KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
iii
ABSTRAK
v
ABSTRACT
Data were analyzed using descriptive and correlation analysis. One main
finding reported that most of the drivers abuse a public transportation
regulation such as driving in high speed when get out of station, rush driving to
pick the passanger up, and have no respect to the bycyle rider. Sum up, the bad
behaviour of the driver not morely forced by internal factors such as education,
ethnic affiliation, but for most extent imposed by external factors out side of
the drivers such as the struggle to afford the payment to the car owner
(setoran) and the daily wage, the tough competition among the drivers, and
number of public transportation which excedeed designated number (plafon).
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
Tahun 2009, lebih tinggi lagi angkanya, mendekati 21.000 orang. Lima persen
dari jumlah korban kecelakaan lalu lintas adalah pelajar dan mahasiswa.
Kecelakaan ini terjadi karena perilaku berlalu lintas yang buruk di satu sisi dan
meningkatnya penggunaan kenderaan (roda empat dan dua) di sisi lain.
Sedangkan di Kota Medan sendiri, berdasarkan data Direktorat Lalu
Lintas Polda Sumut, sejak Januari hingga April 2012, korban tewas kecelakaan
lalu lintas mencapai 749 orang. Korban tewas ini merupakan bagian dari 2.992
kecelakaan yang terjadi sepanjang periode itu. Kecelakaan tertinggi terjadi
Januari, yakni 847 kasus sedangkan Februari menurun hanya 715 kasus.
Selanjutnya Maret terjadi 719 kasus kecelakaan dan terakhir April terjadi 711
kasus.
Sejarah padatnya mobilnya dimulai ketika industri otomotif ditemukan.
Pada tahun 1910, 65 persen penduduk di Amerika masih tinggal di inti atau
sentra kota. Namun ketika mobil ditemukan Henry Ford pada 1908, komposisi
penduduk di sentra kota kemudian menyebar ke pinggiran kota (sub-urban)
karena mobil memungkinkan mereka melakukan mobilitas kerja (Spates dan
Macionis, 1987:298).
Sedangkan di Indonesia sendiri, menurut Kompas (14/4/2012), penjualan
mobil pada Maret 2012 mencapai 87.761 unit. Jumlah itu mengalami kenaikan
dibandingkan Februari 2012 yang sebesar 86.407 unit dan Januari 2012 76.365
unit. Adapun total penjualan di tiga bulan pertama tahun 2012 adalah 250.533
unit, atau lebih besar dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar 225.739
unit. Penjualan yang terus-menerus meningkat ini pada gilirannya membuat
arus lalu-lintas meningkat sementara ketersediaan jalan relatif tidak
meningkat.
2
Perilaku lalu-lintas angkutan umum di Indonesia memiliki karakter khas
dengan pola-pola budaya berlalu lintas di negara-negara maju. Beberapa
karakteristik khas angkutan umum di Indonesia antara lain (Dwi Handoko,
2006) :
1. Kecepatan tidak teratur, terkadang pelan terkadang cepat sekali.
2. Berhenti di sembarang tempat, dan dalam waktu yang tidak teratur.
3. Teknik mengemudi yang pindah jalur secara tidak teratur.
Faktor lain yang menyumbang pada kemacetan lalu lintas adalah tundaan
pergerakan mobil angkutan umum yang berimplikasi kepada antrian mobil
pribadi di belakangnya sehingga menimbulkan kesemrawutan. Penelitian
tentang tundaan pergerakan mobil pribadi (stopping delay) yang ditimbulkan
oleh angkutan umum ketika berhenti telah dilakukan oleh Aniek QS (1999)
dengan studi kasus jalan Jendral A. Yani, Kota Bandung. Pergerakan mobil
pribadi dipelajari dengan membandingkan tundaan yang ditimbulkan oleh
angkutan kota dan bis kota, karena kedua jenis kendaraan tersebut mempunyai
perbedaan karakteristik antara lain dari sisi ukuran dan kapasitasnya.
Tundaan yang ditimbulkan oleh bis kota sebesar 46.191 detik dan
tundaan angkutan kota sebesar 6.227 detik. Perbedaan ini disebabkan oleh
faktor rata-rata lama berhenti bis kota yang lebih lama dibandingkan dengan
angkutan kota, kecepatan bis kota yang lebih rendah dan batas headway
minimum yang diperlukan oleh kendaraan lain untuk mendahului bis kota lebih
panjang dibandingkan dengan headway minimum yang diperlukan oleh
kendaraan lain untuk mendahului angkutan kota.
Selanjutnya, Bastian Wirantono (1999) melakukan penelitian tentang
panjang antrian yang ditimbulkan oleh angkutan umum ketika berhenti telah
3
dilakukan dengan studi kasus Jalan Ahmad Yani (arah dalam dan luar kota),
jalan Dharmawangsa (depan terminal angkot), Jalan Urip Sumoharjo kota
Surabaya. Jenis angkutan umum yang diamati adalah bis dan angkutan kota
(angkot), dengan periode pengambilan data pada siang dan sore hari dan pada
jam bukan puncak.
Metode penelitian yang digunakan mencakup: pengukuran/perhitungan
jumlah dan panjang antrian kendaraan, lebar efektif jalan, dan waktu henti.
Dianalisa hubungan antara panjang antrian terhadap volume kendaraan, lebar
efektif dan waktu henti angkutan umum. Hasil penelitian ini menunjukkan
sebagai berikut (Bastian Wirantono, 1999):
1. Satu-satunya faktor yang berpengaruh secara signifikan pada panjang
antrian hanyalah waktu henti angkutan umum. Semakin lama angkutan
umum berhenti semakin panjang antrian kendaraan.
2. Tidak ada keterkaitan yang berarti antara volume kendaraan, lebar efektif
dan waktu henti
3. Volume kendaraan dan lebar efektif jalan tidak berpengaruh terhadap
panjang antrian, karena pengaruhnya terlalu kecil.
Secara teoritik sebenarnya lebar efektif jalan berepangaruh terhadap
tundaan, tetapi dalam penelitian ini kemungkinan persimpangan yang diukur
mempunyai lebar yang cukup ,sehingga lebar efektif jalan tidak berpengaruh.
Balitbang Provinsi Jawa Timur (2006) juga pernah melakukan studi
tentang perilaku supir dalam berlalu lintas di Surabaya. Studi ini berupaya
mengkaji faktor-faktor internal (individu) maupun eksternal yang menyebabkan
rendahnya kepatuhan masyarakat pemakai atau pengguna jalan ketika berlalu
lintas.
4
Temuan pokok dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kepatuhan masyarakat dalam hal ini pemakai atau pengguna jalan
khususnya pengendara kendaraan bermotor terhadap peraturan per-
undang-undangan lalu lintas di Jawa Timur semakin menurun.
2. Berdasarkan jenis pelanggaran yang paling banyak dilakukan, yakni
mengendarai kendaraan tanpa surat izin mengemudi (SIM), pelanggaran
rambu-rambu dan marka jalan, serta tidak dipenuhinya kelengkapan
kendaraan bermotor.
3. Situasi problematik utama yang dihadapi berkaitan dengan faktor sikap
dan perilaku pemakai atau pengguna jalan khususnya pengendara
kendaraan bermotor adalah menyangkut persepsinya tentang peraturan
perundangan lalu lintas yang lebih dilihat dalam perspektif kewajiban yang
harus dipenuhi, dan belum dilihat sebagai kebutuhan riil sehingga
mendorong mereka untuk berupaya memenuhinya.
4. Persepsi yang keliru tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat given
melainkan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan pemahamannya
terhadap peraturan perundangan lalu lintas, pengalaman berlalu lintas,
cakrawala, keyakinan, dan proses belajar yang kesemuanya baik secara
sendiri-sendiri maupun pada umumnya secara simultan menghasilkan
persepsi dimaksud.
5. Pengetahuan dan pemahaman pemakai atau pengguna jalan khususnya
pengendara kendaraan bermotor tentang peraturan perundangan lalu
lintas pada umumnya masih bersifat superfisial karena umumnya
merupakan hasil dari proses belajar secara otodidak, sehingga dalam
implementasinya di lapangan sangat mudah dipengaruhi oleh berbagai
5
stimulus eksternal baik secara tunggal maupun bergabung dalam bentuk
imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati.
1.2 Perumusan Masalah
Karena begitu pentingnya perilaku tertib berlalu lintas untuk
menghindari tingginya angka kecelakaan lalu lintas di samping menumbuhkan
kehidupan kota yang lebih berbudaya, maka studi ini berupaya mengeksplorasi
beberapa masalah utama dalam berlalu lintas.
a. Bagaimanakah pola perilaku berlalulintas supir angkutan kota Medan?
b. Bagaimana hubungan tingkat pendidikan supir angkutan kota dengan
perilaku berlalu lintas di Kota Medan?
c. Apakah ada hubungan etnisitas dengan perilaku berlalu lintas di kalangan
supir angkutan kota di Kota Medan?
d. Apakah ada hubungan antara lama kerja dengan perilaku berlalu lintas di
kalangan supir angkutan kota di Kota Medan?
e. Apakah kelompok kerja (Armada) mempengaruhi perilaku berlalu lintas di
kalangan supir angkutan kota di Kota Medan?
f. Apakah faktor-faktor yang melatarbelakangi perilaku berlalu lintas supir
angkutan kota di Kota Medan?
1.3 Tujuan Penelitian
a. Memperoleh gambaran tentang pola perilaku berlalulintas supir angkutan
kota Medan di Kota Medan.
b. Mengukur hubungan antara tingkat pendidikan dengan perilaku berlalu
lintas supir angkutan kota Medan di Kota Medan.
c. Mengukur hubungan antara etnisitas dengan perilaku berlalu lintas di
kalangan supir angkutan kota Medan di Kota Medan.
6
d. Mengukur hubungan antara lama kerja dengan perilaku berlalu lintas di
kalangan supir angkutan kota Medan di Kota Medan.
e. Mengukur hubungan antara kelompok kerja (Armada) dengan perilaku
berlalu lintas di kalangan supir angkutan kota Medan di Kota Medan.
f. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku supir
angkutan kota di Kota Medan.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada Pemerintah
Kota Medan, dalam hal ini Dinas Perhubungan Kota Medan, untuk menyusun
strategi penanggulangan masalah lalu lintas, seperti kemacetan. Hasil kajian ini,
diharapkan dapat menjadi data dasar yang mendasari pengambilan keputusan
(better information for better policy) dalam penanggulangan masalah lalu lintas
di Kota Medan yang lebih baik.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
9
Pada saat inilah ia memasuki tahap action (ia menegaskan perubahan
perilaku) misalnya dengan memakai kondom secara konsisten setidaknya
selama 6 bulan dengan harapan bahwa tindakannya akan menyembuhkannya.
