Anda di halaman 1dari 4

BAB IV

PEMBAHASAN

Telah dilaporkan pasien atas nama Tn. UT, laki-laki, 62 tahun, datang dengan keluhan
nyeri tungkai bawah kanan yang mulai dirasakan sejak ± 2 minggu SMRS. Nyeri pada kaki
kanan tersebut dirasakan terus menerus dan berkurang dengan pemberian obat penghilang nyeri
namun setelah beberapa saat kemudian nyeri tersebut timbul kembali. Kesemutan (+). Nyeri
tersebut dapat dirasakan bahkan saat pasien sedang beristirahat dan dapat mereda saat kaki
pasien dibiarkan tergantung saat duduk. Nyeri menyebabkan pasien terbangun di malam hari dan
menyebabkan penurunan aktivitas seperti berjalan. Pasien mengaku bahwa nyeri pada kaki kanan
nya semakin lama semakin hebat dan beberapa hari sebelum masuk rumah sakit nyerinya sudah
tidak tertahankan sehingga pasien mau masuk rumah sakit. Selain itu, dalam dua minggu ini,
kaki kanan tampak besar dan berwarna lebih hitam dibandingkan kaki kiri. Pasien juga mengaku
kaki kanannya dingin saat diraba. Pasien juga mengatakan kaki kanan terasa kebas dan
kesemutan. Pasien telah merasa kesemutan pada kaki kananya sejak kurang lebih 1 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga menyatakan tidak pernah mengalami trauma di kaki
kanan sebelumnya.. Hal ini menunjukkan gejala iskemia tungkai akut (Acute Limb Ischemic).
Dari anamnesis didapatkan nyeri (pain) pada tungkai kanan, kesemutan dan panas
(parestesia), sulit digerakkan (paralysis) serta pucat (pallor). Dari pemeriksaan fisik di temukan
pucat kebiruan/pallor (+), edema (+), akral dingin/ poikilothermia (+), CRT > 2 detik, nyeri
tekan/pain (+), Pulsasi A. Dorsalis Pedis, A. Tibialis Posterior, A. Peroneal (-)/pulseless (+).
Gerak aktif sangat terbatas/paralysis (+), nyeri gerak pasif (+). Keenam temuan ini mulai dari
pain (+), pallor (+), pulseless (+), poikilotermia (+), parayisis (+), paresthesia (+) merupakan
tanda dari ALI.
Keluhan timbul mendadak pada awalnya kemudian semakin memberat, keluhan timbul
saat pasien beraktivitas, pada satu sisi tungkai, riwayat trauma pada tungkai (-), pada
pemeriiksaan fisik jantung ditemukan batas jantung yang membesar, sedangkan pemeriksaan
fisik ekstremitas dextra didapatkan ekstremitas sianotik dan edema, tidak ditemukan pulsasi
kolateral, ada obesitas sebagai faktor risiko, menunjukkan penyebabnya kemungkinan adalah
thrombosis. Dari riwayat penyakit dahulu pasien pernah mengalami serangan jantung serta
riwayat sesak. Selain itu pada pasien juga dilakukan pemeriksaan penunjang laboratorium darah,
EKG dan CT Angiografi. Pada pemeriksaan laboratorium darah ditemukan leukositosis,
hipoalbuminea, dan hiperuremia. Pada pemeriksaan EKG ditemukan kelainan berupa irama atrial
fibrilasi. PAda ECHO juga ditemukan kelainan struktur jantung dari katup mitral penurunan
fungsi sistolik LV dengan LVH. Hal ini menunjukkan terdapat kelainan struktural pada jantung
termasuk juga ditemukan adanya atrial fibrilasi yang merupakan faktor risiko terjadinya emboli.
Sedangkan pada pemeriksaan angiografi ekstremitas bawah ditemukan adanya oklusi total pada
A. Femoralis dan A. Poplitea dextra, A. Tibioperoneal, A Distal Tibialis Posteriosdan stenosis A.
Tibialis anterior kiri dengan arteriti serta ditemukan adanya thrombus sehingga semakin
memperjelas etiologi pada kasus ini.
Berdasarkan klasifikasi Rutherfort, pada pasien ditemukan kehilangan sensasi raba pada
ekstremitas bagian distal, kelemahan otot hingga moderat, hanya sedikit sekali dapat digerakkan,
maka pasien diklasifikasikan ke dalam derajat IIb Namun, 1 hari setelah perawatan pasien
mengalami keluhan yang semakin parah hingga kaki berwarna kehitaman dan nekrosis. Sehingga
klasifikasi rutheford menjadi derajat III. Kerusakan saraf yang permanen, irreversible,
kelemahan ekstremitas, kehilangan sensasi sensorik, kelainan kulit atau gangguan penyembuhan
lesi kulit. Berdasarkan guideline AHA 2016, derajat III dilakukan tatalaksana berupa amputasi.
Namun, Pada pasien tetap diberikan antikoagulan Heparin di hari ketiga hari perawatan selama 3
