PSIKOLOGI LINGKUNGAN
Energy Issues : Psychological Aspects
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikologi Lingkungan
Dosen Pengampu : Rafika Nur Kusumawati, S.Psi., MA.
Disusun oleh:
Sesi Selia
(G0120215)
Kelas-B (PMMB)
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat dan karunia-Nyalah, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan
tepat pada waktunya. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Ulangan Tengah Semester mata kuliah Psikologi Lingkungan yang diampu
oleh Ibu Rafika Nur Kusumawati, S.Psi., MA.
Saya berharap makalah ini dapat berguna dalam proses belajar mengajar yang
lebih efektif dan efisien dengan penggunaan sebaik-baiknya. Saya menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan kemampuan saya sendiri.
Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat
positif, guna penulisan makalah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Harapan saya, semoga penulisan makalah ini bermanfaat. Khususnya bagi
penyusun sendiri, umumnya bagi para pembaca.
i
DAFTAR ISI
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Inggris tentang tanggapan masyarakat lokal terhadap usulan mengenai saluran
listrik bertekanan tinggi (Devine-Wright 2013).
Keadilan juga harus diterapkan dalam proses distribusi energi, terkhusus
untuk biaya dan manfaat yang energi juga proyek energi yang dialokasikan
untuk skala lokal, nasional, dan internasional. Haggett (2008) berpendapat
bahwa keberatan publik terhadap ladang angin muncul dari manfaat secara
global tetapi tidak di skala lokal dan ini telah mendorong berbagai tanggapan
kebijakan yang mencoba untuk mengatasi persepsi ketidakseimbangan dalam
distribusi manfaat / biaya. Di negara-negara Eropa seperti Denmark dan Jerman,
terdapat kebijakan negara untuk mendorong kepemilikan warga atas proyek
energi (misalnya, semua ladang angin baru harus dimiliki setidaknya 20%
warga negara di Denmark). Ada beberapa bukti bahwa dukungan publik untuk
proyek energi terbarukan lebih tinggi di Eropa. Contohnya, di Eropa proyek
seperti ladang angin dimiliki oleh komunitas lokal bukan milik perusahaan
(Warren dan MacFadyan 2010). Kepercayaan masyarakat terhadap energi
terbarukan telah terbukti memainkan peran kunci dalam memengaruhi
keterlibatan dan penerimaan publik (Midden dan Huijts 2009).
3
sangat jelas dalam penelitian yang berkaitan dengan konsumsi dan
kekekalan energi.
Selama tahun 1990-an, kebijakan energi juga menekankan
pentingnya efisiensi energi untuk pembangunan berkelanjutan dan sebagai
bentuk strategis mitigasi perubahan iklim. Bisnis dan pemerintah secara
bertahap yakin akan perlunya perubahan pola konsumsi energi dan mulai
membawa perubahan ke dalam skenario ekonomi. Upaya serupa juga
dicoba pada pemanfaatan konsumsi energi skala kecil, seperti perawatan
permukiman dan alternatif transportasi pribadi. Namun upaya-upaya
tersebut tidak sepenuhnya berhasil, perlu adanya modifikasi perilaku energi
di semua sektor ekonomi. Konsep efisiensi energi sulit dipahami dan kurang
jelas, sehingga penghuni rumah/orang yang memanfaatkan energi tidak tahu
bagaimana mendapatkan kinerja yang lebih baik dalam efisiensi energi. Hal
ini membuat masyarakat tidak tahu bagaimana cara mengurangi pemakaian
energi. Contohnya, mengenai produk mana yang tidak boleh dibeli, jumlah
barang yang bisa dikurangi, dan lain sebagainya (Stern dan Aronson 1984).
Hal yang penting adalah bahwa efisiensi energi dapat memberikan
arti yang berbeda untuk masyarakat (Hall et all. 2013). Misalnya, pada saat
seseorang direkomendasikan untuk memilih lampu hemat daya, apakah
mereka akan memilih lampu yang hemat daya atau yang memiliki sinar
yang terang. Hal-hal mengenai perilaku seperti ini bisa menjadi lebih rumit
ketika skenario praktik multi-determinasi tentang energi ini diperluas ke
tingkat kebijakan yang dimaksudkan untuk mendisiplinkan sector-sektor
yang terlibat, seperti perusahaan besar, Gedung-gedung tinggi, atau setiap
elemen yang menggunakan banyak energi. Saat mendefinisikan efisiensi
energi dari sudut pandang energi sebagai komoditas, yang biasanya terjadi
adalah kepuasan pengguna akhir, kualitas hidup dan dimensi penggunaan
energi yang serupa dikesampingkan. Seperti yang ditunjukkan oleh Sachs
(2007) : Tidak ada transisi energi di masa lalu yang dilakukan karena
penipisan sumber energi secara fisik. Sejarah umat manusia dapat disintesis
sebagai sejarah produksi dan alokasi surplus ekonomi, yang dipacu oleh
revolusi energi yang berurutan. Semuanya terjadi karena identifikasi
sumber energi baru dengan kualitas unggul dan biaya rendah. Begitu pula
peralihan energi biomassa ke batu bara dan minyak bumi dan gas alam. (hal.
42) Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa memperoleh kesesuaian
ilmiah dan teknologi tidak selalu cukup untuk memastikan teknologi energi
baru diadopsi atau digunakan sebagaimana mestinya.
4
(Karlin dkk. 2014, hal. 428 dan 441). Terdapat dua kelompok perilaku, yang
teridentifikasi, yaitu :
a) Perilaku berbiaya rendah (pembatasan)
b) Perilaku berbiaya tinggi yang jarang (efisiensi).
5
disertai pemahaman bahwa minyak bumi akan habis dan minyak akan
menjadi semakin mahal. Oleh karena itu, bukan hanya keputusan moral
tetapi juga tidak bijaksana untuk tidak mengubah kebiasaan boros energi
dan penggunaan energi.
Dari sudut pandang psikologis untuk hidup dengan layanan energi
yang lebih sedikit, agar sampai pada tahap kecukupan energi. Kita semua
harus menanamkan pola pikir bahwa penggunaan layanan yang dibatasi
bukan merupakan sebuah larangan tetapi sebagai cara hidup baru dengan
lebih sedikit tuntutan, lebih banyak hubungan dengan diri sendiri dan orang
lain (keterkaitan) dan hubungan yang lebih sehat untuk manusia dengan
ekologi. Di sini kita melihat temuan dari psikologi dan disiplin ilmu terkait
tentang apa yang mendukung cara berpikir baru dan hidup dalam kaitannya
dengan strategi kecukupan. Mengubah kebiasaan mental dan perilaku
masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan, akan
berkonsentrasi pada kecukupan energi dalam memikirkan kehidupan yang
lebih baik di masa mendatang.
Terdapat tiga pendekatan utama dapat dilihat untuk mendorong cara
berpikir dan bertindak yang baik untuk menjadi manusia yang baik di dunia
ini dan berorientasi pada kecukupan energi, yaitu dengan pendekatan
individu, komunitas dan budaya.
6
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Untuk mempelajari tentang energi dari aspek psikologi ada baiknya harus
membaca lebih banyak literatur dan menciptakan sebuah lingkungan yang “Cinta
Energi” agar memberikan dampak psikologis yang berorientasi pada pola pikir
yang sadar akan kecukupan energi yang harus dijaga.
7
DAFTAR PUSTAKA
§ Batel, S., Devine-Wright, P., & Tangeland, T. (2013). Beyond the social
acceptance of renewable energy in- novation: A discussion about
acceptance and support. Energy Policy, 58, 1–5.
§ Bell, D., Gray, T., Haggett, C., & Swaffield, J. (2013). Re- visiting the
“social gap”: Public opinion and relations of power in the local politics of
wind energy. Environ- mental Politics, 22, 115–135.
§ Darby, S. (2007). The effectiveness of feedback on energy consumption.
A review for Defra of the literature on metering, billing and direct
displays. http://www.eci.ox.ac.uk/research/energy/electric- metering.php
§ Devine-Wright, P. (2013). Explaining “NIMBY” objec- tions to a power
line: The role of personal, place attachment and project-related factors.
Environment and Behavior, 45, 761–781.
§ Haggett, C. (2008). Over the sea and far away? A consid- eration of the
planning, politics, and public perceptions of offshore wind farms. Journal
of Environmental Policy and Planning, 10(3), 289–306.
§ Hall, S. M., Hards, S., & Bulkeley, H. (2013). New approaches to energy:
Equity, justice and vulnerability.
§ Karlin, B., Davis, N., Sanguinetti, A., Gamble, K., Kirkby, D., & Stokols,
D. (2014). Dimensions of conservation: Exploring differences among
energy behaviors. Envi- ronment and Behavior, 46(4), 423–452
§ Kohlberg, L. (1995). Die Psychologie der Moralentwick- lung.
Frankfurt/M: Suhrkamp.
§ Midden, C. J. H., & Huijts, N. (2009). The role of trust in the affective
evaluation of novel risks: The case of CO2 storage. Risk Analysis, 29,
743–751.
§ Sachs, I. (2007). A revolução energética do século XXI [The energy
revolution of the 21st century]. Estudos Avançados, 21(59), 21–38.
§ Sørensen, B. (1991). A history of renewable energy tech- nology. Energy
Policy, 19(1), 8–12.
§ Stern, P. C., & Aronson, E. (Eds.). (1984). Energy use: The human
dimension [National Research Coun- cil, Committee on Behavioral and
Social Aspects of Energy Consumption and Production]. New York:
Freeman.
§ Warren, C., & MacFadyan, M. (2010). Does community ownership affect
public attitudes to wind energy? A case study from south-west Scotland.
Land Use Policy, 27, 204–213.
§ Zoellner, J., Schweizer-Ries, P., & Wemheuer, C. (2008). Public
acceptance of renewable energies: Results from case studies in Germany.
Journal of Energy Policy, 36(11), 4136–4141.