Anda di halaman 1dari 20

Proteksi Lereng Alam Dengan Menggunakan Vegetasi Dilokasi Perumahan

GreenWood Estate Mayaran Semarang Selatan


Daniel Hartanto
1. Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Menghuni lerengan sebenarnya sangat menguntungkan, karena memiliki
lansekap alam yang baik, kualitas udara lebih baik. Sehingga membangun di lereng
menjadi salah satu trend pada beberapa tahun belakangan ini.
Meskipun demikian tentu saja tidak semua lerengan layak untuk dibangun.
Suatu kota membutuhkan tata kota yang berdasarkan pengaturan ruang. Arti dan
maknanya adalah suatu kota yang tumbuh secara liar dan tidak teratur akan
kehilangan anggota tubuhnya yang vital seperti jantung, paru-paru, hati dan
sebagainya. Semarang dari segi topografi sebenarnya adalah sangat beruntung, Bagian
paling ujung, Ungaran memiliki pegunungan yang membentuk punggung gunung dan
lembah gunung, perbukitan sampai daerah Siranda, dan daerah flat sampai dengan
perbatasan laut jawa. Andaikata semua lereng di Semarang dikembangkan menjadi
lahan bangunan, maka Semarang tidak akan bisa bernapas, karena kehilangan
tanaman (taman dan hutan kota), yang berfungsi seperti jantung.
Suatu kota seharusnya mempunyai rencana induk (masterplan) kota yang
menyediakan 20% luas tanah yang menjadi taman dan hutan kota. Berdasarkan peta
pergerakan tanah sebenarnya semarang memiliki daerah greenbelt yang terbentuk
secara alami, hal ini dikarenakan ada beberapa lahan di Semarang yang luasnya
kurang lebih sekitar 20-30% dari total luas kota Semarang, adalah daerah pergerakan
tanah. Daerah pergerakan tanah adalah suatu daerah yang secara teknik, kurang
ekonomis untuk dikembangkan sebagai lahan bangunan.
Akhir-akhir ini banyak terjadi bencana longsor pada lerengan di pegunugan
dan perbukitan di beberapa tempat di Indonesia, khususnya Semarang. Banyak
pertanyaan bermunculan, Kenapa, Bagaimana dan Mengapa, seringkali
terdengar. Sebenarnya banyak sekali jawaban dan analisa dari pertanyaan-pertanyaan
tersebut, penelitian dan studi kasus pun sudah banyak dilakukan oleh pihak swasta
dan pemerintah. Satu hal yang kami sayangkan adalah mengapa semua itu baru
dilakukan setelah bencana itu terjadi dan setelah memakan korban jiwa.
Berdasarkan pemikiran tersebut kami melakukan studi Proteksi Lereng Alam
dengan Menggunakan Vegetasi di lokasi perumahan Greenwood Estate Mayaran
1

Semarang Selatan. Hal yang kita tinjau dan teliti adalah kestabilan tanah dan perilaku
vegetasi pada lereng tersebut.

I.2 Tujuan
Studi kasus ini bertujuan untuk memperkenalkan metode Bioengineering yang
dapat diterapkan di kawasan tersebut

I.3 Manfaat
Hasil dari studi kasus ini kami harapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
bagi pemerintah dan swasta dalam kaitannya dengan pengembangan lahan untuk
keperluan perumahan.

I.4 Ruang Lingkup Permasalahan


Studi kasus ini hanya kami lakukan pada lokasi greenwood eastate,
Kecamatan Gunungpati, Semarang Selatan.

2. Pustaka
2.1 Lereng
Secara umum pengertian lereng adalah suatu kondisi dimana permukaan tanah
memiliki sudut kemiringan terhadap bidang horisontal, dimana dari besar sudut
kemiringannya dapat dikatakan sebagai lereng landai atau lereng terjal. Berdasarkan
terbentuknya, lereng dapat dibedakan atas lereng alam (natural slopes) dan lereng
buatan (man made slopes)

2.1.1 Lereng Alam


Lereng alam merupakan lereng yang terbentuk karena proses alam, misalnya
lereng suatu bukit. Material yang membentuk lereng memiliki kecenderungan
tergelincir akibat dari beratnya sendiri dan gaya-gaya luar yang ditahan oleh kuat
geser tanah dari material tersebut. Gangguan terhadap kestabilan terjadi apabila
tahanan geser tanah tidak dapat lagi mengimbangi gaya-gaya yang menyebabkan
gelincir pada bidang longsor.

