliki ruangan
khusus dan sudah memenuhi standar yang dikemukakan pada Perpres No.70 Tahun 2012.
Kecepatan internet yang tinggi untuk memudahkan proses verifikasi dan kepentingan
lelang lainnya. Server juga memiliki „back up‟ sehingga ketika terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan data masih tetap tersimpan. Selain itu server memiliki baterai dengan daya
tahan delapan jam, sehingga walaupun ada kendala dari listrik padam, server tetap bisa
diakses dan tidak ada gangguan.
Foto 5.2
Ruang LPSE Kota Binjai

Sumber: Hasil Penelitian, Mei 2014


Pada awal pembentukan LPSE Kabupaten Serdang Bedagai, fasilitas server dan
web masih menumpang pada LPSE Provinsi Sumatera Utara. Pemerintah Kabupaten
Serdang Bedagai baru mempunyai server dan website tersendiri pada tahun 2013 yang
memungkinkan Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai untuk sepenuhnya melaksanakan
e-procurement untuk setiap pengadaan yang diatas 200 juta dan untuk jasa diatas 50 juta
(Interview dengan Sihol Marito Simbolon, Bagian Administrasi LPSE Kabupaten Serdang
Bedagai, 31 Mei 2014).
Sebagai lembaga pelaksana e-procurement yang pertama sekali terbentuk di
Provinsi Sumatera Utara LPSE Kota Medan telah menyediakan ruang bidding dengan
fasilitas koneksi jaringan secara lokal ke server sehingga data lebih cepat terunggah. Untuk

51
keamanan data, LPSE Kota Medan dan LKPP sudah bekerja sama dengan Lembaga Sandi
Negara.
Foto 5.3
Server di LPSE Kota Binjai

Sumber: Hasil Penelitian: Mei 2014


Walaupun terdapat perbedaan kualitas dan kapasitas perangkat keras khususnya
server yang tersedia di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai, namun
secara umum di ketiga lokasi penelitian seringnya listrik padam dan keterbatasan jaringan
internet merupakan tantangan dalam melaksanakan e-procurement secara efektif. Masalah
jaringan internet ini juga dapat dilihat pada website LPSE masing-masing pemerintah
daerah sebagaimana contoh dibawah ini:

12 November 2013 13:46


GANGGUAN KONEKSI INTERNET LPSE KOTA BINJAI
SEHUBUNGAN DENGAN TERGANGGUNYA KONEKSI INTERNET DARI
PROVIDER PADA HARI INI SENIN TANGGAL 11 NOPEMBER , SEJAK PUKUL
13.30-23.00 (WAKTU SERVER), LPSE KOTA BINJAI TIDAK DAPAT DIAKSES
MELALUI AKSES PUBLIK (INTERNET) DAN HANYA BISA MENGGUNAKAN
AKSES PRIVATE (LAN) DI RUANG BIDDING.
DEMIKIAN DISAMPAIKAN UNTUK DAPAT DIMAKLUMI, TERIMA KASIH.
ttd
LPSE KOTA BINJA
52
Gangguan Domain Situs LPSE Kota Medan (http://www.pemkomedan.go.id)
Diinformasikan bahwa domain situs LPSE Kota Medan (http://www.pemkomedan.go.id)
sedang mengalami gangguan sehingga hanya dapat diakses melaui http://114.57.36.194 .
Demikian diberitahukan untuk dapat dimaklumi.

Seringnya terjadi pemadaman listrik dan jaringan yang disebutkan oleh partisipan
penelitian sebagai penyebab utama terganggunya server yang menghambat
penyelenggaraan e-procurement. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah Kota Binjai
membeli generator yang mampu bertahan delapan jam, dan meyediakan bidding room
(ruang lelang), dimana calon penyedia bisa mengunggah sendiri dokumen mereka dengan
cepat (Interview Donny Siahaan, Pokja ULP Kabupaten Serdang Bedagai, 10 Juni 2014).
Bahkan pada saat LPSE Kabupaten Langkat pernah mengalami gangguan pada sistem,
LPSE tersebut menumpang di LPSE Kota Binjai (Interview dengan Nizwansyah, Kepala
LPSE Kota Binjai, 7 Mei 2014).
Penggunaan internet dalam pelaksanaan e-procurement walaupun memberikan
kesempatan untuk terbukanya informasi dan pertukaran informasi, namun tidak dengan
sendirinya membangun kepercayaan diantara stakeholders: pemerintah, swasta dan
masyarakat. Gangguan koneksi internet yang sering terjadi di ketiga lokasi penelitian
bukan hanya membatasi akses publik untuk berpartisipasi dalam e-procurement tetapi juga
menimbulkan kecurigaan terhadap penyelenggara e-procurement. Transparansi e-
procurement dipandang juga dapat menimbulkan dugaan-dugaan negatif dimana beberapa
pihak yang selalu beranggapan negatif pada setiap program yang ditayangkan secara online
(Interview dengan Kaharudin, Sekretaris Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai, 4 Juni
2014).
Kecurigaan publik juga terlihat pada pernyataan-pernyataan yang disampaikan
melalui website LPSE Kabupaten Serdang Bedagai sebagaimana contoh berikut ini:
Ada apa sebenarnya dengan Webbsite LPSE Serdang Bedagai ?? Login baru bisa
dilakukan pada tgl 18 Juni 2013 sore hari. Sementara pemasukan penawaran tgl 19 Juni
2013. Ada apa ???
trimakasih pak, dengan tanggapannya… tidak ada apa-apa dgn lpse pemkab serdang
bedagai pak… selasa, tgl 18 juni 2013, dari pagi emng ada gangguan jaringan pak… silah
kan bapak datang kembali ke kantor lpse.pemkab serdang bedagai. saat ini jaringan sudah
aktif kembali.

53
trimakasih pak.
maaf nama cv. bapak apa? biar kami chek apa sudah aktif apa belum.

Selain itu terdapat kecurigaan bahwa proyek yang ditawarkan secara terbuka
tersebut sudah diarahkan untuk memenangkan pihak-pihak tertentu. Kecurigaan ini
dibantah oleh penyelenggara e-procurement dengan menunjuk bahwa mereka bekerja
dalam sistem yang tidak dapat diintervensi. Hal ini ditegaskan oleh seorang anggota Pokja:
“Dalam e-procurement Pokja diangkat oleh Kepala Daerah itu artinya
pertanggungjawaban Pokja langsung kepada Kepala Daerah. Apa yang dikerjakan
oleh SKPD khusus pada bagian menentukan pemenang diketahui oleh kepala
daerah selain oleh pejabat SKPD. Mengingat sistem evaluasi lewat internet publik
dan penyedia masing-masing mempunyai akses yang sama untuk mengetahui
proses tender. Dengan demikian pertanggungjawaban Pokja ada kepada kepala
daerah, pejabat SKPD, Penyedia yang ikut tender dan juga publik. Ini artinya
proyek tidak bisa lagi diarahkan.” (Interview dengan Hendra Sihotang, ST, Pokja
Kota Binjai, 13 Mei 2014).

Hal ini juga mungkin terjadi karena penyedia tidak berusaha membandingkan
hasil evaluasi yang dicantumkan lewat LPSE karena dalam website telah sangat jelas
dicantumkan bagaimana evaluasi setiap tahapan tender (Interview dengan Donny Siahaan,
Pokja ULP Kabupaten Serdang Bedagai, 10 Juni 2014).
Berdasarkan pengamatan terhadap website LPSE dapat diketahui bahwa
kecurigaan bukan hanya ditujukan pada penyelenggara tetapi juga terhadap sistem yang
digunakan dalam e-procurement sebagaimana yang dapat dilihat pada website LPSE Kota
Medan:

LPSE programnya sangat bagus sekali, kami mengharapkan segera di Lounching di Pemko
Medan Bagaimana jika nantinya jaringan jeblok, bagaimana kami dapat melakukan
kegiatan pengadaan barang dan jasa ? Jika nantinya akan diaplikasikan, mmg kita tidak
menjaga warung tetapi bagaimana nantinya jika ada kesalahan dan kekeliruan sementara
kita tidak ketemu face to face pemenang lelangnya, karena dikemudian hari setelah
kegiatan berjalan ternyata yang bersangkutan sakit parah atau meninggal. Bagaimana
solusinya? Apakah sudah dipikirkan sejauh mana safe nya sistem ini, melihat sekarang ini
banyak sekali masalah pencurian pulsa elektronik, masalah penggelapan rekening bank dan
pencurian dana dari penjeblokan kartu kredit, nah… bagaimana nantinya dengan
kerahasiaan dan keamanan pengaliran dananya?”

54
Kurangnya pengetahuan dan penguasaan publik khususnya penyedia atas sistem
e-procurement serta sikap penyedia yang kurang dewasa disebutkan penyelenggara sebagai
penyebab utama timbulnya kecurigaan-kecurigaan publik. Menurut LPSE, dalam sistem e-
procurement keamanan data sudah terjamin oleh karena dalam penyelenggaraannya LPSE
dan LKPP sudah bekerjasama dengan Lembaga Sandi Negara. Selain pengamanan dari sisi
perangkat keras seperti firewall, dan proxy server, LKPP juga telah mengembangkan
penggunaan password yang bersifat rahasia sebagai salah satu mekanisme pengamanan
yang umum.
Dalam penyelenggaraan e-procurement yang ideal, penggunaan teknologi serta
sistem dan prosedur yang sudah baku, pengaturan jadwal dan waktu yang ketat seharusnya
tidak dapat lagi mentolerir keterlambatan dan perubahan-perubahan yang dilakukan secara
mendadak. Namun observasi peneliti terhadap komunikasi on-line antara penyedia dengan
penyelenggara e-procurement menunjukkan singkatnya waktu penawaran sebagai keluhan
yang ditanggapi dengan perpanjangan waktu penawaran. Juga terganggunya sistem internet
yang disebabkan penyelenggara e-procurement harus melakukan toleransi dan perubahan
terhadap jadwal e-procurement yang telah ditetapkan.

Gangguan Koneksi Internet LPSE Kota Medan


Saat ini sedang terjadi gangguan koneksi (koneksi tidak stabil) dari pihak internet provider
sehingga situs LPSE Kota Medan tidak dapat diakses melalui internet. Diinformasikan
kepada seluruh panitia yang sedang dalam masa lelang untuk memperhatikan dan
mengubah jadwal apabila diperlukan. Demikian diberitahukan untuk dapat dimaklumi.
14 April 2014 17:02

Kurangnya pemahaman dan kedewasaan penyedia dalam menggunakan fasilitas


dan menyikapi peraturan yang berkaitan dengan e-procurement dipandang masih kurang.
Salah seorang partisipan penelitian menyebutkan sebagai berikut:
“Sebagai contoh di peraturan disebutkan bahwa setiap pengaduan yang
datang harus ditanggapi, cuma sekarang ini, misalnya jika ada surat kaleng tanpa
nama saja kita sudah kewalahan menghadapi. Jadi memang kedewasaan penyedia
masih kurang. Kita juga menemukan file yang bervirus, kemudian dokumen
itukan sangat banyak, berhalaman-halaman, jadi ada penyedia yang mengirimkan
secara terpisah dan namanya acak sehingga sangat merepotkan saat kita
mengevaluasi lembar demi lembar. Jadi belum ada peraturan untuk hal-hal seperti
ini. Tapi memang semua inikan berproses, kalau sistemnya semua sudah
sempurna tentu tidak ada lagi nanti pekerjaan dari pihak LKPP”. (Interview
dengan Nizwansyah, Kepala LPSE Kota Binjai, 7 Mei 2014).

55
Pertanyaan yang diajukan publik juga dipandang sering tidak relevan dan
cenderung menuduh serta ada kata-kata yang mengganggu dan berupa ancaman. Untuk
mengatasi permasalahan ini LPSE Kota Binjai telah mengusulkan kepada LKPP sistem
pengawasan yang telah diterapkan dalam Menkominfo dimana pihak-pihak yang tidak etis
dan mengancam agar langsung di block dan dikenakan sanksi yaitu dikeluarkan dari proses
aanwizjing yang berarti secara otomatis orang tersebut akan gugur dalam tahapan
selanjutnya (Interview dengan Donny Siahaan, Pokja ULP Kabupaten Serdang Bedagai, 10
Juni 2014).
Ketersediaan ruangan yang memadai juga mempengaruhi transparansi dalam
penyelenggaraan e-procurement. Kondisi kantor LSPE Kota Medan sudah dilengkapi oleh
prasarana yang baik seperti komputer, meja-kursi, printer/scanner yang merupakan faktor
yang mendukung peningkatan kinerja para pegawai. LPSE menyediakan ruang bidding
dengan fasilitas koneksi jaringan secara lokal ke server sehingga data lebih cepat
terunggah. Pokja punya ruangan khusus untuk melakukan proses pelelangan, yang
ditujukan untuk meminimalisir gangguan-gangguan dari luar yang memungkinkan dapat
mempengaruhi hasil dari proses pelelangan tersebut. Seluruh ruangan dilengkapi oleh
CCTV, baik di ruangan tamu, sekretariat, ruang wakil kepala ULP dan juga ruang Pokja.
Hal ini juga sangat membantu dalam mempermudah monitoring dan evaluasi dalam
penyelenggaraan e-procurement.
Foto 5.4
Ruangan Pokja Serdang Bedagai

Sumber: Hasil Penelitian, Mei 2014

56
Ruangan Pokja Kabupaten Serdang Bedagai sudah terpisah dari ruangan ULP dan
LPSE dan didalam setiap komputer yang digunakan dalam verifikasi sudah pakai sekat-
sekat. Kondisi ini memungkinkan masing-masing pihak dapat bekerja dengan fokus
kepada pekerjaan masing-masing. Ruangan Pokja juga dilengkapi dengan fax. Kegiatan
pada masa evaluasi dilakukan di suau tempat khusus dimana tidak ada yang tahu kecuali
Pokja. Dana penyediaan tempat khusus yang sudah dianggarkan dalam APBD
menunjukkan komitmen Kepala Daerah untuk mewujudkan transparansi dalam e-
procurement.
Sejak tahun 2013 LPSE Kota Binjai memiliki “biding room” yang dapat
digunakan oleh calon penyedia/umum apabila mereka kesulitan mengakses LPSE di
rumah. Bidding room ini, biasanya digunakan untuk mengunduh dokumen untuk
kepentingan mendaftar ikut lelang. Saat penyedia memakai biding room, setiap orang tidak
berkepentingan yang ada diruangan tersebut terlebih dahulu keluar, dikarenakan ruangan
tersebut belum memakai sekat-sekat antara komputer satu dengan komputer lain.
Infrastruktur dan fasilitas LPSE Pemko Binjai yang sekarang sudah memadai
bukan hanya mendukung kelancaran proses e-procurement Kota Binjai tetapi juga telah
dapat dimanfaatkan oleh penyedia barang/jasa dari daerah lain.
“Jadi jika ada penyedia yang kesulitan, Pokja akan mempersilahkan
penyedia tersebut untuk datang. Jadi setiap penyedia yang kesulitan, yang datang
ke sini kita akan bantu dengan fasilitas yang ada. Ada juga penyedia yang ingin
ikut tender di Tarutung, itu juga kita layani, kita persilahkan untuk menggunakan
bidding room. Termasuk daerah yang servernya down atau perlu bantuan koneksi
nah ketika kita adalah LPSE terdekat mereka, kita ladeni.” (Interview dengan
Nizwansyah, Kepala LPSE Kota Binjai, 7 Mei 2014).