Ia kemudian mendapat dukungan dari kelompok dan menghindari seks bebas.
Pada tahap maintenance (ia menjaga perilakunya yang berubah) selama 6
bulan (lihat Gambar di bawah).
Tahap-tahap Perubahan
- Meningkatnya Kesadaran
- Penyembuhan Dramatis
- Re-Evaluasi Lingkungan
- Re-Evaluasi Diri
- Pembebasan Diri
- Meningkatkan Pengelolaan
(Manajemen) Diri
- Membenahi Hubungan
- Melawan Kondisi
- Mengontrol Stimulus
10
Ahli lain menjelaskan lebih lanjut bahwa perilaku adalah suatu kegiatan
atau aktifitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Karena itu,
dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh–
tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka
mempunyai aktifitas masing–masing. Sehingga yang dimaksud perilaku
manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas manusia itu sendiri
yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara,
tertawa, bekerja,kuliah, menulis, membaca dan sebagainya.
Dengan begitu, yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan
atau aktifitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak
dapat diamati pihak luar (Notoatmodjo: 2003, 114).
2.2 Bentuk Perilaku
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, menurut Notoatmodjo,
maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu. Pertama, yakni perilaku
tertutup. Perilaku ini adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini
masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan / kesadaran, dan sikap
yang terjadi belum bisa diamati secara jelas oleh orang lain. Selanjutnya, kedua
adalah perilaku terbuka, yakni perilaku atas respon seseorang terhadap
stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap terhadap
stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan.
2.3 Proses Terjadinya Perilaku
Rogers (dalam Notoatmojo, 2003) mengungkapkan bahwa sebelum orang
mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut
terjadi proses yang berurutan, yaitu (1) awareness atau kesadaran, yakni orang
11
tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus atau objek terlebih dahulu
interest, yaitu orang mulai tertarik kepada stimulus; (2) evaluation adalah
menimbang–nimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya. Hal ini berarti
sikap responden sudah lebih baik lagi dan (3) yakni trial dimana seseorang
telah mulai mencoba perilaku baru. Dan (4) adoption, di mana subjek atau
pelaku telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan
sikapnya terhadap stimulus. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi
perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan
sikap yang positif maka perilaku tersebut akan menjadikebiasaan atau bersifat
langgeng (Notoatmodjo 2003, 122).
2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Menurut L.W.Green, faktor pendorong perilaku manusia adalah faktor
perilaku dan faktor non perilaku. Faktor perilaku khususnya perilaku yang
terbuka dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :
a. Faktor-faktor Predisposisi (Predisposing Factors)
Adalah faktor yang terwujud dalam kepercayaan, kayakinan, niali-nilai dan
juga variasi demografi, seperti: status ekonomi, umur, jenis kelamin dan
susunan keluarga. Faktor ini lebih bersifat dari dalam diri individu tersebut.
b. Faktor-faktor Pemungkin (Enabling Factors)
Adalah faktor pendukung yang terwujud dalam lingkungan fisik, termasuk di
dalamnya adalah berbagai macam sarana dan prasarana, misalnya : dana,
transportasi, fasilitas, kebijakan pemerintah dan lain sebagainya.
c. Faktor-faktor Pendukung (Reinforcing Factors)
12
Faktor-faktor ini meliputi : faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat,
tokoh agama, sikap dan perilaku petugas termasuk petugas, undang-undang
peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah.
2.5 Transportasi Kota
Kota merupakan magnit utama bagi pencari kerja ketika kondisi sosial
ekonomi penduduk desa mengalami proses pemiskinan. Ini diperparah
pembangunan di negara-negara berkembang pada banyak hal dianggap bias
kota. Untuk mendukung kegiatan penduduk di perkotaan, maka alat
transportasi sebagai pendukung mobilitas warga sangat penting.
Atmodirono mengemukakan, kegiatan manusia yang berbagai macam di
perkotaan menyebabkan mereka perlu saling berhubungan. Untuk itu
diperlukan alat penghubung, salah satu di antaranya dan yang paling tua
umurnya adalah angkutan. Jadi pengangkutan adalah bukan tujuan akhir
melainkan sekedar alat untuk melawan jarak.
Banyak negara berkembang menghadapi permasalahan transportasi dan
beberapa di antaranya sudah berada dalam tahap sangat kritis. Permasalahan
yang terjadi bukan saja disebabkan oleh terbatasnya sistem prasarana
transportasi yang ada, tetapi ditambah permasalahan lainnya. Pendapatan
rendah, urbanisasi yang sangat cepat, terbatasnya sumber daya, khususnya
dana, kualitas dan kuatintas data yang berkaitan dengan transportasi, kualitas
sumber daya manusia, tingkat disiplin yang rendah, dan lemahnya sistem
perencanaan dan kontrol membuat permasalahan transportasi menjadi
semakin parah (Tamin, 2000).
Dalam perkembangan literatur transportasi kota, Tamin, membedakan
dua konsep sistem transportasi. Pertama, ciri pergerakan tidak spasial (tanpa
13
batas ruang) di dalam kota, misalnya yang menyangkut pertanyaan mengapa
orang melakukan perjalanan, kapan orang melakukan perjalanan, dan jenis
angkutan apa yang digunakan. Kedua, ciri pergerakan (dengan batas ruang) di
dalam kota, termasuk pola tata lahan, pola perjalanan orang dan pola
perjalanan. Ciri pergerakan tidak spasial adalah semua ciri pergerakan yang
berkaitan dengan aspek tidak spasial, seperti faktor terjadinya pergerakan,
waktu terjadinya pergerakan dan jenis angkutan umum yang digunakan.
Terjadinya pergerakan dapat dikelompokkan berdasarkan maksud
perjalanan sebagai berikut. Pertama, aktivitas ekonomi, seperti mencari nafkah
dan mendapatkan barang serta pelayanan. Kedua, aktivitas sosial, seperti
menciptakan dan menjaga hubungan pribadi. Klasifikasi perjalanannya berupa
ke dan dari rumah teman, ke dan dari tempat pertemuan bukan di rumah.
Dalam aktifitas ini kebanyakan fasilitas terdapat dalam lingkungan keluarga dan
tidak menghasilkan banyak perjalanan serta terkombinasi dengan perjalanan
hiburan. Ketiga, aktivitas pendidikan, klasifikasi perjalanan ini adalah ke dan
dari sekolah, kampus dan lain-lain. Aktivitas ini biasanya terjadi pada sebagian
besar penduduk yang berusia 5-22 tahun, di negara sedang berkembang
jumlahnya sekitar 85 % penduduk. Keempat, aktivitas rekreasi dan hiburan.
Klasifikasi perjalanannya adalah ke dan dari tempat rekreasi atau yang
berkaitan dengan perjalanan dan berkendaraan untuk berekreasi. Aktifitas ini
biasa terjadi seperti mengunjungi restoran, kunjungan sosial. Kelima, aktivitas
kebudayaan, klasifikasi perjalanannya adalah ke dan dari daerah budaya serta
pertemuan politik. Aktivitas ini berupa perjalanan kebudayaan dan hiburan dan
sangat sulit dibedakan.
14
2.6 Perilaku Berlalulintas
Jalan raya yang awalnya berfungsi mempelancar pergerakan manusia dan
barang dari satu tempat ke tempat lain, ternyata akhir-akhir ini jalan menjadi
sumber kecelakaan.Jalan sudah tidak aman. Kecelakaan lalu lintas merupakan
suatu tragedi manusia.(EC.,1996) kecelakaan di jalan raya penyebabkan
kematian manusia di bawah umur 40 tahun dan merupakan penyebab
kehilangan umur kehidupan yang terbesar. Menurut Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO), pada tahun 1998 tabrakan di jalan merupakan penyebab
terbesar luka atau kematian dini (early death) pada pria antara umur 15 sampai
44 di seluruh dunia. Juga, urutan kedua terbesar penyebab luka atau kematian
dini pada pria semua golongan umur di negara berkembang (BTS 2000).
Keamanan lalu lintas (traffic safety) tetap merupakan suatu keprihatian
kesehatan publik yang serius di negara maju dan di negara berkembang (Sinha,
2002) .
Semua pemakai jalan mempunyai peran penting dalam pencegahan dan
pengurangan kecelakaan. Walaupun kecelakaan cenderung terjadi tidak hanya
oleh satu sebab, tetapi pemakai jalan adalah pengaruh yang dominan. Pada
beberapa kasus tidak adanya pengalaman untuk menginterprestasi hal-hal
yang penting dari serangkaian peristiwa waktu mengendara sering mengambil
keputusan atau tindakan yang salah. Kesalahan yangpaling sering dilakukan
oleh pemakai jalan adalah kecepatan yang berlebihan, lengah, salah anggapan,
sikap panik karena tidak punya pengalaman. Para pengemudi muda yang tidak
berpengalaman dan kematangan emosial belum stabil, sikap suka pamer dan
sifat-sifat lain yang menyebabkan kelompok ini mempunyai laju kecepatan
yang tinggi.
15
Menurut Hobbs, (1995) pengemudi digolongkan antara pengemudi yang
aman dan tidak aman. Empat kategori pengemudi diindentifikasi setelah
mengamati kinerja merekadalam mengendarai kendaraan pada suatu rute
pengujian. Observasi-observasi ini mencakup kecelakaan di dekat lokasi,
pandangan ke kaca spion, gerakan kendaraan, dan respon didahului dan
mendahului. Kategori setiap pengemudi dapat dilihat pada bagian uraian
berikut :
a. Safe (S, aman): sangat sedikit kecelakaan, memakai sinyal dengan baik, tidak
melaksanakan gerakan yang tidak umum. Frekuensi menyalip sama dengan
frekuensi tersalip.
b. Dissociated active (DA, aktif terpisah): banyak mendapat kecelakaan dan
gerakannya berbahaya, mengemudi dengan cara seenaknya, sedikit
memberi sinyal dan jarang melihat kaca spion. Tersalip lebih sering dari
pada menyalip.
c. Dissociated passive (DP, pasif terpisah): sering mendapat kecelakaan,
kesadaran rendah, mengemudi di daerah median, dan dengan hanya sedikit
penyesuai dengan kondisi sekitar. Tersalip lebih jarang dibanding menyalip.
d. Injudicious (I, kemampuan menilai kurang) : sering mendapat kecelakaan,
estimasi jarak tidak baik, dan gerakann yang tidak umum, terlalu sering
melihat kaca spion, Gerakan menyalip tidak baik.
