Anda di halaman 1dari 110

89

KATA PENGANTAR

Permasalahan lalu lintas merupakan permasalahan yang dihadapi


berbagai kota, termasuk Kota Medan. Dan permasalahan ini perlu mendapat
perhatian serius, karena terkait berbagai dampak sosial yang akan terjadi
seperti kemacetan.
Kajian dengan judul “Perilaku supir angkutan kota di Kota Medan”,
dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan, dibantu
staf / tenaga ahli dari Universitas Sumatera Utara, dimana salah satu tujuannya
untuk memperoleh gambaran tentang pola perilaku berlalu lintas supir
angkutan kota di Kota Medan, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang
berhubungan dengan perilaku supir angkutan kota tersebut.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang terlibat langsung dalam kajian ini dan juga kepada pihak-pihak lain
yang telah mendukung terlaksananya kajian ini.
Kajian ini tidak luput dari kelemahan-kelemahan, baik dalam metode
pendekatan maupun substansinya. Oleh karena itu, berbagai kritik dan saran
sangat diharapkan untuk penyempurnaan hasil kajian ini. Walaupun memiliki
berbagai kelemahan, hasil kajian ini tetap diharapkan memberikan banyak
manfaat, baik bagi Pemerintah Kota Medan, terutama dalam mengambil
kebijakan untuk meningkatkan budaya tertib berlalu lintas di Kota Medan.
Medan, September 2012
KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
KOTA MEDAN

Drs. HASAN BASRI, MM


PEMBINA UTAMA MUDA
NIP. 19580801 198103 1 007

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR KEPALA BALITBANG KOTA MEDAN …………………………….. i


DAFTAR ISI..................................................................................................... ii
ABSTRAK ....................................................................................................... iv
ABSTRACT ………………………………………………………………………………………………… vi

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1


1.1 Latar Belakang Masalah ……………………………………………………………………. 1
1.2 Perumusan Masalah …………………………………………………………………………. 6
1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………………………………………. 6
1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………………………………………. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………………………… 8
2.1 Perilaku Manusia ………………………………………………………………………………. 8
2.2 Bentuk Perilaku ………………………………………………………………………………… 11
2.3 Proses Terjadinya Perilaku ………………………………………………………………… 11
2.4 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Perilaku …………………………………….. 12
2.5 Transportasi Kota …………………………………………………………………………….. 13
2.6 Perilaku Berlalulintas ……………………………………………………………………….. 15
2.7 Landasan Teori …………………………………………………………………………………. 17
BAB III METODE PENELITIAN …………………………………………………………………… 20
3.1 Jenis Penelitian ………………………………………………………………………………… 20
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian ……………………………………………………….. 20
3.3 Informan Penelitian …………………………………………………………………………. 24
3.4 Teknik Pengumpulan Data ……………………………………………………………….. 24
3.5 Analisa dan Interpretasi Data …………………………………………………………… 26
3.6 Definisi Konsep ………………………………………………………………………………… 26
3.7 Definisi Operasional …………………………………………………………………………. 27
3.8 Jadwal dan Kegiatan Penelitian …………………………………………………………. 28
BAB IV ANALISIS DAN INTERPRESTASI DATA …………………………………………….. 30
4.1 Gambaran Lokasi Penelitian ……………………………………………………………… 30
4.2 Profil Responden ……………………………………………………………………………… 43
4.3 Pola perilaku mengemudi supir angkutan kota di Kota Medan …………. 53
4.4 Pengaruh Pendidikan Terhadap Perilaku Mengemudi ………………………. 69
4.5 Hubungan Variabel Etnis dan Perilaku Mengemudi …………………………… 74
4.6 Hubungan Lama Kerja Supir dan Perilaku Mengemudi ……………………… 84
4.7 Hubungan Armada dan Perilaku Mengemudi ……………………………………. 86
ii
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………………………….. 95
5.1 Kesimpulan ……………………………………………………………………………………….. 95
5.2 Saran …………………………………………………………………………………………………. 98

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………………. 96


LAMPIRAN ………………………………………………………………………………………………. 98

iii
ABSTRAK

Perilaku berlalu lintas di Indonesia umumnya, dan di Kota Medan


khususnya, sudah memprihatinkan. Buruknya perilaku berlalu lintas ini tampak
dari kesemrawutan berlalu lintas sehari-hari dari berbagai jenis kenderaan
bermotor, khususnya angkutan kota seperti menerobos lampu merah,
menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat, dan men-
jamurnya terminal ‘bayangan’ di sepanjang jalan-jalan tertentu. Dampak
lanjutan perilaku berlalulintas ini adalah meningkatnya angka kecelakaan lalu
lintas. Menurut Kapolri, pada tahun 2007 terdapat 20.000 orang korban
kecelakaan lalulintas. Angka itu naik menjadi 20.188 orang pada tahun 2008.
Tahun 2009, lebih tinggi lagi angkanya, mendekati 21.000 orang. Sedangkan di
Kota Medan sendiri, berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas Polda Sumut, sejak
Januari hingga April 2012, korban tewas kecelakaan lalu lintas mencapai 749
orang. Korban tewas ini merupakan bagian dari 2.992 kecelakaan yang terjadi
sepanjang periode itu. Kecelakaan tertinggi terjadi Januari, yakni 847 kasus
sedangkan Februari menurun hanya 715 kasus. Selanjutnya Maret terjadi 719
kasus kecelakaan dan terakhir April terjadi 711 kasus.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
kuantitatif. Responden dalam penelitian ini ditetapkan secara purposif dari
setiap armada/kesatuan yang jumlahnya 300 orang yang dipilih secara
proporsional dari setiap armada. Sedangkan informan utama adalah supir,
direksi armada, dan mandor. Alat pengumpul data yang dipakai adalah
kuesioner, observasi partisipasi (menaiki mobil angkutan kota), dan wawancara
mendalam yang tidak terstruktur. Sedangkan analisa dan interpretasi data
digunakan dengan bantuan program SPSS untuk menampilkan tabel tunggal
(pola-pola perilaku mengemudi) dan analisis korelasi (variabel pendidikan,
etnisitas, lama kerja, dan armada dan perilaku mengemudi). Interpretasi
statistik deskriptif dan korelasi ini kemudian dilengkapi dengan konsep-konsep
yang ditemukan dari wawancara mendalam.
Studi ini menunjukkan bahwa pola-pola perilaku mengemudi supir di
kalangan angkutan kota di Kota Medan kurang tertib. Ketidaktertiban ini
tampak seperti ngebut begitu keluar stasiun atau pangkalan, ngebut mencari
penumpang dan ngebut sesama angkutan kota. Pelanggaran lain yang
dilakukan misalnya seperti menyalip dari jalur kiri, mengabaikan hak-hak
pengguna jalan seperti pesepeda, dan tidak memasang segitiga pengaman
ketika berhenti dalam keadaan darurat. Kendati begitu, tidak dalam semua hal
iv
para supir kurang tertib. Perilaku memprioritaskan penumpang pelajar saat
penumpang membludak, mengikuti lajur jalan secara umum ketika baru keluar
dari stasiun, tidak menagih ongkos saat mengalihkan penumpang ke angkutan
kota yang lain merupakan beberapa bukti perilaku tertib di kalangan supir.
Temuan lain menunjukkan, bahwa pendidikan tidak mempengaruhi perilaku
mengemudi di kalangan supir. Tapi variabel armada, lama kerja, dan kedekatan
(internalisasi) etnis mempengaruhi perilaku mereka. Dengan kata lain, semakin
lama bekerja menjadi supir dan semakin intens peran armada dalam mendidik
supir, maka semakin tertib pula perilaku mereka dalam mengemudi. Dapat
disimpulkan pula, ternyata tidak hanya faktor internal dari dalam diri supir
(pendidikan, pengalaman, dan etnisitas) yang mempengaruhi perilaku tetapi
lebih karena tekanan eksternal dari luar yang memaksa seperti tekanan
memenuhi setoran dan penghasilan, trayek yang tumpang tindih, dan
menurunnya jumlah penumpang. Tekanan eksternal yang memaksa ini
kemudian yang mengkonstruksi konsensus ‘penyimpangan’ di kalangan supir.
Dalam artian, internalisasi dan eksternalisasi ‘penyimpangan’ itu telah dianggap
sebagai ‘keteraturan’ sebagai senjata bertahan menjadi supir angkutan kota di
Kota Medan. Bagai roda angkutan kota berputar, begitu pula otak si supir
berputar dalam mengemudi sehari-hari agar mampu bertahan.

Kata-kata kunci : Perilaku, faktor internal dan faktor eksternal, afiliasi


etnisitas, transportasi umum, dan supir angkutan kota.

v
ABSTRACT

An increase in population generates increasing in travel demand for such


as working and lessure purposes. Nowadays, Indonesia deals with an explosive
growth in vehicle ownership and utilization of public transportation. The
increase of population and public transportation need unfortunately
contributes to accidents case in Indonesia generally and in Medan particularly
due to irregular public transportation (known as ‘angkot’ or angkutan kota)
driver habit. Therefore, the main purpose of this research is to explore the
pattern of driving of public transportation driver in Medan city.

This type of this research is a descriptive quantitativ. The total of


sampling are 300 drivers which selected accidently in the bush station (Pinang
Baris and Amplas) and interviewed the main informants consist of supervisor in
the station (mandor) and staf of public transportation management (armada).
Instrument that used in gathering data are questionnaires, open-ended
interview, and participation where the researcher for some extent observe the
behavior of the driver and to be passanger of the public transportation.

Data were analyzed using descriptive and correlation analysis. One main
finding reported that most of the drivers abuse a public transportation
regulation such as driving in high speed when get out of station, rush driving to
pick the passanger up, and have no respect to the bycyle rider. Sum up, the bad
behaviour of the driver not morely forced by internal factors such as education,
ethnic affiliation, but for most extent imposed by external factors out side of
the drivers such as the struggle to afford the payment to the car owner
(setoran) and the daily wage, the tough competition among the drivers, and
number of public transportation which excedeed designated number (plafon).

Key word: behavior, internal and external behaviour, ethnicity, public


transportation, and driver of public transportation.

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Perilaku berlalu lintas adalah cermin budaya bangsa. Demikian motto
yang tertulis di sudut-sudut jalan Kota Medan sering kita lihat. Membaca itu,
kita bisa menyimpulkan betapa budaya bangsa kita secara umum, dan budaya
berlalu lintas khususnya sudah pada tahap mencemaskan. Saling adu cepat dan
serobot di jalur-jalur padat dan macet, sudah menjadi pandangan dan perilaku
sehari-hari sebagian supir di Kota Medan.
Bahkan dengan sinis sebagian orang mengatakan, kalau supir-supir di
kota ini adalah buta warna, karena tidak hirau dengan aturan lampu lalu lintas.
Menerobos pada saat lampu kuning bahkan merah, sudah menjadi
pemandangan umum. Kalau mau melihat mental jalan pintas atau mental
menerabas dengan menghalalkan segala cara agar tiba di tempat tujuan
dengan cepat, perilaku sebagian supir di jalan Kota Medan merupakan bukti
konkrit.
Salah satu indikator buruknya perilaku berlalulintas adalah tingginya
pelanggaran terhadap norma-norma berlalulintas yang ditunjukkan oleh
perilaku berlalu lintas yang tidak aman dan mengabaikan sopan santun
menggunakan jalan raya. Dampak lanjutannya, angka korban kecelakaan lalu
lintas dari tahun ke tahun meningkat seiring dengan tingginya angka
kecelakaan lalu lintas itu sendiri.
Menurut Kapolri, pada tahun 2007 terdapat 20.000 orang korban
kecelakaan lalulintas. Angka itu naik menjadi 20.188 orang pada tahun 2008.

1
Tahun 2009, lebih tinggi lagi angkanya, mendekati 21.000 orang. Lima persen
dari jumlah korban kecelakaan lalu lintas adalah pelajar dan mahasiswa.
Kecelakaan ini terjadi karena perilaku berlalu lintas yang buruk di satu sisi dan
meningkatnya penggunaan kenderaan (roda empat dan dua) di sisi lain.
Sedangkan di Kota Medan sendiri, berdasarkan data Direktorat Lalu
Lintas Polda Sumut, sejak Januari hingga April 2012, korban tewas kecelakaan
lalu lintas mencapai 749 orang. Korban tewas ini merupakan bagian dari 2.992
kecelakaan yang terjadi sepanjang periode itu. Kecelakaan tertinggi terjadi
Januari, yakni 847 kasus sedangkan Februari menurun hanya 715 kasus.
Selanjutnya Maret terjadi 719 kasus kecelakaan dan terakhir April terjadi 711
kasus.
Sejarah padatnya mobilnya dimulai ketika industri otomotif ditemukan.
Pada tahun 1910, 65 persen penduduk di Amerika masih tinggal di inti atau
sentra kota. Namun ketika mobil ditemukan Henry Ford pada 1908, komposisi
penduduk di sentra kota kemudian menyebar ke pinggiran kota (sub-urban)
karena mobil memungkinkan mereka melakukan mobilitas kerja (Spates dan
Macionis, 1987:298).
Sedangkan di Indonesia sendiri, menurut Kompas (14/4/2012), penjualan
mobil pada Maret 2012 mencapai 87.761 unit. Jumlah itu mengalami kenaikan
dibandingkan Februari 2012 yang sebesar 86.407 unit dan Januari 2012 76.365
unit. Adapun total penjualan di tiga bulan pertama tahun 2012 adalah 250.533
unit, atau lebih besar dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar 225.739
unit. Penjualan yang terus-menerus meningkat ini pada gilirannya membuat
arus lalu-lintas meningkat sementara ketersediaan jalan relatif tidak
meningkat.
2
Perilaku lalu-lintas angkutan umum di Indonesia memiliki karakter khas
dengan pola-pola budaya berlalu lintas di negara-negara maju. Beberapa
karakteristik khas angkutan umum di Indonesia antara lain (Dwi Handoko,
2006) :
1. Kecepatan tidak teratur, terkadang pelan terkadang cepat sekali.
2. Berhenti di sembarang tempat, dan dalam waktu yang tidak teratur.
3. Teknik mengemudi yang pindah jalur secara tidak teratur.
Faktor lain yang menyumbang pada kemacetan lalu lintas adalah tundaan
pergerakan mobil angkutan umum yang berimplikasi kepada antrian mobil
pribadi di belakangnya sehingga menimbulkan kesemrawutan. Penelitian
tentang tundaan pergerakan mobil pribadi (stopping delay) yang ditimbulkan
oleh angkutan umum ketika berhenti telah dilakukan oleh Aniek QS (1999)
dengan studi kasus jalan Jendral A. Yani, Kota Bandung. Pergerakan mobil
pribadi dipelajari dengan membandingkan tundaan yang ditimbulkan oleh
angkutan kota dan bis kota, karena kedua jenis kendaraan tersebut mempunyai
perbedaan karakteristik antara lain dari sisi ukuran dan kapasitasnya.
Tundaan yang ditimbulkan oleh bis kota sebesar 46.191 detik dan
tundaan angkutan kota sebesar 6.227 detik. Perbedaan ini disebabkan oleh
faktor rata-rata lama berhenti bis kota yang lebih lama dibandingkan dengan
angkutan kota, kecepatan bis kota yang lebih rendah dan batas headway
minimum yang diperlukan oleh kendaraan lain untuk mendahului bis kota lebih
panjang dibandingkan dengan headway minimum yang diperlukan oleh
kendaraan lain untuk mendahului angkutan kota.
Selanjutnya, Bastian Wirantono (1999) melakukan penelitian tentang
panjang antrian yang ditimbulkan oleh angkutan umum ketika berhenti telah
3
dilakukan dengan studi kasus Jalan Ahmad Yani (arah dalam dan luar kota),
jalan Dharmawangsa (depan terminal angkot), Jalan Urip Sumoharjo kota
Surabaya. Jenis angkutan umum yang diamati adalah bis dan angkutan kota
(angkot), dengan periode pengambilan data pada siang dan sore hari dan pada
jam bukan puncak.
Metode penelitian yang digunakan mencakup: pengukuran/perhitungan
jumlah dan panjang antrian kendaraan, lebar efektif jalan, dan waktu henti.
Dianalisa hubungan antara panjang antrian terhadap volume kendaraan, lebar
efektif dan waktu henti angkutan umum. Hasil penelitian ini menunjukkan
sebagai berikut (Bastian Wirantono, 1999):
1. Satu-satunya faktor yang berpengaruh secara signifikan pada panjang
antrian hanyalah waktu henti angkutan umum. Semakin lama angkutan
umum berhenti semakin panjang antrian kendaraan.
2. Tidak ada keterkaitan yang berarti antara volume kendaraan, lebar efektif
dan waktu henti
3. Volume kendaraan dan lebar efektif jalan tidak berpengaruh terhadap
panjang antrian, karena pengaruhnya terlalu kecil.
Secara teoritik sebenarnya lebar efektif jalan berepangaruh terhadap
tundaan, tetapi dalam penelitian ini kemungkinan persimpangan yang diukur
mempunyai lebar yang cukup ,sehingga lebar efektif jalan tidak berpengaruh.
Balitbang Provinsi Jawa Timur (2006) juga pernah melakukan studi
tentang perilaku supir dalam berlalu lintas di Surabaya. Studi ini berupaya
mengkaji faktor-faktor internal (individu) maupun eksternal yang menyebabkan
rendahnya kepatuhan masyarakat pemakai atau pengguna jalan ketika berlalu
lintas.
4
Temuan pokok dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kepatuhan masyarakat dalam hal ini pemakai atau pengguna jalan
khususnya pengendara kendaraan bermotor terhadap peraturan per-
undang-undangan lalu lintas di Jawa Timur semakin menurun.
2. Berdasarkan jenis pelanggaran yang paling banyak dilakukan, yakni
mengendarai kendaraan tanpa surat izin mengemudi (SIM), pelanggaran
rambu-rambu dan marka jalan, serta tidak dipenuhinya kelengkapan
kendaraan bermotor.
3. Situasi problematik utama yang dihadapi berkaitan dengan faktor sikap
dan perilaku pemakai atau pengguna jalan khususnya pengendara
kendaraan bermotor adalah menyangkut persepsinya tentang peraturan
perundangan lalu lintas yang lebih dilihat dalam perspektif kewajiban yang
harus dipenuhi, dan belum dilihat sebagai kebutuhan riil sehingga
mendorong mereka untuk berupaya memenuhinya.
4. Persepsi yang keliru tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat given
melainkan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan pemahamannya
terhadap peraturan perundangan lalu lintas, pengalaman berlalu lintas,
cakrawala, keyakinan, dan proses belajar yang kesemuanya baik secara
sendiri-sendiri maupun pada umumnya secara simultan menghasilkan
persepsi dimaksud.
5. Pengetahuan dan pemahaman pemakai atau pengguna jalan khususnya
pengendara kendaraan bermotor tentang peraturan perundangan lalu
lintas pada umumnya masih bersifat superfisial karena umumnya
merupakan hasil dari proses belajar secara otodidak, sehingga dalam
implementasinya di lapangan sangat mudah dipengaruhi oleh berbagai
5
stimulus eksternal baik secara tunggal maupun bergabung dalam bentuk
imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati.
1.2 Perumusan Masalah
Karena begitu pentingnya perilaku tertib berlalu lintas untuk
menghindari tingginya angka kecelakaan lalu lintas di samping menumbuhkan
kehidupan kota yang lebih berbudaya, maka studi ini berupaya mengeksplorasi
beberapa masalah utama dalam berlalu lintas.
a. Bagaimanakah pola perilaku berlalulintas supir angkutan kota Medan?
b. Bagaimana hubungan tingkat pendidikan supir angkutan kota dengan
perilaku berlalu lintas di Kota Medan?
c. Apakah ada hubungan etnisitas dengan perilaku berlalu lintas di kalangan
supir angkutan kota di Kota Medan?
d. Apakah ada hubungan antara lama kerja dengan perilaku berlalu lintas di
kalangan supir angkutan kota di Kota Medan?
e. Apakah kelompok kerja (Armada) mempengaruhi perilaku berlalu lintas di
kalangan supir angkutan kota di Kota Medan?
f. Apakah faktor-faktor yang melatarbelakangi perilaku berlalu lintas supir
angkutan kota di Kota Medan?
1.3 Tujuan Penelitian
a. Memperoleh gambaran tentang pola perilaku berlalulintas supir angkutan
kota Medan di Kota Medan.
b. Mengukur hubungan antara tingkat pendidikan dengan perilaku berlalu
lintas supir angkutan kota Medan di Kota Medan.
c. Mengukur hubungan antara etnisitas dengan perilaku berlalu lintas di
kalangan supir angkutan kota Medan di Kota Medan.
6
d. Mengukur hubungan antara lama kerja dengan perilaku berlalu lintas di
kalangan supir angkutan kota Medan di Kota Medan.
e. Mengukur hubungan antara kelompok kerja (Armada) dengan perilaku
berlalu lintas di kalangan supir angkutan kota Medan di Kota Medan.
f. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku supir
angkutan kota di Kota Medan.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada Pemerintah
Kota Medan, dalam hal ini Dinas Perhubungan Kota Medan, untuk menyusun
strategi penanggulangan masalah lalu lintas, seperti kemacetan. Hasil kajian ini,
diharapkan dapat menjadi data dasar yang mendasari pengambilan keputusan
(better information for better policy) dalam penanggulangan masalah lalu lintas
di Kota Medan yang lebih baik.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Manusia