5.4.3 Sumber Daya Manusia


Sistem e-procurement yang dibangun tidak secara otomatis mengubah budaya
kerja para pengelola e-procurement. Agar transparansi berhasil diwujudkan melalui e-
procurement maka mental manusia yang menyelenggarakan sistem e-procurement ini
harus dibangun agar kapabel dan mempunyai komitmen serta integritas dalam
mengimplementasikan e-procurement sebagaimana yang diamanahkan dalam kebijakan
dan peraturan-peraturan (Interview dengan Drs. Ahmad Basarudin, M.Si, Kepala LPSE
Kota Medan, 17 Mei 2014).
Berdasarkan pengamatan peneliti pada ULP Kota Medan dapat dikatakan staf
ULP telah bekerja dengan cukup profesional. Proses pelayanan terhadap SKPD yang
menghantarkan dokumen paket lelang ke ULP dilakukan sesuai tahap yang seharusnya

57
(dari meja satu ke meja lain) dan dilakukan dengan cepat dan ramah. Profesionalitas
pegawai dalam melaksanakan transparansi juga dapat dilihat dari cara mereka merespons
pertanyaan-pertanyaan publik mengenai e-procurement secara jelas dan mendetail
sebagaimana dapat dilihat dalam kolom tanya jawab dalam web LPSE Kota Medan.
Pengabaian terhadap pertanyaan-pertanyaan publik melalui situs yang dianggap
tidak wajar, dan dapat memancing emosi merupakan strategi yang digunakan oleh LPSE
Kabupaten Serdang Bedagai untuk menghindarkan konflik dengan publik (Interview
dengan Nizwansyah, Kepala LPSE Kota Binjai, 7 Mei 2014; Interview Dian M. Manurung,
S.Si, Staf Helpdesk Kota Medan, 17 Mei 2014; Interview Sihol Marito Simbolon, Bagian
Administrasi LPSE Kabupaten Serdang Bedagai, 31 Mei 2014).
Pegawai sekretariat baik di ULP maupun LPSE Kota Binjai juga bersikap ramah
dan pelayanan yang diberikan kepada tamu cukup baik dan praktis dalam surat menyurat.
Dipihak lain, sebagian pegawai sekretariat belum sepenuhnya paham akan LPSE/ULP, hal
tersebut terlihat ketika pegawai tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari tim
peneliti, mengenai ruangan LPSE, serta struktur LPSE/ULP.
Namun pada tingkat pengelolaan data, pengelola juga sering mengalami kesulitan
dalam mengurutkan data, karena data yang diserahkan oleh penyedia terkadang masih
belum tersusun rapih dan masih harus diurutkan oleh penyelenggara. Kesulitan ini timbul
oleh karena sampai sekarang belum ada aturan yang mengatur bagaimana prosedur dalam
penyampaian data dari penyedia.
Keterbatasan SDM dalam bidang informasi dan teknologi (IT) juga merupakan
permasalahan yang sering dihadapi dalam menyelenggarakan e-procurement (Hendra
Sihotang, ST, Pokja Kota Binjai, 13 Mei 2014). Keterbatasan kapabilitas dalam IT ini
mengakibatkan e-procurement tidak dapat sepenuhnya dijalankan dan juga sering
menimbulkan permasalahan mengenai ID penyedia yang sangat penting agar penyedia
dapat berpartisipasi dalam e-procurement yang telah dicantumkan di situs penyelenggara.
ULP sebagai pelaksana teknis e-procurement masih kekurangan tenaga teknis untuk paket
konstruksi, seperti paket konstruksi bangunan sehingga tenaga non teknis juga digunakan
(Interview dengan Fadli, Wakil Kepala ULP Kota Medan, 19 Mei 2014).
Untuk mengatasi tantangan ini, LPSE banyak melakukan pelatihan sebagai upaya
transfer of knowledge dari LPSE ke Pokja. Sebelum ULP melaksanakan tugas pada awal
dibentuk, pihak LPSE membantu dengan mengadakan pelatihan cara-cara pelelangan
secara online sesuai dengan jenis paket dan proses aanwizjing/penjelasan. Metode
pelatihan yang dilakukan adalah dengan metode simulasi pelelangan secara nyata yaitu

58
bagaimana mengelola paket dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah secara
elektronik (Interview dengan Kawaruddin, Sekretaris ULP Kota Binjai, 12 Mei 2014;
Hendra Sihotang, ST, Pokja Kota Binjai, 13 Mei 2014).
Kinerja Pokja dalam melaksanakan e-procurement juga ditentukan oleh jumlah
SDM yang ada dibandingkan dengan jumlah total e-procurement yang harus
diselenggarakan. Berdasarkan peraturan, anggota tetap Pokja harus berjumlah ganjil.
Adapun jumlah Pokja ditentukan dengan biaya paket apabila paketnya dibawah Rp 500
juta maka Pokja berjumlah tiga orang, dan diatas Rp 500 juta Pokja berjumlah lima orang.
Alasan jumlah ganjil adalah untuk menghindari apabila dalam menentukan pemenang ada
voting sehingga keputusan mudah ditetapkan karena menutup kemungkinan suara
berimbang (Interview dengan Halim, anggota Pokja Kota Medan, 20 Mei 2014). Jika
kekurangan SDM untuk Pokja maka ULP mengirim surat ke dinas dan melakukan
verifikasi terhadap calon anggota Pokja tersebut. Jika calon tersebut dipandang sudah layak
maka akan di SK kan oleh Bupati. Setelah itu di beri SPT (Surat Perintah Tugas) kepada
Pokja yang ditugaskan melayani pelelangan paket tersebut. Dengan adanya SPT maka
Pokja yang diambil dari dinas-dinas lain bisa meluangkan waktunya setengah hari bekerja
di ULP dan setangah hari bekerja di dinas dimana ia bekerja sebagai PNS. Pokja harus
menandatangani fakta integritas dan komitmen apabila melakukan kesalahan maka siap
untuk di evaluasi (Interview Sortawati Tarigan, Wakil Kepala ULP dan Pokja Kabupaten
Serdang Bedagai, 30 Mei 2014).
Pokja merupakan tulang punggung operasional pelaksanaan e-procurement. ULP
melalui Pokja mempunyai tugas menyusun rencana pemilihan penyedia barang/jasa,
menetapkan dokumen pengadaan, menetapkan besaran nominal jaminan penawaran,
mengumumkan pelaksanaan pengadaan barang/jasa, menilai kualifikasi penyedia
barang/jasa, melakukan evaluasi administrasi, teknis, dan harga, menjawab sanggahan,
menetapkan penyedia barang/jasa untuk pelelangan atau penunjukan langsung untuk
pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang bernilai paling tinggi Rp
100.000.000.000,-, menetapkan penyedia barang/jasa untuk seleksi atau penunjukan
langsung untuk pengadaan jasa konsultasi yang bernilai paling tinggi Rp 10.000.000.000,-
menyampaikan hasil pemilihan dan salinan dokumen pemilihan penyedia barang/jasa
kepada PPK, menyimpan dokumen asli pemilihan penyedia barang/jasa, membuat laporan
proses pengadaan kepada Kepala ULP, dan memberikan pertanggungjawaban atas
pelaksanaan kegiatan pengadaan barang/jasa kepada PA/KPA.

59
Sesuai dengan apa yang tertuang didalam Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010,
Pokja bekerja mulai dari sejak dikeluarkannya SK penunjukan bagi Pokja, selanjutnya
Pokja membuat dokumen-dokumen sehubungan dengan pengadaan barang dan jasa yang
disesuaikan dengan Standard Bidding Document (SBD) yang telah ditetapkan dilanjutkan
dengan menentukan jadwal proses selama proses lelang, kemudian menaikkan
pengumuman lewat situs yang dikelola oleh LPSE. Setelah pengumuman dilakukan, pihak
penyedia mendaftarkan perusahaan sebagai penyedia lewat LPSE, selanjutnya penyedia
bisa mengunduh dokumen-dokumen yang telah dibuat oleh Pokja sebagai panduan bagi
penyedia untuk memasukkan penawaran yang dilakukan lewat internet. Penyedia
melakukan penawaran lewat internet dilanjutkan dengan Pokja mengumpulkan semua
penawaran yang telah dibuat di internet. Dokumen penawaran ini akan menjadi bahan
pertimbangan Pokja dalam melakukan evaluasi yang telah ditetapkan didalam Perpres
yaitu Evaluasi Administrasi, Teknis dan Kualifikasi sampai pada akhirnya ditentukan
pemenang (Interview dengan Cipta Depari, Kepala ULP Kota Binjai, 15 Mei 2014; Dian
M. Manurung, S.Si, Staf Helpdesk Kota Medan, 17 Mei 2014).
Terdapat perbedaan pendapat mengenai kesesuaian jumlah anggota Pokja diantara
ketiga lokasi penelitian. Pokja ULP Medan terdiri dari 12 orang staf tetap dan yang tidak
tetap ada sekitar 40 orang diambil dari SKPD. Anggota Pokja yang tidak tetap dipakai
tergantung kepada paket lelang yang ada. Apabila tidak ada paket yang dilelangkan maka
anggota yang berasal dari SKPD terkait tetap bekerja di SKPD asal mereka masing-
masing. Jika Pokja yang tetap tidak memadai maka anggota Pokja yang tidak tetap
dipanggil bertugas dalam Pokja. Dalam menjalankan tugas mereka dalam Pokja, anggota
tidak tetap ini setengah hari kerja di SKPD masing-masing dan setengah hari di ULP
(Interview dengan Fadli, Wakil Kepala ULP Kota Medan, 19 Mei 2014). Dibandingkan
dengan jumlah paket yang harus dilelangkan, ULP Kota Medan beranggapan bahwa
jumlah pegawai Pokja tidak memadai. Keterbatasan jumlah anggota Pokja ini, khususnya
dalam tahap evaluasi administrasi disebabkan oleh begitu banyak dokumen-dokumen yang
masuk. Pokja sesuai dengan tupoksinya bertanggung jawab untuk membaca satu persatu
dokumen dengan teliti sehingga anggota Pokja sering mengeluh kelelahan khususnya pada
mata mereka oleh karena dalam menjalankan tugas mereka harus berhadapan langsung
dengan monitor komputer selama berjam-jam (Interview dengan Fadli, Wakil Kepala ULP
Kota Medan, 19 Mei 2014).
Bagi Pemerintah Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai jumlah SDM yang
ada sudah cukup untuk mengerjakan semua tender. Hal ini disebabkan jumlah tender di

60
kedua lokasi penelitian ini tidak sebanyak jumlah tender yang ada di Kota Medan
(Interview Sortawati Tarigan, Wakil Kepala ULP Kabupaten Serdang Bedagai, 30 Mei
2014; Hendra Sihotang, ST, Pokja Kota Binjai, 13 Mei 2014).
Selain keterbatasan jumlah staf, di Pokja juga terdapat isu jender dimana
keanggotaan Pokja masih didominasi oleh laki-laki. Anggota Pokja Kabupaten Serdang
Bedagai pada tahun 2013 terdiri dari 2 orang perempuan dan 18 orang laki-laki, sementara
pada tahun 2014 hanya terdapat 1 orang perempuan dan selebihnya laki-laki. Walaupun
menurut partisipan penelitian, komposisi ini bukan disebabkan oleh diskriminasi jender
namun alasan ketahanan fisik perempuan yang dipandang lebih lemah dari laki-laki dan
juga alasan pekerjaan sebagai Pokja terkadang harus diselesaikan hingga larut malam
sehingga dipandang menimbulkan rasa kurang aman bagi seorang perempuan.
Secara regulatif, sebagaimana tercantum dalam Perpres No.54 Tahun 2010 pasal
17 f standardisasi keahlian penyelenggara e-procurement cukup tinggi dimana semua
pejabat pengadaan, anggota Pokja baik tetap maupun tidak tetap, dan PPK (kecuali eselon
II) diwajibkan lulus sertifikasi pengadaan barang dan jasa pemerintah. LKPP menargetkan
tingkat kelulusan ujian sertifikasi pengadaan barang/jasa pemerintah meningkat hingga
70% seiring diberlakukannya Peraturan Kepala LKPP Nomor 9 Tahun 2014 tentang
Petunjuk Teknis Operasional Sertifikasi Keahlian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Untuk itu LKPP menyelenggarakan ujian sertifikasi setiap tahun dan bisa diikuti oleh
semua pegawai negeri.
Peraturan Gubsu No. 8 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah Secara Elektronik di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera
Utara mewajibkan pegawai ULP harus memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa.
Kebijakan ini juga diadopsi oleh pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten
Serdang Bedagai.
LPSE Kota Medan belum memfasilitasi kegiatan diatas namun kantor Diklat
Pemerintah Kota Medan yang menjadi penyelenggara diklat dalam pengadaan barang dan
jasa elektronik. Disamping mengadakan training untuk sertifikasi, LPSE dan ULP diketiga
lokasi penelitian juga mensosialisasikan kewajiban sertifikasi ini keseluruh dinas-dinas,
agar tidak ada PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) yang tidak memiliki sertifikat.
Pendidikan dan pelatihan ini diawasi langsung oleh Bapenas dan pertanggungjawabannya
diserahkan ke LKPP. Namun persentase kelulusan dari sertifikasi sangat minim dimana
terkadang yang lulus hanya 19 orang dari 150 peserta (Interview dengan Sortawati

61
Tarigan, Wakil Kepala ULP dan Pokja Kabupaten Serdang Bedagai, 30 Mei 2014; Sihol
Marito Simbolon, anggota LPSE Kabupaten Serdang Bedagai, 31 Mei 2014).
Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah sebagaimana yang dinyatakan dalam
Perpres No.54 Tahun 2010 Pasal 4 terdapat empat jenis kegiatan barang/jasa pemerintah
yaitu pengadaan barang, pekerjaan konstruksi, jasa konsultansi, dan jasa lainnya. Dalam
peraturan ini juga disebutkan bahwa anggota Pokja dan PPK harus paham mengenai jenis
pekerjaan tertentu dan memiliki integritas. Walaupun seluruh anggota Pokja diketiga lokasi
penelitian telah memiliki sertifikasi sesuai dengan standar yang ditetapkan, namun
sertifikasi ini terbatas hanya sebagai ahli dalam pengadaan barang dan jasa. Kapasitas dari
peserta yang mendapat sertifikat hanya pada batasan peraturan dan bersifat umum
(Interview dengan Nizwansyah, Kepala LPSE, Kota Binjai, 7 Mei 2014; Cipta Depari,
Kepala ULP Kota Binjai, 8 Mei 2014; Sortawati Tarigan, Wakil Kepala ULP Kabupaten
Serdang Bedagai, 30 Mei 2014). Kelemahan dari ujian sertifikasi sebagaimana yang
diwajibkan peraturan adalah tidak dibedakannya sertifikasi berdasarkan jenis lelang
sementara jenis paket yang diadakan melalui e-procurement terdiri dari berbagai jenis
paket yang membutuhkan keahlian yang berbeda untuk setiap jenis paket yang berbeda
seperti pengadaan barang, pekerjaan konstruksi, jasa konsultasi dan jasa lainnya. Kajian
akademis terhadap Pokja di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan oleh LKPP
(2013) juga menemukan hal yang sama yaitu sertifikasi dalam pelaksanaan pemilihan
barang/jasa yang dilakukan oleh Pokja hanya mencakup satu jenis keahlian yaitu ahli
pengadaan barang/jasa pemerintah. Dengan demikian belum terdapat spesialisiasi tugas
berdasarkan produk, pelanggan maupun wilayah yang sangat menentukan profesionalitas
SDM khususnya dalam melakukan evaluasi proses dan kualitas e-procurement.
Disamping manfaat pelaksanaan e-procurement bagi terwujudnya transparansi
dan berbagai hambatan regulasi, institusi dan teknis sebagaimana paparan diatas,
penyelenggaraan e-procurement mengalamai resistensi internal yang berasal dari
penyelenggara e-procurement. Studi terhadap implementasi e-procurement di negara-
negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) masih
mengalami berbagai hambatan yang mencakup kurangnya fleksibilitas dalam kerangka
kerja pemerintah secara luas, aspek legislatif dalam penyusunan peraturan, keuangan dan
kesenjangan digital dalam penggunaan e-government hingga resistensi terhadap
penggunaan teknologi baru (Lynn, Dahlia Bradshaw, 2000).
Resistensi terhadap penyelengaraan e-procurement di ketiga lokasi penelitian
tercermin dalam adanya keengganan untuk mendapatkan sertifikasi sebagaimana yang

62
diwajibkan oleh Perpres No.54 Tahun 2010. Pada saat sertifikasi banyak pegawai
pemerintah daerah yang tidak ingin diluluskan untuk menjadi Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK). Karena tanggung jawab yang besar yang akhirnya membawa kesulitan tersendiri
bagi PPK. Seperti misalnya pelaksanaan dimana barang/jasa tidak sesuai dengan saat yang
ditawarkan, dalam hal ini yang harus bertanggung jawab adalah PPK dan bukan ULP.
(Interview Donny Siahaan, Pokja ULP Kabupaten Serdang Bedagai, 10 Juni 2014;
Sortawati Tarigan, Wakil Kepala ULP dan Pokja Kabupaten Serdang Bedagai, 30 Mei
2014; Kawaruddin, Sekretaris ULP Kota Binjai, 12 Mei 2014). Seorang anggota Pokja
mengatakan:

“Banyak yang tidak mau menang karena takut ditunjuk jadi PPK.
Mengingat seandainya ada kesalahan, sanksi yang sangat berat akan dikenakan
karena berurusan dengan kasus korupsi. Karena dalam proses pengadaan yang
berurusan langsung dengan penyedia adalah PPK. Dalam kenyataannnya sering
terjadi ketidaksesuaian antara spesifikasi pengadaaan yang direncanakan dengan
yang ditawarkan oleh penyedia. Adapun hal ini bisa terjadi karena perubahan
harga pasar yang tiba-tiba. Sementara kontrak sudah ditandangani target
penyelesaian mendesak. Sedikit saja kesalahan dalam pengadaan PPK bisa masuk
penjara.” (Interview dengan Donny Siahaan, Pokja ULP Kabupaten Serdang
Bedagai, 10 Juni 2014).

Resistensi dalam bentuk keengganan dan ketakutan untuk mendapat sertifikasi merupakan
tantangan tersendiri dalam peningkatan kapasitas sumberdaya manusia anggota Pokja.