Uji psikologis yang telah dipakai untuk membedakan antara pengemudi
yang aman dan yang tidak aman. Biasanya pengemudi yang aman berasal dari
kelompok yang introvert . Pengemudi yang tidak aman biasanya dari kelompok
yang ekstrovert.
16
2.7 Landasan Teori
Perilaku manusia merupakan respon terhadap stimulus. Dalam
memberikan respon, manusia biasanya mempertimbangkan faktor internal
(dalam diri individu itu sendiri) dan faktor internal (di luar individu). Faktor
internal yang mempengaruhi perilaku manusia biasanya adalah pendidikan,
pengalaman, nilai-nilai dan orientasi yang dianut seseorang. Sedangkan faktor
eksternal yang mempengaruhi tindakan individu adalah penegakan hukum,
kompetisi, dan aturan yang ditegakkan oleh atasan atau lingkungan dimana
individu bekerja. Jadi, pada dasarnya, tidak ada individu yang benar-benar
bertindak yang hanya didorong kehendak bebas (free will) si individu, tapi pada
banyak hal, mempertimbangkan faktor eksternal.
Selanjutnya, dalam perubahan perilaku manusia dikenal teori Tahapan-
Tahapan Teori Perubahan (Stages of Change Theory), yakni precontemplation,
contemplation, action dan maintenance. Dengan kata lain, perubahan perilaku
manusia mengikuti tahap-tahap ini.
Ini bisa kita lihat ketika seseorang diduga terinveksi penyakit HIV
misalnya. Pada tahap precontemplation misalnya individu yang sakit tadi
mengalami masalah (apakah dia tahu atau tidak tahu sudah sakit HIV) dan tidak
ingin berubah. Tapi dengan munculnya kesadaran si individu, apakah melalui
informasi dan pengetahuan tentang HIV dan mulai melakukan evaluasi dan
refleksi pada dirinya (bagaimana dampak HIV pada dirinya) ia memasuki tahap
contemplation (ia menyadari ia telah kena HIV dan mulai berpikir untuk
berubah) ia kemudian melakukan evaluasi diri dan memikirkan perubahan yang
akan dilakukannya.
17
Pada tahap berikutnya, individu memasuki tahap preparation for action
(individu menyadari masalah penyakitnya dan ingin berubah pada bulan
berikutnya). Beberapa perilaku yang mau dirubah misalnya sudah dicatat,
seperti pemakaian kondom yang tidak konsisten, tapi bentuk nyata perubahan
perilaku belum ditemukan. Pada tahap ini, ia mulai meyakinkan diri, bahwa ia
yakin untuk berubah.
Dan pada saat inilah ia memasuki tahap action (ia menegaskan
perubahan perilaku) misalnya dengan memakai kondom secara konsisten
setidaknya selama 6 bulan dengan harapan bahwa tindakannya akan
menyembuhkannya. Ia kemudian mendapat dukungan dari kelompok dan
menghindari seks bebas. Pada tahap maintenance (ia menjaga perilakunya
yang berubah) selama 6 bulan.
PENDIDIKAN
ETNISITAS
PERILAKU
LAMA KERJA
ARMADA
19
BAB III
METODE PENELITIAN
21
Tabel 3.1. Tabel Isaac dan Michael Penentuan Jumlah Sampel
Berdasarkan Rumus Isaac dan Michael dengan Taraf Signifikansi 95 %.
N S N S N S
10 10 220 140 1200 219
15 14 230 144 1300 297
20 19 240 148 1400 306
25 24 250 152 1500 309
30 28 260 155 1600 310
35 32 270 159 1700 313
40 36 280 162 1800 317
45 40 290 165 1900 320
50 44 300 169 2000 322
55 48 320 175 2200 327
60 52 340 181 2400 331
65 56 360 186 2600 335
70 59 380 191 2800 338
75 63 400 196 3000 341
80 66 420 201 3500 346
85 70 440 205 4000 351
90 73 460 210 4500 354
95 76 480 214 5000 357
100 80 500 217 6000 361
110 86 550 226 7000 364
120 92 600 234 8000 367
130 97 650 242 9000 368
140 103 700 248 10000 370
150 108 750 254 15000 375
160 113 800 260 20000 377
170 118 850 265 30000 379
180 123 900 269 40000 380
190 127 950 274 50000 381
200 132 1000 278 75000 382
22
210 136 1100 285 100000 384
Catatan: N= Populasi
S= Sampel
23
14 CV Mekar Jaya 315 Kushendra
15 PT Gajah Mada 310 J. Sitindaon
16 CV Wampu Mini 733 H. NG Brahmana
TOTAL 16.736
24
duga. Sebelum penyebaran kuesioner dilakukan, terlebih dahulu dilakukan uji
kuesioner terhadap 30 orang responden. Setelah dilakukan perbaikan atas
sistematika dan substansi beberapa pertanyaan maka akhirnya dilakukan
penyebaran kuesioner.
3.4.2. Wawancara
Selain kuesioner, alat pengumpul data yang digunakan adalah
wawancara mendalam yang dilakukan langsung oleh peneliti. Wawancara ini
akan dilakukan di tempat-tempat pangkalan angkutan kota tempat para supir
biasanya mangkal. Wawancara juga mungkin dilakukan di rumah supir dengan
perjanjian sebelumnya. Karena itu, penjajakan dan pendekatan dengan para
supir juga penting selama proses penelitian ini berlangsung. Dalam melakukan
wawancara digunakan instrumen penelitian sebagai pedoman wawancara dan
alat bantu seperti kamera, tape recorder dan buku catatan.
3.4.3. Pengamatan (observasi)
Pengamatan dalam penelitian ini dilakukan secara langsung ke lokasi
penelitian. Pengamatan ini dilakukan dengan melakukan wawancara langsung
di pangkalan dan kantor direksi armada. Pengamatan juga dilakukan dengan
menaiki angkot sebagaimana layaknya penumpang biasa dengan memilih
duduk di bangku samping supir dengan wawancara bebas dan tak terstruktur
pada trayek-trayek tertentu.
3.4.4. Studi Dokumen
Mengingat bahwa sebagian data primer hanya bisa dijelaskan dengan
bantuan data sekunder, maka dalam penelitian ini juga dilakukan penggalian
data dengan menggunakan teknik studi dokumen, seperti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah/Daerah, Renstra, buku dan lain-lain.
25
3.5. Analisis dan Interpretasi Data
Data dari kuesioner akan dianalisa dalam tabel tunggal dan tabel silang
untuk melihat prosentase dan kecenderungan (median) variabel-varibel
(pendidikan, etnisitas, armada, lama kerja jadi supir, misalnya) dari hasil olahan
statistik (SPSS atau Excell). Juga akan dilihat hubungan antar variabel dengan
menggunakan uji korelasi.
Sedangkan data kualitatif yang diperoleh dari wawancara mendalam
akan dikategorisasi dan dikonseptualisasi untuk melengkapi analisis kuantitatif
dari hasil olahan statistik yang merupakan hasil entri data kuesioner. Data ini
diharapkan akan menajamkan analisa sekaligus interpretasi data selama proses
penelitian berlangsung.
3.6. Definisi Konsep
a. Perilaku dalam penelitian ini adalah perilaku berlalu lintas yang dilakukan
supir yang dapat diamati baik yang dilakukan karena tekanan dari luar
(eksternal) maupun karena kesadaran sendiri (internal). Dengan demikian,
perilaku berlalulintas didefinisikan sebagai kecenderungan yang ditampil-
kan oleh supir angkutan kota dalam mengendarai kendaraan sejak dari
pangkalan keberangkatan, dalam perjalanan, hingga pangkalan tujuan.
Perlu ditambahkan, bahwa yang dimaksud dengan angkutan kota dalam
penelitian ini adalah terbatas untuk “sudako” (yang berarti taksi, becak
bermotor, damri, ojek tidak masuk dalam penelitian ini). Angkutan kota ini
antara lain : KPUM, CV Mitra, PT Rahayu, CV Medan Bus, PT Kobun, dan
lain-lain.
b. Sementara itu, yang dimaksud dengan supir adalah orang yang
mengendarai angkutan kota yang ditandai dengan merk armada dengan
26
ciri tersendiri untuk setiap armada (kesatuan) baik yang tidak memiliki SIM
yang berlaku maupun yang berlaku.
c. Lama kerja adalah durasi dalam mengemudi yang diperankan seorang
supir berdasarkan hitungan bulan dan tahun.
d. Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan formal dan nonformal yang
dicapai.
e. Etnisitas adalah penyebutan suku yang diakui dan ditandai dengan bahasa,
adat-istiadat maupun lingkungan tradisi yang dianut oleh seseorang.
f. Kesatuan (aArmada) adalah organisasi/perusahaan pengelola trayek
dimana angkutan kota bergabung.
3.7 Definisi Operasional
a. Perilaku berlalulintas diteliti melalui indikator-indikator sebagai berikut :
1) Kepatuhan terhadap peraturan armada.
2) Kepatuhan terhadap rambu-rambu lalu-lintas.
3) Kecenderungan dalam hal kecepatan.
4) Kecenderungan dalam hal penggunaan alat isyarat (sign) kendaraan.
5) Sopan-santun berkendaraan di antara kedaraan lainnnya.
b. Pendidikan diteliti melalui indikator-indikator :
1) Ijazah terakhir yang diperoleh.
2) Pengalaman mengikuti pendidikan nonformal.
3) Terpaan media (media exposure).
4) Frekuensi membaca buku.
5) Frekuensi berdiskusi dengan teman sepergaulan.
c. Etnisitas diteliti menurut indikator-indikator :
1) Lingkungan etnis tempat bermukim.
27
2) Lingkungan adat yang diikuti.
3) Bahasa yang digunakan dengan pasangan.
d. Lama Kerja diukur dengan indikator :
Durasi waktu (dalam satuan tahun) yang telah dilalui bekerja sebagai supir.
e. Kesatuan (Armada) diteliti melalui indikator-indikator :
1) Ketersediaan peraturan tata-tertib.
2) Kepatuhan terhadap peraturan tata-tertib.
3) Kebijakan organisasi menyangkut pengawasan.
4) Pendidikan sopan-santun lalulintas.
3.8. Jadwal dan Tahap Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu dimulai pada bulan
Juli 2012 sampai dengan bulan September 2012. Untuk lebih jelasnya kegiatan-
kegiatan yang dilakukan selama penelitian, dapat dilihat di table di bawah ini.
