Anda di halaman 1dari 12

TUGAS ULANGAN TENGAH SEMESTER

PSIKOLOGI LINGKUNGAN
Energy Issues : Psychological Aspects

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikologi Lingkungan
Dosen Pengampu : Rafika Nur Kusumawati, S.Psi., MA.

Disusun oleh:
Sesi Selia
(G0120215)
Kelas-B (PMMB)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat dan karunia-Nyalah, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan
tepat pada waktunya. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Ulangan Tengah Semester mata kuliah Psikologi Lingkungan yang diampu
oleh Ibu Rafika Nur Kusumawati, S.Psi., MA.
Saya berharap makalah ini dapat berguna dalam proses belajar mengajar yang
lebih efektif dan efisien dengan penggunaan sebaik-baiknya. Saya menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan kemampuan saya sendiri.
Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat
positif, guna penulisan makalah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Harapan saya, semoga penulisan makalah ini bermanfaat. Khususnya bagi
penyusun sendiri, umumnya bagi para pembaca.

Bandung, 3 Mei 2021

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan....................................................................................................... 1
BAB II ..................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 2
2.1 Penerimaan Masyarakat Terhadap Sistem Produksi dan Distribusi Energi ............. 2
2.2 Penelitian Psikologis tentang Konsumsi dan Konservasi Energi ........................................... 3
2.3 Kecukupan Energi Berdasarkan Aspek Psikologis ................................................................ 4
BAB III.................................................................................................................... 7
PENUTUP ............................................................................................................... 7
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 7
3.2 Saran ......................................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 8

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pada masa kini kebutuhan manusia terhadap energi semakin meningkat


pesat. Ditambah lagi manusia membutuhkan energi untuk bertahan hidup.
Perkembangan energi berjalan beriringan dengan perkembangan teknologi.
Namun hal tersebut membuat bumi menjadi rusak, karena proses pengambilan
sumber energi yang dilakukan terus menerus. Menyadari hal itu banyak
masyarakat yang mulai tersadarkan. Hal ini membuat lahirnya sebuah teknologi
untuk energi terbarukan atau energi yang bisa diperbaharui. Energi terbarukan
dipandang mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi dibumi akibat
pengambilan sumber daya energi. Energi terbarukan dipandang mampu untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam konsumsi energi. Pada saat ini, teknologi
energi terbarukan memiliki fokus untuk dianggap layak secara komersial agar
mampu memproduksi listrik, salah satunya dengan menggunakan turbin angin. Itu
artinya bahwa energi terbarukan bisa memperbaiki tanah yang telah rusak karena
pengambilan minyak (Sorensen 1991). Banyaknya permasalahan yang terjadi
antara energi lama yang dikembangkan bersama energi terbarukan berdampak
pada banyak aspek. Beberapa aspek tersebut adalah aspek ekonomi dan individu
yang dikembangkan dalam perspektif satu dimensi, isu sosial, budaya dan
lingkungan kini juga menjadi pertimbangan. “Pandangan holistik” ini mengikuti
tren yang menjadi ciri penelitian tentang keberlanjutan / kepedulian pelestarian
lingkungan dalam psikologi lingkungan selama periode ini. Pembahasan ini
bertujuan untuk memberikan gambaran tentang bagaimana pandangan penelitian
tentang penggunaan energi dari aspek psikologis. Dalam makalah ini akan
mengeksplorasi isu-isu kontemporer utama yang berkenaan dengan: (1)
penerimaan publik terhadap infrastruktur energi, (2) konsumsi dan konservasi
energi, dan, (3) kecukupan energi dari aspek psikologis.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Penerimaan Masyarakat Terhadap Sistem Produksi dan Distribusi
Energi?
2. Bagaimana Penelitian Psikologis tentang Konsumsi dan Konservasi Energi?
3. Bagaimana Kecukupan Energi dari Aspek Psikologis?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui Penerimaan Masyarakat Terhadap Sistem Produksi dan


