Semarang Selatan. Hal yang kita tinjau dan teliti adalah kestabilan tanah dan perilaku
vegetasi pada lereng tersebut.
I.2 Tujuan
Studi kasus ini bertujuan untuk memperkenalkan metode Bioengineering yang
dapat diterapkan di kawasan tersebut
I.3 Manfaat
Hasil dari studi kasus ini kami harapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
bagi pemerintah dan swasta dalam kaitannya dengan pengembangan lahan untuk
keperluan perumahan.
2. Pustaka
2.1 Lereng
Secara umum pengertian lereng adalah suatu kondisi dimana permukaan tanah
memiliki sudut kemiringan terhadap bidang horisontal, dimana dari besar sudut
kemiringannya dapat dikatakan sebagai lereng landai atau lereng terjal. Berdasarkan
terbentuknya, lereng dapat dibedakan atas lereng alam (natural slopes) dan lereng
buatan (man made slopes)
Gambar 2.1: Tipe pergerakan tanah pada lereng (Cruden dan Varnes, 1992)
(1) Runtuhan (2) Penglupasan (3) Kelongsoran (4) Aliran tanah
2. Longsoran Translasi
Longsoran translasi terjadi pada suatu massa yang bergerak
sepanjang bidang gelincir berbentuk bidang rata. Gerakan dari
longsoran translasi umumnya dikendalikan oleh permukaan yang
lembek. Longsoran translasi ini dapat bersifat menerus dan luas dan
dapt berbentuk blok (TRB,1978 )
Topografi
Topografi memberikan gambaran lereng tentang derajat kemiringan,
ketinggian lereng dan tingkat kelicinan (Rogers, 1989). Semakin terjal
suatu lereng maka semakin besar kemungkinan lereng tersebut longsor
bila kita bandingkan dengan lereng yang lebih landai.
2.
Geologi
Secara umum aspek geologi yang terkait pada kestabilan lereng,
meliputi:
a. Soil/rock fabric
Setiap batuan memiliki material penyusun yang berbedabeda. Setiap material penyusun mempunyai karakteristik yang
berbeda pula, hal inilah yang menyebabkan adanya perbedaan
kekuatan dan karakteristik perubahan bentuk pada suatu
batuan.
b. Struktur geologi
gempa
dapat
menyebabkan
naiknya
f. Pelapukan
Pelapukan terdiri dari dua tipe, pelapukan mekanis dan
pelapukan kimia. Kedua jenis pelapukan tersebut mempunyai
pengaruh yang besar terhadap kestabilan suatu lereng.
Pelapukan
dapat
menyebabkan
perubahan
tingkat
swelling yang paling tinggi. Oleh karena itu jenis material ini
merupakan hal yang paling bermasalah pada kestabilan lereng.
3. Air
Yang dimaksud air adalah air hujan dan air tanah.
a. Air hujan
Parameter utama yang membuat hujan menjadi sangat
berpengaruh pada kestabilan lereng adalah intensitas dan
durasi hujan.
Intensitas hujan yang tinggi dan durasi yang relatif lama
dapat menyebabkan runoff. Runoff adalah bagian air hujan
yang mengalir dari catchment area menuju sungai, danau atau
laut. Runoff terdiri dari surface runoff dan ground water
runoff.
Hujan, kaitannya dengan pergerakan tanah berhubungan
dengan kondisi permukaan tanah. Misalnya, hujan yang lebat
menimbulkan surface runoff yang besar pula, dapat memicu
terjadinya longsor pada lapisan tanah lepas.
Ground water runoff, kaitannya dengan hujan adalah
adanya peningkatan tinggi permukaan air tanah sebagai akibat
dari infiltrasi oleh air hujan.
b. Air tanah
Dalam hal ini yang ditinjau adalah pergerakan dari air
tanah pada suatu lereng. Pergerakan air tanah pada lereng
mempunyai pengaruh penting terhadap kestabilan dari lereng
tersebut. Suatu struktur geologi kecil, baik yang terbentuk
secara alami ataupun buatan, dapat menyebabkan akibat yang
besar pada pola pergerakan air tanah.