Apakah yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan atau
perilaku tertentu? Mengapa suatu perilaku dilakukan berulang-ulang,
sementara tindakan yang lain dihindari atau tidak dilakukan lagi? Pada
dasarnya, manusia memberikan respon atas stimulus yang diterimanya dari
luar. Karena itu pula, B.F. Skinner mengatakan, seorang individu cenderung
mengulang sebuah tindakan bila tindakan itu mendapat pujian atau ganjaran,
sementara tindakan yang mendapat hukuman (punishment) akan dihindari.
Karena itu, teori perilaku seringkali dipakai dalam teori pembelajaran dan
instruksi dalam kelas. Teori ini menyimpulkan, guru-guru yang sering memberi
pujian kepada perilaku siswa-siswinya, maka perilaku itu akan cenderung
diulangi, demikian pula sebaliknya.
Salah satu asumsi lanjutan dari aliran perilaku ini adalah bahwa pada
dasarnya tidak ada tindakan manusia yang benar-benar didorong kehendak
individu itu sendiri, melainkan karena kombinasi tekanan-tekanan eksternal.
Teori ini selanjutnya menjelaskan bahwa perubahan perilaku manusia
disebabkan tekanan dan kontrol lingkungan eksternal, bukan karena proses
internal dalam diri manusia itu sendiri. Sederhananya, individu akan cenderung
memilih perilaku yang digemari dan dilakukan berulang-ulang karena
lingkungan eksternal menghargainya.
Aspek lain dari teori perilaku adalah pilihan alternatif untuk mengulang
tindakan. Seorang individu memilih tindakan perilaku tertentu biasanya
8
berdasarkan ganjaran tindakan yang akan dilakukan. Ini berarti bahwa perilaku
tidak hanya diatur oleh konsekuensi atau ganjaran dari tindakan itu tapi juga
oleh ganjaran-ganjaran yang ada untuk alternatif tindakan lain.
Selanjutnya, mengapa individu merubah perilakunya? Menurut teori
perilaku, ada empat komponen tahapan yang dilakukan individu dalam
perubahan tindakannya. Ini dimuat dalam Tahapan-Tahapan Teori Perubahan
(Stages of Change Theory), yakni prakontemplasi (precontemplation),
kontemplasi (contemplation), tindakan (action) dan mempertahankan perilaku
yang terlah berubah (maintenance).
Ini bisa kita lihat ketika seseorang diduga terinveksi penyakit HIV
misalnya. Pada tahap precontemplation misalnya individu yang sakit tadi
mengalami masalah (apakah dia tahu atau tidak tahu sudah sakit HIV) dan tidak
ingin berubah. Tapi dengan munculnya kesadaran si individu, apakah melalui
informasi dan pengetahuan tentang HIV dan mulai melakukan evaluasi dan
refleksi pada dirinya (bagaimana dampak HIV pada dirinya) ia memasuki tahap
contemplation (ia menyadari ia telah kena HIV dan mulai berpikir untuk
berubah) ia kemudian melakukan evaluasi diri dan memikirkan perubahan yang
akan dilakukannya.
Pada tahap berikutnya, individu memasuki tahap Preparation for Action
(individu menyadari masalah penyakitnya dan ingin berubah pada bulan
berikutnya). Beberapa perilaku yang mau dirubah misalnya sudah dicatat,
seperti pemakaian kondom yang tidak konsisten, tapi bentuk nyata perubahan
perilaku belum ditemukan. Pada tahap ini, ia mulai meyakinkan diri, bahwa ia
yakin untuk berubah.

9
Pada saat inilah ia memasuki tahap action (ia menegaskan perubahan
perilaku) misalnya dengan memakai kondom secara konsisten setidaknya
selama 6 bulan dengan harapan bahwa tindakannya akan menyembuhkannya.
Ia kemudian mendapat dukungan dari kelompok dan menghindari seks bebas.
Pada tahap maintenance (ia menjaga perilakunya yang berubah) selama 6
bulan (lihat Gambar di bawah).

Tahap-tahap Perubahan

Prakontemplasi Kontemplasi Persiapan Aksi Pemeliharaan

- Meningkatnya Kesadaran
- Penyembuhan Dramatis
- Re-Evaluasi Lingkungan

- Re-Evaluasi Diri
- Pembebasan Diri
- Meningkatkan Pengelolaan
(Manajemen) Diri
- Membenahi Hubungan
- Melawan Kondisi
- Mengontrol Stimulus

Gambar 2.1. Tahapan Perubahan Perilaku Manusia.

Lalu, apakah yang disebut dengan perilaku? Leonard F. Polhaupessy


menjelaskan bahwa perilaku adalah sebuah gerakan yang dapat diamati dari
luar, seperti orang berjalan, naik sepeda, dan mengendarai motor atau mobil.
Untuk aktifitas ini mereka harus berbuat sesuatu, misalnya kaki yang satu harus
diletakkan pada kaki yang lain.

10
Ahli lain menjelaskan lebih lanjut bahwa perilaku adalah suatu kegiatan
atau aktifitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Karena itu,
dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh–
tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka
mempunyai aktifitas masing–masing. Sehingga yang dimaksud perilaku
manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas manusia itu sendiri
yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara,
tertawa, bekerja,kuliah, menulis, membaca dan sebagainya.
Dengan begitu, yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan
atau aktifitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak
dapat diamati pihak luar (Notoatmodjo: 2003, 114).
2.2 Bentuk Perilaku
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, menurut Notoatmodjo,
maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu. Pertama, yakni perilaku
tertutup. Perilaku ini adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini
masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan / kesadaran, dan sikap
yang terjadi belum bisa diamati secara jelas oleh orang lain. Selanjutnya, kedua
adalah perilaku terbuka, yakni perilaku atas respon seseorang terhadap
stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap terhadap
stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan.
2.3 Proses Terjadinya Perilaku
Rogers (dalam Notoatmojo, 2003) mengungkapkan bahwa sebelum orang
mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut
terjadi proses yang berurutan, yaitu (1) awareness atau kesadaran, yakni orang
11
tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus atau objek terlebih dahulu
interest, yaitu orang mulai tertarik kepada stimulus; (2) evaluation adalah
menimbang–nimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya. Hal ini berarti
sikap responden sudah lebih baik lagi dan (3) yakni trial dimana seseorang
telah mulai mencoba perilaku baru. Dan (4) adoption, di mana subjek atau
pelaku telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan
sikapnya terhadap stimulus. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi
perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan
sikap yang positif maka perilaku tersebut akan menjadikebiasaan atau bersifat
langgeng (Notoatmodjo 2003, 122).
2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Menurut L.W.Green, faktor pendorong perilaku manusia adalah faktor
perilaku dan faktor non perilaku. Faktor perilaku khususnya perilaku yang
terbuka dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :
a. Faktor-faktor Predisposisi (Predisposing Factors)
Adalah faktor yang terwujud dalam kepercayaan, kayakinan, niali-nilai dan
juga variasi demografi, seperti: status ekonomi, umur, jenis kelamin dan
susunan keluarga. Faktor ini lebih bersifat dari dalam diri individu tersebut.
b. Faktor-faktor Pemungkin (Enabling Factors)
Adalah faktor pendukung yang terwujud dalam lingkungan fisik, termasuk di
dalamnya adalah berbagai macam sarana dan prasarana, misalnya : dana,
transportasi, fasilitas, kebijakan pemerintah dan lain sebagainya.
c. Faktor-faktor Pendukung (Reinforcing Factors)

12
Faktor-faktor ini meliputi : faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat,
tokoh agama, sikap dan perilaku petugas termasuk petugas, undang-undang
peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah.
2.5 Transportasi Kota
Kota merupakan magnit utama bagi pencari kerja ketika kondisi sosial
ekonomi penduduk desa mengalami proses pemiskinan. Ini diperparah
pembangunan di negara-negara berkembang pada banyak hal dianggap bias
kota. Untuk mendukung kegiatan penduduk di perkotaan, maka alat
transportasi sebagai pendukung mobilitas warga sangat penting.
Atmodirono mengemukakan, kegiatan manusia yang berbagai macam di
perkotaan menyebabkan mereka perlu saling berhubungan. Untuk itu
diperlukan alat penghubung, salah satu di antaranya dan yang paling tua
umurnya adalah angkutan. Jadi pengangkutan adalah bukan tujuan akhir
melainkan sekedar alat untuk melawan jarak.
Banyak negara berkembang menghadapi permasalahan transportasi dan
beberapa di antaranya sudah berada dalam tahap sangat kritis. Permasalahan
yang terjadi bukan saja disebabkan oleh terbatasnya sistem prasarana
transportasi yang ada, tetapi ditambah permasalahan lainnya. Pendapatan
rendah, urbanisasi yang sangat cepat, terbatasnya sumber daya, khususnya
dana, kualitas dan kuatintas data yang berkaitan dengan transportasi, kualitas
sumber daya manusia, tingkat disiplin yang rendah, dan lemahnya sistem
perencanaan dan kontrol membuat permasalahan transportasi menjadi
semakin parah (Tamin, 2000).
Dalam perkembangan literatur transportasi kota, Tamin, membedakan
dua konsep sistem transportasi. Pertama, ciri pergerakan tidak spasial (tanpa
13
batas ruang) di dalam kota, misalnya yang menyangkut pertanyaan mengapa
orang melakukan perjalanan, kapan orang melakukan perjalanan, dan jenis
angkutan apa yang digunakan. Kedua, ciri pergerakan (dengan batas ruang) di
dalam kota, termasuk pola tata lahan, pola perjalanan orang dan pola
perjalanan. Ciri pergerakan tidak spasial adalah semua ciri pergerakan yang
berkaitan dengan aspek tidak spasial, seperti faktor terjadinya pergerakan,
waktu terjadinya pergerakan dan jenis angkutan umum yang digunakan.
Terjadinya pergerakan dapat dikelompokkan berdasarkan maksud
perjalanan sebagai berikut. Pertama, aktivitas ekonomi, seperti mencari nafkah
dan mendapatkan barang serta pelayanan. Kedua, aktivitas sosial, seperti
menciptakan dan menjaga hubungan pribadi. Klasifikasi perjalanannya berupa
ke dan dari rumah teman, ke dan dari tempat pertemuan bukan di rumah.
Dalam aktifitas ini kebanyakan fasilitas terdapat dalam lingkungan keluarga dan
tidak menghasilkan banyak perjalanan serta terkombinasi dengan perjalanan
hiburan. Ketiga, aktivitas pendidikan, klasifikasi perjalanan ini adalah ke dan
dari sekolah, kampus dan lain-lain. Aktivitas ini biasanya terjadi pada sebagian
besar penduduk yang berusia 5-22 tahun, di negara sedang berkembang
jumlahnya sekitar 85 % penduduk. Keempat, aktivitas rekreasi dan hiburan.
Klasifikasi perjalanannya adalah ke dan dari tempat rekreasi atau yang
berkaitan dengan perjalanan dan berkendaraan untuk berekreasi. Aktifitas ini
biasa terjadi seperti mengunjungi restoran, kunjungan sosial. Kelima, aktivitas
kebudayaan, klasifikasi perjalanannya adalah ke dan dari daerah budaya serta
pertemuan politik. Aktivitas ini berupa perjalanan kebudayaan dan hiburan dan
sangat sulit dibedakan.

14
2.6 Perilaku Berlalulintas
Jalan raya yang awalnya berfungsi mempelancar pergerakan manusia dan
barang dari satu tempat ke tempat lain, ternyata akhir-akhir ini jalan menjadi
sumber kecelakaan.Jalan sudah tidak aman. Kecelakaan lalu lintas merupakan
suatu tragedi manusia.(EC.,1996) kecelakaan di jalan raya penyebabkan
kematian manusia di bawah umur 40 tahun dan merupakan penyebab
kehilangan umur kehidupan yang terbesar. Menurut Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO), pada tahun 1998 tabrakan di jalan merupakan penyebab
terbesar luka atau kematian dini (early death) pada pria antara umur 15 sampai
44 di seluruh dunia. Juga, urutan kedua terbesar penyebab luka atau kematian
dini pada pria semua golongan umur di negara berkembang (BTS 2000).
Keamanan lalu lintas (traffic safety) tetap merupakan suatu keprihatian
kesehatan publik yang serius di negara maju dan di negara berkembang (Sinha,
2002) .
Semua pemakai jalan mempunyai peran penting dalam pencegahan dan
pengurangan kecelakaan. Walaupun kecelakaan cenderung terjadi tidak hanya
oleh satu sebab, tetapi pemakai jalan adalah pengaruh yang dominan. Pada
beberapa kasus tidak adanya pengalaman untuk menginterprestasi hal-hal
yang penting dari serangkaian peristiwa waktu mengendara sering mengambil
keputusan atau tindakan yang salah. Kesalahan yangpaling sering dilakukan
oleh pemakai jalan adalah kecepatan yang berlebihan, lengah, salah anggapan,
sikap panik karena tidak punya pengalaman. Para pengemudi muda yang tidak
berpengalaman dan kematangan emosial belum stabil, sikap suka pamer dan
sifat-sifat lain yang menyebabkan kelompok ini mempunyai laju kecepatan
yang tinggi.
15
Menurut Hobbs, (1995) pengemudi digolongkan antara pengemudi yang
aman dan tidak aman. Empat kategori pengemudi diindentifikasi setelah
mengamati kinerja merekadalam mengendarai kendaraan pada suatu rute
pengujian. Observasi-observasi ini mencakup kecelakaan di dekat lokasi,
pandangan ke kaca spion, gerakan kendaraan, dan respon didahului dan
mendahului. Kategori setiap pengemudi dapat dilihat pada bagian uraian
berikut :
a. Safe (S, aman): sangat sedikit kecelakaan, memakai sinyal dengan baik, tidak
melaksanakan gerakan yang tidak umum. Frekuensi menyalip sama dengan
frekuensi tersalip.
b. Dissociated active (DA, aktif terpisah): banyak mendapat kecelakaan dan
gerakannya berbahaya, mengemudi dengan cara seenaknya, sedikit
memberi sinyal dan jarang melihat kaca spion. Tersalip lebih sering dari
pada menyalip.
c. Dissociated passive (DP, pasif terpisah): sering mendapat kecelakaan,
kesadaran rendah, mengemudi di daerah median, dan dengan hanya sedikit
penyesuai dengan kondisi sekitar. Tersalip lebih jarang dibanding menyalip.
d. Injudicious (I, kemampuan menilai kurang) : sering mendapat kecelakaan,
estimasi jarak tidak baik, dan gerakann yang tidak umum, terlalu sering
melihat kaca spion, Gerakan menyalip tidak baik.
Uji psikologis yang telah dipakai untuk membedakan antara pengemudi
yang aman dan yang tidak aman. Biasanya pengemudi yang aman berasal dari
kelompok yang introvert . Pengemudi yang tidak aman biasanya dari kelompok
yang ekstrovert.

16
2.7 Landasan Teori
Perilaku manusia merupakan respon terhadap stimulus. Dalam
memberikan respon, manusia biasanya mempertimbangkan faktor internal
(dalam diri individu itu sendiri) dan faktor internal (di luar individu). Faktor
internal yang mempengaruhi perilaku manusia biasanya adalah pendidikan,
pengalaman, nilai-nilai dan orientasi yang dianut seseorang. Sedangkan faktor
eksternal yang mempengaruhi tindakan individu adalah penegakan hukum,
kompetisi, dan aturan yang ditegakkan oleh atasan atau lingkungan dimana
individu bekerja. Jadi, pada dasarnya, tidak ada individu yang benar-benar
bertindak yang hanya didorong kehendak bebas (free will) si individu, tapi pada
banyak hal, mempertimbangkan faktor eksternal.
Selanjutnya, dalam perubahan perilaku manusia dikenal teori Tahapan-
Tahapan Teori Perubahan (Stages of Change Theory), yakni precontemplation,
contemplation, action dan maintenance. Dengan kata lain, perubahan perilaku
manusia mengikuti tahap-tahap ini.
Ini bisa kita lihat ketika seseorang diduga terinveksi penyakit HIV
misalnya. Pada tahap precontemplation misalnya individu yang sakit tadi
mengalami masalah (apakah dia tahu atau tidak tahu sudah sakit HIV) dan tidak
ingin berubah. Tapi dengan munculnya kesadaran si individu, apakah melalui
informasi dan pengetahuan tentang HIV dan mulai melakukan evaluasi dan
refleksi pada dirinya (bagaimana dampak HIV pada dirinya) ia memasuki tahap
contemplation (ia menyadari ia telah kena HIV dan mulai berpikir untuk
berubah) ia kemudian melakukan evaluasi diri dan memikirkan perubahan yang
akan dilakukannya.

17
Pada tahap berikutnya, individu memasuki tahap preparation for action
(individu menyadari masalah penyakitnya dan ingin berubah pada bulan
berikutnya). Beberapa perilaku yang mau dirubah misalnya sudah dicatat,
seperti pemakaian kondom yang tidak konsisten, tapi bentuk nyata perubahan
perilaku belum ditemukan. Pada tahap ini, ia mulai meyakinkan diri, bahwa ia
yakin untuk berubah.
Dan pada saat inilah ia memasuki tahap action (ia menegaskan
perubahan perilaku) misalnya dengan memakai kondom secara konsisten
setidaknya selama 6 bulan dengan harapan bahwa tindakannya akan
menyembuhkannya. Ia kemudian mendapat dukungan dari kelompok dan
menghindari seks bebas. Pada tahap maintenance (ia menjaga perilakunya
yang berubah) selama 6 bulan.

Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran dan Perilaku Mengemudi

Berdasarkan model di atas, penelitian ini memfokuskan perhatian pada


beberapa variabel bebas, yakni: pendidikan, etnisitas, lama kerja dan
18
pembinaan armada, sehingga model hubungan yang akan diteliti adalah
sebagai berikut :

PENDIDIKAN

ETNISITAS

PERILAKU
LAMA KERJA

ARMADA

Gambar 2.3. Hubungan Variabel dan Perilaku Mengemudi

19
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Nawawi mengatakan metode deskriptif memusatkan perhatian pada
masalah-masalah atau fenomena-fenomena yang ada pada saat penelitian
dilakukan atau masalah yang bersifat aktual, kemudian menggambarkan fakta-
fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan
interpretasi yang akurat. Penelitian ini berupaya menjelaskan perilaku supir
angkutan kota di Kota Medan. Deskripsi ini akan menjelaskan hubungan antara
tingkat pendidikan, etnisitas, jenis armada dengan perilaku sopan-santun
dalam berlalu lintas. Juga akan dieksplorasi lebih jauh faktor-faktor utama yang
mempengaruhi perilaku berlalu lintas di kalangan supir angkutan kota di Kota
Medan.
Paradigma kuantitatif ini dalam banyak hal diupayakan akan mengikuti
asumsi, ontologi, epistimologi, aksiologi dan metode paradigma kuantitatif
(Creswell 2001, 12). Meski dalam metode pengumpulan data, pendekatan
kualitatif juga digunakan. Dengan kata lain, penelitian ini lebih dominan (more-
less dominant) menggunakan pendekatan kuantitatif
3.2. Populasi dan Sampel
3.2.1. Populasi Penelitian
Populasi adalah objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan
karakteristik tertentu yang disetarakan oleh peneliti untuk dipelajari, dan
kemudian ditarik kesimpulan. Sedangkan sampel adalah sebahagian dari
jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Populasi dalam penelitian
20
ini adalah keseluruhan supir angkutan kota yang armadanya di bawah
pengaturan Dinas Perhubungan Kota Medan.
Ini biasanya ditandai dengan Ijin Trayek yang dikeluarkan oleh Dinas
Perhubungan Kota Medan. Jumlah populasi secara keseluruhan berdasarkan
data jumlah armada angkutan kota di Kota Medan mencapai 16.736 armada.
Ini berarti bahwa di atas kertas, setidak-tidaknya terdapat 16.736 supir.
Namun, berdasarkan informasi dari lapangan diperoleh gambaran bahwa dari
keseluruhan jumlah armada tersebut, maksimal yang beroperasi di lapangan
rata-rata 80 %, sehingga dengan demikian banyaknya populasi untuk penelitian
ini diperkirakan 80 % x 16.736= 13.889 orang.
3.2.2. Sampel Penelitian
Menurut Arikunto sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang
diteliti. Penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Porposive
Sampling, dengan menggunakan ketentuan yang dikemukakan oleh Isaac dan
Michael (dalam Sugiyono, 2008: 126), sebagai berikut :
2 N. P. Q
S= -----------------------
D2 (N-1) +  2. P.Q
 dengan dk = 1, taraf kesalahan optional 1%, 5%, atau 10%
P=Q= 0,5 D=0,05 S= Ukuran sampel

Berdasarkan rumus di atas, Isaac dan Michael selanjutnya menyusun


sebuah tabel yang memuat jumlah sampel terpillih untuk sejumlah populasi
tertentu.

21
Tabel 3.1. Tabel Isaac dan Michael Penentuan Jumlah Sampel
Berdasarkan Rumus Isaac dan Michael dengan Taraf Signifikansi 95 %.

N S N S N S
10 10 220 140 1200 219
15 14 230 144 1300 297
20 19 240 148 1400 306
25 24 250 152 1500 309
30 28 260 155 1600 310
35 32 270 159 1700 313
40 36 280 162 1800 317
45 40 290 165 1900 320
50 44 300 169 2000 322
55 48 320 175 2200 327
60 52 340 181 2400 331
65 56 360 186 2600 335
70 59 380 191 2800 338
75 63 400 196 3000 341
80 66 420 201 3500 346
85 70 440 205 4000 351
90 73 460 210 4500 354
95 76 480 214 5000 357
100 80 500 217 6000 361
110 86 550 226 7000 364
120 92 600 234 8000 367
130 97 650 242 9000 368
140 103 700 248 10000 370
150 108 750 254 15000 375
160 113 800 260 20000 377
170 118 850 265 30000 379
180 123 900 269 40000 380
190 127 950 274 50000 381
200 132 1000 278 75000 382

22
210 136 1100 285 100000 384
Catatan: N= Populasi
S= Sampel

Berdasarkan tabel di atas jumlah sampel yang disarankan adalah 300.


Dengan demikian, penelitian ini selanjutnya mengambil sampel sebanyak 300
orang supir yang akan dipilih secara proporsional dari setiap arrmada dengan
memperhitungkan prosentasenya terhadap keseluruhan jumlah sampel.

Tabel 3.2. Nama dan Jumlah Armada Angkutan Kota di Medan.

No Perusahaan Jumlah Direktur Ket


1 CV Mitra 750 Drs OK. Khaidir
2 PT Rahayu Medan 2.623 Drs Mont Gomery Munthe
Ceria
3 CV Medan Bus 1.020 Jumongkas Hutagaol
4 PT Kobun 84 Drs B Surbakti
5 Kop Medan Raya 290 T Ferdinand Simangunsong
Ekspers
6 CV Laju Deli Sejahtera 150 H Khairudinsyah
7 PT Nasional 605 Drs Baskami Ginting
8 PT Mars 1.055 Daud Sitepu SE
9 CV Hikma 250 H Abdul Hasyim Hasibuan
10 PT Povri 443 Novi Meliala
11 CV Desa Maju 294 Christoper Aritonang
12 KPUM 6.081 T Ferdinand Simangunsong
13 PTU Morina 1.670 J. Sitindaon

23
14 CV Mekar Jaya 315 Kushendra
15 PT Gajah Mada 310 J. Sitindaon
16 CV Wampu Mini 733 H. NG Brahmana
TOTAL 16.736

3.3. Informan Penelitian


Di samping para supir, informan dalam penelitian ini juga berasal dari
pemiliki angkutan umum (toke) dan pengurus Organda. Dari informan kunci ini,
akan digali lebih dalam informasi terkait dengan perilaku berlalu lintas para
supir. Untuk menggali informasi lebih dalam dari informan ini, akan dilakukan
wawancara mendalam dengan panduan wawancara terbuka (open-ended
interview guide). Wawancara akan dihentikan sepanjang permasalahan
penelitian dianggap telah terjawab ditandai dengan pengulangan jawaban-
jawaban responden. Untuk menjaga validitas dalam wawancara ini akan
dilakukan triangulasi data ke berbagai informan lain.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan jenis data dan unit analisis yang direncanakan, maka
proses penggalian data dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik
yaitu :
3.4.1. Penyebaran kuesioner (angket)
Pengumpul data dalam penelitian ini adalah kuesioner semi terbuka
(semi-open-ended questioner) yang akan disebarkan kepada para supir
angkutan kota yang ada di Kota Medan. Kuesioner disebarkan oleh para
pewawancara dan dipandu langsung pengisiannya karena diasumsikan, para
supir akan enggan mengisi sendiri karena jam kerja mereka yang tak terduga-

24
duga. Sebelum penyebaran kuesioner dilakukan, terlebih dahulu dilakukan uji
kuesioner terhadap 30 orang responden. Setelah dilakukan perbaikan atas
sistematika dan substansi beberapa pertanyaan maka akhirnya dilakukan
penyebaran kuesioner.
3.4.2. Wawancara
Selain kuesioner, alat pengumpul data yang digunakan adalah
wawancara mendalam yang dilakukan langsung oleh peneliti. Wawancara ini
akan dilakukan di tempat-tempat pangkalan angkutan kota tempat para supir
biasanya mangkal. Wawancara juga mungkin dilakukan di rumah supir dengan
perjanjian sebelumnya. Karena itu, penjajakan dan pendekatan dengan para
supir juga penting selama proses penelitian ini berlangsung. Dalam melakukan
wawancara digunakan instrumen penelitian sebagai pedoman wawancara dan
alat bantu seperti kamera, tape recorder dan buku catatan.
3.4.3. Pengamatan (observasi)
Pengamatan dalam penelitian ini dilakukan secara langsung ke lokasi
penelitian. Pengamatan ini dilakukan dengan melakukan wawancara langsung
di pangkalan dan kantor direksi armada. Pengamatan juga dilakukan dengan
menaiki angkot sebagaimana layaknya penumpang biasa dengan memilih
duduk di bangku samping supir dengan wawancara bebas dan tak terstruktur
pada trayek-trayek tertentu.
3.4.4. Studi Dokumen
Mengingat bahwa sebagian data primer hanya bisa dijelaskan dengan
bantuan data sekunder, maka dalam penelitian ini juga dilakukan penggalian
data dengan menggunakan teknik studi dokumen, seperti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah/Daerah, Renstra, buku dan lain-lain.
25
3.5. Analisis dan Interpretasi Data
Data dari kuesioner akan dianalisa dalam tabel tunggal dan tabel silang
untuk melihat prosentase dan kecenderungan (median) variabel-varibel
(pendidikan, etnisitas, armada, lama kerja jadi supir, misalnya) dari hasil olahan
statistik (SPSS atau Excell). Juga akan dilihat hubungan antar variabel dengan
menggunakan uji korelasi.
Sedangkan data kualitatif yang diperoleh dari wawancara mendalam
akan dikategorisasi dan dikonseptualisasi untuk melengkapi analisis kuantitatif
dari hasil olahan statistik yang merupakan hasil entri data kuesioner. Data ini
diharapkan akan menajamkan analisa sekaligus interpretasi data selama proses
penelitian berlangsung.
3.6. Definisi Konsep
a. Perilaku dalam penelitian ini adalah perilaku berlalu lintas yang dilakukan
supir yang dapat diamati baik yang dilakukan karena tekanan dari luar
(eksternal) maupun karena kesadaran sendiri (internal). Dengan demikian,
perilaku berlalulintas didefinisikan sebagai kecenderungan yang ditampil-
kan oleh supir angkutan kota dalam mengendarai kendaraan sejak dari
pangkalan keberangkatan, dalam perjalanan, hingga pangkalan tujuan.
Perlu ditambahkan, bahwa yang dimaksud dengan angkutan kota dalam
penelitian ini adalah terbatas untuk “sudako” (yang berarti taksi, becak
bermotor, damri, ojek tidak masuk dalam penelitian ini). Angkutan kota ini
antara lain : KPUM, CV Mitra, PT Rahayu, CV Medan Bus, PT Kobun, dan
lain-lain.
b. Sementara itu, yang dimaksud dengan supir adalah orang yang
mengendarai angkutan kota yang ditandai dengan merk armada dengan
26
ciri tersendiri untuk setiap armada (kesatuan) baik yang tidak memiliki SIM
yang berlaku maupun yang berlaku.
c. Lama kerja adalah durasi dalam mengemudi yang diperankan seorang
supir berdasarkan hitungan bulan dan tahun.
d. Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan formal dan nonformal yang
dicapai.
e. Etnisitas adalah penyebutan suku yang diakui dan ditandai dengan bahasa,
adat-istiadat maupun lingkungan tradisi yang dianut oleh seseorang.
f. Kesatuan (aArmada) adalah organisasi/perusahaan pengelola trayek
dimana angkutan kota bergabung.
3.7 Definisi Operasional
a. Perilaku berlalulintas diteliti melalui indikator-indikator sebagai berikut :
1) Kepatuhan terhadap peraturan armada.
2) Kepatuhan terhadap rambu-rambu lalu-lintas.
3) Kecenderungan dalam hal kecepatan.
4) Kecenderungan dalam hal penggunaan alat isyarat (sign) kendaraan.
5) Sopan-santun berkendaraan di antara kedaraan lainnnya.
b. Pendidikan diteliti melalui indikator-indikator :
1) Ijazah terakhir yang diperoleh.
2) Pengalaman mengikuti pendidikan nonformal.
3) Terpaan media (media exposure).
4) Frekuensi membaca buku.
5) Frekuensi berdiskusi dengan teman sepergaulan.
c. Etnisitas diteliti menurut indikator-indikator :
1) Lingkungan etnis tempat bermukim.
27
2) Lingkungan adat yang diikuti.
3) Bahasa yang digunakan dengan pasangan.
d. Lama Kerja diukur dengan indikator :
Durasi waktu (dalam satuan tahun) yang telah dilalui bekerja sebagai supir.
e. Kesatuan (Armada) diteliti melalui indikator-indikator :
1) Ketersediaan peraturan tata-tertib.
2) Kepatuhan terhadap peraturan tata-tertib.
3) Kebijakan organisasi menyangkut pengawasan.
4) Pendidikan sopan-santun lalulintas.
3.8. Jadwal dan Tahap Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu dimulai pada bulan
Juli 2012 sampai dengan bulan September 2012. Untuk lebih jelasnya kegiatan-
kegiatan yang dilakukan selama penelitian, dapat dilihat di table di bawah ini.

Tabel 3.3. Jadwal dan Kegiatan Penelitian.

Tahun 2012 / Bulan


NO KEGIATAN
Juli Agustus September
1 Penyusunan Proposal
2 Diskusi Proposal
3 Pengumpulan Data
4 Penyeleksian Data
5 Uji Keabsahan Data
6 Penulisan Laporan Kajian
7 Membuat Draft Laporan Penelitian

28
8 Diskusi Draft Laporan
9 Penyempurnaan Draf Laporan
10. Seminar hasil

29
BAB IV

ANALISIS DAN INTERPRESTASI DATA

4.1. Gambaran Lokasi Penelitian


4.1.1. Kondisi umum Lokasi Penelitian
Kota Medan sebagai sebuah kota metropolitan mempunyai posisi yang
sangat strategis baik sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara, pintu gerbang
bagian barat Indonesia bagi kegiatan jasa perdagangan dan keuangan domestik
dan regional dan pusat pelayanan jasa dan industri. Kota Medan juga kota
nomor tiga terbesar di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya, yang memiliki
luas 26.510 hektar (265,10 km²) atau 3,6 % dari keseluruhan wilayah Sumatera
Utara.
Sebagian besar penduduk Kota Medan bekerja pada lapangan pekerjaan
perdagangan (35,34 %) diikuti dengan lapangan pekerjaan jasa (20,38 %),
lapangangan pekerjaan listrik, gas dan air minum (16,92 %), lapangan
pekerjaan angkutan/komunikasi (13,59 %) dan lain-lain sebesar (13,77 %).
4.1.2. Geografi
Kota Medan sebagai ibukota dari Provinsi Sumatera Utara secara
geografis terletak di antara 03⁰.30’ - 03⁰.48’ LU dan 98⁰.39’.00” - 98⁰.47’.36”
BT, dengan ketinggian 3,0 s/d 30,0 meter dari permukaan air laut.
Letak geografis beberapa daerah di Kota Medan dapat dilihat pada tabel
berikut di bawah ini.

30
Tabel 4.1. Letak Geografis beberapa daerah Kota Medan.
Garis Lintang Garis Bujur Tinggi Dari
Nama Daerah
(LU) (BT) Permukaan Laut (m)
Sampali 03⁰.62’ 98⁰.78’ 25
Polonia 03⁰.32’ 98⁰.39’ 27
Belawan 03⁰.48’ 98⁰.42’ 3
Sumber: Kota Medan dalam Angka 2011
4.1.3 Administrasi
Secara administratif, Kota Medan memiliki wilayah seluas 265,10 km² yang
terdiri dari 21 kecamatan dengan 151 kelurahan, secara rinci dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 4.2. Luas Kota Medan menurut kecamatan
No Kecamatan Luas(km²) Persentase
1 Medan Tuntungan 20,68 7,80
2 Medan Johor 14,58 5,50
3 Medan Amplas 11,19 4,22
4 Medan Denai 9,05 3,41
5 Medan Area 5,52 2,08
6 Medan Kota 5,27 1,99
7 Medan Maimun 2,98 1,12
8 Medan Polonia 9,01 3,40
9 Medan Baru 5,84 2,20
10 Medan Selayang 12,81 4,83
11 Medan Sunggal 15,44 5,82
12 Medan Helvetia 13,16 4,96
13 Medan Petisah 6,82 2,57
14 Medan Barat 5,33 2,01
15 Medan Timur 7,76 2,93
16 Medan Perjuangan 4,09 1,54
17 Medan Tembung 7,99 3,01
18 Medan Deli 20,84 7,86

31
19 Medan Labuhan 36,67 13,83
20 Medan Marelan 23,82 8,99
21 Medan Belawan 26,25 9,90
Total Kota Medan 265,10 100
Sumber: Kota Medan dalam Angka 2011
4.1.4. Demografi
Jumlah penduduk Kota Medan sampai dengan tahun 2011 sebesar
2.097.610 jiwa dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 0,87 % dan jumlah
kepadatan penduduk per kilometer rata-rata sebesar 7.798 jiwa/km². Angka
pertumbuhan penduduk, kepadatan penduduk dan jumlah penduduk per
kecamatan dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan Tabel 4.4. berikut.
Tabel 4.3. Jumlah penduduk Kota Medan menurut
kecamatan dan jenis kelamin.

.No Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah


1 Medan Tuntungan 39.414 41.528 80.942
2 Medan Johor 61.085 62.766 123.851
3 Medan Amplas 56.175 56.968 113.143
4 Medan Denai 71.181 70.214 141.395
5 Medan Area 47.813 48.731 96.544
6 Medan Kota 35.239 37.341 72.580
7 Medan Maimun 19.411 20.170 39.581
8 Medan Polonia 25.989 26.805 52.794
9 Medan Baru 17.576 21.940 39.516
10 Medan Selayang 48.293 50.024 98.317
11 Medan Sunggal 55.403 57.341 112.744
12 Medan Helvetia 70.705 73.552 144.257
13 Medan Petisah 29.367 32.382 61.749
14 Medan Barat 34.733 36.038 70.771
15 Medan Timur 52.635 55.998 108.633
16 Medan Perjuangan 45.144 48.184 93.328
17 Medan Tembung 65.391 68.188 133.579
18 Medan Deli 84.520 82.273 166.793

32
19 Medan Labuhan 56.676 54.497 111.173
20 Medan Marelan 71.287 69.127 140.414
21 Medan Belawan 48.889 46.617 95.506
1.039.926 1.060.684 2.097.610
Sumber: Kota Medan dalam Angka 2011

Tabel 4.4. Luas wilayah dan jumlah penduduk


serta kepadatan penduduk/km² menurut kecamatan.
Luas Penduduk Kepadatan
No Kecamatan Wilayah (jiwa) penduduk
(km) per Km2
1 Medan Tuntungan 20,68 80.942 3.914
2 Medan Johor 14,58 123.851 8.495
3 Medan Amplas 11,19 113.143 10.111
4 Medan Denai 9,05 141.395 15.624
5 Medan Area 5,52 96.544 17.490
6 Medan Kota 5,27 72.580 13.772
7 Medan Maimun 2,98 39.581 13.382
8 Medan Polonia 9,01 52.794 5.859
9 Medan Baru 5,84 39.516 6.766
10 Medan Selayang 12,81 98.317 7.675
11 Medan Sunggal 15,44 112.744 7.302
12 Medan Helvetia 13,16 144.257 10.962
13 Medan Petisah 6,82 61.749 9.054
14 Medan Barat 5,33 70.771 13.278
15 Medan Timur 7,76 108.633 13.999
16 Medan Perjuangan 4,09 93.328 22.819
17 Medan Tembung 7,99 133.579 16.718
18 Medan Deli 20,84 166.793 8.004
19 Medan Labuhan 36,67 111.173 3.032
20 Medan Marelan 23,82 140.414 5.895
21 Medan Belawan 26,25 95.506 3.638
Total Kota Medan 265,10 2.097.610
Sumber: Kota Medan dalam Angka 2011
33
4.1.5. Arah dan Perkembangan Kota Medan
Perkembangan Kota Medan yang sangat pesat, terutama terjadi di
pusat kota ke arah Timur dan Barat kota. Sementara itu, bagian Utara dan
Selatan kota, relatif kurang berkembang. Berdasarkan sejarah umur dan
kepadatan bangunan/lingkungan, unsur-unsur lingkungan kota yang menjadi
daya tarik, serta kendala-kendala fisik, diduga perkembangan fisik Kota Medan
bermula dari Kecamatan Medan Kota dan Kecamatan Medan Area yang saat ini
menjadi wilayah pusat kota.
Daerah ini terdiri dari kawasan permukiman, kawasan perdagangan,
dan pusat pemerintahan, yang radius perkembangannya saat ini mencapai 6
km. Perkembangan selanjutnya secara linier mengikuti kegiatan perangkutan
regional Medan-Binjai (ke arah Barat) dan Medan-Tebing Tinggi (ke arah
Timur). Tarikan perkembangan ke arah Barat dan Timur sangat kuat sejalan
dengan peningkatan kegiatan perangkutan di jalan arteri primer tersebut
(RUTR Kota Medan, 2005, hal 2-6). Perkembangan kota yang linier ini kurang
diharapkan karena, antara lain :
a. Mengganggu kelancaran lalu lintas regional
b. Bercampurnya kegiatan/lalu lintas lokal dan regional, dan
c. Berkembangnya sistem jaringan yang kurang efisien.