28
8 Diskusi Draft Laporan
9 Penyempurnaan Draf Laporan
10. Seminar hasil
29
BAB IV
30
Tabel 4.1. Letak Geografis beberapa daerah Kota Medan.
Garis Lintang Garis Bujur Tinggi Dari
Nama Daerah
(LU) (BT) Permukaan Laut (m)
Sampali 03⁰.62’ 98⁰.78’ 25
Polonia 03⁰.32’ 98⁰.39’ 27
Belawan 03⁰.48’ 98⁰.42’ 3
Sumber: Kota Medan dalam Angka 2011
4.1.3 Administrasi
Secara administratif, Kota Medan memiliki wilayah seluas 265,10 km² yang
terdiri dari 21 kecamatan dengan 151 kelurahan, secara rinci dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 4.2. Luas Kota Medan menurut kecamatan
No Kecamatan Luas(km²) Persentase
1 Medan Tuntungan 20,68 7,80
2 Medan Johor 14,58 5,50
3 Medan Amplas 11,19 4,22
4 Medan Denai 9,05 3,41
5 Medan Area 5,52 2,08
6 Medan Kota 5,27 1,99
7 Medan Maimun 2,98 1,12
8 Medan Polonia 9,01 3,40
9 Medan Baru 5,84 2,20
10 Medan Selayang 12,81 4,83
11 Medan Sunggal 15,44 5,82
12 Medan Helvetia 13,16 4,96
13 Medan Petisah 6,82 2,57
14 Medan Barat 5,33 2,01
15 Medan Timur 7,76 2,93
16 Medan Perjuangan 4,09 1,54
17 Medan Tembung 7,99 3,01
18 Medan Deli 20,84 7,86
31
19 Medan Labuhan 36,67 13,83
20 Medan Marelan 23,82 8,99
21 Medan Belawan 26,25 9,90
Total Kota Medan 265,10 100
Sumber: Kota Medan dalam Angka 2011
4.1.4. Demografi
Jumlah penduduk Kota Medan sampai dengan tahun 2011 sebesar
2.097.610 jiwa dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 0,87 % dan jumlah
kepadatan penduduk per kilometer rata-rata sebesar 7.798 jiwa/km². Angka
pertumbuhan penduduk, kepadatan penduduk dan jumlah penduduk per
kecamatan dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan Tabel 4.4. berikut.
Tabel 4.3. Jumlah penduduk Kota Medan menurut
kecamatan dan jenis kelamin.
32
19 Medan Labuhan 56.676 54.497 111.173
20 Medan Marelan 71.287 69.127 140.414
21 Medan Belawan 48.889 46.617 95.506
1.039.926 1.060.684 2.097.610
Sumber: Kota Medan dalam Angka 2011
34
Tabel 4.5. Pertumbuhan kenderaan bermotor menurut
jenis kenderaan di Kota Medan
Jenis Kenderaan
No Tahun Penumpang Truck Bus Motor Jumlah
1 2002 128.882 93.989 11.424 558.236 792.531
2 2003 138.179 99.464 11.815 657.460 906.918
3 2004 149.302 104.776 12.108 756.569 1.022.755
4 2005 164.314 112.001 12.406 833.406 1.172.128
5 2006 175.198 116.184 12.619 895.745 1.289.746
Sumber: Satlantas Poltabes MS, Ditlantas Poldasu, 2007
36
Tabel 4.8. Angkutan umum dalam trayek tidak tetap di Kota Medan.
Jenis Armada Jumlah Armada
Nama Perusahaan Plapond Realisasi % KPS
1 PT.Mandiri Karya S. Beca Bermotor 5.000 4.968 99,36 632
2 KPUM Beca Bermotor 4.000 4.000 100,00 686
3 YPSA Beca Bermotor 250 250 100,00 25
4 Bahumas Kosgoro Beca Bermotor 300 300 100,00 86
5 CV.Mitra Beca Bermotor 1.300 1.300 100,00 108
6 CV.Batang Gadis Beca Bermotor 300 300 100,00 -
7 KPSM Beca Bermotor 750 750 100,00 10
8 FA.Mekar Jaya Beca Bermotor 500 500 100,00 71
9 Koperasi Opsi SU Beca Bermotor 300 300 100,00 -
10 Kop.HABSU Beca Bermotor 600 600 100,00 36
11 UD.MILTAR Beca Bermotor 750 750 100,00 -
12 CV.Sinar Cahaya Duta Beca Bermotor 3.200 3.200 100,00 50
13 CV.Sinar Cahaya Duta Beca Bermotor 2.000 1.456 72,80 50
14 Yayasan T. Deli IndahBeca Bermotor 300 300 100,00 -
15 CV.Indah Ceria Medan Beca Bermotor 1.000 1.000 100,00 70
16 HABSSU(Sejahtera M.) Beca Bermotor 1.000 1.000 100,00 39
17 YAPABSU Beca Bermotor 500 500 100,00 33
18 PABM Beca Bermotor 950 950 100,00 40
19 Bestari Transport Beca Bermotor 300 300 100,00 4
20 Serikat Beca Merdeka Beca Bermotor 150 150 100,00 38
21 Perhimpunan A.B Win Beca Bermotor 500 142 28,40 112
22 CV.Laju Deli S. Beca Bermotor 1.000 1.000 100,00 50
23 Baja Pulau Samosir Beca Bermotor 200 200 100,00 4
24 HIPKAMSI Trans Beca Bermotor 300 300 100,00 23
25 CV.Permana Putra Beca Bermotor 750 15 1,86 -
Jumlah 26.200 24.531 93,62 2.167
Sumber: Rekapitulasi Data Dinas Perhubungan Kota Medan, 2012
37
Tabel 4.9. Angkutan umum taksi di Kota Medan
Jenis Jumlah Armada
No Nama Perusahaan Kendaraan Plapond Realisasi %
1 PT.Deli Cepat Taksi Taksi 275 76 27,63
2 Kokapura II Taksi 50 50 100,00
3 PT. Angkasa Bhakti Taksi 100 100 100,00
4 PT. Express Limo N. Taksi 500 120 24,00
5 PT. Yuki Taksi 100 21 21,00
6 Kostar Taksi Taksi 170 82 48,23
7 Matra Taksi(KPUM) Taksi 500 131 26,20
8 PT. Karsa Taksi 650 69 10,61
9 PT. Blue Bird Taksi 500 300 60,00
10 PT. Ridha Taksi 50 5 10,00
Almunawarrah
11 CV. Eka Prasetya Taksi 150 6 4,00
Jumlah 3.045 960 31,52
Sumber: Rekapitulasi Data Dinas Perhubungan Kota medan, 2012
38
4. Memisahkan fungsi terminal yang bersifat lokal dengan regional agar
terjamin pelayanan angkutan umum yang optimal.
5. Meningkatkan pelayanan angkutan dalam rangka menarik minat
masyarakat untuk lebih menggunakan angkutan umum.
6. Mengembangkan jenis angkutan umum yang lebih sesuai dengan
karakteristik jaringan jalan kota.
4.1.7 Prasarana
4.1.7.1 Jaringan Jalan
Kota Medan memiliki pola jaringan jalan yang berbentuk grid/kisi-kisi
pada daerah pusat kota dan bentuk radial pada daerah pinggiran kota. Jalan
utama sebagai koridor dalam kota adalah Jalan Thamrin, Jalan Pandu, Jalan
Sutomo, Jalan Pemuda, Jalan Ahmad Yani, Jalan Balai Kota, Jalan MT Haryono,
Jalan Cirebon, Jalan Raden Saleh, Jalan Guru Patimpus, dan Jalan Perintis
Kemerdekaan, serta Jalan Prof. H.M. Yamin. Sedang koridor luar yang meng-
hubungkan daerah pinggiran kota dengan pusat kota yaitu Jalan KL. Yos
Sudarso, Jalan Putri Hijau, dan Jalan Krakatau sebagai jalan yang meng-
hubungkan daerah Utara dengan pusat kota, Jalan Letda Sujono sebagai jalan
yang menghubungkan daerah bagian Barat dengan pusat kota, Jalan Gatot
Subroto sebagai jalan yang menghubungkan daerah bagian Timur dengan pusat
kota, Jalan Sisingamangaraja dan Jalan Brigjend Katamso serta Jalan Jamin
Ginting, merupakan jalan yang menghubungkan daerah bagian Selatan dengan
pusat kota.
Untuk menghubungkan daerah pinggiran kota secara langsung, tanpa
harus melalui pusat kota disediakan jalan lingkar Utara, yaitu Jalan Kapten
Sumarsono, Jalan Asrama, Jalan Gagak Hitam, Jalan Industri, dan Jalan
39
Ngumban Surbakti, yang menghubungkan daerah bagian Utara dengan bagian
Timur, sedangkan daerah bagian Selatan dengan daerah bagian Timur
dihubungkan oleh jalan lingkar Selatan yaitu Jalan Bunga Sedap Malam, Jalan
AH. Nasution dan Jalan Karya Jasa.
Selain itu juga terdapat jalan Tol Belmera (Belawan-Medan-Tanjung
Morawa) yang menghubungkan daerah bagian Selatan Kota Medan yaitu
Tanjung Morawa dengan daerah bagian Utara Kota Medan yaitu Belawan yang
dibangun memanjang pada daerah bagian Barat. Keberadaan Jalan Lingkar dan
Jalan Tol ini sangat membantu dalam mengalihkan arus kendaraan menerus
yang melalui pusat kota, sehingga mengurangi kepadatan volume lalu lintas
dalam kota serta merangsang pertumbuhan daerah pinggiran kota. Untuk
memperlancar arus lalu lintas dilakukan beberapa manajemen lalu lintas
seperti jalan satu arah terutama pada daerah pusat kota yaitu pada Jalan
Ahmad Yani, Jalan Balai Kota, Jalan Putri Hijau, Jalan Diponegoro, Jalan Imam
Bonjol (sebagian), Jalan Kartini, Jalan Teuku Daud, Jalan Kapten Maulana Lubis,
Jalan MT Haryono, Jalan Gajah Mada (sebagian), Jalan Zainul Arifin, Jalan
Sutoyo, Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan HM. Yamin, Jalan Thamrin, Jalan
Merbabu, Jalan Sutomo, Jalan Pandu, Jalan Cirebon, Jalan Gaharu, dan hampir
seluruh jaringan jalan dalam wilayah pusat kota. Kota Medan memiliki jalan
sepanjang 3.078,94 km dengan perincian sebagai berikut :
42
4.2 Profil Responden
4.2.1 Klasifikasi jenis supir
Sebagian besar jenis atau kategori supir yang diteliti dalam penelitian ini
adalah supir tetap (66 %) diikuti kemudian supir tembak (19 %) dan yang
terakhir supir sekaligus pemilik (15 %). Ini merupakan konsekuensi logis karena
memang sebagian besar supir (35 %) yang diteliti merupakan supir KPUM.