Misalnya (lihat gambar 2.5), kegagalan pada lereng
dangkal dapat terjadi pada saat bertenggernya air tanah pada
lapisan tanah sebelumnya pada suatu lapisan yang tidak
tembus air, shales atau lapisan batu kedap air (a). Keruntuhan
terjadi karena dipicu oleh periode hujan yang lama sehingga
permukaan air tanah naik sehingga tekanan air tanah yang
besar sebagai akibat dari terganggunya pergerakan air tanah
(b). Diperlukan sistem horisontal drain untuk menurunkan
tekanan air tanah yang terbendung (c).
Gambar2.5: Pengaruh geologi struktur pada pola pergerakan air tanah (Cedegren, 1977)
4. Aktivitas manusia
Dinamika penduduk yang berupa pembukaan lahan baru untuk
tempat tinggal khususnya pada lereng dapat menyebabkan meningkatnya
surface load. Hal ini akan terus meningkat menjadi overloading bila tidak
dikontrol. Daerah rawan pergerakan tanah memang dapat kita lihat pada
peta pergerakan tanah dengan beberapa parameter warna, merah, kuning,
hijau, biru, yang menunjukkan tingkat keamanan dari daerah yang
ditinjau. Akan tetapi parameter tersebut dapat dengan cepat berubah
karena adanya overloading pada lereng yang ditinjau (Ir. Achmad
Jumarno, 2003). Misalnya, suatu lereng alami, sebelum terjamah oleh
manusia mempunyai parameter warna biru (relatif aman) tanpa disadari
dapat berubah menjadi hijau (bahaya kelongsoran rendah) ataupun kuning
(bahaya kelongsoran cukup rawan) setelah mengalami perubahan
fungsinya menjadi kawasan pemukiman yang tidak terkontrol.
Perubahan jenis vegetasi pada suatu lereng yang dikarenakan
adanya perubahan tata guna lahan dapat berpengaruh terhadap kestabilan
lereng tersebut. Jenis vegetasi sangat berhubungan dengan pengaruh
10
11
penahan yang terbuat dari anyaman ranting dan cabang untuk konstruksi-konstruksi
hidrolika. Pada abad ke 16 teknologi ini mengalami perkembangan yang sangat pesat
di hampir seluruh daratan Eropa, terutama untuk proyek-proyek perbaikan tebing
sungai menggunakan metode yang masih dikenal sampai saat ini, yaitu: live stakes
yang didokumentasikan oleh Woltmann 1791.
Pada tahun 1930 soil bioengineering mengalami perkembangan yang sangat pesat
dimana keterbatasan finansial di awal perang dunia kedua memaksa beberapa negara
di Eropa Tengah terutama Jerman dan Austria untuk lebih banyak menerapkan
teknologi ini pada proyek-proyek pekerjaan publiknya. Bahkan di Jerman pernah
didirikan sebuah institut penelitian oleh Adolf Hitler untuk mengembangkan
teknologi ini, yang kemudian melahirkan beberapa pakar terkemuka antara lain
Arthur Von Kruedener yang dikukuhkan sebagai the father of soil bioengineering.
Sebagai penghargaan atas karyanya maka diterbitkan sebuah buku pertama dalam
bidang ini dengan judul Ingenieurbiologi (Engineering Biologi). Pada kurun waktu
yang kurang lebih sama di Amerika Serikat merupakan awal dari perkembangan
teknologi ini. Seseorang yang telah mengembangkan teknologi soil bioengineering
dengan metoda live fascine adalah Charles Kraebel yang bekerja pada USDA Forest
Service. Kegunaan dari metode ini antara lain untuk stabilisasi lereng pada proyek
jalan raya.
Setelah perang dunia kedua usai para ahli soil bioengineering kembali melanjutkan
upaya penyempurnaan terhadap teknologi yang sudah dikembangkan sebelumnya,
untuk menyusun standarisasi teknologi dan spesifikasi konstruksi. Pada tahun 1951
Arthur Von Kruedener mempublikasikan buku pertamanya mengenai soil
bioengineering. Sementara itu pada tahun 1980 terbit buku pertama dalam edisi
bahasa inggris oleh Hugo Schichtl dengan judul Bioengineering for Land Reclamation
and Conservation, disusul dengan buku kedua pada tahun 1997 dengan judul Ground
Engineering Techniques for Slope Protection yang sering digunakan sebagai buku
acuan bagi para pemerhati bidang soil bioengineering.