Distribusi Energi.
2. Untuk mengetahui Penelitian Psikologis tentang Konsumsi dan Konservasi
Energi.
3. Untuk mengetahui Kecukupan Energi Berdasarkan Aspek Psikologis.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Penerimaan Masyarakat Terhadap Sistem Produksi dan Distribusi Energi

Kesenjangan antara dukungan masyarakat terhadap energi terbarukan


dan keberatan masyarakat lokal. Salah satu tanggapan terhadap kesenjangan
sosial adalah gagasan penerimaan bersyarat (Bell dkk. 2005, 2013) yang
mencerminkan serangkaian masalah atau “kondisi” di mana dukungan umum
untuk sumber energi tertentu dapat dilihat dari sikap keberatan masyarakat
lokal. Studi empiris telah mengungkapkan kompleksitas faktor yang mendasari
tanggapan masyarakat lokal terhadap proposal penentuan lokasi produksi serta
distribusi energi. Penelitian ini juga menunjukkan kekurangan dalam studi yang
ada, terutama heterogenitas dalam ukuran empiris "penerimaan" dan kebutuhan
untuk membedakan antara "penerimaan" dan "dukungan" atau "penerimaan
aktif" (Batel et al. 2013; Schweizer-Ries 2008). Devine-Wright (2009)
mengusulkan bahwa keberatan masyarakat lokal mungkin didasari oleh
keprihatinan tentang perubahan tempat di mana mereka harus beradaptasi,
menunjukkan relevansi konsep dari psikologi lingkungan, seperti keterikatan
tempat dan identitas tempat, hingga pemahaman konflik yang akan terjadi.
Dalam serangkaian studi empiris tentang beragam teknologi, seperti energi
angin lepas panti, energi ombak, dan energi terbarukan sangat berhubungan
dengan penerimaan masyarakat sekitar daerah pengembangan energi.
Menariknya, dari hasil penelitian ternyata di temukan sifat hubungan yang
berbeda-beda. Misalnya dalam konteks di mana proyek energi dianggap
mengancam karakter suatu tempat, terdapat hubungan negatif antara kekuatan
keterikatan tempat dan tingkat penerimaan. Sementara dalam konteks di mana
proyek energi dianggap meningkatkan karakter suatu tempat, maka terdapat
hubungan yang positif. Penjelasan ini menunjukkan pentingnya memahami
keterikatan tempat berdasarkan kesesuaian antara karakteristik tempat, persepsi
kesesuaian, teknologi, dengan sosial.
Masalah-masalah yang hadir mengenai penerimaan sosial terhadap
energi terbarukan masih menjadi kendala terhadap pengembangan energi.
Masalah ini terbukti pada kejadian penolakan masyarakat Inggris terhadap
pengembangan sumber energi bertenaga nuklir dengan stigma masyarakat yang
kurang baik mengenai sistem pembuangan energi nuklir. Masyarakat Inggris
melakukan penolakan yang didasari oleh persepsi yang tersebar luas di antara
penduduk setempat bahwa pembangkit listrik tenaga nuklir akan mengambil
kehidupan normal masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Penelitian telah
menunjukkan mengenai respon masyarakat loka yang memiliki keberatan
terhadap infrastruktur energi, dari ladang angi, hingga kabel listrik bertegangan
tinggi. Sementara di Australia dan Jerman energi angin mendapatkan
persetujuan yang baik dari masyarakat, hal ini dikarenakan keadilan dan
kesetaraan yang diberikan oleh pemerintah di negara tersebut. Analisis
komparatif proyek energi terbarukan di Jerman menunjukkan bahwa keadilan
prosedural adalah elemen kunci dalam menjelaskan tingkat dukungan publik
(Zoellner et al. 2008) dan temuan serupa diindikasikan oleh temuan peneliti di