Karena memang armada KPUM senantiasa menetapkan regulasi yang ketat
dalam menetapkan supir di dalam armadanya, yakni dengan memberikan Kartu
Pengenal Supir bagi setiap supir yang mengemudi dan menyimpan data dasar
supir di kantor.
Ini diperkuat lagi, karena Armada KPUM mewajibkan supir membayar
setoran untuk STM (Rp 5.000 per hari) yang dikelola supir secara independen.
Dengan demikian, KPUM jarang sekali atau tidak pernah mempekerjakan supir
tembak, sebagaimana terjadi di armada yang lain. Kategori supir di armada ini
biasanya adalah supir satu atau supir dua, yang semuanya terdaftar resmi di
kantor dan wajib membayar setoran.
Grafik 4.1. Kategori / Jenis Supir
43
Supir Sekaligus
Pemilik
15%
Supir Tembak
19%
Supir Tetap
66%
47
4.2.2. Lama Kerja Supir
Grafik 4.2. Lama Kerja Supir
Di atas 20 tahun
15% Di bawah 5 tahun
23%
16 – 19 tahun
7%
11 – 15 tahun
20%
5 – 10 tahun
35%
Dilihat dari lama bekerja, sebagian besar (35 %) bekerja antara 5-10
tahun, disusul masa kerja di bawah 5 tahun (23 %) dan masa kerja 11-15 tahun
(20 %). Hanya 14 % yang bekerja di atas 20 tahun. Lama bekerja ini
merefleksikan beberapa asumsi. Pertama, sebagian besar supir masih baru
bekerja dan diasumsikan angkatan kerja berusia muda. Usia muda ini juga
diperkirakan salah satu faktor yang melatarbelakangi perilaku supir yang
kurang taat berlalu lintas. Kedua, masa kerja antara 11-15 tahun dan di atas 20
tahun kalau digabungkan mencapai sekitar 34 % mengasumsikan bahwa
pekerjaan supir sekarang ini bukan lagi profesi yang menjanjikan seperti supir-
supir dulu. Dalam artian lain, profesi supir bisa saja ditinggalkan kalau ada
pekerjaan yang lebih menjanjikan.
Ini dibuktikan saat wawancara di kalangan supir dan direksi armada.
Seorang supir mengatakan, nasib supir sekarang ini tak lebih ibarat budak
karena harus bekerja dari pagi sampai malam, tapi kadang tetap juga kurang
48
setoran. Ini yang membuat supir kurang taat berlalu lintas karena semata untuk
mengejar setoran dan mencari sekaligus menambah penghasilan. Menurut
supir yang kadang berprofesi sebagai supir truk lintas Sumatra ini, ia kadang
mengemudikan truk ke Jakarta membawa jeruk, karena penghasilannya lebih
baik. Dalam seminggu pulang pergi Medan-Jakarta, ia bisa menghasilkan Rp 1
juta. Ia menyerahkan kepada istrinya Rp 800.000 dan Rp 200.000 lagi
digunakan untuk uang jalannya.
Dengan nada putus asa, ia melanjutkan, kalau pekerjaan supir sekarang
tidak menjanjikan lagi dan hanya bisa hidup bertahan ala kadarnya. Ini
diperkuat lagi lewat pengakuan seorang direksi salah satu armada, yang
sebelumnya pernah bekerja sebagai supir di Jakarta dulu semasa
kepemimpinan Ali Sadikin. Mantan supir yang mengemudikan bus Saudaranta
pada 1973 di Jakarta ini menuturkan sekaligus membandingkan, penghasilana
supir dulu sangat menjanjikan dan masih terpandang.
Hanya bekerja sehari bisa membeli 2-3 meter tanah di Jakarta. Karena itu,
dulu profesi supir masih diminati dan dianggap terpandang. Bahkan untuk
menjadi supir dulu relatif sulit. Sebelum menjadi supir harus menjadi cincu
(kernek), ngelap ban mobil sampai mengkilap, bahkan kadang-kadang harus
mencuci pakaian supir. Ironisnya sekarang, profesi supir dianggap rendahan
dan kurang menjanjikan.
Menurut supir ini, menurunnya pendapatan supir sekarang salah satu
faktornya adalah berlebihnya, baik plafon maupun trayek angkutan kota di
Kota Medan (tanpa bisa menjelaskan ukuran kuantitatif kelebihannya ketika
ditanya lebih lanjut). Kalau ijin diberikan, kan uang masuk bagi Dinas
Perhubungan dan setoran untuk mandor akan berlipat. Bayangkan kalau ada
49
armada 7.000 unit dan setiap angkutan kota harus setor Rp 14.500, berapa per
hari dan per bulannya? Kami supir ini yang jadi korbannya.
4.2.3. Jenis Kesatuan Armada
Grafik 4.3. Kesatuan armada angkutan kota.
Mekar Jaya
Lainnya
Povri Hikma 4% 0%
0% 0%
Mars Gajah Mada
Medan Raya 6% 0%
Express
9%
KPUM
Morina 35%
8%
Desa Maju
6%
Kobun
0%
Medan Bus
11% Rahayu
Nasional
19%
2%
Sebagian besar armada yang diteliti adalah KPUM (35 %), Rahayu (19 %),
Medan Bus (11 %), Medan Raya Express (9 %), Morina (8 %), dan terakhir Desa
Maju (6 %). Besaran ini juga pada tingkatan tertentu merefleksikan besaran
armada angkutan kota di Kota Medan.
50
4.2.4. Keberlakuan Surat Ijin Mengemudi (SIM)
Grafik 4.4. Keberlakuan Surat Izin Mengemudi (SIM).
Tidak
6%
Berlaku
94%
51
4.2.5 Cara mengurus SIM
Grafik 4.5. Cara memperoleh SIM
Cara lain
Calo 0%
19%
Resmi
81%
Selanjutnya, jika dilihat dari jenis SIM yang dimiliki supir, sebagian besar
(44 %) adalah SIM A Umum (berlaku untuk mengemudikan kendaraan
bermotor umum dan barang dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak
melebihi 3.500 kilogram; disusul 34 % SIM B1 Umum (berlaku untuk
mengemudikan mobil penumpang dan barang umum dengan jumlah berat
yang diperbolehkan lebih dari 3.500 kilogram; dan 12 % SIM B Umum.
52
4.3 Pola perilaku mengemudi supir angkutan kota di Kota Medan
4.3.1 Pola antri berangkat dari stasiun
Grafik 4.6. Antrian berangkat dari Stasiun
Tidak
24%
Ya
76%
53
4.3.2 Pola Kepatuhan Antri
Grafik 4.7. Kepatuhan Antri
Sangat sering
18%
Sering
Tidak pernah
9%
47%
Kadang-kadang
26%
54
4.3.3 Pola keluar dari Stasiun
Grafik 4.8. Perilaku Ngebut Keluar Stasiun
Tidak pernah
4%
Kadang-kadang
9% Sangat sering
34%
Sering
53%
Perilaku kurang tertib supir juga tampak dari tindakan ngebut mereka
begitu keluar dari stasiun. Lebih dari setengah (53 %) responden mengaku
sering ngebut bahkan sebagian (34 %) mengaku sangat sering ngebut. Hanya
sebagian kecil (9 %) yang menjawab kadang-kadang ngebut dan hanya sedikit
sekali (4 %) yang tidak pernah ngebut begitu keluar dari terminal.
Ini menunjukkan sekali lagi, betapa perilaku kurang tertib yakni dengan
ngebut sudah menjadi perilaku setiap supir angkutan kota di Kota Medan.
Ketika ditanya mengapa ngebut, sebagian besar supir mengatakan bahwa
mereka harus adu cepat untuk memperebutkan penumpang, karena sebagian
besar sepanjang jalan trayek baik antar maupun intra armada saling ‘tabrakan’
satu sama lain.
Trayek tabrakan ini, yang disebut informan lain sebagai trayek ‘kamar
mandi’, yakni trayek yang dibicarakan dan diputuskan di luar prosedur, antara
petugas Dinas Perhubungan Kota Medan dengan Direksi armada tertentu
55
sekaligus penyalur mobil. Trayek kamar mandi ini bahkan kadang bisa
menghasilkan trayek yang menghubungkan antar kota seperti Kota Binjadi dan
Kota Medan yang dimiliki oleh armada tertentu. Trayek jenis ini yang disinyalir
informan ini kemudian membuat kelebihan armada di sebagian trayek dan
sekaligus menyingkirkan armada yang lebih kecil.
Namun ‘tabrakan’ trayek dan trayek ‘kamar mandi’ ini dibantah informan
yang lain. Tidak ada tabrakan trayek, yang ada ada adalah trayek
‘bersinggungan.’ Trayek bersinggungan ini terjadi karena semua angkutan kota
memang berangkat awal (start) dari terminal yang sama. Misalnya, trayek dari
Amplas pasti bersinggungan di Jalan Sisingamangaraja. Karena nyatanya pada
trayek tersebut, memang itu satu-satunya jalan. Jadi persinggungan trayek itu
mungkin terjadi.
Persinggungan ini lebih mungkin karena armada yang lain membuka
trayek yang sudah dilalui armada yang lain. Ini dimungkinkan karena armada
tertentu merasa trayek ini adalah yang utama sehingga memulai trayek baru di
trayek yang sudah dilalui armada yang lain. Ini terjadi karena setelah
mengantongi ijin trayek baru, belum tentu langsung mengoperasikan semua
ijin trayek tersebut, tapi membuka trayek secara bertahap dan membuka
trayek yang lebih menguntungkan dulu, yang mungkin belum dilalui oleh
armada yang lain. Mitra dan Rahayu misalnya memiliki 5 ijin trayek, tapi
memulai operasinya berbeda. Rahayu membuka trayek pertama dari trayek x
menuju y, sementara Nitra mulai trayek dari A menuju B. Kemudian Rahayu
akan membuka trayek baru lagi dari A menuju B, ini yang sering disebut timpa
menimpa. Padahal sebetulnya tidak.