2.1.2. Lereng Buatan


Lereng buatan dibedakan menjadi dua macam yaitu :
1. Penggalian (Cut slopes)
Lereng ini dibuat dari tanah asli dengan memotong tanah tersebut.
Lereng ini diterapkan pada pembuatan jalan atau saluran untuk irigasi.
2. Lereng Timbunan (Embankment)
Lereng ini dibuat dengan cara tanah dipadatkan untuk tanggul tanggul
jalan raya atau bendungan urugan tanah
2.2 Longsoran
2.2.1 Klasifikasi lereng
Berdasarkan Cruden dan Varnes (1992), klasifikasi lereng dapat dilihat dari
tipe pergerakan tanah dari lereng tersebut. Tipe pergerakan tanah pada lereng dapat
berupa :
1. Runtuhan (Falls)
Runtuhan merupakan gerakan massa jatuh melalui udara. Massa yang
jatuh ini terlepas dari lereng yang curam dan tidak ditahan oleh geseran
dengan material yang berbatasan.
2. Pengelupasan (Topples)
Pengelupasan merupakan gerakan yang berupa rotasi keluar dari suatu
unit massa yang berputar terhadap suatu titik akibat gaya gravitasi atau gayagaya lain seperti adanya air dalam rekahan.
3. Longsoran (Slides)
Longsoran adalah gerakan dari peregangan secara geser dan peralihan
sepanjang suatu bidang atau beberapa bidang gelincir yang dapat nampak
secara visual. Gerakan ini dapat bersifat progeresif yang berarti bahwa
keruntuhan geser tidak terjadi seketika pada seluruh bidang gelincir melainkan
merambat dari suatu titik. Massa yang bergerak menggelincir di atas lapisan
batuan/tanah asli dan terjadi pemisahan dari kedudukan semula.
4. Aliran Tanah (Earth Flow)
Jenis gerakan tanah ini terjadi pada kondisi tanah yang amat sensitif atau
sebagai akibat dari gaya gempa.

Gambar 2.1: Tipe pergerakan tanah pada lereng (Cruden dan Varnes, 1992)
(1) Runtuhan (2) Penglupasan (3) Kelongsoran (4) Aliran tanah

Berdasarkan bentuk bidang gelincirnya, longsoran dibagi menjadi:


1. Longsoran Rotasi
Longsoran jenis rotasi dapat terjadi pada batuan maupun tanah.
Pada kondisi tanah homogen, longsoran rotasi ini dapat berupa busur
lingkaran, tetapi dalam kenyataan sering dipengaruhi oleh adanya
diskontinuitas oleh adanya sesar, lapisan lembek, dan lain-lain. Analisa
kestabilan lereng yang mengasumsi bidang longsoran berupa busur
lingkaran dapat menyimpang bila tidak memperhatikan hal ini
(Varnes,1958).

Gambar 2.2: Skematik longsoran rotasi (Varnes,1958).

2. Longsoran Translasi
Longsoran translasi terjadi pada suatu massa yang bergerak
sepanjang bidang gelincir berbentuk bidang rata. Gerakan dari
longsoran translasi umumnya dikendalikan oleh permukaan yang
lembek. Longsoran translasi ini dapat bersifat menerus dan luas dan
dapt berbentuk blok (TRB,1978 )

Gambar 2.3: Skematik longsoran translasi (TRB,1978).

2.2.2 Faktor-faktor penyebab kelongsoran


Longsoran disebabkan dari beberapa seri kejadian yang dapat berasal dari
alam maupun aktifitas manusia. Secara umum longsor diakibatkan oleh beberapa
faktor yang saling terkombinasi, seperti:
1.