2
Inggris tentang tanggapan masyarakat lokal terhadap usulan mengenai saluran
listrik bertekanan tinggi (Devine-Wright 2013).
Keadilan juga harus diterapkan dalam proses distribusi energi, terkhusus
untuk biaya dan manfaat yang energi juga proyek energi yang dialokasikan
untuk skala lokal, nasional, dan internasional. Haggett (2008) berpendapat
bahwa keberatan publik terhadap ladang angin muncul dari manfaat secara
global tetapi tidak di skala lokal dan ini telah mendorong berbagai tanggapan
kebijakan yang mencoba untuk mengatasi persepsi ketidakseimbangan dalam
distribusi manfaat / biaya. Di negara-negara Eropa seperti Denmark dan Jerman,
terdapat kebijakan negara untuk mendorong kepemilikan warga atas proyek
energi (misalnya, semua ladang angin baru harus dimiliki setidaknya 20%
warga negara di Denmark). Ada beberapa bukti bahwa dukungan publik untuk
proyek energi terbarukan lebih tinggi di Eropa. Contohnya, di Eropa proyek
seperti ladang angin dimiliki oleh komunitas lokal bukan milik perusahaan
(Warren dan MacFadyan 2010). Kepercayaan masyarakat terhadap energi
terbarukan telah terbukti memainkan peran kunci dalam memengaruhi
keterlibatan dan penerimaan publik (Midden dan Huijts 2009).

2.2 Penelitian Psikologis tentang Konsumsi dan Konservasi Energi

Zaman semakin berkembang, populasi dunia terus meningkat, dan umat


manusia saat ini terlenakan oleh teknologi dengan segala kemudahannya. Perlatan
elektronik menjadi teman kehidupan sehari-hari. Semua ini menegaskan bahwa dalam
kehidupan modern ini kita semua menjadi sebab dari peningkatan konsumsi energi.
Dengan hal ini semuanya akan dikembalikan pada masing-masing individu, setidaknya
kita tidak terlalu kecenderungan dengan teknologi yang memakan banyak energi.
Melakukan efisiensi energi yang berarti kita mampu melakukan aktivitas dengan
menghemat energi.
Pada beberapa dekade kebelakang, mahalnya harga minyak bumi, mengubah
pandangan beberapa sector seperti, pada sector ekonomi, industri dan transportasi.
Pada tahun 1970-an dan 1980-an, para pendukung gagasan efisiensi energi
memperdebatkan manfaat dan potensi dari efisiensi energi, yaitu :

a. Penghematan energi (pengurangan konsumsi energi)


b. Penurunan polutan, memperbaiki lingkungan
c. Pengurangan biaya energi, bisa memaksimalkan manfaatnya
d. Berkurangnya ketergantungan suatu negara pada sumber
energi yang diimpor
e. Ekonomi yang lebih kompetitif.

Upaya optimalisasi penggunaan energi seperti itu membuat


perbedaan besar. Jika efisiensi energi tidak diperkenalkan pada tahun 1970-
an, Eropa dan Amerika Serikat saat ini akan mengkonsumsi energi sekitar
50% lebih banyak daripada yang mereka lakukan saat ini. Penelitian dalam
ilmu perilaku melihat implikasi dari gerakan-gerakan ini. Dengan basis data
APA (American Psychological Association) mencatat peningkatan yang