Trayek dikatakan tumpang tindih, jika dari mulai berangkat sampai ke
56
tujuan akhir melalui jalur jalan yang sama. Jalur Medan-Siantar misalnya, bisa
dilalui 5 merek seperti Intra, Sentosa, dan lain-lain. Begitu juga trayek Medan
Kabanjahe yang awal titik berangkat dan tujuan akhirnya sama yang dilalui
beberapa merek seperti Sinabung Jaya, Borneo, Sutra, dan Murni Exspress.
4.3.4 Pola Perilaku mencari Penumpang
Grafik 4.9. Perilaku Ngebut mencari Penumpang
Tidak pernah
5% Sangat sering
Kadang-kadang 23%
15%
Sering
57%
Sangat sering
Tidak pernah 5%
17%
Sering
31%
Kadang-kadang
47%
60
ngebut dan hanya sebagian kecil (17 %) yang tidak pernah ngebut.
Ini sekali lagi mencerminkan perilaku kurang tertib berlalu lintas di
kalangan supir angkutan kota di Kota Medan cukup tinggi. Kendati ngebut ini
lebih dikarenakan faktor eksternal (seperti trayek yang tabrakan atau
bersinggungan dan penurunan jumlah penumpang), bukan faktor internal
seperti pendidikan, agama, suku, dan pengalaman, tetap harus diupayakan
pembenahannya secara komprehensif oleh pemangku kepentingan di sektor
transportasi umum.
4.3.6 Pola mengemudi dengan Pesepeda
Grafik 4.11. Perilaku supir terhadap pesepeda
Sa nga t
menguta ma ka n
Ti da k 2%
menguta ma ka n
sa ma s eka l i Menguta ma ka n
28% 10%
Kura ng
menguta ma ka n
60%
Perilaku kurang tertib berlalu lintas ini juga kelihatan saat supir
memperlakukan pengguna jalan lain seperti orang yang bersepeda. Hak
pesepeda, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Lalu Lintas
Angkutan Jalan Nomor 22 Tahun 2009 dalam pasal 131 ayat 2, berhak
61
mendapat prioritas pada saat menyeberang jalan di tempat penyeberangan.
Namun sebagaimana terungkap dalam penelitian ini hanya sekitar 12 %
(gabungan yang sangat mengutamakan dan mengutamakan) yang
mengutamakan pesepeda. Lebih dari separuh (60 %) supir kurang
mengutamakan dan lebih seperempat (28 %) yang sama sekali tidak
mengutamakan pesepeda.
Kondisi perlalulintasan ini mencerminkan bahwa badan jalan pada
tingkatan tertentu telah menjadi arena pertarungan antara yang ‘kuat’ dan
yang ‘lemah.’ Mobil pribadi dan angkutan kota ‘menggusur’ pengguna sepeda
motor, sepeda motor selanjutnya ‘menggusur’ pesepeda dan pejalan kaki. Ini
tampak dari trotoar yang mestinya digunakan oleh pejalan kaki malah dilalui
pengendara sepeda motor.
4.3.7 Pola menyalip dari Kiri
Grafik 4.12. Perilaku menyalip dari jalur kiri
Sangat sering
2%
Sering
Tidak pernah 15%
31%
Kadang-kadang
52%
63
4.3.8 Pola mengemudi saat pindah Jalur
Grafik 4.13. Memberi isyarat saat berpindah jalur
Sangat sering
4%
Sering
Tidak pernah 12%
36%
Kadang-kadang
48%
65
4.3.9 Pola mengemudi melewati objek tertentu
Grafik 4.14. Perilaku supir melewati objek tertentu
Sangat sering
Tidak pernah 6%
24%
Sering
23%
Kadang-kadang
47%
66
4.3.10 Perilaku supir saat Berhenti Darurat
Grafik 4.15. Perilaku memasang segi tiga pengaman
Sangat sering
Tidak pernah 10%
20%
Sering
15%
Kadang-kadang
55%
Bahkan saat berhenti darurat pun hanya seperempat (25 %) supir yang
sangat sering dan sering memasang segi tiga pengaman (apakah meletakkan
daun-daun, roda angkutan kota, atau segi tiga pengaman). Hanya lebih dari
separuh (55 %) yang kadang-kadang memasang segi tiga pengaman, dan
ironisnya lagi bahkan sebagian (20 %) supir tidak memasang segi tiga
pengaman dalam keadaan berhenti darurat. Bisa dibayangkan, dalam keadaan
darurat saja, para pengemudi angkutan kota ini masih kurang hirau dengan
keselamatan orang lain, termasuk keselamatan dirinya sendiri termasuk
angkutan kota yang dikemudikannya.
4.3.11 Perilaku supir mengangkut Penumpang Pelajar
Kendati begitu, tidak dalam semua hal supir angkutan kota kurang tertib.
Dalam hal memprioritaskan pelajar di saat penumpang penuh, sebagian besar
supir (62 %) tetap mengutamakan kalangan pelajar ini. Hanya sebagian (29 %)
yang kadang-kadang mengutamakan dan hanya sedikit supir (9 %) yang tidak
67
pernah mengutamakannya. Ini tentu patut dihargai, karena meski tarif ongkos
pelajar lebih rendah, mereka tetap mengutamakannya. Terkait kondisi ini,
seorang direksi mengatakan, bahwa angkutan kota sebenarnya telah
memberikan ‘subsidi’ ke sektor pendidikan (kepada anak-anak sekolah)
padahal mereka tidak pernah mendapat subsidi suku cadang bahkan subsidi
minyak. Subsidi minyak tidak pernah diperoleh angkutan kota, dengan alasan
harga minyak yang mereka bayarkan sama dengan harga minyak mobil pribadi.
Grafik 4.16. Perilaku supir terhadap penumpang pelajar
Kadang-kadang
29%
Sering
51%
Sangat seri ng
1%
Sering
5%
Kadang-kadang
17%
Ti dak pernah
77%
69
Tabel 4.13. Korelasi Variabel Pendidikan dan Perilaku Mengemudi.
Correlations
PS Pend Et LK Kes
PS Pearson Correlation 1 ,003 ,146* ,208** ,204**
Sig. (2-tailed) ,952 ,012 ,000 ,000
N 300 300 300 300 300
Pend Pearson Correlation ,003 1 ,272** -,023 ,046
Sig. (2-tailed) ,952 ,000 ,696 ,424
N 300 300 300 300 300
Et Pearson Correlation ,146* ,272** 1 ,115* ,233**
Sig. (2-tailed) ,012 ,000 ,047 ,000
N 300 300 300 300 300
LK Pearson Correlation ,208** -,023 ,115* 1 -,001
Sig. (2-tailed) ,000 ,696 ,047 ,989
N 300 300 300 300 300
Kes Pearson Correlation ,204** ,046 ,233** -,001 1
Sig. (2-tailed) ,000 ,424 ,000 ,989
N 300 300 300 300 300
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
71
baik terhadap pendapatan yang diperoleh dan kesetiaan kepada pilihan
pekerjaan.
Tidak pernah
4% Sangat sering
18%
Kadang-kadang
27%
Sering
51%
Sangat sering
Tidak pernah 1%
18% Sering
18%
Kadang-kadang
63%
Sangat sering
Tidak pernah 0%
Sering
22%
26%
Kadang-kadang
52%
PS Pend Et LK Kes
PS Pearson Correlation 1 ,003 ,146* ,208** ,204**
Sig. (2-tailed) ,952 ,012 ,000 ,000
N 300 300 300 300 300
Pend Pearson Correlation ,003 1 ,272** -,023 ,046
Sig. (2-tailed) ,952 ,000 ,696 ,424
N 300 300 300 300 300
Et Pearson Correlation ,146* ,272** 1 ,115* ,233**
Sig. (2-tailed) ,012 ,000 ,047 ,000
N 300 300 300 300 300
LK Pearson Correlation ,208** -,023 ,115* 1 -,001
Sig. (2-tailed) ,000 ,696 ,047 ,989
N 300 300 300 300 300
Kes Pearson Correlation ,204** ,046 ,233** -,001 1
Sig. (2-tailed) ,000 ,424 ,000 ,989
N 300 300 300 300 300
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Hal ini tidak berarti bahwa etnis tertentu lebih sopan dari etnis yang lain,
melainkan keeratan seorang supir dengan nilai-nilai dan ritual adat
berhubungan dengan perilakunya dalam mengemudikan kenderaan. Jika
diinterpretasi lebih lanjut, fakta itu menunjukkan bahwa keeratan seseorang
supir dengan adat memiliki hubungan dengan sopan-santunnya ketika
mengemudi di jalan raya.
Ternyata sopan-santun yang pasti diajarkan melalui nilai-nilai adat akan
menentukan bagaimana seseorang pengemudi angkutan kota menjalankan
kegiatannya di lapangan. Kenyataan ini setidak-tidaknya mengandung pesan
75
bahwa nilai-nilai adat tetap memiliki relevansi dengan penegakan harmoni
ditengah-tengah masyarakat, sehingga dalam menata kesemrawutan
perlalulintasan setidak-tidaknya juga perlu didekati melalui pendekatan nilai-
nilai adat istiadat yang berlaku pada diri para pengemudi angkutan kota.
Grafik 4.22. Etnis Supir
Minang
1%
Nias
0% Lainnya
5%
Pakpak
2%
Karo
20%
Simalungun
2%
Mandailing Toba
4% 66%
Sebagian besar responden yang diteliti adalah etnis Toba (66 %), disusul
kemudian etnis Karo (20 %), dan Mandailing (4 %). Ini menggambarkan pada
tingkatan tertentu, garis-garis etnis berkaitan dengan pilihan pekerjaan
(okupasi). Dengan kata lain, identitas etnis (Batak Toba dan Karo) memiliki
preferensi dengan pilihan pekerjaan (supir), kendati tidak secara keseluruhan
demikian. Realitas lain misalnya, kita bisa mengidentikkan pekerjaan berdagang
76
itu cenderung dilakukan entis Padang atau Tionghoa. Menjahit dan rumah
makan juga dilakukan orang-orang Minang. Pilihan pekerjaan ini juga biasanya
terkait dengan sejarah etnis tertentu mulai memilih pekerjaan pada awalnya
dalam perkembangan kota pada awalnya. Pekerjaan yang dipilih dan ditekuni
generasi pertama etnis yang bermigrasi ke kota ini kemudian diwariskan dari
generasi ke generasi di tengah-tengah persaingan mendapatkan pekerjaan di
antara etnis-etnis yang majemuk di perkotaan.
Grafik 4.23. Tempat Tinggal Supir Angkutan Kota.