5.5 Implementasi Model e-Procurement di Provinsi Sumatera Utara


Sesuai dengan Perpres No.50 Tahun 2010 siklus manajemen pengadaan
barang/jasa melalui penyedia barang/jasa sudah terstandarisasi dan terdiri dari penyusunan
rencana umum pengadaan barang/jasa, pengumuman rencana umum, penyusunan rencana
pelaksanaan pengadaan, pengumuman seleksi/lelang penyedia barang/jasa, pendaftaran
peserta seleksi/lelang, evaluasi kualifikasi peserta lelang/seleksi (prakualifikasi),
penjelasan pelaksanaan seleksi/lelang penyedia barang/jasa, pemasukan penawaran,
evaluasi penawaran (administrasi, teknis dan harga), evaluasi kualifikasi peserta (pasca
kualifikasi), penetapan pemenang, penunjukan penyedia barang/jasa, penandatanganan
kontrak, pelaksanaan kontrak dan penyelesaian kontrak.
Secara umum, proses implementasi e-procurement di ketiga lokasi penelitian di
Provinsi Sumatera Utara ini secara ketat telah mengikuti standarisasi siklus manajemen
yang didasarkan pada Perpres No. 50 Tahun 2010. Proses pengadaan dimulai sejak
ditetapkannya anggaran dan rencana kerja tahunan, pada saat itu SKPD menentukan HPS

63
(Harga Perkiraan Sendiri) dan spesifikasi pengadaaan oleh PPK (Pejabat Pembuat
Komitmen). Adapun PPK ini adalah orang yang lulus ujian dan mempunyai sertifikat yang
berasal dari LKPP sama seperti Pokja dan tidak merupakan Pokja pada paket yang sama.
Dalam hal ini PPK tidak bisa jadi Pokja sekalian dalam dinas/SKPD tersebut tapi bisa jadi
jika itu berada di dinas lain. Sesuai dengan kebijakan mengenai e-procurement setiap
pengadaan barang dan jasa pemerintah yang dilaksanakan oleh setiap SKPD dengan
anggaran diatas 200 juta wajib lewat ULP sementara dibawah 200 juta dan kegiatan yang
bersifat urgent dapat dilakukan dengan penunjukan langsung dari SKPD terkait.
Setelah menentukan HPS, PPK membuat surat permohonan ke ULP. Selanjutnya
PPK memohon ke ULP yang kemudian melakukan seleksi anggota Pokja dan
mengeluarkan SPT (Surat Perintah Tugas). Setelah SK pengangkatan dari Kepala Daerah
diterbitkan, ULP menyusun dokumen dan jadwal lelang yang selanjutnya ditayangkan oleh
LPSE. Dengan demikian LPSE hanya menayangkan apa yang telah di proses oleh ULP.
LPSE juga memperbaiki masalah yang terjadi pada sistem dan internet seperti masalah
dalam akses, memberikan informasi kepada stakeholder. Berita acara yang diunggah di
situs merupakan pedoman bagi penyedia dalam melakukan penawaran secara online.
Prosedur agar penyedia bisa ikut dalam proses tender adalah dengan mendaftarkan
perusahaan atau usaha dengan cara datang ke LPSE terdekat dengan membawa berkas
yang telah ditentukan. Pihak LPSE akan menseleksi berdasarkan syarat yang telah
ditentukan. Kemudian apabila lulus berkas maka penyedia akan mendapat user ID.
Helpdesk berperan dalam rangka menyaring pendaftar peserta tender lewat pemeriksaan
kelayakan data dan dalam rangka memberikan informasi seputar pendaftaran peserta
penyedia yang ingin ikut tender. Melalui Helpdesk, LPSE melayani calon penyedia dengan
memberikan penjelasan prosedur pendaftaran melalui situs. Tanya jawab seputar e-
procurement melalui internet ini dapat diakses oleh publik sehingga mendukung
transparansi dalam penyelenggaraan e-procurement (Interview dengan Dian M. Manurung
M.Si, Staf Helpdesk Kota Medan, 17 Mei 2014).
Setelah penyedia mendapat user ID, penyedia berhak mengikuti lelang yang
diadakan LPSE diseluruh Indonesia dengan catatan ID harus aktif secara terintegrasi.
Dengan adanya ID ini penyedia berhak mengikuti setiap lelang yang diumumkan oleh
LPSE di seluruh Indonesia. Account ini sendiri berfungsi selama pengguna masih
menginginkannya. Namun berdasarkan tanya jawab dalam situs LPSE Pemerintah Kota
Medan diketahui bahwa ternyata penyedia yang ada di Kota Medan belum bisa mengkases
lelang yang diselenggarakan di luar Provinsi Sumatera Utara. Selanjutnya penyedia

64
melakukan penawaran dengan mengunggah ke media LPSE selama masa penawaran yang
telah ditentukan oleh Pokja. Penyedia juga memberikan jaminan penawaran berupa katalog
dan bukti fisik yang lain.
Setelah habis masa penawaran, Pokja mengunduh semua penawaran yang telah
diunggah oleh penyedia untuk dievaluasi oleh Pokja. Adapun hal-hal yang dievaluasi oleh
Pokja adalah dimulai dari koreksi aritmetik yaitu menyangkut perhitungan-perhitungan
angka penawaran. Selanjutnya evaluasi administrasi ini menyangkut surat dan jaminan
penawaran yang diberikan oleh penyedia. Surat penawaran tersebut akan diperiksa masa
berlaku penawaran dan jangka waktu pelaksanaan pekerjaan. Evaluasi berikutnya adalah
masalah teknis yaitu spesifikasi yang ditawarkan dan kemampuan dalam mengerjakan
penawaran. Kemudian dilakukan evaluasi kualifikasi yaitu mengevalusai keberadaan
NPWP, SPT, SSP, Ijin Usaha dan pengalaman. Khusus dalam poin pengalaman
perusahaan yang berdiri dibawah tiga tahun tidak diminta pengalaman. Berdasarkan
Perpres mengenai e-procurement, pengalaman perusahaan hanya berlaku bagi perusahaan
yang telah beroperasi diatas empat tahun. Evalusi terakhir menyangkut kewajaran harga
yaitu berkaitan harga terkoreksi. Dalam evaluasi harga terkoreksi ini, penyedia yang
mengajukan penawaran jika melebihi HPS akan otomatis gugur oleh karena yang dicari
adalah penawaran harga terendah. Jika dianggap perlu, maka anggota Pokja akan
melakukan monitoring dan evaluasi kelapangan terhadap barang/jasa dan harga yang
ditawarkan.
Setelah klarifikasi selesai, dilakukan penetapan pemenang tender. SKPD
mengajukan draft kontrak kepada ULP sebagai bahan pertimbangan bagi Pokja dalam
menentukan siapa pemenang tender. Draft kontrak ini sendiri harus mendapat verifikasi
dari ULP. Selanjutnya dilakukan penentuan masa sanggah. Dalam masa sanggah banding
dilakukan sepenuhnya melalui internet. Dengan demikian tidak ada pertemuan langsung
antara penyelenggara dan penyedia. Jaminan sanggah banding adalah sebesar 1% dari
HPS. Setelah lewat masa sanggah ULP menyerahkan pemengan kepada PPK dan nantinya
PPK akan menerbitkan SPPBJ yang dilanjutkan dengan penandatanganan kontrak.
Tandatangan kontrak antara SKPD dengan penyedia tidak ada kaitannya lagi dengan ULP.
Dengan demikian proses e-procurement ini menjamin transparansi, menghilangkan
intervensi dan meningkatkan akuntabilitas.
Implementasi e-procurement sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor geografis,
struktural, infrastruktur dan tatakelola kepemerintahan. Kondisi geografis Indonesia yang
terdiri dari ribuan pulau, kondisi infrastruktur TI yang tidak merata, dan masih adanya

65
masalah kesenjangan digital, serta kondisi politik di Indonesia, membuat LKPP memilih
strategi implementasi e-procurement secara tersebar-dan-otonom (LKPP 2009). Pilihan
strategi tersebar-dan-otonom juga mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas SDM,
registrasi dan manajemen vendor serta biaya investasi bertahap. Strategi ini ditujukan
untuk mendorong pemerintah daerah untuk secara terus menerus meningkatkan
kompetensi dan kapasitas SDM dalam mengelola sistem pengadaan barang dan jasa secara
elektronik. Strategi tersebar ini juga memungkinkan penyedia barang/jasa untuk dapat
melakukan registrasi di LPSE yang lokasinya dekat dengan domisili penyedia (LKPP
2009). UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan
kewenangan kepada pemerintahan daerah dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat termasuk memberi pelayanan sedekat-dekatnya kepada masyarakat, maka
setiap pemerintah daerah wajib menyelenggarakan pelayanan pengadaan barang/jasa
pemerintah secara elektronik.
Secara prosedural, implementasi Perpres No 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah dan ketetapan-ketetapan lain mengenai e-procurement yang
merupakan dasar bagi implementasi e-procurement barang dan jasa di Indonesia telah
dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai.
Namun pembahasan yang lebih mendalam mengenai implementasi e-procurement
menunjukkan hibriditas dalam pengimplementasian e-procurement di ketiga lokasi
penelitian yang mencakup hibriditas dalam strategi (sentralisasi-desentralisasi) pemaketan,
sistem (manual–on line), struktur (pemerintah provinsi, kabupaten dan kota–kecamatan,
desa). Pendekatan yang digunakan dalam pengaplikasian e-government berbeda baik di
negara-negara industri maupun berkembang. Di negara-negara industri penggunaan e-
government dilakukan secara self-service melalui internet, sementara di negara-negara
berkembang dilakukan dengan sekaligus menggunakan gabungan dari beberapa proses
yang dilakukan secara otomatik dan manual (World Bank, 2004).
Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 beserta perubahannya melalui Peraturan
Presiden No. 70 Tahun 2012 mewajibkan pemerintah daerah untuk membentuk ULP yang
bertugas melaksanakan pengadaan barang/jasa pemerintah daerah. Berdasarkan ketentuan
ini maka proses pemilihan penyedia barang/jasa seharusnya bersifat sentralisasi yaitu
terintegrasi pada unit kerja yang secara khusus bertugas melakukan pemilihan penyedia
barang/jasa untuk pemerintah daerah yaitu LPSE dan ULP. Walaupun ULP telah dibentuk
di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai, namun sebagian dari

66
pengadaan barang dan jasa pemerintah khususnya untuk paket yang bernilai dibawah Rp
50 juta masih dilaksanakan langsung oleh unit kerja khususnya pada tingkat pemerintahan
kecamatan dan desa (Interview dengan Nizwansyah, Kepala LPSE Kota Binjai, 7 Mei
2014; Cipta Depari, Kepala ULP Kota Binjai, 8 Mei 2014; Fadli, Wakil Kepala ULP Kota
Medan, 19 Mei 2014; Sortawati Tarigan, Wakil Kepala ULP dan Pokja Kabupaten Serdang
Bedagai, 30 Mei 2014). Kajian akademis mengenai ULP pada beberapa ULP di Indonesia
juga menunjukkan hal yang sama dimana pengadaan langsung masih dilakukan oleh
pejabat pengadaan yang ditetapkan oleh masing-masing PA/KPA pada setiap unit kerja
PA/KPA (LKPP, 2013).
Walaupun secara struktural kebijakan pemerintah yang menginstruksikan bahwa
pengadaan barang/jasa pemerintah harus dilakukan secara elektronik sudah diterapkan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai dengan dikeluarkannya Peraturan Bupati
No. 6 Tahun 2011 namun pada awalnya proses pengadaan barang/jasa masih dilakukan
secara hibrid yaitu masih menggunakan sistem on-line secara parsial yaitu terbatas pada
pengumuman lelang dan pegumuman pemenang lelang. Pada tahun 2013 Kabupaten
Serdang Bedagai sudah 100% menyelenggarakan e-procurement untuk paket yang bernilai
Rp 200 juta keatas untuk barang dan fisik, dan Rp 50 juta keatas untuk konsultan. Untuk
paket bernilai dibawah Rp 50 juta masih dilakukan dengan pengadaan langsung oleh
SKPD terkait tanpa e-procurement.
Pengadaan barang dan jasa pemerintah diselenggarakan dengan sistem yang
berbeda antara berbagai tingkatan institusi pemerintahan daerah. Pada umumnya dinas,
badan dan kantor mengimplementasikan e-procurement sementara pemerintah kecamatan,
kelurahan dan desa masih melakukan pengadaan barang dan jasa secara manual. Pemohon
paket masih ada yang tidak ingin paketnya diproses oleh ULP dengan itu mereka memecah
paket sehingga menjadi bernilai dibawah Rp 200 juta. Dengan demikian, lelang dapat
dikelola langsung oleh pemohon paket secara manual dikarenakan nilai paket masih
dibawah Rp 200 juta (Interview dengan Sortawati Tarigan, Wakil Kepala ULP dan Pokja
Kabupaten Serdang Bedagai, 30 Mei 2014; Kawaruddin, Sekretaris ULP Kota Binjai, 12
Mei 2014).
Proses hibrid yang didasarkan pada nilai paket ini membatasi dalam
penyelenggaraan e-procurement. Untuk mewujudkan tranparansi yang menyeluruh maka
seharusnya pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik dilakukan oleh seluruh
instansi pemerintah daerah sebagaimana dinyatakan oleh seorang partisipan penelitian:

67
“Kita mengharapkan kegiatan pemerintah diseluruh lapisan benar-benar
transparan. Sementara kegiatan pemerintah yang dibawah Rp 200 juta tidak
terbuka. Kegiatan pengadaan yang dikerjakan oleh pemerintah dibawah Rp 200
juta mungkin lebih banyak jumlahnya daripada yang diatas 200 juta. Namun
dengan sistem ini kita hanya bisa melihat transparan sebagian kecil saja dari
jumlah pengadaan barang dan jasa pemerintah.” (Interview Sortawati Tarigan,
Wakil Kepala ULP dan Pokja Kabupaten Serdang Bedagai, 30 Mei 2014).

Ketiadaan software yang seharusnya disediakan oleh LKPP untuk menangani


lelang secara elektronik dengan nilai dibawah Rp 50 juta untuk jasa konsultan dan Rp 200
juta untuk barang dan fisik merupakan alasan untuk tetap berlangsungnya pengadaan
barang dan jasa pemerintah secara langsung dan manual (Interview Sihol Marito Simbolon,
Bagian Administrasi LPSE Kabupaten Serdang Bedagai, 31 Mei 2014). Pemerintah
Kabupaten Serdang Bedagai sangat mengharapkan adanya software untuk seluruh
pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik karena dianggap lebih transparan.
Dalam proses pedaftaran, penawaran dan evaluasi penyedia dilakukan secara
manual. Procurement yang bersifat parsial ini disebabkan oleh keterbatasan perangkat
untuk melakukan e-procurement yang masih belum memadai dalam arti belum memiliki
situs tersendiri sehingga pada saat itu Pemerintah Daerah Serdang Bedagai menumpang
atau masih menggunakan fasilitas yang tersedia di LPSE Propinsi Sumatera Utara dalam
melakukan pelayanan procument yang masih parsial. (Interview dengan Sihol Marito,
Bagian Administrasi LPSE Kabupaten Serdang Bedagai, 31 Mei 2014). Dengan demikian,
walaupun e-procurement di Kabupaten Serdang Bedagai sudah dilakukan sejak tahun 2012
namun dapat dikatakan sebagai semi e-procurement. Dengan menggunakan proses hybrid
ini, selama tahun 2014 ULP Kabupaten Serdang Bedagai telah menangani 6 paket
konsultan dan 3 paket barang.
Salah satu tujuan e-procurement adalah untuk mengurangi intensitas pertemuan
langsung antara penyelenggara dan penyedia. Penggunaan teknologi dalam e-procurement
merubah cara berinteraksi dimana frekuensi komunikasi melalui sistem e-procurement
meningkat sedangkan frekuensi tatap muka menjadi jauh berkurang. Impersonalitas dan
diskriminasi yang sering terjadi dalam interaksi langsung dalam pengadaan barang dan jasa
dapat dihindari oleh karena informasi, penetapan dan proses pengadaan barang telah dapat
diakses secara langsung melalui website (on-line) tanpa perlu bertemu langsung dengan
penyelenggara pengadaan barang dan jasa. Namun dalam implementasi e-procurement di
ketiga lokasi penelitian masih terjadi interaksi langsung antara penyedia dengan
penyelenggara e-procurement khususnya dalam proses lelang yaitu pada saat pembuktian

68
kualifikasi dimana panitia penyelenggara ternyata masih tetap bertemu secara langsung
dengan penyedia.
Walaupun disebutkan bahwa sejak 2013 dengan adanya perbaikan dan
peningkatan dalam ketersediaan infrastruktur yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten
Serdang Bedagai dalam melakukan e-procurement, ternyata masih ada ruang untuk
pertemuan atau interaksi langsung antara penyedia dengan petugas yang berkaitan dengan
pelayanan e-procurement. Interaksi langsung yang tidak bisa dilihat oleh publik: penyedia
datang ke LPSE untuk pengesahan password, verifikator LPSE bertemu dengan rekanan
untuk pembuktian dokumen.
Hibriditas sistem juga didapati untuk pengesahan account facebook (User ID)
provider. Walaupun untuk mendapatkan user ID penyedia cukup mendaftar lewat website
LPSE, namun penyedia perlu datang ke Kantor LPSE untuk mensahkan account agar
terhubung kesemua LPSE di Indonesia.
Observasi website LPSE Kabupaten Serdang Bedagai menunjukkan bahwa tanya
jawab tidak berlangsung dengan baik. Banyak pertanyaan yang dijawab dengan saran agar
datang dan bertanya langsung ke LPSE sebagai contoh yang terdapat dalam situs LPSE
dibawah ini:
“Untuk mendaftar, ada 2 tahap yang perlu dilakukan. Yang pertama
mendaftar secara online, dan selanjutnya bapak datang ke LPSE dengan
membawa 2 formulir yang telah di download saat mendaftar, serta berkas-berkas
pelengkap yang asli dan fotocopy untuk melakukan verifikasi”.

Dokumen petunjuk pengoperasian aplikasi Layanan Pengadaan Secara Elektronik


untuk penyedia sebenarnya telah diterbitkan oleh LKPP. Namun penelusuran situs LPSE di
ke tiga lokasi penelitian menunjukkan masih banyak penyedia yang bertanya mengenai
teknis e-procurement (login, password, user ID, aktivasi) dan pada umumnya
jawaban/saran LPSE adalah dengan menyarankan penyedia untuk datang langsung ke
LPSE.
Sistem hibrid ini juga digunakan sebagai strategi dalam menanggulangi
keterbatasan infrastruktur teknologi dan SDM. Keterbatasan pemahaman penyedia
mengenai sistem dan teknologi yang digunakan dalam e-procurement sehingga perlu
dibimbing/dibantu oleh petugas e-procurement agar dapat berpartisipasi secara efektif
dalam e-procurement. Observasi dan analisis terhadap komunikasi antara penyelenggara
dan penyedia dalam kolom tanya jawab menunjukkan kebingungan dan kurangnya
pemahaman penyedia mengenai akses untuk mengunggah dokumen dan juga bagaimana

69
mendapatkan dan menggunakan password yang sangat penting untuk dapat menunggah
dan melakukan pendaftaran yang berkaitan dengan pelelangan barang dan jasa secara
elektronik. Dalam hal ini, pertemuan langsung antara penyelenggara dan penyedia sangat
penting dalam proses e-procurement sebagaimana dinyatakan oleh seorang staf LPSE
Kabupaten Serdang Bedagai:
“Verifikator di LPSE Kabupaten Serdang Bedagai harus bertemu dengan
rekanan dengan demikian setiap masalah yang dihadapi oleh rekanan bisa lebih
cepat selesai dan rekanan bisa langsung tau apa kesalahannya saat terjadi
gangguan akses ke LPSE. Dan walaupun ada pertemuan antara verifikator dengan
rekanan itu tidak mempengaruhi transparansi LPSE sebagai fasilitator. LPSE juga
membuat rekanan mengerti akan pengadaan barang dan jasa.” (Sihol Marito
Simbolon, Bagian Administrasi LPSE Kabupaten Serdang Bedagai, 31 Mei 2014).