3
sangat jelas dalam penelitian yang berkaitan dengan konsumsi dan
kekekalan energi.
Selama tahun 1990-an, kebijakan energi juga menekankan
pentingnya efisiensi energi untuk pembangunan berkelanjutan dan sebagai
bentuk strategis mitigasi perubahan iklim. Bisnis dan pemerintah secara
bertahap yakin akan perlunya perubahan pola konsumsi energi dan mulai
membawa perubahan ke dalam skenario ekonomi. Upaya serupa juga
dicoba pada pemanfaatan konsumsi energi skala kecil, seperti perawatan
permukiman dan alternatif transportasi pribadi. Namun upaya-upaya
tersebut tidak sepenuhnya berhasil, perlu adanya modifikasi perilaku energi
di semua sektor ekonomi. Konsep efisiensi energi sulit dipahami dan kurang
jelas, sehingga penghuni rumah/orang yang memanfaatkan energi tidak tahu
bagaimana mendapatkan kinerja yang lebih baik dalam efisiensi energi. Hal
ini membuat masyarakat tidak tahu bagaimana cara mengurangi pemakaian
energi. Contohnya, mengenai produk mana yang tidak boleh dibeli, jumlah
barang yang bisa dikurangi, dan lain sebagainya (Stern dan Aronson 1984).
Hal yang penting adalah bahwa efisiensi energi dapat memberikan
arti yang berbeda untuk masyarakat (Hall et all. 2013). Misalnya, pada saat
seseorang direkomendasikan untuk memilih lampu hemat daya, apakah
mereka akan memilih lampu yang hemat daya atau yang memiliki sinar
yang terang. Hal-hal mengenai perilaku seperti ini bisa menjadi lebih rumit
ketika skenario praktik multi-determinasi tentang energi ini diperluas ke
tingkat kebijakan yang dimaksudkan untuk mendisiplinkan sector-sektor
yang terlibat, seperti perusahaan besar, Gedung-gedung tinggi, atau setiap
elemen yang menggunakan banyak energi. Saat mendefinisikan efisiensi
energi dari sudut pandang energi sebagai komoditas, yang biasanya terjadi
adalah kepuasan pengguna akhir, kualitas hidup dan dimensi penggunaan
energi yang serupa dikesampingkan. Seperti yang ditunjukkan oleh Sachs
(2007) : Tidak ada transisi energi di masa lalu yang dilakukan karena
penipisan sumber energi secara fisik. Sejarah umat manusia dapat disintesis
sebagai sejarah produksi dan alokasi surplus ekonomi, yang dipacu oleh
revolusi energi yang berurutan. Semuanya terjadi karena identifikasi
sumber energi baru dengan kualitas unggul dan biaya rendah. Begitu pula
peralihan energi biomassa ke batu bara dan minyak bumi dan gas alam. (hal.
42) Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa memperoleh kesesuaian
ilmiah dan teknologi tidak selalu cukup untuk memastikan teknologi energi
baru diadopsi atau digunakan sebagaimana mestinya.

2.3 Kecukupan Energi Berdasarkan Aspek Psikologis

Strategi kecukupan energi berlanjutan masih berhubungan dengan


efisiensi energi atau dinamai dengan pembatasan energi. Hal ini sering kali
berhubungan dengan stigma negatif misalnya, "penghematan energi"
dengan "mengurangi fasilitas atau kenyamanan" misalnya, "mematikan
lampu, mencabut peralatan, atau “mengurangi penggunaan peralatan", atau
semya yang terkait dengan kendala dan pengurangan yang menyakitkan

4
(Karlin dkk. 2014, hal. 428 dan 441). Terdapat dua kelompok perilaku, yang
teridentifikasi, yaitu :
a) Perilaku berbiaya rendah (pembatasan)
b) Perilaku berbiaya tinggi yang jarang (efisiensi).

Dari dua perilaku tersebut terlihat pemahaman yang lebih holistik


tentang strategi kecukupan. Strategi itu berorientasi pada perilaku untuk
memilih layanan energi yang dibutuhkan dan menyimpan sisanya untuk
nanti atau untuk orang lain. Ini adalah penggunaan layanan energi dengan
hati-hati, termasuk saat memilih berbagi produk, ruang, dan teknologi.
Kecukupan menurut Darby (2007) dapat diartikan dalam dua cara, yaitu :
1. Kualitas bila cukup, artinya saat sesuatu sudah mengetahui
tingkat kecukupan untuk memenuhi kebutuhan, mengetahui
bahwa kebutuhan dan tuntutan sangat bergantung pada cara
hidup (budaya, teknologi, kesadaran).
2. Kuantitas memberikan dasar, ketika sesuatu sudah cukup
(ketika terlalu banyak kesenangan dalam sesaat).