Topografi
Topografi memberikan gambaran lereng tentang derajat kemiringan,
ketinggian lereng dan tingkat kelicinan (Rogers, 1989). Semakin terjal
suatu lereng maka semakin besar kemungkinan lereng tersebut longsor
bila kita bandingkan dengan lereng yang lebih landai.

2.

Geologi
Secara umum aspek geologi yang terkait pada kestabilan lereng,
meliputi:
a. Soil/rock fabric
Setiap batuan memiliki material penyusun yang berbedabeda. Setiap material penyusun mempunyai karakteristik yang
berbeda pula, hal inilah yang menyebabkan adanya perbedaan
kekuatan dan karakteristik perubahan bentuk pada suatu
batuan.
b. Struktur geologi

Struktur geologi pada suatu lereng mempunyai pengaruh


pada prilaku lereng itu sendiri. Pelapisan tanah dan batuan,
ketebalan lapisan, letak lapisan tanah dasar berpengaruh
langsung pada potensial ketidakstabilan pada struktur batuan
lereng.
c. Discontinuitas
Adanya suatu diskontinuitas menggambarkan bahwa
batuan bukan merupakan suatu yang monolite. Adanya suatu
bidang rentang mikroskopis hingga sebesar join dan rekahan
disebut sebagai diskontinuitas. Adanya bidang lemah ini
memberikan pengaruh pada kestabilan lereng.
d. Gempa
Terjadinya

gempa

dapat

menyebabkan

naiknya

tegangan pori sehingga menurunkan kuat geser tanah .

f. Pelapukan
Pelapukan terdiri dari dua tipe, pelapukan mekanis dan
pelapukan kimia. Kedua jenis pelapukan tersebut mempunyai
pengaruh yang besar terhadap kestabilan suatu lereng.
Pelapukan

dapat

menyebabkan

perubahan

tingkat

permeabilitas pada lereng yang batuannya mengalami


pelapukan.
g. Aktifitas kelongsoran yang terdahulu
Pencirian pada suatu daerah dimana pernah terjadi
aktifitas kelongsoran terdahulu merupakan pertimbangan yang
penting dalam studi mengenai longsor. Hal ini dikarenakan
kondisi material pada daerah tersebut kebanyakan merupakan
material yang telah terurai (remolded material), sehingga kuat
gesernya mencapai titik rendah (residual values).
h. Kandungan mineral dalam material lempung
Secara umum mineral lempung terdiri dari illite,
kaolinite dan montmorillonite. Dari ketiga material pembentuk
lempung ini, montmorillonite mempunyai sifat potensial

swelling yang paling tinggi. Oleh karena itu jenis material ini
merupakan hal yang paling bermasalah pada kestabilan lereng.
3. Air
Yang dimaksud air adalah air hujan dan air tanah.
a. Air hujan
Parameter utama yang membuat hujan menjadi sangat
berpengaruh pada kestabilan lereng adalah intensitas dan
durasi hujan.
Intensitas hujan yang tinggi dan durasi yang relatif lama
dapat menyebabkan runoff. Runoff adalah bagian air hujan
yang mengalir dari catchment area menuju sungai, danau atau
laut. Runoff terdiri dari surface runoff dan ground water
runoff.
Hujan, kaitannya dengan pergerakan tanah berhubungan
dengan kondisi permukaan tanah. Misalnya, hujan yang lebat
menimbulkan surface runoff yang besar pula, dapat memicu
terjadinya longsor pada lapisan tanah lepas.
Ground water runoff, kaitannya dengan hujan adalah
adanya peningkatan tinggi permukaan air tanah sebagai akibat
dari infiltrasi oleh air hujan.

Hal ini menyebabkan

terbentuknya positive pore pressures, sehingga tegangan geser


tanah menjadi berkurang, dan kekuatan lereng juga berkurang.