Keterbatasan infrastruktur juga mengakibatkan interaksi langsung antara


penyelenggara dan penyedia menjadi strategi dan pilihan yang rasional dalam
mengimplementasikan e-procurement. Terkadang para penyedia yang bermasalah dalam
hal sinyal internet juga sering datang ke LPSE untuk membantu penyedia dalam
pengiriman data yang diperlukan sehubungan dengan tender yang ditawarkan pada situs.
LPSE menyediakan bidding room dimana penyedia dapat menggunakan layanan internet
lebih cepat karena langsung terhubung dengan LPSE diseluruh Indonesia. Mengingat
betapa pentingnya monitoring dalam pelelangan tersebut, demi kelancaran server maka
LPSE Kabupaten Serdang Bedagai menyediakan genset yang punya kapasitas cepat dan
otomatis agar internet dapat selalu berjalan dan server tidak mati. Pelayanan ini ditujukan
agar tidak ada alasan lagi bagi penyedia untuk tidak bisa mengakses, mengunggah, atau
mendaftar ke server seperti yang berlangsung sebelumnya (Interview dengan Cipta Depari,
Kepala ULP Kota Binjai, 8 Mei 2014).
Pertemuan langsung juga terjadi antara ULP dengan penyedia. Penyedia masih
sering datang ke ULP bertanya langsung tentang pengadaan yang sedang dikerjakan oleh
pemerintah. Alasan penyedia untuk datang langsung ke ULP berkaitan dengan kurangnya
pemahaman penyedia atas pelelangan dengan cara elektronik. Selain keterbatasan SDM
penyedia dalam menggunakan e-procurement, kebiasaan para penyedia lama yang selalu
datang dan berusaha mencari peluang untuk melobi tender merupakan alasan lain yang
mengakibatkan terjadinya pertemuan langsung antara penyedia dan penyelenggara
pelelangan secara elektronik (Interview dengan Fadli, Wakil Kepala ULP Kota Medan, 19
Mei 2014). Pada tahap pembuktian kualifikasi, penyedia yang lulus proses evaluasi
diwajibkan datang langsung ke ULP untuk membuktikan keaslian dokumen yang telah

70
diunggah dengan membawa seluruh dokumen asli yang sebelumnya telah di unggah oleh
penyedia dalam bentuk scan softcopy (Interview dengan Fadli, Wakil Kepala ULP Kota
Medan, 19 Mei 2014; Hendra Sihotang, Pokja Kota Binjai, 13 Mei 2014).
Pendekatan yang digunakan dalam pengaplikasian e-government berbeda baik di
negara-negara industri maupun berkembang. Di negara-negara industri penggunaan e-
government dilakukan secara self-service melalui internet, sementara di negara-negara
berkembang dilakukan dengan sekaligus menggunakan gabungan dari beberapa proses
yang dilakukan secara otomatik dan manual (The World Bank. 2004). Prinsip dalam
menerapkan e-procurement di negara yang sedang berkembang dan kurang maju
memerlukan pertimbangan untuk menggunakan pendekatan hybrid yaitu menggabungkan
pendekatan on-line dan off-line (Kelman 1990). Implementasi e-procurement dengan
model hibrid yang menggabungkan manual dan on line dan ditandai masih adanya ruang
untuk interaksi langsung antara penyedia dengan penyelenggara dianggap relevan dan
merupakan pilihan model yang strategis untuk diterapkan di ketiga lokasi penelitian.
Dengan menggunakan sistem hibrid dalam proses e-procurement, hingga tanggal
1 Agustus 2014, Kota Medan telah menyelenggarakan pelelangan terhadap 1246 paket.
Secara tertutup tanpa sepengetahuan pihak ULP Kota Medan, KPK telah melakukan
pemeriksaan dan penilaian pada tahun 2013. Berdasarkan surat yang ULP terima sebagai
laporan atas penilaian tersebut, KPK memberikan nilai 7,15. Nilai tersebut diterangkan
sudah berada di atas nilai rata-rata nasional. Jadi berdasarkan nilai tersebut dapat diberikan
gambaran bahwa di ULP Kota Medan tidak ada „permainan‟ (Interview dengan Fadli,
Wakil Kepala ULP Kota Medan, 19 Mei 2014). Implementasi proses lelang telah
dilakukan sesuai dengan ketetapan LKPP yang seharusnya dimana penyedia yang
memenuhi syarat yang ada dalam semua proses evaluasilah yang ditetapkan menjadi
pemenang lelang. Partisipan penelitian menunjuk pada hasil proses lelang pada Dinas
Pendidikan pada bulan April 2014, dimana yang menjadi pemenang lelang adalah penyedia
yang berasal dari Semarang. Prinsip integrasi tercermin dari tawaran lelang yang dapat
diakses oleh penyedia dari seluruh daerah di Indonesia dan terpilihnya pemenang tidak
ditentukan oleh asal daerah penyedia melainkan didasarkan pada keberhasilan penyedia
dalam memenuhi seluruh kriteria yang diwajibkan.

5.6 Transparansi dalam Implementasi e-Procurement


Transparansi merupakan prinsip penting dalam penyelenggaraan pelayanan
publik. Dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)

71
siapa saja yang menjalankan tugas dan fungsi dengan dana yang bersumber dari
APBN/APBD dan sumbangan dana publik diwajibkan untuk menyampaikan informasi
secara terbuka kepada masyarakat kecuali informasi yang dikecualikan seperti misalnya
informasi strategi dan rahasia bisnis yang menjadi hak perusahaan, informasi rahasia
negara, informasi intelijen, dan informasi yang bersifat pribadi. Hal ini berarti setiap
informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik.
Transparansi berkaitan dengan hak sebagai warganegara.
“At an early stage, e-GP can provide access to a whole range of public
procurement information at low cost and independently of time and location.
Governments achieve a high level of transparency if they use the Internet for the
free disclosure and distribution of public procurement information. Such
information typically include the relevant legislation, policies and guidelines,
procurement plans and notices, bidding documents, minutes of procurement
activities, and contract award results. In reducing the asymmetry of public
procurement information, e-GP contributes to increasing the competition in terms
of quantity (participation) and quality (openness and fairness)” (World Bank,
2014).

Pengadaan barang dan jasa pemerintah secara konvensional tidak memberi


informasi tentang seluruh penyedia potensial kepada unit pengadaan. Campbel (2003)
menyatakan penyebab utama dari ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah
adalah ketidaktersediaan dokumentasi fakutal mengenai pemerintah dan transparansi
proses kinerja pemerintah. Dengan demikian laporan mengenai kinerja pemerintah sangat
penting untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. E-procurement
dapat mengatasi kelemahan khususnya dalam hal transparansi dalam pengadaan barang
dan jasa pemerintah yang dilakukan secara konvensional. Sebagaimana yang ditegaskan
oleh World Bank (2006):
“Breaking down the physical barriers of space and time, e-GP allows a
more transparent and efficient information flow as well as improved access to
information and services. Beneficiaries include not only governments and
suppliers but also the public at large in having access to transparent information
on the public expenditure of taxpayers‟ money”.

E-procurement merupakan penterjemahan dan strategi e-government yang sering


dikonotasikan dengan terwujudnya good governance yang dapat mencegah terjadinya
korupsi, meningkatkan transparansi, harga yang kompetitif hingga perluasan partisipasi
masyarakat dalam pemerintahan (Lips dkk 2005; Affisco and Soliman (2006). Melalui
pelaksanaan e-procurement pemerintah menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan
oleh kalangan pebisnis untuk bertransaksi dengan pemerintah.

72
Di Indonesia e-procurement ditujukan untuk meningkatkan transparansi,
akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi merupakan strategi dalam mewujudkan good
governance. Dalam Keppres No.80/2003 jelas dinyatakan bahwa yang menjadi sasaran
diterapkannya e-procurement adalah untuk terwujudnya proses pengadaan barang yang
transparan, kompetitif, efektif, efisien, adil, tidak diskriminatif dan akuntabel. Pelaksanaan
e-procurement ini berhasil menghemat anggaran, mengurangi tingkat kebocoran dan
menjamin keterbukaan (LKPP). E-procurement bukanlah sekedar alat bantu, melainkan
memiliki peran strategis dalam mewujudkan reformasi birokrasi. Implementasi e-
procurement di Departemen Keuangan pada tahun 2009 telah memberikan kontribusi
penghematan anggaran sampai 18.4 persen (LKPP 2009: 30).
Partnership for Democratic Local Governance in Southeast Asia (DELGOSEA)
sejak tahun 2003 mengidentifikasi best practices dalam pelayanan publik menempatkan
sistem implementasi e-procurement di Kota Surabaya sebagai best practice yang inovatif
yang bertujuan untuk meningkatkan efektifitas, efisiensi dan transparansi proses pengadaan
barang dan jasa (DELGOSEA, 2014). Didasarkan pada Keputusan Presiden No.80/2003,
Pemerintah Kota Surabaya telah mengadopsi e-procurement dan hal ini berhasil
menghemat 20-30% dari anggaran untuk pelayanan publik dan pekerjaan umum, serta
meningkatkan efisiensi pelayanan publik.
E-procurement juga meningkatkan efisiensi dalam proses pengadaan barang dan
jasa pemerintah di ketiga lokasi penelitian. Sistem on-line dan penggunaan teknologi
dalam proses e-procurement lebih hemat karena tidak memerlukan banyak kertas, cukup
dengan data yang dapat disimpan dikomputer. E-procurement meminimalisir interaksi
diantara pihak penyelenggara dan penyedia sehingga tidak memerlukan biaya pertemuan
seperti biaya untuk makan, minum dan lain-lain. Tidak seperti sistem terdahulu, dimana
pengadaan barang dan jasa pemerintah diiklankan melalui surat kabar yang harus dibayar,
sementara sistem e-procurement memanfaatkan situs internet sehingga tidak memerlukan
biaya iklan (Interview dengan Nizwansyah, Kepala LPSE Kota Binjai, 7 Mei 2014; Cipta
Depari, Kepala ULP Kota Binjai, 8 Mei 2014; Fadli, Wakil Kepala ULP Kota Medan, 19
Mei 2014).
Transparansi merupakan tujuan dan manfaat utama dari e-procurement yang
disebutkan oleh partisipan dalam penelitian di ketiga lokasi penelitian di Provinsi Sumatera
Utara. Alasan pemerintah yang dinyatakan oleh partisipan penelitian mengapa
meninggalkan tender secara manual dan mengganti menggunakan sistem elektronik adalah
merupakan usaha untuk mewujudkan transparansi, adil, akuntabel di pemerintahan

73
khususnya dalam pengadaan barang dan jasa. Dalam pengadaan barang dan jasa
pemerintah secara elektronik, kontak antara penyedia dan panitia dikurangi sehingga tidak
ada lagi kolusi yang pada dasarnya dapat menghalangi terwujudnya tranparansi, akuntabel
dan keadilan. E-procurement dipandang jauh lebih transparan daripada proses sebelumnya
yang manual. Dalam proses e-procurement hampir tidak ada tatap muka antara LPSE
dengan penyedia, semua dilakukan secara online. Ketika ada masalah dan penyedia harus
datang ke LPSE, mereka hanya bisa bertemu dan dilayani oleh helpdesk (Interview dengan
Fadli, Wakil Kepala ULP Kota Medan, 19 Mei 2014). Selain itu, paket yang dikerjakan
tidak disembunyikan dalam artian tidak semua orang dapat melihat, namun sebaliknya
seluruh publik dapat melihat paket yang ditawarkan (Interview dengan Nizwansyah,
Kepala LPSE Kota Binjai; Kawaruddin, Sekretaris ULP Kota Binjai; Donny Siahaan,
Pokja ULP Kabupaten Serdang Bedagai, 10 Juni 2014).
Transparan berarti publik mengetahui apa yang telah, sedang dan akan dilakukan
oleh LPSE dan ULP dalam menyelenggarakan pengadaan barang dan jasa pemerintah
secara elektronik. Lebih jauh partisipan menjelaskan bahwa Rencana Umum Pengadaan
(RUP) sekarang tidak seperti RUP dahulu, oleh karena Sistem Informasi Rencana Umum
Pengadaan (SiRUP) sekarang sudah terintegrasi secara online dengan pengadaan atau
lelang. Paket yang dilelangkan hanya yang terdapat dalam SiRUP, karena kode lelang itu
ada setelah RUP ditampilkan. Melalui e-procurement masyarakat lebih tahu dengan apa
yang dilakukan atau dikerjakan oleh masing-masing SKPD dalam pemerintahan. Untuk
mendukung kinerja pemerintah daerah dalam mewujudkan transparansi dalam pelayanan
publik melalui e-procurement, LPSE telah mengadakan pelatihan kepada SKPD
bagaimana cara menampilkan RUP dalam SiRUP (Interview dengan Fadli, Wakil Kepala
ULP Kota Medan, 19 Mei 2014).
Pengertian transparansi dalam e-procurement berkaitan erat dan sangat
menentukan kualitas akuntabilitas penyelenggaraan e-procurement. Menurut partisipan
penelitian di ke tiga lokasi penelitian, transparansi tidak cukup hanya dengan ketersediaan
data yang dapat diakses oleh publik tetapi juga mencakup keterwujudan akuntabilitas
dalam proses dan anggaran (Interview dengan Nizwansyah, Kepala LPSE Kota Binjai, 7
Mei 2014; Cipta Depari, Kepala ULP Kota Binjai, 8 Mei 2014; Fadli, Wakil Kepala ULP
Kota Medan, 19 Mei 2014; Sortawati Tarigan, Wakil Kepala ULP dan Pokja Kabupaten
Serdang Bedagai, 30 Mei 2014). E-procurement dibuat untuk transparansi yaitu
menghindari oknum yang tidak bertanggung jawab oleh karena seluruh data yang berkaitan
dengan e-procurement dapat diakses publik, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam arti

74
data yang tersedia di situs dapat dijamin kebenarannya sehingga tidak perlu takut untuk di
tayangkan kepada publik. Keterkaitan yang erat antara transparansi dan akuntabilitas
dinyatakan oleh seorang partisipan penelitian mendefenisikan transparansi:
“Transparansi pertama semua kegiatan SKPD diketahui masyarakat, kedua
dapat diakses oleh publik data dapat dipertanggung jawabkan, ketiga dihubungkan
dengan e-procurement perhitungan yang real antara rencana dan penggunaan
APBD artinya setiap detil jumlah dan penggunaan anggaran yang telah ditetapkan
bisa dibandingkan dengan dampak yang terjadi oleh setiap orang.” (Interview
Sihol Marito Simbolon, Bagian Administrasi LPSE Kabupaten Serdang Bedagai,
31 Mei 2014).

Transparansi yang diwujudkan dalam pelaksanaan e-procurement perlu dibedakan


berdasarkan kategori yang menentukan substansi dari transparansi e-procurement.
Pengkategorian e-transparansi yang dibuat oleh Heald (dalam Bannister & Connoly,
2011)46 relevan untuk digunakan dalam pembahasan dan analisis mengenai transparansi
yang faktual terwujud dalam pelaksanaan e-procurement di Provinsi Sumatera Utara.
Heald mengkategorikan e-transparansi dalam transparansi data, transparansi proses dan
transparansi keputusan/kebijakan. Transparansi data berkaitan dengan angka dan fakta-
fakta pemerintah. Masalah utama dalam transparansi data adalah biaya penyediaan
(memproses data hingga mudah diakses dan dipahami masyarakat); misinterpretasi
data/informasi; resiko terhadap masyarakat/anonimitas. Transparansi proses merupakan
ketersediaan informasi berbagai proses pemerintahan, mulai dari pembuatan keputusan
hingga produk keputusan. Transparansi ini menjadikan seluruh tahapan dalam proses jelas,
menunjukkan dimana proses suatu transaksi tertentu dapat ditemukan dan menjelaskan
mengapa langkah-langkah tertentu harus dilaksanakan. Transparansi keputusan/kebijakan
menjelaskan alasan (rasionalitas) dari keputusan-keputusan, dan/atau tindakan-tindakan
dan kebijakan pemerintah.
Berdasarkan observasi atas situs/web LPSE dan ULP diketiga lokasi penelitian
secara umum dapat dikatakan bahwa jika dilihat dari ketersediaan data maka pelaksanaan
e-procurement dapat dikatakan sudah transparan. Informasi lelang telah dilakukan secara
transparan dimana jenis/paket lelang, tahapan, agensi, nilai pagu, nilai HPS, syarat
kualifikasi dan info detil tentang seluruh peserta lelang telah dicantumkan dalam web
sebagaimana contoh pada LPSE Kota Medan dibawah ini:
46
Bannister, Frank and Connolly, Regina. 2011. "The Trouble with Transparency: A Critical Review of
Openness in e-Government," Policy & Internet: Vol. 3: Iss. 1, Article 8. Policy Studies Organization.
http://www.psocommons.org/ policyandinternet / vol3 / iss1/art8

75
Informasi Lelang
Kode Lelang 1308

Keterangan Pengadaan Komputer dan Perlengkapannya

Tahap Lelang Saat ini Lelang sudah selesai

Agency PEMKO MEDAN

Satuan Kerja SEKRETARIAT DPRD KOTA MEDAN

Kategori Pengadaan Barang

Metode Pengadaan e-Lelang Umum Metode Kualifikasi Pascakualifikasi

Metode Dokumen Satu File Metode Evaluasi Sistem Gugur

Anggaran 2012 – APBD

Nilai Pagu Paket Rp 1.087.000.000,00 Nilai HPS Paket Rp 1.006.170.000,00

Jenis Kontrak Cara Pembayaran Lump Sum

Pembebanan Tahun Anggaran Tahun Tunggalnilai pagu

Sumber Pendanaan Pengadaan Tunggal

Kualifikasi Usaha Perusahaan Kecil

Kota Medan
Lokasi Pekerjaan
Kota Medan

* Ijin Usaha
Ijin Usaha Klasifikasi
SIUP Perusahaan yang memiliki usaha di Bidang
Komputer yang masih berlaku.
TDP
Syarat Kualifikasi Izin Gangguan
(HO)
Akte Pendirian
Perusahaan
NPWP Perusahaan

* Telah melunasi kewajiban pajak tahun terakhir (SPT/PPh) serta

76
memiliki laporan bulanan PPh Pasal 25 atau Pasal 21/Pasal 23 atau
PPN sekurangkurangnya 3 (tiga) bulan yang lalu;
yakni Nopember 2011, Desember 2011,dan Januari 2012 dalam
tahun berjalan. Peserta dapat mengganti persyaratan ini dengan
menyampaikan Surat Keterangan Fiskal (SKF).
* Pengalaman
Berpengalaman paling sedikit 1 (satu) pekerjaan sebagai penyedia
barang dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir, kecuali
penyedia barang/jasa yang baru berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun

Peserta Lelang 76 peserta [Detil...]