4.1.6. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan


4.1.6.1. Kenderaaan Bermotor
Jumlah kenderaan bermotor dan pertumbuhannya adalah sebagaimana
ditampilkan pada tabel berikut :

34
Tabel 4.5. Pertumbuhan kenderaan bermotor menurut
jenis kenderaan di Kota Medan
Jenis Kenderaan
No Tahun Penumpang Truck Bus Motor Jumlah
1 2002 128.882 93.989 11.424 558.236 792.531
2 2003 138.179 99.464 11.815 657.460 906.918
3 2004 149.302 104.776 12.108 756.569 1.022.755
4 2005 164.314 112.001 12.406 833.406 1.172.128
5 2006 175.198 116.184 12.619 895.745 1.289.746
Sumber: Satlantas Poltabes MS, Ditlantas Poldasu, 2007

Dari tabel 4.5 dapat dilihat bahwa pertambahan jumlah kendaraan


bermotor mobil penumpang rata-rata per tahun (sebesar 6,51 %) lebih tinggi
daripada pertumbuhan angkutan bus rata-rata per tahun (sebesar 3,91) dan
juga pertumbuhan mobil barang (sebesar 5,29 %). Tetapi pertumbuhan
tertinggi terjadi pada sepeda motor yang mencapai 20,92 %. Secara
keseluruhan didapat pertumbuhan kendaraan bermotor sebesar 9,16 % per
tahun.
4.1.6.2 Angkutan Umum
Angkutan umum yang memberikan pelayanan dalam trayek tetap dan
teratur di Kota Medan terdiri dari jenis mobil penumpang umum, bus kecil, bus
sedang dan bus besar dengan perincian sebagaimana tertera dalam tabel
berikut.
Tabel 4.6. Jenis angkutan umum di Kota Medan

Jumlah Trayek Jumlah Armada


Jenis Plafon Realisasi % Plafon Realisasi %
MPU 146 98 67,12 8.789 5.283 60,10
60,08% 60,87% 63,34% 65,90%
Bus Kecil 83 55 66,26 4593 2517 54,80
35
34,16% 34,16% 33,10% 31,40%
Bus 6 5 83,3 290 155 53,44
sedang 2,47% 3,11% 2,09% 11,93%
Bus 8 3 37,5 204 62 30,4
Besar 3,29% 1,86% 1,47% 0,77%
Jumlah 243 161 66,25 13.876 8.017 58,0%
Sumber: Dinas Perhubungan Kota Medan, 2012

Jaringan trayek dan detail data untuk masing-masing perusahaan yang


beroperasi di Kota Medan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.7. Angkutan umum dalam trayek tetap di Kota Medan.

Nama Perusahaan Jenis Jumlah Trayek Jumlah Armada


No Armada Plafon Realisasi % Plafon Reali- %
sasi
1 KPUM MPU 93 53 56,98 6.081 2.862 47,06
2 PT.U.Morina MPU 19 11 57,89 1.670 522 31,25
3 PT.Rahayu.MC MPU 23 16 69,56 2.623 1.548 59,01
4 CV.Wampu Mini MPU 8 7 87,50 733 264 36,01
5 CV.Mekar Jaya MPU 4 3 75,00 315 176 55,87
6 PT.Gajah Mada MPU 4 3 75,00 310 193 62,25
7 CV.Mitra B.Kecil 11 6 54,54 750 234 31,20
8 PT.Mars B.Kecil 20 11 55.00 1.055 263 24,92
9 CV.Medan Bus B.Kecil 13 6 46,15 1.020 217 21,27
10 PT.Kobun B.Kecil 4 0 0,00 84 0 0,00
11 CV.Hikma B.Kecil 4 0 0,00 250 0 0,00
12 PT.Nasional MT B.Kecil 10 4 40,00 605 167 27,60
13 PT.Povri B.Kecil 5 3 60,00 443 23 5,19
14 CV.Desa Maju B.Kecil 7 3 52,85 294 137 46,59
15 CV.Laju Deli S B.Kecil 6 1 16,66 150 8 5,33
16 KPUM(MRX) B.Sedang 6 2 33,33 290 137 47,24
17 Damri B.Besar 5 2 40,00 60 20 33,33
Jumlah 242 131 54,13 16.736 6.771 40,45
Sumber : Rekapitulasi Data Dinas Perhubungan Kota Medan, 2012

Sementara itu, untuk trayek tidak tetap dapat dilihat sebagaimana


tertera pada tabel berikut ini.

36
Tabel 4.8. Angkutan umum dalam trayek tidak tetap di Kota Medan.
Jenis Armada Jumlah Armada
Nama Perusahaan Plapond Realisasi % KPS
1 PT.Mandiri Karya S. Beca Bermotor 5.000 4.968 99,36 632
2 KPUM Beca Bermotor 4.000 4.000 100,00 686
3 YPSA Beca Bermotor 250 250 100,00 25
4 Bahumas Kosgoro Beca Bermotor 300 300 100,00 86
5 CV.Mitra Beca Bermotor 1.300 1.300 100,00 108
6 CV.Batang Gadis Beca Bermotor 300 300 100,00 -
7 KPSM Beca Bermotor 750 750 100,00 10
8 FA.Mekar Jaya Beca Bermotor 500 500 100,00 71
9 Koperasi Opsi SU Beca Bermotor 300 300 100,00 -
10 Kop.HABSU Beca Bermotor 600 600 100,00 36
11 UD.MILTAR Beca Bermotor 750 750 100,00 -
12 CV.Sinar Cahaya Duta Beca Bermotor 3.200 3.200 100,00 50
13 CV.Sinar Cahaya Duta Beca Bermotor 2.000 1.456 72,80 50
14 Yayasan T. Deli IndahBeca Bermotor 300 300 100,00 -
15 CV.Indah Ceria Medan Beca Bermotor 1.000 1.000 100,00 70
16 HABSSU(Sejahtera M.) Beca Bermotor 1.000 1.000 100,00 39
17 YAPABSU Beca Bermotor 500 500 100,00 33
18 PABM Beca Bermotor 950 950 100,00 40
19 Bestari Transport Beca Bermotor 300 300 100,00 4
20 Serikat Beca Merdeka Beca Bermotor 150 150 100,00 38
21 Perhimpunan A.B Win Beca Bermotor 500 142 28,40 112
22 CV.Laju Deli S. Beca Bermotor 1.000 1.000 100,00 50
23 Baja Pulau Samosir Beca Bermotor 200 200 100,00 4
24 HIPKAMSI Trans Beca Bermotor 300 300 100,00 23
25 CV.Permana Putra Beca Bermotor 750 15 1,86 -
Jumlah 26.200 24.531 93,62 2.167
Sumber: Rekapitulasi Data Dinas Perhubungan Kota Medan, 2012

37
Tabel 4.9. Angkutan umum taksi di Kota Medan
Jenis Jumlah Armada
No Nama Perusahaan Kendaraan Plapond Realisasi %
1 PT.Deli Cepat Taksi Taksi 275 76 27,63
2 Kokapura II Taksi 50 50 100,00
3 PT. Angkasa Bhakti Taksi 100 100 100,00
4 PT. Express Limo N. Taksi 500 120 24,00
5 PT. Yuki Taksi 100 21 21,00
6 Kostar Taksi Taksi 170 82 48,23
7 Matra Taksi(KPUM) Taksi 500 131 26,20
8 PT. Karsa Taksi 650 69 10,61
9 PT. Blue Bird Taksi 500 300 60,00
10 PT. Ridha Taksi 50 5 10,00
Almunawarrah
11 CV. Eka Prasetya Taksi 150 6 4,00
Jumlah 3.045 960 31,52
Sumber: Rekapitulasi Data Dinas Perhubungan Kota medan, 2012

Kebijaksaan angkutan umum di Kota Medan adalah:


1. Mengatur kembali sistem angkutan umum yang telah beroperasi
dengan melihat faktor-faktor sistem jaringan jalan yang ada, faktor
efisiensi dan dampak yang ditimbulkan seperti kemacetan, kerusakan
jalan dan lain-lain.
2. Menetapkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan sistem
angkutan umum agar perkembangannya dapat lebih terkendali dan
dapat melayani penduduk secara efisien serta terjangkau oleh
masyarakat.
3. Menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung sistem angkutan umum
seperti tempat pemberhentian, shelter dan terminal.

38
4. Memisahkan fungsi terminal yang bersifat lokal dengan regional agar
terjamin pelayanan angkutan umum yang optimal.
5. Meningkatkan pelayanan angkutan dalam rangka menarik minat
masyarakat untuk lebih menggunakan angkutan umum.
6. Mengembangkan jenis angkutan umum yang lebih sesuai dengan
karakteristik jaringan jalan kota.
4.1.7 Prasarana
4.1.7.1 Jaringan Jalan
Kota Medan memiliki pola jaringan jalan yang berbentuk grid/kisi-kisi
pada daerah pusat kota dan bentuk radial pada daerah pinggiran kota. Jalan
utama sebagai koridor dalam kota adalah Jalan Thamrin, Jalan Pandu, Jalan
Sutomo, Jalan Pemuda, Jalan Ahmad Yani, Jalan Balai Kota, Jalan MT Haryono,
Jalan Cirebon, Jalan Raden Saleh, Jalan Guru Patimpus, dan Jalan Perintis
Kemerdekaan, serta Jalan Prof. H.M. Yamin. Sedang koridor luar yang meng-
hubungkan daerah pinggiran kota dengan pusat kota yaitu Jalan KL. Yos
Sudarso, Jalan Putri Hijau, dan Jalan Krakatau sebagai jalan yang meng-
hubungkan daerah Utara dengan pusat kota, Jalan Letda Sujono sebagai jalan
yang menghubungkan daerah bagian Barat dengan pusat kota, Jalan Gatot
Subroto sebagai jalan yang menghubungkan daerah bagian Timur dengan pusat
kota, Jalan Sisingamangaraja dan Jalan Brigjend Katamso serta Jalan Jamin
Ginting, merupakan jalan yang menghubungkan daerah bagian Selatan dengan
pusat kota.
Untuk menghubungkan daerah pinggiran kota secara langsung, tanpa
harus melalui pusat kota disediakan jalan lingkar Utara, yaitu Jalan Kapten
Sumarsono, Jalan Asrama, Jalan Gagak Hitam, Jalan Industri, dan Jalan
39
Ngumban Surbakti, yang menghubungkan daerah bagian Utara dengan bagian
Timur, sedangkan daerah bagian Selatan dengan daerah bagian Timur
dihubungkan oleh jalan lingkar Selatan yaitu Jalan Bunga Sedap Malam, Jalan
AH. Nasution dan Jalan Karya Jasa.
Selain itu juga terdapat jalan Tol Belmera (Belawan-Medan-Tanjung
Morawa) yang menghubungkan daerah bagian Selatan Kota Medan yaitu
Tanjung Morawa dengan daerah bagian Utara Kota Medan yaitu Belawan yang
dibangun memanjang pada daerah bagian Barat. Keberadaan Jalan Lingkar dan
Jalan Tol ini sangat membantu dalam mengalihkan arus kendaraan menerus
yang melalui pusat kota, sehingga mengurangi kepadatan volume lalu lintas
dalam kota serta merangsang pertumbuhan daerah pinggiran kota. Untuk
memperlancar arus lalu lintas dilakukan beberapa manajemen lalu lintas
seperti jalan satu arah terutama pada daerah pusat kota yaitu pada Jalan
Ahmad Yani, Jalan Balai Kota, Jalan Putri Hijau, Jalan Diponegoro, Jalan Imam
Bonjol (sebagian), Jalan Kartini, Jalan Teuku Daud, Jalan Kapten Maulana Lubis,
Jalan MT Haryono, Jalan Gajah Mada (sebagian), Jalan Zainul Arifin, Jalan
Sutoyo, Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan HM. Yamin, Jalan Thamrin, Jalan
Merbabu, Jalan Sutomo, Jalan Pandu, Jalan Cirebon, Jalan Gaharu, dan hampir
seluruh jaringan jalan dalam wilayah pusat kota. Kota Medan memiliki jalan
sepanjang 3.078,94 km dengan perincian sebagai berikut :

Tabel 4.10. Panjang jalan (km) menurut kondisi di Kota Medan.


Penanggung Jawab
Kondisi Negara Provinsi Kab./Kota Jumlah
Baik 140,70 33,40 2.980,30 3.154,30
Sedang 15,80 15,80
Rusak 20,10 20,10
40
Rusak Berat 1,30 1,30
Tidak Diperinci 00,00 00,00
Jumlah 56,86 70,70 2.951,38 3.078,94
Sumber : Kota Medan dalam Angka 2011

Tabel 4.11. Panjang jalan menurut jenis permukaan di Kota Medan.


Penanggung Jawab
Permukaan Negara Provinsi Kab./Kota Jumlah
Aspal 56,86 70,70 2.548,89 2.676,45
Kerikil
Tanah 8,95 8,95
Tidak Diperinci 393,54 393,54
Jumlah 56,86 70,70 2.951,38 3.078,94
Jumlah 56,86 70,70 2.951,38 3.078,94
Sumber : Kota Medan dalam Angka 2011
4.1.7.2 Terminal Penumpang
Terminal sebagai salah satu sarana pelayanan kepada masyarakat
pemakai jasa angkutan umum dan merupakan awal pemberangkatan dan akhir
perjalanan angkutan umum sekaligus tempat pergantian (interchange) moda
transportasi sangat berperan dalam menentukan tingkat kinerja dari pelayanan
angkutan umum dalam suatu kota. Pengaturan lokasi terminal bus ditentukan
berdasarkan sifat dan syarat lokasi dari terminal.
Untuk terminal bus angkutan komuter (Kota Medan ke kota-kota
terdekat) lokasinya harus berada pada jalur utama, paling optimal pada wilayah
transisi atau pinggiran (Terminal Terpadu Amplas, Terminal Terpadu Pinang
Baris dan Terminal Tuntungan. Dimensi kendaraan (bus) yang besar menuntut
pelayanan fungsi jaringan tingkat tinggi (arteri) dan mempunyai kemudahan
pencapaian (accessibility) yang mempunyai paling banyak jalur alternatif ke
luar kota.
41
Kota Medan telah menyediakan 5 (lima) buah terminal dengan kelas
pelayanan seperti Tabel 4.12, antara lain :
1. Terminal Terpadu Amplas, di wilayah Selatan memiliki kapasitas sebesar 80
unit bus dan 160 unit mobil penumpang umum dengan luas sebesar
26.580 m².
2. Terminal Pinang Baris, di wilayah barat memiliki kapasitas sebesar 60 unti
bus, dan 120 unit mobil penumpang umum dengan luas 19.940 m².
3. Terminal Sambu, di pusat kota berkapasitas sebesar 200 unit mobil
penumpang umum dengan luas 3.000 m².
4. Terminal Veteran, di pusat kota berkapasitas sebesar 20 unit bus dan 60
unit mobil penumpang umum dengan luas 2.600 m².
5. Terminal Belawan, di wilayah Utara memiliki kapasitas sebesar 24 unit bus
dengan luas 1.080 m².

Tabel 4.12. Terminal di Kota Medan


No Terminal Kelas Pelayanan
Melayani angkutan umum untuk antar kota antar provinsi
1 Amplas (AKAP), angkutan antar kota dalam provinsi (AKDP),
angkutan kota dari wilayah Timur/Selatan ke Kota Medan.
2 Pinang Melayani angkutan umum untuk angkutan antar kota dalam
Baris provinsi (AKDP), angkutan kota dari wilayah Barat/Selatan
ke Kota Medan.
3 Sambu Melayani kendaraan umum (mobil penumpang) dalam Kota
Medan ke inti kota.
4 Veteran Melayani kendaraan umum (mobil bus) dalam Kota Medan
yang menuju inti kota.
5 Belawan Melayani kendaraan umum (mobil bus) dalam Kota Medan
yang menuju inti kota (Belawan – Medan).
Sumber : Dinas Perhubungan Kota Medan, 2007

42
4.2 Profil Responden
4.2.1 Klasifikasi jenis supir
Sebagian besar jenis atau kategori supir yang diteliti dalam penelitian ini
adalah supir tetap (66 %) diikuti kemudian supir tembak (19 %) dan yang
terakhir supir sekaligus pemilik (15 %). Ini merupakan konsekuensi logis karena
memang sebagian besar supir (35 %) yang diteliti merupakan supir KPUM.
Karena memang armada KPUM senantiasa menetapkan regulasi yang ketat
dalam menetapkan supir di dalam armadanya, yakni dengan memberikan Kartu
Pengenal Supir bagi setiap supir yang mengemudi dan menyimpan data dasar
supir di kantor.
Ini diperkuat lagi, karena Armada KPUM mewajibkan supir membayar
setoran untuk STM (Rp 5.000 per hari) yang dikelola supir secara independen.
Dengan demikian, KPUM jarang sekali atau tidak pernah mempekerjakan supir
tembak, sebagaimana terjadi di armada yang lain. Kategori supir di armada ini
biasanya adalah supir satu atau supir dua, yang semuanya terdaftar resmi di
kantor dan wajib membayar setoran.
Grafik 4.1. Kategori / Jenis Supir

43
Supir Sekaligus
Pemilik
15%

Supir Tembak
19%
Supir Tetap
66%

Temuan observasi dan wawancara mendalam mengungkapkan, bahwa


secara umum, supir sekaligus pemilik yang biasanya relatif lebih taat mengikuti
peraturan lalu lintas karena mereka tidak terlalu ditekan untuk mengejar
setoran. Di samping itu, mereka juga menjaga mobilnya agar tidak cepat rusak
kalau dikemudikan sembrono untuk menjaga daya tahan suku cadang mobil
yang harganya terus melonjak di tengah menurunnya jumlah penumpang.