Tidak
Ya
48%
52%
Keeratan mereka terhadap adat pada tahap yang paling dini dapat dilihat dari
pilihan tempat tinggal. Berdasarkan data yang diperoleh dari kuesioner,
diperoleh informasi bahwa sebanyak 52 % ternyata tinggal di lingkungan yang
mayoritas dihuni oleh suku mereka sendiri.
Grafik 4.24. Pemahaman Adat di Kalangan Supir Angkutan Kota.
77
Sangat
menguasai
4%
Tidak menguasai
15%
Menguasai
28%
Kurang
menguasai
53%
78
Sangat bangga
1%
Bangga
2%
Tidak bangga
46%
Kurang bangga
51%
Sering
42%
Kadang-kadang
44%
Di atas 20 tahun
15% Di bawah 5 tahun
23%
16 – 19 tahun
7%
11 – 15 tahun
20%
5 – 10 tahun
35%
84
Dilihat dari lama bekerja, sebagian besar (35 %) bekerja antara 5-10
tahun, disusul masa kerja di bawah 5 tahun (23 %) dan masa kerja 11-15 tahun
(20 %). Hanya 14 % yang bekerja di atas 20 tahun. Lama bekerja ini
merefleksikan beberapa asumsi. Pertama, sebagian besar supir masih baru
bekerja dan diasumsikan angkatan kerja berusia muda. Usia muda ini juga
diperkirakan salah satu faktor yang melatarbelakangi perilaku supir yang
kurang taat berlalu lintas. Kedua, masa kerja antara 11-15 tahun dan di atas 20
tahun kalau digabungkan mencapai sekitar 34 % mengasumsikan bahwa
pekerjaan supir sekarang ini bukan lagi profesi yang menjanjikan seperti supir-
supir dulu. Dalam artian lain, profesi supir bisa saja ditinggalkan kalau ada
pekerjaan yang lebih menjanjikan.
Ini dibuktikan saat wawancara di kalangan supir dan direksi armada.
Seorang supir mengatakan, nasib supir sekarang ini tak lebih ibarat budak
karena harus bekerja dari pagi sampai malam, tapi kadang tetap juga kurang
setoran. Ini yang membuat supir kurang taat berlalu lintas karena semata untuk
mengejar setoran dan mencari sekaligus menambah penghasilan. Menurut
supir yang kadang berprofesi sebagai supir truk lintas Sumatra ini, ia kadang
mengemudikan truk ke Jakarta membawa jeruk, karena penghasilannya lebih
baik. Dalam seminggu pulang pergi Medan-Jakarta, ia bisa menghasilkan Rp 1
juta. Ia menyerahkan kepada istrinya Rp 800.000 dan Rp 200.000 lagi
digunakan untuk uang jalannya.
Dengan nada putus asa, ia melanjutkan, kalau pekerjaan supir sekarang
tidak menjanjikan lagi dan hanya bisa hidup bertahan ala kadarnya. Ini
diperkuat lagi lewat pengakuan seorang direksi salah satu armada, yang
sebelumnya pernah bekerja sebagai supir di Jakarta dulu semasa
85
kepemimpinan Ali Sadikin. Mantan supir yang mengemudikan bus Saudaranta
pada 1973 di Jakarta ini menuturkan sekaligus membandingkan, penghasilana
supir dulu sangat menjanjikan dan masih terpandang.
Hanya bekerja sehari bisa membeli 2-3 meter tanah di Jakarta. Karena itu,
dulu profesi supir masih diminati dan dianggap terpandang. Bahkan untuk
menjadi supir dulu relatif sulit. Sebelum menjadi supir harus menjadi cincu
(kernek), ngelap ban mobil sampai mengkilap, bahkan kadang-kadang harus
mencuci pakaian supir. Ironisnya sekarang, profesi supir dianggap rendahan
dan kurang menjanjikan.
Menurut supir ini, menurunnya pendapatan supir sekarang salah satu
faktornya adalah berlebihnya baik plafon maupun trayek angkutan kota di Kota
Medan (tanpa bisa menjelaskan ukuran kuantitatif kelebihannya ketika ditanya
lebih lanjut). Kalau ijin diberikan, kan uang masuk bagi Dinas Perhubungan Kota
Medan dan setoran untuk mandor akan berlipat. Bayangkan kalau ada armada
7.000 unit dan setiap angkot harus setor Rp 14.500, berapa per hari dan per
bulannya. Kami supir ini yang jadi korbannya.
4.7. Hubungan Armada dan Perilaku Mengemudi
Selanjutnya, angka koefisien korelasi antara armada/kesatuan dengan
perilaku supir adalah 0,204. Angka ini sebagaimana ditunjukkan melalui simbol
dua bintang (**) adalah signifikan pada tingkat kepercayaan 99 %. Dengan
demikian, hubungan antara armada/kesatuan dengan perilaku supir adalah
terbukti. Lebih jauh dapat pula diartikan bahwa dengan semakin baik
pembinaan dan pengorganisasian dilakukan oleh armada, maka semakin positif
pula perilaku sopan santun yang ditampilkan supir di saat mengemudikan
kenderaan.
86
Fakta lain sehubungan dengan interaksi antara pengemudi dengan
armada kenderaan, ternyata para supir cenderung tidak merasa bangga
terhadap armada tempat mereka bernaung dan bekerja.
Grafik 4.28. Kebanggaan Supir Terhadap Armada
Sangat bangga
1%
Bangga
4%
Tidak bangga
36%
Kurang bangga
59%
Tidak Ya
51% 49%
Tidak pernah
8%
Sangat sering
36%
Kadang-kadang
35%
Sering
21%
Untuk mendapatkan arti yang lebih mendalam atas data di atas, juga
diperoleh informasi melalui wawancara bahwa setiap tahun Dinas
Perhubungan Kota Medan menyelenggarakan kursus terhadap para supir yang
dirangkaikan dengan kegiatan memilih “awak teladan” (supir teladan) yang
biasanya melibatkan seluruh perusahaan angkutan kota yang ada di Kota
Medan. Maka dapat dipahami bahwa sebagian besar supir menyatakan bahwa
pendidikan sopan santun diselenggarakan oleh armada. Fakta di lapangan,
hanya KPUM yang secara rutin melaksanakan pendidikan sopan santun dan
pemberian motivasi terhadap supir dengan mengundang orang-orang yang
89
dianggap berkompeten dan ahli dalam hal tersebut.
Informasi lain sehubungan dengan interaksi supir dengan armada adalah
menyangkut pengawasan lapangan terhadap supir yang dilakukan oleh
armada. Berdasarkan informasi yang digambarkan pada grafik berikut, terlihat
bahwa 27 % dan 39 % responden menyatakan bahwa armada melakukan
pengawasan di lapangan. Pengawasan yang dimaksud dilakukan dengan
menggunakan kenderaan patroli ataupun kenderaan pribadi pengurus armada,
termasuk pengawasan yang dilakukan oleh mandor lapangan.
Grafik 4.31. Pengawasan lapangan oleh armada
Tidak pernah
5%
Sering
27%
Tidak pernah
7%
Sangat sering
35%
Kadang-kadang
30%
Sering
28%
91
Grafik 4.33. Perlindungan terhadap supir
Tidak pernah
9% Sangat sering
20%
Kadang-kadang
42%
Sering
29%
92
Grafik 4.34. Bersedia pindah ke armada lain
Sangat bersedia
2%
bersedia
19%
93
Grafik 4.35. Pembatasan jumlah kenderaan sesuai plafon
Tidak membatasi
7% Sangat membatasi
20%
Membatasi
Kurang membatasi 20%
53%
Salah satu perlakuan lain yang dilaksanakan oleh armada dan dianggap
penting adalah menyangkut pembatasan jumlah kenderaan dalam armada
yang menjalani trayek yang telah ditentukan.
Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa 40 % responden yang
menyatakan bahwa armada membatasi dan sangat membatasi jumlah
kenderaan sesuai plafon. Selebihnya, sebanyak 60 % menyatakan kurang
membatasi dan tidak membatasi jumlah kenderaaan. Angka-angka ini
menunjukkan bahwa armada tertentu yang secara ketat mengawasi jumlah
kenderaan pada trayeknya. Ada pula armada yang tidak terlalu memperdulikan
tentang jumlah kenderaan dalam trayek ini, namun lebih cenderung hanya
mempertimbangkan jumlah iuran yang dapat ditarik setiap harinya.
Kemungkinan lainnya adalah untuk satu armada tertentu, ternyata perlakukan
pengawasan jumlah kenderaan berbeda antartrayek. Ada trayek yang diawasi
secara ketat, dan ada pula trayek yang tidak diawasi secara ketat
94
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa variabel tingkat pendidikan tidak
memengaruhi perilaku mengemudi supir angkutan kota di Medan. Kendati
begitu, variabel armada, lama kerja dan kedekatan (internalisasi budaya)
seorang supir secara signifikan berpengaruh terhadap perilaku mengemudi.
Terkait dengan variabel etnisitas, perlu ditekankan dan dipahami bahwa
perilaku seorang supir tidak berhubungan dengan identitas etnis yang dimiliki-
nya, tetapi lebih kepada kedekatan atau internalisasi sekaligus eksternalisasi
(identifikasi diri dengan identitas etnis dan kemudian diekspresikan melalui
tindakan) identitas atau nilai-nilai tradisi yang disandangnya. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa label etnisitas tidak berhubungan dengan perilaku
mengemudi, tapi lebih kepada kedalaman seseorang dalam menginternali-
sasikan identitas etnis masing-masing.
Karena itu, dapat disimpulkan bahwa perilaku kurang tertib para
pengemudi angkutan kota bukan sepenuhnya dipengaruhi faktor-faktor
internal dari dalam dirinya (seperti antara lain pendidikan dan etnisitas) tetapi
lebih disebabkan faktor eksternal seperti tekanan memenuhi setoran dan
pendapatan yang akan dibawa ke rumah. Tekanan memenuhi setoran ini kian
sulit disebabkan tekanan struktural dalam trayek yang dilalui seorang supir baik
intra-armada maupun antar-armada. Tekanan struktural itu adalah tumpang
tindih trayek armada bahkan sampai kelebihan plafon di trayek-trayek basah
yang dimiliki armada tertentu. Masalah ini sebetulnya dapat dianggap sebagai
masalah pokok, tetapi untuk memberikan evaluasi tentang kelebihan angkutan,
95
maupun kelebihan beban pada satu trayek, tentu memerlukan suatu penelitian
yang komprehensif yang terkait dengan analisa kawasan bangkitan maupun
tarikan lalu lintas seluruh Kota Medan.