Saat ini sudah semakin banyak tersedia buku-buku soil bioengineering dalam bahasa
asing (inggris khususnya), demikian pula informasi penting lainnya data ditelusuri
dengan mudah di situs-situs internet. Namun sayangnya sampai saat ini
sepengetahuan penulis belum terdapat buku yang tertulis dalam bahasa Indonesia. Hal
ini sebagai salah satu penyebab terhambatnya perkembangan soil bioengineering di
Indonesia.
13
Teknologi ini mempunyai potensi yang sangat besar untuk diterapkan di Indonesia.
Dengan belum berakhirnya krisis yang melanda Indonesia maka teknologi ini menjadi
suatu ilmu yang sangat tepat jika dibanding dengan teknologi yang lain jika dilihat
dari segi finansial.
No.
Faktor
Parameter
Sepesifikasi disain
1.
Iklim
2.
Kondisi
tanah
3.
Air tanah
4.
Kandungan kimia
Tanah
Resiko erosi
PH
Kesuburan
Pengkikisan Tanah
5.
6.
Geoteknik
fisik
Management
Perlu perkuatan dengan geotexstail
Pemilihan material tanah yang cocok
Kepadatan dan kadar air tanah
Bila Perlu dikombinasikan perkuatan
dengan geotextail
Hal yang perlu dilakukan sebelum pelaksanaan metode soil bioengineering adalah
pemilihan jenis tanaman dan persiapan lahan. Banyak jenis tanaman yang dapat
digunakan dalam metode soil bioengineering, namun tidak semua jenis tanaman
14
cocok untuk digunakan. Jenis tanaman yang cocok untuk digunakan adalah jenis
tanaman yang mempunyai karakteristik tumbuh dengan cepat ,berakar cukup dalam (
tipe akar serabut ), banyak dan menyebar. Jenis tanaman yang dapat digunakan untuk
menjaga stabilitas lereng dan erosi permukaan meliputi : jenis rerumputan, jenis
perdu, semak-belukar, dan jenis pepohonan. Masing-masing mempunyai keuntungan
dan kerugian sesuai dengan karakteristiknya
Semak belukar, perdu dan rerumputan mempunyai karakteristik akar yang tidak
terlalu dalam tapi sifatnya menyebar dan dapat membuat jaring jaring.
Jenis pepohonan, mempunyai akar yang cukup dalam dan menyebar.
Morfologi Akar dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Heartroot
Taproot
Plateroot
Kedalaman dan distribusi akar dapat dilihat pada gambar 2.7 berikut ini :
15
16
17
18
4. Kesimpulan
1. Sistem Soil Bioengineering adalah system perbaikan alam yang tidak mutlak
membutuhkan peralatan berat serta jumlah pekerja yang relatif minimal
menyebabkan kerusakan lahan yang minimal pula pada saat pelaksanaan.
Dengan demikian soil bioengineering cocok digunakan pada area atau lahan
dimana estetika, kesuburan lahan, dan habitat hewan menjadi prioritas yang
penting.
2. Penerapan soil bioengineering memerlukan media lahan yang baik dan subur.
Oleh sebab itu soil bioengineering tidak dapat diterapkan pada lahan dengan
tanah berbatu, sangat berpasir, tergenang air terus menerus.
19
5. Saran
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai penerapan metode Vegetated
Rock Gabion, Live Fascine, dan Brush Layering dilapangan.
2. Soil Bioengineering di Indonesia masih dianggap sebagai suatu hal yang baru,
sehingga perlu adanya sosiaisasi tentang soil bioengineering di kalangan
masyarakat
Referensi :
Jaya, F.S, dan Sagitha, R.A. (2004), Studi Literatur tentang Soil Bioengineering dengan Metode
Vegetated Rock Gabion, Live Fascine, dan Brush Layering, Laporan Tugas Akhir, Universitas
Katolik Soegijapranata Semarang
Sotir, R,B. (1992), Chapter 18 Soil Bioengineering for Upland Slope Protection and Erosion
Reduction, The United States Departement of Agriculture (USDA)
Sotir, R.B. (1996), Chapter 16 Streambank and Shoreline Protection, The United States Departement
of Agriculture (USDA)
Sotir, R.B, Gray, D.H. ( 1996 ), Biotechnical And Soil Bioengineering Slope Stabilization, John Wiley
& Son Inc, New York
20