Permintaan dasar untuk energi dihitung menjadi 2000 Watt dengan


perhitungan masyarakat kita di Dunia Utara menggunakan lebih banyak
sedangkan banyak masyarakat di Dunia Selatan masih menggunakan lebih
sedikit. Mengetahui bahwa 20% populasi global (di Dunia Utara) telah
menggunakan 80% sumber daya alam, mudah untuk melihat bahwa tren ini
tidak dapat diikuti tanpa adanya risiko konflik tentang distribusi yang adil
dari seluruh sumber energi yang ada di bumi. Kita ambil contoh, kita
asumsikan satu manusia rata rata membutuhkan penerangan selama 6
jam/hari dengan lampu 60 Watt, pendinginan 700 Watt, freezer 120 watt,
mesin cuci serta beberapa perangkat elektronik lainnya termasuk beberapa
jam TV per hari, mendengarkan radio dan menggunakan komputer serta
penggunaan elektronik kecil lainnya. Ini akan menjadi “tingkat minimum
hak asasi manusia dari layanan energi per rumah tangga dan dapat
berjumlah sekitar 1500 W per Orang, bayangkan jika dalam satu rumah
terdapat 10 anggota keluarga.
Strategi kecukupan energi membutuhkan gaya hidup di Dunia Utara
berubah untuk distribusi energi yang adil dan merata kepada semua warga
di belahan manapun. Ini juga harus mencakup pencegahan Dunia Selatan
mengadopsi gaya hidup intensif energi di Utara. Analisis oleh para ekonom
mendukung "pengamatan bahwa dengan restrukturisasi yang bijaksana,
negara-negara yang sangat maju dapat menggunakan sebagian kecil dari
energi mereka saat ini tanpa adanya kerugian yang terukur dalam
pembangunan manusia" (Steinberger dan Roberts 2010, hlm. 432).
Kewarganegaraan dunia mengambil tanggung jawab tidak hanya untuk
generasi masa depan tetapi juga untuk mereka yang sudah hidup. Dalam
kata-kata psikologis Kohlberg, sangat penting untuk mencapai tahap moral
pasca-konvensi (Kohlberg 1995) untuk memahami bahwa penting untuk
berbagi dengan orang lain dan tidak menyimpan dan mengkonsumsi sumber
daya untuk diri kita sendiri. Disisi lain strategi kecukupan energi harus

5
disertai pemahaman bahwa minyak bumi akan habis dan minyak akan
menjadi semakin mahal. Oleh karena itu, bukan hanya keputusan moral
tetapi juga tidak bijaksana untuk tidak mengubah kebiasaan boros energi
dan penggunaan energi.
Dari sudut pandang psikologis untuk hidup dengan layanan energi
yang lebih sedikit, agar sampai pada tahap kecukupan energi. Kita semua
harus menanamkan pola pikir bahwa penggunaan layanan yang dibatasi
bukan merupakan sebuah larangan tetapi sebagai cara hidup baru dengan
lebih sedikit tuntutan, lebih banyak hubungan dengan diri sendiri dan orang
lain (keterkaitan) dan hubungan yang lebih sehat untuk manusia dengan
ekologi. Di sini kita melihat temuan dari psikologi dan disiplin ilmu terkait
tentang apa yang mendukung cara berpikir baru dan hidup dalam kaitannya
dengan strategi kecukupan. Mengubah kebiasaan mental dan perilaku
masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan, akan
berkonsentrasi pada kecukupan energi dalam memikirkan kehidupan yang
lebih baik di masa mendatang.
Terdapat tiga pendekatan utama dapat dilihat untuk mendorong cara
berpikir dan bertindak yang baik untuk menjadi manusia yang baik di dunia
ini dan berorientasi pada kecukupan energi, yaitu dengan pendekatan
individu, komunitas dan budaya.