Selanjutnya, kategori supir tembak (supir cadangan) kerap kali dianggap


kurang mematuhi peraturan lalu lintas. Supir tembak ini, selama proses
wawancara mendalam di kalangan supir dan mondor, memiliki beberapa
sebutan lain seperti supir raun (memutar), supir kain lap atau supir door-smeer,
dan supir pocokan. Supir raun adalah supir yang mengambil alih kemudi angkot
begitu tiba di pangkalan untuk mencari sewa di sekitar pangkalan.
Sedangkan supir kain lap adalah supir-supir yang biasanya masih relatif
muda dan biasanya bekerja di tempat pencucian mobil (door-smeer)
sebelumnya untuk mencuci dan melap angkutan kota. Karena di tempat
44
pencucian mobil biasanya mereka ikut memajukan dan memundurkan
angkutan kota, lambat laun mereka menjadi supir dengan mengurus SIM
tembak (SIM yang diurus melalui calo). Kategori supir kain lap yang masih
muda dan mengurus SIM tembak inilah yang cenderung mengemudi di luar
aturan-aturan lalu lintas.
Ini terbukti suatu ketika peneliti menaiki angkutan kota dari Simpang
Selayang menuju Marelan. Sang supir, bermarga Simangunsong mengemudikan
kendaraannya ugal-ugalan sepanjang perjalanan. Pria berusia 20 tahun yang
tidak menyelesaikan pendidikan sampai SMP ini malah ‘memuntahkan’ kata-
kata kotor kepada supir angkutan kota lain, ketika dia menaikkan penumpang
di Jambur Namaken (Jalan Jamin Ginting) dan mengajak berduel dengan sang
supir. Saling kejar dan saling potong sambil zig-zag dari lajur kiri-dan kanan
ditambah suara klakson yang tiada henti terjadi mulai dari Jambur Namaken
sampai ke Sumber USU.
Ibu-ibu penumpang di bangku belakang bahkan berteriak sambil
memohon, agar sang supir jangan terlalu nekat, tapi sang supir tak peduli dan
mengatakan, “Armada ini (menyebut salah satu merek armada) memang selalu
cemburu kalau kita menaikkan penumpang. Walaupun Padang Bulan ini
‘dimerahkannya” (maksudnya cat armada yang disebutnya) dan mobilnya
banyak, tak bisa sesuka hatinya” ujar si supir dengan nada memaki.
Kekacauan belum berhenti, tatkala si supir ‘mengoceh’ lagi dengan
pengendara sepeda motor perempuan yang kebetulan menjemput anak
sekolah. Persis lewat Simpang Kampus, sang supir memaki si pengendara
motor dengan kata-kata “Hai perempuan bodoh” sambil merapatkan angkutan
kotanya ke samping pengendara motor. Supir yang lima tahun menjadi kenek
45
(kondektur) Borneo ini saling kejar dan saling potong. Bahkan di perlimaan
lampu merah Iskandar Muda dan Monginsidi, nyaris saja angkutan kota ini
menubruk perempuan yang mengendarai sepeda motor tadi dari belakang.
Peneliti yang tadi hanya diam mengobservasi akhirnya mengingatkan sang
sopir agar lebih lambat dan hati-hati. Apalagi mengingat di boncengan sepeda
motor itu ada anak perempuan yang masih berseragam TK.
Tapi sang supir menjawab, “Dia yang mancing-mancing. Masak di depan
kita ia ngegas keretanya. Ngajak balap dia itu. Perempuan seperti apa itu,”
gerutu supir yang berasal dari Sidikalang ini. Saling adu kejar dan potong ini
baru berakhir di Jalan Gajah Mada, karena angkutan kota ini memutar ke kiri ke
arah sekolah Raksana, sementara pengendara motor terus melaju lurus ke
ujung jalan Gajah Mada.
Kendala dalam menertiban supir ini menurut para direksi armada
disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pergantian supir dalam satu
angkutan kota sangat tinggi. Kalau manajemen direksi armada menetapkan
aturan yang ketat, belum tentu si pemilik angkutan kota setuju. Karena pemilik
angkutan kota kadang kurang peduli dengan perilaku supir mengemudi, yang
penting setoran disetor rutin setiap hari. Pergantian supir ini semakin tinggi,
karena memang jumlah angkutan kota banyak dan profesi supir itu adalah
profesi sampingan, yang akan mudah ditinggalkan ketika ada tawaran
pekerjaan yang lebih menjanjikan.
Kedua, mental supir yang cenderung ‘ngakali’ pemilik angkutan kota.
Seorang informan menuturkan cerita menarik terkait perilaku ini. Ia
mengisahkan, otak supir itu ibarat putaran ban angkutan kota itu sendiri. Supir
itulah yang memutar otak untuk ‘ngolah’ pemilik angkutan kota. Otak si supir
46
senantiasa berputar ‘ngakali’ si pemilik. Pada hal tertentu sang supir itu
sesungguhnya yang menjadi toke pertama. Kenapa? Karena begitu si supir
membawa angkutan kota ke pangkalan dia sudah disediakan teh susu, rokok,
dan sarapannya oleh pemilik warung di pangkalan, sementara si pemilik
angkutan kota belum dapat apa-apa. Karena itu, si supir disebut sebagai toke
pertama.
Begitu juga kalau dia pulang ke rumah, dia lebih dulu memikirkan uang
yang akan dibawanya pulang, bukan setoran kepada pemilik. Ambil misal, kalau
gajinya biasanya Rp 60 ribu, sementara setoran Rp 80 ribu. Kalau gajinya belum
cukup, setoran yang dikurangi. Padahal kalau ada kerusakan sedikit pun tidak
menjadi tanggungan supir. Beda dengan supir dulu. Supir dulu lebih memikir-
kan setoran dulu kepada pemilik. Bahkan sering memberi lebih dari setoran
yang telah ditetapkan. Jarang memberi setoran ‘belah jengkol’ (bagi dua secara
merata antara pendapatan supir dan setoran yang harus diberikan kepada
pemilik angkutan kota).
Begitu juga kalau mobil rusak, supir kadang malah bertingkah. Ketika
angkutan kota telah diperbaiki dan siap jalan, si supir malah tidak masuk. Mobil
sehat, supir sakit. Direksi armada ini mengaku, memiliki mobil tiga tapi tidak
pernah jalan semua karena ada saja supir yang tidak masuk. “Kita pecat supir
yang tidak masuk, datang lagi supir yang lebih buruk” tuturnya dengan nada
kesal.

47
4.2.2. Lama Kerja Supir
Grafik 4.2. Lama Kerja Supir

Di atas 20 tahun
15% Di bawah 5 tahun
23%
16 – 19 tahun
7%

11 – 15 tahun
20%
5 – 10 tahun
35%

Dilihat dari lama bekerja, sebagian besar (35 %) bekerja antara 5-10
tahun, disusul masa kerja di bawah 5 tahun (23 %) dan masa kerja 11-15 tahun
(20 %). Hanya 14 % yang bekerja di atas 20 tahun. Lama bekerja ini
merefleksikan beberapa asumsi. Pertama, sebagian besar supir masih baru
bekerja dan diasumsikan angkatan kerja berusia muda. Usia muda ini juga
diperkirakan salah satu faktor yang melatarbelakangi perilaku supir yang
kurang taat berlalu lintas. Kedua, masa kerja antara 11-15 tahun dan di atas 20
tahun kalau digabungkan mencapai sekitar 34 % mengasumsikan bahwa
pekerjaan supir sekarang ini bukan lagi profesi yang menjanjikan seperti supir-
supir dulu. Dalam artian lain, profesi supir bisa saja ditinggalkan kalau ada
pekerjaan yang lebih menjanjikan.
Ini dibuktikan saat wawancara di kalangan supir dan direksi armada.
Seorang supir mengatakan, nasib supir sekarang ini tak lebih ibarat budak
karena harus bekerja dari pagi sampai malam, tapi kadang tetap juga kurang
48
setoran. Ini yang membuat supir kurang taat berlalu lintas karena semata untuk
mengejar setoran dan mencari sekaligus menambah penghasilan. Menurut
supir yang kadang berprofesi sebagai supir truk lintas Sumatra ini, ia kadang
mengemudikan truk ke Jakarta membawa jeruk, karena penghasilannya lebih
baik. Dalam seminggu pulang pergi Medan-Jakarta, ia bisa menghasilkan Rp 1
juta. Ia menyerahkan kepada istrinya Rp 800.000 dan Rp 200.000 lagi
digunakan untuk uang jalannya.
Dengan nada putus asa, ia melanjutkan, kalau pekerjaan supir sekarang
tidak menjanjikan lagi dan hanya bisa hidup bertahan ala kadarnya. Ini
diperkuat lagi lewat pengakuan seorang direksi salah satu armada, yang
sebelumnya pernah bekerja sebagai supir di Jakarta dulu semasa
kepemimpinan Ali Sadikin. Mantan supir yang mengemudikan bus Saudaranta
pada 1973 di Jakarta ini menuturkan sekaligus membandingkan, penghasilana
supir dulu sangat menjanjikan dan masih terpandang.
Hanya bekerja sehari bisa membeli 2-3 meter tanah di Jakarta. Karena itu,
dulu profesi supir masih diminati dan dianggap terpandang. Bahkan untuk
menjadi supir dulu relatif sulit. Sebelum menjadi supir harus menjadi cincu
(kernek), ngelap ban mobil sampai mengkilap, bahkan kadang-kadang harus
mencuci pakaian supir. Ironisnya sekarang, profesi supir dianggap rendahan
dan kurang menjanjikan.
Menurut supir ini, menurunnya pendapatan supir sekarang salah satu
faktornya adalah berlebihnya, baik plafon maupun trayek angkutan kota di
Kota Medan (tanpa bisa menjelaskan ukuran kuantitatif kelebihannya ketika
ditanya lebih lanjut). Kalau ijin diberikan, kan uang masuk bagi Dinas
Perhubungan dan setoran untuk mandor akan berlipat. Bayangkan kalau ada
49
armada 7.000 unit dan setiap angkutan kota harus setor Rp 14.500, berapa per
hari dan per bulannya? Kami supir ini yang jadi korbannya.
4.2.3. Jenis Kesatuan Armada
Grafik 4.3. Kesatuan armada angkutan kota.

Mekar Jaya
Lainnya
Povri Hikma 4% 0%
0% 0%
Mars Gajah Mada
Medan Raya 6% 0%
Express
9%
KPUM
Morina 35%
8%

Desa Maju
6%

Kobun
0%

Medan Bus
11% Rahayu
Nasional
19%
2%

Sebagian besar armada yang diteliti adalah KPUM (35 %), Rahayu (19 %),
Medan Bus (11 %), Medan Raya Express (9 %), Morina (8 %), dan terakhir Desa
Maju (6 %). Besaran ini juga pada tingkatan tertentu merefleksikan besaran
armada angkutan kota di Kota Medan.

50
4.2.4. Keberlakuan Surat Ijin Mengemudi (SIM)
Grafik 4.4. Keberlakuan Surat Izin Mengemudi (SIM).

Tidak
6%

Berlaku
94%

Sebagian besar responden (94 %) dalam mengemudikan angkutan


kotanya memiliki Surat Ijin Mengemudi (SIM) yang masih berlaku, hanya
sebagian kecil (6 %) yang memiliki SIM yang tidak berlaku. Pengemudi dengan
SIM yang tidak berlaku ini biasanya adalah jenis supir raun yang biasanya hanya
mengemudikan angkutan kota di sekitar pangkalan-pangkalan kecil di pinggiran
Kota Medan. Kendati sebagian besar supir masih memiliki SIM yang masih
berlaku, namun sebagian (19 %) supir dalam mengurus SIM melalui calo (lihat
Grafik di bawah). SIM tembak yang diperoleh dari calo ini pulalah yang kerap
dilakukan supir-supir muda atau supir door-smeer karena mereka sebenarnya
kadang belum memiliki kapasitas dalam mengemudikan angkutan umum, baik
dari segi usia dan persyratan khusus seperti ujian teori dan praktik (lihat UU
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, pasal 77).

51
4.2.5 Cara mengurus SIM
Grafik 4.5. Cara memperoleh SIM

Cara lain
Calo 0%
19%

Resmi
81%

Selanjutnya, jika dilihat dari jenis SIM yang dimiliki supir, sebagian besar
(44 %) adalah SIM A Umum (berlaku untuk mengemudikan kendaraan
bermotor umum dan barang dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak
melebihi 3.500 kilogram; disusul 34 % SIM B1 Umum (berlaku untuk
mengemudikan mobil penumpang dan barang umum dengan jumlah berat
yang diperbolehkan lebih dari 3.500 kilogram; dan 12 % SIM B Umum.

52
4.3 Pola perilaku mengemudi supir angkutan kota di Kota Medan
4.3.1 Pola antri berangkat dari stasiun
Grafik 4.6. Antrian berangkat dari Stasiun

Tidak
24%

Ya
76%

Mayoritas (76 %) setiap armada menetapkan antrian setiap berangkat


dari terminal/pangkalan menuju pangkalan berikutnya. Dalam hal ini, setiap
armada menetapkan repass. Hanya sebagian kecil yang tidak menetapkan
sistem repass ini dengan membiarkan supir untuk berangkat sesuka hati.

53
4.3.2 Pola Kepatuhan Antri
Grafik 4.7. Kepatuhan Antri

Sangat sering
18%

Sering
Tidak pernah
9%
47%

Kadang-kadang
26%

Kendati peraturan antri ditetapkan, hanya sebagian (27 %) supir yang


patuh (gabungan antara sangat sering dan sering) mengikuti antrian. Bahkan
sebagian besar (47 %) tidak pernah mematuhi antrian dan sebagian lagi (26 %)
kadang-kadang mematuhi antrian. Ini menunjukkan betapa sejak berangkat
dari terminal atau pangkalan, sesungguhnya supir sudah kurang tertib dalam
mengemudikan angkutan kotanya.

54
4.3.3 Pola keluar dari Stasiun
Grafik 4.8. Perilaku Ngebut Keluar Stasiun

Tidak pernah
4%
Kadang-kadang
9% Sangat sering
34%

Sering
53%

Perilaku kurang tertib supir juga tampak dari tindakan ngebut mereka
begitu keluar dari stasiun. Lebih dari setengah (53 %) responden mengaku
sering ngebut bahkan sebagian (34 %) mengaku sangat sering ngebut. Hanya
sebagian kecil (9 %) yang menjawab kadang-kadang ngebut dan hanya sedikit
sekali (4 %) yang tidak pernah ngebut begitu keluar dari terminal.
Ini menunjukkan sekali lagi, betapa perilaku kurang tertib yakni dengan
ngebut sudah menjadi perilaku setiap supir angkutan kota di Kota Medan.
Ketika ditanya mengapa ngebut, sebagian besar supir mengatakan bahwa
mereka harus adu cepat untuk memperebutkan penumpang, karena sebagian
besar sepanjang jalan trayek baik antar maupun intra armada saling ‘tabrakan’
satu sama lain.
Trayek tabrakan ini, yang disebut informan lain sebagai trayek ‘kamar
mandi’, yakni trayek yang dibicarakan dan diputuskan di luar prosedur, antara
petugas Dinas Perhubungan Kota Medan dengan Direksi armada tertentu
55
sekaligus penyalur mobil. Trayek kamar mandi ini bahkan kadang bisa
menghasilkan trayek yang menghubungkan antar kota seperti Kota Binjadi dan
Kota Medan yang dimiliki oleh armada tertentu. Trayek jenis ini yang disinyalir
informan ini kemudian membuat kelebihan armada di sebagian trayek dan
sekaligus menyingkirkan armada yang lebih kecil.
Namun ‘tabrakan’ trayek dan trayek ‘kamar mandi’ ini dibantah informan
yang lain. Tidak ada tabrakan trayek, yang ada ada adalah trayek
‘bersinggungan.’ Trayek bersinggungan ini terjadi karena semua angkutan kota
memang berangkat awal (start) dari terminal yang sama. Misalnya, trayek dari
Amplas pasti bersinggungan di Jalan Sisingamangaraja. Karena nyatanya pada
trayek tersebut, memang itu satu-satunya jalan. Jadi persinggungan trayek itu
mungkin terjadi.
Persinggungan ini lebih mungkin karena armada yang lain membuka
trayek yang sudah dilalui armada yang lain. Ini dimungkinkan karena armada
tertentu merasa trayek ini adalah yang utama sehingga memulai trayek baru di
trayek yang sudah dilalui armada yang lain. Ini terjadi karena setelah
mengantongi ijin trayek baru, belum tentu langsung mengoperasikan semua
ijin trayek tersebut, tapi membuka trayek secara bertahap dan membuka
trayek yang lebih menguntungkan dulu, yang mungkin belum dilalui oleh
armada yang lain. Mitra dan Rahayu misalnya memiliki 5 ijin trayek, tapi
memulai operasinya berbeda. Rahayu membuka trayek pertama dari trayek x
menuju y, sementara Nitra mulai trayek dari A menuju B. Kemudian Rahayu
akan membuka trayek baru lagi dari A menuju B, ini yang sering disebut timpa
menimpa. Padahal sebetulnya tidak.
Trayek dikatakan tumpang tindih, jika dari mulai berangkat sampai ke
56
tujuan akhir melalui jalur jalan yang sama. Jalur Medan-Siantar misalnya, bisa
dilalui 5 merek seperti Intra, Sentosa, dan lain-lain. Begitu juga trayek Medan
Kabanjahe yang awal titik berangkat dan tujuan akhirnya sama yang dilalui
beberapa merek seperti Sinabung Jaya, Borneo, Sutra, dan Murni Exspress.
4.3.4 Pola Perilaku mencari Penumpang
Grafik 4.9. Perilaku Ngebut mencari Penumpang

Tidak pernah
5% Sangat sering
Kadang-kadang 23%
15%

Sering
57%

Perilaku ngebut dalam mencari penumpang juga diakui sebagian besar


responden (80 %) yakni 23 % mengaku sangat sering ngebut dan 57 % sering
ngebut. Hanya sebagian (15 %) yang menjawab kadang-kadang ngebut dan
hanya sebagian kecil (5 %) yang tidak pernah ngebut.
Perilaku ngebut ini disebabkan terutama oleh dua faktor utama. Pertama,
sebagaimana dijelaskan terdahulu, yakni trayek yang ‘bersinggungan’ baik
antar maupun intra armada. Kedua, menurunnya jumlah penumpang.
Menurunya jumlah penumpang ini, menurut responden baik dari kalangan
supir maupun direksi disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah
hand phone (HP). Kalau dulu, sebelum masyarakat mengenal HP, maka
57
kemungkinan besar orang akan menggunakan jasa angkutan kota, misalnya
dalam mengantarkan undangan nikah. Tapi seiring dengan meningkatnya
penggunaan HP, setiap orang mengurangi mobilitasnya karena cukup dengan
bertelepon atau mengirim SMS kalau mau memberi kabar.
Faktor kedua adalah sepeda motor. Kemudahan memiliki sepeda motor
dengan kredit mudah dan bunga kredit yang rendah, mendorong setiap
keluarga memiliki sepeda motor. Satu sepeda motor bisa digunakan satu
keluarga dan bisa melakukan perjalanan dengan cepat di jalan raya dan
memasuki gang-gang kecil di permukiman padat. Penggunaan sepeda motor
sangat ekonomis dan praktis. Bila seseorang misalnya mengeluarkan uang
transport Rp 15.000 per hari maka sebulan ia menghabiskan Rp 450.000.
Dengan kalkulasi demikian, akan lebih menguntungkan membeli sepeda motor
baru dengan kredit Rp 500.000 per bulan dengan uang muka bervariasi mulai
dari Rp 1.000.000 – Rp 5.000.000.
Faktor ketiga adalah kehadiran betor (beca bermotor) yang kadang
‘dibiarkan’ berkeliaran memasuki jalur perkotaan tanpa sanksi yang tegas.
Padahal, dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Bab X Bagian Kesatu Angkutan Orang dan Barang Pasal 141 tentang
Standar Pelayanan Angkutan Orang disebutkan, bahwa setiap Angkutan Orang
harus memenuhi standar pelayanan minimal seperti keamanan, keselamatan,
kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan, dan keteraturan. Faktanya, betor ini
sesungguhnya belum memenuhi persyaratan teknis dan kelaikan jalan. Tapi
penumpang tetap meminati moda transportasi ini karena di samping tarifnya
murah dan bisa mengangkut beberapa orang, juga praktis karena bisa
mengantar sampai ke depan rumah penumpang.
58
Faktor keempat, yakni menjamurnya angkutan umum dengan
menggunakan mobil pribadi (plat hitam). Ketua Organda Kota Medan,
Montgomery, bahkan mengancam melakukan mogok massal di kalangan
armada angkutan kota jika armada plat hitam dan terminal liar atau terminal
bayangan di sepanjang jalan Sisingamangaraja dan Jamin Ginting tidak
ditertibkan. Dampak beroperasinya armada dan terminal bayangan ini,
penurunan jumlah penumpang angkutan kota selama menjelang dan pasca
lebaran barusan semakin menurun.
Sebab, keberadaan pangkalan liar itu menyebabkan supir angkutan
umum yang tergabung dalam Organda saat ini resah dan menjerit. Penghasilan
mereka drastis jauh berkurang akibat keberadaan pangkalan liar ini. Tidak
hanya penumpang Angkutan Kota Antar Propinsi (AKAP) dan Angkutan Kota
Dalam Provinsi (AKDP), angkutan dalam kota juga diserobot oleh angkutan-
angkutan plat hitam.
Diungkapkan Munthe, kondisi ini sudah berlarut-larut tanpa ada tindakan
tegas. Karenanya, seluruh pengemudi angkutan umum resmi yang berada di
bawah naungan Organda sudah tak dapat menahan kesabarannya lagi. “Jika
dalam waktu sebulan ini tidak dilakukan penertiban, maka seluruh pengemudi
AKAP, AKDP dan angkutan kota sepakat menghentikan operasi selama 7 hari.
Sebab, ini sudah menyangkut masalah perut,” tegas Munthe.
Penegasan senada disampaikan Sekretaris DPC Organda Medan, M.
Ambarita, seluruh pengemudi angkutan umum saat ini menjerit akibat terminal
tidak digunakan lagi sebagai tempat transit akibat adanya pangkalan liar. Yang
menggunakan terminal hanya pengemudi angkutan resmi, sedangkan
pengemudi angkutan plat hitam milik pangkalan liar tidak pernah
59
menggunakannya sama sekali. “Untuk itu kami minta jadikan terminal sebagai
tempat transit dan trotoar sebagai tempat pejalan kaki,” tegasnya (Waspada,
10 September 2012).
Faktor terakhir adalah kenaikan ongkos. Dulu orang dengan ringan hati
membayar ongkos dengan Rp 1.000. Di sisi lain, dulu supir masih senang
menerima ongkos sebesar ini, tapi kalau sekarang dibayar begitu mata supirnya
akan mendelik. Sementara bagi ibu-ibu, jumlah uang Rp 2.000 cukup berarti
untuk uang jajan anak-anak, sehingga untuk jarak-jarak dekat tertentu
(misalnya dari Sumber-Pajak Sore) ibu-ibu memilih jalan kaki daripada naik
angkutan kota.
4.3.5 Perilaku mengemudi dengan angkutan kota lain