Faktor transparansi data pada situs LPSE di ketiga lokasi penelitian diwujudkan
dengan pemberian informasi yang jelas mengenai tahapan, jenis perijinan, waktu
penyelesaian, dan biaya yang berkaitan dengan proses e-procurement.
Berita Acara Dokumen Pembukaan Dokumen Penawaran (BADPDP) sudah
dicantumkan dan formatnya telah mengikuti standar yang ditetapkan oleh LKPP.
Pemenang dan nilai pemenang juga diumumkan dalam situs sebagaimana contoh yang
dapat dilihat pada situs LPSE Kota Binjai dibawah ini:

Bersama ini kami umumkan Peringkat Teknis untuk Paket “Sinkronisasi RDTR (Rencana
Detail Tata Ruang) di Lima Kecamatan Kota Binjai“.
No. Nama Perusahaan Hasil Evaluasi Nilai Teknis
1. CV. NEFTA CONSULTAN Lulus 91.00
2. PT. GAMMA ARTHA PRIMA LESTARI Lulus 88.50
3. BINA MITRA ARTANAMI Gagal 0.00

Transparansi data bukan hanya mencakup ketersediaan informasi tentang e-


procurement tetapi juga harus mencakup informasi lainnya yang relevan dengan proses e-
procurement seperti peraturan, kebijakan dan pedoman yang merupakan data penting yang
memberikan kejelasan, dasar hukum dan pedoman dalam melakukan pelelangan barang
dan jasa secara elektronik. Namun informasi mengenai peraturan, kebijakan dan pedoman
yang relevan dengan e-procurement belum tercantum pada situs LPSE dan ULP
Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Binjai. Alasan utama yang diajukan mengenai tidak
dicantumkannya peraturan dan kebijakan pada situs adalah disebabkan LPSE diseluruh

77
Indonesia sudah terintegrasi sehingga publik diharapkan langsung mengakses situs LKPP
untuk mendapatkan informasi mengenai kebijakan dan peraturan nasional yang diterbitkan
oleh LKPP. Dalam hal ini e-procurement meningkatkan transparansi publik dan juga
transparansi antar lembaga pemerintah yang terkait dengan implementasi e-procurement
baik antar pemerintah daerah maupun dengan pemerintah pusat. Informasi mengenai
kebijakan, peraturan dan manual yang disediakan pada situs LKPP ini juga digunakan
sebagai pedoman oleh pemerintah daerah dalam menyusun peraturan daerah hingga SOP
(Standard Operating Procedure). Hingga saat penelitian ini dilakukan, kebijakan dan
peraturan ini belum ditayangkan dalam situs. Menurut partisipan penelitian, Bagian
Hukum Pemerintah Daerah Kota Binjai sedang mempersiapkan indeks untuk
menginventaris semua produk hukum daerah yang ada di Pemko Binjai dan akan
menayangkan dalam situs mereka.
Transparansi e-procurement yang ditandai dengan ketersediaan data tidak serta
merta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap informasi yang disediakan.
Campbel (2003) menyatakan penyebab utama dari ketidak percayaan masyaratakat
terhadap pemerintah adalah ketidaktersediaan dokumentasi faktual mengenai pemerintah
dan transparansi proses kinerja pemerintah. Dengan demikian laporan mengenai kinerja
pemerintah sangat penting untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah. Pentingnya laporan ini sudah disadari oleh penyelenggara e-procurement Kota
Medan. Semua proses pelelangan yang dilakukan di aplikasi atau sistem yang ada di LPSE
Kota Medan telah terekam dalam bentuk summary report (rekaman seluruh kegiatan yang
berlangsung selama proses lelang), yang dapat dibuka kapan saja dan oleh siapa saja
sehingga jika ada oknum yang ‟bermain‟ akan segera diketahui. Summary report tidak bisa
hilang, bahkan ketika layanan internet dimatikan sekalipun. Untuk keamanan, summary
report ini juga punya link langsung ke Badan Sandi Negara, sehingga siapa yang berani
„bermain‟ akan kelihatan dan harus menanggung resiko-resiko yang diperhadapkan
(Interview dengan Fadli, Wakil Kepala ULP Kota Medan, 19 Mei 2014).
Ketersediaan informasi dalam e-procurement belum menjamin transparansi yang
efektif bagi good governance. Selain dari ketersediaan data yang ditayangkan di website,
kejelasan mengenai data yang tersedia merupakan kriteria penting bagi terwujudnya
transparansi yang substansial dalam implementasi e-procurement. Transparansi proses
tidak terbatas pada hak dan kemampuan warganegara untuk mengakses pemerintah dan
informasi pemerintah, tetapi sebagaimana yang didefinisikan oleh United Nations Public
Administration Network (UNPAN) transparansi merupakan akses warga negara terhadap

78
informasi, memfasilitasi pemahaman warganegara terhadap proses-proses pembuatan
keputusan pemerintah (UNPAN 1999). Kejelasan informasi yang tersedia sangat mendasar
dalam mewujudkan tranparansi substansial dalam pelayanan publik.
Transparansi proses ditandai dengan akses publik terhadap alasan
dimenangkannya tender oleh peserta. Hal ini berarti seluruh peserta mengetahui harga
penawaran dari setiap peyedia dalam rangka tender pengadaan barang dan jasa yang
bersangkutan. Dalam situs Pemerintah Kota Medan telah disebutkan dengan ringkas alasan
keberhasilan dan ketidak berhasilan penyedia dalam pelelangan secara elektronik.

Hasil Evaluasi
Harga Harga
No Nama Peserta Administrasi Teknis Pemenang Alasan
Penawaran Terkoreksi

1 CV. MITRA Rp Rp
KARYA BERSAMA 953.315.000,00 953.315.000,00

2 CV. JAYA
PERKASA

3 CV. SANG SURYA Hasil


Pemindaian
(Scan) Jaminan
Penawaran
Tidak Ada.

4 CV. PONOROGO Hasil


Pemindaian
(Scan) Jaminan
Penawaran
Tidak Ada.

Aanwijzing (proses pemberian penjelasan) merupakan satu tahapan dalam


pelaksanaan e-procurement di Indonesia dimana publik/penyedia mempunyai kesempatan
untuk bertanya segala sesuatu tentang proses lelang melalui chating on-line kepada Pokja.
Dalam proses lelang, setelah pengumuman lelang di website LPSE, hari ke-tiga sampai
hari ke-empat ada penjelasan lelang serta annwijzing (pengungahan) dokumen yang
dibutuhkan untuk proses lelang. Aanwijzing dilakukan sesudah penyedia mengunduh
dokumen lelang dan sebelum mengunggah dokumen kualifikasi dan dokumen penawaran.
Jika penyedia mempunyai kesulitan atau tahapan dalam proses pelelangan yang tidak

79
dimengerti, penyedia bisa langsung menanyakan ke Pokja melalui sistem online dalam
bentuk chating. Dengan demikian tidak ada pertemuan secara langsung antara Pokja
dengan calon penyedia, semua dilakukan secara online kecuali pada pembuktian dokumen
(Interview dengan Fadli, Wakil Kepala ULP Kota Medan, 19 Mei 2014). Dalam proses ini
individu yang bertanya dan individu yang menjawab sama-sama tidak tahu atau tidak
kenal. Yang diketahui oleh masing-masing pihak adalah bahwa pihak yang bertanya adalah
penyedia dan pihak menjawab adalah Pokja.
Telusur peneliti terhadap situs ketiga lokasi penelitian menunjukkan walaupun
ada tanya jawab seputar proses pelelangan, namun dalam dokumen Anwijzing pada
umumnya menyatakan „tidak ada penjelasan karena tidak ada pertanyaan dari calon
penyedia‟ mengenai dokumen lelang. Dalam hal ini Pokja menilai bahwa semua calon
penyedia memahami isi.
Dalam berita acara pemberian penjelasan (aanwijzing) kantor pengadaan barang
pada Dinas Kebersihan Kota Medan sebanyak 6 paket pekerjaan, tidak ada penjelasan
khusus dari panitia disebabkan tidak ada satupun pertanyaan dari penyedia barang/jasa
sebagaimana hasil screen shot dibawah ini:

Transparansi merupakan alat yang sangat efektif dalam mencegah korupsi


sehingga tujuan e-procurement untuk mewujudkan keadilan, persaingan dan nilai ekonomi
dapat terealisasi (Ballarad 2011). Dengan demikian kejelasan dalam SOP dalam

80
peyelenggaraan e-procurement menjadi sangat penting. Studi yang dilakukan oleh World
Bank dan Kementrian Dalam Negeri Indonesia (dalam Nurmandi, 2014) menunjukkan
ketiadaan Standar Operating Procedure (SOP) yang memungkinkan transparansi dalam
pembuatan keputusan mengenai pemenang tender. Diantara ke tiga lokasi penelitian, hanya
Kota Medan yang telah memiliki SOP mengenai e-procurement. SOP sangat penting untuk
kejelasan prosedur bekerja yang dapat menghindarkan timbulnya kebingungan dan
misinterpretasi dalam melaksanakan kebijakan dan peraturan mengenai e-procurement.
Alasan Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Binjai belum diterjemahkannya
implementasi e-procurement dalam SOP adalah disebabkan kebijakan dan peraturan serta
manual yang telah ditetapkan oleh LKPP pada dasarnya tidak perlu lagi diterjemahkan oleh
daerah dalam bentuk SOP yang baru karena sifatnya mudah diinterpretasikan. Secara
pengelolaan, LPSE dan ULP daerah hanya mengikuti masukan yang diberikan oleh LKPP
(Interview dengan Cipta Depari, Kepala ULP Kota Binjai, 8 Mei 2014; Sortawati Tarigan,
Wakil Kepala ULP dan Pokja Kabupaten Serdang Bedagai, 30 Mei 2014).
Transparansi e-procurement menimbulkan kenyamanan dan keamanan bekerja
bagi pegawai pemerintah khususnya yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa
dibandingkan pada waktu pelelangan secara manual. Hal ini dinyatakan dengan gamblang
oleh seluruh partisipan penelitian di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang
Bedagai. Proses pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik diselenggarakan
dengan menggunakan sistem elektronik yang sudah terstandarisasi dengan mengedepankan
transparansi dan akuntabilitas. Sistem elektronik memungkinkan seluruh penyedia
berpartisipasi dan berkompetisi secara terbuka dan adil. Juga dengan sistem website
pemenang bisa dilihat apa yang menjadi alasan menang sehingga peserta yang lain tahu
berapa penawaran dari setiap perusahaan dalam rangka tender pengadaan barang dan jasa
yang bersangkutan. Sementara dengan cara manual tidak bisa diketahui karena
pengumuman di kantor pemerintah dan pengumuman sering langsung dicopot (Interview
dengan Dian M. Manurung, S.Si, Staf Helpdesk Kota Medan, 17 Mei 2014).
Keterbukaan data yang berkaitan dengan proses e-procurement dan kerahasiaan
identitas penyelenggara lelang meminimalisir intimidasi dan teror yang sering dialami oleh
penyelenggara e-procurement, khususnya Pokja di ke tiga lokasi penelitian pada waktu
pengadaan barang dan jasa masih dilakukan secara manual. Dalam sistem e-procurement
panitia penyelenggara tidak mengenal penyedia yang masuk dalam mengikuti tender lelang
karena diseleksi oleh LPSE. Sementara penyedia tidak kenal siapa yang menjadi panitia
pengadaan barang. Untuk penyedia identitasnya tidak akan diketahui oleh Pokja sebelum

81
pemenang lelang ditetapkan, nama yang ada adalah penyedia-1, penyedia-2, penyedia-3
dan seterusnya, dimana dalam sebuah paket lelang bisa sampai 50-an penyedia.
Sebelum e-procurement dilaksanakan di Provinsi Sumatera Utara, penyelenggara
pelelangan barang dan jasa pemerintah sering terancam dan merasa takut pada saat
melakukan tugas mereka. Salah seorang partisipan penelitian mengatakan:
“Kalau dulu saat lelang secara manual seleksi bisa dilakukan oleh sesama
penyedia lewat kekuatan decking dan premanisme. Dimana pada saat lelang di
hari H preman perusahaan tertentu berdiri didepan pintu untuk mengintimidasi
peserta yang mencoba ikut tender. Bagi perusahaan yang takut dan tidak punya
becking dan preman yang kuat akan mundur dengan sendirinya” (Interview
Donny Siahaan, Pokja ULP Kabupaten Serdang Bedagai, 10 Juni 2014).

Sistem e-procurement menghindarkan bukan hanya intimidasi yang berasal dari


penyedia tetapi juga dari internal penyelenggara pelelangan. Dalam sistem pelelangan
barang dan jasa pemerintah secara manual Pokja diangkat oleh SKPD sebagai pengguna
anggaran. Hal ini berarti pertanggungjawaban Pokja adalah kepada pejabat SKPD terkait.
Dengan cara seperti ini proyek dapat diarahkan oleh pejabat pengguna anggaran karena
kurang bisa diakses oleh masyarakat secara umum dan juga karena prosesnya didasarkan
pada kriteria yang ditentukan oleh SKPD terkait (Interview dengan Cipta Depari, Kepala
ULP Kota Binjai, 8 Mei 2014; Interview Fadli, Wakil Kepala ULP Kota Medan, 19 Mei
2014).
Transparansi dalam pelaksanaan e-procurement juga meningkatkan rasa percaya
diri penyelenggara untuk menetapkan pemenang secara objektif berdasarkan kriteria yang
telah ditetapkan sekaligus menurunkan jumlah sanggahan terhadap pelelangan yang
dilakukan.
“Kalau manual dulu itukan pake surat dan harus di datangi, kalau sekarang
tidak ada lagi. Tidak ada lagi yang berani menyanggah kalau sudah kalah, kami
malah ingin ada yang menyanggah, kalau dia kalah dia harus menjamin 1 persen,
itukan ada sanggah banding kalau dia kalah dia harus bayar yang 1 persen dan
uangnya itu menjadi milik Pemko, bertambahlah uang Pemko, tapi sampai saat ini
belum berani karena memang sampai saat ini kita prosesnya jujur, kalau menang-
menang kalau kalah iya kalah” (Interview dengan Fadli, Wakil Kepala ULP Kota
Medan, 19 Mei 2014).

82
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6. 1 Kesimpulan
6.1.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan e-Procurement di
Provinsi Sumatera Utara
Implementasi kebijakan merupakan salah satu tahapan yang penting dalam proses
kebijakan publik yang dilakukan setelah sebuah kebijakan dirumuskan. Setelah
diimplementasikan tahapan berikutnya adalah konsekuensi kebijakan bagi masyarakat
yang dipengaruhinya. Dengan demikian, implementasi sebuah kebijakan tidak mudah,
karena kemungkinan munculnya masalah di masyarakat ketika diimplementasikan yang
tidak dijumpai dalam konsep. Berkaitan dengan hal ini, model kebijakan dapat membantu
menjelaskan suatu kebijakan mengapa berhasil atau tidak ketika diimplementasikan.
Pada dasarnya ada banyak faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan e-
procurement. Namun dari hasil penelitian di tiga lokasi penelitian (Kota Medan, Kota
Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai) ada tiga faktor yang paling dominan
mempengaruhi pelaksanaan e-procurement yakni landasan hukum, infrastruktur serta
sumber daya manusia. Model kebijakan e-procurement yang terdiri dari tiga faktor tersebut
bekerja secara simultan serta berinteraksi satu sama lain mempengaruhi implementasi
kebijakan e-procurement. Hal ini karena implementasi kebijakan e-procurement
merupakan suatu proses yang dinamis yang mencakup semua interaksi dari ketiga faktor
tersebut. Dengan demikian tidak ada faktor atau variabel tunggal dalam proses
implementasi e-procurement di Provinsi Sumatera Utara, sehingga perlu dijelaskan ketiga
faktor tersebut serta keterkaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya yang
mempengaruhi proses implementasi kebijakan e-procurement.
Faktor pertama, landasan hukum yang menyangkut regulasi dan kelembagaan
pelaksanaan e-procurement. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pasal 1 ayat (8), institusi yang terkait dengan
pengadaan barang/jasa adalah Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang bersifat permanen,
dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada. Selanjut di pasal 14 ayat (1)
dikatakan bahwa “K/L/D/I diwajibkan mempunyai Unit Pelayanan Pengadaan (ULP) yang
dapat memberikan pelayanan/pembinaan di bidang pengadaan barang/jasa”. Dengan
demikian pentingnya ULP tidak dapat dihindari sebagai organisasi pengadaaan barang dan
jasa di setiap K/L/D/I sebagai pengganti fungsi dari Panitia Pengadaan.