Gambar 2.4: Model pola air tanah (Abramson, 1996)

b. Air tanah
Dalam hal ini yang ditinjau adalah pergerakan dari air
tanah pada suatu lereng. Pergerakan air tanah pada lereng
mempunyai pengaruh penting terhadap kestabilan dari lereng
tersebut. Suatu struktur geologi kecil, baik yang terbentuk
secara alami ataupun buatan, dapat menyebabkan akibat yang
besar pada pola pergerakan air tanah.
Misalnya (lihat gambar 2.5), kegagalan pada lereng
dangkal dapat terjadi pada saat bertenggernya air tanah pada
lapisan tanah sebelumnya pada suatu lapisan yang tidak
tembus air, shales atau lapisan batu kedap air (a). Keruntuhan
terjadi karena dipicu oleh periode hujan yang lama sehingga
permukaan air tanah naik sehingga tekanan air tanah yang
besar sebagai akibat dari terganggunya pergerakan air tanah
(b). Diperlukan sistem horisontal drain untuk menurunkan
tekanan air tanah yang terbendung (c).

Gambar2.5: Pengaruh geologi struktur pada pola pergerakan air tanah (Cedegren, 1977)

4. Aktivitas manusia
Dinamika penduduk yang berupa pembukaan lahan baru untuk
tempat tinggal khususnya pada lereng dapat menyebabkan meningkatnya
surface load. Hal ini akan terus meningkat menjadi overloading bila tidak
dikontrol. Daerah rawan pergerakan tanah memang dapat kita lihat pada
peta pergerakan tanah dengan beberapa parameter warna, merah, kuning,
hijau, biru, yang menunjukkan tingkat keamanan dari daerah yang
ditinjau. Akan tetapi parameter tersebut dapat dengan cepat berubah
karena adanya overloading pada lereng yang ditinjau (Ir. Achmad
Jumarno, 2003). Misalnya, suatu lereng alami, sebelum terjamah oleh
manusia mempunyai parameter warna biru (relatif aman) tanpa disadari
dapat berubah menjadi hijau (bahaya kelongsoran rendah) ataupun kuning
(bahaya kelongsoran cukup rawan) setelah mengalami perubahan
fungsinya menjadi kawasan pemukiman yang tidak terkontrol.
Perubahan jenis vegetasi pada suatu lereng yang dikarenakan
adanya perubahan tata guna lahan dapat berpengaruh terhadap kestabilan
lereng tersebut. Jenis vegetasi sangat berhubungan dengan pengaruh

10

intensitas hujan yang tinggi, hal ini disebabkan tingkat kemampu-serapan


terhadap air pada tiap vegetasi berbeda beda. Suatu lereng akan stabil,
salah satunya disebabkan karena jenis vegetasi yang tumbuh di atas suatu
lereng dapat berfungsi sebagai pengontrol fluktuasi muka air tanah (Ir.
Achmad Jumarno, 2003). Misal, suatu lereng alami mempunyai vegetasi
alami berupa kapas, karet dan jati, kebutuhan manusia membuat lereng
tersebut berubah fungsi menjadi kawasan tempat tinggal, hal ini diikuti
dengan berubahnya jenis vegetasi alami menjadi jenis vegetasi yang dapat
mendukung perekonomian masyarakat setempat, misalnya cabe, jagung,
tembakau. Kedua jenis vegetasi tersebut mempunyai karakteristik yang
sangat berbeda, perbedaan karakteristik tersebut terletak pada kemampuan
menyerap air dan kemampuan akar tanaman menahan lereng. Vegetasi
baru tersebut tidak mempunyai karakter yang sama dengan vegetasi yang
lama, sehingga tidak mampu menggantikan fungsinya sebagai pengontrol
muka air tanah. Selain itu, berubahnya lereng alami menjadi lahan
pertanian juga menyebabkan surface runoff menjadi besar, yang kemudian
mengakibatkan erosi permukaan pada lereng. Infiltrasi air hujan
menyebabkan naiknya permukaan air tanah yang seiring dengan turunnya
tegangan efektif membuat kekuatan lereng menjadi melemah.
Aktivitas manusia juga dapat berupa pemotongan lereng, cut slopes.
Orang cenderung memotong lereng dengan sudut kemiringan yang relatif
curam, hal ini dikarenakan untuk menghemat lahan. Pemotongan lereng
dengan sudut yang relatif landai dapat dikatakan lebih tidak ekonomis
dikarenakan akan terlalu banyak memakan lahan. Sebuah cut slope yang
memiliki sudut kemiringan yang terlalu curam besar kemungkinannya
untuk tetap stabil untuk jangka waktu pendek saja (Bishop dan Bjerrum,
1960), hal ini dikarenakan pada cut slopes, tegangan geser awalnya adalah
sama dengan tegangan geser pada kondisi tidak teralirkan (undrainaged
shear strength) sesuai dengan asumsi adalah tidak adanya pembuangan air
selama proses pembangunan. Dengan adanya kondisi tersebut tegangan
air pori terus meningkat seiring waktu, peningkatan ini disertai dengan
pembengkakan dari tanah lempung (swelling clay) yang berakibat pada
berkurangnya tegangan geser lereng.