Grafik 4.10. Perilaku Ngebut dengan angkutan kota lain

Sangat sering
Tidak pernah 5%
17%

Sering
31%

Kadang-kadang
47%

Perilaku ngebut di kalangan supir angkutan kota juga terjadi ketika


mereka sedang di jalan. Sebagian supir (36 %) mengaku sangat sering dan
sering ngebut sesama mereka dan hampir separuh (47 %) kadang-kadang

60
ngebut dan hanya sebagian kecil (17 %) yang tidak pernah ngebut.
Ini sekali lagi mencerminkan perilaku kurang tertib berlalu lintas di
kalangan supir angkutan kota di Kota Medan cukup tinggi. Kendati ngebut ini
lebih dikarenakan faktor eksternal (seperti trayek yang tabrakan atau
bersinggungan dan penurunan jumlah penumpang), bukan faktor internal
seperti pendidikan, agama, suku, dan pengalaman, tetap harus diupayakan
pembenahannya secara komprehensif oleh pemangku kepentingan di sektor
transportasi umum.
4.3.6 Pola mengemudi dengan Pesepeda
Grafik 4.11. Perilaku supir terhadap pesepeda

Sa nga t
menguta ma ka n
Ti da k 2%
menguta ma ka n
sa ma s eka l i Menguta ma ka n
28% 10%

Kura ng
menguta ma ka n
60%

Perilaku kurang tertib berlalu lintas ini juga kelihatan saat supir
memperlakukan pengguna jalan lain seperti orang yang bersepeda. Hak
pesepeda, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Lalu Lintas
Angkutan Jalan Nomor 22 Tahun 2009 dalam pasal 131 ayat 2, berhak
61
mendapat prioritas pada saat menyeberang jalan di tempat penyeberangan.
Namun sebagaimana terungkap dalam penelitian ini hanya sekitar 12 %
(gabungan yang sangat mengutamakan dan mengutamakan) yang
mengutamakan pesepeda. Lebih dari separuh (60 %) supir kurang
mengutamakan dan lebih seperempat (28 %) yang sama sekali tidak
mengutamakan pesepeda.
Kondisi perlalulintasan ini mencerminkan bahwa badan jalan pada
tingkatan tertentu telah menjadi arena pertarungan antara yang ‘kuat’ dan
yang ‘lemah.’ Mobil pribadi dan angkutan kota ‘menggusur’ pengguna sepeda
motor, sepeda motor selanjutnya ‘menggusur’ pesepeda dan pejalan kaki. Ini
tampak dari trotoar yang mestinya digunakan oleh pejalan kaki malah dilalui
pengendara sepeda motor.
4.3.7 Pola menyalip dari Kiri
Grafik 4.12. Perilaku menyalip dari jalur kiri

Sangat sering
2%
Sering
Tidak pernah 15%
31%

Kadang-kadang
52%

Dalam hal mendahului kendaraan di depan dari jalur kiri, yang


semestinya tidak dibenarkan kecuali untuk kondisi tertentu, memang hanya 17
62
% supir yang melakukannya. Namun bila digabungkan dengan yang kadang-
kadang menyalip dari jalur kiri yang mencapai 52 %, maka perilaku menyalip
dari jalur kiri ini juga relatif tinggi. Dengan kata lain, perilaku berlalu lintas di
kalangan supir kurang tertib.
Padahal, sebagaimana ditegaskan dalam UU Nomor 22 Tahun 2009
Tentang Lalu Lintas Angkutan jalan pasal 109, pengemudi Kendaraan Bermotor
yang akan melewati Kendaraan lain harus menggunakan lajur atau jalur jalan
sebelah kanan dari Kendaraan yang akan dilewati, mempunyai jarak pandang
yang bebas, dan tersedia ruang yang cukup.
Dalam keadaan tertentu, pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat menggunakan lajur Jalan sebelah kiri dengan tetap memperhatikan
Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Jika kendaraan yang akan dilewati telah memberi isyarat akan
menggunakan lajur atau jalur jalan sebelah kanan, pengemudi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang melewati kendaraan tersebut.

63
4.3.8 Pola mengemudi saat pindah Jalur
Grafik 4.13. Memberi isyarat saat berpindah jalur

Sangat sering
4%
Sering
Tidak pernah 12%
36%

Kadang-kadang
48%

Bahkan ketika pindah jalur, hanya 16 % (sangat sering dan sering)


memberikan isyarat. Hampir setengah (48 %) kadang-kadang memberi isyarat
bahkan sebagian (36 %) mengaku tidak memberi lampu isyarat saat mau
berpindah jalur. Ini lagi-lagi mencerminkan kurang tertibnya perilaku berlalu
lintas di kalangan supir angkutan kota di Kota Medan. Bahkan dalam
wawancara seorang supir mengatakan, menyalip dari jalur kiri dan tanpa lampu
isyarat itu belum cukup. Kalau bisa dan perlu, mobilnya diterbangkan untuk
mendahului kenderaan yang ada di depan untuk mencari penumpang. Lebih
jauh lagi, baik supir maupun direksi armada mengatakan baik supir angkutan
kota maupun mobil pribadi sama saja perilaku mengemudinya.
Supir dan direksi ini juga menyangkal kalau biang kemacetan dituduhkan
kepada supir angkutan kota yang kurang tertib. Menurut mereka, kemacetan
lalu lintas justru disebabkan parkir yang berlapis, pelajar yang memarkirkan
mobilnya di badan jalan, pedagang kagetan atau kaki lima, dan meningkatnya
64
jumlah mobil pribadi. Hasil studi Bank Dunia tahun 1994 menyebutkan akibat
pencemaran udara dari sumber bergerak di kota-kota di Indonesia telah
membawa dampak kerugian ekonomi dan dampak kesehatan. Saat itu,
diperkirakan kerugian ekonomi di Jakarta saja sudah mencapai Rp. 500 milyar.
Angka tersebut diperoleh dengan perhitungan terjadinya 1.200 kematian
prematur, 32 juta masalah pernapasan, dan 464.000 kasus asthma (Republika
20 Juni 2012).
Pusat Penelitian Ekonomi LIPI memaparkan bahwa masyarakat menderita
kerugian sosial akibat kemacetan sebesar lebih dari Rp 17,2 triliun per tahun
akibat biaya pemborosan nilai waktu dan biaya operasi kendaraan terutama
bahan bakar. Bahkan pada perhitungan lain memperkirakan kerugian dari
kemacetan lalu lintas ini mencapai Rp 43 triliun. Tidak hanya itu, kemacetan
juga dapat berdampak pada menurunnya produktivitas ekonomi kota dan
merosotnya kualitas hidup warga kota. Selain dampak ekonomi dan sosial,
kemacetan juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan di DKI
Jakarta.

65
4.3.9 Pola mengemudi melewati objek tertentu
Grafik 4.14. Perilaku supir melewati objek tertentu

Sangat sering
Tidak pernah 6%
24%
Sering
23%

Kadang-kadang
47%

Tampaknya, perilaku berlalu lintas yang tertib sebagaimana diamanatkan


Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan
masih jauh dari harapan. Hanya sebagian supir (29 %) supir yang
memperlambat laju angkutan kotanya, saat melewati objek tertentu seperti
pejalan kaki, lintasan rel kereta api dan genangan air (sesuai dengan Undang-
Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 116 ayat 2).
Hampir separuh (47 %) responden hanya kadang-kadang yang memperlambat
laju kenderaannya. Bahkan hampir seperempat responden (24 %) tidak pernah
memperlambat.

66
4.3.10 Perilaku supir saat Berhenti Darurat
Grafik 4.15. Perilaku memasang segi tiga pengaman

Sangat sering
Tidak pernah 10%
20%
Sering
15%

Kadang-kadang
55%

Bahkan saat berhenti darurat pun hanya seperempat (25 %) supir yang
sangat sering dan sering memasang segi tiga pengaman (apakah meletakkan
daun-daun, roda angkutan kota, atau segi tiga pengaman). Hanya lebih dari
separuh (55 %) yang kadang-kadang memasang segi tiga pengaman, dan
ironisnya lagi bahkan sebagian (20 %) supir tidak memasang segi tiga
pengaman dalam keadaan berhenti darurat. Bisa dibayangkan, dalam keadaan
darurat saja, para pengemudi angkutan kota ini masih kurang hirau dengan
keselamatan orang lain, termasuk keselamatan dirinya sendiri termasuk
angkutan kota yang dikemudikannya.
4.3.11 Perilaku supir mengangkut Penumpang Pelajar
Kendati begitu, tidak dalam semua hal supir angkutan kota kurang tertib.
Dalam hal memprioritaskan pelajar di saat penumpang penuh, sebagian besar
supir (62 %) tetap mengutamakan kalangan pelajar ini. Hanya sebagian (29 %)
yang kadang-kadang mengutamakan dan hanya sedikit supir (9 %) yang tidak
67
pernah mengutamakannya. Ini tentu patut dihargai, karena meski tarif ongkos
pelajar lebih rendah, mereka tetap mengutamakannya. Terkait kondisi ini,
seorang direksi mengatakan, bahwa angkutan kota sebenarnya telah
memberikan ‘subsidi’ ke sektor pendidikan (kepada anak-anak sekolah)
padahal mereka tidak pernah mendapat subsidi suku cadang bahkan subsidi
minyak. Subsidi minyak tidak pernah diperoleh angkutan kota, dengan alasan
harga minyak yang mereka bayarkan sama dengan harga minyak mobil pribadi.
Grafik 4.16. Perilaku supir terhadap penumpang pelajar

Tidak pernah Sangat sering


9% 11%

Kadang-kadang
29%

Sering
51%

4.3.12 Perilaku supir memungut ongkos saat mengoper penumpang


Begitu juga dalam hal meminta ongkos saat ‘mengoper’ (mengalihkan)
penumpang ke angkutan kota lain saat angkutan kotanya mengalami kerusakan
misalnya, sebagian besar supir tidak pernah melakukannya. Ini tentu perilaku
yang tertib, sebagaimana diharuskan dalam tata tertib berlalu lintas. Karena
kendati supir mungkin sudah hampir di tujuan tapi tanpa diduga mengalami
kendala, apakah rusak atau kena tilang si supir tidak memungut ongkos dari
para penumpang. Bahkan menurut pengakuan seorang supir, kadang-kadang
68
malah penumpang yang membayar ongkos tanpa diminta karena merasa iba
melihat si supir.
Grafik 4.17. Perilaku supir memungut ongkos ketika mengoper penumpang

Sangat seri ng
1%
Sering
5%
Kadang-kadang
17%

Ti dak pernah
77%

4.4. Pengaruh Pendidikan Terhadap Perilaku Mengemudi


Berdasarkan perhitungan yang dilakukan melalui aplikasi SPSS R.15
diperoleh hasil korelasi sebagaimana tercantum pada tabel di bawah berikut
ini.

69
Tabel 4.13. Korelasi Variabel Pendidikan dan Perilaku Mengemudi.

Correlations

PS Pend Et LK Kes
PS Pearson Correlation 1 ,003 ,146* ,208** ,204**
Sig. (2-tailed) ,952 ,012 ,000 ,000
N 300 300 300 300 300
Pend Pearson Correlation ,003 1 ,272** -,023 ,046
Sig. (2-tailed) ,952 ,000 ,696 ,424
N 300 300 300 300 300
Et Pearson Correlation ,146* ,272** 1 ,115* ,233**
Sig. (2-tailed) ,012 ,000 ,047 ,000
N 300 300 300 300 300
LK Pearson Correlation ,208** -,023 ,115* 1 -,001
Sig. (2-tailed) ,000 ,696 ,047 ,989
N 300 300 300 300 300
Kes Pearson Correlation ,204** ,046 ,233** -,001 1
Sig. (2-tailed) ,000 ,424 ,000 ,989
N 300 300 300 300 300
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Hasil di atas menunjukkan bahwa koefisien korelasi antara variabel


pendidikan dengan perilaku supir adalah 0,003. Ini memperlihatkan rendahnya
korelasi atau asosiasi antara variabel pendidikan dengan perilaku supir. Asosiasi
tersebut juga bahkan tidak signifikan. Ini menunjukkan bahwa berdasarkan
perhitungan statistik korelasi, tidak ada hubungan antara pendidikan dengan
perilaku supir dalam berlalulintas di jalan raya.
Dengan kata lain, level pendidikan apa pun yang dimiliki seorang supir
tidak mempengaruhi tertib tidaknya mereka dalam mengemudi. Perilaku
mengemudi yang kurang tertib di kalangan supir, sebagaimana tampak dalam
pola-pola perilaku mengemudi lebih disebabkan oleh tekanan struktural
eksternal yang ada dalam diri seorang supir, seperti target kejar setoran,
tumpang tindih trayek dan menurunnya jumlah penumpang. Perilaku kurang
70
tertib ini semakin terbentuk, karena dalam keseharian mengemudi, setiap supir
‘dipaksa’ untuk tidak tertib agar mereka bisa bertahan menjadi supir angkutan
kota.
Sebagian besar (60 %) supir yang diteliti dalam penelitian ini tingkat
pendidikannya pada level menengah atas (tamat atau tidak tamat SMA) disusul
kemudian seperempat (25 %) tingkat menengah pertama (tamat atau tidak
tamat SMP) dan yang terakhir sebagian kecil (6 %) hanya pada tingkat
pendidikan dasar (tamat atau tidak tamat SD).
Grafik 4.18. Tingkat pendidikan supir angkutan kota.

Tamat atau tidak


tamat Sarjana
Tidak sekolah
3%
1%
Tamat atau tidak
tamat SD Tamat atau tidak
6% tamat Sarjana
Muda/Diploma
5%
Tamat atau tidak
tamat SMP
25%

Tamat atau tidak


tamat SMA
60%

Level pendidikan responden ini menunjukkan profesi supir memang


hanya diminati angkatan kerja dengan pendidikan menengah atas ke bawah
karena profesi ini dianggap kurang menjanjikan bahkan sering dianggap hanya
pekerjaan sampingan. Dengan kata lain, kondisi pendidikan demikian,
memperlihatkan kemampuan angkatan kerja supir dan implikasinya terhadap

71
baik terhadap pendapatan yang diperoleh dan kesetiaan kepada pilihan
pekerjaan.

Tingkat pendidikan menengah atas dan pertama yang dimiliki responden


dalam penelitian ini diasumsikan pula yang memengaruhi perilaku mereka yang
kurang tertib di jalanan. Meski bukan jaminan pula kalau pendidikan yang lebih
tinggi (diploma atau sarjana) akan membuat mereka lebih tertib berlalu lintas.
Melalui kuesioner diperoleh informasi menyangkut kebiasaan membaca
para supir angkutan kota di Kota Medan. Kebiasaan membaca ini merupakan
indikator lain yang menunjukkan dimensi wawasan para supir terkait dengan
variabel pendidikan. Gambaran tentang kebiasaan membaca yang dimaksud
termuat pada grafik berikut ini.
Grafik 4.19. Kebiasaan membaca supir angkutan kota.

Tidak pernah
4% Sangat sering
18%
Kadang-kadang
27%

Sering
51%

Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa 51 % dan 18 % responden


menyatakan sering dan sangat sering membaca buku. Gambaran ini
menunjukkan bahwa mereka memiliki tingkat literasi yang baik yang sekaligus
72
memberikan gambaran bahwa mereka bukanlah kelompok yang buta
perkembangan atau buta informasi. Kebiasaan membaca sudah tentu
memberikan kesempatan bagi mereka untuk senantiasa memperoleh informasi
baru berbagai perkembangan dalam kehidupan.
Peluang mereka untuk senantiasa memperoleh tambahan pengetahuan
tidak hanya dari kegiatan membaca buku. Kegiatan lain yang juga relatif dapat
memberikan tambahan pengetahuan adalah membaca koran. Namun ber-
dasarkan hasil penelitian ini, ternyata kebiasaan membaca koran tidak begitu
meluas di kalangan supir.
Grafik 4.20. Kebiasaan membaca koran supir angkutan kota.

Sangat sering
Tidak pernah 1%
18% Sering
18%

Kadang-kadang
63%

Berdasarkan grafik di atas ternyata sebagian besar yakni 63 % dan 18 %


responden menyatakan kadang-kadang dan tidak pernah membaca koran.
Angka ini sebenarnya agak mengejutkan melihat bahwa di setiap pangkalan
perhentian angkutan kota terdapat warung kopi yang sekaligus menyediakan
koran bacaan. Hasil observasi menunjukkan bahwa sebagian besar mereka
ternyata mengisi waktu di saat berhenti istirahat di kedai dengan mengobrol
73
sesama teman. Koran ternyata hanya disentuh sebagian kecil yang kebetulan
tidak ngobrol.
Sementara itu, dilihat dari aktivitas menonton TV yang juga dianggap
dapat menambah pengetahuan, ternyata sebagian besar yakni 52 % dan 22 %
hanya kadang-kadang dan tidak pernah menonton TV.
Grafik 4.21. Kebiasaan menonton TV supir angkutan kota.

Sangat sering
Tidak pernah 0%
Sering
22%
26%

Kadang-kadang
52%

Berdasarkan wawancara, diperoleh informasi bahwa sepulang “narik”


(beroperasi) mereka kebanyakan telah lelah secara fisik. Kondisi ini
menyebabkan mereka tidak berminat lagi menonton TV, lebih memilih
sesegera mungkin istirahat, dengan pengecualian jika terdapat acara yang
menarik seperti pertandingan sepak bola klub kesayangan, acara semi final
atau final kompetisi liga sepak bola atau acara lainnya.
4.5. Hubungan Variabel Etnis dan Perilaku Mengemudi.
Sementara itu koefisien korelasi antara keeratan pada adat dengan
perilaku adalah 0,146. Sebagaimana digambarkan dengan simbol bintang (*),
maka angka ini signifikan pada tingkat kepercayaan 95 %. Hal ini menunjukkan
74
bahwa hubungan antara keeratan pada nilai adat-istiadat dengan perilaku supir
ternyata signifikan, sebagaimana tercantum dalam tabel di bawah ini.