hari. Heparin membantu mengelakkan propagasi bekuan darah dan mengurangkan spasm
pembuluh darah yang terkait. Dengan anti koagulan yang agresif, mungkin ada perbaikan pada
klinis tetapi revaskularisas tetap diperlukan. Pasien dengan atrial fibrilasi harus tetap mengambil
antikoagulan sampai kardioversi dapat dilakukan. Namun, padaa saat di ICCU pasien
mendapatkan terapi Enoxaparin yang merupakan Low Molecular Weight Heparin yang memiliki
mekanisme aksi menghambat kerja factor koagulasi Xa sehingga bersifat antitrombotik. Pasien
juga diberikan Aspirin dan Clopidrogel yang merupakan obat yang menghambat agregasi
trombosit. Pada hari ke-7 perawatan, dilakukan tindakan amputasi transfemoral dengan
trombectomy.
Pada pasien setelah hari kelima post amputasi peasien mengalami sesak hebat disertai nyeri
dada. Setelah diperiksa kembali pasien mengalami ADHF dengan UAP. ADHF muncul karena
kompensasi jantung yang tidak mampu memompa seluruh beban yang harus dipompa. UAP
muncul karna adanya thrombus yang menyumbat di pembuluh coroner, namun tidak menutup
secara keseluruhan. Pada hari ketiga perawatan di ICCU setalah pemeriksaan EKG, didapaatkan
pasien mengalami AF NVR dan diberikan terapi tambahan berupa amiodarone.
Pasien juga diberikan Ketorolac, Omeprazol, Lansoprazole, Ceftriaxone, Albumin,
Spironolactone, Nitrokaf Retard, Ramipril, Concor, Amiodaron, CPG, artovastatin , Aspilet, N-
Acetylcystein, dan channa kaps. Diantara obat ini pasien sebelumnya sudah rutin mengkonsumsi
Clopidogrel 1x1 tab, Lansoprazole 1x1 caps, Spironolakton 1x1 tab, Ramipril 1x1/2 tab, Concor
1x1 tab, Furosemide 1x1 tab.
Ketorolac merupakan golongan NSAID yang memiliki mekanisme kerja menghambat
sintesis prostaglandin dengan menghambat enzim COX, dimana pada pasien ini berperan untuk
mengurangi rasa nyeri pada tungkai. Omeprazol dan Lansoprazol merupakan obat golongan
Proton Pump Inhibitor yang berperan dalam mengurangi produksi asam lambung, terutama pada
pasien ini untuk mengurangi stress asam lambung akibat penyakit akut yang sedang berlangsung.
Ceftriaxon merupakan obat golongan Sefalosporin generasi III yang merupakan antibiotic
berspektrum luas baik untuk gram negatif dan gram positif, pada pasien ini bertujuan untuk
mencegah infeksi sekunder. Atorvastatin merupakan obat golongan statin yang memiliki
mekanisme menghambat enzim HMG-CoA Reductase sehingga mengurangi produksi lipid, pada
pasien ini berperan untuk menghambat sintesis lipid lebih lanjut sehingga juga ikut mengurangi
terbentuknya thrombus.
Diberikannya Plasbumin 20% pada pasien karena dari hasil laboratorium kadar Albumin
pada pasien selalu dibawah normal yakni 2.7. Nitrokaf Retard juga diberikan pada pasien
berfungsi sebagai vasodilator untuk mengurangi rasa nyeri dada yang dialami oleh pasien saat
post op. Sedangkan Furosemide diberikan sebagai diuretic bersama-sama dengan spironolactone
untuk mengurangi beban kerja jantung dan mengatasi retensi cairan yang terjadi pada
pasien dengan gagal jantung serta mengurangi mortilitas. Pada saat di ICCU pasien sudah
mendapatkan antibiotic berupa meropenem yang merupakan antibiotic spectrum luas untuk
Meropenem merupakan antibiotik spektrum luas golongan carbapenem yang bekerja melawan
bakteri gram negatif dan positif serta anaerob. Meropenem nantinya akan menghambat sintesis
dari dinding sel dengan cara melakukan penetrasi ke dalam dinding sel dari bakteri
tersebut. Meropenem memiliki konsentrasi bakterisidal 1-2 kali lebih banyak dibandingkan
konsentrasi bakteriostatiknya.
Selanjutnya pemberian concor yang memiliki kandungan aktif berupa bisoprolol berfungsi
untuk beta bloker kardioselektif. Bekerja dengan cara menghambat kerja saraf simpatis pada
jantung dengan menghambat beta adrenergic. Sehingga akan menurunkan kekuatan kontraksi
dari otot jantung dan menurunkan kebutuhan jantung terhadap oksigen.
Setelah dilakukan perawatan di ICCU selama 10 hari, pasien dipindahkan ke ruangan rawat
biasa yaitu ruangan jantung dan bedah. Pasien dinyatakan boleh pulang setelah 27 hari perawatan
di RSUD Raden Mattaher.

Anda mungkin juga menyukai