11

2.3 Kestabilan Lereng


Masalah kestabilan lereng merupakan masalah yang sering dijumpai di Indonesia.
Umumnya terjadi pada waktu musim hujan sering terjadi peristiwa pengikisan tanah
yang berlebihan atau yang sering disebut dengan erosi yang mengakibatkan tanah
disekitar lereng menjadi rusak dan erosi yang terjadi terus menerus dapat
mengakibatkan bencana longsor. Kestabilan lereng merupakan syarat mutlak yang
harus diperhatikan kepada para pengembang perumahan yang terletak di kaki lereng
ataupun di lerengan.
Erosi bukan merupakan masalah baru. Selama manusia berinteraksi dan
mengeksploitasi alam, bencana ini akan tetap terus terjadi. Banyak faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya bencana longsor antara lain: curah hujan dengan intensitas
tinggi serta durasi yang lama, gempa bumi, dan lain sebagainya. Selain faktor-faktor
luar yang mempengaruhi kestabilan tanah, bencana longsor juga disebabkan akibat
faktor-faktor yang ada pada tanah itu sendiri seperti: jenis tanah, sifat batuan, corak
topografi dan geologi yang membentuk lapisan tanah tersebut.
Erosi menurut bidang longsornya dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: erosi permukaan
(surficial erotion) dan erosi global massa tanah (soil mass stability). Erosi permukaan
berarti erosi atau longsoran yang terjadi hanya pada permukaan tanah saja atau hanya
pada kedalaman tertentu dari permukaan. Sedangkan erosi global massa tanah
merupakan erosi yang terjadi pada keseluruhan massa.
Penanggulangan erosi permukaan dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
mengubah geometri lereng, mengendalikan air permukaan, membangun konstruksi
(rip rap, retaining wall) dan cara lainnya, yang biasanya membutuhkan biaya yang
cukup mahal dan menggangu ekosistem. Cara penanggulangan lain yang dapat
dipertimbangkan adalah soil bioengineering, yaitu teknologi yang menggunakan akar
atau bagian dari vegetasi untuk mencegah erosi. Lereng tanah yang mengandung akar
tanaman dapat meningkatkan kuat geser tanah, sehingga tegangan geser akan lebih
besar, dan secara otomatis akan meningkatkan stabilitas tanahmya.
2.4. Sejarah dan Perkembangan Soil Bioengineering
Soil Bioengineering jika ditinjau kembali ke masa lalu sebenarnya sudah diterapkan
di daratan Asia dan Eropa. Seorang sejarahwan Cina pernah menuliskan tentang
penggunaan teknologi ini di daratan Cina yaitu untuk perbaikan tanggul sungai
dengan cara memasukkan batu-batu kedalam anyaman yang terbuat dari pohon
tertentu atau bambu. Sedangkan di daratan Eropa bisa dijumpai dalam bentuk dinding
12