Tabel 4.14. Korelasi Variabel Etnis dan Perilaku Mengemudi


Correlations

PS Pend Et LK Kes
PS Pearson Correlation 1 ,003 ,146* ,208** ,204**
Sig. (2-tailed) ,952 ,012 ,000 ,000
N 300 300 300 300 300
Pend Pearson Correlation ,003 1 ,272** -,023 ,046
Sig. (2-tailed) ,952 ,000 ,696 ,424
N 300 300 300 300 300
Et Pearson Correlation ,146* ,272** 1 ,115* ,233**
Sig. (2-tailed) ,012 ,000 ,047 ,000
N 300 300 300 300 300
LK Pearson Correlation ,208** -,023 ,115* 1 -,001
Sig. (2-tailed) ,000 ,696 ,047 ,989
N 300 300 300 300 300
Kes Pearson Correlation ,204** ,046 ,233** -,001 1
Sig. (2-tailed) ,000 ,424 ,000 ,989
N 300 300 300 300 300
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Hal ini tidak berarti bahwa etnis tertentu lebih sopan dari etnis yang lain,
melainkan keeratan seorang supir dengan nilai-nilai dan ritual adat
berhubungan dengan perilakunya dalam mengemudikan kenderaan. Jika
diinterpretasi lebih lanjut, fakta itu menunjukkan bahwa keeratan seseorang
supir dengan adat memiliki hubungan dengan sopan-santunnya ketika
mengemudi di jalan raya.
Ternyata sopan-santun yang pasti diajarkan melalui nilai-nilai adat akan
menentukan bagaimana seseorang pengemudi angkutan kota menjalankan
kegiatannya di lapangan. Kenyataan ini setidak-tidaknya mengandung pesan
75
bahwa nilai-nilai adat tetap memiliki relevansi dengan penegakan harmoni
ditengah-tengah masyarakat, sehingga dalam menata kesemrawutan
perlalulintasan setidak-tidaknya juga perlu didekati melalui pendekatan nilai-
nilai adat istiadat yang berlaku pada diri para pengemudi angkutan kota.
Grafik 4.22. Etnis Supir
Minang
1%

Nias
0% Lainnya
5%
Pakpak
2%

Karo
20%

Simalungun
2%
Mandailing Toba
4% 66%

Sebagian besar responden yang diteliti adalah etnis Toba (66 %), disusul
kemudian etnis Karo (20 %), dan Mandailing (4 %). Ini menggambarkan pada
tingkatan tertentu, garis-garis etnis berkaitan dengan pilihan pekerjaan
(okupasi). Dengan kata lain, identitas etnis (Batak Toba dan Karo) memiliki
preferensi dengan pilihan pekerjaan (supir), kendati tidak secara keseluruhan
demikian. Realitas lain misalnya, kita bisa mengidentikkan pekerjaan berdagang

76
itu cenderung dilakukan entis Padang atau Tionghoa. Menjahit dan rumah
makan juga dilakukan orang-orang Minang. Pilihan pekerjaan ini juga biasanya
terkait dengan sejarah etnis tertentu mulai memilih pekerjaan pada awalnya
dalam perkembangan kota pada awalnya. Pekerjaan yang dipilih dan ditekuni
generasi pertama etnis yang bermigrasi ke kota ini kemudian diwariskan dari
generasi ke generasi di tengah-tengah persaingan mendapatkan pekerjaan di
antara etnis-etnis yang majemuk di perkotaan.
Grafik 4.23. Tempat Tinggal Supir Angkutan Kota.

Tidak
Ya
48%
52%

Keeratan mereka terhadap adat pada tahap yang paling dini dapat dilihat dari
pilihan tempat tinggal. Berdasarkan data yang diperoleh dari kuesioner,
diperoleh informasi bahwa sebanyak 52 % ternyata tinggal di lingkungan yang
mayoritas dihuni oleh suku mereka sendiri.
Grafik 4.24. Pemahaman Adat di Kalangan Supir Angkutan Kota.

77
Sangat
menguasai
4%
Tidak menguasai
15%
Menguasai
28%

Kurang
menguasai
53%

Di sisi lain, 48 % responden ternyata tinggal di luar komunitas adatnya.


Fakta tersebut menunjukkan bahwa keeratan dengan komunitas adat relatif
terjadi pada para supir angkutan kota. Namun, realitas tersebut ternyata tidak
diiringi dengan penguasaan terhadap adat.
Grafik berikut ini menunjukkan bahwa 53 % dan 15 % responden
menyatakan tidak menguasai adat istiadat. Realitas ini sebenarnya
memunculkan pertanyaan baru tentang proses sosialisasi dan pendidikan adat
pada komunitas-komunitas yang tinggal diperkotaan seperti Kota Medan.
Grafik 4.25. Kebanggaan terhadap adat di kalangan supir

78
Sangat bangga
1%
Bangga
2%

Tidak bangga
46%
Kurang bangga
51%

Demikian juga, dari segi kebanggaan terhadap adat ternyata 51 % dan 46


% responden menyatakan kurang bangga dan tidak bangga terhadap adat. Dari
sudut komunitas adat, ini menjadi tanda-tanda yang memprihatinkan.
Komunitas adat sendiri mulai tergerus kebanggaan terhadap adatnya sendiri.
Sementara itu, jika dilihat dilihat dari segi kehadiran dalam acara-acara
adat ternyata terdapat perimbangan antara yang menghadiri dengan yang
tidak menghadiri. Berdasar grafik berikut, terlihat bahwa 42 % dan 5 % yang
sering dan sangat sering menghadiri acara/ritual adat. Sebaliknya, 44 % dan 9 %
hanya kadang-kadang dan tidak pernah menghadiri. Responden yang kadang-
kadang, terutama yang tidak pernah menghadiri ritual adat ini sebagian besar
adalah para supir yang belum menikah. Sehingga belum ada kewajiban moral
dan adat bagi mereka untuk menghadirinya.
Berdasarkan data di atas, terlihat kecenderungan komunitas supir secara
perlahan meninggalkan kebiasaan hidup di tengah komunitas adatnya.
Pergaulan mereka dengan komunitas lainnya diperkirakan memiliki hubungan
dengan kecenderungan tersebut. Ditambah lagi dengan persoalan-persoalan
79
kehidupan keseharian seperti aktivitas ekonomi dalam mencari dan
memperoleh pendapatan untuk konsumsi keluarga termasuk biaya pendidikan
sekolah telah mengurangi aktivitas dalam komunitas adat.
Seorang informan menjelaskan bahwa kehadiran ke pesta adat
membutuhkan uang yang tidak sedikit bahkan sering melampaui penghasilan
yang diperoleh seharian narik. Ditambah lagi, dengan absen bekerja berarti
mengurangi pendapatan. Sehingga, “sudah tidak mendapat penghasilan, juga
harus mengeluarkan uang lagi!” Pertimbangan seperti menyebabkan mereka
mengurangi aktivitas kehadiran dalam acara-acara adat.

Grafik 4.26. Frekuensi menghadiri acara adat di kalangan supir.

Tidak pernah Sangat sering


9% 5%

Sering
42%
Kadang-kadang
44%

Kendati label etnis tidak mempengaruhi perilaku dalam mengemudi,


namun sebagaimana diakui salah satu direksi armada, dalam hal memberikan
pengarahan di armada yang dipimpinnya, etnis Batak Toba dan Karo biasanya
relatif sulit diarahkan dan biasanya cenderung ‘melawan.’
Informan direksi salah satu armada lebih menegaskan terkait perilaku
80
kurang tertibnya etnis Toba mengemudikan angkutan kota. Direksi armada
yang pernah lama menjadi supir di Jakarta ini menjelaskan karakter budaya
‘kasar’ dan ‘pemberani’ Batak Toba membuat mereka cenderung kurang tertib,
bahkan ugal-ugalan. Orang Batak mau menjadi ‘ketua’ semua. Karena itu,
orang Batak sulit bekerjasama dan cenderung kasar, termasuk kurang tertib
mengemudi. Agar bisa menjadi ‘ketua’ orang Batak cenderung saling
menyalahkan. Karena 90 persen supir adalah orang Batak bisa dibayangkan
bagaimana perilaku dalam berlalu lintas. Kadang bukan karena rebutan
penumpang, hanya karena ‘palakan-palakan’ (merasa terusik harkat dan
martabatnya karena persoalan sepele saja) sesama supir bisa ugal-ugalan dan
kebut-kebutan di jalan.
Lebih lanjut informan ini menuturkan, perilaku ‘damai’ di tempat awalnya
diduga dilakukan oleh polisi dan supir Batak Toba di Jakarta. Orang Medan jago
nego dan pintar ‘mengolah’. Orang Batak dari Medan diduga pertama sekali
menjadi calo penumpang di Jakarta dan kemudian berkembang di seluruh
Jakarta. Termasuk ‘ngeremani’ halte-halte dan terminal di Jakarta.”
Terkait keberanian dan pintar mengolah ini bisa dibandingkan dalam hal
bepergian jauh antara orang Batak dan Jawa. Orang-orang Jawa kalau
bepergian dan menyeberang jalan senantiasa sambil berpegangan dan
berkelompok, tapi kalau orang Batak berani bepergian sendirian. Contohnya,
informan ini menjelaskan lebih lanjut, neneknya yang tidak bisa baca tulis dan
berbahasa Indonesia berani bepergian ke Kalimantan sendirian. Padahal ia
cuma bisa berbahasa Karo. Kalau suku Jawa mungkin tidak seberani itu.
Sebaliknya, informan lain menjelaskan bahwa etnisitas tidak mempe-
ngaruhi perilaku dalam mengemudi. Dengan kata lain, kultur internal yang
81
inheren dalam diri seseorang (apakah Batak, Jawa, Karo dan sebagainya) tidak
menjadi determinan yang mempengaruhi perilaku seorang supir. Faktor
eksternal dari luar individu malah yang menjadi faktor utama yang mem-
pengaruhi perilaku supir. Pada awalnya, setiap supir mengemudi dengan baik,
yakni berupaya menaati peraturan lalu lintas, tapi ketika mengemudi setiap
hari ia menemui penyimpangan dan menjadi ‘korban’ dari pelanggaran itu
sendiri, ia akhirnya kemudian ikut ugal-ugalan, sebagai mekanisme mem-
pertahankan diri sebagai supir.
Jadi, ada budaya saling ‘isi-mengisi’ sesama supir dalam perilaku
mengemudi. Karena itu, ada istilah ‘Karoja’ atau Karo-Jawa. Jadi etnisitas itu
kemudian melebur dan tidak mempengaruhi perilaku. Tekanan eksternal dari
luar, yakni praktik kurang tertib yang dilihat setiap hari, itu yang memaksa
mereka akhirnya kurang tertib. Karena dalam kondisi demikian, kekurang-
tertiban itu sendiri sudah menjadi ‘ketertiban.’ Supir yang mengikuti aturan lalu
lintas, malah dianggap tidak mendukung dan tidak mengikuti ‘aturan’ supir
kebanyakan. Kendati begitu, segregasi etnisitas itu pada tingkatan tertentu
tampak dalam kepemilikan mobil dalam setiap armada angkutan kota. Dalam
kaitan ini, kepemilikan setiap jenis armada angkutan kota mengikuti garis-garis
etnisitas. Armada Rahayu didominasi etnis Karo; Nasional (Karo); Medan Bus
(Tapanuli Utara); Nitra (campuran beberapa etnis); Hikma (Mandailing) dan
Mekar (Melayu-Karo).
Segregasi atau pengelompokan etnis dan agama justru menguat dalam
pemilihan tempat dan berteman di terminal karena terminal memang pada
tingkatan tertentu kurang aman. Supir yang beragama Islam kadang malas dan
jarang duduk di terminal, karena terminal pada banyak hal telah berubah fungsi
82
menjadi sarang minuman dan judi, termasuk makanan-makanan yang tidak
halal. Mereka berkawan satu sama lain sebagai supir, tapi tersegrasi dalam
memilih teman dan tempat ketika menunggu giliran mau ‘narik’ angkutan kota
masing-masing. Tempat duduk para supir di terminal biasanya secara
struktural juga mengelompok berdasarkan ikatan-ikatan etnis dan agama.
Pengelompokan atau segregasi ini terbentuk bagai air mengalir dan
terkondisikan secara alamiah.
Selanjutnya, dilihat dari dimensi etnisitas, kepemilikan mobil bagi orang
Karo dianggap sebagai simbol kekayaan dan kemakmuran. Karena itu,
kelompok etnis ini kadang-kadang tetap bertahan untuk memiliki mobil meski
merugi bahkan memiliki orientasi budaya untuk senantiasa menambah jumlah
angkutan kotanya. Bagi kelompok ini, mobil dipandang sebagai simbol ‘erjile-
jile’.
‘Erjile-jile’ atau memiliki mobil itu dipandang sebagai simbol status
kekayaan dan kemakmuran. Seorang dianggap sudah sukses dan makmur bila
sudah menjadi toke angkutan kota. Jadi grafiti bere biringna (dilahirkan ibu
beru Sembiring) dan anak si nguda (anak bungsu) adalah teks-teks yang hendak
menceritakan konteks kekayaan orang Karo. Kalau sudah punya mobil dianggap
sudah sukses (jore). Trayek 04, jurusan Bangun Purba - Pinang Baris adalah
contoh mobil dipertunjukkan sebagai status simbol kekayaan. Pemiliknya
adalah seorang kaya yang memiliki kebun sawit dan karet. Trayek ini tetap
beroperasi, kendati kadang-kadang merugi.
Pada tingkatan yang lebih tinggi, budaya erjile-jile ini ditanamakan dalam
keluarga pemilik armada Nitra dari generasi ke generasi. Pendiri awal armada
ini berpesan kepada generasi penerusnya untuk tetap mempertahankan
83
keberadaan armada ini. “Bila Nitra ini tidak jalan (beroperasi) lagi itu berarti
marga Sembiring Kembaren juga sudah hilang. Angkutan kota Nitra merupakan
simbol keluarga Sembiring Kembaren.
4.6. Hubungan Lama Kerja Supir dan Perilaku Mengemudi
Pada sisi lain, perhitungan korelasi menemukan angka koefisien korelasi
sebesar 0,208 disertai dengan simbol dua bintang (**) untuk asosiasi antara
variabel lama kerja dengan perilaku supir. Berdasarkan angka dan simbol
tersebut dapat diinterpretasikan bahwa hubungan antara lama kerja dengan
perilaku supir adalah signifikan. Hubungan ini setidaknya bisa memberikan
penjelasan tentang betapa lama waktu yang sudah dijalani dalam profesi
sebagai supir memiliki hubungan dengan perilaku yang ditampilkan sehari-hari
dalam mengemudikan kenderaan. Dengan angka positif yang diperoleh oleh
koefisien tersebut, berarti semakin lama seseorang bekerja sebagai supir, maka
semakin positif perilaku sopan santun yang ditampilkannya pada saat
mengemudi kenderaan.
Grafik 4.27. Lama Kerja Supir

Di atas 20 tahun
15% Di bawah 5 tahun
23%
16 – 19 tahun
7%

11 – 15 tahun
20%
5 – 10 tahun
35%

84
Dilihat dari lama bekerja, sebagian besar (35 %) bekerja antara 5-10
tahun, disusul masa kerja di bawah 5 tahun (23 %) dan masa kerja 11-15 tahun
(20 %). Hanya 14 % yang bekerja di atas 20 tahun. Lama bekerja ini
merefleksikan beberapa asumsi. Pertama, sebagian besar supir masih baru
bekerja dan diasumsikan angkatan kerja berusia muda. Usia muda ini juga
diperkirakan salah satu faktor yang melatarbelakangi perilaku supir yang
kurang taat berlalu lintas. Kedua, masa kerja antara 11-15 tahun dan di atas 20
tahun kalau digabungkan mencapai sekitar 34 % mengasumsikan bahwa
pekerjaan supir sekarang ini bukan lagi profesi yang menjanjikan seperti supir-
supir dulu. Dalam artian lain, profesi supir bisa saja ditinggalkan kalau ada
pekerjaan yang lebih menjanjikan.
Ini dibuktikan saat wawancara di kalangan supir dan direksi armada.
Seorang supir mengatakan, nasib supir sekarang ini tak lebih ibarat budak
karena harus bekerja dari pagi sampai malam, tapi kadang tetap juga kurang
setoran. Ini yang membuat supir kurang taat berlalu lintas karena semata untuk
mengejar setoran dan mencari sekaligus menambah penghasilan. Menurut
supir yang kadang berprofesi sebagai supir truk lintas Sumatra ini, ia kadang
mengemudikan truk ke Jakarta membawa jeruk, karena penghasilannya lebih
baik. Dalam seminggu pulang pergi Medan-Jakarta, ia bisa menghasilkan Rp 1
juta. Ia menyerahkan kepada istrinya Rp 800.000 dan Rp 200.000 lagi
digunakan untuk uang jalannya.
Dengan nada putus asa, ia melanjutkan, kalau pekerjaan supir sekarang
tidak menjanjikan lagi dan hanya bisa hidup bertahan ala kadarnya. Ini
diperkuat lagi lewat pengakuan seorang direksi salah satu armada, yang
sebelumnya pernah bekerja sebagai supir di Jakarta dulu semasa
85
kepemimpinan Ali Sadikin. Mantan supir yang mengemudikan bus Saudaranta
pada 1973 di Jakarta ini menuturkan sekaligus membandingkan, penghasilana
supir dulu sangat menjanjikan dan masih terpandang.
Hanya bekerja sehari bisa membeli 2-3 meter tanah di Jakarta. Karena itu,
dulu profesi supir masih diminati dan dianggap terpandang. Bahkan untuk
menjadi supir dulu relatif sulit. Sebelum menjadi supir harus menjadi cincu
(kernek), ngelap ban mobil sampai mengkilap, bahkan kadang-kadang harus
mencuci pakaian supir. Ironisnya sekarang, profesi supir dianggap rendahan
dan kurang menjanjikan.
Menurut supir ini, menurunnya pendapatan supir sekarang salah satu
faktornya adalah berlebihnya baik plafon maupun trayek angkutan kota di Kota
Medan (tanpa bisa menjelaskan ukuran kuantitatif kelebihannya ketika ditanya
lebih lanjut). Kalau ijin diberikan, kan uang masuk bagi Dinas Perhubungan Kota
Medan dan setoran untuk mandor akan berlipat. Bayangkan kalau ada armada
7.000 unit dan setiap angkot harus setor Rp 14.500, berapa per hari dan per
bulannya. Kami supir ini yang jadi korbannya.
4.7. Hubungan Armada dan Perilaku Mengemudi
Selanjutnya, angka koefisien korelasi antara armada/kesatuan dengan
perilaku supir adalah 0,204. Angka ini sebagaimana ditunjukkan melalui simbol
dua bintang (**) adalah signifikan pada tingkat kepercayaan 99 %. Dengan
demikian, hubungan antara armada/kesatuan dengan perilaku supir adalah
terbukti. Lebih jauh dapat pula diartikan bahwa dengan semakin baik
pembinaan dan pengorganisasian dilakukan oleh armada, maka semakin positif
pula perilaku sopan santun yang ditampilkan supir di saat mengemudikan
kenderaan.
86
Fakta lain sehubungan dengan interaksi antara pengemudi dengan
armada kenderaan, ternyata para supir cenderung tidak merasa bangga
terhadap armada tempat mereka bernaung dan bekerja.
Grafik 4.28. Kebanggaan Supir Terhadap Armada

Sangat bangga
1%
Bangga
4%
Tidak bangga
36%

Kurang bangga
59%

Grafik di atas menunjukkan bahwa hanya 4 % dan 1 % supir yang merasa


bangga dan sangat bangga terhadap armadanya. Selebihnya yakni sebanyak
95 % cenderung kurang bangga dan tidak bangga. Fakta ini meneguhkan kesan
yang diperoleh pada saat observasi di lapangan bahwa perilaku supir di
lapangan cenderung tidak dapat dikendalikan oleh pengurus armada. Pada
banyak hal, manajemen armada kurang bisa mengendalikan karena posisi
tawar pemilik angkutan kota lebih kuat dalam relasi ini. Armada sebagai
pemegang merek, mendapat iuran dari si pemilik angkutan kota untuk
membiayai seluruh biaya operasional armada. Jadi, bila pemilik angkutan kota
tidak membayar, itu berarti mengurangi pendapatan manajemen armada itu
sendiri. Situasi ini terkesan kian kurang terkendali, karena faktanya sebagian
besar armada tidak memiliki kenderaan patroli di lapangan untuk mengontrol
87
perilaku supir selama di perjalanan.
Berdasarkan wawancara di lapangan diperoleh informasi bahwa satu-
satunya armada yang masih memiliki kenderaan patroli adalah Koperasi
Pengangkutan Umum Medan (KPUM). Sementara itu, sebagian armada lainnya
dulu memilikinya tetapi saat ini tidak beroperasi lagi. Kenyataan ini terespons
melalui data yang diperoleh melalui kuesioner yang tergambar pada grafik
berikut.
Grafik 4.29. Kepemilikan mobil patroli

Tidak Ya
51% 49%

Grafik di atas menunjukkan bahwa dengan komposisi yang hampir


berimbang 51 % responden menyatakan bahwa armada mereka tidak memiliki
patroli, dan selebihnya (49 %) menyatakan memiliki patroli. Ini tidak
mencerminkan fakta. Angka ini muncul karena supir KPUM yang lebih banyak
didata sehingga memberikan kontribusi yang sangat berarti terhadap angka
yang menyatakan memiliki patroli di atas. Di samping itu, sebagian supir
intensitas komunikasinya relatif kurang dengan pihak armada, sehingga tidak
88
mengetahui bahwa armadanya tidak lagi memiliki kenderaan patroli lapangan.
Fakta lain yang diperoleh melalui penelitian ini adalah bahwa sebesar 21
% dan 36 % responden menyatakan bahwa armada sering dan sangat sering
menyelenggarakan pendidikan tentang sopan santun terhadap para
pengemudi. Namun, selebihnya yakni sebesar 43 % menyatakan hanya kadang-
kadang dan tidak pernah.
Grafik 4.30. Pendidikan sopan santun