6
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Dukungan masyarakat terhadap kemajuan infrastruktur energi


terbarukan memberikan dampak yang begitu luar biasa terhadp lingkungan.
Namun dalam kehidupan nyata selalu terdapat anomaly yang memperumit
proses perbaikan keadaan. Salah satu anomaly yang terjadi adalah
mjnculnya kesenjangan sosial antara masyarakat dengan pengembangan
infrastruktur energi.Penggunaan energi yang berlebihan merupakan
masalah utama dan mengabaikan aspek sosial akan menyebabkan
ketidakseimbangan antara penggunaan energi dan sumber energi. Salah satu
cara untuk mencapai kecukupan energi adalah menumbuhkan kesadaran diri
yang berawal dari merubah pola pikir mengenai efisiensi energi bukanlah
suatu larangan tetapi Batasan yang harus menjadi sebuah kebiasaan baru.
Pola pikir yang baik akan merubah kebiasaan sehingga akan membuat kita
menjadi manusia yang baik dan mampu memanfaatkan sumberdaya alam
dengan bijak.

3.2 Saran

Untuk mempelajari tentang energi dari aspek psikologi ada baiknya harus
membaca lebih banyak literatur dan menciptakan sebuah lingkungan yang “Cinta
Energi” agar memberikan dampak psikologis yang berorientasi pada pola pikir
yang sadar akan kecukupan energi yang harus dijaga.

7
DAFTAR PUSTAKA

§ Batel, S., Devine-Wright, P., & Tangeland, T. (2013). Beyond the social
acceptance of renewable energy in- novation: A discussion about
acceptance and support. Energy Policy, 58, 1–5.
§ Bell, D., Gray, T., Haggett, C., & Swaffield, J. (2013). Re- visiting the
“social gap”: Public opinion and relations of power in the local politics of
wind energy. Environ- mental Politics, 22, 115–135.
§ Darby, S. (2007). The effectiveness of feedback on energy consumption.
A review for Defra of the literature on metering, billing and direct
displays. http://www.eci.ox.ac.uk/research/energy/electric- metering.php
§ Devine-Wright, P. (2013). Explaining “NIMBY” objec- tions to a power
line: The role of personal, place attachment and project-related factors.
Environment and Behavior, 45, 761–781.
§ Haggett, C. (2008). Over the sea and far away? A consid- eration of the
planning, politics, and public perceptions of offshore wind farms. Journal
of Environmental Policy and Planning, 10(3), 289–306.
§ Hall, S. M., Hards, S., & Bulkeley, H. (2013). New approaches to energy:
Equity, justice and vulnerability.
§ Karlin, B., Davis, N., Sanguinetti, A., Gamble, K., Kirkby, D., & Stokols,
D. (2014). Dimensions of conservation: Exploring differences among
energy behaviors. Envi- ronment and Behavior, 46(4), 423–452
§ Kohlberg, L. (1995). Die Psychologie der Moralentwick- lung.
Frankfurt/M: Suhrkamp.
§ Midden, C. J. H., & Huijts, N. (2009). The role of trust in the affective
evaluation of novel risks: The case of CO2 storage. Risk Analysis, 29,
743–751.
§ Sachs, I. (2007). A revolução energética do século XXI [The energy
revolution of the 21st century]. Estudos Avançados, 21(59), 21–38.
§ Sørensen, B. (1991). A history of renewable energy tech- nology. Energy
Policy, 19(1), 8–12.
§ Stern, P. C., & Aronson, E. (Eds.). (1984). Energy use: The human
dimension [National Research Coun- cil, Committee on Behavioral and
Social Aspects of Energy Consumption and Production]. New York:
Freeman.
§ Warren, C., & MacFadyan, M. (2010). Does community ownership affect
public attitudes to wind energy? A case study from south-west Scotland.
Land Use Policy, 27, 204–213.
§ Zoellner, J., Schweizer-Ries, P., & Wemheuer, C. (2008). Public
acceptance of renewable energies: Results from case studies in Germany.
Journal of Energy Policy, 36(11), 4136–4141.

Anda mungkin juga menyukai