penahan yang terbuat dari anyaman ranting dan cabang untuk konstruksi-konstruksi
hidrolika. Pada abad ke 16 teknologi ini mengalami perkembangan yang sangat pesat
di hampir seluruh daratan Eropa, terutama untuk proyek-proyek perbaikan tebing
sungai menggunakan metode yang masih dikenal sampai saat ini, yaitu: live stakes
yang didokumentasikan oleh Woltmann 1791.
Pada tahun 1930 soil bioengineering mengalami perkembangan yang sangat pesat
dimana keterbatasan finansial di awal perang dunia kedua memaksa beberapa negara
di Eropa Tengah terutama Jerman dan Austria untuk lebih banyak menerapkan
teknologi ini pada proyek-proyek pekerjaan publiknya. Bahkan di Jerman pernah
didirikan sebuah institut penelitian oleh Adolf Hitler untuk mengembangkan
teknologi ini, yang kemudian melahirkan beberapa pakar terkemuka antara lain
Arthur Von Kruedener yang dikukuhkan sebagai the father of soil bioengineering.
Sebagai penghargaan atas karyanya maka diterbitkan sebuah buku pertama dalam
bidang ini dengan judul Ingenieurbiologi (Engineering Biologi). Pada kurun waktu
yang kurang lebih sama di Amerika Serikat merupakan awal dari perkembangan
teknologi ini. Seseorang yang telah mengembangkan teknologi soil bioengineering
dengan metoda live fascine adalah Charles Kraebel yang bekerja pada USDA Forest
Service. Kegunaan dari metode ini antara lain untuk stabilisasi lereng pada proyek
jalan raya.
Setelah perang dunia kedua usai para ahli soil bioengineering kembali melanjutkan
upaya penyempurnaan terhadap teknologi yang sudah dikembangkan sebelumnya,
untuk menyusun standarisasi teknologi dan spesifikasi konstruksi. Pada tahun 1951
Arthur Von Kruedener mempublikasikan buku pertamanya mengenai soil
bioengineering. Sementara itu pada tahun 1980 terbit buku pertama dalam edisi
bahasa inggris oleh Hugo Schichtl dengan judul Bioengineering for Land Reclamation
and Conservation, disusul dengan buku kedua pada tahun 1997 dengan judul Ground
Engineering Techniques for Slope Protection yang sering digunakan sebagai buku
acuan bagi para pemerhati bidang soil bioengineering.
Saat ini sudah semakin banyak tersedia buku-buku soil bioengineering dalam bahasa
asing (inggris khususnya), demikian pula informasi penting lainnya data ditelusuri
dengan mudah di situs-situs internet. Namun sayangnya sampai saat ini
sepengetahuan penulis belum terdapat buku yang tertulis dalam bahasa Indonesia. Hal
ini sebagai salah satu penyebab terhambatnya perkembangan soil bioengineering di
Indonesia.
13

Teknologi ini mempunyai potensi yang sangat besar untuk diterapkan di Indonesia.
Dengan belum berakhirnya krisis yang melanda Indonesia maka teknologi ini menjadi
suatu ilmu yang sangat tepat jika dibanding dengan teknologi yang lain jika dilihat
dari segi finansial.

2.5. Soil Bioengineering


Pengertian Soil Bioengineering adalah teknologi yang menggunakan bahan dari
tanaman hidup dan bagian dari tanaman, untuk mengatasi persoalan-persoalan alam
lingkungan antara lain : erosi permukaan tanah perbukitan dan lereng disekitar aliran
sungai. Sistem soil bioengineering adalah memanfaatkan tanaman berperan sebagai
komponen dalam struktur utama, dan sekaligus sebagai bagian dari estetika landscape.
Menurut Design Guide for The Bioengineering Technique, Soil bioengineering harus
memenuhi beberapa factor, parameter dan spesifikasi disain

Tabel 2.1 : Design Guide for The Bioengineering Technique


( design manual from WSDOT( Washington State Department of Transportation, 2000 )

No.

Faktor

Parameter

Sepesifikasi disain

Aspek musim tanam

Tergantung pemilihan tanaman


Metode & komstruksi yang dipilih
Pemilihan tanaman yang sesuai

1.