Tidak pernah
8%

Sangat sering
36%

Kadang-kadang
35%

Sering
21%

Untuk mendapatkan arti yang lebih mendalam atas data di atas, juga
diperoleh informasi melalui wawancara bahwa setiap tahun Dinas
Perhubungan Kota Medan menyelenggarakan kursus terhadap para supir yang
dirangkaikan dengan kegiatan memilih “awak teladan” (supir teladan) yang
biasanya melibatkan seluruh perusahaan angkutan kota yang ada di Kota
Medan. Maka dapat dipahami bahwa sebagian besar supir menyatakan bahwa
pendidikan sopan santun diselenggarakan oleh armada. Fakta di lapangan,
hanya KPUM yang secara rutin melaksanakan pendidikan sopan santun dan
pemberian motivasi terhadap supir dengan mengundang orang-orang yang
89
dianggap berkompeten dan ahli dalam hal tersebut.
Informasi lain sehubungan dengan interaksi supir dengan armada adalah
menyangkut pengawasan lapangan terhadap supir yang dilakukan oleh
armada. Berdasarkan informasi yang digambarkan pada grafik berikut, terlihat
bahwa 27 % dan 39 % responden menyatakan bahwa armada melakukan
pengawasan di lapangan. Pengawasan yang dimaksud dilakukan dengan
menggunakan kenderaan patroli ataupun kenderaan pribadi pengurus armada,
termasuk pengawasan yang dilakukan oleh mandor lapangan.
Grafik 4.31. Pengawasan lapangan oleh armada

Tidak pernah
5%

Kadang-kadang Sangat sering


29% 39%

Sering
27%

Jika sebagian responden yakni sebesar 29 % dan 5 % menyatakan hanya


kadang-kadang dan tidak pernah dilakukan pengawasan lapangan, maka ini
merupakan gambaran dari para supir yang termasuk dalam kategori supir yang
kurang berkomunikasi dengan pihak pengurus armada, atau secara psikologis
merasa bahwa dia memang tidak diawasi oleh siapa-siapa.
Informasi lainnya adalah menyangkut pemberian sanksi terhadap supir
yang tertangkap mengendarai kenderaannya secara ugal-ugalan.
90
Grafik 4.32. Sanksi terhadap supir ugal-ugalan

Tidak pernah
7%

Sangat sering
35%
Kadang-kadang
30%

Sering
28%

Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa 63 % reponden menyatakan


bahwa para supir yang ugal-ugalan dikenakan sanksi oleh armada. Hal ini
menunjukkan bahwa armada memiliki upaya untuk meningkatkan sopan
santun berkenderaan terhadap awaknya. Namun perlu dicatat bahwa daya
jangkau armada dalam mengawasi supirnya juga terbatas mengingat fluiditas
pergerakan kenderaan angkutan kota di lapangan.
Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, ternyata 49 % responden
menyatakan bahwa mereka dilindungi oleh armada. Perlindungan ini hanya
terasa kadang-kadang oleh 42 % responden, dan bahkan tidak pernah
terasakan oleh 9 % responden lainnya.

91
Grafik 4.33. Perlindungan terhadap supir

Tidak pernah
9% Sangat sering
20%

Kadang-kadang
42%
Sering
29%

Angka 42 % yang hanya kadang-kadang merasakan perlindungan pada


grafik di atas, menunjukkan sebagian besar responden merasa belum
sepenuhnya selama masa bekerja mendapat perlindungan. Namun, kondisi ini
belum sampai menyebabkan para supir untuk memutuskan untuk pindah ke
armada lainnya, sebagaimana dimuat dalam grafik berikut.

92
Grafik 4.34. Bersedia pindah ke armada lain

Sangat bersedia
2%
bersedia
19%

Tidak bersedia Kurang bersedia


59% 20%

Berdasarkan grafik di atas ternyata sebagian besar yakni 59 % responden


menyatakan tidak bersedia untuk pindah ke armada lain walaupun ada
tawaran. Jumlah tersebut menjadi lebih besar jika digabungkan dengan 20 %
lainnya yang menyatakan kurang bersedia pindah. Sehingga terdapat kesan
bahwa kekurangan dalam perlindungan seperti pada grafik sebelumnya
ternyata masih dapat ditolelir oleh supir, sehingga mereka tidak mengambil
keputusan untuk pindah.

93
Grafik 4.35. Pembatasan jumlah kenderaan sesuai plafon

Tidak membatasi
7% Sangat membatasi
20%

Membatasi
Kurang membatasi 20%
53%

Salah satu perlakuan lain yang dilaksanakan oleh armada dan dianggap
penting adalah menyangkut pembatasan jumlah kenderaan dalam armada
yang menjalani trayek yang telah ditentukan.
Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa 40 % responden yang
menyatakan bahwa armada membatasi dan sangat membatasi jumlah
kenderaan sesuai plafon. Selebihnya, sebanyak 60 % menyatakan kurang
membatasi dan tidak membatasi jumlah kenderaaan. Angka-angka ini
menunjukkan bahwa armada tertentu yang secara ketat mengawasi jumlah
kenderaan pada trayeknya. Ada pula armada yang tidak terlalu memperdulikan
tentang jumlah kenderaan dalam trayek ini, namun lebih cenderung hanya
mempertimbangkan jumlah iuran yang dapat ditarik setiap harinya.
Kemungkinan lainnya adalah untuk satu armada tertentu, ternyata perlakukan
pengawasan jumlah kenderaan berbeda antartrayek. Ada trayek yang diawasi
secara ketat, dan ada pula trayek yang tidak diawasi secara ketat

94
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa variabel tingkat pendidikan tidak
memengaruhi perilaku mengemudi supir angkutan kota di Medan. Kendati
begitu, variabel armada, lama kerja dan kedekatan (internalisasi budaya)
seorang supir secara signifikan berpengaruh terhadap perilaku mengemudi.
Terkait dengan variabel etnisitas, perlu ditekankan dan dipahami bahwa
perilaku seorang supir tidak berhubungan dengan identitas etnis yang dimiliki-
nya, tetapi lebih kepada kedekatan atau internalisasi sekaligus eksternalisasi
(identifikasi diri dengan identitas etnis dan kemudian diekspresikan melalui
tindakan) identitas atau nilai-nilai tradisi yang disandangnya. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa label etnisitas tidak berhubungan dengan perilaku
mengemudi, tapi lebih kepada kedalaman seseorang dalam menginternali-
sasikan identitas etnis masing-masing.
Karena itu, dapat disimpulkan bahwa perilaku kurang tertib para
pengemudi angkutan kota bukan sepenuhnya dipengaruhi faktor-faktor
internal dari dalam dirinya (seperti antara lain pendidikan dan etnisitas) tetapi
lebih disebabkan faktor eksternal seperti tekanan memenuhi setoran dan
pendapatan yang akan dibawa ke rumah. Tekanan memenuhi setoran ini kian
sulit disebabkan tekanan struktural dalam trayek yang dilalui seorang supir baik
intra-armada maupun antar-armada. Tekanan struktural itu adalah tumpang
tindih trayek armada bahkan sampai kelebihan plafon di trayek-trayek basah
yang dimiliki armada tertentu. Masalah ini sebetulnya dapat dianggap sebagai
masalah pokok, tetapi untuk memberikan evaluasi tentang kelebihan angkutan,
95
maupun kelebihan beban pada satu trayek, tentu memerlukan suatu penelitian
yang komprehensif yang terkait dengan analisa kawasan bangkitan maupun
tarikan lalu lintas seluruh Kota Medan.
Trayek tumpang tindih yang dihasilkan lewat trayek kamar mandi terjadi
karena perilaku pemburu rente (rent seeker) antara penguasa (Dinas
Perhubungan Kota Medan) dan pengusaha (penyedia dan penyalur mobil dan
direksi armada). Faktor eksternal yang lebih kuat ini sebagaimana diakui para
supir membuat mereka terpaksa mengemudi di luar peraturan (UU No 22
Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan) dan kadang merasa sudah
menjadi ‘budak.’ Kondisi ini juga, menurut direksi armada membuat persaingan
‘hukum rimba’ antara armada yang besar dan armada yang (lebih) kecil.
Faktor eksternal yang lain adalah menurunnya jumlah penumpang yang
disebabkan beberapa faktor penting sebagai berikut. Faktor pertama adalah
hand phone (HP) yang membuat mobilitas manusia berkurang dalam meng-
gunakan moda transportasi karena cukup dengan mengirim kabar lewat hand
phone. Faktor kedua adalah sepeda motor. Kemudahan memiliki sepeda motor
dengan kredit mudah dan bunga kredit yang rendah, mendorong setiap
keluarga memiliki sepeda motor. Faktor ketiga adalah kehadiran betor (beca
bermotor) yang kadang ‘dibiarkan’ berkeliaran memasuki jalur perkotaan tanpa
sanksi yang tegas. Faktor keempat, yakni menjamurnya angkutan umum
dengan menggunakan mobil pribadi (plat hitam) dan terminal bayangan. Dan
faktor terakhir adalah kenaikan ongkos.
Tekanan eksternal yang demikian besar membuat sebagian besar supir
mengemudi di luar aturan seperti ngebut begitu keluar stasiun atau pangkalan,
ngebut mencari penumpang dan ngebut sesama angkot. Pelanggaran lain yang
96
dilakukan misalnya seperti menyalip dari jalur kiri meski melanggar peraturan,
mengabaikan hak-hak pengguna jalan seperti pesepeda, dan tidak memasang
segitiga pengaman ketika berhenti dalam keadaan darurat.
Menghadapi tekanan eksternal yang demikian berat, pada tingkatan
tertentu memaksa supir ‘memutar’ otak seperti roda angkutan kota yang
berputar ‘mengolah’ pemilik angkutan kota dengan mengurangi jumlah
setoran. Karena itu, jarang sekali angkutan kota yang dikredit lunas di satu
tangan pemilik karena cenderung merugi terus. Sebuah mobil angkutan kota
yang dikredit biasanya baru lunas bisa sampai 4 (empat) pemilik.
Kendati begitu, dalam beberapa hal, perilaku supir masih patut dipuji
karena masih tertib. Perilaku memprioritaskan penumpang pelajar saat
penumpang membludak, mengikuti lajur jalan secara umum ketika baru keluar
dari stasiun, tidak menagih ongkos saat mengalihkan penumpang ke angkutan
kota yang lain merupakan beberapa bukti perilaku terpuji dari para supir
angkutan kota di Kota Medan.
Faktor lain yang berkontribusi dalam kekurangtertiban mengemudi ini
adalah manajemen internal armada angkutan kota di Kota Medan. Sejauh ini,
kriteria dan standarisasi supir termasuk standar prosedur operasional belum
baku antara manajemen armada dan pemilik angkutan kota. Manajemen
armada sebagai penyedia jasa merek kadang belum bisa menetapkan standar
dan kriteria yang ketat karena tekanan pemilik angkot. Pemilik angkutan kota,
pada tingkatan tertentu, masih lebih mementingkan setoran ketimbang
kapasitas dan kualifikasi supir. Apalagi hubungan kekerabatan antara supir dan
pemilik angkutan kota memungkinkan supir mudah berpindah-pindah dari satu
angkutan kota ke angkutan kota yang lain. Ini diperparah lagi karena
97
perbandingan antara mobil angkutan kota yang sangat banyak dibandingkan
jumlah supir yang tersedia.
Sejauh pengamatan di lapangan, hanya satu armada yang relatif memiliki
standarisasi dan data dasar supir yang tersimpan di kantor sehingga angkutan
kota tidak mungkin dikemudikan supir yang tidak terdata di manajemen
armada. Apalagi, setiap supir yang terdata akan memiliki simpanan wajib di
koperasi armada tersebut. Untungnya lagi, koperasi ini independen dan
beroperasi di luar manajemen internal armada yang bersangkutan.
Secara umum dapat disimpulkan sebagian besar armada tidak memiliki
standar operasional yang baku bagaimana seorang supir mengemudikan
angkutan kotanya sepanjang hari kerja. Manajemen armada juga belum
menetapkan kriteria minimum (kecuali lewat SIM) sebelum seseorang menjadi
supir di armada tertentu. Lebih jauh lagi, tidak ada pelatihan yang berkala yang
dilakukan internal armada masing-masing untuk memberikan penertiban
kepada supir. Begitu juga Dinas Perhubungan Kota Medan sebagai regulator
dan fasilitator hanya memberikan pelatihan melalui program AKUT (Awak
Kenderaan Umum Teladan) yang di mata para direksi kadang dianggap lebih
bersifat seremonial.
5.2 Saran
1. Standar minimum dan standar operasional dalam mengemudikan angkot
perlu ditetapkan. Regulasi ini perlu dirumuskan antara pemilik angkot,
manajemen armada, Dinas Perhubungan Kota Medan, dan Satlantas.
2. Kerentanan hidup supir perlu diatasi dengan memberikan jaminan atau
asuransi kesehatan dan perumahan bagi para supir sehingga mereka
memiliki kenyamanan dalam bekerja.
98
3. Memperketat pemberian SIM kepada pengemudi dan menegakkan dengan
tegas UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan.
Mengurangi kalau bukan menghapuskan perilaku tilang atau ‘damai’ di
tempat merupakan langkah yang tidak boleh ditawar lagi. Kalau tilang
dilakukan konsisten dan tanpa pandang bulu (termasuk kepada mobil
pribadi), pasti pengemudi dan pemilik angkutan kota akan jera.
4. Dinas Perhubungan Kota Medan mestinya memberikan pengarahan
langsung kepada para supir langsung di pangkalan, termasuk dalam
memberikan pelatihan-pelatihan yang diberikan kepada supir.
5. Mengoperasionalkan trans Medan dengan dukungan infrastruktur
pendukung dan sumber daya yang memadai. Dari segi sejarah, Medan
lebih dahulu mengenal bus (besar) daripada Jakarta. Dulu ada bus besar
namanya Doby.
6. Menetapkan regulasi pemberian ijin trayek dan plafon armada dengan
transparan dan akuntabel dengan memperhitungkan load factor.
7. Menyediakan infrastruktur pendukung (rambu lalu lintas, terminal, halte
dan sebagainya) untuk mendukung implementasi UU Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan termasuk dukungan sumber daya
manusia (Dinas Perhubungan Kota Medan dan Satlantas) sehingga undang-
undang ini bisa dijalankan. Sebenarnya kita bukan kekurangan undang-
undang Lalu Lintas Angkutan Jalan yang baik, tapi kekurangan orang-orang
yang baik untuk menjalankan Undang-Undang ini dengan konsisten.
8. Koordinasi dan harmonisasi antara Organda Provinsi Sumut dan Kota
Medan harus disinergikan, misalnya dalam kasus pengelolaan terminal,
seperti Terminal Amplas. Dalam pandangan Organda Kota Medan, terminal
99
Amplas sebaiknya dan harus dimasuki oleh baik angkutan kota maupun
bus AKAP/AKDP. Armada ini tidak boleh beroperasi permanen di terminal
bayangan.

9. Jika petugas menindak supir, maka SIM yang harus disita, bukan STNK.
Karena kalau STNK yang ditahan, supir akan pindah ke angkutan kota lain
dan akan memberatkan pemilik karena mobil tidak akan ‘jalan’ sehingga
terkendala membayar kredit angkutan kotanya. Kalau SIM supir yang
ditindak yang ditandai (misalnya diberi kode dengan dibolongi), si supir
akan jera.
10. Pihak armada dan mandor kurang tepat menindak supir dan pemilik,
aparat Polantas yang mestinya harus jelas dan tegas menegakkan aturan
sesuai dengan UU LLAJ.
11. Subsidi untuk moda transportasi umum (apakah dalam bentuk suku
cadang dan BBM) seharusnya diberikan oleh pemerintah.
12. ‘Monopoli’ penyediaan angkot sebaiknya dihapuskan. Membuka kesem-
patan yang sama bagi semua pemilik merek untuk menyediakan armada
angkutan kota kemungkinan akan melahirkan beberapa pilihan dan harga
yang bersaing.
13. Diperlukan penelitian yang komprehensif, kebutuhan armada, dan
kebutuhan operasional dari seluruh trayek, agar dapat dilakukan penyem-
purnaan tentang trayek lalu lintas angkutan kota di kota Medan.
14. Perlu dilakukan diskusi kelompok terarah (FGD) untuk menentukan skala
prioritas saran untuk jangka pendek, menengah,dan panjang di kalangan
pemangku kepentingan (stakeholder) transportasi angkutan publik agar
100
saran dalam kajian ini lebih tepat guna dan dapat diimplementasikan
dengan baik.

101
DAFTAR PUSTAKA

Aniek QS, 1999, Pengaruh Perilaku Angkutan Umum Terhadap Kinerja Lalu-
lintas, Bandung.

Anonim, Surabaya Macet, Bagaimana Solusinya?, Tempo Interaktif, 16 Februari


2006.

Adrian, Thomas, 2008, Evaluasi Kinerja Angkutan Kota Medan, Jenis Mobil
Penumpang Umum (MPU): Studi Kasus MPU Trayek 64, Tesis Sekolah
Pasca Sarjana USU Medan.

Aminah, Siti, 2006, Transportasi Publik dan Aksesibilitas Masyarakat Perkotaan,


Jurusan Ilmu Politik FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya.

Arikunto, Suharsimi , 1996, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek,


Rineka Cipta, Jakarta.

B.F., Skinner, 1932, Science and Human Behaviour McGraw Publicaion


Company, California, Amerika.

Borgotta F., Edgar, dan Marie L. Borgotta, 1992, Encyclopedia of Sociology,


McMillan Publishing Company.

Creswell, Jhon, 1989, Quantitative and Qualitative Research, London, Sage


Publication Ltd.

Glaser, Barney G and Anselm L Strauss, 1967, The Discovery of Grounded


Theory: Stategies for Qualitative Research, Chichago, Aldine Publishing
Company.

Hadiz, Vedi R & Richard Robison, 2004, Organizing Power in Indonesia: The
Politics of Oligarchy in an Age of Markets London: Routledge Curzon.

Lulie, Johannes, Jhon Tri Handoko, 2005, Perilaku Agresif Menyebabkan Resiko
Kecelakaan Saat Mengemudi, JURNAL TEKNIK SIPIL ITB (Website
dikunjungi pada 20 September 2012).
102
Macionis, 1987, Sociology Of Cities McGraw Publication, California, Amerika.

Nawawi, Hadari ,1990, Metode Penelitin Sosial, Gajah Mada Press, Yogyakarta.

Notoatmodjo, 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.

Ofyar Z. Tamin, 1997, Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, ITB, Bandung.

Ofyar Z. Tamin, 2007, Pemilihan Moda Angkutan Umum Penumpang (AUP)


Puslit Undip, Semarang.

Pelly, Usman, 1984, Urbanisasi dan Adaptasi Peranan Misi Budaya


Minangkabau dan Mandailing, LP3ES, Jakarta.

Polhaupessy, Leonard F. 1999, Perilaku Manusia, Rineka Cipta, Jakarta.

Sugiyono, 2004, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung.

Swarjono, Warpani, 1985, Rekayasa Lalu Lintas, Bhatara Karya Aksara, Jakarta.

_______________, 1990, Merencanakan Sistem Pengangkutan, Penerbit ITB.

Triani, Novia, Hendro Prabowo, 2008 “Perilaku Agresif Pengemudi Angkutan


Umum di Jalan Raya dengan Kepadatan Lalu-lintas yang Tinggi” dalam
JURNAL PENELITIAN FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GUNA DARMA,
2008.

Wirantono, Bastian, 1999, Hubungan Panjang Antrian Kendaraan Terhadap


Berhentinya Angkutan Umum, Skripsi S1 Teknik Sipil Universitas Petra
Surabaya.

103

Anda mungkin juga menyukai