Trayek tumpang tindih yang dihasilkan lewat trayek kamar mandi terjadi
karena perilaku pemburu rente (rent seeker) antara penguasa (Dinas
Perhubungan Kota Medan) dan pengusaha (penyedia dan penyalur mobil dan
direksi armada). Faktor eksternal yang lebih kuat ini sebagaimana diakui para
supir membuat mereka terpaksa mengemudi di luar peraturan (UU No 22
Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan) dan kadang merasa sudah
menjadi ‘budak.’ Kondisi ini juga, menurut direksi armada membuat persaingan
‘hukum rimba’ antara armada yang besar dan armada yang (lebih) kecil.
Faktor eksternal yang lain adalah menurunnya jumlah penumpang yang
disebabkan beberapa faktor penting sebagai berikut. Faktor pertama adalah
hand phone (HP) yang membuat mobilitas manusia berkurang dalam meng-
gunakan moda transportasi karena cukup dengan mengirim kabar lewat hand
phone. Faktor kedua adalah sepeda motor. Kemudahan memiliki sepeda motor
dengan kredit mudah dan bunga kredit yang rendah, mendorong setiap
keluarga memiliki sepeda motor. Faktor ketiga adalah kehadiran betor (beca
bermotor) yang kadang ‘dibiarkan’ berkeliaran memasuki jalur perkotaan tanpa
sanksi yang tegas. Faktor keempat, yakni menjamurnya angkutan umum
dengan menggunakan mobil pribadi (plat hitam) dan terminal bayangan. Dan
faktor terakhir adalah kenaikan ongkos.
Tekanan eksternal yang demikian besar membuat sebagian besar supir
mengemudi di luar aturan seperti ngebut begitu keluar stasiun atau pangkalan,
ngebut mencari penumpang dan ngebut sesama angkot. Pelanggaran lain yang
96
dilakukan misalnya seperti menyalip dari jalur kiri meski melanggar peraturan,
mengabaikan hak-hak pengguna jalan seperti pesepeda, dan tidak memasang
segitiga pengaman ketika berhenti dalam keadaan darurat.
Menghadapi tekanan eksternal yang demikian berat, pada tingkatan
tertentu memaksa supir ‘memutar’ otak seperti roda angkutan kota yang
berputar ‘mengolah’ pemilik angkutan kota dengan mengurangi jumlah
setoran. Karena itu, jarang sekali angkutan kota yang dikredit lunas di satu
tangan pemilik karena cenderung merugi terus. Sebuah mobil angkutan kota
yang dikredit biasanya baru lunas bisa sampai 4 (empat) pemilik.
Kendati begitu, dalam beberapa hal, perilaku supir masih patut dipuji
karena masih tertib. Perilaku memprioritaskan penumpang pelajar saat
penumpang membludak, mengikuti lajur jalan secara umum ketika baru keluar
dari stasiun, tidak menagih ongkos saat mengalihkan penumpang ke angkutan
kota yang lain merupakan beberapa bukti perilaku terpuji dari para supir
angkutan kota di Kota Medan.
Faktor lain yang berkontribusi dalam kekurangtertiban mengemudi ini
adalah manajemen internal armada angkutan kota di Kota Medan. Sejauh ini,
kriteria dan standarisasi supir termasuk standar prosedur operasional belum
baku antara manajemen armada dan pemilik angkutan kota. Manajemen
armada sebagai penyedia jasa merek kadang belum bisa menetapkan standar
dan kriteria yang ketat karena tekanan pemilik angkot. Pemilik angkutan kota,
pada tingkatan tertentu, masih lebih mementingkan setoran ketimbang
kapasitas dan kualifikasi supir. Apalagi hubungan kekerabatan antara supir dan
pemilik angkutan kota memungkinkan supir mudah berpindah-pindah dari satu
angkutan kota ke angkutan kota yang lain. Ini diperparah lagi karena
97
perbandingan antara mobil angkutan kota yang sangat banyak dibandingkan
jumlah supir yang tersedia.
Sejauh pengamatan di lapangan, hanya satu armada yang relatif memiliki
standarisasi dan data dasar supir yang tersimpan di kantor sehingga angkutan
kota tidak mungkin dikemudikan supir yang tidak terdata di manajemen
armada. Apalagi, setiap supir yang terdata akan memiliki simpanan wajib di
koperasi armada tersebut. Untungnya lagi, koperasi ini independen dan
beroperasi di luar manajemen internal armada yang bersangkutan.
Secara umum dapat disimpulkan sebagian besar armada tidak memiliki
standar operasional yang baku bagaimana seorang supir mengemudikan
angkutan kotanya sepanjang hari kerja. Manajemen armada juga belum
menetapkan kriteria minimum (kecuali lewat SIM) sebelum seseorang menjadi
supir di armada tertentu. Lebih jauh lagi, tidak ada pelatihan yang berkala yang
dilakukan internal armada masing-masing untuk memberikan penertiban
kepada supir. Begitu juga Dinas Perhubungan Kota Medan sebagai regulator
dan fasilitator hanya memberikan pelatihan melalui program AKUT (Awak
Kenderaan Umum Teladan) yang di mata para direksi kadang dianggap lebih
bersifat seremonial.
5.2 Saran
1. Standar minimum dan standar operasional dalam mengemudikan angkot
perlu ditetapkan. Regulasi ini perlu dirumuskan antara pemilik angkot,
manajemen armada, Dinas Perhubungan Kota Medan, dan Satlantas.
2. Kerentanan hidup supir perlu diatasi dengan memberikan jaminan atau
asuransi kesehatan dan perumahan bagi para supir sehingga mereka
memiliki kenyamanan dalam bekerja.
98
3. Memperketat pemberian SIM kepada pengemudi dan menegakkan dengan
tegas UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan.
Mengurangi kalau bukan menghapuskan perilaku tilang atau ‘damai’ di
tempat merupakan langkah yang tidak boleh ditawar lagi. Kalau tilang
dilakukan konsisten dan tanpa pandang bulu (termasuk kepada mobil
pribadi), pasti pengemudi dan pemilik angkutan kota akan jera.
4. Dinas Perhubungan Kota Medan mestinya memberikan pengarahan
langsung kepada para supir langsung di pangkalan, termasuk dalam
memberikan pelatihan-pelatihan yang diberikan kepada supir.
5. Mengoperasionalkan trans Medan dengan dukungan infrastruktur
pendukung dan sumber daya yang memadai. Dari segi sejarah, Medan
lebih dahulu mengenal bus (besar) daripada Jakarta. Dulu ada bus besar
namanya Doby.
6. Menetapkan regulasi pemberian ijin trayek dan plafon armada dengan
transparan dan akuntabel dengan memperhitungkan load factor.
7. Menyediakan infrastruktur pendukung (rambu lalu lintas, terminal, halte
dan sebagainya) untuk mendukung implementasi UU Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan termasuk dukungan sumber daya
manusia (Dinas Perhubungan Kota Medan dan Satlantas) sehingga undang-
undang ini bisa dijalankan. Sebenarnya kita bukan kekurangan undang-
undang Lalu Lintas Angkutan Jalan yang baik, tapi kekurangan orang-orang
yang baik untuk menjalankan Undang-Undang ini dengan konsisten.
8. Koordinasi dan harmonisasi antara Organda Provinsi Sumut dan Kota
Medan harus disinergikan, misalnya dalam kasus pengelolaan terminal,
seperti Terminal Amplas. Dalam pandangan Organda Kota Medan, terminal
99
Amplas sebaiknya dan harus dimasuki oleh baik angkutan kota maupun
bus AKAP/AKDP. Armada ini tidak boleh beroperasi permanen di terminal
bayangan.
9. Jika petugas menindak supir, maka SIM yang harus disita, bukan STNK.
Karena kalau STNK yang ditahan, supir akan pindah ke angkutan kota lain
dan akan memberatkan pemilik karena mobil tidak akan ‘jalan’ sehingga
terkendala membayar kredit angkutan kotanya. Kalau SIM supir yang
ditindak yang ditandai (misalnya diberi kode dengan dibolongi), si supir
akan jera.
10. Pihak armada dan mandor kurang tepat menindak supir dan pemilik,
aparat Polantas yang mestinya harus jelas dan tegas menegakkan aturan
sesuai dengan UU LLAJ.
11. Subsidi untuk moda transportasi umum (apakah dalam bentuk suku
cadang dan BBM) seharusnya diberikan oleh pemerintah.
12. ‘Monopoli’ penyediaan angkot sebaiknya dihapuskan. Membuka kesem-
patan yang sama bagi semua pemilik merek untuk menyediakan armada
angkutan kota kemungkinan akan melahirkan beberapa pilihan dan harga
yang bersaing.
13. Diperlukan penelitian yang komprehensif, kebutuhan armada, dan
kebutuhan operasional dari seluruh trayek, agar dapat dilakukan penyem-
purnaan tentang trayek lalu lintas angkutan kota di kota Medan.
14. Perlu dilakukan diskusi kelompok terarah (FGD) untuk menentukan skala
prioritas saran untuk jangka pendek, menengah,dan panjang di kalangan
pemangku kepentingan (stakeholder) transportasi angkutan publik agar
100
saran dalam kajian ini lebih tepat guna dan dapat diimplementasikan
dengan baik.
101
DAFTAR PUSTAKA
Aniek QS, 1999, Pengaruh Perilaku Angkutan Umum Terhadap Kinerja Lalu-
lintas, Bandung.
Adrian, Thomas, 2008, Evaluasi Kinerja Angkutan Kota Medan, Jenis Mobil
Penumpang Umum (MPU): Studi Kasus MPU Trayek 64, Tesis Sekolah
Pasca Sarjana USU Medan.
Hadiz, Vedi R & Richard Robison, 2004, Organizing Power in Indonesia: The
Politics of Oligarchy in an Age of Markets London: Routledge Curzon.
Lulie, Johannes, Jhon Tri Handoko, 2005, Perilaku Agresif Menyebabkan Resiko
Kecelakaan Saat Mengemudi, JURNAL TEKNIK SIPIL ITB (Website
dikunjungi pada 20 September 2012).
102
Macionis, 1987, Sociology Of Cities McGraw Publication, California, Amerika.
Nawawi, Hadari ,1990, Metode Penelitin Sosial, Gajah Mada Press, Yogyakarta.
Swarjono, Warpani, 1985, Rekayasa Lalu Lintas, Bhatara Karya Aksara, Jakarta.
103