Iklim

2.

Kondisi
tanah

3.

Air tanah

Kerapatan dan kepadatan


akar
Permeabilitas
Profil muka air tanah

4.

Kandungan kimia
Tanah
Resiko erosi

PH
Kesuburan
Pengkikisan Tanah

5.

6.

Geoteknik

fisik

Curah hujan penyebab


erosi
Channel discharge
Lereng
Air dan angin
Kuat geser slope
Faktor keamanan

Modifikasi sebelum konstruksi


Modifikasi sebelum konstruksi
Install structure ( drain, ditches, etc )
To remove excess water
Pemupukan
Permanent atau temporary untuk
melindungi tanah

Management
Perlu perkuatan dengan geotexstail
Pemilihan material tanah yang cocok
Kepadatan dan kadar air tanah
Bila Perlu dikombinasikan perkuatan
dengan geotextail

Hal yang perlu dilakukan sebelum pelaksanaan metode soil bioengineering adalah
pemilihan jenis tanaman dan persiapan lahan. Banyak jenis tanaman yang dapat
digunakan dalam metode soil bioengineering, namun tidak semua jenis tanaman

14

cocok untuk digunakan. Jenis tanaman yang cocok untuk digunakan adalah jenis
tanaman yang mempunyai karakteristik tumbuh dengan cepat ,berakar cukup dalam (
tipe akar serabut ), banyak dan menyebar. Jenis tanaman yang dapat digunakan untuk
menjaga stabilitas lereng dan erosi permukaan meliputi : jenis rerumputan, jenis
perdu, semak-belukar, dan jenis pepohonan. Masing-masing mempunyai keuntungan
dan kerugian sesuai dengan karakteristiknya
Semak belukar, perdu dan rerumputan mempunyai karakteristik akar yang tidak
terlalu dalam tapi sifatnya menyebar dan dapat membuat jaring jaring.
Jenis pepohonan, mempunyai akar yang cukup dalam dan menyebar.
Morfologi Akar dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Heartroot

Taproot

Plateroot

Gambar2.6: Morfologi Akar (Gray and Leiser,1982)

Kedalaman dan distribusi akar dapat dilihat pada gambar 2.7 berikut ini :

15

Gambar2.7: Efek root terhadap keruntuhan lereng


( Tsukamoto & Kusuba, 1984 )
Tipe A , akar vegetasi hanya berada di lapisan tipis ( top soil ) bila tejadi longsor maka vegetasi beserta
akarnya akan terbawa longsor. Jenis ini biasanya : rerumputan dan semak belukar.
Tipe B , akar vegetasi menembus lapisan transisi ( lapisan yang berada antara lapisan top soil dengan
batuan ), sehingga daya cabut akar lebih kuat dibandingkan dengan tipe A.Jenis ini biasanya
merupakan jenis perdu
Tipe C , merupakan posisi akar yang ideal, diamana akar dapat menerobos masuk ke dalam lapisan
batuan, sehingga efek pengangkuran menjadi sangat baik. Jenis ini biasanya pepohanan
Tipe D, hampir mirip tipe A tapi disini kondisi tanah berbeda dapat dilihat pada gambar top soil cukup
tebal

3. Beberapa Usulan Metode Pelaksanaan Bioengineering Yang Dapat


Diterapkan di Kawasan Green Wood Estate
Teknologi bioteknologi (soil bioengineering) ini dibagi menjadi 3 bagian untuk
metode pelaksanaannya yaitu :
1. Menggunakan Vegetasi secara penuh
Brush Layering adalah metode yang menggunakan vegetasi secara penuh.