83
Seperti dikatakan dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 pasal 1 ayat (8) di atas, ULP
bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada. Berdiri
sendiri maksudnya adalah ULP dibentuk dalam unit struktural tersendiri yang
pembentukannya berpedoman kepada Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah. Sementara ULP yang melekat pada unit yang sudah ada,
diintegrasikan pada unit struktural yang secara fungsional melaksanakan tugas dan fungsi
di bidang pengadaan barang/jasa. Perangkat ULP itu sendiri ditetapkan sesuai kebutuhan,
setidak-tidaknya terdiri atas: kepala, sekretariat, staf pendukung dan kelompok kerja.
Berbeda dengan Panitia Pengadaan yang sifatnya ad hoc, ULP merupakan
organisasi permanen (dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada) yang
fokusnya pada masalah pengadaan barang dan jasa. Namun ada perbedaan ketika ULP
melekat pada unit yang sudah ada, seperti yang terjadi di Kota Medan, Kota Binjai dan
Kabupaten Serdang Bedagai yakni pada Bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat
Daerah. Disini ULP yang terdiri dari beberapa Kelompok Kerja (Pokja) secara struktural
pegawainya masih merupakan bagian dari institusi (SKPD) asalnya. Hal ini mengakibatkan
pegawai tersebut memiliki tugas, pokok dan fungsi (tupoksi) yang rangkap yaitu sebagai
pegawai dari institusi asalnya dan pegawai ULP. Artinya penugasan pegawai tersebut di
ULP tidak otomatis menghilangkan tanggungjawabnya sebagai pegawai dari institusi
asalnya. Selain itu masih menyatunya ULP dengan unit lainnya kemungkinan besar dapat
diintervensi oleh institusi asalnya. Penyebabnya adalah pegawai ULP secara struktural
masih tunduk pada atasannya yakni pimpinan dari institusi asalnya. Dengan demikian
kepentingan institusi darimana pegawai tersebut berasal sangat mudah masuk kedalam
ULP. Sementara bila ULP dibentuk menjadi unit yang berdiri sendiri, hal yang
dikemukakan di atas dapat dihindari. ULP menjadi sebuah organisasi yang mandiri dimana
para pegawainya memiliki kompetensi tinggi di bidang pengadaan barang/jasa dan
memiliki tupoksi sendiri serta fokus hanya melayani pelaksanaan pengadaan barang/jasa
tanpa dipengaruhi dari pihak atau institusi lain. Dengan demikian, anggota Pokja ULP
hanya tunduk atau terikat pada ketua atau struktur organisasi ULP, tidak terikat dengan
atasan dari institusi lain.
Di tiga lokasi penelitian, ULP sudah dibentuk meskipun masih menyatu dengan
Bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah. Ini disebabkan karena Bagian
Administrasi Pembangunan memiliki pengalaman, kompetensi dan relevansi tupoksi
dengan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. Di Kota Medan ULP dibentuk pada tahun
2011, sementara di Kota Binjai dibentuk pada tahun 2013 dan di Kabupaten Serdang

84
Bedagai ULP dibentuk pada tahun 2011. Jadi kalau merujuk pada Perpres No. 54 Tahun
2010 pasal 130 ayat (1) yang mengatakan bahwa Unit Layanan Pengadaan (ULP) wajib
dibentuk paling lambat pada tahun anggaran 2014, maka ditiga lokasi penelitian hal ini
telah terpenuhi bahkan lebih awal dari ketentuan yang ada. Ini juga membuktikan
komitmen Pemkot Medan, Pemkot Binjai dan Pemkab Serdang Berdagai terhadap
pengadaan barang/jasa yang dilakukan secara akuntabel, kompetitif, efisien dan transparan.
Selain juga menciptakan persaingan usaha yang sehat dan meyediakan informasi yang
benar bagi masyarakat.
Selain ULP, Lembaga Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) juga sebagai
organisasi penting bila dikaitkan dengan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Menurut Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 pasal 1 ayat (38), LPSE adalah “unit kerja
K/L/D/I yang dibentuk untuk menyelenggarakan sistem pelayanan pengadaan barang/jasa
secara elektronik”. LPSE ini dalam mengimplementasikan kebijakan e-procurement
menggunakan aplikasi yang disebut dengant Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE)
yang dikembangkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
LPSE selain sebagai unit kerja yang menyelenggarakan sistem pelayanan pengadaan
barang/jasa secara elektronik juga berfungsi untuk memfasilitasi ULP/Pejabat Pengadaan
dalam melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Jadi LPSE berperan sebagai
“warung internet” yang menyediakan softwere/sistem (SPSE) dan menjadi perantara
pertemuan antara Pokja ULP dan penyedia. LPSE juga berperan dalam peningkatan
kapasitas sumber daya manusia dengan menyediakan pendidikan dan pelatihan serta
bantuan teknis dalam mengoperasikan sistem e-procurement bagi Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK)/panitita dan penyedia yang terlibat dalam kegiatan e-procurement.
Melihat peran dan fungsinya tersebut di atas, LPSE dapat dikatakan sebagai
tempat atau wadah mempersiapkan segala sesuatu berkaitan dengan pelaksanaan
pengadaan barang/jasa secara elektronik di setiap K/L/D/I. Di tiga lokasi penelitian LPSE
sudah terbentuk dan ini menunjukkan adanya semangat untuk melakukan reformasi
pengadaan dari yang sifatnya konvesional ke elektronik di Kota Medan, Kota Binjai dan
Kabupaten Serdang Bedagai. Bahkan ditiga lokasi penelitian, ketika LPSE belum
terbentuk, sudah dibentuk tim/agensi yang fungsinya untuk melakukan e-procurement
meski pelaksanaannya masih menumpang pada server LPSE Pemerintah Provinsi
Sumatera Utara. Hal ini sesuai dengan ketentuan Perpres No.54 Tahun 2010 bahwa apabila
fasilitas LPSE terkait belum memadai atau mengalami gangguan dapat memakai atau
menumpang pada LPSE terdekat.

85
Meskipun berdasarkan peraturan ULP dan LPSE sudah memiliki wewenang yang
cukup besar dan sudah terbentuk di tiga lokasi penelitian, namun kebijakan e-procurement
belum berjalan efektif. Peraturan yang tidak dijalankan dengan konsisten dan selalu
berganti-ganti, kurangnya komitmen dari institusi (Satuan Kerja Perangkat Daerah atau
SKPD) sebagai pengusul paket pengadaan lelang dan resistensi terhadap kebijakan e-
procurement dengan strategi memecah paket barang dan jasa membuat proses pengadaan
barang dan jasa tidak berjalan mulus.
Berdasarkan peraturan yang ada, SKPD mengusulkan paket pengadaan lelang
barang dan jasa ke ULP dengan cara memasukkan Rencana Umum Pengadaan (RUP). Hal
ini sesuai dengan Perpres No.70 Tahun 2012 pasal 112 ayat (2) “K/L/D/I wajib
menayangkan Rencana Umum Pengadaan (RUP) dan pengumuman pengadaan di website
K/L/D/I masing-masing dan Portal Pengadaan Nasional melalui LPSE”. Tujuannya agar
masyarakat dan ULP dapat melihat berapa paket yang akan dibelanjakan oleh
Pemda/Pemkot. Masalah muncul ketika SKPD tidak memasukkan RUP, seperti yang
terjadi di Kabupaten Serdang Bedagai. Masalah lain yang juga terjadi adalah ketika SKPD
tidak membuat spesifikasi teknis, harga perkiraan sementara (HPS) dan rancangan kontrak
dengan benar dan lengkap. Bila sampai batas yang ditentukan dokumen dari SKPD belum
masuk atau belum diperbaiki ke Pokja ULP maka tender tidak bisa dilakukan.
Permasalahan yang juga ditemui dilokasi penelitian adalah pemecahan paket pengadaan
oleh SKPD tanpa ada alasan yang jelas. Sebelum ULP terbentuk, paket lelang pengadaan
dan pembelian barang dan jasa ditangani oleh SKPD sendiri. Namun setelah ULP
terbentuk paket pelelangan dengan batasan nilai diatas 200 juta untuk barang dan 50 juta
untuk jasa konsultansi ditangani oleh Pokja ULP (Perpres No. 70 Tahun 2012, pasal 16
ayat (2)). Untuk menghindari proses pelelangan yang dilaksanakan melalui LPSE dan
Pokja ULP ini maka SKPD memecahkan paket pengadaan sehingga memiliki batas di
bawah 200 juta untuk paket pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya dan di
bawah 50 juta untuk paket pengadaan jasa konsultasi. Dengan demikian SKPD
menggunakan penunjukkan langsung sebagai pemenang lelang.
Konflik-konflik seperti dijelaskan diatas ditemukan di lokasi penelitian. Pokja
ULP merasa mendapat intervensi dan intimidasi dari pejabat SKPD dalam penentuan
pemenang lelang. Sementara pejabat di SKPD mengatakan bahwa Pokja ULP mengubah
spesifikasi barang yang diminta sehingga mereka enggan memasukkan paket pengadaan
lelang. Padahal kalau SKPD tidak memasukkan paket pengadaan lelang ini ke ULP maka
anggaran tidak keluar dan ini akan mempengaruhi penyerapan anggaran dan performance

86
dari SKPD. Hubungan antar lembaga yang kurang harmonis ini disampaikan oleh salah
seorang informan yang tertuang dalam kalimat berikut ini. “Fungsi dari LPSE dan ULP
hanya menampung proyek yang dikerjakan oleh SKPD. Dimana LPSE berfungsi sebagai
media publikasi yang berperan mengumumkan adanya lelang juga mengumumkan siapa
yang menjadi pemenang dalam pengadaan yang dibuat oleh SKPD. Sementara ULP
menjadi alat untuk mencari siapa yang menjadi pemenang dalam tender.”
Kurangnya komitmen pegawai terhadap pengadaan yang dilakukan secara
elektronik dapat menghambat reformasi pengadaan yang salah satu tujuannnya adalah
menciptakan transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah. Transparansi tidak akan
tercipta bila K/L/D/I tidak menayangkan Rencana Umum Pengadaan (RUP) dan
mengumumkan pengadaan di website K/L/D/I masing-masing dan Portal Pengadaan
Nasional melalui LPSE. Transparansi juga sulit terwujud bila K/L/D/I melakukan
pemecahan paket pengadaan tanpa ada kejelasan maksud dan tujuannya.
Faktor kedua, infrastruktur. Ketersediaan infrastruktur merupakan salah satu
faktor penting dalam pelaksanaan e-procurement di Propinsi Sumatera Utara. Infrastruktur
disini mencakup perangkat keras seperti: server, SDM untuk menangani kegiatan
administrasi yang berkaitan dengan e-procurement mulai dari pendaftaran penyedia,
pengumuman paket pengadaan dan keperluan bidding lainnya, jaringan komunikasi serta
piranti lunak dalam bentuk sistem electronic yang disediakan oleh LKPP. Namun pada
kenyataannya di tiga lokasi penelitian infrastruktur yang tersedia belum maksimal, selain
itu baik penyelenggara maupun penyedia belum memiliki pemahaman dan kemampuan
yang cukup dalam menggunakan teknologi dan informasi dalam pelaksanaan e-
procurement.
Pada awal berdirinya LPSE di tiga lokasi penelitian, sistem pengadaan secara e-
procurement masih menggunakan server LPSE Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Hal
ini sesuai dengan ketentuan Perpres No.54 Tahun 2010 bahwa apabila fasilitas LPSE
terkait belum memadai atau mengalami gangguan dapat memakai atau menumpang pada
LPSE terdekat. Namun pada saat ini ketiga lokasi penelitian sudah memiliki server
masing-masing, hanya terdapat perbedaan kualitas dan kapasitas server tersebut. Pada
dasarnya setiap server memiliki back up sehingga ketika terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan data masih tetap tersimpan dan memiliki baterai dengan daya tahan delapan
jam, sehingga bila listrik padam, server tetap bisa diakses.
Dalam sistem e-procurement keamanan data sudah terjamin karena dalam
penyelenggaraannya LPSE dan LKPP sudah bekerjasama dengan Lembaga Sandi Negara.

87
Selain pengamanan dari sisi perangkat keras seperti firewall dan proxy server, LKPP juga
telah mengembangkan penggunaan password yang bersifat rahasia sebagai salah satu
mekanisme pengamanan yang umum. Namun karena kurangnya pengetahuan dan
penguasaan publik khususnya penyedia atas sistem e-procurement serta sikap penyedia
yang kurang dewasa menyebabkan timbulnya kecurigaan-kecurigaan terhadap
penyelenggara pengadaan. Kecurigaan juga muncul karena sering terjadi gangguan koneksi
internet di ketiga lokasi penelitian. Padahal penggunaan internet dalam pelaksanaan e-
procurement seharusnya menjadi kesempatan luas bagi pemerintah untuk menerapkan
prinsip transparansi serta membangun kepercayaan diantara stakeholders: pemerintah,
swasta dan masyarakat.
Dalam penyelenggaraan e-procurement penggunaan teknologi, sistem dan
prosedur yang baku, pengaturan jadwal dan waktu yang ketat merupakan hal yang
seharusnya sudah diketahui bersama baik oleh penyedia maupun penyelenggara e-
procurement. Dengan demikian tidak boleh lagi mentolerir keterlambatan dan perubahan-
perubahan yang dilakukan secara mendadak. Namun kenyataannya masih terdapat
keluhan-keluhan dari pihak penyedia terhadap singkatnya waktu penawaran sehingga
akhirnya ditanggapi oleh penyelenggara dengan memperpanjang waktu penawaran. Selain
itu terganggunya sistem internet juga menyebabkan penyelenggara e-procurement harus
melakukan toleransi terhadap perubahan jadwal e-procurement yang telah ditetapkan.
Ketersediaan ruangan yang memadai juga mempengaruhi transparansi dalam
penyelenggaraan e-procurement. LPSE, ULP dan Pokja sudah memiliki ruang masing-
masing sehingga dapat fokus pada pekerjaan masing-masing. Kondisi kantor LSPE di tiga
lokasi penelitian sudah cukup memadai dilengkapi oleh prasarana yang baik seperti
komputer, meja-kursi, printer, scanner, fax yang merupakan faktor pendukung
meningkatnya kinerja para pegawai. Ruangan Pokja terpisah dari ruangan ULP dan LPSE
sehingga memudahkan untuk melakukan proses pelelangan karena dapat meminimalisir
gangguan-gangguan dari luar yang mungkin dapat mempengaruhi hasil dari proses
pelelangan. LPSE menyediakan bidding room dengan fasilitas koneksi jaringan secara
lokal ke server sehingga data lebih cepat terunggah. Bila penyedia kesulitan mengakses
informasi dari rumah maka bidding room ini dapat digunakan. Hampir seluruh ruangan
dilengkapi oleh CCTV sehingga sangat membantu dalam memonitoring dan mengevaluasi
penyelenggaraan e-procurement. Dana untuk kelengkapan fasilitas ini berasal dari APBD
dan ini menunjukkan komitmen Kepala Daerah untuk mewujudkan transparansi dalam e-
procurement.

88
Faktor ketiga, sumber daya manusia termasuk budaya organisasi, kapasitas dan
kapabilitasnya. Agar pelaksanaan e-procurement dapat berhasil dengan baik maka budaya
kerja dan mental manusia yang menyelenggarakan sistem e-procurement harus dibangun
agar kapabel dan mempunyai komitmen serta integritas dalam mengimplementasikan
kebijakan e-procurement.
Keterbatasan SDM dalam bidang informasi dan teknologi (IT) merupakan
permasalahan utama yang dihadapi dalam penyelenggaraan e-procurement. Keterbatasan
kapabilitas dalam IT ini mengakibatkan e-procurement tidak dapat berjalan dengan mulus.
ULP sebagai pelaksana teknis e-procurement masih kekurangan tenaga teknis maupun non
teknis. Untuk mengatasi tantangan ini, LPSE melakukan banyak pelatihan sebagai upaya
transfer of knowledge dari LPSE ke Pokja ULP.
Dari tiga lokasi penelitian, ULP Kota Medan sedikit lebih profesional dibanding
kedua lokasi penelitian lainnya. Proses pelayanan terhadap SKPD yang menghantarkan
dokumen paket lelang ke ULP dilakukan sesuai tahap yang seharusnya (dari meja satu ke
meja lain) dan dilakukan dengan cepat dan ramah. Profesionalitas pegawai dalam
melaksanakan transparansi juga dapat dilihat dari cara mereka merespons pertanyaan-
pertanyaan publik mengenai e-procurement secara jelas dan mendetail sebagaimana dapat
dilihat dalam kolom tanya jawab dalam web LPSE Kota Medan.
Kinerja Pokja dalam melaksanakan e-procurement ditentukan oleh jumlah SDM
yang ada dibandingkan dengan jumlah total e-procurement yang harus diselenggarakan.
Oleh karena itu terdapat perbedaan jumlah anggota Pokja diantara ketiga lokasi penelitian.
Namun bagi Pemerintah Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai jumlah SDM yang
ada sudah cukup untuk mengerjakan semua tender. Hal ini disebabkan jumlah tender di
kedua lokasi penelitian tidak sebanyak jumlah tender yang ada di Kota Medan. Sementara
di Kota Medan, anggota Pokja terdiri dari 12 orang staf tetap dan 40 orang staf yang tidak
tetap yang diambil dari SKPD. Anggota Pokja yang tidak tetap dipakai jika ada paket
lelang. Apabila tidak ada paket yang dilelangkan maka anggota yang berasal dari SKPD
akan kembali bekerja di SKPD asal mereka masing-masing. Namun ULP Kota Medan
beranggapan bahwa jumlah pegawai Pokja tidak memadai, khususnya dalam tahap
evaluasi administrasi karena banyak dokumen-dokumen yang masuk dan harus dibaca satu
persatu dengan teliti.
Secara regulatif, sebagaimana tercantum dalam Perpres No.54 Tahun 2010 pasal
17 f standardisasi keahlian penyelenggara e-procurement cukup tinggi dimana semua
pejabat pengadaan, anggota Pokja baik tetap maupun tidak tetap, dan PPK (kecuali eselon

