Anda di halaman 1dari 2

Bandung Lautan Api

Rabu, 22 Maret 2006M


22 Safar 1427H

Semenjak Jepang menyerah kepada Sekutu pada Perang Pasifik yang berlanjut dengan
berkumandangnya proklamasi Republik Indonesia tentara Jepang di berbagai kota di Indonesia
mulai dilucuti dan meninggalkan kota. Tentara Sekutu sebagai pemenang perang pun hadir
dengan puluhan ribu tentara untuk mengawasi dan melucuti tentara Jepang di berbagai kota
terutama Jakarta, Semarang dan Surabaya dengan yang dipimpin oleh tentara Inggris,
dikomandoi Gubernur Jendral Mallaby.

Hadirnya Sekutu ternyata diboncengi oleh Netherlands Indische Civil Administration (NICA)
yang masih ingin menguasai sebuah negara yang baru merdeka. Perang Revolusi Indonesia pun
terjadi dengan semangat yang jauh lebih besar sebagai bangsa yang merdeka. Kota Surabaya
menjadi pemicu perlawanan terhadap Sekutu dan NICA. 10 November 1945, tentara dan rakyat
Indonesia bertempur habis-habisan mempertahankan kota hingga satu bulan lebih. Peristiwa
tersebut kita kenang sebagai Hari Pahlawan.

Semarang pun tak luput dari usaha pendudukan kembali Belanda. Pertempuran rakyat dan TNI di
Ambarawa pada tanggal 15 Desember 1945 kita kenang dengan sebutan Palagan Ambarawa.

Bagaimana dengan Bandung? Bandung memilih jalan damai –ABCD, Anak Bandung Cinta
Damai– meskipun semenjak hari proklamasi Badan Keamanan Rakyat (BKR) dibentuk,
menyusul bulan Oktober Laskar Wanita Indonesia (LASWI) didirikan, hingga ke satuan Pelajar
Pejuang. Di bidang perjuangan lainnya yaitu jalur diplomasi Oto Iskandar Di Nata memimpin
cara damai agar Jepang keluar dari Bandung. Di saat yang sama Sekutu dan NICA juga telah
hadir melucuti tentara Jepang dan berusaha menduduki kota Bandung.

Jalur diplomasi ternyata belum tentu disukai semua pihak. Tidak hanya Oto yang dikecam,
masyarakat Bandung pun disindir sebagai orang lemah, tak punya semangat revolusi, tak berani
mengangkat senjata, dan banyak sindiran lain terutama setelah peristiwa 10 November dan
Palagan Ambarawa terjadi.

Perjuangan Oto mengakibatkan Sekutu dan NICA tidak berhasil secara de jure menduduki kota
Bandung, namun Si Jalak Harupat malah diculik oleh Laskar Hitam yang kabarnya adalah usaha
pihak yang tak suka dengan cara Oto di jaman revolusi tersebut. Musibah lain pun datang, sungai
Cikapundung meluap menelan ratusan korban jiwa. Kesempatan ini dipakai oleh Sekutu dan
NICA untuk menggempur kota Bandung dan menguasainya di akhir November 1945.

Jalan diplomasi tetap dilakukan, namun corong berani Si Jalak Harupat telah menghilang diculik
bersama Residen Priangan, Walikota dan Ketua Komite Nasional Indonesia Priangan.

Tentara Republik Indonesia, Siliwangi, BKR, LASWI dan Pelajar Pejuang beserta rakyat
bertahan mempertahankan kota, namun kondisinya semakin parah, hingga akhirnya keadaan
semakin terpuruk selama dua bulan berikutnya. Sekutu dan NICA mulai menguasai kota secara
de facto. Saat Tentara Republik Indonesia dipaksa menyerah dan meninggalkan kota sejauh
radius 11km; Majelis Persatuan Perjuangan Priangan memutuskan untuk membakar kota untuk
mencegah Sekutu dan Belanda mempergunakan fasilitas dan instalasi penting.

Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Komandan Divisi III Siliwangi menginstruksikan rakyat
untuk mengungsi pada tanggal 24 Maret 1946. Malam harinya bangunan-bangunan penting
mulai dibakar dan ditinggalkan mengungsi ke Bandung Selatan oleh sekitar 200.000 warganya.
Kota Bandung yang terbakar ini juga disaksikan oleh istrinya Si Jalak Harupat yang masih
menunggu kabar kepastian hilangnya sang suami. Warga mengungsi dengan membawa barang
seadanya, sebagian mengatur perjalanan ungsian, sebagian menyelamatkan dokumen-dokumen
kota, sebagian membakar gedung-gedung penting, bahkan meledakkan bangunan-bangunan
besar, hingga instalasi militer pun dihancurkan, salah satunya gudang mesiu yang diledakkan
oleh Mohammad Toha yang gugur bersama ledakan. Tengah malam kota Bandung yang terbakar
telah ditinggalkan. Menyisakan kenangan perjuangan Bandung Lautan Api.

Peristiwa tersebut dikenang hingga kini. Mars Halo Halo Bandung diciptakan, monumen pun
didirikan di lapangan Tegallega. Sineas pun tak luput menjadikan peristiwa tersebut dalam film
“Toha Pahlawan Bandung Selatan”, sebuah film karya Usmar Ismail, juga film “Bandung Lautan
Api” karya Alam Rengga Surawijaya. Tak ketinggalan penulis puisi W.S. Rendra juga
mengabadikan dalam Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api

Tahun lalu, di bulan Juli 2005 seorang warga di jalan Mohamad Toha 236 menemukan tiga bom
roket aktif tertimbun dalam tanah. Menurut pihak kepolisian di lokasi tersebut adalah bekas
gudang mesiu yang dulu diledakkan oleh Mohamad Toha.

Sayangnya, lapangan luas Tegallega beserta monumen Bandung Lautan Api terkesan kumuh,
tidak senyaman plaza Gasibu. Saya sendiri pun masih merasa malas untuk menikmati lapangan
dan monumen tersebut dengan kondisi seperti itu.

Anda mungkin juga menyukai