16

Gambar 3.1 : Pemasangan brush layering ( Gray and Leiser, 1982 )

2. Kombinasi antara vegetasi hidup dengan vegetasi mati


a. Live Fascine, kombinasi dari 2 jenis vegetasi hidup, sebagai bundle dan
sebagai live stake

Gambar 3.2. :Pemasangan Live Fascine ( Gray et al, 1997 )

17

b. Brush Mattress, berupa ayaman / jaring jaring semak belukar

Gambar 3.3:Pemasangan Bursh Mattress ( Gray et al, 1997 )

3. Kombinasi antara vegetasi hidup dengan bangunan struktur


a. Vegetated Rock, metode kombinasi vegetasi dengan susunan batu

Gambar 3.4 : Pemasangan Vegetate Rock ( Gray et al, 1997 )

18

b. Vegetated Rock Gabion adalah metode yang mengkombinasikan antara


struktur dalam hal ini adalah bronjong.

Gambar 3.5 : Pemasangan Vegetated Rock Gabion,( Robin B Sotir, 1996)

Sejalan dengan meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap masalah lingkungan,


serta keterbatasan kemampuan finansial akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan,
menjadikan teknologi ini lebih dapat diterima dan sangat kompetitif serta memiliki
potensi yang sangat besar untuk diterapkan di Indonesia.

4. Kesimpulan
1. Sistem Soil Bioengineering adalah system perbaikan alam yang tidak mutlak
membutuhkan peralatan berat serta jumlah pekerja yang relatif minimal
menyebabkan kerusakan lahan yang minimal pula pada saat pelaksanaan.
Dengan demikian soil bioengineering cocok digunakan pada area atau lahan
dimana estetika, kesuburan lahan, dan habitat hewan menjadi prioritas yang
penting.
2. Penerapan soil bioengineering memerlukan media lahan yang baik dan subur.
Oleh sebab itu soil bioengineering tidak dapat diterapkan pada lahan dengan
tanah berbatu, sangat berpasir, tergenang air terus menerus.

19

3. Pelaksanaan soil bioengineering dilakukan pada awal musim hujan (antara


bulan September Maret)
4. Metode vegetated rock gabion dilaksanakan bila gaya lateral tanah lereng
cukup besar ( gaya lateral yang besar ) sehingga diperlukan penahan struktur
untuk menstabilkan lereng dan mereduksi kecuraman lereng.
5. Metode vegetated rock gabion dan vegetated rock sangat cocok digunakan bila
ruang pelaksanaan yang tersedia terbatas dan lebih banyak dibutuhkan
pembangunan struktur arah vertikal.
6. Metode live fascine dan bursh mattress , cocok untuk lereng curam, bentang
panjang dan cukup berbatu dimana penggalian sulit dilakukan. Cocok bila
ditempatkan pada lereng sungai atau lereng lain yang mempunyai bentang
panjang.
7. Brush layering dan live stakes sangat tepat bila diterapkan pada area cut and
fill dimana tanah yang berada pada daerah tersebut benar-benar terganggu dan
atau tererosi. Brush Layering bisa diandalkan sebagai teknik yang terbaik
untuk memperkuat permukaan lereng untuk mengurangi erosi permukaan dan
secara tidak langsung memperkecil kemungkinan terjadinya sliding.

5. Saran
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai penerapan metode Vegetated
Rock Gabion, Live Fascine, dan Brush Layering dilapangan.
2. Soil Bioengineering di Indonesia masih dianggap sebagai suatu hal yang baru,
sehingga perlu adanya sosiaisasi tentang soil bioengineering di kalangan
masyarakat

Referensi :
Jaya, F.S, dan Sagitha, R.A. (2004), Studi Literatur tentang Soil Bioengineering dengan Metode
Vegetated Rock Gabion, Live Fascine, dan Brush Layering, Laporan Tugas Akhir, Universitas
Katolik Soegijapranata Semarang
Sotir, R,B. (1992), Chapter 18 Soil Bioengineering for Upland Slope Protection and Erosion
Reduction, The United States Departement of Agriculture (USDA)
Sotir, R.B. (1996), Chapter 16 Streambank and Shoreline Protection, The United States Departement
of Agriculture (USDA)
Sotir, R.B, Gray, D.H. ( 1996 ), Biotechnical And Soil Bioengineering Slope Stabilization, John Wiley
& Son Inc, New York

20

Anda mungkin juga menyukai