89
II) diwajibkan lulus sertifikasi pengadaan barang dan jasa pemerintah. Selanjutnya
peraturan ini ditindaklanjuti dengan keluarnya Peraturan Gubsu No. 8 Tahun 2009 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Secara Elektronik di lingkungan
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Kebijakan ini juga diadopsi oleh pemerintah Kota
Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai.
Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah sebagaimana tertuang dalam Perpres
No.54 Tahun 2010 pasal 4 terdapat empat jenis kegiatan barang/jasa pemerintah yaitu
pengadaan barang, pekerjaan konstruksi, jasa konsultansi, dan jasa lainnya. Seluruh
anggota Pokja diketiga lokasi penelitian telah memiliki sertifikat sesuai dengan standar
yang ditetapkan, namun sertifikat ini terbatas hanya sebagai ahli dalam pengadaan barang
dan jasa yang terbatas pada peraturan dan bersifat umum. Sementara di lapangan ada
beberapa jenis lelang serta berbagai jenis paket seperti pengadaan barang, pekerjaan
konstruksi, jasa konsultansi dan.jasa lainnya yang semuanya membutuhkan keahlian
berbeda-beda.
Masalah lainnya berkaitan dengan SDM adalah penyelenggaraan e-procurement
mengalamai resistensi internal yang berasal dari penyelenggara e-procurement. Resistensi
terhadap penyelengaraan e-procurement di ketiga lokasi penelitian tercermin dari adanya
keengganan untuk mendapat sertifikasi sebagaimana yang diwajibkan oleh Perpres No.54
Tahun 2010. Alasannya karena menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) memiliki
tanggung jawab yang besar yang dapat membawa kesulitan tersendiri. Seperti misalnya
pelaksanaan dimana barang/jasa tidak sesuai dengan saat yang ditawarkan, maka yang
harus bertanggung jawab adalah PPK dan bukan ULP. Resistensi dalam bentuk
keengganan dan ketakutan untuk mendapat sertifikasi merupakan tantangan tersendiri
dalam pelaksanaan e-procurement.
Model kebijakan e-procurement yang terdiri dari tiga faktor yakni landasan
hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia sebagaimana disebutkan diatas saling
berinteraksi satu dengan lainnya. Dengan demikian keberhasilan implementasi kebijakan e-
procurement di tiga lokasi penelitian tergantung pada sumberdaya manusia penyelenggara
baik dalam hal kemampuan, kapabilitas maupun budaya kerjanya. Sumber daya manusia
ini penting untuk menggerakkan secara maksimal pemanfaatan kedua faktor lainnya, yakni
infrastruktur dan landasan hukum. Jika dilihat dari faktor sumber daya manusia dan
infrastruktur, Pemerintah Kota Medan sedikit lebih maju dibandingkan Pemerintah Kota
Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Namun secara keseluruhan di tiga lokasi
penelitian keberadaan sumber daya manusia masih perlu ditingkatkan terlebih dalam

90
penguasaan teknologi informasi serta penerimaan atas penggunaan e-procurement.
Keberadaan infrastruktur di tiga lokasi penelitian belum cukup memadai untuk
melaksanakan kebijakan e-procurement. Pemanfaatan teknologi yang canggih belum
diimbangi oleh kemampuan sumber daya manusia penyelenggara. Namun disisi lain
ketidaktersediaan atau keterbatasan infrastruktur mengakibatkan kesulitan bagi sumber
daya manusia penyelenggara menghadapi penyedia. Selanjutnya sumber daya manusia dan
infrastruktur yang belum optimal menjadi salah satu penyebab peraturan mengenai e-
procurement belum dapat dilaksanakan secara utuh.
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa ketiga faktor tersebut saling
mempengaruhi dalam pelaksanaan kebijakan e-procurement di Kota Medan, Kota Binjai
dan Kabupaten Serdang Bedagai. Kebijakan ini dapat efektif bila ketiga faktor tersedia dan
bekerja dengan maksimal. Dalam artian sumber daya manusia baik kemampuan,
kapabilitas dan budaya kerja sudah siap menerima keberadaan e-procurement, ketersediaan
infrastruktur dalam menunjang kebijakan e-procurement dan landasan hukum yakni
peraturan dan institusi teknis yang tidak selalu berubah serta jelas sehingga tidak
memberikan pemahaman yang berbeda-beda baik bagi kepala daerah, penyelenggara
(LPSE, ULP dan Pokja) maupun penyedia.

6.1.2 Implementasi Model Kebijakan E-Procurement di Provinsi Sumatera Utara


Model kebijakan e-procurement di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan
Kabupaten Serdang Bedagai terdiri dari 3 (tiga) faktor yaitu landasan hukum, infrastruktur
dan sumber daya manusia. Ketiga faktor dari model kebijakan e-procurement ini belum
tersedia atau bekerja secara optimal diketiga lokasi penelitian sehingga kebijakan e-
procurement masih dilaksanakan secara hibrid yang mencakup hibriditas dalam strategi
pemaketan (sentralisasi - desentralisasi), sistem yang digunakan (manual - on line), dan
struktur pemerintahan (provinsi, kabupaten dan kota - kecamatan, desa).
Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 yang selanjutnya direvisi menjadi
Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 mewajibkan pemerintah daerah termasuk Kota
Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai untuk membentuk LPSE dan ULP
yang bertugas melaksanakan pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik di daerah
masing-masing. Atas dasar ini maka proses pemilihan penyedia barang/jasa seharusnya
bersifat sentralisasi yaitu pada LPSE dan ULP. Namun pada kenyataannya, sebagian dari
pengadaan barang dan jasa pemerintah khususnya untuk paket yang bernilai dibawah Rp

91
50 juta masih dilaksanakan langsung oleh unit kerja khususnya pada tingkat pemerintahan
kecamatan dan desa.
Selain hibriditas dalam strategi pemaketan, hibriditas secara manual-on line dalam
pengadaan barang/jasa juga terjadi pada proses lelang di tiga lokasi penelitian. Pada saat
pembuktian kualifikasi, panitia penyelenggara masih bertemu secara langsung dengan
penyedia. Padahal salah satu tujuan e-procurement adalah untuk mengurangi intensitas
pertemuan langsung antara penyelenggara dan penyedia sehingga impersonalitas dan
diskriminasi yang sering terjadi dapat dihindari. Demikian juga dalam pengesahan account
facebook (User ID) penyedia. Walaupun untuk mendapatkan user ID, penyedia cukup
mendaftar lewat website LPSE, namun penyedia masih perlu datang ke kantor LPSE untuk
mensahkan account agar terhubung kesemua LPSE di Indonesia.
Hibriditas dalam sistem pengadaan secara manual-on line dan antar berbagai
tingkatan institusi pemerintahan daerah juga terdapat pada kebijakan e-procurement di tiga
lokasi penelitian. Pada umumnya dinas, badan dan kantor mengimplementasikan
pengadaan barang dan jasa publik secara elektronik (on line) sementara pemerintah
kecamatan, kelurahan dan desa masih melakukan pengadaan barang dan jasa secara
manual.
Proses hibrid dalam pelaksanaan kebijakan e-procurement di tiga lokasi penelitian
pada akhirnya dapat digunakan sebagai peluang untuk melobi tender yang sedang
berlangsung. Meskipun pada awalnya penyedia datang langsung ke ULP berkaitan dengan
kurangnya pemahaman atas pelelangan dengan cara elektronik. Oleh karena itu, untuk
mencegah terjadi kolusi antara penyelenggara dan penyedia maka pada tahap pembuktian
kualifikasi, penyedia yang lulus proses evaluasi diwajibkan datang langsung ke ULP untuk
membuktikan keaslian dokumen yang telah diunggah dengan membawa seluruh dokumen
asli yang sebelumnya telah di unggah oleh penyedia dalam bentuk scan softcopy.
Terlepas dari kelemahan proses pengadaan yang masih hibrid, namun hibriditas
dalam pengadaan ini digunakan sebagai strategi dalam menanggulangi keterbatasan SDM
penyedia, infrastruktur dan teknologi di tiga lokasi penelitian. Keterbatasan pemahaman
penyedia mengenai sistem dan teknologi yang digunakan dalam e-procurement seperti
bagaimana mendapatkan dan menggunakan password, mengunggah dokumen dan
melakukan pendaftaran yang berkaitan dengan pelelangan barang dan jasa secara
elektronik menyebabkan perlu dilakukan bimbingan oleh petugas e-procurement. Dalam
kondisi seperti ini, maka pertemuan langsung antara penyelenggara dan penyedia tidak
dapat dihindari. Selain itu, keterbatasan infrastruktur dalam pelaksanaan e-procurement

92
juga mengakibatkan proses hibrid menjadi pilihan yang rasional. Para penyedia yang
bermasalah dalam hal sinyal internet dapat datang ke LPSE untuk meminta bantuan
pengiriman data yang diperlukan sehubungan dengan tender yang ditawarkan pada situs.
Dalam hal ini LPSE menyediakan bidding room dimana penyedia dapat menggunakan
layanan internet lebih cepat karena langsung terhubung dengan LPSE diseluruh Indonesia.
Sistem hibrid perlu dipertimbangkan dalam penerapan e-procurement di
Indonesia. Sistem hibrid ini ditandai masih adanya ruang untuk interaksi langsung antara
penyelenggara dan penyedia. Namun bila dibandingkan dengan sistem pengadaan barang
dan jasa yang bersifat konvesional, sistem hibrid masih jauh lebih baik terutama dalam
mewujudkan transparansi pengadaan barang dan jasa pemerintah. Meskipun kelemahannya
ada namun untuk saat ini dianggap relevan dan merupakan pilihan yang strategis untuk
diterapkan diketiga lokasi penelitian.

6.1.3 Faktor Penghambat Kebijakan e-Procurement di Provinsi Sumatera Utara


Kebijakan e-procuremant merupakan salah satu instrument dari reformasi sektor
publik. Dimana kebijakan ini akan efektif apabila dikaitkan dengan tujuan pengelolaan
pelayanan publik yang lebih luas dan digunakan sebagai bagian dari strategi manajemen
perubahan secara keseluruhan. Dengan demikian e-procurement bukan hanya persoalan
menempatkan "e" di depan sistem pengadaan yang konvensional melainkan sebagai tugas
pemerintahan yang harusnya melampaui aspek Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Penerapan kebijakan e-procurement dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah
tidak serta merta membuat proses pengadaan berjalan dengan baik dan efisien.
Terwujudnya reformasi dalam bidang pengadaan barang dan jasa ini masih berhadapan
dengan berbagai masalah yang menghambat sehingga pelaksanaannya masih kurang
efektif. Di tiga lokasi penelitian (Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang
Bedagai) hambatan tersebut muncul baik dari segi landasan hukum, infrastruktur, sumber
daya manusia maupun proses pelaksanaan kebijakan.
Hambatan pelaksanaan kebijakan e-procurement datang dari pembentukan ULP
yang melakat pada unit yang sudah ada. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.54
Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pasal 1 ayat (8) dikatakan
institusi yang terkait dengan pengadaan barang/jasa adalah Unit Layanan Pengadaan (ULP)
yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada. Dari
isi pasal ini ada dua pilihan dimana ULP dapat dibentuk yaitu melekat pada unit yang

93
sudah ada seperti yang terjadi di tiga lokasi penelitian atau berdiri sendiri sebagai sebuah
unit.
Seperti dijelaskan di bagian sebelumnya, ada kelemahan ketika ULP masih
menyatu atau melekat pada unit yang sudah ada. Pertama, rawan intervensi dari instansi
(SKPD) mana pegawai yang merupakan anggota Pokja ULP itu berasal. Kedua,
kemungkinan tidak profesionalnya pegawai Pokja ULP karena selain memiliki tupoksi dari
instansi (SKPD) asalnya juga mempunyai tupoksi di ULP. Kelompok Kerja (Pokja) itu
sendiri merupakan unsur ULP yang diangkat oleh Kepala Daerah dan bertugas
melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa. Pertanggungjawaban Pokja ialah kepada
Kepala Daerah, pejabat SKPD, penyedia yang terlibat tender dan publik. Karena Pokja
yang berperan terhadap pemilihan penyedia barang/jasa, maka proses e-procurement
ditentukan pula oleh keputusan Pokja ULP. Adapun SKPD akan mengajukan draf kontrak
kepada ULP yang harus diverifikasi terlebih dahulu sebagai bahan pertimbangan bagi
Pokja dalam menentukan siapa pemenang tender. Dengan demikian, Pokja memiliki andil
yang cukup besar dalam proses tender karena keputusan ada di tangan Pokja.
Jika pemerintah daerah/kota ingin membentuk ULP yang mandiri atau tidak
melekat pada unit yang sudah ada maka harus mengikuti prosedur yang diatur didalam PP
No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Didalam pasal 2 ayat (1)
disebutkan “Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah ditetapkan dengan peraturan
daerah dengan berpedoman pada peraturan pemerintah”. Jadi, pembentukan struktur
lembaga pemerintah daerah menurut PP No. 41 Tahun 2007 harus disikapi melalui
peraturan daerah. Ini artinya harus ada political will dari Bupati/Walikota dan DPRD untuk
membentuk ULP secara mandiri, sehingga wewenang ULP semakin kuat dan mandiri
untuk melaksanakan seluruh proses pengadaan sampai penunjukan pemenang, tanpa ada
campur tangan dari pihak atau institusi lain. Selain itu persoalan SDM yang tidak
berkompeten dapat dihindari karena SDM di ULP hanya fokus pada masalah pengadaan
barang/jasa.
Berkaitan dengan sertifikasi keahlian pengadaan barang dan jasa bagi
penyelenggara pengadaaan juga menjadi permasalahan tersendiri di tiga lokasi penelitian.
Berdasarkan Perpres No. 70 Tahun 2012 pasal 1 ayat (19) dikatakan “Sertifikasi Keahlian
Pengadaan Barang/Jasa adalah tanda bukti pengakuan dari pemerintah atas kompetensi dan
kemampuan profesi di bidang Pengadaan Barang/Jasa”. Namun yang terjadi dilapangan,
kualitas kinerja para peyelenggara pengadaan belum maksimal meski sudah mendapat
sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa. Dengan kata lain, kewajiban yang ditugaskan

94
kepada para penyelenggara untuk memiliki sertifikat keahlian dalam pengadaan tidak bisa
menjamin baik tidaknya kinerja ULP didalam proses pelelangan. Ini disebabkan karena
kapasitas yang diuji terbatas pada peraturan dan tidak mengacu secara mendalam pada
spesialisasi tugas seperti berbagai jenis tender di pemerintahan.
Menurut Perpres No.54 Tahun 2010 pasal 4, pengadaan barang/jasa pemerintah
meliputi barang, pekerjaan konstruksi, jasa konsultansi, dan jasa lainnya. Keempat jenis
pengadaan ini dapat diuraikankan menjadi beberapa jenis tender tergantung dari kebutuhan
setiap pemda/pemkot. Beberapa jenis tender di pemerintahan seperti yang dilakukan oleh
LPSE Kota Medan antara lain pengadaan komponen pemeliharaan traffic light, alat-alat
kedokteran, kebidanan dan penyakit kandungan serta Pengadaan Sarana dan Prasarana
Program Sekolah Adiwiyata (http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/lelang). Bentuk
tender lain yang diadakan di Kabupaten Serdang Bedagai, antara lain pembuatan area
parkir dan drainase gudang, pengadaan peralatan laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam
untuk Sekolah Menengah Kejuruan, pengadaan bibit tanaman mangrove dan bibit tanaman
pantai (http://lpse.serdangbedagaikab.go.id/eproc/lelang). Sementara jenis tender di Kota
Binjai antara lain penyusunan buku profil etnis Kota Binjai, pembuatan taman lalu lintas
dan pengadaan dump truck mini (http://lpse.binjaikota.go.id/eproc/lelang). Bervariasinya
jenis tender di tiga lokasi penelitian menuntut penyelenggara untuk memiliki kemampuan
yang lebih bervariasi dan spesifik. Jadi tidak cukup hanya dengan memiliki pengetahuan
umum sebagaimana mereka dapat selama ini dalam pelatihan.
Hambatan juga datang dari tidak dipublikasikan Rencana Umum Pengadaan
(RUP) yang merupakan salah satu dokumen yang harus diketahui oleh publik.
Sebagaimana mandat dari Perpres No.70 Tahun 2012 pasal 112 ayat (2) “K/L/D/I wajib
menayangkan Rencana Umum Pengadaan (RUP) dan pengumuman pengadaan di website
K/L/D/I masing-masing dan Portal Pengadaan Nasional melalui LPSE”. Tujuannya agar
masyarakat dan ULP dapat melihat berapa paket yang akan dibelanjakan oleh
Pemda/Pemkot sebagai wujud keterbukaan informasi publik dalam pengadaan barang/jasa
pemerintah sesuai dengan prinsip-prinsip pengadaan.
Namun di Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, masing-masing SKPD belum
mengumumkan RUP ke dalam SiRUP sehingga menghambat bekerjanya ULP Kabupaten
Serdang Bedagai. Hal ini menunjukkan bahwa RUP belum merupakan hal yang penting
dalam proses pengadaan. Padahal bila RUP ini dipublikasikan dengan luas ada beberapa
keuntungan yang diperoleh. Masyarakat dapat mengawasi kegiatan pengadaan karena
sumber pendanaan dari pengadaan berasal dari APBN/APBD yang salah satu sumbernya

95
dari pajak. Dengan demikian tidak berlebihan bila masyarakat mengawasi kegiatan
pengadaan. Keuntungan lainnya lembaga pemerintah yang sedang melakukan kegiatan
pengadaan akan dapat menjaring lebih banyak penyedia. Ini artinya akan diperoleh banyak
pesaing sehingga lebih mudah di dapat penyedia yang memenuhi kualifikasi. Sebaliknya
bila RUP tidak dipublikasikan maka kemungkinan proses pengadaan dapat gagal karena
tidak mendapat penawaran yang layak untuk dijadikan pemenang. Sementara dari pihak
penyedia akan lebih dapat mempersiapkan diri ketika akan mengikuti pengadaan yang
dilakukan instansi pemerintah.
Dari segi sumber daya manusia, hambatan terlaksananya e-procurement dengan
efektif datang dari ketidaksiapan mental aparat pemerintah melakukan tender melalui
sistem elektronik. Resistensi aparat terhadap kebijakan e-procurement dapat dilihat dari
keengganan untuk lulus ujian mendapat sertifikasi dalam pengadaan barang dan jasa
pemerintah. Alasannya, karena besarnya tanggungjawab yang dipikul sebagai
penyelenggara pengadaan. Padahal kebijakan ini menggunakan sistem yang baik melalui
pemanfaatan teknologi dan informasi dan diikuti dengan peraturan yang menjadi landasan
kebijakan. Namun pada kenyataannya kebijakan ini tidak dengan mudah dapat mengubah
mindset para aparat dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan transparan. Selain
itu di tiga lokasi penelitian kerap berhadapan dengan masalah sumber daya manusia yang
masih minim dalam hal pengelolaan dan penguasaan teknologi. Terbatasnya kemampuan
menyerap perkembangan teknologi dan informasi merupakan halangan tersendiri dalam
pelaksanaan e-procurement.
Proses pelelangan dengan sistem paket dimana dilakukan pembagian atau
pemecahan paket barang/jasa berdasarkan besaran nilai menimbulkan spekulasi negatif
bagi sistem pengadaan secara elektronik. Ketidakjelasan maksud dan tujuan dari
pembagian paket serta rawan unsur Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi alasan
munculnya pikiran negatif tersebut. Pembagian paket lelang ini terbagi menjadi dua yakni
setiap pengadaan barang dan jasa pemerintah yang dilaksanakan oleh SKPD dengan
anggaran diatas 200 juta wajib melalui ULP. Sementara itu, anggaran dibawah 200 juta
dan kegiatan yang sifatnya mendesak dilakukan dengan penunjukan langsung oleh SKPD
terkait. Ini disebabkan karena belum tersedia software dari LKPP untuk menangani lelang
elektronik dengan nilai dibawah 50 juta untuk jasa konsultan dan 200 juta untuk barang
dan fisik. Sebagai akibat ketentuan ini, beberapa SKPD tidak memasukkan paket
pengadaan lelang untuk diproses oleh ULP sehingga lelang dapat dikelola langsung oleh
pemohon paket (SKPD) secara manual. Pembagian proses pelelangan secara terpisah

96
tersebut dipandang kurang mewujudkan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik
karena masih saja bisa menguntungkan beberapa pihak

6.2 Saran
Model kebijakan e-procurement yang didapat dari penelitian ini terdiri dari tiga
faktor yakni landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia. Ketiga faktor belum
tersedia dan bekerja dengan maksimal sehingga pelaksanaan e-procurement di Kota
Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai masih bersifat hybrid. Ini artinya
prinsip transparansi yang menjadi salah satu tujuan dari kebijakan e-procurement belum
sepenuhnya dapat terwujud. Oleh karena itu perlu pembenahan di ketiga faktor ini untuk
lebih mewujudkan transparansi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Perpres No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pasal 1
ayat (8) mengatakan bahwa institusi yang terkait dengan pengadaan barang/jasa adalah
Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat
pada unit yang sudah ada. Berdasarkan pasal ini, ULP dapat dibentuk dengan dua cara
yakni berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada. Dari temuan lapangan di tiga
lokasi penelitian bahwa ULP yang dibentuk melekat pada unit yang sudah ada membawa
dampak yang kurang baik bagi kelancaran kebijakan e-procurement. Oleh karena itu sudah
saatnya Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai memiliki
ULP yang bersifat permanen dan dapat berdiri sendiri. Dengan demikian ULP dapat diisi
oleh orang-orang yang profesional dan berkompetensi tinggi karena bekerja sesuai dengan
tupoksinya sehingga proses pengadaan secara elektronik dapat lebih efektif, efesien,
bertanggung jawab dan transparan. Untuk membentuk ULP yang permanen dan berdiri
sendiri ini maka political will dari Bupati/Walikota dan DPRD di tiga lokasi penelitian
sangat diperlukan.
Masih berkaitan dengan cara pembentukan ULP, sudah selayaknya pemerintah
meninjau kembali Perpres No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
pasal 1 ayat (8), yakni ULP dapat dibentuk dengan cara melekatkannya pada unit yang
sudah ada. Hal ini mengingat ULP yang melekat pada unit yang sudah ada rawan dengan
praktek-praktek KKN dan kurang profesional. Selain itu, Perpres ini keluar tahun 2010
maka sudah cukup waktu bagi L/K/D/I berbenah dan mempersiapkan diri berkaitan dengan
kebijakan e-procurement. Oleh karena itu kalimat ULP dapat dibentuk dengan cara
melekatkatnya pada unit yang sudah ada sudah tidak relevan lagi. Kalaupun ada pro dan
kontra berkaitan dengan landasan hukum dalam membentuk ULP dengan cara berdiri

97
sendiri sebagai sebuah unit maka dapat dilakukan terobosan-terobosan di bidang hukum.
Maksud baik untuk mewujudkan transparansi dalam pelayanan seharusnya lebih
dikedepankan untuk menuju reformasi pelayanan yang menyeluruh.
Sertifikasi Keahlian Pengadaan Barang/Jasa sebagai tanda bukti pengakuan dari
pemerintah atas kompetensi dan kemampuan profesi di bidang Pengadaan Barang/Jasa
penting untuk dipertahankan. Namun perlu dievaluasi agar materi pelatihan yang
disampaikan kepada peserta atau calon penyelenggara pengadaan tidak bersifat umum
melainkan lebih spesifik pada jenis-jenis tender pemerintah yang ada sehingga
penyelenggara lebih kompeten mengerjakan tanggung jawab sesuai dengan bidang yang
ditanganinya.

98
DAFTAR PUSTAKA

Buku

AG. Subarsono. 2009. “Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasi”. Pustaka
Pelajar: Yogyakarta.

Ballard, Therese,. 2011. “Transparancy and Public Procurement”. Supplement to the 2011
Annual Statistical Report on United Nations Procurement. UNOPS.

Bannister, Frank and Connolly, Regina. 2011. "The Trouble with Transparency: A Critical
Review of Openness in e-Government," Policy & Internet: Vol. 3: Iss. 1, Article
8. Policy Studies Organization. http://www.psocommons.org/ policyandinternet /
vol3 / iss1/art8

Bekkers, Victor, dan Homburg, Vincent,. 2005. E-Government as An Information


Ecology: Backgrounds and Concepts. Dalam “The Information Ecology of E-
government: E-Government as Institutional and Technological Innovation in
Public Administration”. Edited by Bekkers and Homburg. IOS Press Netherlands.

Best Practices in E-Procurement: Reducing Costs and Increasing Value through Online
Buying.

Buku Panduan Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa Publik, TII, 2006
dalam 25.-Korupsi-dalam-Proses-Pengadaan-Barang-dan-Jasa.pdf. Diakses 19
April 2013 Jam 19.30.

Case Studies on E-procurement Implementations: Italy New South Wales New Zealand
Scotland Western Australia. 2005. Commonwealth of Australia. 2005.

Clem, Constance,. 2010. “Government Online: Improving Service and Engaging


Communities”. Ark in Association with Inside Knowledge.

Denzin, Norman K. dan Lincoln, Yvonna S. 2000. “Handbook of Qualitative Research”.


Sage Publication. Thousand Oaks. London. New Delhi.

E-Procurement of Golden Book and Good Practice, Final Report. 2013. This report was
prepared for DG MARKT by PwC EU Services EESV Contract reference:
MARKT/2011/097/C4/OP LOT2 Version: v1.3 Project

E-Procurement: Towards Transparency and Efficiency in Public Service Delivery. Report


of the Expert Group Meeting. Department of Economic and Social Affairs. 4-5
October 2011. United Nations Headquarters, New York.

Grindle, Merilee S. 1980. “Politics and Policy Implementation in the Third World”.
Princeton University Press. Princeton. New Jersey.

99
Heald, D. 2006. “Varieties of Transparency.” In Transparency, The Key to Better
Governance, eds. C. Hood, and D. Heald. Proceedings of the British Academy.
Oxford: Oxford University Press, 25-43.

Homburg, Vincent, and Bekkers, Victor,. 2005. E-Government and NPA: A Perfect
Marriage? Dalam “The Information Ecology of E-government: E-Government as
Institutional and Technological Innovation in Public Administration”. Edited by
Bekkers and Homburg. IOS Press Netherlands.

Implementing E-government in OECD Countries: Experiences and Challenges.


http://www.oecd.org/mena/governance/36853121.pdf

Jeppesen, Rasmus. 2010. Capacity is Development. Accountability in Public Procurement


transparency and the role of civil society. United Nations Procurement Capacity
Development Centre September. www.unpcdc.org

Kelman, S. 1990. “Procurement and Public Management: The Fear of Discretion and the
Quality of Government Performance”. Washington, DC. The AEI Press.

Lips, Miriam., Taylor, John A., Banister, Frank,. 2005. “Public Administration in the
Information Society: Essays on Risk and Trust”. IOS Press. The Netherlands.

LKPP. 2009. Implementasi e-procurment sebagai Inovasi Pelayanan Publik. LKPP:Jakarta.

Lynn, Dahlia Bradshaw,. 2000. Technology Launch in Government. Dalam “Handbook of


Public Information System”. Edited by Garson, G. David. Marcel Dekker, Inc.
USA.

Mazmanian, Daniel A dan Sabatier, Paul A, 1983. “Implementation and Public Policy”.
Scott, Foresmant and Company. New Jersey.

Neupane, Arjun., Soar, Jeffrey., Vaidya, Kishor., 2012. Evaluating The Anti-Corruption
Capabilities of Public e-Procurement in Developing Country. EJISDC (2012) 55,
2, 1-17 The Electronic Journal on Information Systems in Developing Countries.

Nugroho, Riant. 2006. “Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang (Model-


Model Perumusan, Implementasi dan Evaluasi)”. PT. Elex Media Komputindo:
Jakarta.

Nurmandi, Achmad. 2013. E-procurement in Indonesia: Policy and its Implementation.


Research Project of International Scholar Exchange Program 2013/2014. Korean
Foundation for Advance Studies.

OECD E-Government Task Force. 2003. The Case for E-Government:Excerpts from the
OECD Report“The E-Government Imperative”. OECD Journal on Budgeting –
Vol. 3, No. 1.

Pramusinto, Agus dan Erwan Agus Purwanto. Editor. 2009. “Reformasi Birokrasi,
Kepemimpinan dan Pelayanan Publik: Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi

100
Daerah di Indonesia”. Penerbit: Gava Media, Jian-UGM dan MAP-UGM.
Yogyakarta.

Rocheleau, Bruce. 2006. “Public Management Information Systems”. Idea Group


Publishing. USA.

Sahu, Ganesh P., Dwivedi, Yogesh K., Weerakkody, Vishanth,. E-Government


Development and Diffusion: Inhibitors and Facilitators of Digital Democracy.
Information Science Reference. New York.

Santosa, Pandji. 2008. “Administrasi Publik (Teori dan Aplikasi Good Governance)”. PT.
Refika Aditama: Bandung.

Sherman, Laura B & Nadgrodkiewicz (eds). 2011. APEC Procurement Transparency


Standards in Indonesia. A Work in Progress. Transparency International- USA
and Center for International Private Enterprise:USA.

Solichin, H Abdul Wahab. 2008. “Pengantar Analisis Kebijakan Publik”. UMM Press:
Malang.

Sugiyono. 2007. “Penelitian Administrasi Negara”. Bandung: Alfabeta

Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2003. ”Implementasi Kebijakan Publik, Transformasi Pikiran


George Edwards”. Lukman Offset dan Yayasan Pembaruan Administrasi Publik
Indonesia. Yogyakarta.

Tapscott, D,. 1996. “The Digital Economy-Promise and Peril in the Age of Networked
Intelligence”. New York: Mc Grraw-Hill.

The World Bank. 2004. Building Blocks of E-government: Lessons from Developing
Countries. August 2004. Nomber 91.

Turban, E., King, D., Lee, J. dan Viehland, D. 2006. “Electronic Commerce: A Managerial
Perspective”. Pearson/Prentice-Hall, Englewood Cliffs. NJ.

UNDP. 2010. Public Procurement Capacity Development Guide http:// www.unpcdc.org/


key resources /searchlib.aspx?docid=10093

Van Weele, A., 1994. “Purchasing Management: Analysis, Planning and Practice”.
London. UK: Chapman & Hall.

Wahid, Fathul. Institutionalization of Public Systems in Developing Countries: A Case


Study of eProcurement in Indonesian Local Government. May 8th – 9th 2012,
Brunel University, University Kingdom

Jurnal/Artikel

Affisco, J., dan Karahanna, E. 1998. “E-Government: a Strategic Operations Management


Framework For Service Delivery”. Busines Process Management Journal. 12 (1),
13-21.

101
“Best Practices in E-Procurement: Reducing Costs and Increasing Value through Online
Buying”. Diakses 1 Juli 2014, Jam 10.00.

“Case Studies on E-procurement Implementations: Italy, New South Wales, New Zealand,
Scotland, Western Australia”. 2005. Commonwealth of Australia. 2005. Diakses 3
Juli 2014, Jam 12.00.

“E-Procurement: Towards Transparency and Efficiency in Public Service Delivery”.


Report of the Expert Group Meeting. Department of Economic and Social Affairs.
4-5 October 2011. United Nations Headquarters, New York.

“E-Procurement of Golden Book and Good Practice”. 2013. This report was prepared for
DG MARKT by PwC EU Services EESV Contract Reference:
MARKT/2011/097/C4/OP LOT2 Version: v1.3 Project. Final Report. Diakses 1
Juli 2014, Jam 15.00.

“Implementing E-government in OECD Countries: Experiences and Challenges”.


http://www.oecd.org/mena/governance/36853121.pdf. Diakses 3 Juli 2014, Jam
16.00.

McCue, Clifford dan Roman, Alexandru V., 2009. “E-Procurement: Myth or Reallity?”
Journal of Public Procurement, Volume 12, Issue 2, 212-238.

Mitchell, K. 2000. “Instituting E-Procurement in the Public Sector”. Government Finance


Review. 16 (1), 9-12.

Ndou, V. 2004. “E-Government for Developing Countries: Opportunities and Challenges”.


The Electronic Journal on Information System in Developing Countries
(EJISDC). 18 (1), 1-24. http://www.ejisdc.org

Neupane, Arjun., Soar, Jeffrey., Vaidya, Kishor., 2012. “Evaluating The Anti-Corruption
Capabilities of Public e-Procurement in Developing Country”. EJISDC (2012)
55, 2, 1-17 The Electronic Journal on Information Systems in Developing
Countries.

Nightisabha, Ika Akyuna., Suhardjanto, Djoko,. Cahya, Bayu Tri,. 2009. “Persepsi
pengguna Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Pada Pemerintah Kota Yogyakarta
Terhadap Implementasi Sistem “e-Procurement”. Jurnal Siasat Bisnis.

OECD E-Government Task Force. 2003. “The Case for E-Government: Excerpts from the
OECD Report the E-Government Imperative”. OECD Journal on Budgeting –
Vol. 3, No. 1.

The World Bank. 2004. “Building Blocks of E-government: Lessons from Developing
Countries”. August 2004. Number 91.

Udoyono, Kodar. 2012. E-Procurement Dalam pengadaan barang dan Jasa Untuk
mewujudkan Akuntabilitas di Kota Yogyakarta. Jurnal Studi Pemerintahan
Volume 3 Nomor 1 Februari.

102
Vaidya, K., Sajeev, A.S.M. & Callender, G. 2006. “Critical Factors that Influence e-
Procurement Implementation Success in the Public Sector”. Journal of Public
Procurement, Volume 6, Issues (1&3), 70-99.

West, D.M,. 2004. “E-Government and the Transformation of Service Delivery and Citizen
Attitudes”. Public Administrative Review. 64 (1). 15-27.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan


Transaksi Elektronik.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah.

Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Peraturan Pemerinta Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi
Elektronik

Inpres No 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun
2012.

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasa
Korupsi tahun 2013

Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintaha (LKPP) No.2


Tahun 2010 tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).

Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah No.1 Tahun
2011 Tentang Tata Cara E-Tendering

Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Secara Elektronik di Lingkungan Pemerintah
Provinsi Sumatera Utara.

Peraturan Walikota Medan No 38 Tahun 2011 tentang Layanan Pengadaan Secara


Elektronik (LPSE).

Website dan Sumber Lainnya

http://beritasore.com/2012/04/10/korupsi-pengadaan-paling-banyak-ditangani-kpk/.
Diakses 19 April 2013, Jam 21.00.

103
http://www.centroone.com/news/2013/03/2y/kpk-siap-aktif-awasi-pengadaan-barang-dan-
jasa- pemerintah. Diakses 19 April 2013, Jam 20.00.

http://politik.kompasiana.com/2013/03/09/implementasi-e-procurement-sebagai-inovasi
pelayanan-publik-- 541293.html. Diakses 21 April 2013, Jam 20.15.

http://himachaldit.gov.in/file.axd?file=2010%2F5%2Fe-ProcurementConcepts.pdf.
Diakses 22 April 2013. Jam 20.00

www.lpse.pemkomedan.go.id/
www.lpse.binjaikota.go.id
www.lpse.serdangbedagaikab.go.id/eproc/
http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/lelang
http://lpse.binjaikota.go.id/eproc/lelang
http://lpse.serdangbedagaikab.go.id/eproc/lelang

104
1

Anda mungkin juga menyukai